Holding Back: Bab 2

9
0
Deskripsi

“By, nikah, yuk!”

“Hah? Lo ngigo, Jess?”

“Nggak, gue bosan sama hidup gue yang sekarang. Butuh tantangan, nikah seru kali, ya.”

Gue pikir dia udah nggak waras. Ngajakin nikah karena bosan? Di mana-mana orang nikah karena cinta. Tapi kalau menurut gue Jess gila, maka gue pasti lebih gila karena setuju dengan pernikahan itu. Damn!

Dua

 

Gue lupa kapan terakhir kalinya gue punya teman cewek, karena biasanya cewek-cewek yang dekat sama gue nggak mau kalau cuma dijadikan teman, maunya jadi pacar. Makanya gue selalu nggak mau dekatin cewek buat dijadikan teman, mereka baperan, ribet. Tapi kali ini, gue punya teman cewek. 

Benar-benar teman. Empat bulan gue sama Jess berteman, gue udah kayak berteman sama cowok. Jess nggak ada baper-bapernya sama sekali. Kadang gue pikir, ini pesona gue yang ternyata tak sehebat yang gue pikirkan, atau memang Jess nggak anggap gue menarik?

Tapi dalam empat bulan ini, gue lumayan tahu beberapa hal tentang Jess. Dia ternyata cukup cerewet. Sebulan pertama dia masih nggak banyak omong, sementara selalu gue yang mulai komunikasi duluan. Di bulan kedua, Jess lumayan banyak bicara. Tapi belum bisa dibilang kami menjalin komunikasi dua arah. Bulan ketiga, dia mulai ngomel ke gue, tapi masih setengah-setengah. Dan bulan ke empat, dia udah benaran mengomel ke gue, bahkan sampai menoyor kepala gue.

“By, bukan itu!”

Gue menghela napas. “Lo yang pilih deh, gue salah mulu.”

“Emang lo salah!” ketusnya.

Gue menyingkir dan berdiri di depan troli, menunggu Jess yang milih-milih paprika di samping gue. 

Tiba-tiba aja tadi siang dia chat gue, katanya malam ini dia undang gue ke apartemennya buat makan malam. Gue tanya ada acara apa, dia cuma balas minta jemput di kantornya sepulang kerja. Karena udah hapal sama tingkah Jess yang nggak pernah mau jelasin segala sesuatu yang dia lakukan ke orang lain, gue akhirnya nggak nanya lagi. Jadi, gue jemput dia pulang kerja, and here we go supermarket.

Gue pikir kami bakal beli makanan di luar, terus makan di apartemen dia. Tapi gue nggak menyangka kalau dia mau masak. Bukannya gimana, gue rada nggak yakin Jess bisa masak.

Gue perhatikan Jess pilih paprika. Kayaknya yang dia pilih itu, nggak lebih baik dari yang gue pilih tadi. 

“Lo bisa masak, Jess?”

“Nggak.”

Sudah gue duga.

“Terus ngapain lo beli bahan makanan kalau nggak bisa masak?”

“Lo yang masak.”

“Gue?!”

Jess menghentikan kegiatannya memilih paprika. “Iya. Lo bisa, ‘kan?”

“Ya bisa, sih.”

“Nah, ya udah. Lo yang masak.”

“Kenapa nggak beli aja, sih?”

“Gue pengen makan masakan rumahan.”

“Banyak kok, restoran yang sekarang nyediain makanan rumahan. Rasanya nggak jauh beda.”

“Berisik, By. Lo tinggal masak doang apa susahnya?”

“Oke, gue masak. Tapi biarin gue cium lo. Sekali aja.”

Jess menatap gue tajam. “Gue tempeleng, lo mau?”

Gue memutar bola mata. Kalau dia mengancam mau tempeleng gue, bakal ditempeleng benaran. Jess nggak suka kasih ancaman kosong dan gue lagi nggak pengen ditempeleng orang. Jadi gue diam aja. Gue biarin dia memilih bahan makanan apa pun yang dia mau, gue cuma dorong troli mengikuti dia  yang jalan duluan di depan gue.

Saat tiba di depan kasir, Jess membuka tasnya sementara gue lebih dulu nyodorin kartu gue.

“Gue yang bayar,” protes Jess, mencoba menyingkirkan kartu gue dari hadapan mbak kasir.

“Gue yang masak, jadi gue yang bayar. Kalau lo yang bayar, lo yang masak.”

Jess menatap gue sebal sementara mbak kasir meraih kartu yang gue sodorkan. 

Gue membawa dua kantong bahan makanan yang Jess pilih menuju mobil. Sementara dia sibuk menjilat es krim. Gue menelan ludah melihat lidahnya menjilat es krim. Sial, gue jarang kepikiran soal seks sebelum jam sembilan malam. Tapi baru jam enam, otak gue udah berpikir yang nggak-nggak.

Jess masuk lebih dulu ke mobil sementara gue menaruh bahan makanan di bagasi. Dia masih asik menjilat es krim saat gue memasang sabuk pengaman.

“Lo lihatin apa, sih?” tanyanya waktu gue masih perhatikan dia. Gue cuma diam, lihat dia menjilat bibirnya. Gue yakin jakun gue udah naik turun sekarang. “Lo mau?” Jess menyodorkan es krimnya ke depan mulut gue. 

Tanpa pikir panjang gue buka mulut dan ikut jilat es krimnya. 

“Buat lo!” ujar Jess begitu lihat gue jilat es krim di tangannya. Mungkin tadi dia nggak kepikiran gue bakal ikut jilat es krim dia.

“Kenapa? Lo takut gue bawa virus? Asal lo lupa, lo duluan yang jilat. Gue jilat bekasan lo.”

“Buat lo aja.”

“Ogah.”

“Tapi lo jilat.”

“Tinggal lo jilat balik bagian yang tadi gue jilat. Gampang, ‘kan?”

Jess menatap gue sebal dan kembali menjilat es krimnya dengan wajah ketus. Sementara gue menjalankan mobil menuju apartemennya. Gue pikir dia bakal buang es krimnya ke tong sampah, tapi dia tetap menghabiskan es krim yang dia pegang.

“Taruh di basemen aja mobil lo.”

Gue memasukkan mobil menuju basemen. Jess keluar lebih dulu dari mobil. Kayaknya masih kesal dengan gue karena jilat es krim dia tadi. Dia yang menawari, gue cuma ikuti. Jadi kenapa dia yang kesal?

Gue bawa dua kantong belanja memasuki lift bersama Jess.

“Lo yang nawarin, lo yang kesel. Aneh lo.”

“Gue pikir lo nggak bakal mau.”

“Masalah es krim doang, Jess. Besok-besok kalo lo nggak yakin, jangan nawarin makanya.”

Jess cuma cemberut. Lift berhenti di lantai dua puluh lima. Gue mengikuti Jess keluar dari lift menuju unit 2502. Ini pertama kalinya gue ke apartemen Jess. 

“Apartemen gue berantakan.” 

Dia membuka pintu lebih lebar dan gue masuk ke dalam. Gue menatap apartemen yang cukup luas itu. Nggak kayak apartemen cewek-cewek yang gue kenal, apartemen Jess berasa sepi perkakas. Nggak ada pernak pernik khas cewek di sana. Universal. Cat dindingnya warna krem, perkakasnya rata-rata warna cokelat tua. Di ruang tamu ada satu set sofa warna cokelat tua. Lalu di ruang santai ada satu set sofa santai warna cokelat muda. Plus TV dan perangkat audio. Gue mengikuti langkah Jess menuju dapur. Dapurnya terlihat bersih. Mungkin karena nggak pernah dipakai, tapi alat masaknya cukup lengkap. Gue meletakkan kantong berat itu ke atas meja. Jess mulai mengeluarkan isinya ke atas meja.

“Lo pengen dimasakin apa?” Gue menatap bahan-bahan yang tadi Jess pilih.

“Terserah lo aja.”

“Ngapain beli sebanyak ini kalau lo nggak bisa masak?”

“Kan, lo yang bayar. Jadi gue beli banyak juga nggak ngerasa rugi.”

Dia bener, sih. Gue yang rugi.

Gue menggulung lengan kemeja hingga ke siku, sementara otak gue berpikir apa yang bisa gue masak sekarang. 

“Pasta aja gimana?” 

“Emang bahannya ada?”

“Loh, ini apa kalau bukan bahan-bahan pasta?” Gue menunjuk bahan-bahan yang ada di atas meja.

“Oh, buat pasta. Gue asal ngambil aja tadi.”

Gue cuma bisa menghela napas. Jess benaran nggak cocok di dapur. Mungkin dia nggak bisa membedakan antara garam dan gula.

“Terus sisanya buat apa?”

“Masukin aja ke kulkas.” Gue membuka kulkas Jess. Meringis melihat hanya ada bir dan air mineral di sana. Gue akhirnya memasukkan bahan-bahan yang lain ke dalam kulkas. 

“Gue mau mandi. Lo masak, ya.”

“Hm.” Gue berasa babu. Tapi gue cuma diam dan biarin Jess ke kamarnya, sementara gue berkutat dengan bahan-bahan pasta.

Pasta makanan yang cukup mudah dibuat. Gue udah sering banget masak ini di apartemen ataupun di rumah Bunda. Gue asik bernyanyi-nyanyi kecil sambil mengaduk saus pasta, ketika Jess muncul dengan kaus kebesaran dan celana pendeknya.

“Hm, wangi. Lo beneran bisa masak.” Dia duduk di meja pantri, meraih sebutir anggur yang ada di atas meja.

Gue menoleh. Shit, dengan rambut dikucir kuda dan kaus kebesaran itu, dia jadi kelihatan lebih seksi ketimbang memakai gaun malam yang biasanya dia pakai ke Litera.

Ingat, lo cuma teman. Jangan berharap lebih.

Hati kecil gue membisikkan mantra yang biasanya gue ucapkan saat nafsu gue naik karena Jess. Gue memilih fokus pada masakan gue, membiarkan Jess duduk di sana. 

Kami memilih makan sambil nonton TV. Jess bersila di sofa seraya memegangi piringnya. Sementara gue sendiri nggak fokus buat makan karena melihat paha putih Jess.

Jess meletakkan piring kosongnya di meja.

“Enak banget. Nggak nyangka masakan lo seenak ini.”

“Lo masih mau?” Tadi gue masak dengan porsi pas-pasan, dan gue kehilangan selera makan karena lihat paha Jess terpampang jelas di depan gue.

Jess tersenyum semringah, dia meraih garpu dari piringnya lalu meraih piring yang gue sodorkan. Gue meletakkan garpu gue ke atas piring kosong Jess.

“Hari ini hari ulang tahun gue.”

Gue tersedak air mineral. Gue terbatuk-batuk sementara Jess cuma diam di samping gue, asik dengan makanannya.

“Kok, lo baru bilang?”

“Niatnya nggak mau bilang malah.” 

“Tau gitu gue nyiapin kado.”

Jess tertawa. “Gue nggak butuh kado apa-apa, By.”

“Tapi seenggaknya gue harus kasih lo sesuatu.”

“Lo udah kasih gue sesuatu.” Dia mengangkat piring gue. “Masakan lo enak banget.”

“Ah, capek gue ngomong sama lo.”

Jess hanya tersenyum singkat, menumpuk piring kotor gue ke atas piring dia.

“Kenyang banget.” Dia bersandar kekenyangan di sofa. Sementara gue nahan dongkol.

“Lo jangan ngambek cuma karena gue nggak ngasih tahu.”

“Lo sendiri ngambek karena gue jilat es krim lo, padahal lo yang nawarin.”

“Kan, sekarang impas.”

“Impas pala lo!”

Jess tertawa, meraih remote dan membiarkan gue kesal sendiri di sofa.

“Tanggal ini juga nyokap gue meninggal.”

Kalimat itu sukses membuat gue berhenti menggerutu. Jess tersenyum singkat, matanya menatap TV, tapi gue tahu fokusnya bukan ke sana. 

“Jadi bagi gue, ulang tahun gue bukanlah hari yang spesial. Malah hari yang buruk banget. Makanya gue nggak suka ngomongin soal ulang tahun gue. Nggak bikin gue happy, nyakitin malah.”

“Sori, gue nggak tahu.” Gue jadi merasa bersalah karena sudah dongkol tadi. Tapi bukan bermaksud membela diri, gue benaran nggak tahu. Karena Jess bukan cewek yang suka membicarakan soal hidupnya ke orang lain, meskipun itu temennya sendiri. Gue juga nggak tahu nama panjangnya siapa. Gue cuma tahu namanya Jessica. Gue juga nggak tahu orang tuanya di mana, selain fakta yang baru gue ketahui sekarang, kalau nyokapnya sudah nggak ada, gue nggak tahu dia berapa saudara. Dia beneran tertutup. Nggak mau membicarakan soal dirinya sendiri.

Jadi obrolan kami selama ini tentang apa?

Entahlah, kadang tentang kerjaan, kadang tentang cuaca, kadang tentang Jakarta dan segala kemacetannya. Paling banyak tentang kerjaan, sih. Itu aja.

Miris, ya. Empat bulan temanan, gue nggak tahu apa-apa tentang dia. Sementara gue udah ngebacot banyak hal tentang gue dan keluarga gue ke dia. Tapi kalau diingat-ingat lagi, memang gue yang doyan ngebacot sementara dia diam mendengarkan, sesekali kasih respon kayak ‘oh, hm, gitu’.

“Nyokap sakit, kanker. Hari itu rencananya mau ngerayain ulang tahun bareng di rumah sakit. Gue keluar beli kue, tapi pas nyampe di rumah sakit ….” Jess menghela napas pelan. “Nyokap udah nggak ada. Rasanya gue mau marah, tapi nggak tau mau marah sama siapa. Kalau aja gue nggak keluar beli kue, mungkin gue masih bisa nemenin nyokap di saat-saat terakhirnya.”

Gue cuma diam, nggak tahu mau bilang apa.

“Itu terakhir kalinya gue berniat ngerayain ulang tahun. Setelahnya, gue ngerasa benci sama ulang tahun gue sendiri.”

“Boleh tahu nyokap lo pergi waktu lo umur berapa?”

“SMP.”

Lagi-lagi gue cuma bisa diam.

But life must go on.” Jess tersenyum getir. Untuk pertama kalinya gue lihat ekspresi lain di wajahnya selain ekspresi datar dan dingin. Dia natap gue sendu, gue nahan diri buat nggak peluk dia sekarang. Karena gue tahu Jess nggak suka disentuh tiba-tiba.

“Jadi lo di sini sendirian?”

“Yap.”

“Bokap?”

Jess hanya diam. Gue udah mengerti kalau dia diam, artinya dia nggak mau bahas lagi.

“Ngomong-ngomong, apartemen lo keren.” Gue mencoba mencari topik pembicaraan lain. Dan gue bisa merasa Jess lega karena gue nggak maksa bahas masalah keluarga sekarang. Kayaknya topik tentang keluarga itu sensitif buat dia. Ingatkan gue buat mengurangi bahas-bahas tentang keluarga gue ke depannya.

“Keren apaan, biasa aja. Nggak ada yang berubah dari sejak gue beli.”

“Dinding lo kosong.” Nggak ada foto, lukisan atau apa pun di dinding apartemen Jess. Bersih. Kosong. Berasa gue lagi di apartemen Alvian yang mirip kayak gini. 

“Gue nggak suka majang-majang foto. Nggak penting.”

Satu lagi fakta yang perlu gue ingat. Jess bukan cewek mellow yang gampang nangis atau gampang terharu. Dia cewek realistis yang lebih suka dengan kenyataan daripada kehaluan. Dia nggak suka berandai-andai. Dia lebih suka yang pasti-pasti. Jarang-jarang gue menemui cewek yang begini.

Karena nggak ada lagi yang bisa diomongin, gue lebih pilih fokus nonton film yang diputar Jess di Netflix. Pilihan filmnya pun bukan film romantis. Sesuai selera gue, gue juga nggak suka film romantis. Terlalu lebay dan agak nggak masuk di logika gue.

Waktu gue melirik jam dinding, jarum pendeknya sudah di angka sebelas. Gue menoleh ke Jess yang masih fokus nonton.

“Gue balik, udah jam sebelas.”

Jess mendongak ke arah jam, lalu menoleh ke gue. “Thanks udah masakin gue hari ini.”

“Kapan-kapan masakin gue, ya.”

“Jangan kebanyakan ngarep lo.”

Gue cuma ketawa, berdiri dan meraih ponsel di atas meja. Jess ikut berdiri dan mengantar gue sampai ke depan pintu.

“Lo bisa ke bawah sendiri, ‘kan? Gue males keluar lagi.”

“Iya, nggak usah dianter. Gue bukan bocah.”

Gue berniat langsung pergi, tapi Jess menyentuh lengan kemeja gue.

Thanks udah nemenin gue hari ini.”

Gue menatap Jess, tanpa sadar tangan gue terulur untuk menepuk puncak kepalanya. Jess nggak menghindar, dia cuma ngeliatin gue.

“Gue balik.” Gue segera pergi sebelum keinginan buat cium dia datang tiba-tiba. Udah jam rawan gue, biasanya otak gue udah mulai memikirkan yang nggak-nggak kalau jam segini. Gue nggak mau ditempeleng sama dia.

Ingat, cuma teman. Jangan berharap lebih.

Gue masuk ke dalam lift dan bersandar di dinding. Begitu gue sampai di mobil, gue bingung mau ke mana. Biasanya gue ke apartemen Alvian, tapi sejak Alvian dan Aruni pacaran, gue dilarang ke sana sama si kampret itu, karena mereka pacaran di sana. 

Gue malas di apartemen gue sendiri, terlalu sepi.

Pilihan cuma rumah Nyokap, jadi gue menghidupkan mesin mobil menuju rumahnya. Semoga aja Nyokap udah tidur jam segini. Gue malas ditanya-tanyain soal pacar. Nyokap kayaknya makin kepo sama pacar gue sejak Vanala nikah. Gue nggak masalah dilangkahin sama Vanala, tapi hal itu bikin nyokap ribet sendiri. Gue ikutan pusing melihatnya.

“Bang? Dari mana aja? Kok baru pulang?”

Harapan gue sia-sia. Bunda masih duduk di depan TV sama Ayah. Kadang gue heran, Nyokap lupa apa gimana, sih? Gue sudah setua ini masih ditanyain dari mana? Ke mana aja? Udah makan? Tapi balik lagi, namanya orang tua sudah terbiasa memperhatikan anak, mau setua apa pun gue, tetap aja gue anak mereka dan mereka pasti khawatir sama gue. Bahkan Vanala aja, yang sekarang sudah nikah dan jadi seorang ibu, di mata bokap, Vanala masih putri kecilnya. Masih diposesifin padahal adek gue sudah punya suami yang nggak kalah posesif. Kuat banget adek gue menghadapi orang-orang posesif. Untung Vanala nggak jadi gila.

Halaaah, kayak lo nggak posesif aja ke adek lo. Iya, sih, namanya juga adek. Gimanapun gue dari kecil jagain dia. Jadi sudah terbiasa buat posesif ke dia.

“Tadi nongkrong bentar. Aku ke kamar dulu. Mau mandi.”

Tanpa menunggu jawaban Bunda, gue langsung mengacir ke kamar. Sebelum pertanyaan aneh-aneh dari Bunda merusak mood gue.

Gue telentang di ranjang dengan rambut basah. Malas buat keringin lagi. Gue siap-siap tidur tapi ponsel gue bergetar. Menjangkau ponsel yang gue taruh di nakas, gue ngeliat ada chat masuk dari Jess.

 

Jess: By, dompet lo ketinggalan.

 

Gue mengernyit, kapan gue keluarin dompet? Gue coba mengingat-ingat kapan gue mengeluarkan dompet di apartemen Jess?

Ah, waktu gue masak, gue menaruh dompet di atas meja. Kenapa gue sampai keluarin dompet, ya? Entahlah, kadang gue melakukan hal-hal random yang gue sendiri nggak mengerti kenapa gue lakuin itu.

 

Alby: Simpenin. Besok gue ambil.

Jess: Gue bawain ke kantor besok. Lo jemput di kantor gue aja, jam makan siang.

Alby: Oke.

 

Nggak ada basa-basi selamat malam atau selamat tidur dari Jess. Jess bukan tipikal orang yang doyan basa basi busuk. Tapi tetap aja gue nekat. 

 

Alby: Selamat tidur.

 

Gue lihat pesan gue cuma dibaca doang, nggak dibalas. Menghela napas, gue meletakkan ponsel di nakas. Jangan berharap balasan dari Jess. Sampai kiamat nggak bakal dibalas kalau sudah di-read doang. 

Iya, dia memang setega itu orangnya. Ratu tega kalau kata Alvian.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Holding Back
Selanjutnya Holding Back: Bab 3-4
6
0
“By, nikah, yuk!”“Hah? Lo ngigo, Jess?”“Nggak, gue bosan sama hidup gue yang sekarang. Butuh tantangan, nikah seru kali, ya.”Gue pikir dia udah nggak waras. Ngajakin nikah karena bosan? Di mana-mana orang nikah karena cinta. Tapi kalau menurut gue Jess gila, maka gue pasti lebih gila karena setuju dengan pernikahan itu. Damn!
Komentar dinonaktifkan
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan