Astrophile

68
33
Deskripsi

Yeah, langit itu cantik. Dan aurora itu juga cantik.

Astrophile


 

Gue pernah diajak Daddy pergi ke Rusia pada ulang tahun yang ketiga belas, bersama Mas Rega, Mami dan Kirana. Kami melihat aurora di St.Petersburg, itu adalah pengalaman yang tidak pernah terlupakan. Gue begitu takjub melihat langit pada malam itu. Langit berwarna hijau, begitu cantik. Sejak itu, gue menjadi suka memandang langit. Meski yang terlihat di Jakarta hanyalah langit yang penuh polusi, tapi kadang Daddy membawa gue dan Mas pergi ke Bandung, di Bukit Bintang kami bisa melihat city light dan juga langit yang ditaburi bintang.  

Gue begitu takjub pada aurora yang gue lihat di usia tiga belas tahun, gue berjanji, suatu saat gue akan pergi sendiri ke Rusia untuk melihat aurora. Sekarang gue belum bisa melakukannya, Gue hanyalah bocah berusia tujuh belas tahun yang baru saja berhasil mendapatkan KTP dan SIM.

Tapi ada satu aurora yang bisa gue lihat setiap hari. Namanya Aurora Starla Yudana. Dia bersinar layaknya aurora kehijauan yang gue lihat waktu itu, dia juga cantik. Dan dia juga menakjubkan. Gue sudah mengenalnya sejak kami sama-sama masih murid baru di SMA Artha Bima ini.

Tapi sayangnya dia … menyukai kakak kembar gue—Mas Rega.

“Psssttt, Ga.”

Gue pura-pura tidak mendengar dan sibuk menikmati makanan.

”Ga.”

”Apa, Ra?” Gue menoleh padanya yang duduk di bangku samping. “Nggak lihat gue lagi makan?”

”Lihat, nih, gue beliin minum.” Dia meletakkan sebotol air mineral ke hadapan gue.

Thanks, pasti ada maunya.” Gue mengambil air itu dan membuka tutupnya.

”Bilangin sama Mas lo, dong, gue boleh gabung di OSIS, nggak?”

”Ya nggak bisa, lah. Pemilihan anggota OSIS udah lewat. Lo kemana waktu pemilihan?”

”Sakit.” Wajahnya yang cantik cemberut. “Gue opname seminggu di rumah sakit.”

”Ya udah, terima nasib aja lo.”

FYI, Mas Rega memang ketua OSIS tahun ini, ketua OSIS paling pendiam dan dingin, namun malah paling banyak digilai perempuan. Padahal Mas gue jangankan melihat mereka, menganggap mereka hidup aja mungkin nggak. Baginya benda mati seperti buku lebih menarik daripada benda hidup seperti manusia.

”Gue suka banget sama Rega.”

”Mas gue nggak mau pacaran. Dia udah bersumpah di depan Tuhan sebelum dia jadi dokter, dia nggak akan pacaran. Jadi … tunggu aja sepuluh tahun lagi atau bisa jadi lebih dari itu.”

”Jadi dokter ‘kan nggak selama—“

”Oh, lupa bilang. Dokter Spesialis Saraf, maksud gue.” Gue menyeringai. 

Aurora menghela napas. “Harus jadi dokter banget?”

”Iya, itu cita-cita dia dari kecil. Ya … cita-cita gue juga, sih. Tapi gue pindah haluan.”

”Kenapa? Karena lo bego?” Tanyanya dengan ekspresi polos, Gue tahu dia hanya pura-pura.

”Karena gue nggak akan bisa nikmati hidup kalau jadi dokter. Bokap gue contohnya. Dari awal kuliah sampe sekarang yang dia tahu cuma rumah dan rumah sakit. Nggak bisa main-main. Untungnya bisa jatuh cinta, jadi bisa nikah. Kalau nggak, gue nggak hadir di dunia ini. Lo nggak akan ketemu cowok super awesome kayak gue.”

Aurora memutar bola mata.

”Makanya gue berubah haluan, nggak mau ubanan di rumah sakit. Ngeliat orang sakit, otak gue ikutan sakit.”

”Emang lo mau jadi apa?”

Gue mengangkat bahu. “Lihat nanti, deh. Gue belum kepikiran.”

”Kita udah kelas dua, lo nggak punya tujuan?”

”Punya lah, tapi nggak perlu diumbar-umbar juga, kali.” Sewot gue. “Kalau lo?”

Dia tersenyum lebar, gue memicing melihat senyumnya. “Impian gue?” Gue mengangguk. “Jadi kakak ipar lo.”

Gue terdiam untuk sejenak, lalu tertawa kencang sampai semua kepala di kantin ini menatap kami. 

“Nggak usah mimpi, Ra.”

”Kenapa? Bisa aja gue nungguin Mas lo jadi dokter.”

Gue menggeleng. “Kalau pun lo nunggu, Mas gue nggak akan mau sama lo.”

”Kenapa?”

Gue hanya tersenyum simpul. “Rahasia. Ini rahasia antara gue dan Mas gue. Bakal gue simpan sampai gue mati.”

”Bisikin ke gue, please.”

Nope. Mas gue kalau udah marah, serem. Cukup sekali gue ngeliat dia marah, nyawa gue berasa di ubun-ubun.”

”Bisikin dong, gue janji nggak akan bilang siapa-siapa.”

”Nggak.” Tegas gue. Untuk yang satu ini, gue akan menjaga rahasia Mas sampai ke liang lihat, sampai dia sendiri yang mengungkapkan rahasia ini kepada orang-orang. Gue masih sayang nyawa. Mas memang orang yang sabar, tapi kalau dia sudah merasa begitu marah, maka Daddy atau Mami pun tidak akan bisa menenangkannya.

Itulah mengapa orang selalu bilang ‘Jangan membangunkan macan yang sedang tidur’. Diterkam, mampus lo!

“Pelit lo!”

”Daripada gue dipenggal, thanks, gue masih kepengen hidup damai.”

”Segitu seremnya kalau dia marah?”

”Kalau nggak percaya, coba aja bikin dia marah,” ujar gue santai.

”Nggak, deh. Anak-anak lain bilang dia tegas dan nakutin. Untuk urusan OSIS aja dia nggak main-main.”

”Tuh, tahu.”

“Susah banget sih ngambil hati Mas lo.”

Gue hanya tersenyum santai. Ngambil hati Mas sebenarnya mudah, tapi hanya bisa dilakukan oleh orang-orang tertentu. Dan tentunya Aurora bukan salah satunya.


 

*** 


 

Di rumah ada tiga peraturan tak tertulis.

Pertama: Dilarang bicara kasar dengan orang yang lebih tua. Umpatan seperti fuck, shit, brengsek dan sekawannya yang lain, dilarang keras. Padahal Mami kalau marah sama Papa Vero suka ngomongin Papa Vero brengsek. Papa Vero itu sahabat Mami, yang sudah dianggap sebagai keluarga. Keluarga Papa Vero tinggal di rumah sebelah, sudah menjadi tetangga kami sejak lama.

Kedua: Dilarang sengaja mencari masalah, kalau ada masalah diomongin baik-baik bukannya ngajak berantem. Gue pernah sekali nyari masalah sama Mas, gue yang salah, sih, alhasil Mas marah banget sama gue, dan itu pertama kalinya gue ngeliat Mas semarah itu. Sejak itu, kalau gue sebel sama dia, gue omongin baik-baik ke dia. Takut bikin dia marah lagi dan nyawa gue melayang.

Dan terakhir: Jangan bikin Kirana nangis dengan sengaja. Adik gue sekarang umurnya delapan tahun, nakalnya kebangetan, suka bikin ulah. Tapi paling disayang sama Daddy, jadi sebagai anak kesayangan yang dibela Daddy habis-habisan, Kiran punya kuasa penuh untuk memuat gue jengkel bukan main.

”Ayo, dong, Ran. Balikin hapenya Aa.”

”Nggak.”

Gue berdiri di bawah rumah pohon, menatap Kiran dengan tatapan memelas.

”Adek mau dibeliin apa? Aa beliin, deh.” Rayu gue.

”Nggak mau!”

Kalau aja nih bocah bukan adik kesayangan gue, udah gue tabok kepalanya. Sayangnya gue sayang banget sama dia.

”Aa mau latihan futsal, Dek. Nanti kalau pulang, Aa beliin es krim, mau?”

”Mas udah beliin Kiran es krim tadi.”

Mas sialan! 

“Mau candy? Yupi?”

”Nggak.”

Ponsel gue berbunyi, gue menatap cemas sementara Kirana menyeringai.

”Adek ….” Gue memicing.

Dengan santainya Kirana mengangkat panggilan itu. “Halo … nggak ada … Aa mati—“

”Kiran!”

”Ini siapa? Oh … siapa aja. Bye.”

Kirana segera melempar hape gue ke bawah, buru-buru gue tangkap sebelum menyentuh tanah.

”Aa laporin sama Daddy kalau Adek nakal!” Hanya itu ancaman yang bisa gue berikan.

”Laporin aja, Adek juga bilang sama Daddy kalau Aa bohong.”

”Aa bohong apa memangnya?”

”Mau beliin Adek slime tapi nggak dibeliin karena Aa bohong. Inget, bohong dosa!”

”Kan Aa udah minta maaf, Aa lupa.”

”Aa bohong!” Kiran menutup pintu rumah pohon dengan membantingnya. Gue hanya bisa menghela napas. “Begini banget punya adek cewek, rasanya pengen gue cekik!” Omel gue sambil berjalan menjauh dari rumah pohon.

”Mau nyekik siapa?” Mas berdiri di ambang pintu belakang, bersedekap seraya memicing.

”Adiknya Mas!”

”Kamu berarti.”

”Adiknya Mas yang satu lagi!”

”Kamu yang bohong kenapa kamu yang marah?” Tanyanya dengan suara tajam. Kalau dia udah bicara dengan nada itu, jantung gue mau copot rasanya. Serem, asli, deh. 

”Lupa, Mas. Aku beneran lupa.”

”Makanya jangan suka bohong.”

”Aku nggak bohong. Lupa dan bohong itu beda, Mas! Nyebelin banget!”

Mas hanya berdiri santai di ambang pintu, tak peduli kalau aku sudah misuh-misuh, dia hanya diam dengan wajah tenang seperti biasanya. 

Menahan kesal, gue melangkah kembali ke kamar sambil melihat siapa yang tadi menghubungi gue.

Aurora. Gue menekan layar untuk menghubungi dia kembali.

”Halo.”

Sorry, tadi hape gue ditahan adek gue.”

”Adek lo? Suaranya imut banget. Dia bilang lo mati.” Aurora tertawa.

”Suaranya imut, kelakuannya amit!” Gue berbaring di ranjang. “Ngapain lo telepon gue?”

”Lo hari ini latihan futsal, ‘kan?”

”Iya.”

”Mas lo ikut, nggak?”

”Ikut. Kenapa?”

”Gue mau ikut nonton, dong.”

”Datang aja, banyak anak-anak lain juga datang kadang.”

”Alamatnya?”

Gue menyebutkan tempat latihan futsal yang biasa.

”Oke, deh. Ntar gue datang.”

”Hmm.”

Gue bangkit berdiri dan memasukkan baju futsal ke dalam ransel, sekalian sepatu dan handuk kecil. Sambil membawa tumbler dan ransel, gue keluar dari kamar, bersamaan dengan Mas yang keluar dari kamarnya. Kami berjalan menuju dapur. Gue mengisi tumbler dengan air minum, begitu juga dengan Mas.

”Mau ke mana?” Mami masuk ke dapur, menatap kami berdua.

”Latihan futsal, Mi.”

”Jangan pulang malam-malam.”

”Iya.” Gue menyalami tangan Mami dan Mas juga melakukan hal yang sama.

Mas mengambil kunci mobil dari wadah sementara gue mengambil kunci motor.

”Ngapain? Ikut mobil Mas aja.”

”Aku bawa motor aku aja, deh.”

”Ikut mobil Mas aja.” Suaranya masih tenang.

”Nggak!”

”Aga.” Nada suara Mas mulai berubah dingin.

”Aku ntar mau mampir ke rumah temen aku.”

”Mas anter.”

”Mau nongkrong sekalian.”

”Mas tungguin.”

”Nggak. Aku bawa motor sendiri. Ketemu di tempat futsal, bye.” Gue melangkah menuju motor gue dan menaikinya, Mas masih berdiri di dekat pintu memegang kunci mobilnya, mengabaikan Mas, gue langsung pergi meninggalkan rumah. 

Di ulang tahun kami yang ke tujuh belas kemarin, Daddy memberi kami hadiah, kami boleh pilih apa yang kami mau. Mas memilih mobil agar tidak perlu diantar jemput lagi oleh Pak Joko. Sementara gue memilih motor daripada mobil. Gue malas macet-macetan di jalan. Nggak sabar banget bawa mobil kayak keong. Mending motor, gue bisa nyalip sana sini. Daddy setuju-setuju aja atas pilihan gue asal jangan kebut-kebutan kayak preman. Jadi sudah dua bulan gue dan Mas nggak perlu diantar sana sini lagi sama sopir. Bisa pergi sendiri-sendiri.

Gue sampai lebih dulu, di sana sudah ada Doni dan Umar. Tinggal nunggu Mas dan Ucup—namanya Yusuf tapi kami panggil Ucup. 

“Mas lo nama, Ga?”

”Otw.” Ujarku sambil mengganti baju dengan seragam futsal. 

“Nggak bareng?”

”Dia bawa mobil, gue males macet.” Gue mengeluarkan sepatu dari ransel dan mengganti sepatu. 

Kami memutuskan untuk pemanasan dulu, tidak lama Mas dan Ucup sampai barengan. Mereka ganti baju sementara para cewek-cewek yang jadi suporter juga ikut datang.

“Kalau lo dan Mas lo yang main, suporter cewek banyak banget.” Ucap Umar menatap sekumpulan cewek-cewek yang lagi asik foto-foto.

Gue hanya tertawa. Pandangan gue beralih pada Aurora yang masuk ke tepi lapangan, celinguk-celinguk kayak anak hilang. Lucu banget, kayak anak bebek. Gue berlari menghampirinya.

”Hai.”

”Oh, hai.” Aurora tersenyum lebar. “Udah mulai?”

”Belum, lagi pemanasan. Mas gue juga lagi ganti baju.”

Aurora tersenyum lebar. 

“Bawa apa lo?” Gue menatap paperbag yang dia bawa.

”Minuman.” Dia mengeluarkan salah satunya. “Nih. Buat yang lain juga.”

”Smoothies?” Gue tertawa melihat dia menyerahkan smoothies stroberi.

”Suka, ‘kan?”

Nggak, sih. Tapi karena dia udah beli, ya udah, diminum aja. Kasian kalau gue buang. Ntar nih anak ngambek. “Lumayan.” Jawab gue. “Yuk, lo bagiin deh ke anak-anak yang ngeliat ke sini sambil melotot itu. Kalau lo nggak bagi ke mereka, dipastikan mereka bakal rebut minuman gue.”

Aurora melangkah di samping gue menuju tempat duduk di mana teman gue yang lain menunggu. Dia membagikan smoothies yang dia bawa. Nggak ada yang mengeluh dengan rasa stroberinya yang asam, nih anak-anak dikasih minuman rasa urin juga bakal dibabat habis sama mereka. Ucup datang dan langsung berbinar ketika Aurora menyerahkan smoothies padanya. Terakhir Mas ikut bergabung. Ketika Aurora menyodorkan smoothies itu, Mas menggeleng.

Sorry, gue nggak minum es, lagi nggak enak tenggorokan.” Ucapnya mengeluarkan tumbler dari tas.

Rasanya gue kepengen nabok kepala Mas gue!

”Terima aja, Mas. Udah dibeliin juga.” Sewot gue.

”Terima tapi nggak diminum namanya mubazir, mending kasih ke mereka aja.” Ucapnya dengan tidak punya hati sambil memegang tumbler-nya.

Kalau aja dia bukan kakak gue, udah gue ajak berantem nih orang! Apa susahnya sih terima pemberian orang lain?! Gue melirik wajah Aurora yang diam sambil memegangi smoothies di tangannya.

”Buat gue aja.” Gue mengambil minuman itu dari tangan Aurora.

“Tapi lo udah punya—“

”Gue suka smoothies.” Gue minum keduanya sekaligus.

Anying! Asem banget! Bisa nggak sih dia beli yang rasa mangga, gitu? Atau alpukat? Yang hobi makan stroberi ini si Rion dan Cia—anak Papa Vero. Bukan gue atau Mas. 

Tapi nggak tega ngeliat wajah Aurora yang sedih karena smoothies-nya ditolak, mau nggak mau gue minum aja keduanya. Sakit perut, sakit perut deh, gue ntar.

”Pegangin.” Gue menyerahkan kedua smoothies itu padanya. “Minum aja kalau lo mau, tapi bekasan gue.”

”Ogah!” Sewotnya sambil memegangi kedua minuman itu.

”Duduk di sini.” Gue menariknya duduk di kursi panjang di mana ransel kami diletakkan. “Jagain tas. Jangan sampe digondol maling.”

”Nggak ada maling di sini, Aga!” Sewotnya.

Dia duduk di dekat tumpukan tas sambil memegangi minuman gue. Gue ketawa geli melihatnya. Dia mungil, cantik, putih, lucu, gemesin. Tapi tukang ngambek dan emosian. Setahun lebih kenal sama dia, dia sering bikin gue ketawa sekaligus bikin gue emosi.

Gue menepuk pelan puncak kepalanya sebelum lari ke lapangan untuk mulai bermain. Gue mendekati Mas yang berdiri di samping Ucup.

”Jangan galak-galak banget sama anak orang. Kasian.” Bisik gue.

Mas menoleh dengan satu alis terangkat, lalu kembali menatap ke depan, mengabaikan gue. Rasanya pengen gue pites kepalanya! Tapi takut dosa! Padahal dia tua lima belas menit doang dari gue! Mas gue kalau udah cuek, cueknya kebangetan. Tapi kalau udah perhatian, lo minta diambilin bulan juga bakal dijabanin ama dia.

Kami bermain selama empat puluh menit. Gue udah banjir keringat. Tim gue menang. 2-0. Kami kembali ke tepi lapangan, gue meraih handuk di dalam tas untuk menyeka keringat. Aurora masih duduk kayak bocah kecil di ujung kursi. Dia kayak bocah SMP saking mungilnya. Ya nggak mungil-mungil amat, sih. Tapi tetap aja dibanding gue yang tinggi, dia cuma seketek gue doang. Padahal tingginya mungkin seratus lima puluh lima sentimeter, tetap aja dia kelihatan kecil bagi gue.

“Mas lo sukanya minum apa?” Tanyanya waktu gue duduk di atas lantai, di sampingnya. Sambil minum smoothies kampret yang rasanya asem banget. Mana dua cup lagi. Double kampret!

”Air putih. Dia nggak doyan minum aneh-aneh.”

”Makanan kesukaan?”

”Masakan nyokap gue.” Bukannya sombong, tapi masakan Mami lebih enak daripada semua makanan yang pernah gue makan. Makanan restoran bintang lima mah lewat.

”Mas lo suka apa lagi selain itu?”

”Hmm … buah melon. Kami—Mas gue suka banget buah melon.” Gue juga.

”Oke, deh. Minggu depan gue bawain buah melon buat Mas lo. Atau gue bawain aja ke sekolah besok?”

”Terserah.” Satu cup udah habis, yang satunya lagi sisa setengah. Kembung banget gue minum beginian. Mau dibuang, ntar nih cewek pendek ngambek. Gue males ngadepin cewek ngambek! Jadi gue memaksakan diri untuk menghabiskan yang satu lagi. “Besok-besok kalau lo beli minuman yang beginian, rasa mangga, kek. Yang manis.”

”Stroberi manis, kok.”

Iya, buat yang suka. Buat yang nggak begitu suka kayak gue? Rasanya lebih kecut daripada bau ketek! 

Gue membuang cup ke tong sampah, perut gue begah banget minum dua cup begini. Mabuk smoothies gue bentar lagi.

”Lo pulang pake apa?”

”Sopir gue nunggu di depan.”

”Pulang sana.”

”Oh, udah mau pulang?”

“Nggak, sih. Gue mau nongkrong dulu bareng yang lain. Mas yang pulang. Tapi ini khusus cowok-cowok, cewek-cewek nggak diajak.”

”Ya udah, gue pulang juga, deh.”

Mas bahkan sudah melesat ke parkiran sejak tadi, tanpa nungguin gue. Ck, kakak gue nyebelin banget! Sambil membawa tas, gue menemani Aurora menuju mobilnya yang menunggu.

Thanks minumannya. Inget pesen gue, jangan yang stroberi lagi.”

”Iya, bawel lo!” Dia masuk ke mobilnya, tapi langsung menurunkan kaca jendela menatap gue. “Thanks, Ga.”

”Hmm, udah pulang sana.”

Bye.”

”Bye.”

Gue melangkah menuju motor. Mobil Mas juga udah menghilang, setelah mengenakan helm, gue pergi ke kafe yang tidak jauh dari sini. Ucup, Umar dan Doni pasti sudah di sana.

Gue nongkrong di sana sampai dua jam lamanya, nggak kepengen disembur Mami, gue pamit pulang duluan. Begitu pulang, semua orang baru aja selesai makan malam.

”Nggak makan, A?” Tanya Mami saat gue cuma duduk di kursi buat minum.

”Udah tadi bareng temen-temen, Mi.” Juga kenyang banget gara-gara minuman kecut pemberian Aurora.

”Ya udah, mandi sana, kamu bau banget.”

”Nggak, kok. Cium aja, nih!” Gue mendekatkan tubuh ke Mami yang ketawa sambil memukul bahu gue pelan. ”Mas mana, Mi?”

”Ada tadi, tapi nggak tahu kabur ke mana habis nyuci piring.”

Peraturan lainnya di rumah gue, setiap malam semua orang gantian nyuci piring. Oh, semua orang itu sebenarnya: Gue, Mas, Daddy—Kirana nggak masuk karena masih kecil—dan Mbak Sri. Kecuali Mami, kami semua dapat jatah nyuci piring. Kalau Daddy nggak di rumah, ya nggak apa-apa kalau nggak nyuci piring. Tapi kalau gue atau Mas nggak di rumah, kalau malam ini kami absen, malam besok tetap kebagian nyuci piring. Jadi nggak bakal bisa menghindari tugas. Mami gue kejam soalnya, baiknya cuma sama Daddy doang, atau sama Kiran juga. Tapi tunggu aja Kiran gede, bakal dapat ‘kekejaman’ yang sama dari Mami.

Nggak lama gue dengar suara Mas ketawa. Gue mengintip ke halaman belakang. Mas lagi main ayunan sama Cia. Keduanya lagi ketawa bareng. Cia baru umur enam tahun, btw.

”Mas, dorong Cia, ya.” Cia berdiri di atas ayunan.

”Duduk aja, jangan berdiri.” Mas memegangi Cia dengan hati-hati.

”Cia mau berdiri. Makanya Mas dorong.”

”Oke, Mas dorong. Pelan-pelan aja, ya. Nanti kamu jatuh, dimarahin Daddy.”

”Iya!”

Gue masih bersandar di ambang pintu, bersedekap sambil ngeliatin keduanya main ayunan dan ketawa-ketawa bareng.

Sudah gue bilang, ngambil hati Mas itu gampang, kok. Cuma emang orang-orang pilihan aja yang bisa bikin dia ketawa selebar itu. Cia salah satunya.


 

Sorry for typo 💜

Nah, gimana? Kita ke cerita remaja dulu kali, ya. Biar ntar enak nyeritain Kiran versi dewasanya. Cerita buat Mas yang terakhir dari 3 seri ini nanti. Jadi Aga duluan, Kiran, terus Mas. Wkwkwk.

Setubuh?! Eh setuju? Harus setuju! #Maksa


 

post-image-66a51d41dcd29.jpeg

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Astrophile
Selanjutnya Best Moment: Bab 55 [END]
59
23
WARNING! Mengandung adult content!Akhirnya kita mencapai Bab END, guys!
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan