
Dasar duda, tampang dan kelakuan sama-sama berengsek. Duda aja belagu. Jadi barang second aja bangga. Jadi Chef terkenal aja gayanya selangit. Kayak udah jadi artis aja. Dasar duda Katrok. - Rheyya Zahid -
Gue heran ada ya cewek model beginian hidup di dunia. Sudah jutek, sok cantik, hidup pula. Jadi perawan tua aja bangga. Mending gue, biarpun gue duda, tapi sudah ada buktinya kalau gue perkasa. Gue yakin dia kurang piknik. - Reno Bagaskara -
PROLOG
RENO
“Ren!” Gue berhenti melangkah saat terdengar suara panggilan di belakang gue. Siapa lagi yang akan memanggil gue seperti gitu kalau bukan si Papan Triplek. Aish, apaan lagi nih bos kampret?
“Apa?” Gue mengikuti langkah Rayyan masuk ke dalam ruangannya.
“Bayar hutang lo!”
Buju busyet! Demi kuntilanak yang lagi make out sama mas Kolor Ijo! Gue baru datang ke Butterfly dan sudah di tagih hutang. Wah wah, bos gue emang kurap! Eh maksud gue sarap!
“Kampret! Hutang lima ratus ribu aja lo tagih ke gue.” Gue melangkah menuju kulkas kecil milik Ray, mengambil satu kaleng soda dan meminumnya. Sial. Disini tidak ada Vodka gitu? Apa paling nggak Wine? Ya kali gue minum soda terus tiap hari. Kembung gue.
“Lima ratus ribu juga duit. Cepet bayar hutang lo! Mobil lo juga ambil sendiri di bengkel. Gue yang bawa mobil lo ke bengkel, Ngutang juga lo ama gue!”
Ya Tuhan, tolong ya Tuhan. Cabut aja nyawa bos gue sekarang! Gue ridho. Gue ikhlas. Pakai telor dua kayak punya gue.
Gue mengeluarkan dompet, mengambil lima lembar uang ratusan lalu meletakkannya di meja kerja Ray. “Nih hutang gue lunas. Nggak ada lagi gue ngutang-ngutang sama lo ya.” Gue duduk di kursi di depan meja kerja Ray.
“Hm. Gue lebih ikhlas sumbangin nih duit ke masjid dari pada sumbangin duit ke elo.” Ray mengambil uang yang gue taruh di atas meja, lalu memasukkannya ke kantong celananya.
Kampret bin kuadrat. Bos gue irit kalo ngomong. Tapi sekali ngomong. Ibarat lagu dangdut yang sering di dengerin si Raras, pembokat gue di rumah, sakitnya tuh disini Man!
“Udah sana lo kerja, ngapain lo nyantai disini?!” gue menatap kesal Ray yang duduk sambil memainkan ponselnya. Fix. Kalau nih setan bukan temen gue, bukan sahabat gue, bukan orang yang selama ini selalu ngedukung apapun keputusan gila gue, bahkan orang yang paling mendukung gue untuk menjadi duda. Sudah gue mutilasi nih orang.
Tapi sialnya. Gue dan dia ibarat lem. Lengket coy! Halah. Otak gue perlu di refresh. Udah berapa hari gue nggak orgasme?
Gue bangkit dari kursi, meremas kaleng soda yang gue minum, lalu berjalan menuju pintu. Tapi sebelum gue keluar dari ruangan yang mulia raja si Rayyan yang usianya di bawah gue, gue lempar kaleng yang gue genggam ke wajahnya. Dan we-o-we. Gue harus memberi diri gue sendiri penghargaan. Kena telak Man! Di kepalanya.
“Sialan lo!” Ray berdiri, mengambil sepatunya dan melemparnya ke pintu. Tapi gue lebih cepat. Membanting pintu si bos lalu tertawa terbahak-bahak sambil menuju ruang kerja gue. Ngerjain Ray itu gampang. Tinggal bikin dia kesal, nah habis itu lu tinggal bikin dia naik darah.
Nikmat hidup gue kalau begini terus.
**
“Selamat pagi semua!” Gue mungkin memang orang yang tidak punya otak. Di usia dua puluh tiga tahun gue menikah. Dan di usia dua puluh tiga tahun juga gue cerai dan jadi duda. Gue bahkan tidak menemukan kata-kata yang tepat untuk menggambarkan betapa hebatnya gue.
“Selamat pagi, Chef!” Tapi jangan salah. Dari gue remaja sampai gue setua ini, gue selalu berdiri di atas kedua kaki gue sendiri. Pantang buat gue mengemis kepada orang lain. Ke keluarga gue sekalipun. Dan jangan salah. Meski memang otak gue cuma tinggal seperdelapan dari otak manusia pada umumnya, kalau soal kerja, gue orang yang totalitas berkarya. Tidak akan rubuh di terjang badai katrina.
Kampret. Kebanyakan baca statusnya Marimar Teguh gue di Instagram.
Morning briefing di Butterfly selalu menjadi kegiatan rutin gue sebelum menjalankan pekerjaan. Di Butterfly punya peraturan yang tegas, yang gue buat bersama Rayyan. Mungkin memang Rayyan yang menjadi owner Butterfly, tapi jangan lupa gue orang yang ikut berjuang mengembangkan Butterfly dari café kecil ke restoran mewah sampai sekarang.
“… oke paham semua?!”
“Yes Chef!” gue tersenyum. Anak-anak didik gue memang luar biasa. betapa bangganya gue jadi Head Chef mereka.
“Oke selamat bekerja.”
“Yes Chef!” mereka kembali menjawab dengan serentak.
Good. Gue segera menyusun menu-menu andalan yang akan menjadi hidangan special gue hari ini. Bagi orang lain, menjadi Chef itu banci. Tapi bagi gue. Menjadi Chef itu seni. Dan gue bangga menjadi seorang seniman makanan. Gue bangga saat apa yang gue masak bisa di nikmati oleh banyak orang. Dan yang terutama, gue bangga menjadi diri gue sendiri.
Gue pun mengakui, gue sudah terlalu tua untuk bersikap kekakanan seperti ini. Terlalu tua untuk bermain-main seperti ini. Tapi inilah cara gue menikmati hidup. Dan gue bahagia dengan apa yang gue lakukan, gue bahagia dengan apa yang gue jalani. Orang bilang gue tidak tahu malu. Tidak punya prinsip, kekanakan padahal usia gue sudah tiga puluh satu tahun. Labil, dan songong bin arogan.
What ever. Gue tidak peduli orang mau bilang apa. Gue tidak peduli mau gue di katain berengsek. Tidak punya moral. Tidak punya etika dan tidak punya malu. Tapi asal mereka tahu, bahwa gue masih punya kemaluan.
Fix.
RHEYYA
“Rhe, nanti siang temenin Bunda ke mall ya.” aku menoleh pada Bunda yang sibuk mengoleskan roti dengan selai Nutella. Menatap Bunda seperti biasanya.
“Rhe sibuk. Bunda sama Sha aja.” Gerakan Bunda memoleskan selai terhenti, menatapku tajam.
“Sibuk terus. Bunda kayak nggak punya temen lagi. Sha sibuk ikut kemanapun Ayah kamu pergi, dan kamu? Nggak punya waktu buat nemenin Bunda. Jadi Bunda temennya siapa?”
Lebai. Tidak lama lagi. Bunda akan mengeluarkan jurus-jurus lebainya yang membuat aku muak. Ya Tuhan. Maaf. Aku bukan ingin mengatai ibuku sendiri. Hanya saja, Bunda memang Drama Queen. Dan aku tidak terlalu suka dengan yang namanya drama.
“Bunda,” aku menatap bunda dalam-dalam. “Rhe kerja, bantuin ayah di kantor. Nah kerjaan Rhe itu nggak sedikit. Tapi banyak banget. Jadi please, Bunda sama Mama Karina saja ya.” Aku mencoba membujuk. Tapi biasanya setiap kali aku membujuk. Bunda hanya akan mengatai aku titisan dari Ayah.
“Rhe kamu bujuk Bunda? Kok Bunda nggak merasa di bujuk ya? Merasa kayak kamu ngomong tuh nggak ada cengkoknya. Lurus aja.”
Aku hanya menghela nafas. Memang susah bicara dengan Bunda yang memang ajaib. Dosa apa aku ya Tuhan.
“Terserah Bunda. Rhe berangkat.” Aku berdiri, mengambil tangan Bunda lalu mencium punggung tangannya.
“Ck, kamu datar banget. Judes juga. Jutek juga. Wajar kalau sampai umur kamu dua puluh sembilan tahun kamu masih jomblo.”
Aku mengepalkan kedua tanganku. Membiarkan bunda mengatakan apapun. Aku tidak ingin menjadi anak durhaka.
“Rhe! Bunda lagi nyindir kamu. Kamu merasa tersindir nggak sih?!” Bunda teriak saat aku sudah sampai di pintu dapur, menuju garasi.
“Nggak. biasa aja.” Jawabku singkat lalu segera keluar dari dapur dan menuju mobilku.
**
“Selamat pagi ibu Rheyya.” Aku menatap Lusi, resepsionis yang ada di lobi.
“Hm.” Jawabku singkat sambil berjalan menuju lift. Semua orang menyapaku. Dan aku hanya menganggukkan kepalaku singkat. Memilih untuk tidak berbasa basi dengan mereka. Aku bukan tipe orang yang suka berbasa basi. Bukan tipe orang yang suka menjilat. Apalagi menjilat ludah sendiri.
“Selamat pagi, Bu.” Mungkin hanya ada satu yang akan aku jawab salamnya setiap pagi. Rety, sekretarisku. Yang selalu bersikap apa adanya. Tidak pernah bersikap seperti penjilat-penjilat di luar sana. Itulah yang membuat aku menyukainya.
“Pagi Ret, jadwal saya udah siap?”
Rety mengikuti masuk ke dalam ruangan CEO. Mengangguk sambil membawa tablet di tangannya.
“Ibu pagi ini meeting sama pak Darius, Manager Keuangan, terus, siang. Ibu ada janji sama mas Rayyan. Janji membahas mengenai proyek baru nanti sambil makan siang. Mas Ray bilang, Ibu ke Butterfly saja. Sekalian makan siang, Sorenya Ibu free sih. Tapi pesan pak Arkan, Ibu pergi ke Dutez, Mall yang mau kita launching dua minggu lagi. Pak Arkan nunggu disana.” aku mengangguk. Mulai mengambil berkas-berkas yang sudah di siapkan Rety di meja kerjaku. Berkas-berkas dari Manager Keuangan.
“Oke, kita ke ruang meeting sekarang.”
Rety menganguk, mengikuti langkahku menuju ruang meeting yang ada di lantai tujuh.
**
Aku benci dengan mereka yang tidak disiplin. Aku menatap tajam pak Darius. Manager Keuangan yang duduk diam di depanku. Aku menunggu sampai tiga puluh menit di ruangan ini.
“Maaf Bu, macet.”
Aku mendengus. Alasan klise. “Anda tahu? Rumah saya bahkan cukup jauh dari kantor ini. Tapi saya bisa tepat waktu. Saya tidak suka dengan karyawan yang tidak disiplin. Kalau rasanya Anda tidak bisa mematuhi peraturan Zahid Group. Maka silahkan angkat kaki. Masih banyak yang lebih berkompeten dari pada Anda.”
Wajah pak Darius memucat. Oke. Kalau ia terlambat sekali dua kali. Aku masih mengerti. Bagaimanapun manusia itu tempatnya khilaf. Tapi kalau sudah terlambat hampir setiap hari apa itu masih khilaf? Sekali dua kali namanya khilaf. Tapi kalau tiap hari itu namanya bodoh. Tidak tahu diri.
“Ma-maaf Bu. Lain kali saya tidak akan mengulangi.”
Aku hanya diam. Menatap lurus pak Darius. Aku sangat tahu tipe-tipe orang seperti ini. Tidak punya pendirian.
**
“Bang, di mana lo?” aku menghubungi bang Ray.
“Butterfly. Kamu dimana?”
“On the way.”
“Oke. Abang tunggu.”
“Hm.”
Aku memasukkan ponsel ke dalam tas lalu segera masuk ke mobil menuju Butterfly. Ada satu proyek yang rencananya akan di kerjakan bersama bang Ray. Selama ini bang Ray selalu menolak untuk terlibat bersama perusahaan. Tapi setelah selalu di bujuk oleh ayah. Akhirnya bang Ray mau sedikit demi sedikit membantuku dan ayah.
Jujur, tanggung jawab yang di bebankan padaku sudah terlalu besar. Hingga terkadang aku tidak tahu bagaimana caranya bersantai. Aku lupa bagaimana caranya menikmati waktu. Karena semua waktu kugunakan untuk bekerja. Tidak kenal waktu libur kalau bukan karena terpaksa.
“Neng Rhe, tumben siang-siang.” Aku hanya tersenyum tipis kepada pak Narto, Satpam Butterfly. Aku masuk melalui pintu belakang seperti biasanya, lalu duduk di meja bar. Membuat Gugus, bartender bar Butterfly terkejut melihat aku yang datang selalu tiba-tiba.
“Astaga mbak Rhe, ngagetin aja deh tiap kesini.”
Aku hanya tersenyum tipis. Duduk di depan Gugus. Tak pernah meladeni obrolannya. Dan Gugus pun telrihat enggan mengajakku mengobrol. Masa bodoh. Ia menyodorkan segelas orange jus padaku.
“Thanks.” Ucapku pelan.
“Sama-sama, Mbak.” Ia tersenyum lebar. Dan aku hanya diam. Tersenyum pun tidak.
Sambil menunggu Bang Ray yang sepertinya masih berada di lantai dua, mataku terpaku pada satu lelaki yang sibuk memasak di balik kaca besar yang memperlihatkan kitchen dengan jelas. Laki-laki katrok itu. entah karena apa atau gimana, lelaki itu menolehkan wajahnya padaku. Tersenyum lebar sambil melambaikan tangannya sok akrab.
Aku memalingkan wajah. Duda katrok.
“Hai Neng.” Aku menoleh dan menatap sosok di depanku dengan sengit. Lelaki itu. si duda katrok berdiri di sampingku. “Sendirian Neng? Boleh Akang temenin?”
Cara ampuh mengusir makhluk jadi-jadian ini adalah diam. Dan jangan dengarkan.
“Ih Eneng jawab atuh kalau Akang ajak ngobrol.” Aku menyesap minumanku dalam diam. “Neng, punya mulut kan Neng?” ia duduk disampingku. Aku diam, sama sekali tidak menoleh. Bahkan Gugus pun terlihat menahan tawa. “Neng, mau makan siang. Mau Akang masakin apa?”
Dasar duda tidak tahu malu. Ya Tuhan. Kenapa ada mahkluk seperti ini hidup di dunia. Dan aku sangat-sangat membencinya. Sama dia yang juga membenciku. Kalau bertemu, kami hanya akan saling menghina atau dia yang sengaja mengangguku biar aku merasa kesal.
“Ck, cantik-cantik bisu. Nggak punya mulut ya, Neng? Aduh Neng. Jangan sok jual mahal deh. Jadi perawan tua aja bangga. Ck.” Aku mengepalkan tangan. Aku tahu ini yang akan keluar dari mulut berengseknya itu. Dan aku sudah sering mendengarnya.
“Jangan jutek-jutek amat Neng. Nanti makin nggak laku. Kayaknya Neng perlu nyicip orgasme deh. Biar seger.” Aku tidak tahan lagi. Aku menoleh sengit padanya yang tersenyum lebar tidak tahu malu. Ia tertawa melihat wajahku yang menahan kesal.
“Neng mau nyicip orgasme? Yuk, Akang ajarin. Biar Neng nggak kayak macan bunting lagi. Yuk Neng. Akang tunggu di gudang ya.”
Sialan. Aku menahan diriku untuk tidak melemparnya dengan sepatu tinggi yang kukenakan. Dia berjalan dengan santainya kembali ke kitchen.
Duda katrok tidak tahu diri! Duda kurang orgasme! Sialan.
Reno
~Gue Gila~
"Ren, lo In-Charge besok ya, gue ada acara sama bini gue." Gue menatap sebal bos gue. Hanjir banget. Enak aja nyuruh gue In-Charge, lagian gue juga punya restoran sendiri yang harus gue urus. Hidup gue nggak cuma urus Buttefly aja.
"Ogah, Black Roses mesti gue urus juga, masa iya gue nongkrongnya di Butterfly mulu?"
Ray berdecak. "Kan lo gue gaji, Bego."
Memang dasar anjir nih orang. Iya gue tau gue di gaji disini, tapi mbok yo kasian dikit gitu ama gue, gue juga butuh di belai-belai manja sama seseorang. Bukan dapur mulu yang gue belai tiap hari.
"Gue mau cuti deh,Ray. Butuh liburan gue."
Ray melemparkan pulpen nya ke wajah gue yang ganteng nggak ketulungan ini. Kampret, ini gue kenapa bisa temenan sama makhluk astral kayak begini ya?
"Nggak bisa, lo cuti tahun depan aja."
Hanjir!
Gue beranjak dari kursi yang gue duduki, langsung melangkah menuju pintu, nggak betah gue lama-lama disini, di siksa mulu gue sama bos kampret. Tapi sebelum gue membuka pintu ruangan Ray, gue melepas sepatu yang gue kenakan, melemparnya ke wajah Ray, membuat Ray tersentak kaget.
"Bangsat lo, Ren!"
Gue tertawa terbahak-bahak dan segera kabur dari ruangan Rayyan. Hidup gue udah flat, jadi nggak masalah kalau gue ngisengin orang, toh ngisengin orang masih gratis, belum di kenakan pajak.
**
"Mas Ganteng, tadi ada tamu nyariin Mas Ganteng." Langkah gue terhenti saat mendengar suara Raras, pembokat gue. Gue lalu melangkah ke sofa yang ada di depan televisi.
"Siapa yang nyari?" Gue meraih remote televisi dan mencari-cari chanel bokep kalau ada di TV Kabel.
"Raras nggak tahu, Mas. Tapi yang nyari cewek, cakep." Raras dengan santainya duduk di samping gue di atas sofa. Ck, dasar pembokat nggak tahu diri, dimana-mana pembokat itu duduknya di lantai, bukannya di samping majikan kayak gini. Tapi berhubung gue baik karena selama ini Raras memanggil gue dengan sebutan Mas Ganteng, jadi apapun yang dilakukan Raras, gue maklumin, termasuk suka ketiduran di dapur sambil masak. Itulah alasan kenapa sampai sekarang, gue nggak percaya sama masakannya Raras, perempuan satu ini, bedain garam sama gula aja nggak bisa. Ya kali gue bisa keracunan gara-gara masakannya Raras yang mengenaskan.
"Dia sebutin nama kagak?" Gue menoleh saat mendapati salah satu chanel TV yang menampilkan film roman-roman menye kesukaan Raras.
"Kagak." Raras menjawab tanpa menoleh pada gue, malah asik menonton televisi.
"Ras, lo mending bikinin gue jus buah deh." Gue meletakkan kaki di atas meja, merebahkan kepala gue di punggung sofa.
"Ih Mas Ganteng, nggak suka banget kalau liat Raras seneng." Raras bersungut-sungut sambil melangkah menuju dapur.
"Lo jangan campurin garam ke minuman gue, kalau mau campurin sama gula, lo cicip dulu itu gula apa garam!" Gue berteriak saat Raras sudah menghilang di balik pintu dapur.
"Siap Mas Ganteng!" Raras balik berteriak.
Di rumah ini, gue tinggal sendiri, plus Raras, tukang kebun dan driver gue yang cuma nganggur doang karena gue lebih suka mengendarai kendaraan gue sendiri. Ck, Raras juga, kerjaannya cuma nyapu, ngepel sama nyuci doang, kalau masak, gue masih masak sendiri. Gue kerja banting tulang besi cuma buat gaji para pekerja gue yang tiap hari malah menganggur begini. Kan kampret!
**
Gue tersenyum saat melihat satu perempuan masuk ke dalam Butterfly melalui pintu belakang. Siapa lagi kalau bukan saudara kembar bos gue. Perawan tua jadi-jadian.
Dengan semangat gue melangkah mendekati Rheyya yang duduk di kursi bar. Ini jam istirahat restoran, jadi saat ini restoran sepi, yang ada hanya pekerja yang sedang beristirahat.
"Hai, Neng." gue menyapa saat berdiri di samping Gugus, bartender Butterfly. Rheyya hanya diam, menoleh pun nggak. Ck, sok sombong. "Sendirian, Neng?" Gue kembali menggoda.
Rheyya menatap gue dengan tatapan bengis.
"Galak amat, nggak dapat jodoh nanti, Neng." Gue tersenyum miring.
"Sampah!" Desis Rheyya membuat gue tertawa.
"Neng, nikah ama Akang aja mau nggak?" Kalimat ini selalu terlontar dari bibir gue tiap kali gue ketemu Rheyya.
Rheyya mendelik kesal. "Najis!" Ujarnya sengit.
"Ih Eneng, kalo nikah ama Akang, Akang bikin orgasme tujuh hari tujuh malam deh." Gue menahan tawa melihat wajah Rheyya yang mulai memerah.
"Gila!" Serunya kencang, membuat semua pelayan menoleh pada kami saat ini, bahkan Gugus tak bisa menyembunyikan senyumnya.
"Iya, Akang emang gila, gila karena cintanya Eneng." Gue rasanya pengen guling-guling, sumpah. Menggoda Rheyya memang selalu bikin gue berasa hidup.
"Berengsek!" Rheyya beranjak dari duduknya menuju lantai dua dimana ruangan Rayyan berada.
"Haha…." Gue dan Gugus tidak bisa menahan tawa saat melihat Rheyya berlalu dengan kesal.
Bilang gue gila, tapi begitu liat wajah keselnya kembaran bos, gue berasa bahagia.
Yah anggap aja gue gila.
Rheyya
~Dasar Iblis~
"Mbak Rhe, ini harus ada tanda tangannya Mas Ray lho." Aku mendongak, melepaskan kacamata yang kugunakan dan menatap Rety, sekretarisku.
"Sini coba lihat." Aku meraih laporan yang di sodorkan Rety. Laporan ini terkait pembangunan restoran Bang Ray yang baru di daerah Seminyak, Bali. Memang laporan ini harus di tanda tangani Bang Ray, apalagi ini berhubungan dengan dana pembangunan restoran. Aku meletakkan kembali laporan itu di atas meja, memijat pelipisku yang terasa berdenyut.
"Mbak Rhe sakit?" Aku membuka mata, mendapati Rety duduk santai di depan meja kerjaku. Menggeleng, aku meraih ponsel dan menghubungi Bang Ray.
"Hm." Tidak ada yang suka berbasa-basi di antara aku dan bang Ray.
"Laporan restoran baru perlu tanda tangan lo, Bang."
Terdengar helaan nafas di ujung sana. "Gue sibuk. Rhe. Kamu ke Butterfly aja ya. Abang tunggu."
"Eh tunggu!" Aku berseru saat Bang Ray hendak mematikan ponselnya. "Lo In-Charge hari ini?"
"Kagak, Reno yang In-Charge. Oke Abang tunggu kamu disini ya."
Panggilan terputus begitu saja. Ck, kadang-kadang jika punya kesempatan aku ingin sekali mencekik Bang Ray. Tapi mau bagaimana lagi? Ya sudahlah, jika dulu aku yang suka menindasnya, maka sekarang Bang Ray yang suka seenaknya.
"Ke Butterfly, Mbak?"
Aku meletakkan ponsel di atas meja sambil mengangguk pasrah. "Dia sibuk."
Rety hanya tersenyum, "Ya sudah mumpung sekalian makan siang disana, Mbak."
Aku mendengus sambil melirik jam tangan. Ya memang hampir waktunya makan siang. "Ikut ke Butterfly yuk."
Rety menggeleng sambil tersenyum malu-malu. "Ada janji sama mas Dimas buat fitting kebaya akad nikah Mbak siang ini, sekalian makan siang bareng."
Aku terhenyak, seakan baru tersadar. Sambil tersenyum aku meraih ponsel dan tas. "Ya sudah, saya berangkat sekarang ya. Nanti jangan kirim fotonya ya, Ret. Mau lihat kebayanya kamu."
Rety tertawa, ikut berdiri dan melangkah bersamaku. "Yakin Mbak mau lihat? Nanti Mbak baper lho lihat saya pakai kebaya."
Aku mendengus, menoyor kepala gadis yang usianya lebih muda ini. "Nggak, sudah biasa lihat orang pakai kebaya, kenapa harus baper?"
Rety terkikik geli. "Ya kali aja Mbak nanti mikirnya, kapan ya aku juga pakai kebaya?"
Aku melotot, Rety tertawa. "Setan!" Ujarku kesal lalu segera pergi dari hadapan Rety, meninggalkan gadis itu yang tertawa terbahak-bahak.
**
"Gue di parkiran, Abang dimana?"
Aku menghubungi Bang Ray, namun yang terdengar hanya desahan nafas yang memburu.
"Bang?" Aku keluar dari mobil sambil mengamit ponsel di telinga dan bahu.
"Jangan ke ruangan Abang dulu, tunggu di bawah. Oh hm oke."
Aku terdiam di tempat. "Emang lo ngapain?!"
"ML sama bini gue. Tunggu-aduh Ta, sakit!"
Aku segera menutup ponsel. Ck. Aku masuk melalui pintu belakang restoran seperti biasanya, memilih duduk di bar menunggu Bang Ray menyelesaikan apapun yang dia kerjakan bersama Tita saat ini di ruangannya.
"Hai Mbak Rhe." Aku hanya mengangguk pada Gugus, memilih memainkan ponselku. Tapi sialnya mataku selalu saja melirik ke arah kaca besar yang memperlihatkan kitchen. Disana duda katrok itu sedang melakukan breefing dengan karyawannya. Wajahnya terlihat serius sekali. Ini sudah lewat jam makan siang, macet selalu membuatku melewatkan makan siang, dan bahkan semua pelayan Butterfly pun sedang beristirahat.
Aku memalingkan wajah dengan cepat saat lelaki itu menoleh padaku. Aku menunduk, memainkan game apa saja yang ada di ponselku. Tapi sialnya di ponselku hanya punya satu permainan. TTS yang selalu kumainkan saat sedang ada waktu luang.
"Hai, Neng." dia menyapa saat berdiri di samping Gugus, aku hanya diam, menoleh pun tidak. "Sendirian, Neng?" dia kembali menggoda.
Aku mengangkat wajah dan menatapnya dengan tatapan bengis.
"Galak amat, nggak dapat jodoh nanti, Neng." Dia tersenyum miring. Jenis senyuman yang menjijikkan.
"Sampah!" Desisku membuat dia tertawa.
"Neng, nikah ama Akang aja mau nggak?" Kalimat ini selalu terlontar dari bibir iblisnya itu padaku. Aku mendelik kesal.
"Najis!"
"Ih Eneng, kalo nikah ama Akang, Akang bikin orgasme tujuh hari tujuh malam deh." Bibirnya berkedut-kedut menahan tawa.
"Gila!" Semua pelayan saat ini menoleh padaku.
"Iya, Akang emang gila, gila karena cintanya Eneng."
"Berengsek!" Aku beranjak menuju lantai dua dimana ruangan Bang Ray berada. Tak peduli meski aku mengganggu aktivitas panas Bang Ray bersama Tita.
Sial. Ini yang kubenci kalau datang kesini. Berhadapan dengan iblis dari kerak neraka itu.
Duda katrok sialan. Dasar iblis!
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
