My Mr. Dark: Prolog, Bab 1

7
0
Deskripsi

Terkadang Lily merasa Marcus adalah sosok misterius. Memakai topeng bak malaikat namun menyimpan iblis dalam dirinya. Namun, terkadang Lily merasa sosok Marcus begitu menyenangkan, mampu membuatnya tersenyum, dan mampu membuatnya berdebar. 
Mereka melakukan suatu perjanjian. Pernikahan demi suntikan dana perusahaan. 
Pernikahan itu terlihat begitu normal, mereka begitu cocok dalam percintaan, tapi ada beberapa rahasia yang baik Lily maupun Marcus enggan berbagi. Hingga pada suatu kejadian, di mana...

Prolog

 

Lily memarkirkan mobilnya di Carport, lalu masuk melalui pintu samping ketika ia tidak sengaja mendengar percakapan itu terjadi.

“Kita tidak mungkin bangkrut!” Lily mengerutkan kening. Mengintip ke arah ruang keluarga dimana orang tua beserta paman dan tantenya berkumpul. Ada apa? Gadis itu berdiri menatap semua orang yang terlihat tegang dengan tatapan heran.

“Tapi itulah yang akan terjadi.” Tatapan Lily jatuh pada ayahnya yang terlihat lelah, Reno mengusap wajahnya berulang kali dan menarik nafas dengan gerakan berat.

Hal yang baru di lihat Lily selama ini karena kedua orang tuanya tidak pernah memperlihatkan wajah selelah itu kepada dirinya ataupun ketiga adiknya. Jadi ada masalah apa?

“Aku akan menjual beberapa cabang Butterfly.” Wajah pamannya-Rayyan terlihat begitu muram.

“Menuang setetes ke dalam laut?” Reno berujar sinis. “Bahkan jika kita menjual semua cabang BlackRoses dan Butterfly, beserta semua aset yang kita miliki, termasuk perhiasan, rumah, apartemen, semua tabungan, deposito. Semuanya!” tekan Reno pada Rayyan yang berdiri di depannya. “Itu bahkan tidak mampu menutupi setengahnya!”

Lily beserta semua orang yang ada disana terhenyak.

“Pilihan apa yang kita punya?” Lily tak pernah mendengar nada serapuh itu dari ibunya, namun saat ini wajah ibunya pucat pasi. Nyaris tanpa rona.

“Kita terpaksa menjual saham kita kepada orang lain.” Rayyan mengatakannya dengan suara tercekat. Paman Lily itu seperti menelan kulit durian di tenggorokannya. Wajahnya sangat tersiksa.

Semua orang diam. “Jual saja sahamku.” Tante Lily-Raisha bersandar di lengan suaminya. “Asal jangan saham milik Ayah.”

Rheyya menoleh pada adik perempuannya, lalu mengusap lembut puncak kepala Raisha.

“Tiga puluh persen milik Rheyya, tiga puluhnya lagi milik Raisha, tiga puluh lagi milik Rayyan. Dan sepuluh persen milik Ayah.” Reno menghela nafas. “Setidaknya kita harus menjual delapan puluh persen saham. Itu bisa menutupi semuanya.”

Lagi-lagi keheningan yang terdengar. Lily bersandar dalam diam di dinding. Menatap lantai dengan tatapan kosong. Benarkah separah itu keadaannya? Ia memang mendengar kalau perusahaan mengalami masa sulit. Penggelapan dana oleh beberapa oknum di tambah dengan investasi yang gagal. Tapi ia tak pernah menyangka jika situasinya lebih sulit dari yang ia kira. Untuk pertama kalinya Zahid Group mengalami kekalahan.

“Aku bersedia melakukan apapun asalkan anak-anak kita tetap aman. Setidaknya mereka tidak boleh kekurangan apapun.” Reno menunduk menatap ujung sepatunya.

“Dan Ayah tidak boleh tahu hal ini. Kondisi Ayah tidak terlalu bagus untuk mendengar kabar buruk.” Rheyya nyaris menangis. Dan langsung di rangkul oleh suaminya.

“Anak-anak tidak boleh tahu.” Rayyan ikut bersuara.

“Lalu kepada siapa kita akan menjual sahamnya?” Raisha bertanya. 

“Marcus Algantara pilihan yang terbaik.” Ujar Reno lelah.

“Pria berengsek itu?!” Rayyan menatap Reno dengan tatapan tidak percaya. “Pria yang menawarkan bantuan namun meminta Lily sebagai imbalan?!”

Lily tersentak. Begitu juga dengan semua orang kecuali Reno dan Rayyan.

“Maksudnya?” Rheyya memicing. Menatap suami dan kakak kembarnya dengan tatapan tajam.

“Marcus menawarkan bantuan secara sukarela yaitu suntikan dana yang akan kita kembalikan secara bertahap,” Reno memilih jujur. Karena percuma ia berbohong. Rheyya selalu bisa mendeteksi kebohongannya. “Namun meminta satu malam bersama Lily sebagai imbalan.”

“A-apa?!” Rheyya berdiri. Matanya terbelalak. Begitu juga dengan Lily yang bersembunyi di balik dinding, menatap ujung sepatunya dengan bola mata yang nyaris keluar dari tempatnya. “Dan kita akan menjual saham padanya? Kamu jangan bercanda, Kang!”

Reno menggeleng. “Kita tidak punya pilihan. Kita tidak akan menerima bantuannya yang sukrela itu. Kita hanya akan menjual saham padanya. Sudah lama dia mengincar saham perusahaan kita.” Reno menarik lembut lengan Rheyya agar istrinya kembali duduk. “Kita hanya menjual saham padanya. Dan tidak akan menjual anak kita. Jika dia menolak membeli saham kita. Kita akan cari orang lain secepatnya.”

“Berapa banyak waktu yang kita punya?” Rheyya nyaris berbisik.

“Tidak banyak.” Rayyan bergumam muram. “Tidak banyak.” Ulangnya sekali lagi sambil menunduk.

Lily terdiam di tempatnya. Memejamkan mata untuk menahan tangis. Ia tidak menangisi kondisi yang terancam bangkrut. Ia hanya menangisi perjuangan kakek buyutnya dalam membangun perusahaan ini. Yang di wariskan kepada Farhan Zahid putranya, lalu kepada Arkansyah Gibran Zahid, kakek Lily. Dan sekarang perusahaan itu di kelola bersama-sama oleh orang tua dan paman-pamannya. Jadi bagaimana bisa hasil perjuangan selama puluhan tahun itu saat ini terancam bangkrut? Kesalahan seperti apa yang telah terjadi?

Dan Marcus Algantara? Pria berengsek itu menawarkan bantuan sukarela dengan satu malam dengannya sebagai imbalan?

Oh berengsek!

Darah dalam tubuh Lily terasa mendidih. Bagaimana mungkin pria itu mampu mencetuskan ide kurang ajar seperti itu? Lelaki sombong yang menganggap semua orang adalah bidak catur yang bisa di permainkan begitu saja. Memangnya apa yang lelaki itu miliki hingga berani-beraninya meminta hal itu pada ayahnya?

Lily berdoa semoga Reno sudah melayangkan paling tidak beberapa pukulan ke wajah pria itu karena sudah berani-beraninya bersikap kurang ajar.

“Ingat. Yang tahu masalah ini hanya kita. Dan jangan pernah katakan apapun kepada anak-anak kita maupun kepada Ayah. Kita yang akan mencari jalan keluarnya. Jika memang menjual saham adalah jalan terbaik. Maka kita akan lakukan itu.”

Dan keadaan kembali hening. Lily menghitung dalam hatinya. Pada hitungan ke sepuluh ia keluar dari tempat persembunyiannya. Memasang wajah tenang dan menampilkan senyum teduh seperti biasanya.

“Halo semua.” Lily melangkah mendekat. Dan entah bagaimana cara kerjanya. Wajah lelah yang tadi terlihat di setiap wajah yang ada di ruang keluarga itu tergantikan oleh wajah tenang dan ceria seperti biasa. Lily mendengkus dalam hati. Betapa mereka mampu berakting seolah semuanya baik-baik saja.

“Tidak biasanya pulang cepat, Kak.” Rheyya berdiri, mengambilkan segelas air putih untuk Lily.

Meetingnya di tunda, Ma. Investornya tidak bisa datang. Jadi harus di jadwal ulang.” Lily duduk di samping Reno yang segera mengecup puncak kepalanya. Gadis dua puluh delapan tahun itu meringkuk nyaman di pelukan hangat ayahnya. Di balik senyumnya yang tenang, benak Lily berkecamuk memikirkan perusahaan yang terancam pailit.

Tatapannya beralih pada wajah-wajah tenang yang ada di depannya saat ini. Semuanya terlihat baik-baik saja namun tatapan mereka tidak mampu menipu Lily. Ada kesedihan, kebingungan, putus asa, dan juga lelah dari semua pasang mata yang ada disana. Meski bibir mereka membentuk satu senyuman untuknya.

Lily melangkah menuju kamarnya lima belas menit kemudian, menaiki undakan tangga satu persatu dengan perlahan. Benaknya sibuk memikirkan jalan keluar untuk masalah yang sedang terjadi. Saat tiba di tangga terakhir, Lily berhenti sejenak untuk menatap langit-langit lantai atas rumahnya.

Mereka mungkin saja akan kehilangan rumah ini nantinya jika keadaan semakin sulit. Mereka mungkin akan berakhir di jalanan nantinya. Tapi bukan itu yang Lily pikirkan saat ini, melainkan pendidikan yang sedang di jalani oleh adik-adiknya. Rafael sedang mengejar Magisternya di Cambridge. Leira dan Luna sedang mengejar Sarjana di Universitas Indonesia. Lalu ada sepupu-sepupunya yang lain, yang juga terancam kehilangan rumah dan pendidikan mereka.

Ia duduk di tepi ranjang, ia tidak mungkin diam saja memikirkan ini semua. Ia harus melakukan sesuatu.

Matanya menatap sebuah pigura yang ada di atas nakas. Tangannya terulur untuk mengambil potret itu dan membelai wajah yang ada disana.

“Aku harus apa?” ia berbisik kalut. Jarinya membelai senyum teduh yang tercetak disana. Senyum yang biasanya mampu membuatnya tenang, namun saat ini pemilik senyum itu tidak ada di sampingnya. Dan ia benar-benar membutuhkan kekuatan saat ini. Kekuatan untuk bertahan dan juga keberanian untuk melakukan apapun yang sedang ia rencanakan saat ini.

Lama ia termenung dengan mata yang menatap lekat potret di pangkuannya, hingga ia merogoh tas, mengambil ponsel itu mencari kontak seseorang disana. Matanya menatap lekat kontak itu. Dengan tangan bergetar ia akhirnya mendial nomor yang ada di layarnya.

Nada sambung yang terdengar membuat jantung Lily berdebar kencang. Seakan seluruh darah sedang berkumpul di kepalanya hingga membuatnya pusing.

“Algan’s Group. Dengan Davina. Ada yang bisa saya bantu?”

Lily terdiam sejenak, menggigit bibirnya. 

“Halo? Ada orang disana?” orang yang mengenalkan dirinya sebagai Davina kembali bersuara.

Ia memejamkan mata, menghembuskan nafas secara perlahan untuk mengumpulkan keberanian. “Saya Lily Bagaskara dari Zahid Group. Bisa buatkan janji temu dengan Marcus Algantara secepatnya?”

Jika Marcus bisa membantu mereka, maka Lily harus bertindak. Ia akan melakukan apapun untuk menyelamatkan perusahaan keluarganya. Apapun risikonya. Dan sebelum ia menerjunkan diri dalam kubangan lumpur hitam yang akan menjerat lehernya. Ia harus pastikan Marcus Algantara akan benar-benar membantu perusahaannya.

Lily meletakkan ponselnya di atas ranjang. Bahunya terkulai lemah saat ia memeluk pigura itu di dalam pelukannya.

“Maafkan aku.” Bisiknya dan setetes airmatanya turun. Lily segera menghapusnya. Menatap pigura itu dengan tatapan bersalah. “Maafkan aku.” Sekali lagi ia berbisik, lalu meletakkan pigura itu kembali di tempatnya berada. Dan Lily merangkak naik ke atas ranjang. Merebahkan tubuhnya yang lemah tak berdaya.

 

 

Meet You

 

Matahari pertengahan pagi berkilau menyinari permukaan Jakarta saat Lily menyetir menuju tempat dimana ia akan menggantungkan nasibnya disana. Helaan nafas lelah keluar dari Lily. Ia baru saja selesai rapat selama dua jam bersama Manager Keuangan perusahaan. Dan ia akhirnya menyadari bahwa keadaan sudah terlalu sulit untuk mereka kendalikan.

Sebagai Vice President, seperti jabatan ibunya puluhan tahun lalu sebelum beliau menjadi CEO, Lily sudah belajar banyak mengenai perusahaan mereka. Dan ia merasa bertanggung jawab atas kekacauan yang terjadi. Meski ada sepupu-sepupunya yang juga ikut mengelola, namun mereka mempunyai bisnis sendiri yang harus mereka urus. Dan Lily mengajukan diri untuk memikul tanggung jawab. Persis seperti yang di lakukan ibunya dulu.

Lily meringis saat memarkirkan mobilnya di sebuah restoran di Jakarta Pusat. Ia terdiam sejenak di dalam mobilnya, memperhatikan penampilannya. Ia merapikan kerah kemeja, dan meluruskan kain rok berpotongan ramping pas badan yang ia kenakan. Ia selalu berusaha untuk terlihat rapi, meski sebenarnya ia lebih suka berpakaian santai, namun kali ini Lily harus menunjukkan sebesar apa gadis itu memiliki tekad dalam dirinya.

Penuh dengan percaya diri karena ia tahu ia terlihat menawan, Lily keluar dari mobilnya sambil mengenggam tas tangannya dan melangkah masuk ke restoran. Sepatu hak tingginya berdetak anggun di lantai marmer saat ia masuk melalui pintu depan, dan di sambut oleh seorang pelayan. 

“Meja atas nama Marcus Algantara.” Ujarnya dengan nada datar. Pelayan mengangguk dan mempersilahkan Lily mengikutinya.

“Mari ikut saya, Nona.” Lily melangkah dengan debaran kencang di dadanya. Berulang kali meremas jari-jarinya sendiri untuk menghilangkan kegugupan yang ia rasakan. Demi Tuhan! ia akan melemparkan diri ke dalam neraka jahanam setelah ini.

Tatapannya tertuju pada seseorang yang duduk di sebuah meja yang ada di sudut ruangan. Meja yang terlihat khusus dan sedikit jauh dari meja-meja yang lain.

Lily memberanikan diri menatap saat pria itu mendongak dari ponsel yang ia lihat sebelumnya. Dan langsung berdiri saat Lily tiba di depan mejanya. Mata Lily mengamati lelaki itu. Marcus berpakaian santai, dengan jaket kulit berwarna cokelat muda yang jatuh dengan lembut dari bahunya yang lebar dan kokoh. Kemeja sport putih, terbuka di bagian leher, sangat kontras dengan kulitnya yang kecokelatan. Dan rambut segelap malam. Mata abu-abunya menghujam tajam ke arah Lily. Lelaki itu menjulang tinggi di seberang meja.

Lily meregangkan jari kakinya di balik heels yang ia kenakan. Berusaha terlihat tenang meski ia gugup setengah mati. Perlahan ia mengulurkan tangan. Dan di sambut dengan hangat oleh lelaki itu.

“Lily Bagaskara.” Ujar Lily datar.

Lelaki itu mengedipkan sebelah mata pada Lily saat menyambut uluran tangan gadis itu. Dan itu membuat Lily menatapnya tajam. Seolah tidak menyadari tatapan Lily, Marcus tersenyum kurang ajar dan menunduk untuk mengecup punggung tangan Lily. Membuat Lily nyaris menarik tangannya dengan gerakan kasar.

“Senang bertemu dengan Anda, Nona. Marcus Algantara siap melayani Anda.” Suara lelaki itu seperti belaian di telinga Lily. Dan lelaki itu menampilkan senyum miring yang menggoda.

Lily segera menarik tangannya. Dan membiarkan lelaki itu menarik kursi untuknya. Lalu pria itu duduk di seberangnya dengan sikap tenang yang luar biasa. Namun meski gekstur tubuh pria itu santai, Lily bisa mencium aroma intimidasi yang menguar di udara.

Gadis itu menengakkan tubuh. Menolak di intimidasi oleh pria itu. Mendongak sedikit, saat matanya yang kecokelatan bertemu dengan mata kelabu dingin. Meski lelaki itu memperlihatkan wajah ramah, namun tatapannya terasa mematikan. Sejenak Lily merasa mata abu-abu lelaki itu mampu menembus dinding pertahanan yang coba ia bangun. Ia mengigil sedikit sambil terus berusaha menebalkan dinding pertahanannya.

“Kamu ingin pesan apa?” Lelaki itu terlihat mengamati menu yang tersedia, namun Lily bergeming di tempatnya. Tujuannya kesini bukanlah untuk menemani lelaki itu makan siang. Atau bahkan makan siang bersamanya. 

“Aku tidak lapar.” Ujar Lily menegaskan maksudnya dengan tetap memasang wajah serius dan duduk dengan punggung tegak.

Lelaki itu mendongak sedikit, caranya menaikkan satu alis sungguh membuat Lily merasakan kekesalan yang tiba-tiba memenuhi dadanya.

“Tidak lapar?” Marcus lagi-lagi menampikan senyum miring yang terkesan mengejek. “Well,” Marcus melirik alroji mahal yang melingkari pergelangan tangannya. “Setahuku ini sudah masuk jam makan siang.”

Lily menghela nafas. “Jus saja, please.” 

Marcus kembali menaikkan satu alisnya. “Diet?” Dan kali ini Marcus benar-benar menampilkan senyum yang menyebalkan. Lily menghela nafas diam-diam. Mencoba melatih kesabarannya. Karena sepertinya lelaki itu sengaja mempermainkan dirinya.

“Pesankan saja apapun. Aku kesini hanya ingin bicara denganmu. Bukan makan siang bersamamu.” Ujar Lily ketus.

Cara Marcus menatapnya membuat kesabaran Lily menipis. Gadis itu mulai mengetuk-ngetukkan ujung heelsnya tidak sabar. Dan Marcus menautkan alisnya mendengar nada tidak sabar itu.

“Apa begitu tidak sabarnya menikmati malam bersamaku?” 

Pertanyaan kurang ajar itu nyaris membuat Lily melompat dari kursinya. Gadis itu menahan diri dengan meremas ujung meja. Kilatan rasa marah terlihat jelas di mata cokelatnya, sedangkan Marcus menatapnya tenang dengan mata kelabunya yang licik.

“Aku kesini untuk membuat perjanjian bisnis denganmu. Bukan ingin menikmati malam sialan bersamamu. Jadi pesankan apa saja untuk makan siang ini. Dan kita harus bicara secepatnya.”

“Aku mengerti kecemasanmu,” ejek Marcus. “Namun, aku lapar dan butuh makanan. Mungkin aku bisa bicara dengan lebih baik saat kebutuhanku terpenuhi.” Lelaki itu mengedikkan bahunya acuh. “Tapi itu pilihanmu. Tinggal disini dan makan bersamaku, atau silahkan kembali ke kantormu.”

Lily menggigit ujung lidahnya untuk menahan kata-kata umpatan yang akan terlontar dari bibirnya. Namun ia menahannya. Sekali lagi ia menghela nafas, mencoba sabar.

“Kalau begitu, pesankan saja sekarang.” Ujarnya tenang. Meski dadanya terasa sesak oleh amarah.

“Baiklah. “Marcus kembali memberinya sebuah senyum yang membuat Lily berniat melayangkan heelsnya ke wajah itu. Ia menunggu dengan sabar saat Marcus mulai mengatakan pesanannya kepada pelayan yang menunggu. Lily mengetukkan jemarinya di meja. Berusaha sabar.

“Jadi bagaimana harimu?”

Lily menaikkan satu asli persis yang di lakukan Marcus beberapa saat lalu. “Aku kesini tidak datang untuk mendengar pertanyaanmu tentang hariku.”

Marcus memasang wajah datar. Aura bersahabat yang berusaha ia perlihatkan tadi sirna. Bergantikan dengan tatapan tajam. Cenderung dingin.

“Baiklah. Jika itu maumu. Aku sudah berusaha untuk bersikap baik. Namun, itu percuma. Jadi katakan, apa yang kamu inginkan dariku?” pertanyaan dengan nada sinis itu membuat Lily kembali menegakkan tubuh.

“Aku ingin membuat perjanjian bisnis denganmu.”

“Perjanjian semacam apa?” Marcus bertanya santai, memainkan gelas anggur di tangannya.

“Tentang memberi suntikan dana kepada perusahaan keluargaku.”

Marcus tersenyum. Jenis senyuman yang membuat Lily mengertakkan gigi. “Aku menawarkan bantuan pada ayahmu. Yang di tolak mentah-mentah bahkan memberi tiga pukulan di wajahku.” Lelaki itu bicara santai, dan Lily mengamati lebam keungun yang tercetak samar di sudut bibir lelaki itu. “Dan sekarang?” alis Marcus melengkung sinis. “Putrinya datang meminta suntikan dana.” 

Lily menghitung dalam hati. Ia tidak ingin meledak. Sabar. Sabar. Itulah yang ia tekankan dalam benaknya.

“Kalau aku bersedia membantu, apa yang akan kudapatkan? Aku tidak akan meminjamkan dana secara gratis. Aku bukan malaikat, Sayang.” Dan Marcus tersenyum manis.

“Aku juga tidak akan meminta bantuan dengan cuma-cuma. Aku akan memberi imbalan.”

“Baik.” Marcus terlihat tidak sabar. “Imbalan apa yang akan aku dapatkan?”

Tepat saat Lily hendak membuka mulut, makanan yang mereka pesan sudah datang. Dan seolah fokus Marcus teralihkan, lelaki itu mengacuhkan Lily dan menikmati makanannya. Dan Lily tidak bisa melakukan hal lain selain ikut menikmati makanan Kanton yang Marcus pesankan untuknya. Ia meraih sumpit dan memakannya secara pelan-pelan.

Tapi dengan ketegangan yang memuncak bagai di ujung tanduk, Lily tidak mampu menelan banyak. Sebagai gantinya, ia mengamati restoran dimana mereka berada saat ini. Jelas selera Marcus Algantara sama sekali bukan tipe orang rumahan. Lelaki sekelas Marcus adalah sosok yang penuh dengan kehidupan mewah. Setelah jas mewah, alroji mahal, jaket mahal, sepatu mengilat yang seolah melambai-lambaikan digit uang yang di keluarkan untuk membelinya. Apapun yang melekat di diri lelaki itu, semuanya bermerek dan dengan harga yang fantastis.

“Tambah makanan lagi?” Marcus melirik makanan Lily yang nyaris utuh.

Lily menggeleng. “Tidak, terima kasih. sudah saatnya kita bicara bisnis.” Ia meletakkan sumpit di meja dan kembali memasang wajah serius.

Marcus hanya mengedikkan bahu sambil menyesap anggurnya. “Darimana kita akan mulai membicarakannya?”

“Kamu pernah meminta pada ayahku. Satu malam denganku, dan kamu akan memberi suntikan dana kepada perusahaan kami.”

Marcus meletakkan gelas anggurnya dengan hati-hati seolah-olah isinya bisa saja tumpah dan membasahinya. Lalu perlahan tatapannya teralih pada Lily yang berusaha terlihat tenang. Tatapan tajamnya menyelidik dengan penuh siaga.

“Aku berubah pikiran.” Cetus lelaki itu tiba-tiba hingga membuat Lily menahan napas. Gadis itu menatap panik pada Marcus yang menatapnya dengan santai.

“A-apa maksudmu? Kamu tidak bersedia lagi membantu kami? Kenapa? Katakan alasannya!”

“Sabar, Sayang.“ Marcus kembali tersenyum. Sedikit memajukan tubuhnya untuk menikmati kepanikan yang tercetak jelas di wajah Lily. “Aku masih menawarkan bantuan. Namun berubah pikiran dengan imbalannya.”

“Apa maksudmu?” sergah Lily kasar. Ia benar-benar sudah kehilangan kesabaran. “Jangan bermain-main denganku!”

“Aku akan memberikan suntikan dana cuma-cuma, namun kamu harus menikah denganku sebagai imbalan.”

“A-apa?!” Lily berdiri. Kursinya terpental di lantai hingga menimbulkan suara yang cukup keras untuk menarik perhatian. “Jangan mencoba-coba untuk memanipulasiku, Marcus Algantara! Aku datang kesini bukan untuk mengikuti permainan busukmu. Aku hanya menginginkan bantuan darimu.” Sergah Lily tajam.

Marcus berdiri, dan menarik Lily keluar dari restoran itu. Tangan lelaki itu merangkul lembut punggung Lily. Mengajak Lily pergi.

“Lepaskan aku!” Lily berontak saat ia sudah sampai di parkiran mobil. “Kamu­­-̶̶̶“ Lily menatap tajam pada Marcus yang berdiri di depannya. “Bajingan manipulatif. Aku bersumpah akan membuat hidupmu tidak tenang!” teriak Lily murka.

“Bisa kita bicarakan ini dengan baik-baik?” Marcus bertanya dengan sabar.

Lily menggeleng. “Apa yang perlu kita bicarakan? Kamu berniat membeliku dengan suntikan dana sialan itu!” hardiknya marah.

“Ya.” Marcus mengakui. “Setidaknya aku harus mendapatkan sesuatu sebagai imbalan dari bantuanku.”

“Satu malam denganku. Itu yang kamu minta.”

“Itu sebelum aku mendapatkan tiga pukulan dari ayahmu. Namun, saat ini aku berubah pikiran.” Masih dengan ketenangan yang mengagumkan. Marcus mendorong Lily menuju mobilnya. “Kita bicarakan ini di kantorku.”

“Tidak!” sergah Lily kasar mencoba melepaskan diri dari cengkraman Marcus. Namun lelaki itu kini menghimpitnya di antara mobil.

“Usaha yang bagus, Nona. Namun aku tidak akan melepaskanmu begitu saja.” Marcus menatapnya tajam. “Aku menawarkan pernikahan bisnis padamu. Aku akan mendapatkan tubuhmu setelah menikahimu. Setidaknya itu lebih pantas. Tapi kalau kamu bersikeras melakukannya dengan caramu. Aku tidak keberatan. Hanya saja,” Marcus menaikkan satu alisnya. “Satu malam saja belum cukup untukku. Harus ada malam-malam selanjutnya yang kuinginkan.” Marcus menatapnya lekat. “Mana yang akan kamu pilih? Mencuri waktu untuk memenuhi malam-malamku dengan resiko hal ini mungkin saja akan di ketahui oleh keluargamu, atau menikah denganku, dan aku akan bebas menikmatimu tanpa harus merasa terbebani karena telah merampas keperawananmu.”

Lily tercengang. Marah sekaligus malu. Lily hanya mampu memandang hampa pada Marcus yang menunggu jawabannya. Sulit membayangkan apa yang baru saja Marcus katakan, dan lelaki yang terkenal karena sikap kurang ajarnya itu baru saja menawarkan suatu hal besar padanya.

Andai saja mereka masih berada di dalam restoran, ada satu dorongan kuat dalam diri Lily untuk menusuk Marcus dengan sumpitnya.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
My Mr. Dark
Selanjutnya My Mr. Dark: Bab 2-5
2
0
Terkadang Lily merasa Marcus adalah sosok misterius. Memakai topeng bak malaikat namun menyimpan iblis dalam dirinya. Namun, terkadang Lily merasa sosok Marcus begitu menyenangkan, mampu membuatnya tersenyum, dan mampu membuatnya berdebar.  Mereka melakukan suatu perjanjian. Pernikahan demi suntikan dana perusahaan.  Pernikahan itu terlihat begitu normal, mereka begitu cocok dalam percintaan, tapi ada beberapa rahasia yang baik Lily maupun Marcus enggan berbagi. Hingga pada suatu kejadian, di mana kesalahpahaman terjadi, dan nyawa pun menjadi terancam. Bukan hanya tentang pernikahan, tapi tentang sisi gelap dari seorang bayangan.
Komentar dinonaktifkan
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan