RelationSweet: Prolog, Bab 1-2

6
0
Deskripsi

Valiza bekerja sebagai asisten baru di Showroom milik Dimas. Hari pertama bekerja, Valiza mendapati Dimas tengah memeluk seseorang dengan jenis kelamin yang sama di toilet pria.

Saat itu Valiza tidak tahu bahwa Dimas adalah bosnya, saat gadis itu diberitahu, ia pasrah apabila dipecat. Tapi Dimas tidak memecatnya. Dengan tenang, Dimas meminta Valiza untuk melupakan kejadian itu.

Valiza yakin Dimas itu gay. Tapi kenapa setiap kali berdekatan dengan pria itu, jantungnya berdebar-debar tidak karuan?

PROLOG

 

“Pak Dimas biasa datang jam delapan pagi.” Valiza mengangguk sambil mencatat hal itu di buku kecil yang ia bawa. “Biasanya Pak Dimas minum kopi dengan dua sendok gula. Jangan sampai terlalu manis.” Sekali lagi Valiza mengangguk. Mengikuti langkah Bu Amanda, orang yang akan ia gantikan posisinya di kantor ini.

Mendadak, langkah Bu Amanda terhenti dan Valiza otomatis menghentikan langkahnya. “Kenapa, Bu?” ia bertanya bingung.

“Ini meja kamu.” Bu Amanda menunjuk meja yang cukup besar berada di depan sebuah ruangan. “Dan ini ruangan Pak Dimas.” Valiza mengangguk. “Saya berada di ruangan sebelah. Kalau ada apa-apa tanya saya saja.”

Valiza tersenyum, lalu mengangguk singkat. “Iya, Bu. Terima kasih.”

Ia meletakkan buku kecil yang ia bawa ke atas meja, lalu menghela napas. Ini hari pertamanya bekerja. Semangat!

Tapi sebelum itu, ia merasa hendak buang air kecil. Memang sudah menjadi kebiasaannya jika sedang gugup. Maka dengan langkah pelan, Valiza menuju koridor ujung yang mengarah ke kamar kecil. Karena sudah terlalu kebelet, ia berlari pelan dan langsung membuka pintu. Namun .…

Shit!” ia berteriak. Terkejut dengan mata terbeliak lebar. Matanya terpaku pada dua orang yang sedang berpelukan di dalam toilet. Jika yang berpelukan itu adalah sepasang kekasih dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Maka Valiza tak akan seterkejut ini. 

Namun, yang sedang berpelukan di depannya adalah laki-laki dan juga … laki-laki.

“Heh!” Salah satu dari dua pria itu menatap Valiza yang masih ternganga di tempatnya. “Bisa nggak sih ketuk pintu dulu sebelum masuk?!”

What?!” Valiza balas melotot. “Heloooo ... Mas Mas yang lagi bermesraan. Ini masih pagi dan kalian udah bikin dosa. Ya ampun. Ya kali mesra-mesraan di toilet. Kalau mau mesra-mesraan, sana cari hotel!” Valiza berkacak pinggang.

“Kalau punya mulut dijaga ya, Neng. Kayak nggak pernah sekolah aja.”

“Heh, Mas. Apa hubungan mulut sama sekolah gue? Lagian gue dididik secara benar. Nggak kayak kalian. Terong makan terong. Rusak kalian!”

“Mau gue rusak atau nggak, bukan urusan lo!” Salah satu pria hendak maju dan menerjang Valiza. Namun, pria satu lagi menghentikan dan menarik tangan pasangannya.

“Udah. Jangan berantem.”

“Dia yang ngajakin aku berantem. Masa aku diam aja?!”

“Udah. Jangan diladenin.” Pria yang terlihat lebih tenang itu menatap Valiza. “Anda salah tempat, Nona. Ini toilet untuk pria.” Pria itu menunjuk lambang yang tertempel di depan pintu. 

“Oh, eh.” Valiza salah tingkah sambil menggaruk tengkuknya. “Sorry deh.” Begitu hendak menutup toilet, gerakannya terhenti ketika mendengar suara yang berbicara padanya.

“Makanya kalo jalan pake mata. Mata dikasih sama Tuhan buat dipake, bukan buat disimpan!”

Valiza membuka kembali pintu toilet sambil berkacak pinggang.

“Ngaca kalo ngomong. Lagian ya, ini kantor apaan sih? Kok pasangan homo dibiarin di sini? Harusnya kayak kalian tuh dibuang ke Nusa Kambangan. Kalian ngotor-ngotorin bumi aja. Sana tenggelam aja ke laut!”

Lalu Valiza membanting pintu dengan kuat dan segera memasuki toilet perempuan.

“Ck, nasib gue sial banget pagi ini. Ngelihatin pasangan homo lagi asyik pelukan. Dosa apa gue?” sambil menggerutu ia mencuci tangannya dan menatap cermin. “Ya Tuhan, jauhkanlah hamba dari racun-racun dunia seperti mereka. Jangan biarkan hamba bertemu dengan mereka lagi. Amin.” Lalu ia tersenyum pada dirinya sendiri. “Harusnya cowok cakep kayak mereka lihat kalau ada cewek cantik kayak gini di bumi. Duh, kasian kan kalau cewek kayak gue dianggurin?”

Valiza tersenyum sekali lagi pada diri sendiri lalu keluar dari toilet dan kembali ke mejanya. Ia siap untuk bekerja pagi ini.

“Val?”

Ia menoleh pada Bu Amanda yang sudah berdiri di samping mejanya.

“Eh, iya, Bu.”

“Ayo, saya kenalkan sama Pak Dimas pemilik Showroom ini.”

Valiza mengangguk, ia melirik dinding kaca yang tidak jauh darinya dan memastikan penampilannya sempurna.

‘Gue udah cantik,’ ujarnya dalam hati lalu mengikuti langkah Bu Amanda memasuki ruangan Pimpinan.

“Selamat pagi, Pak Dimas.” Bu Amanda menyapa dan Valiza sudah mempersiapkan senyuman sejuta watt untuk bos barunya. Namun, begitu pria di depannya membalikkan tubuh, ia terbelalak.

“Lo yang tadi pelukan di toilet, kan?!” ia memekik terkejut.

“Valiza!” Bu Amanda menggeram di sampingnya dan Valiza menoleh lalu tersadar dan berdeham.

“M-maaf,” bisiknya pelan lalu menunduk.

Bu Amanda menoleh pada Dimas yang hanya menatap mereka datar. “Maaf, Pak. Ini Valiza. Sekretaris baru Bapak.”

Dimas mengangguk.

Valiza mengangkat kepalanya yang tertunduk. “Selamat pagi, Pak,” sapanya setengah hati.

‘Ya Tuhan, dosa apa gue? Masa iya bos gue homo?’


 

 

 

ADAM DAN ASEP

 

“Baiklah, saya permisi.” Bu Amanda menunduk sekilas kemudian beranjak pergi. Valiza melakukan hal yang sama. Namun, langkahnya terhenti saat Dimas berbicara padanya.

“Bisa kita bicara?”

“He?” Valiza membalikkan tubuh dan menatap Dimas yang duduk tenang di kursinya.

“Bisa kita bicara sebentar?” sekali lagi Dimas bertanya dengan suara tenang.

“Ya.” Valiza mengangguk dan berdiri menatap Dimas. Mencari-cari tanda amarah di wajah pria itu. Namun, pria itu terlihat begitu tenang seolah tak terjadi apa-apa. “Apa Anda akan memecat saya?” Valiza akhirnya bersuara setelah beberapa saat Dimas hanya diam dan menatapnya.

“Tidak. Kenapa saya harus pecat kamu?” Pria itu mengerutkan kening.

“Tentang kejadian tadi pagi. Saya minta maaf, Pak.” Kepala Valiza tertunduk pasrah jika Dimas akan memecatnya hari itu juga.

‘Mungkin bukan jodoh gue di sini. Gue pasrah. Meski harus dipecat sebelum berkembang.’ Gadis itu menunduk pasrah.

“Lupakan saja.”

“He?” Kepala Valiza terangkat. Menatap Dimas dengan mata membulat. “M-maksud, Bapak?”

“Apa yang kamu lihat di toilet tadi pagi. Bisa kamu lupakan saja?”

Valiza mengerjapkan matanya beberapa kali.

“Saya tahu kamu kaget hingga kamu tidak sengaja mengatakan hal-hal seperti itu pada saya. Jadi lebih baik kita lupakan saja. Bisa kita lakukan itu?”

“Y-ya,” Valiza tergagap. “Ya, saya akan lupakan apa yang saya lihat tadi pagi. Meski itu hal yang aneh melihat dua orang dengan jenis kelamin yang sama berpe—“ Valiza menghentikan kata-kata yang keluar begitu saja tanpa terpikir olehnya saat Dimas menatapnya dengan senyuman. “Maaf.” Kepalanya tertunduk. “Saya akan lupakan.”

“Baik. Saya rasa tidak ada masalah di sini.” Pria itu sekali lagi tersenyum.

“Ya.” Valiza mengangguk-angguk dengan wajah bingung. Ia tidak pernah menemukan pria setenang ini sebelumnya, dan ketenangan Dimas membuat Valiza sedikit merasa takut. “Saya permisi, Pak.” Lalu ia segera pergi ketika bulu kuduknya terasa meremang saat Dimas mengangguk dengan senyuman ramah di wajahnya.

“Selamat bekerja.” Pria itu masih sempat mengatakan hal itu saat pintu hendak ditutup oleh Valiza.

“Terima kasih, Pak,” ucap gadis itu lalu menutup pintu di belakangnya. Gadis itu berdiri sambil mengusap kedua lengannya. “Horor, ih,” ujarnya lalu berlari kecil menuju mejanya. “Kok yang tenang gitu lebih nakutin dari yang galak ya?” Ia duduk dengan mengusap kuduknya. “Sumpah, gue jadi takut.”

“Takut kenapa lo?” 

Valiza tersentak dan segera berdiri. Menatap dua wanita yang sudah berdiri di depannya. 

“Nggak usah bengong gitu juga ngelihatinnya. Gue tahu kalau gue udah cantik dari orok.” Perempuan yang berdiri di depan Valiza mengibaskan rambutnya hingga membuat Valiza memundurkan kepala agar tidak terkena kibasan rambut.

“Njir, Pik. Kutu lo terbang.”

Tatapan Valiza jatuh pada teman perempuan di depannya.

“Kampret lo, Nda. Ganggu gue aja.” Perempuan yang dipanggil Pik itu menggerutu sebal pada teman yang ada di sampingnya. “Kenalin,” ia mengulurkan tangan pada Valiza, “gue Kayla Ravika Vira Yanti Ayuningsih Purnamasari.”

‘Busyet, panjang amat namanya, nama apa rel kereta api sih?’ Tapi Valiza tetap menyambut uluran tangan perempuan bernama panjang di depannya itu. “Gue Valiza Shafera.”

“Lo bisa panggil gue Princess Ravika.” Ravika memberikan senyum termanis pada Valiza. “Calon istri Pak Dimas di masa depan.”

Valiza hanya mengangguk-angguk saja. Ibarat kata pepatah ‘Jangan hancurkan khayalan para pemimpi. Karena kalau dia dijatuhkan pada kenyataan, bisa saja dia menjadi gila karena kenyataan ternyata tak sesuai harapan.’ Demi menjaga kewarasan perempuan di depannya. Valiza akan mengalah.

“Gue Sheikha Ananda Sri Aditya Nainggolan—“ Sebuah tangan lain terulur padanya.

“Ha? Senggolan?” Valiza menyela bingung.

“Nainggolan, njir. Bapak gue susah-susah kasih nama. Lo mau dikutuk sama semua pemilik marga Nainggolan?” Ananda melotot marah. “Lo bisa gue lapor polisi dengan tuduhan pencemaran nama Marga ya. Lo kenal sama Ruhut Sitompul itu, kan?” Valiza otomatis mengangguk. “Nah, dia orang Medan.”

‘Elah, kalo itu gue juga tahu. Nenek-nenek ompong juga tahu kalau Ruhut Sitompul orang Medan. Kan nggak mungkin dia orang Jawa.’ Valiza menatap gemas. “S-sorry.” Valiza menyengir tanpa dosa. “Khilaf.” Gadis itu terkekeh garing.

“Gue calon istri Pangeran Hamdan. Panggil gue Sheikha Ananda yang cantik jelita.” Gadis lain bernama Ananda itu ternyata lebih parah dari temannya.

‘Ini kantor atau apa sih? Kok isinya orang nggak bener semua?’ Valiza menatap sekeliling. Mencari-cari kamera tersembunyi. Siap untuk melambaikan tangan tanda menyerah.

Valiza memaksakan diri untuk tersenyum. “Gue Valiza Shafera.” 

“Nih ya, gue kenalin.” Suara Ravika membuat Valiza menoleh. “Yang di sana,” ia menunduk seorang wanita yang sedang serius menatap laptop, mengenakan kacamata yang cukup tebal, “itu namanya Pipit. Lo bisa panggil dia Mak Pit. Dia udah emak-emak soalnya.”

Valiza mengangguk. Memperhatikan wanita yang masih tak terpengaruh dengan keadaan di sekelilingnya. Wanita yang menurut tebakan Valiza berusia awal tiga puluhan. “Dia galak,” Ravika berbisik. “Lo jangan sampai buat masalah sama dia. Dan ...,” kepala Valiza semakin dekat ke wajah Ravika, “jangan terpengaruh sama sifat ramahnya. Aslinya dia kayak kucing kurang kawin. Senggol dikit,” Ravika membuat gerakan menggorok leher dengan tangannya, “dia bakal bawain lo golok,” ujarnya mendramatiskan keadaan.

Valiza mengangguk-angguk. Sekali lagi menatap wanita bernama Pipit yang menurutnya terlihat anggun dan juga cantik. 

Ah, kadang penampilan bisa menipu kan, ya? Lihat aja Pak Dimas yang diam-diam terong makan Belanda itu. Jadilah terong belanda. ‘Gue mikir apa sih?’ Valiza memukul pelan kepalanya.

“Mak Pit itu orang kepercayaan Pak Dimas. Karena dia Manager Keuangan. Jadi, jangan pernah mikir buat kasih laporan yang salah sama dia. Kalau ketemu selisih seratus perak aja, lo bakal dibantai.” 

Valiza kembali mengangguk.

“Kalau yang di sana,” kini Ananda yang berbicara, “namanya Cici Puttrina. Sama-sama bagian keuangan.” Valiza menatap seorang gadis berambut pendek yang mejanya tidak jauh dari meja Manager Keuangan. “Hati-hati kalau bahas cashbon ama dia. Karena bagi Cici, masalah duit itu sensitif kayak testpack. Jangan sampe hasilnya positif. Positif kalau lo utang tapi nggak mau bayar.” Lalu Ananda terkikik geli di sampingnya.

“Lo nggak sih, yang ngutang makan di kantin sebelah tapi belum bayar?” Ravika memicing, menatap Ananda yang hanya menyengir lebar.

“Gue bayar kok. Besok kalau gajian.” 

“Nah, kalau yang di sana namanya Greya. Bagian pemasaran.” Ravika menunjuk perempuan yang duduk manis di kursinya. Sibuk mengetik sesuatu di komputer. 

“Kalau yang tampangnya agak bego dan oon itu,” Ananda menunjuk gadis yang terlihat paling muda di dalam ruangan, “itu namanya Rasdian, dia asistennya Mak Pit. Kalau lo mau ngomong sama dia, tolong siapin stok kesabaran. Karena kadang kalau lo bahas A, dia bakal bahas B. Tapi dia orangnya baik.”

“Betul. Baik banget. Baik buat di-bully,” Ravika menyela, lalu tertawa bersama Ananda.

Valiza hanya mengangguk-angguk mendengarkan perkataan dua perempuan ‘aneh’ di depannya.

“Nah, selamat datang di ruangan ‘Kamvret.’” Ravika tersenyum. “Ini ruangan namanya ‘Ruangan Kamvret’ karena isinya orang-orang yang bakal bikin lo ngumpat tiap hari.” Ravika mengibaskan rambutnya lagi. “Selamat bekerja, ya. Semoga lo betah di sini.”

Valiza mengangguk. “Thanks, anyway,” ujarnya berusaha ramah.

“Eitss,” Ravika kembali mendekati Valiza, “kalau lo berani macem-macem sama Pak Dimas. Ganjen dikit aja,” Ravika kembali membuat gerakan mengorok leher di depan Valiza dengan mata melotot, “gue bakal suruh Mak Pit depak elo dari sini. Paham?”

Inggih, Nyai.” Valiza menunduk, memilih mengalah saja.

‘Ini orang-orang dari planet mana sih? Kok isinya aneh-aneh semua?’ 

Valiza kembali duduk di kursinya, siap untuk memulai pekerjaan. Namun, ketika ia baru saja hendak menyentuh komputer di depannya. Sebuah suara nyaring terdengar di depannya.

“Ini kutu busuk kenapa lo di sini, heh?!”

Valiza mengangkat wajah, matanya memicing menatap pria yang tadi pagi beradu mulut dengannya di toilet pria.

Valiza berdiri. Menatap tajam pria—yang ia yakin bukanlah pria sesungguhnya—berdiri di depannya. Jika ini adalah adegan dalam sebuah anime. Maka akan ada dua orang yang saling menatap dengan kilat-kilat menyambar yang keluar dari pancaran matanya.

‘Well, Valiza. Kenalkan, ini dia ‘Asep.’ Pasangan ‘Adam’ yang ada di dalam ruangan yang notabene adalah bos lo.’ Valiza menatap sinis pria itu. ‘Bener kata salah satu pembaca Wattpad yang gue baca. Tuhan tuh menciptakan Adam dan Hawa. Bukan Adam dan Asep.’

‘Tuh kan,’ Valiza mengeluh. Otak gue mulai rusak sejak masuk ke sini. Ini bener-bener ‘Ruangan Kamvret.’ Belum juga sejam. Gue udah pengen ngumpat di sini.’


 

 

 

 

WONDER WOMAN

 

Valiza masih menatap Arjuna Nathanial yang berdiri di depannya. Mata pria itu menatapnya tajam.

“Gue yang harusnya nanya. Lo ngapain di sini? OB tugasnya bukan di sini. Sana balik ke kandang lo. Hus!” Tangan Valiza terkibas untuk mengusir Juna yang seketika menjadi murka.

“Lo bilang gue apa?!” Arjuna maju selangkah dan siap menjambak rambut Valiza ketika Dimas bersuara di belakangnya.

“Jun, ada apa?” pria itu bertanya dengan suara tenang.

Arjuna dan Valiza sama-sama menoleh ke sumber suara.

“Bang Dim ...,” rengekan manja itu membuat Valiza membulatkan bola matanya.

‘Wanjer, itu suara kuntilanak apa ya?’ Valiza membatin dan hanya mampu tercengang saat Juna mendekati Dimas dan menarik masuk pemilik showroom itu ke dalam ruang kerjanya. Plus menutup pintu dengan bantingan kencang yang membuat Valiza seketika terkejut.

“Astaga! Astaga!” Gadis itu menepuk-nepuk dadanya. “Gue pasti udah gila,” desisnya lalu meraih botol air mineral yang ada di meja dan meneguknya sebanyak mungkin. Setelah meletakkan botol itu kembali, matanya menatap Ravika yang terkikik geli di meja kerjanya.

“Mulai nyesal ya kerja di sini?” goda Ravika sambil mengunyah snack yang ia simpan diam-diam di laci mejanya.

Valiza hanya menghela napas. “Bos beneran gay, Vik?” ia bertanya sambil melirik pintu ruang kerja yang tertutup rapat. Benaknya mulai membayangkan hal-hal yang tidak seharusnya ia bayangkan. “Otak gue …,” ringisnya sambil memukul kepalanya berulang kali.

Suara tawa kembali mengusiknya. “Gini ya, Val. Gue kasih tahu.” Ravika menampilkan wajah serius. “Cowok cakep itu ada dua jenis. Pertama, dia sudah ada yang punya. Kedua …,” Ravika melirik nakal pada pintu yang tertutup, “dia penyuka sesama.” Lalu gadis itu kembali menatap Valiza. “Artinya cowok yang tersisa di bumi sekarang cuma cowok-cowok jelek. Karena yang cakep mulai punah.”

“Betul,” Ananda menyela sambil tangannya mulai menarik snack Ravika mendekat padanya. Ia mencomot keripik itu dan memasukkannya ke mulut dengan begitu santai seolah tanpa beban. “Gue rajin stalk cowok-cowok yang cuma pakai sempak di IG. Setelah gue girang karena nggak pernah lihat dia foto sama cewek, gue dihempas cantik saat lihat dia foto bugil sama cowok setelah ngegym.” Matanya menatap Valiza serius. “Nah, ini yang gue belum tahu. Pak Bos rajin ngegym nggak? Siapa tahu ternyata Pak Bos punya anggota geng yang isinya gay semua.”

Valiza mengangkat bahu. “Mana gue tahu. Kan yang kerja lama di sini kalian,” gerutunya.

“Gue pernah ketemu Pak Bos lagi ngegym,” Ravika berkata dengan mimik serius. “Waktu itu gue nggak sengaja jemput adik sepupu gue yang lagi ngegym. Karena pengen lihat cowok-cowok kece, gue masuk. Dan nggak sengaja ngelihat Pak Bos lagi ngegym, tapi bukan sama Mas Juna deh. Dia ngegym sama Mas Stefan dan Pak Virza.” Ravika mencomot keripiknya. “Kalau Mas Stefan gay sih mungkin aja, tapi kalau Pak Virza kan nggak mungkin. Secara punya anjing penjaga gitu.”

“Hus!” Ananda memukul pelan lengan atas Ravika. “Lo samain Bu Renata sama anjing gitu?” Gadis centil itu terkikik geli. 

“Ya, habisnya lo nggak lihat apa?” Ravika menatap Ananda. “Bahkan Pak Bos aja nurut banget sama Bu Rena. Kayak Bu Rena tuh punya tali kekang buat cowok-cowok tampan itu.” Ravika mencebik sebal. “Gue jadi pengen kasih Bu Rena sianida kalau dia mampir ke sini. Semua stok cowok kece diembat sama dia.”

“Pik, kalau kamu cuma mau ngobrol di sini, mending pulang aja.”

Glek. Valiza langsung kembali duduk di kursinya dan berpura-pura mengetikkan sesuatu di komputer saat Ibu Pipit alias Manager Keuangan berdiri di depan Ravika dengan wajah galak.

“Kalau cuma mau makan gaji buta, mending saya rekomen kamu untuk dirumahkan aja ke bagian HRD.”

Tsadess .…

Valiza melirik Ravika dan Ananda yang menunduk. ‘Mampus,’ ujarnya dalam hati dan tertawa tanpa suara. Tepat saat itu, Ravika mengangkat wajah dan menatapnya dengan mata melotot seolah mengatakan ‘berengsek lo.’

“Kamu juga.” Valiza tersentak. “Hari pertama kerja udah ngobrol aja dari tadi. Kalau nggak niat kerja, nggak usah kerja!”

Gantian Ravika yang tertawa tanpa suara kepada Valiza yang menunduk. ‘Noh, mamam tuh sabda emak-emak yang sering ditinggal lakiknya dinas!’ Ravika tertawa puas bersama Ananda tanpa suara.

Begitu Bu Pipit sudah menghilang masuk ke ruangan Dimas. Valiza mengambil sebuah kertas, meremukkannya hingga membentuk sebuah bola dan melemparkannya kepada Ravika yang terkikik geli.

“Lo sih!” ujarnya kesal.

Ravika hanya tertawa bersama Ananda. “Hati-hati lo,” Ananda terkikik, “Bu Pipit punya taring. Digigit. Habis lo!” Dan dua gadis itu kembali menertawakan Valiza yang hanya mampu menatap mereka dengan tatapan kesal.

 

**

 

“Kok itu cewek bisa kerja di sini sih, Bang?!” Juna membanting pintu ruang kerja Dimas dengan kesal. “Kok Juna baru tahu?”

“Kan minggu kemarin aku udah bilang kalau Bu Amanda nggak bisa lagi handle kerjaan sebagai sekretaris, dan akan ada sekretaris baru yang gantiin.“ Dimas menjawab tenang sambil menyodorkan air mineral dingin pada Juna yang menerimanya dengan wajah cemberut.

“Juna nggak mau dia kerja di sini!” 

Dimas tersenyum, menepuk puncak kepala Juna dengan sayang. “Juna nggak boleh gitu. Lagian dia pilihan Bu Amanda lho. Aku yakin Bu Amanda nggak salah pilih.”

“Bang Dim nggak lihat gimana kelakuan dia? Kayak nggak punya etika.” Juna masih bersikeras.

“Jun,” Dimas menarik Juna duduk, “kita nggak boleh judge seseorang jelek hanya dari kesan pertama yang kita dapatkan saat bertemu orang itu,” pria itu berujar tenang sambil tersenyum kepada Juna. “Kita nggak bisa menilai seseorang buruk hanya dari apa yang kita simpulkan dari kesan pertama kita bertemu seseorang. Kamu tahu? Sebuah buku nggak bisa dibilang jelek hanya karena covernya nggak sesuai dengan apa yang kamu mau. Dan kamu juga nggak bisa mengatakan isi buku itu jelek padahal kamu baru membacanya di halaman pertama.”

Juna hanya menampilkan wajah cemberut.

“Kalau ingin menilai seseorang, kenali dulu orang tersebut. Pahami dulu sifat-sifatnya baru kamu bisa menilai. Jika kamu langsung menilai padahal kamu baru saja berkenalan dengannya, itu sama saja dengan kamu tidak adil pada orang tersebut.”

“Kok Bang Dim jadi belain dia sih?!”

“Bukan belain, Juna.” Dimas terkekeh pelan sambil menepuk puncak kepala Arjuna. “Aku hanya nggak mau menjudge seseorang padahal aku belum tahu bagaimana orang itu. Karena apa? Karena aku juga nggak mau seseorang langsung menjudge aku buruk padahal belum mengenalku dengan baik. Sesimple itu sih.”

“Ugh!” Juna melirik Dimas dengan bibir mengerucut. Lalu kemudian pria setengah sendok itu tersenyum dan mencubit pipi Dimas gemas. “Kok Bang Dim-nya Juna gemesin sih? Sini cium Juna dulu.”

Dimas hanya tertawa sambil menjauhkan kepala. “Kamu ada-ada aja.” 

“Ih ...,” Juna merengek manja. “Cium Juna napa sih?!”

“Najis, Jun,” sebuah suara tiba-tiba terdengar dan membuat Juna berpaling pada sumber suara.

“Apa sih lo, Pit. Ganggu aja.” Juna kembali memasang wajah cemberut. “Tiap ngelihat elo gue tuh berasa ngelihat kiamat udah dekat.”

Pipit hanya melirik sekilas pada Juna lalu menghempaskan tubuhnya di samping Dimas. “Tiap ngelihat elo di sini. Gue tuh kayak ngelihat kolor ijo lagi cari mangsa.”

“Mulut lo ya, Pit. Udah pernah disumpal sama terong belum sih?!”

“Hm,” Pipit hanya melirik sekilas, “udah sering punya laki gue,” jawabnya santai.

“Argh!” Juna mendesis geram. “Kalau anak lo denger mulut emaknya kayak gini. Gue yakin Chika nyesel punya emak kayak elo.”

“Daripada elo. Kalau nyokap lo ngelihat elo kayak gini. Gue yakin Tante Diana nyesel sudah susah payah ngelahirin elo. Dibilang cowok, tapi bukan cowok. Dibilang cewek apalagi, nggak ada apemnya.”

Dimas hanya mampu tertawa mendengar perdebatan antara Juna dan adik sepupunya itu. Setiap kali Pipit dan Juna berada di satu ruangan. Setiap kali itu juga dua orang itu akan saling mengonggong dan memamerkan taring.

“Papa Chika pasti nyesel punya bini kayak elo! Harusnya papanya Chika cari bini baru yang lebih cantik dan mulutnya lebih manis dari elo!” pekik Juna kesal.

“Papanya Chika nggak butuh cewek yang mulut manis. Butuhnya mulut cewek yang bisa kasih dia service,” Pipit menjawab santai tanpa beban.

Errr. Dimas sudah tidak tahan untuk tidak tertawa mendengarnya. Adik sepupunya itu memang terkenal memiliki mulut yang ‘pedas.’ Dan dia memang lawan yang tangguh untuk berdebat dengan Juna.

“Bang Dim,” merasa kalah, Juna pasti selalu mencari Dimas untuk membelanya, “harusnya karyawan kayak gini tuh dipecat aja. Nggak guna!” ujarnya tanpa pikir panjang.

“Lo bilang gue apa?!” Pipit seketika berdiri. Memicing menatap Arjuna. “Lo bilang gue nggak guna?!” wanita itu tertawa sarkas. “Asal lo tahu ya, Jun. Kalau bukan gue yang ngatur keuangan di sini. Gue yakin ini tempat masih jadi bengkel dengan ruko dua tingkat. Dan bukannya jadi showroom kayak sekarang. Kalau bukan karena gue. Dimas nggak akan punya showroom kayak gini. Harusnya lo!” Pipit menunjuk Juna tepat di depan hidungnya. “Lo yang jadi manusia nggak guna. Yang lo tahu cuma menghina orang lain dengan mulut lo yang nyinyirnya ngalahin adminnya Lambe Turah!” Pipit membanting berkas-berkas laporan yang harus ditandatangani oleh Dimas ke atas meja.

Wanita itu segera menyingkir sebelum membuat wajah Juna babak belur dengan tangannya. Ia berjalan menuju pintu, tapi sebelum membukanya. Ia membalikkan tubuh dan menatap Juna. “Gue udah lakuin banyak hal buat Dimas selama ini. Sedangkan lo?” Pipit menatapnya sinis. “Apa yang sudah lo lakuin buat Dimas selama ini?”

Belum sempat Juna menjawab. Wanita satu anak itu sudah lebih dulu keluar dari ruangan dan membanting pintu.

Saat Juna menoleh pada Dimas. Pria itu hanya menaikkan satu alis. “Harusnya kamu jangan ucapin hal itu sama dia,” ucap Dimas tenang tanpa ada nada memarahi di dalam suaranya. Pria itu lalu menghela napas. “Terkadang, Jun. Kita harus pikirkan dulu apa yang ingin kita ucapkan. Apakah ucapan itu bisa menyakiti hati seseorang atau tidak. Karena, luka dari pedang yang bernama ucapan itu meninggalkan bekas yang nyata meski tidak tampak oleh mata.”

 

**

 

Orang bilang, hidup itu tidak pernah adil. Perbandingan sederhana adalah begitu banyak orang kaya yang bisa meraup uang dengan begitu mudahnya dengan cara korupsi. Tanpa memikirkan bahwa uang itu bukanlah haknya.

Hm. Rasanya itu perumpaan yang terlalu berat untuk Valiza.

Contoh sederhana kekinian dari ketidakadilan dunia adalah bertemu dengan mantan kekasihnya yang kini tengah bermesraan dengan adik tirinya di saat dia belum bisa menyingkirkan mantan kekasihnya itu sedikit pun dari pikirannya.

“Val!” Arista tersenyum sumringah pada Valiza yang menampilkan wajah datar. Mata Valiza terfokus pada Raka yang sedang duduk diam di sofa lobi kantornya. Meski rasanya enggan, Valiza akhirnya mendekati pasangan yang tengah merencanakan pernikahan dalam waktu dekat itu.

“Ta, ngapain kamu ke sini?” Ia tak perlu repot-repot menyembunyikan rasa tidak sukanya dengan kedatangan Arista dan Raka.

“Ih, gitu banget sama aku. Aku kan cuma mau lihat kantor baru kamu.” Mata Arista menatap lobi yang luas itu dengan wajah takjub. “Ini kantornya keren banget. Mana yang punya katanya cakep banget.” Matanya menatap Valiza. “Bener kan, Val? Yang punya cakep?” ia bertanya dengan semangat yang berlebihan.

“Hm, cakep,” jawab Valiza melirik Raka yang terlihat santai di atas sofa. ‘Kok wajah Raka lempeng aja waktu calon bininya bilang cowok lain cakep. Dulu aja. Waktu aku puji seniorku baik. Dia marah.’ Valiza mulai menggigit ujung kukunya. ‘Ya ampun, Val!’ Valiza mendesah, memaki dirinya sendiri. ‘Orang gagal move on ngenes banget ya? Ibarat kata Meme yang aku baca di IG. Sayang apa yang bikin takut? jawabannya: Ditinggal pergi saat lagi sayang-sayangnya.’

Ck, Valiza mulai berdecak sebal. Otaknya mulai membicarakan hal tidak penting yang seharusnya tidak ia pikirkan.

“Aku mau pulang. Kalian pulang aja sana.” Valiza mulai melangkah keluar dari lobi.

“Kami anterin kamu pulang ya, Val.” Arista mengejar langkah Valiza yang sudah mencapai pintu lobi.

“Aku udah pesan Go-Jek.” Yang sebenarnya Valiza belum memesan ojek online itu karena ia berniat untuk mampir sebentar ke kedai kopi di sebelah showroom. Duduk di sana, menanti senja dengan sepotong Red Velvet dan Caramel Macchiato. Dan kini, bayangan Red Velvet sudah tidak menggugah seleranya.

Cancel aja. Aku dan Raka anterin kamu pulang.”

Valiza melirik tajam adik tirinya. ‘Ini orang peka nggak sih. Apa dia nggak sadar kalau yang dia gandeng itu mantan pacar gue?’

“Aku udah pesan ojek, jadi nggak usah repot-repot. Lagian yang suruh kalian ke sini siapa?” Valiza mulai sewot dengan tingkah laku Arista yang selalu seenaknya.

“Kenapa jadi kamu yang marah? Aku niatnya baik mau kasih kamu tumpangan. Kan lumayan ongkosnya bisa buat makan kamu seharian.”

Valiza mengepalkan kedua tangan. Kata ‘tumpangan’ yang diucapkan Arista sungguh mengusik indra pendengarnya. Seolah-olah ia sangat membutuhkan tumpangan dari mantan kekasih yang sangat ingin ia tendang ke Planet Mars secepatnya.

“Aku nggak butuh tumpangan. Oke.” Valiza mempertahankan kesabarannya karena security kantor mulai melirik ke arahnya. Ia tidak mau membuat ‘skandal’ di hari pertamanya bekerja. 

“Ya udah kalau nggak mau. Udah ditawarin tapi sok jual mahal. Nggak tahu terima kasih!”

Tujuh anak ayam. Delapan anak ayam. Sembilan anak ayam. Se—

Berengsek! Menghitung anak ayam tidak membuat emosi Valiza bisa dikendalikan. Ia mencengkeram lengan atas adik tirinya hingga adiknya itu meringis. 

“Tolong ya, lo kalau ngomong pake otak. Otak dikasih sama Tuhan buat dipake, bukan buat lo simpan di tempurung kepala dan lo jadikan pajangan,” desis Valiza mencengkeram lengan atas Arista dengan lebih kuat.

“Sakit, Val. Kok kamu kasar banget sih?” Mata Arista mulai berkaca-kaca. Ia menoleh pada Raka sambil mengerjapkan mata. “Sakit, Ka.” rengeknya manja.

Raka menggaruk tengkuk salah tingkah. “Val, bisa lepasin dulu tangannya. Arista kesakitan.”

WTF! Valiza melepaskan tangan Arista dengan dada bergemuruh hebat. Rasa sesak, kesal, sedih, benci, dan juga dendam bercampur menjadi satu. Hingga membuat Valiza ingin berteriak sekuat-kuatnya demi melepaskan emosi yang berkecamuk di dalam dadanya saat ini.

Ia lalu menatap Raka. Sumpah, setengah mati ia ingin menghajar wajah pria itu. Meninjunya habis-habisan. Memukulnya dengan batu atau bahkan menggorok lehernya dengan pisau. Valiza ingin melakukan itu semua.

Namun, hal itu hanya bisa menjadi angan-angan di benaknya. Karena nyatanya, di balik rasa marah yang ia simpan. Ia masih menutup rapat-rapat rasa cinta yang takut ia lepaskan. Ia genggam rasa cinta itu dan ia peluk dalam kesepian. 

Tanpa mengatakan apa pun, Valiza membalikkan tubuh dan kembali masuk ke kantor. Menuju tangga darurat dan menaikinya satu per satu dengan langkah goyah.

Valiza benci menangis. Ia sudah bersumpah tidak akan pernah menangisi Raka lagi dalam hidupnya. Ia berjalan cepat menaiki tangga hingga sampai pada lantai teratas dan membuka pintu menuju atap. Mencabut kunci yang tertanam di sana. Menggenggamnya erat.

Valiza melangkah dan berdiri di sana. Membiarkan sinar matahari sore menembus matanya. Ia tetap berdiri di sana. Menarik napas, kemudian berteriak.

“Harusnya gue! Bukan lo!” ia berteriak kencang. “Nyokap lo ambil bokap gue gitu aja! Nyokap lo ambil posisi nyokap gue gitu aja. Dia ambil semua yang bukan hak dia!” ia menumpahkan amarah pada kebisingan kota Jakarta menyambut senja.

Hanya angin yang menjawab amarah itu. Berputar dalam pusaran angin sore dan menjadikannya pendengar bagi ratapan senja.

“Gue benci lo! Gue benci nyokap lo!” Valiza mengusap pipinya yang tanpa ia sadari telah basah sejak tadi. “Gue benci elo, BERENGSEK!” lalu gadis itu kembali berteriak sekuat-kuatnya hingga tenggorokannya terasa sakit. Namun, rasa sakit itu tidak seberapa dibanding rasa sakit yang bersarang di dadanya.

“Harusnya lo dan nyokap lo nggak pernah hadir di hadapan gue.” Ia terisak dan mengusap pipinya kesal. “Gue nggak sudi nangis buat lo!” ujarnya marah. Mencoba menghentikan air matanya. Namun, air mata kecewa itu kembali mengalir. “Berhenti, sialan. Jangan nangis lagi!” ia membentak dirinya sendiri yang menangis. 

“Menangis nggak akan bikin seseorang terlihat lemah.”

Sebuah suara terdengar di belakang Valiza. Secepat kilat, gadis itu berbalik dan menatap sesosok tubuh yang bersandar santai di pintu atap. Valiza segera mengusap wajahnya, mencoba menghilangkan jejak-jejak air mata yang membekas di sana.

“Bapak ngapain di situ?” 

Dimas hanya menatapnya tenang. “Saya sudah berdiri di sini sejak tadi. Saat lagi santai, tiba-tiba kamu masuk dan langsung teriak-teriak di depan saya.”

“Harusnya Bapak pergi aja kalau nggak mau dengerin teriakan saya.” Terkadang, wanita akan bersikap ketus demi menyembunyikan rasa malu mereka. Hal itulah yang dilakukan Valiza saat ini.

“Saya sudah berniat pergi saat kamu pertama kali berteriak, tapi kunci yang biasanya ada di pintu ini nggak ada. Dan pintunya terkunci,” Dimas menjawab tenang.

Valiza menunduk, menatap kunci dalam genggamannya.

Ia memalingkan wajah malu. “Ya harusnya Bapak tutup kuping aja tadi,” ujarnya begitu saja untuk menyembunyikan wajahnya yang marona malu.

“Tadi saya udah tutup kuping sama nutup mata juga,” Dimas menjawab dengan nada datar. “Tapi saya nggak sengaja buka mata dan lihat kamu nangis di sana. Jadi maaf atas ketidaksengajaan saya melihat kamu menangis. Saya bersumpah akan melupakan kejadian ini dan berpura-pura tidak pernah melihatnya. Saya berjanji,” kata pria itu cepat.

Entah bagian mana yang lucu, tapi Valiza menggigit bibir untuk menahan tawa. Katakan saja ia gila. Ia tertawa untuk hal yang tidak ada unsur lucu di dalamnya.

“Kuncinya ada di saya.” Ia mengangkat kunci dan memperlihatkannya pada Dimas.

“Saya tahu. Makanya saya tunggu sampai kamu tenang baru saya bicara.”

Lagi-lagi, Valiza mengulum senyum.

“Bapak mau keluar?”

Dimas menggeleng. Maju dan mendekati Valiza. “Saya ingin tunjukkan sesuatu buat kamu.” Pria itu lalu melangkah ke sisi barat atap dan berdiri di sana. Awalnya, Valiza hanya memperhatikan itu dengan kening berkerut. Namun, saat Dimas berpaling padanya. Ia akhirnya menggerakkan kaki dan berdiri di samping pria itu.

“Mungkin ini bukan pemandangan yang indah bagi kamu,” pria itu menatap ke depan, “tapi pemandangan yang cukup menarik buat saya.”

“Ha?” Valiza tidak mengerti sama sekali dengan arah pembicaraan Dimas padanya.

“Lihat matahari itu.”

Meski bingung, Valiza akhirnya menatap ke depan, pada matahari yang semakin condong ke barat. Mata Valiza terpaku pada senja yang mulai terlihat. Mungkin, matahari itu tidak tenggelam seperti matahari di tengah laut. Tapi, melihat matahari mulai menghilang dari balik gedung-gedung tinggi di sekelilingnya merupakan pemandangan yang benar kata Dimas, cukup menarik.

Baik Dimas maupun Valiza tidak bersuara. Mereka hanya terpaku pada elegi senja yang mulai terlihat berwarna jingga.

Sebagian perempuan memang wanita lemah. Namun, mereka tidak akan pernah menunjukkan kelemahannya kepada siapa pun, bahkan kepada dirinya sendiri.

Sebagian perempuan memang pandai berpura-pura. Berpura-pura bahagia meski hatinya terluka. Berpura-pura tertawa meski matanya hendak mengeluarkan air mata.

Tidak semua perempuan bisa berlagak seperti Wonder Woman. Namun, ada kalanya Wonder Woman sekalipun bisa merasa lelah menghadapi dunia.

Jadi, jangan pernah takut saat berada di titik jenuh hidup kita. Karena, superhero sekalipun pernah berada di titik jenuh dalam hidupnya.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Relationsweet
Selanjutnya RelationSweet: Bab 3-5
5
0
Valiza bekerja sebagai asisten baru di Showroom milik Dimas. Hari pertama bekerja, Valiza mendapati Dimas tengah memeluk seseorang dengan jenis kelamin yang sama di toilet pria.Saat itu Valiza tidak tahu bahwa Dimas adalah bosnya, saat gadis itu diberitahu, ia pasrah apabila dipecat. Tapi Dimas tidak memecatnya. Dengan tenang, Dimas meminta Valiza untuk melupakan kejadian itu.Valiza yakin Dimas itu gay. Tapi kenapa setiap kali berdekatan dengan pria itu, jantungnya berdebar-debar tidak karuan?
Komentar dinonaktifkan
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan