
Kirania Alvarendra tidak pernah ingin menjalin hubungan dengan laki-laki. Semakin tidak ingin ketika ada begitu banyak kerabat yang berusaha mendekatinya dan menjodohkan anak mereka dengannya. Kirania nyaman dengan kesendiriannya.
Sampai akhirnya ia bertemu dengan seorang pria, pria itu bukan dari keluarga kaya raya sepertinya, pria itu hanyalah pria sederhana. Namun, kesederhanaan itu lah yang membuat Kiran nyaman dengannya.
Zahid Generasi Ke-4.
Bab 1
Brak!
Danish menoleh ke belakang, pada kakak perempuannya yang membanting gelas ke atas meja.
“Kenapa lagi kamu?” Danish mendekat, merebut gelas itu sebelum Kiran membantingnya ke lantai.
“Mereka nggak capek, apa?” ketus Kiran. Matanya yang bulat kemudian menatap Danish. “Memangnya aku butuh pasangan? Aku udah bilang nggak mau, tetap aja mereka nyodor-nyodorin anaknya. Mereka pikir aku butuh anjing penjaga?”
Danish hanya bisa menghela napas. Bukan hal baru sebenarnya. Entah kenapa Kirania menjadi magnet para ibu-ibu selama beberapa bulan ini, semua kerabat atau kenalan mereka berlomba-lomba ingin menjodohkan anak laki-laki mereka dengan salah satu anggota keluarga Zahid ini. Mulai dari anak pejabat hingga anak partner kerja mereka, semuanya mendekati Kiran dan berharap bisa menjadi pasangan wanita cantik itu.
“Ya … mungkin karena kamu cantik,” kekeh Danish, berusaha meredakan emosi kakaknya yang sedang berada di puncak.
“Huh, udah tahu.” Kiran mengibas rambutnya dengan angkuh.
Danish tertawa, merangkul leher Kiran dan memeluknya. “Mungkin karena mereka merasa kamu udah mulai tua dan butuh pasangan, Kak.”
“Enak aja. Kita cuma beda satu tahun ya, Dan. Kalau aku tua, kamu juga.” Kiran mencubit perut adiknya secara brutal, membuat Danish mengaduh dan berusaha melepaskan diri.
“Aku heran, kenapa mereka mau jodohin anaknya sama nenek lampir kayak kamu.” Danish bersungut setelah berhasil melepaskan diri dari Kiran yang tersenyum miring. “Padahal kamu casing-nya doang yang cantik, dalamnya kayak nenek sihir.”
Bukannya marah, Kiran malah tersenyum lebar.
“Yuk, pulang. Aku udah bosan di sini.”
“Belum, acaranya bahkan belum dimulai, Kak.”
“Astaga, Dan. Aku nggak suka di sini, kalau bukan karena harus gantiin Papa di sini, aku nggak bakal sudi.”
“Tunggu Pak Lukman potong kue, habis itu kita pulang.”
Kiran mendengkus kesal. “Lagian umur udah tujuh puluh, kenapa mesti rayain ulang tahun, sih? Udah mau mati juga.”
“Sstt, kamu kalau ngomong nggak mikir-mikir dulu, anaknya denger nanti.”
“Bodo amat!” sentak Kiran.
Danish hanya bisa menghela napas, sungguh hal yang membingungkan baginya, semua orang menganggap kakaknya wanita manis yang lemah lembut, sejatinya kakaknya ini wanita keras kepala dan bermulut tajam. Dilihat dari sisi mana pun, kakaknya bukanlah wanita ramah yang manis. Semua orang menganggap Kirania adalah wanita manis dari sisi bagian mana? Apa hanya karena senyum palsu yang biasa Kiran umbar kepada semua orang? Tidak bisakah orang lain melihat bahwa senyum Kiran sangat terpaksa?
“Tunggu.” Kiran mencegat seorang pelayan yang membawa senampan sampanye di tangannya. Ia meraih segelas, tapi Danish menahannya.
“Kamu udah minum banyak, Kak.”
“Untuk bisa bertahan di sini, aku harus minum segelas lagi.”
“Nanti kamu mabuk.” Danish menggeleng tegas. Mengembalikan gelas yang ada di tangan Kiran ke nampan pelayan itu.
Kiran hanya bisa menghela napas, berdiri dengan wajah cemberut.
“Aku mau ke toilet,” ujarnya melangkah pergi. Bukannya ke toilet, Kiran malah menuju halaman belakang dan duduk di kursi. Menghela napas seraya menatap langit. “Menyebalkan,” bisiknya kesal.
Tiba-tiba sebuah gelas terulur padanya. Kiran menoleh, pelayan tadi mengulurkan segelas sampanye ke hadapannya.
“Untuk Anda, saya lihat Anda memang membutuhkannya.”
Kiran tersenyum, untuk pertama kali dalam malam ini, ia benar-benar tersenyum dari hatinya.
“Terima kasih.” Kiran meraih gelas itu dan menggenggamnya.
Pelayan itu mengangguk, kemudian melangkah pergi.
Kiran duduk bersandar di kursi taman, menikmati segelas sampanye dengan tenang seraya menunggu acara membosankan itu berakhir.
Riuh tepuk tangan terdengar dari dalam rumah mewah itu. Kiran hanya berharap acara itu segera berakhir agar ia bisa kembali ke apartemennya yang nyaman dan tidur.
“Aku mencari-cari kamu, rupanya kamu di sini.”
Kiran menoleh, lalu mengumpat pelan. “Shit, dia lagi.”
“Boleh aku duduk?”
Pratama Budiman. Dia adalah cucu dari Lukman Budiman yang sedang berulang tahun, salah satu dari sekian banyak pria yang mengejar-ngejarnya.
“Aku nggak mungkin bisa nolak karena tempat ini milik kakek kamu,” ujar Kiran datar.
Pratama tersenyum dan duduk di samping Kiran.
“Acara di dalam membosankan?” tanya Pratama.
“Boleh aku jujur?”
Pratama mengangguk.
“Ya, sangat.” Kiran berujar terus terang, ia sedang tidak mau berbasa-basi, apalagi terhadap buaya darat seperti Pratama Budiman.
Bukannya marah, Pratama malah tertawa.
“Ya, aku juga merasa bosan. Kakek merayakan ulang tahunnya setiap tahun dengan tema yang sama.”
Kiran hanya diam, tidak berniat menanggapi. Lagi pula ia bukan wanita yang suka berbasa-basi.
“Ngomong-ngomong, bagaimana kalau Sabtu nanti kita makan malam bersama?”
Here we go, buaya darat sedang berusaha menebar umpannya. Tetapi sayangnya Kiran tidak tertarik dan ia bukanlah salah satu dari ratusan wanita yang terjerat dalam rayuan busuk itu.
“Sayang sekali, Pratama. Aku sudah ada janji.”
“Bagaimana kalau hari Minggu?”
“Aku ada janji dengan temanku.”
“Senin?”
“Aku ada acara dengan sepupuku.”
“Selasa?”
“Aku lembur.”
“Rabu?”
Kiran menoleh dengan wajah kesal. “Aku sibuk,” ketusnya.
“Ayolah, Kiran, anggap saja itu makan malam persahabatan.”
“Persahabatan?” Kiran mendengkus. “Kalau kamu berharap aku akan menjadi salah satu wanita yang menghangatkan ranjangmu, maka kamu terpaksa harus kecewa karena aku tidak tertarik.” Sinis Kirania.
Raut wajah Pratama mulai berubah, ia menyambar tangan Kiran dan mencekalnya.
“Lepas.” Kiran memelotot.
“Kenapa kamu selalu bersikap angkuh seperti ini?”
“Lepaskan aku, Pratama.”
Namun, Pratama malah menarik Kiran untuk berdiri.
“Apa aku harus memberi kamu pelajaran agar kamu tahu siapa yang kamu hadapi?”
Kiran tersenyum miring. “Apa kamu lupa siapa aku, Pratama Budiman?”
“Hanya karena kamu anggota keluarga Zahid, kamu pikir aku takut?”
“Ya, harusnya kamu takut,” desis Kiran. “Kalau tidak, perusahaanku akan mendepak perusahaan kakekmu dari partner kami.”
“Dan aku nggak peduli.” Pratama menarik tubuh Kiran dan berusaha memeluknya.
“Lepas!” bentak Kiran.
Riuh suara nyanyian selamat ulang tahun terdengar dari dalam rumah, orang-orang mungkin tidak akan menyadari teriakan Kiran dari halaman belakang.
Pratama tersenyum miring. “Kamu pikir akan ada yang mendengar kamu?”
“Lepas!” Kiran berontak dan berusaha melepaskan diri. Pratama mencekalnya terlalu kuat hingga terasa menyakitkan. Kiran berusaha menarik tangannya, tapi Pratama malah memeluk pinggangnya, berusaha menciumnya. Kiran mendorong wajah itu dengan jijik, dan Pratama tentu tidak mau menyerah.
Saat wajah pria itu semakin dekat dengan wajahnya, tiba-tiba seseorang memukul bagian belakang kepala Pratama dengan kuat hingga membuat pria itu terhuyung dan pingsan di tanah.
Kiran membelalak lalu menatap siapa yang menolongnya.
Pelayan yang tadi memberikan segelas sampanye padanya berdiri dengan menatap tubuh Pratama yang tengkurap di tanah.
“Anda baik-baik saja?”
“Ya. Terima kasih.” Kiran memegangi pergelangan tangannya yang memerah. Rasanya sakit sekali.
“Ikut saya.” Pelayan itu berbalik dan melangkah pergi, buru-buru Kirania mengikutinya. Rupanya mereka menuju dapur. Pria itu mengambil beberapa potongan es dari dalam freezer, lalu membalutnya dengan sapu tangan. “Tangan Anda,” ujarnya datar.
Kirania segera mengulurkan tangannya yang memerah. Pria itu membalut sapu tangan dingin itu ke tangan Kiran yang memar.
“Sebaiknya Anda pulang.” Pelayan itu menjauh setelah membalut tangan Kiran.
“Terima kasih sekali lagi.” Kiran menatap tangannya yang terasa dingin dan kini rasa nyerinya mulai berkurang.
Pelayan itu hanya mengangguk dan melangkah pergi, meninggalkan Kirania sendirian di dapur. Kirania hanya memandangi kepergian pelayan itu.
“Wow, dingin banget dia,” gumamnya menatap pergelangan tangannya yang dikompres.
“Astaga, Kak. Kamu dari mana aja, sih?” Danish tiba-tiba datang dengan raut wajah kesal.
“Kamu yang dari mana aja?!” sentak Kiran marah.
“Kamu bilang ke toilet, tapi kamu nggak balik-balik—tangan kamu kenapa?” Danish menatap pergelangan tangan kakaknya yang dibalut oleh sapu tangan yang berisi potongan es.
Kiran ikut menatap tangannya. Jika ia memberi tahu yang sebenarnya kepada Danish, sudah bisa dipastikan Danish akan membuat keributan di pesta ini karena tidak terima kakaknya dilecehkan begitu saja. Kiran tidak ingin menjadi pusat perhatian, ia hanya ingin segera pergi dari tempat ini. Kalau orang-orang tahu Pratama Budiman berusaha melecehkannya, ia akan dijadikan bahan pembicaraan, ini sangat berefek pada nama keluarganya.
“Kena pintu,” dusta Kiran. “Ayo pulang, Dan. Aku capek.”
“Ayo.” Danish merangkul Kiran keluar dari dapur. “Aku udah pamitan sama Lukman Budiman tadi.”
“Bagus.” Kiran mengangguk, terus melangkah menuju pintu keluar. Sesaat pandangannya bertemu dengan pelayan yang menolongnya, tapi pelayan itu hanya menatapnya datar dan kembali bekerja. Kiran juga memilih mempercepat langkahnya, sebelum seseorang menahan mereka dan mengajak mereka bicara.
Akhirnya, Kiran berhasil mencapai mobil Danish, buru-buru wanita itu masuk ke dalam dan duduk di sana saat melihat seorang wanita tergopoh-gopoh menghampiri mereka.
“Kirania!”
“Jangan lagi,” erang Kiran. Ia sudah lelah menghadapi perjodohan malam ini.
“Kirania, bisa Tante bicara sebentar?” Wanita itu mengetuk jendela mobil milik Danish.
Kirania menoleh kepada adiknya.
“Bilang kalau aku mabuk dan tidur.” Kirania bersandar di jok dan berpura-pura tidur.
Danish menurunkan kaca mobil. “Halo, Tante,” sapanya datar.
“Oh, Danish, halo.” Wanita itu melirik Kirania yang tertidur. “Kiran tidur?”
“Kiran mabuk, Tan. Kami harus pulang sebelum Kiran bangun dan muntah-muntah di mobil saya.”
“Bisa kamu sampaikan sama Kiran kalau hari Minggu ini Tante mengundang makan siang di rumah?”
“Hmm, hari minggu ini Kiran sudah punya janji dengan temannya.”
“Kalau makan malam?” Wanita itu masih berusaha.
“Ah, Kiran pergi dengan temannya sampai malam.”
“Temannya laki-laki atau perempuan?” tanya wanita itu.
“Apa Tante harus tahu teman kakak saya laki-laki atau perempuan?” Sinis Danish.
Wanita itu hanya tersenyum tanpa merasa bersalah.
“Danish, Tante punya anak perempuan yang baru saja kembali dari Belanda—"
“Maaf, Tante, saya sakit perut dan harus pergi, permisi.” Danish buru-buru menutup jendela mobilnya sebelum tawa Kiran menyembur keluar. Ia segera memundurkan mobilnya dan melaju pergi.
Baru mencapai gerbang, Kiran sudah tertawa terbahak-bahak.
“Ayolah, Dan, Tante itu punya anak yang baru pulang dari Belanda.”
“Cukup kamu aja, Kak. Tolong jangan rusak hidupku.”
Kiran masih tertawa terbahak-bahak. “Tapi mungkin kamu harus coba, siapa tahu dia cantik dan kamu tertarik.”
“No!” Danish memelotot. “Aku nggak mau dijebak dalam pernikahan konyol.”
“Hahaha ….” Kiran tertawa terbahak-bahak
“Harusnya tadi aku pura-pura mabuk juga,” gerutu Danish sebal.
Kirania hanya bisa tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Kayaknya aku jadi tertarik deh, makan siang sama dia, buat bicarain tentang kamu anak dan anaknya.”
“Jangan coba-coba, Kirania Alvarendra, atau aku bakal ngamuk sama kamu!” teriak Danish.
“Tapi aku jadi penasaran secantik apa anaknya sampe berani buat dipromosiin ke kamu? Apa dia nggak tahu selera kamu itu gimana?” Kiran tersenyum miring.
“Jangan coba-coba, Kiran. Atau aku hubungi semua tante-tante yang nyariin kamu tadi dan bilang kalau kamu bersedia makan siang sama mereka,” ancam Danish.
“Kalau kamu berani ngelakuin itu, aku pastiin hidup kamu kayak di neraka, Dan!”
“Kalau gitu, jangan seret aku dalam perjodohan konyol kamu.”
Kirania menghela napas. “Mereka nyodorin anak mereka sama aku dan berharap bisa gabung jadi anggota keluarga kita, ‘kan?”
“Kamu pikir alasan apa lagi yang mereka punya selain itu?”
Kiran hanya diam dan menatap jendela, termenung.
“Sama dengan semua perempuan yang bersedia tidur dengan aku, mereka mau hanya karena aku bagian dari Zahid dan bersedia memberi mereka uang, kalau bukan karena itu, mereka nggak akan mau. Tapi aku juga memanfaatkan mereka demi kesenangan aku sendiri. Kami melakukan barter. Aku kasih mereka uang, mereka kasih aku kesenangan.” Tangan Danish membelai rambut Kiran dengan lembut. “Tapi kamu, tolong jangan lakuin seperti yang aku lakuin, Kak. Kalau kamu mau bersama seseorang, carilah seseorang yang tulus dengan kamu.”
Kirania menoleh. “Kamu pikir, masih ada orang tulus di dunia ini?” Kiran lalu tertawa sinis. “Kalaupun ada, rasanya lebih mudah mencari jarum di tumpukan jerami daripada mencari orang tulus di kerumunan orang munafik.”
“Kalau gitu, kamu jomlo aja sampai tua.”
Kiran hanya menjawab kalimat itu dengan memukul kepala adiknya. Bukannya marah, Danish malah tertawa.
Mobil Danish berhenti di depan apartemen Kiran.
“Kamu yakin nggak mau pulang ke rumah Papa aja?”
Kiran menggeleng. “Aku mau istirahat. Kamu juga pasti langsung ke Litera, ‘kan?”
Danish tersenyum lebar. “Xavier nungguin aku di sana.”
Kirania memutar bola mata. “Tolong jangan sampai kehabisan stok kondom, atau kamu bakal dijebak dalam pernikahan konyol.”
Danish hanya tertawa. “Aku tahu, Kak. Kamu nggak usah khawatir.”
Kirania mendekat dan mengecup pipi adiknya. Lalu turun dari mobil Danish dan masuk ke lobi apartemen.
Ia butuh istirahat yang cukup setelah beberapa jam ini merasa lelah luar biasa.
***
“Mbak Kiran, ini ada buket bunga untuk Mbak.”
Kirania berhenti melangkah, menatap resepsionis yang menyodorkan sebuket bunga mawar ke hadapannya.
“Siapa yang ngirim?”
“Albaz Akimura.”
Kiran menghela napas. Pria itu adalah salah satu partner kerjanya. Pria keturunan Australia-Jepang itu memang gencar sekali mendekatinya akhir-akhir ini.
“Buang aja.”
“T-tapi, Mbak—"
“Buang aja.”
“Baik, Mbak.” Resepsionis itu menatap buket bunga dengan tatapan pasrah. “Buat saya aja, boleh nggak, Mbak?” tanyanya tiba-tiba.
“Terserah kamu.”
“Makasih, Mbak.” Buru-buru, sang resepsionis menyimpan bunga itu di bawah meja sebelum Kiran berubah pikiran.
Kiran baru menjauh beberapa langkah ketika seorang pengantar bunga membawa sebuket besar bunga matahari.
“Untuk Ibu Kirania Alvarendra,” ucap si kurir pada resepsionis.
Langkah Kiran terhenti, ia berbalik.
“Siapa yang kirim?”
“Pak Pratama Budiman, Bu.”
Kirania memutar bola mata. “Bajingan itu lagi,” desisnya kesal. “Buang aja,” ucapnya lalu melangkah memasuki lift.
“Buang?” Sang kurir menatap resepsionis dengan tatapan bingung.
“Sini bunganya.” Resepsionis segera menyimpannya lagi. “Terima kasih, akan saya pastikan Ibu Kiran menerimanya.”
“Baik, Mbak. Saya permisi.”
Resepsionis itu hanya tersenyum dan menyimpan bunga matahari bersamaan dengan sebuket mawar tadi.
“Yah, lumayanlah dapat bunga, daripada nggak dapat apa-apa,” gumamnya sambil tertawa geli. “Penggemar Mbak Kiran berapa banyak, sih, sebenarnya? Tiap hari dikirimin bunga mulu, iri deh, gue.”
“Lo harus jadi anggota keluarga Zahid dulu baru dapat bunga,” celetuk temannya.
Resepsionis itu hanya mencebikkan bibir.
“Nasib jadi rakyat jelata emang begini. Sabar aja.” Ia mengurut dadanya sendiri.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
