
Kanaya, putri bungsu keluarga Zahid-Wijaya patah hati karena pria yang dicintainya menikah dengan perempuan lain. Pertemuan tidak sengaja dengan Javier Rahadian membuat Kanaya merasa bahwa dunia tidak runtuh sepenuhnya. Namun, pria itu dingin dan tidak berniat menjalin pertemanan, apalagi sebuah hubungan.
Kanaya terus mendekatinya, dan sampai pada suatu ketika, sebuah rahasia tentang Javier terkuak ke permukaan. Tentang masa lalu pria itu yang begitu kelam.
Bagaimana cara Kanaya dan Javier mengatasi itu semua?
Prolog
“Kamu mau kemana?”
Kanaya menatap kakak lelakinya yang baru saja keluar dari kamar Bunda.
“Mau ke mall.”
“Sendirian?”
“Hm, kenapa?”
“Mau Abang temenin?”
Kanaya menggeleng. “Mau sendiri aja, lagian Abang kan nanti mesti jemput Teteh di rumah Bang Radhi.”
Teteh yang Kanaya maksud adalah istri Alfariel, Arabella.
“Nanti bisa sekalian jemputnya.”
“Nggak mau.” Kanaya sudah lelah sekali terus-terus saja dibuntuti oleh saudara-saudaranya. Entah itu Alfariel ataupun Aaron, mereka berdua suka sekali mencampuri setiap kegiatan Kanaya, terkadang hal itu membuat Kanaya merasa dirinya adalah seorang tahanan. Tapi ia sendiri juga mengerti bahwa kedua kakak lelakinya melakukan itu karena mereka ingin Kanaya aman. Hanya saja ia sudah merasa lelah diperlakukan seperti seorang anak kecil. “Aku pergi, bye.”
“Hati-hati, kalau ada apa-apa telepon Abang ya.”
Kanaya membuat gerakan dengan tangannya sebagai isyarat dari kata ‘oke’. Gadis itu masuk ke dalam mobil dan melajukan kendaraannya menuju salah satu mall terbesar di Jakarta Pusat.
Sebenarnya Kanaya hanya ingin mencari kesibukan di hari liburnya. Terus-terusan berada di rumah membuatnya sakit kepala, terlebih jika ada Tante Lisa yang datang berkunjung dan membicarakan masalah pernikahan putranya. Kanaya merasa ingin sekali berteriak protes, tapi ia menahan diri. Ia tidak ingin semua orang mengasihaninya, cukup sudah ia mendekam di dalam kamar selama berhari-hari karena patah hati, dan kini ia bertekad tidak akan menangis meraung-raung lagi.
Lagipula patah hati bukan akhir dari segalanya.
Kanaya tidak tahu bagaimana akhirnya ia berada di bioskop ini. Menonton film seorang diri saat sedang patah hati adalah hal paling mengenaskan. Tapi ia tidak peduli. Kanaya butuh sesuatu yang membuatnya merasa bahwa semua baik-baik saja. Ia bisa saja mengajak salah satu sepupunya untuk menamaninya disini, tapi Kanaya merasa sudah cukup bergantung dengan orang lain selama ini. Ia ingin menyelesaikan masalahnya seorang diri. Ia bukan lagi gadis muda yang lemah, yang selalu bergantung pada keluarga, atau kepada kedua kakak lelakinya. Usianya bahkan sudah hampir kepala tiga beberapa bulan lagi.
Bukankah ia sudah bisa dikategorikan sebagai manusia yang memasuki usia ‘tua’?
Ah, ia benci jika harus membahas soal umur.
Kanaya memilih —yang dalam keadaan normal, ia tidak akan menontonnya— film horor, ia benci film seperti itu. Tapi kini ia akan menontonnya sendirian.
Tidak banyak yang menonton film horor pada hari Sabtu ini, pasangan muda mudi akan memilih menonton film romantis dari pada horor pembunuhan seperti ini.
Tapi siapa yang peduli?
Kanaya duduk dan mulai memakan popcorn-nya, ia menikmati iklan-iklan yang ditampilkan sebelum film diputar. Ia masih duduk disana dengan santai saat film baru memasuki menit kelima, rasanya masih belum menakutkan.
Namun, pada menit ke lima belas. Kanaya mulai menjerit dengan keras
Satu
Kanaya memuntahkan semua popcorn yang ia kunyah tadi di toilet bioskop. Semua yang ia telan telah keluar kembali. Wanita itu terbatuk lalu mengelap mulutnya dengan tisu, setelah menekan tombol flush kloset, ia keluar dari bilik toilet untuk berkumur di wastafel.
Matanya berair, Kanaya mengusap ujung matanya, lalu menatap dirinya dari pantulan cermin. Lalu wanita itu tertawa. Membuat beberapa wanita yang berada disana menatapnya seolah Kanaya adalah orang yang tidak waras. Karena patah hati terkadang memang membuat seseorang menjadi tidak waras.
Setelah puas tertawa —dan ia tidak peduli jika dianggap sebagai orang gila— Kanaya keluar dari toilet, ternyata menonton film horor pembunuhan itu menyenangkan, meski membuatnya mual dan muntah, tapi sensasi menakutkan dan menegangkan yang ia dapatkan membuatnya ketagihan. Davina sangat suka menonton film seperti ini, lain kali ia akan mengajak istri dari sepupunya itu untuk menonton film bersama.
Kanaya keluar dari gedung bioskop menuju salah satu restoran mewah di dalam mall itu. Lalu ia memesan makanan dan menghabiskan hampir dua porsi makanan seorang diri.
Setelah puas menjerit, muntah dan makan sampai kenyang, kini Kanaya bingung harus pergi kemana lagi. Ia tidak memiliki banyak teman, kalaupun ada, mereka bukanlah orang-orang yang bisa di ajak bersenang-senang menghabiskan hari libur dengan cara seperti ini. Cara mereka bersenang-senang biasanya adalah di kelab malam yang dipenuhi alkohol, asap rokok dan lelaki hidung belang.
Hm…
Kanaya tampak berpikir sejenak dan melirik pergelangan tangan dimana arloji mewahnya melingkar. Masih cukup waktu untuk membeli gaun dan melakukan serangkaian perawatan diri di salon, apa sebaiknya ia pergi ke sebuah kelab malam dan menghibur diri disana?
Namun, siapa yang akan menamaninya disana? Ia jarang sekali memasuki tempat seperti itu, atau lebih tepatnya hanya beberapa kali dan itupun hanya untuk menghadiri pesta ulang tahun salah satu temannya. Biasanya ia pergi kesana ditemani oleh salah satu saudaranya.
Kanaya menghela napas. Alfariel pasti akan mengamuk kalau ia meminta pria itu untuk menamaninya ke kelab malam, Aaron…meski kakak sulungnya itu tidak akan marah-marah, tapi pasti akan bersikap seperti seorang sipir penjara yang akan terus mengawasinya dengan tatapan tajam.
Jadi, apa sebaiknya ia pergi sendirian saja?
Atau ia perlu menghubungi Rafan yang akan senang hati menemaninya?
Ah, pria itu juga pasti sedang sibuk sekarang bersama istrinya.
Memutuskan untuk tidak berpikir panjang, Kanaya pergi ke sebuah butik pakaian mewah untuk mencari gaun malam. Karena celana jeans dan kaus yang ia kenakan sekarang tidak akan cocok ke tempat seperti itu. Setelahnya, wanita itu pergi ke salah satu salon terkenal dan memanjakan dirinya disana.
“Mau ke pesta?”
Kanaya menatap Jodi, salah satu penata rias paling terkenal saat ini.
“Nggak juga sih.” Wanita itu menatap pantulan dirinya di cermin dan tersenyum. Sosok wanita lugu dan manis yang selama ini terlihat di wajahnya kini bergantikan dengan wanita elegan bermata cokelat dengan bibir yang penuh.
“Gaunnya seksi bingits deh. Tapi cucoook.” Jodi menatap Kanaya dari ujung kaki hingga kepala dan tersenyum jemawa. Hasil karya yang luar biasa. Tubuh Kanaya bak seorang model profesional, tinggi semampai dan memiliki lekuk yang pas. Payudaranya tampak penuh namun tidak terlihat berlebihan. Gaun pendek dengan potongan Sabrina berwarna merah maroon itu memang membuat wanita itu terlihat menakjubkan. Terlebih dengan gaun yang sangat pas membalut tubuh indahnya.
Kanaya ikut tersenyum menatap kaca, lalu mengulurkan tangan untuk memeluk Jodi, mengecup pipi kirinya sambil mengucapkan terima kasih.
“Have fun, Girl. Jangan lupa pakai pengaman yah, biar nggak kebobolan gawang.” Jodi mengedipkan sebelah matanya dan Kanaya hanya tertawa untuk menutupi kegugupan yang ia rasakan.
Ia adalah wanita yang akan memasuki kepala tiga, tapi pengalamannya tentang dunia malam dan pria sama saja dengan anak remaja yang baru memasuki usia puber, bahkan anak SMA masa kini lebih mengenal pria dibandingkan dirinya.
Kanaya mengemudikan Audi hitam miliknya ke kelab malam paling terkenal saat ini di Jakarta Selatan. Kelab itu kebetulan milik sahabat Davina —istri sepupunya— dan tentu akan dipenuhi oleh manusia-manusia pencari kesenangan di malam minggu seperti ini.
Terbiasa bersikap anggun dan polos, Kanaya berusaha keras untuk terlihat dingin dan elegan. Karena ia tidak ingin menjadi mangsa lelaki hidung belang yang mencari kesempatan. Kanaya masuk dan duduk di kursi tinggi yang ada di meja bar.
Dion terbelalak melihat wanita itu.
“Naya.”
Kanaya tersenyum, melambai untuk memanggil Dion mendekat. “Jangan kasih tahu yang lain aku disini. Okay?”
“O-okay.” Dion mengangguk. Ia sudah terbiasa menghadapi sikap sesuka hati dari keluarga Zahid, jika mereka memintanya untuk tutup mulut, maka itulah yang akan ia lakukan. Lagipula ia tidak ingin kelabnya menjadi terbakar secara misterius. “Wine?”
Kanaya mengangguk. Dion mengisi gelas dengan anggur merah yang mahal lalu menyodorkannya kepada Kanaya. Pria itu tahu, di antara semua anggota keluarga Zahid, Kanaya adalah wanita yang paling polos, anggun, dan tidak banyak ulah namun sangat manja. Mendapati gadis itu disini cukup mengejutkan untuk Dion. Tapi ia tidak berhak mencampuri urusan mereka. Mungkin ia bisa menjaga gadis itu malam ini dari kejauhan dan membiarkan gadis itu bersenang-senang. Pasti ada alasan kenapa Kanaya bisa datang ke kelab malam ini.
“Lagi suntuk?”
“Nggak juga.” Kanaya menyesap anggurnya. Dari cara wanita itu menyesap minuman, orang-orang mungkin akan terkecoh dan menganggap Kanaya sangat berteman erat dengan alkohol, tapi Dion tahu, Keluarga Zahid pandai memanipulasi orang lain. Orang lain mungkin akan tertipu, tapi tidak dengan dirinya.
“Tumben kesini.”
“Kenapa?” Kanaya menoleh dan menatap Dion dingin. “Keberatan?”
“Nggak dong.” Buseeeet. Dingin amat. Dion berujar dalam hati. “Cuma tumben aja ngeliat kamu disini malam ini.”
Kanaya hanya mengangat bahu acuh dan memegang gelas minumannya, lalu bangkit berdiri dan menjauh. Dion mengamati dari balik meja bar. Dengan begitu ramainya pengunjung malam ini, tentu Dion tidak bisa mengamati kemana Kanaya pergi, wanita itu menghilang di tengah kerumunan orang-orang yang tengah menikmati alkohol dan rokok.
“Sial.” Umpat Dion dan keluar dari meja bar untuk mencari Kanaya.
Sedangkan saat itu, Kanaya sudah setengah mabuk dan bersandar di dekat toilet. Kepalanya terasa pusing. Wanita itu meringis sambil memegangi kepalanya, lalu terkesiap saat tiba-tiba seorang pria datang dan menghalangi jalannya.
“Minggir.” Kanaya mencoba mendorong pria itu. Tapi pria itu bergeming, ia meraih tangan Kanaya dan membawanya ke dalam toilet pria.
Kanaya berontak, pria asing ini sepertinya mabuk.
“Lepas!” Kanaya berteriak, tapi tidak memiliki cukup tenaga untuk melawan saat pria itu mendorongnya masuk ke dalam toilet.
Pria asing yang mabuk itu menatap tubuh Kanaya dengan tatapan lapar, ia menarik tangan Kanaya saat wanita itu mencoba kabur, mendorong Kanaya ke dinding dan menahannya disana.
“Jangan pura-pura jual mahal, Manis.” Pria itu tersenyum menggoda, mendesak Kanaya ke dinding.
Kanaya mulai gemetar ketakutan. Harusnya ia tidak datang kesini malam ini, harusnya ia di rumah saja dan menangisi Richard yang akan menikah dua minggu lagi. Seharusnya ia…
Pria itu mulai menahan kedua tangannya dan menciumi wajahnya. Kanaya berontak dan mencoba menghindar, berteriak meminta pertolongan. Pria itu mencumbu lehernya dengan sangat bernafsu.
Kanaya sudah menangis dan mengutuki diri, kepalanya sakit, pandangannya mengabur dan tubuhnya terasa lemah karena alkohol, seseorang yang memiliki sabuk hitam karate seperti dirinya seharusnya bisa menangani masalah ini, tapi ternyata alkohol benar-benar membuatnya kewalahan.
Kanaya mendorong sekuat tenaga dan berhasil membuat pria itu terjungkal ke belakang, Kanaya memanfaatkan kesempatan itu untuk mencoba lari, tapi terjatuh karena heels yang ia kenakan terlalu tinggi. Sial, pria itu menangkap sebelah kakinya, Kanaya mencoba menendang tapi pria itu berhasil menghindarinya dan menarik tubuh Kanaya secara kasar. Kanaya berteriak.
Lalu kejadian itu begitu cepat saat seseorang datang dan menarik dirinya, seseorang menendang kepala pria yang mabuk itu. Pria itu tergeletak begitu saja di atas lantai sambil mengerang karena tendangan itu sangat kuat.
“Kamu baik-baik saja?” Kanaya menoleh, menemukan seorang pria asing berseragam bartender memegangi kedua bahunya yang bergetar. “Kamu bisa berdiri?”
Kepala Kanaya terasa berputar dan perutnya mual luar biasa.
“Apa kamu bisa—”
Kalimat pria itu terhenti saat Kanaya memuntahinya tepat di dada. Pria itu memelotot melihat kotoran di pakaiannya.
“Naya!” Suara Dion mendekat, pria itu berjongkok di samping Kanaya dan menatap gadis itu. “Kanaya, kamu baik-baik aja?”
Kanaya menatap Dion yang baru saja datang dengan tatapan memburam, lalu wanita itu kehilangan kesadarannya begitu saja.
***
Dion membaringkan Kanaya di ranjangnya, ia menatap bartender yang tadi menolong Kanaya.
“Lo bisa ganti pakaian di kamar mandi gue, lo juga bisa memakai seragam gue.”
Namun, Javier hanya berdiri disana dan menatap Kanaya yang pingsan. “Kenalan lo?” Ia menoleh pada Dion.
“Ya, adik ipar dari sahabat gue.”
Javier tidak memberikan tanggapan dan menangkap kemeja yang Dion lemparkan padanya, pria itu masuk ke dalam kamar mandi dan membersihkan dirinya disana. Ia tadi berniat ke toilet untuk buang air kecil, tapi begitu memasuki toilet, yang ia temukan adalah seorang wanita yang tengah dilecehkan oleh seorang bajingan yang tengah mabuk.
Ia bisa saja berpura-pura buta dan menyelesaikan urusannya sendiri seperti biasanya, lagipula ia bukan pria baik yang harus menolong seorang wanita yang tengah jual mahal, Javier sudah terbiasa melihat pemandangan seperti itu dimana seorang wanita akan jual mahal namun menikmati semua sentuhan pria di tubuhnya.
Tapi sesuatu membuatnya berubah pikiran, wanita yang ia lihat itu menangis. Biasanya wanita-wanita murahan itu tidak akan menangis, tapi wanita yang ini menangis, dan ketika Javier memegangi bahunya, tubuh wanita itu bergetar ketakutan.
Saat Javier keluar dari kamar mandi, wanita yang ia tolong tadi sudah sadarkan diri, tengah duduk bersandar lemas di kepala ranjang Dion sambil meringis memegangi kepalanya. Dan saat itulah wanita itu menatapnya.
Javier terdiam, menatap sepasang mata cokelat itu menatapnya.
Javier berniat pergi dari kamar itu untuk kembali ke lantai satu, ia harus meneruskan pekerjaannya, tapi suara wanita itu menghentikannya.
“Terima kasih atas bantuan kamu tadi.”
Javier berhenti melangkah dan menoleh. “Lain kali berhati-hatilah.” Ujarnya datar.
“Sekali lagi terima kasih.”
Javier tidak memberikan tanggapan apa-apa dan keluar dari kamar itu, ia menuruni rangkaian anak tangga menuju lantai satu, saat itulah ia berpapasan dengan Dion yang tengah menaiki rangkaian anak tangga.
Javier tidak mengatakan apa-apa. Tidak juga memberitahu Dion bahwa wanita kenalannya itu sudah siuman, pria itu hanya terus berjalan dan kembali ke balik meja bar, melanjutkan pekerjaannya.
Beberapa jam kemudian, Javier keluar dari pintu belakang, ia berjalan sambil memakai jaket kulit dan menenteng helm di tangan. Namun, langkahnya terhenti saat melihat siapa yang tengah duduk di kap depan mobil mewah di depannya.
Wanita itu duduk bersila di atas kap mobil, mengenakan celana panjang dan kaus lengan panjang yang kebesaran, ia mengikat asal rambut yang sebelumnya tertata, tengah bermain ponsel. Saat melihat kedatangan Javier, wanita itu buru-buru menyimpan ponselnya ke dalam tas dan turun dari kap mobil.
“Ada apa?” Javier bertanya datar.
Wanita itu berdiri salah tingkah di depannya, terlihat begitu lucu mengenakan celana dan baju yang kebesaran. Namun, Javier hanya menatapnya datar tanpa ekspresi.
“H-Hai…” Wanita itu menyengir.
Javier hanya menaikkan satu alis.
“Aku…mau ngucapin terima kasih atas bantuan kamu.”
“Kamu sudah katakan itu tadi.” Ujar Javier kembali melangkah mendekati motor besarnya yang terparkir tidak jauh dari sana.
“Ng… aku benar-benar ngucapin terima kasih. Apa yang kamu lakukan tadi sangat berarti untuk aku, aku—”
Wanita itu mengatupkan mulutnya saat Javier menoleh dengan wajah dingin. Javier memalingkan wajah dan kembali melanjutkan langkahnya.
“Soal tadi, aku mau minta maaf.” Javier naik ke atas motor dan menatap wanita yang berdiri tidak nyaman berjarak dua meter darinya. “Aku nggak bermaksud muntah di tubuh kamu, tapi⎯”
“Lupakanlah.” Javier memakai helm dan menjalankan kendaraannya, namun hanya berjarak beberapa meter, Javier menghentikan kendaraannya dan membuka helm, menoleh pada wanita yang masih berdiri di tempatnya. “Pulanglah. Sudah hampir subuh.”
Wanita itu mengangguk dan segera masuk ke dalam mobil mewahnya.
Javier hanya menatap datar mobil itu.
Pria itu memandang sinis dan memakai helmnya kembali, lalu melajukan motornya dengan kecepatan sedang, meninggalkan pelataran parkiran itu.
Sedangkan saat itu, Kanaya memerhatikan motor besar itu melaju kencang meninggalkannya. Wanita itu menghela napas. Ia sengaja menunggu Javier untuk berterima kasih sekaligus meminta maaf karena sudah kurang ajar muntah di tubuh pria itu, tapi sepertinya pria itu tidak mengharapkan ucapan terima kasih ataupun permintaan maaf darinya.
Dasar sombong!
Kanaya berujar sebal. Tapi ia tetap merasa berterima kasih kepada pria itu. Pria itu bisa saja mengabaikannya begitu saja seperti beberapa pria yang tadi sempat masuk ke dalam kamar mandi, mereka pura-pura buta pada pelecehan yang terjadi di depan mata, tapi pria itu menolongnya.
Jadi sudah seharusnya ia berterima kasih, bukan?
Dua
Kanaya pulang ke apartemennya sendiri dan terkejut saat melihat Kaivan sudah ada disana.
“Baru pulang?”
“Hm,” Kanaya duduk di sofa, lalu merebahkan dirinya disana.
Sedangkan Kaivan menatap pakaian yang Kanaya kenakan. “Pakai baju siapa?”
“Dion.” Wanita itu meluruskan pinggangnya dan berbaring telentang.
“Kamu ke kelab? Dan baru pulang subuh begini?”
Kanaya menatap kakak sepupunya itu, lalu mengulurkan tangan, Kaivan menyambutnya dan duduk di lantai, bersandar di sofa, merebahkan kepalanya di dekat kepala Kanaya.
“Kakak kenapa lagi?”
Kaivan menghela napas dan menatap langit-langit ruang tamu Kanaya, ia memiliki adik perempuan, namun kini adiknya itu tengah menempuh pendidikan di luar negeri. Dan selain adiknya, Kanaya adalah orang kedua yang sangat Kaivan sayangi.
“Sampe sekarang Kakak nggak tahu lagi mau cari Anna dimana.” Kaivan menghela napas.
Kanaya memeluk leher Kaivan dan mendekatkan kepala mereka. “Kak Anna pasti baik-baik aja.”
Anna memang menghilang secara misterius. Anna adalah istri Kaivan, yang dulunya hanya istri pengganti. Namun, setelah Kaivan pikir mereka akan bahagia, Anna menghilang begitu saja. Semua hal sudah ia lakukan, termasuk menyewa detektif dan meminta bantuan keluarga Reavens, bahkan Marcus dan Justin juga ikut turun tangan. Namun, hingga kini Anna tidak ditemukan. Kaivan merasa sangat janggal tentang hal ini, seolah keberadaan Anna memang sengaja disembunyikan.
“Kak Zalian nggak bisa cari Kak Anna memangnya?”
“Justru itu…” Ujar Kaivan pelan. “Kakak ngerasa kalau ada yang Zalian tutupin dari Kakak.”
“Masa sih?” Pasalnya, Zalian adalah kerabat terdekat mereka. Bahkan, meski mereka sama sekali tidak memiliki ikatan persaudaraan, Zalian sudah seperti bagian dari keluarga.
“Kakak tahu ada yang dia sembunyikan dari Kakak.”
“Kakak nggak bisa paksa dia buat bicara?”
“Kamu pikir Kakak belum coba?”
Kanaya menghela napas. “Kak Anna pasti bisa ditemuin, Kakak jangan nyerah ya.”
“Hm.” Kaivan memejamkan mata dan membiarkan Kanaya membelai kepalanya. “Kamu ngapain ke kelab? Pulang-pulang pakai baju Dion lagi.” Mata Kaivan terbuka dan menatap adiknya itu. “Kamu habis ngapain?” Ia menatap Kanaya tajam.
“Nggak ngapa-ngapain, tadi aku cuma muntah. Gaunku kena.”
“Kamu nggak macam-macam kan, Nay?”
Kanaya memutar bola mata. Inilah yang selalu kakak-kakaknya lakukan, mereka bersikap seolah-olah Kanaya adalah anak ABG yang masih sangat labil.
“Kak, aku udah dewasa.”
Kaivan tertawa. Menepuk pipi Kanaya pelan. “Iya, Kakak tahu.” Ia kembali meletakkan kepalanya di sofa. “Ternyata kalau patah hati, kamu bisa nekat juga ya.” Ledeknya sambil tertawa kecil.
“Kakak bilang apa?” Kanaya menjambak rambut Kaivan hingga membuat Kaivan mengaduh.
“Sakit, Nay.”
“Ledek aku lagi, aku botakin kepala Kakak!” Kanaya menjambak rambut itu semakin kuat.
“Nay, Kakak bisa botak beneran loh.”
“Bodo.”
Tapi Kanaya melepaskan kepala Kaivan dan berganti mengusapnya. “Patah hati tuh nggak enak banget ya, Kak.” Keluh Kanaya dengan suara pelan. “Rasanya mau ngapa-ngapain tuh nggak enak banget.”
Kaivan tersenyum kecil, menatap adiknya. “Nggak akan lama kok sakitnya, bentar lagi kamu juga nggak bakal ngerasain apa-apa lagi buat dia.”
“Kayak Kakak ke Carla?”
Kaivan mengangkat bahu. “Tapi yang Kakak rasain sekarang beda, saat Kakak tahu Anna pergi, rasanya kayak seluruh hidup Kakak juga dibawa pergi.”
Kanaya kembali memeluk bahu Kaivan. “Artinya Kakak beneran cinta sama Kak Anna.”
“Dan artinya kamu juga nggak begitu cinta sama Richard.”
Anna merengutkan bibir. “Emangnya bisa gitu?”
Kaivan menoleh. “Kamu cuma ngerasain sakit, kan? Bukan ngerasa dunia kamu sekarang udah runtuh?”
Kanaya berpikir sejenak, lalu menggeleng. “Aku cuma ngerasa sakit aja, disini.” Ujarnya meletakkan telapak tangannya di dada.
“Artinya cinta kamu nggak seberapa buat Richard, sewaktu kamu tahu dia mau nikahin orang lain, kamu cuma ngerasa sakit disini,” Kaivan menunjuk dada Kanaya. “Tapi kamu masih merasa dunia kamu baik-baik aja.”
“Tapi tetap aja sakit, Kak.” Keluh Kanaya parau. “Rasanya tuh kayak dada aku ditusuk-tusuk sama pedang.”
“Sakit kamu bakal reda saat kamu sadar kalau dia bukan orang yang tepat buat kamu.”
Kanaya menatap kakaknya. “Tapi aku cinta sama dia.”
Kaivan mengangguk. “Kamu harus lebih cinta sama diri kamu sendiri. Kalau dia cinta sama kamu, dia bakal ngajak kamu nikah, bukan ngajak orang lain. Artinya cinta kamu ke dia udah disia-siain. Dan kamu masih mau sama orang yang udah sia-siain perasaan kamu?”
“Tapi aku cinta sama dia, gimana dong?” rengek Kanaya.
“Nggak apa-apa.” Kaivan menepuk-nepuk puncak kepala Kanaya. “Kamu cuma butuh waktu buat sadar kalau ternyata kamu nggak secinta itu sama dia.”
“Tapi prosesnya lama.”
“Ya dinikmati aja, namanya juga hidup. Nggak selamanya hidup itu berjalan sesuai dengan apa yang kamu mau.”
“Duh, bijak banget sih.” Kanaya tersenyum mengejek kepada Kaivan. “Sejak ditinggalin Kak Anna pergi, Kakak tuh jadi kayak Abi, tahu nggak?”
Kaivan tertawa, “Kamu lupa kalau Kakak ini lebih sering sama Abi ketimbang sama Papa?”
Karena sejak kecil Kaivan memang lebih sering dirumah Kanaya ketimbang dirumahnya sendiri. Karena ia adalah teman bermain Alfariel dan Aaron, jadi ia lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah Kanaya.
“Kakak belajar banyak dari Anna,” Kaivan menatap langit-langit ruangan lagi. “Dia mengajarkan Kakak gimana caranya memaafkan dengan tulus, padahal Kakak sudah nyakitin dia sampe bikin Anna trauma, tapi dia masih bisa kasih Kakak senyuman yang tulus.” Tanpa sadar airmata Kaivan membasahi wajahnya. “Dari film-film emosional yang dia tonton, Kakak jadi tahu selembut apa hatinya. Dan Kakak ngerasa udah bersalah banget selama ini.”
“Tapi Kakak berusaha buat memperbaiki kesalahan Kakak.” Kanaya menepuk-nepuk bahu Kaivan. “Kakak sudah jauh lebih baik sekarang.”
Kaivan menoleh dan menangis dalam pelukan Kanaya. Terisak disana.
“Kakak kangen Anna, Nay. Kangen banget.” Bisiknya parau dalam tangisan.
Kanaya memeluk erat bahu Kaivan yang bergetar karena tangis. Ia menepuk-nepuk punggung kakaknya sambil mengatakan. “Nggak apa-apa, Kak. Semuanya bakal baik-baik aja. It’s okay.” Bisiknya pelan. “Kakak sudah berjuang sejauh ini. Kakak hebat.” Ujarnya lembut. “Jangan nyerah.”
Kaivan terisak dalam pelukan adiknya karena sangat merindukan istri yang pergi meninggalkannya.
Kakak beradik itu menangis sambil berpelukan. Terkadang, dari luar, mereka akan terlihat sempurna. Terlihat baik-baik saja. Namun, tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya mereka rasakan. Tidak ada yang tahu luka apa yang mereka derita dan tidak ada yang tahu tangis apa yang mereka tahan.
Seseorang selalu menganggap hidup orang lain begitu sempurna. Tetapi, tidak ada yang sempurna di dunia ini. Bahkan orang yang memiliki segalanya pun, tidak akan menikmati hidup dalam kesempurnaan. Seseorang selalu melihat orang lain yang selalu tersenyum dan menganggap bahwa orang itu tidak memiliki masalah. Yang sebenarnya terjadi adalah orang itu pandai menutupi perasaannya dengan sebuah senyuman agar orang lain tidak tahu serapuh apa dirinya yang sebenarnya.
Orang yang selalu tersenyum dan tampak bahagia bukan berarti tidak pernah terluka. Mereka hanya terlalu pintar menutupinya.
Jangan pernah membandingkan dirimu dengan orang lain, tapi belajarlah untuk bersyukur atas apa yang kamu miliki saat ini. Karena Tuhan tidak pernah bersikap tidak adil kepada ciptaan-Nya.
***
Kanaya kembali memasuki kelab milik Dion beberapa hari kemudian, kali ini ia berjanji untuk tidak akan mabuk. Dan ia memasuki kelab itu dengan masih mengenakan pakaian kerja.
“Nay.”
Kanaya tersenyum mendekati Dion. “Hai, Kak.”
“Kamu ngapain kesini?”
Kanaya mengangkat bahu. “Baru pulang kerja, malas pulang ke rumah.”
“Kamu nggak bakal mabuk lagi, kan?” Kanaya tertawa sambil menggeleng, ia menatap kesana kemari untuk mencari seseorang. “Cari siapa?” Dion memicing ke arahnya.
Kanaya hanya menggeleng sambil tersenyum, lalu saat melihat meja bar di seberangnya, senyumnya kian lebar. Tanpa mengatakan apapun, ia meninggalkan Dion menuju meja bar dimana Javier berada.
“Dasar.” Ujar Dion pelan melihat Kanaya pergi begitu saja tanpa mengatakan sesuatu padanya. Anggota keluarga Zahid memang selalu suka bersikap seenaknya.
“Hai.” Kanaya duduk di kursi tinggi dan menyapa Javier. Pengunjung bar malam ini tidak seramai biasanya, mungkin karena ini masih hari kerja.
Javier menoleh sekilas, mengabaikan dan memilih melanjutkan pekerjaannya.
“Aku minta wine.” Ujar Kanaya.
Tanpa banyak bicara, Javier mengambil gelas dan menuang anggur disana, lalu meletakkannya di depan Kanaya.
“Soal kejadian tempo hari, aku—” Kanaya mengatupkan mulutnya saat melihat Javier menatapnya tajam. Wanita itu menyengir. “Okay, lupakan.” Ujarnya menyesap minuman.
“Aku Kanaya, kamu?”
Javier tidak menjawab, pria itu sibuk melayangi pelanggan lain.
Kanaya menghela napas. Sejujurnya ia merasa butuh teman bicara malam ini. Tapi malas jika harus menghubungi salah satu kakak-kakaknya. Mereka akan menjadi cerewet luar biasa.
“Kerja disini, udah berapa lama?” Kanaya kembali mencoba membangun percakapan. Dan lagi-lagi Javier mengabaikannya.
Kanaya berdecak kesal. Ia meraih gelas dan meminum habis anggurnya.
“Tambah.” Ujarnya kesal. Tanpa banyak bicara Javier menuangkan anggur ke gelasnya. Dan Kanaya kembali meminumnya sampai habis. Ia sama sekali tidak suka alkohol, tapi ia menikmati rasa anggur, meski sedikit pahit, tapi ada sedikit rasa manis yang ia rasakan.
Javier tidak bersuara sama sekali meski Kanaya mengajaknya bicara. Karena lelah terus-terusan bermonolog, Kanaya akhirnya diam dan memilih meminum anggurnya.
Entah gelas yang keberapa, Kanaya akhirnya meletakkan kepala di atas meja, wajahnya sudah memerah karena mabuk.
Suara musik tidak terlalu kencang, karena kelab milik Dion memang menyuguhkan tema yang berbeda setiap malam. Melihat banyaknya pengunjung yang duduk sendirian sambil menikmati anggur, maka musik yang diputar juga tidak terlalu kencang. Karena sebagian orang datang kesini untuk melepaskan lelah dan menyendiri setelah penat bekerja seharian.
“Kamu pernah ngerasa patah hati nggak?” Kanaya mengangkat kepala dan menatap Javier dengan mata yang tidak fokus. “Kak Kai bilang rasa sakitnya nggak akan lama, tapi tetap aja rasanya sakit.”
Wanita itu meletakkan kepala di atas meja. Lalu kembali mengangkat dan memadang Javier.
“Kamu pernah nggak sih perhatiannya sama siapa, terus nikahnya sama siapa. Hal begitu lagi musim ya sekarang?”
Tidak ada tanggapan.
Kanaya kembali meletakkan kepala di atas permukaan meja.
“Bilangnya ‘kita bakal terus sama-sama, Nay’ tapi tahu-tahu ngelamar orang lain. Jadi, aku ini apa?” Kanaya memejamkan mata sambil menghela napas lelah. “Selama ini aku dikentangin doang?”
Karena tidak ada tanggapan sama sekali, Kanaya mengangkat kepalanya dengan marah.
“Kamu manusia apa patung sih? Aku dari tadi ngomong sama kamu loh, bukan sama tembok!” bentaknya marah.
Tapi Javier hanya bersidekap menatapnya.
“Cowok tuh begitu yah, sukanya ngasih harapan palsu.” Lalu tanpa aba-aba, Kanaya menyiram wajah Javier dengan anggur yang masih tersisa di gelasnya. Tanpa mengatakan apa-apa, Kanaya beranjak pergi.
Tapi baru berapa langkah, lengannya di tahan oleh seseorang. Saat ia menoleh, Javier menatapnya marah. Kemeja putihnya kini bernoda merah. Wajah pria itu menatapnya dingin.
“Kamu pikir bisa pergi setelah siram aku begitu aja?”
“Kenapa?” Kanaya menatap sebal Javier. “Akhirnya kamu ngomong juga, aku pikir lagi ngomong sama tembok dari tadi.”
Javier menatap marah wanita itu, tapi baru hendak membuka mulut, Kanaya sudah bersandar di dadanya sambil memejamkan mata.
“Ck,” Javier berdecak kesal. “Heh.” Javier mengguncang bahu Kanaya, tapi wanita itu sudah tertidur sambil bersandar padanya.
“Kenapa dia?” Dion datang dan menyibak rambut Kanaya yang menutupi wajahnya. “Tidur?”
“Mabuk.” Ujar Javier datar, lalu mendorong tubuh Kanaya ke arah Dion yang segera menangkapnya. “Teman lo bikin susah.” Ujar Javier ketus.
“Biasanya dia nggak banyak ulah.” Ujar Dion sambil mengangkat tubuh wanita itu ke dalam gendongannya. “Kenapa dia jadi gini ya?” pria itu membawa Kanaya ke kamarnya yang berada di lantai tiga.
Javier hanya memandang kepergian Dion dalam diam. Tidak memberikan komentar apa-apa.
***
Kanaya sudah muntah dua kali di kamar mandi Dion. Sedangkan sahabat kakak sepupunya menunggu di sofa sambil menatap miris ke arah kamar mandi.
Kanaya keluar dari kamar mandi dengan rambut acak-acakan. Ia duduk di tepi ranjang dan menerima segelas air lemon dari Dion.
“Kenapa sih, Nay? Biasanya nggak begini loh.”
“Lagi patah hati.” Ujar Kanaya cemberut dan berbaring di ranjang Dion.
“Terus mabuk-mabuk, gitu?” Dion memarahi Kanaya seperti ia memarahi adiknya sendiri, meski ia sebenarnya tidak punya adik.
“Kakak nggak tahu sih rasanya patah hati itu gimana.”
“Kamu pikir aku nggak punya perasaan apa?” Gerutu Dion dengan suara pelan.
“Memangnya Kakak pernah patah hati?”
“Menurut kamu?”
Kanaya memicing, menatap Dion. “Sama siapa?”
“Sama manusia lah.” Ketus Dion sebal.
Kanaya menatap lekat pria itu. “Davina?” tebaknya tepat.
Dion kelabakan dan menutupinya dengan berpura-pura batuk. Kanaya duduk di atas ranjang meski meringis karena kepalanya terasa sakit. Lalu wanita itu tertawa terbahak-bahak. Dion memelotot padanya.
“Jadi benar ya,” Kanaya berujar sambil mengusap pipinya yang basah karena terus saja tertawa. “Nggak ada yang namanya sahabat antara laki-laki dan perempuan.”
“Sok tahu.” Cibir Dion.
Kanaya kembali tertawa, lalu tawanya lenyap begitu saja dan wanita itu menghela napas berat. “Aku sama Richard dulunya juga sahabat kok. Dia bilang ke aku buat selalu sama-sama. Tahu-tahunya mau nikah seminggu lagi. Apa nggak jahat namanya?”
“Kalau suka sama dia kenapa nggak kamu tembak aja dia?”
“Nanti mati dong.” Dion memelotot dan Kanaya tertawa. “Masa iya aku duluan yang nembak. Kakak pikir aku nggak punya malu apa?”
“Belajar dari Davina.”
“Ya tapi nggak mungkin juga aku nembak duluan, kalau ditolak, mau taruh dimana muka aku?”
“Ya tetap dikepala, nggak mungkin sih jadi pindah ke pantat.”
Kanaya melempar kepala Dion dengan bantal. Lalu keduanya terbahak-bahak bersama, menertawakan perasaan mereka yang bertepuk sebelah tangan.
“Dicoba aja dulu, siapa tahu berhasil.”
“Kalau gagal?”
“Ya artinya kamu belum beruntung, coba lagi aja.”
“Kakak pikir ini undian?”
Lalu keduanya kembali terbahak bersama-sama.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
