Holding Back

7
0
Deskripsi

“By, nikah, yuk!”

“Hah? Lo ngigo, Jess?”

“Nggak, gue bosan sama hidup gue yang sekarang. Butuh tantangan, nikah seru kali, ya.”

Gue pikir dia udah nggak waras. Ngajakin nikah karena bosan? Di mana-mana orang nikah karena cinta. Tapi kalau menurut gue Jess gila, maka gue pasti lebih gila karena setuju dengan pernikahan itu. Damn!

Satu 

 

Gue sering melihat dia duduk sendirian dengan segelas minuman di tangan. Selalu di tempat yang sama dengan minuman yang sama. Sejak awal, dia memang tampak menarik. Berbeda dari perempuan kebanyakan yang pernah gue temui, dia tampak dingin sekaligus … menyedihkan.

Jauh sebelum sepupu gue kenal sama dia, gue udah lebih dulu lihat dia. Tapi nggak pernah gue dekati karena dia kelihatannya nggak terlalu suka didekati sama orang asing. Gue sering lihat dia usir cowok-cowok yang berusaha ajak dia ngobrol. Dia datang ke sini, duduk di bar, minum sendirian, terus pulang. 

Tapi sejak Alvian nggak sengaja menyenggol bahunya, tiba-tiba saja mereka langsung hilang dari bar.

Gue selalu duduk di meja ujung dan perhatiin dia, tampak nggak peduli sama dunia sekitar. Gue rasa, bahkan kalau kiamat sekalipun, dia nggak akan tertarik berdiri dari kursinya. Kecuali … kecuali kedatangan sepupu gue, Alvian Wijaya.

“Lo telat.” Wanita dengan rambut sebahu itu menatap sepupu gue cemberut.

Alvian tertawa santai, merangkul bahunya. Tampaknya mereka sangat akrab. “Sorry, kerjaan gue banyak banget.”

“Gue udah bosan di sini. Yuk, cabut.”

Gue cuma bisa mengamati mereka keluar dari bar. Entah menuju ke mana, tapi gue rasa, gue bisa menebaknya.

Gue meneguk minuman sampai sampai habis, lalu melangkah menuju balkon. Mematik rokok, gue memperhatikan lampu-lampu gedung di sekeliling Litera. 

Alvian bilang namanya Jessica. Nama yang cantik, secantik orangnya.

Muntah, muntah deh, lo, tapi jujur aja, sejak pertama kali gue lihat dia, entah kenapa gue jadi suka mengamati dia. Dia nggak suka senyum, wajahnya selalu dingin, ketus, jutek, dan sebangsanya. 

“Ngapain lo bengong di sini?”

Melvin duduk di samping gue dan ikut merokok. Salah satu sepupu laknat gue, dari sekian banyak sepupu yang gue punya. 

“Udah?” tanya gue.

“Udah apa?”

Gue memukul kepalanya. “Udah make out-nya? Nggak bisa nahan ke tempat lain sampe harus di toilet segala?”

Melvin menyeringai. “Kebelet, By.”

“Bapak lo, noh, kebelet!”

“Bokap gue ke sini?!” Melvin menoleh panik. “Di mana? Masih di sini, nggak?!”

“Udah pulang. Gue bilang lo nggak ke sini. Pulang makanya!”

Melvin mengerucutkan bibir. “Sebel gue sama bokap.”

“Masalah yang kemarin?”

Melvin mengangguk.

“Nyokap lo nyariin, Vin. Lo nggak kasihan? Lagian cuma berantem dikit doang, lo udah cabut dari rumah. Entar didepak beneran dari KK, lo guling-guling minta maaf.”

Melvin memukul kepala gue, dan gue balas memukulnya lebih kuat.

“Masa depan gue terancam suram, sih, kalau beneran didepak dari KK.”

“Sadar diri, ‘kan, lo?” cibir gue.

Melvin lebih badung dari gue. Hampir sama badungnya dengan Alvian, tapi Alvian masih nurut sama orang tuanya, sementara Melvin mengajak orang tuanya berantem mulu. Terlebih bokapnya. Ya nggak berantem-berantem sampai saling pukul, adu bacot aja, sih, lebih tepatnya. Dia suka bikin bokapnya darah tinggi. 

Kelakuannya kayak anak setan, sih. Gue curiga dia benaran anak setan.

Ponsel gue bergetar dan gue lihat nama ‘Tante Jihan’ tertulis di layarnya. 

“Iya, Tan?”

“Bang Alby, hari ini ada ketemu Melvin, nggak?”

Gue lirik Melvin yang menatap gue cemberut. Gue lalu menyodorkan ponsel gue ke Melvin.

“Ngomong sama nyokap lo.”

“Nggak.”

Gue memukul kepalanya karena kesal. “Nyokap lo khawatir, babi!”

“Nggak mau!”

Menghela napas kesal, gue mengaktifkan loudspeaker-nya.

“Ngomong aja, Tan. Melvin ada di sebelah aku.”

“A? Aa denger Mama?”

“Hm.” Melvin cuma bergumam.

“Ya ampun, Aa! Mama nyariin, loh. Kok, nggak pernah angkat telepon Mama?”

“Ngambek,” jawab Melvin singkat.

Gue kembali memukul kepalanya mendengar jawaban bangsatnya.

“Mama minta maaf, ya.”

“Kok, jadi Mama yang minta maaf? Papa yang salah, kok.”

Elah kampret, sudah setua ini masih aja kayak bocah. Tapi yang gue herannya, gue masih tetap di sana memegang ponsel gue buat Melvin. Bocah tua yang kelakuan nggak kayak orang dewasa.

“A.” Suara Om Rafan terdengar. “Papa minta maaf. Ayo, pulang, kita obrolin lagi baik-baik. Papa nggak bakal maksa-maksa lagi. Papa janji.”

Namun, Melvin cuma diam.

“Dengerin Papa, ‘kan, A?” 

“Jawab, goblok!” Gue menoyor kepala Melvin saking gondoknya.

“Babi!” Melvin mendesis dan balas memukul.

“Aa?”

“Denger, Pa. Iya, bentar lagi aku pulang.”

“Oke, Papa tunggu.”

Gue menyimpan kembali ponsel ke saku celana.

“Sana lo pulang!”

“Bentar lagi.”

Gue cuma diam dan Melvin ikut diam. 

“By.”

“Hm.” Gue mengembuskan asap rokok ke udara. Gue bukan perokok aktif, tapi kadang-kadang kalau lagi pusing atau stres, biasanya gue lari ke rokok, kadang ke alkohol, kalau rokok dan alkohol masih nggak hilangin stres, gue lari ke seks. 

Rekor ONS gue masih kalah jauh dari Alvian dan Melvin. Gue cuma melakukan itu seminggu sekali, tapi kalau mereka mungkin bisa dua atau tiga hari sekali. Bisa juga tiap hari. Tergantung suasana hati mereka bagaimana.

“Gue sayang lo.”

Gue tersedak asap rokok yang gue telan, gue menoleh dan menatap Melvin dengan bingung.

“Lo kenapa, bangsat? Jangan bikin gue geli.”

Melvin cuma menyeringai. “Pinjem mobil, gue nggak bawa mobil. Males naik taksi.”

“Motor lo ke mana?”

“Di apartemen.”

“Naik taksi aja sana, kalau nggak, naik ojek sekalian.”

“Males.”

“Lo ngelunjak banget jadi manusia. Apa salahnya naik taksi? Nggak punya duit?”

“Pinjem mobil lo pokoknya, gue mau mampir ke suatu tempat.”

Gue memicing. “Jangan harap lo bisa make out sama cewek di mobil gue. Mobil gue masih suci!”

“Elah, buruan. Mana kuncinya? Gue mau pulang.”

Gue memberikan kunci mobil gue ke Melvin. “Kalau sampai lo bikin mobil gue bau, gue tonjok lo.”

“Iya, tenang aja.”

Melvin meraih kunci di tangan gue dan pergi menghilang. Gue cuma bisa natap dia sambil menghela napas. Kadang gue lupa umur Melvin nggak jauh beda sama gue. Tapi tingkahnya bikin gue ingat sama adik bungsu gue, sama-sama kayak bocah.

Gue masih di Litera sampai jam sebelas, karena capek, gue milih buat pulang naik taksi ke rumah orang tua gue.

“Bang? Baru pulang?”

Gue menoleh dan menemukan Bunda lagi asik nonton TV. Gue melirik jam dinding, nggak biasanya Bunda masih melek jam segini.

Gue mendekati Bunda dan duduk di samping Bunda.

“Belum tidur, Bun?”

Bunda menggeleng, memeluk bantal kesayangan Ayah. Ah, gue lupa, Ayah lagi di Bandung, ke tempat Opa buyut gue. Pasti Bunda nggak bisa tidur kalau nggak ada Ayah.

“Mau aku temenin sampai Bunda tidur?”

Bunda menoleh, tersenyum dan membelai kepala gue. “Kamu pasti capek, tidur aja, nanti kalau ngantuk, Bunda ke kamar.”

“Aku temenin, yuk.” Gue menarik tangan Bunda agar berdiri, mengajak Bunda ke kamarnya.

Bunda berbaring sementara gue duduk di tepi ranjang.

“Bang,”

“Hm.”

“Abang udah punya pacar belum, sih?”

Gue menahan diri untuk nggak memutar bola mata. Mulai deh.

“Nggak ada.”

“Tapi normal, ‘kan, Bang?”

Kenapa, sih, keluarga gue tuh, kalau ada yang nggak pacaran lama pasti ditanyain normal atau nggak? Mereka nggak tahu apa, kalau pacaran zaman sekarang tuh, ribet? Cewek-cewek sekarang juga kebanyakan drama. Pusing gue. Gue pengen nyari yang nggak banyak bacot. Ada nggak sih kira-kira?

“Kalau aku gay, aku masih jadi anak Bunda, ‘kan?”

“Abang, serius!” Bunda memukul tangan gue.

Gue terkekeh pelan, meraih tangan Nyokap dan menepuk-nepuknya pelan. “Mending Bunda tidur, biar ketemu Ayah dalam mimpi.”

“Jawab dulu.”

“Normal, Bun. Normal.”

Nyokap pasti bakal menempeleng kepala gue kalau tahu jadwal ONS gue. Padahal dulu Ayah Al bilang, kelakuan bokap nggak beda jauh dari kelakuan gue. Ketemu nyokap aja bokap baru tobat.

Gue menemani Bunda mengobrol sampai Bunda mengantuk. Setiap kali Bunda ditinggal Ayah, pasti kayak gini. Bunda jadi susah tidur. Jadi biasanya gue, Vanala atau Adriel yang nemenin Bunda sampai Bunda tidur. Gue punya dua adik, Vanala dan Adriel. Vanala udah nikah, sama sepupu kami sendiri, Rai Zahid. Mereka udah punya satu anak sekarang, namanya Reyn. Sementara adik gue yang bungsu, masih suka males-malesan sampai sekarang. kerjaannya bikin Bokap naik darah, hampir mirip dengan kelakuan Melvin. Jadi sejak Vanala nikah, yang menemani Bunda kadang gue atau Adriel. Lebih sering Adriel sih, meski dia suka sewot ke Bokap, tapi Adriel termasuk kesayangan Nyokap dan rada takut sama Bokap.

Gue menyelimuti Bunda dan memastikan Bunda udah tidur nyenyak, baru gue ke luar dari kamar Bunda menuju kamar gue sendiri. 

 

***

 

Malam ini dia pakai gaun ketat warna hitam. Duduk sendirian. Tadi pagi Alvian ke ruangan gue, dia lagi bahagia banget karena udah jadian sama Aruni, cewek incarannya. Tapi Aruni cemburu berat sama Jess, Aruni ngelarang Alvian buat ketemuan lagi dengan Jess. Jadi saat sadar kalau Alvian nggak ke Litera malam ini, kayaknya Alvian serius mau jauhin Jess.

Gue berdiri, tanpa pikir panjang gue melangkah ke meja Jess. Duduk di sampingnya.

“Hei.”

Jess menoleh, wajahnya dingin kayak biasanya. Matanya menatap gue sejenak, lalu kembali menatap ke depan.

Anjir, gue dicuekin.

“Gue Alby, sepupu Alvian.”

Jess cuma diam. 

“Lo nggak sama Alvian?”

“Ceweknya katanya cemburu sama gue.”

Ah, jadi Jess tahu. Kayaknya hubungan Alvian dan Jess lebih dekat dari yang gue kira, sampai Alvian bisa cerita soal Aruni ke Jess. 

“Jadi nama lo?”

Jess menoleh dan menatap gue, kali ini lebih lama. “Jess.”

“Gue Alby.”

“Lo udah bilang tadi.”

Dia benar-benar nggak ada ekspresi sama sekali selain keliatan bosan. Memangnya gue ngebosenin banget apa?

“Sendirian?”

“Lo ngeliat gue sama siapa emangnya?”

Ketus banget. Sebelas dua belas sama Aruni. 

Gue nggak tahu lagi mau ngomong apa. Biasanya gue nggak perlu ngomong apa-apa, cewek-cewek yang gue deketin udah ngomong panjang lebar. Kadang gue cukup dengerin, kadang pura-pura dengerin, kadang gue tinggalin. Tapi sekarang, gue yang susah payah buka obrolan. Karena kayaknya Jess nggak bakal ngomong kalau nggak dipancing.

Gue berusaha buka obrolan yang kadang ditanggapi kadang nggak sama Jess. Tapi dia nggak usir gue pergi kayak dia usir cowok-cowok yang deketin dia selama ini. Gue bener-bener putar otak buat nyari bahan obrolan basa-basi. Biasanya gue nggak perlu usaha sekeras ini. Karena gue nggak pernah ngobrol lama sama cewek yang gue deketin. Cukup ngobrol lima menit, selanjutnya kami bakalan check in. Tapi gue udah duduk sejam di sini, udah kayak HRD yang lagi wawancara calon pegawai baru, sementara Jess cuma jawab sepatah dua patah kata. Kadang nggak jawab sama sekali alias gue dicuekin.

Karena gue udah kehabisan obrolan, akhirnya gue cuma diam. Jess juga diam.

Gue sama dia saling diam kayak orang musuhan.

“Gue cabut duluan.” Gue akhirnya memilih pergi ketimbang cuma duduk kayak patung di samping Jess yang asik dengan dunianya sendiri. 

Jess nggak respon kalimat gue, nggak juga noleh ke gue waktu gue berdiri. Dengan perasaan kecewa, gue melangkah pergi. 

Kok, bisa sih dia akrab banget sama Alvian? Sepupu gue pakai pelet apa coba?

Besoknya gue coba lagi. Dia selalu duduk di tempat yang sama. Sendirian.

“Lo nggak mau ganti minuman, gue perhatiin lo cuma minum itu setiap ke sini.”

“Gin?” Jess mengangkat gelasnya. “Gue malas mabuk, gue nyetir.” Dia menyesap minumannya perlahan.

“Oh.” Gue mengangguk dan memainkan tepian gelas vodka gue. 

Gue harus ngomong apa lagi? Segala pertanyaan yang terlintas di benak gue, udah gue keluarin semua kemarin. Yang separuhnya nggak dijawab dan cuma dicuekin sama Jess. Jadi sekarang gue nggak tahu mau nanya apa lagi. tiba-tiba aja basa-basi busuk yang biasanya ada di otak gue, hilang gitu aja.

Yang gue tahu, dia manajer di salah satu perusahaan yang cukup besar di Jakarta. Meski nggak sebesar Zahid-Renaldi. Tapi cukup besar buat perusahaan multinasional.

Jess menghela napas keras di samping gue.

Bad day, huh?”

Jess memainkan bibir gelasnya dengan telunjuk. “Hm,” gumamnya singkat.

Bad days build better days,” ucap gue, mengutip salah satu kalimat di buku yang pernah gue baca. Gue lupa buku apa tepatnya.

Jess mendengkus. “Basi,” ucapnya pelan.

Gue cuma menyeringai. 

Tiba-tiba Jess berdiri.

“Mau ke mana?”

“Ngerokok,” ucapnya melangkah menuju balkon.

Gue menyusul dan ikut berdiri di dinding kaca pembatas balkon. Jess sudah mematik rokok dan menatap lampu-lampu di sekitar Litera. Gue ikut mematik rokok dan berdiri di sampingnya.

“Lo keliatannya akrab sama sepupu gue.”

“Dia orangnya lumayan asik, nggak terlalu berisik, dan nggak kepo sama orang lain.”

Gue merasa tersindir karena kemarin gue nanya-nanya kayak petugas sensus ke dia. Atau emang dia lagi nyindir gue?

“Lo nyindir gue?”

“Nggak.” Jess mengembuskan asapnya ke udara. Dia kemudian menatap gue. “Niat lo deketin gue apa?”

“Nggak ada, cuma pengen ngobrol aja.”

Matanya memicing.

“Emangnya harus ada niat khusus buat deketin lo?”

“Biasanya cowok yang deketin gue emang punya niat khusus.”

“Berarti cowok yang di depan lo sekarang nggak kayak biasanya.”

Dia mendengkus sinis. Ya ampun, sinis banget.

“Gue serius,” sambung gue.

“Gue biarin lo duduk di samping gue, cuma karena lo sepupunya Alvian.”

“Gue tahu.”

“Karena lo nggak punya niat khusus, kayaknya lo mesti jauh-jauh dari gue.”

“Gue ganggu lo banget, ya?”

“Lumayan.”

Gue menghela napas. “Jujur, gue juga nggak tahu kenapa kemarin nyamperin lo. Lo keliatan nggak pengen di deketin manusia. Tapi gue ngeliat lo kayak lagi … kesepian?” Gue mengangkat bahu. “Itu yang gue lihat.”

Jess diam. Menatap gue lekat.

“Mungkin gue salah. Tapi gue udah lama merhatiin lo duduk di sana, selalu di tempat yang sama dengan segelas minuman yang sama. Lo nggak pernah datang sama temen, kecuali sama sepupu gue. Jadi, gue nggak salah dong, kalau bilang lo kesepian?”

Jess lagi-lagi menghela napas berat.

“Lo nggak sepenuhnya bener, tapi juga nggak sepenuhnya salah,” ucapnya pelan.

“Yang mana yang bener dan salah?”

“Temen. Lo bener. Gue nggak pernah datang bareng temen. Karena emang gue nggak punya temen. Tapi tentang kesepian, lo salah. Gue nggak kesepian.”

Orang yang biasanya mati-matian menyangkal kalau dia kesepian, aslinya dia memang kesepian banget. Sama kayak orang yang selalu bilang ‘I’m okay’ aslinya dia nggak baik-baik aja. Karena nggak pengen Jess ngamuk karena gue ngotot bilang dia kesepian, gue akhirnya mengalah. 

“Kalau gitu gue bisa jadi temen lo.” Entah dari mana kata-kata itu berasal, gue sadar waktu gue udah selesai ngucapin kalimat itu dari bibir bangsat gue.

Jess diam, menatap gue lekat. Gue udah mau ralat kalimat gue dengan bilang ‘Itu kalau lo mau, gue nggak maksa’, tapi kalimat itu urung gue ucapin karena dia mengangguk gitu aja.

“Lo … lo serius?”

“Lo bilang jadi temen, ‘kan?”

“Ya.”

“Ya udah, temen. Lagian gue tahu, gue bilang enggak sekalipun, lo bakal tetep gangguin gue besok. Alvian selalu bilang sepupunya suka nyolot.”

Tapi gue bahkan belum nyolot sama sekali. Sepupu berengsek. Nggak bisa cerita yang bagus-bagus aja apa? Perlu ya, aib-aib persepupuan diumbar-umbar nggak jelas? 

Tapi hal baiknya, status gue dari ‘orang yang dicuekin’ naik pangkat jadi ‘orang yang jadi temen’. 

Hm, not bad.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Holding Back
Selanjutnya Holding Back: Bab 2
8
0
“By, nikah, yuk!”“Hah? Lo ngigo, Jess?”“Nggak, gue bosan sama hidup gue yang sekarang. Butuh tantangan, nikah seru kali, ya.”Gue pikir dia udah nggak waras. Ngajakin nikah karena bosan? Di mana-mana orang nikah karena cinta. Tapi kalau menurut gue Jess gila, maka gue pasti lebih gila karena setuju dengan pernikahan itu. Damn!
Komentar dinonaktifkan
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan