
VERSI BUKU.
Aruni membenci Alvian Wijaya. Alasan pertama karena pria itu mencuri ciuman pertamanya sepuluh tahun lalu. Alasan kedua karena pria itu menyebalkan, penjahat kelamin yang hobi bergonta-ganti pacar. Aruni berniat menjauhi Alvian meski pria itu adalah bosnya.
Tapi apakah Aruni benar-benar bisa menolak pesona pria itu? Terlebih ketika pria itu mengejarnya dan memintanya menjadi kekasih. Oh, ngomong-ngomong, Aruni sangat suka senyum di wajah pria tampan itu.
Aruni
“Astaga, Run, nggak ada kaus yang lain?” Bunda menatapku saat aku memasuki ruang makan dengan kaus pudarku.
“Kenapa, sih? Aku suka kok, sama kaos ini.”
Bunda menghela napas. “Udah pudar gitu warnanya.”
“Ya terus?”
“Udahlah, Bun. Biarin aja.” Suara Ayah terdengar, siap membelaku seperti biasanya.
“Tapi malu dong, sama tamu—”
“Nggak kok, Na. Santai aja.” Tante Bella yang bersuara, lalu Tante Bella menatapku. “Tante juga sering pakai kaus yang sama berulang-ulang, nyaman aja gitu rasanya.”
“Iya, Tan.” Akhirnya, ada juga yang mengerti tentang hobiku mengenakan baju kaus usang saat di rumah. “Ini kaus kesayangan, Papa yang beliin waktu di Paris.”
“Iya, lima tahun yang lalu. Sampe warna kaosnya pudar gitu, tetap dipakai,” gerutu Bunda.
“Itu Mas yang beliin, artinya dia sayang banget sama ayahnya, iya, ‘kan, Kak?”
Aku mengangguk semangat. Dan lagi-lagi ada senyum mencibir dari seberang meja makan kepadaku. Bodo amat!
Mau dia mengejekku atau apa pun itu, aku tidak peduli. Sekali menyebalkan, dia akan selalu menyebalkan.
“Gimana suasana kantor? Kamu suka?” Om Alfariel bertanya seraya mengunyah makanannya.
Aku mengangguk. “Suka, Om.” Kalau aku mengadu bahwa aku hari ini dijadikan babu, maka Pak Alvian akan menambah daftar cibirannya untukku. Aku tidak akan memberinya kesempatan untuk mengejekku lagi malam ini. Aku sudah lelah, jangan sampai aku mengamuk di ruang makan ini, akan membuat Bunda marah karena sikapku yang memalukan.
“Kenapa Aruni nggak dimasukin aja ke proyek terbaru, A?” Tante Sansha menatap putranya.
Pak Alvian yang asik dengan makanannya, mengangkat wajah. “Aruni baru sehari bekerja, Ma, belum bisa gabung dalam proyek—”
“Kamu pikir anak Om nggak bisa?” Ayah langsung menyambar dengan suara sewot.
“Bukan nggak bisa, Om. Tapi Aruni masih pegawai magang, apa kata yang lain kalau dia langsung terjun ngurus proyek, sementara yang bisa gabung buat sebuah proyek cuma pegawai senior.”
Ayah mendengkus, “Anak saya ini cerdas, kamu tahu?”
Aku memutar bola mata. Sementara Pak Alvian tersenyum miring.
“Tahu, saya tau kalau Aruni itu cerdas.”
Kata cerdas yang dia ucapkan, sangat tidak enak di dengar. Tapi aku memilih mengabaikan, aku tidak butuh pengakuan darinya. Aku segera mengalihkan pembicaraan ketika Ayah tampak ingin kembali bersuara.
Aku tahu maksud Ayah baik, membelaku. Tapi sungguh, aku tidak butuh pembelaan. Aku sadar diri dengan statusku sebagai karyawan magang, Ayah tentu tidak terima dengan status itu. Tapi bagiku, aku memang belum bisa masuk ke dalam proyek bersama senior-seniorku. Secerdas apa pun aku, dunia kerja masih baru untukku.
“Om, aku suka banget sama rancangan Om buat museum di Surabaya itu,” ujarku kepada Om Aaron. “Ayah juga suka katanya, iya, ‘kan, Yah?”
“Hm.” Ayah hanya bergumam, gengsi untuk mengakui bahwa hasil rancangan Om Aaron tetap yang terbaik.
Om Aaron tersenyum padaku. “Sebenarnya, dibantu sama Alvian.”
Senyumku seketika sirna. Aku menatap datar Pak Alvian yang menatapku dengan satu alis terangkat. Aku memelotot? Mau apa dia? Menungguku memujinya? Jangan mimpi!
Dia memelotot saat kata-kata pujian tidak kunjung keluar dari bibirku. Sementara aku hanya mendengkus.
“Itu saya yang bantu, Run,” ujarnya.
“Lalu?” Aku menanggapi dengan acuh.
“Kamu nggak mau bilang kalau hasil kerja saya bagus?”
Aku mengangkat bahu. “Penting?”
“Wah.” Pak Alvian berdecak. “Kamu keterlaluan.”
“Bodo amat.”
Aku memilih melanjutkan makan malamku seraya mendengarkan percakapan seru antara Bunda, Tante Bella dan Tante Sansha, sementara Ayah, Om Alfariel dan Om Aaron membicarakan hal yang lain. Aku menoleh kepada si kembar yang asik dengan makanan mereka.
“Sa.” Aku memanggil Aksa yang sibuk mengunyah.
“Hm.” Dia bergumam.
“Cewek yang kemarin siapa?”
“Cewek apaan?” tanyanya menatapku.
“Yang aku lihat jalan sama kamu di GI.”
Aksa memicing, kemudian memelotot. Aku mengulum senyum.
“Cewek mana, sih?” Aleeta bertanya.
“Nggak ada, salah liat itu pasti Run,” ujar Aksa panik.
“Masa, sih?” Aku mengulum senyum.
“Iya, aku nggak ada ke GI kok, kemarin.”
“Ah, masa?” Aku semakin ingin menggoda Aksa.
“Kalian ngomongin apa, sih? Cewek yang mana?” Aleeta bertanya semakin penasaran.
“Nggak tahu, Aruni ngawur. Nggak ada cewek.”
Aku hanya tertawa tanpa suara. Yang kutahu, Aksa mendekati seorang perempuan, tapi sayangnya perempuan itu adalah ‘musuh bebuyutan’ saudari kembarnya sendiri. Tentu Aleeta tidak akan akan diam saja kalau tahu Aksa mendekati perempuan yang merupakan musuh beratnya.
Setelah makan malam, semua orang masih mengobrol santai di ruang keluarga, sementara aku undur diri untuk beristirahat. Beralasan bahwa aku lelah, aku memilih kembali ke kamar dan berbaring di ranjang. Tapi saat aku hendak memeluk bantal, ketukan terdengar dari luar kamar.
Kalau bukan Erfan, siapa lagi?
“Apa sih, Fan? Gue nga—”
Aku terdiam ketika yang berdiri di depan kamarku bukannya Erfan, melainkan Pak Alvian.
“Bapak ngapain?” Aku memelotot panik padanya.
“Kamu marah sama saya?” tanyanya melangkah masuk ke dalam kamarku. Aku memelotot horor. Kalau Ayah tahu dia masuk ke kamarku, maka akan terjadi pertumpahan darah malam ini juga!
“Keluar.” Aku memelotot.
Tapi dia malah menutup pintu kamarku dan berdiri dengan santai menghalangi pintu.
“Astaga. Ngapain, sih, Pak?!”
“Kamu marah?”
“Marah kenapa?”
“Siapa tahu kamu marah,” jawabnya santai.
“Nggak.” Aku mendesah pelan, “Sana keluar.” Aku berusaha mendorongnya, tapi dia bergeming di tempat.
“Run.”
“Apa?!”
“Astaga, jutek banget.”
“Ya Bapak ngapain masuk ke kamar saya?!” tanyaku geram.
“Mau ngucapin selamat tidur,” cibirnya kemudian membuka pintu kamar dan melangkah keluar. “Besok jangan telat, ya.” Kemudian dia pergi begitu saja, meninggalkan aku yang melongo menatap tingkah lakunya.
Dia kenapa, sih? Kesambet?
Mengabaikan dia yang bertingkah laku aneh, aku menutup pintu kamar dan menguncinya. Sejak dulu aku tahu dia memang bukan hanya sekadar menyebalkan, tapi juga aneh. Jadi melihatnya seperti itu, rasanya bukan hal yang baru.
Menghempaskan diri di ranjang, akhirnya aku memeluk selimut dan memilih untuk memejamkan mata. Aku capek, butuh tidur. Serius!
***
Aku tengah duduk menatap layar komputerku saat kepala Pak Alvian muncul di atas kubikelku.
“Run.”
Aku mendongak, memicing menatapnya.
“Buatin saya kopi, ya,” ujarnya, kemudian melangkah pergi begitu saja. Aku memicing kesal. Mau tidak mau, aku beranjak dari kursi dan menuju ruang pantri. Sudah dua minggu aku bekerja. Mbak Fita dan beberapa temannya tidak lagi berani menyuruhku membuat kopi karena aku membangkang pada hari kedua. Hari pertama aku memaklumi sikap senioritasnya, karena aku akui, aku salah dengan datang terlambat. Tapi tidak dengan hari-hari berikutnya. Aku bukan babu, Ayah tidak pernah mengajarkan aku menjadi orang lemah yang mau saja ditindas oleh orang lain, kecuali … yah, si Alvian berengsek itu. Siapa lagi?
Mentang-mentang dia bosku. Dasar berengsek!
Kuceritakan sedikit di hari kedua, saat aku baru saja datang dan duduk di kubikelku. Aku tidak terlambat, malah datang lebih awal. Tidak lama, Mbak Fita dan beberapa temannya datang seraya menggosip seru. Lalu dia berhenti di depan kubikelku.
“Heh, Anak Baru, buatin gue kopi, dong!”
Aku mendongak, menatapnya datar. “Nggak mampu beli Starbuck, ya? Miskin?” dengkusku.
“Heh, beraninya lo ngatain gue!” Dia memelotot dengan mata yang mengenakan bulu mata palsu yang tebal itu.
“Kalau lo nggak mampu beli, gue kasih duitnya, deh. Beli sendiri,” ujarku santai, mengeluarkan beberapa lembar uang dari tasku.
“Heh! Lo pikir gue miskin?!” sentaknya menyambar uang di atas meja dan melemparnya ke wajahku.
Aku hanya menatapnya tanpa ekspresi.
“Belagu banget lo, cuma pegawai magang nggak usah banyak bacot!”
“Masalah?” Aku berdiri dan bersedekap. “Gue ngelamar kerja disini bukan buat jadi babu lo, Mbak.” Lalu aku menatap beberapa temannya yang juga menatapku. “Juga bukan buat jadi babu kalian.”
“Lo anak ingusan nggak usah songong!” Mbak Fita menendang dinding kubikelku dengan kakinya.
“Suka-suka gue.” Aku tersenyum sinis. “Denger ya, Mbak, Mas ….” Aku menatap tajam mereka. “Kalian tahu ‘kan kalau peraturan di kantor ini ketat? Kekerasan dalam bentuk apa pun sangat dilarang, gue berhak mengajukan keluhan karena sikap kalian ke perusahaan, gue sih, nggak takut dipecat. Tapi, kalian nggak sayang kalau dipecat?” Aku tersenyum miring. “Gue sih, gampang nyari kerja, nggak tahu deh, kalau kalian.”
“Sok banget lo jadi manusia, jangan berasa paling keren lo.”
Aku hanya mengangkat bahu. “Terserah kalian sih, gue sih, nggak masalah kalau dipecat. Karena gue nggak salah. Tapi nggak tahu deh, kalau menurut Pak Alvian gimana.” Aku lalu menoleh kepada Pak Alvian yang berdiri dengan kedua tangan di dalam saku celananya, tidak jauh dari ‘kutu-kutu busuk’ di depan kubikelku. “Gimana, Pak?” Aku tersenyum ramah.
Pak Alvian menahan geli menatap caraku tersenyum padanya. Dia berusaha mempertahankan wajah datarnya.
“Untuk kali ini saya maafkan, kalau saya masih melihat atau mendengar hal seperti ini kalian lakukan kepada Aruni atau kepada pegawai magang yang lain, saya akan memberikan surat peringatan.”
Aku tersenyum senang mendengar itu. Tapi kalimat selanjutnya dari Pak Alvian membuat senyumku sirna.
“Karena Aruni hanya boleh membuatkan kopi untuk saya,” sambungnya dengan senyum kemenangan di wajahnya.
Alvian Wijaya sialan! Aku tahu kalau percaya padanya sama dengan menduakan Tuhan, dan ternyata dia memang masih bersikap seperti dajjal! Setan alas! Cowok mesum! Penjahat kelamin! Manusia yang harusnya dibumihanguskan di muka bumi ini!
“Bubar!”
Pak Alvian kemudian mendekati aku, tersenyum padaku saat Mbak Fita dan antek-anteknya menuju kubikel masing-masing dengan kepala tertunduk.
“Buatin kopi buat saya, ya,” ujarnya seraya mengerling, kemudian melangkah menuju ruang kerjanya, meninggalkan aku yang menahan kekesalan. Seraya mengepalkan kedua tangan, aku melangkah menuju ruang pantri. Lihat saja! Akan kucampur dengan pembersih toilet kopi untuknya!
Tapi itu tidak jadi kulakukan, tentu saja. Aku tidak mau dia keracunan, lalu melapor kepada polisi dan malah jadi masalah buatku.
Namun, sejak itu, dia selalu menyuruhku membuatkan kopi untuknya setiap pagi. Meski Mbak Fita tidak lagi menyuruhku membuatkannya kopi, tetap saja aku merasa menjadi babu. Dan kabar lainnya, karena sikapku hari itu kepada Mbak Fita, dia menempatkan aku sebagai musuh di urutan teratas yang harus disinisi setiap hari. Dia memang tidak bisa menyuruhku membuatkan minuman, tapi dia selalu berusaha mencari-cari kesalahanku dalam pekerjaan.
“Ini aja nggak becus! Niat kerja nggak lo?!”
Aku menghela napas, meraih map yang dia lempar ke meja kerjaku.
“Salah gue apa lagi?”
“Cari aja sendiri!”
Dia berbalik dan kembali ke meja kerjanya.
“Makin nyebelin si nenek sihir, rasanya pengen gue santet!” gumam Mbak Dita seraya menatapku. “Wajar kalau dia nggak jadi dikawinin si bule itu, tingkahnya bikin jijik.”
“Jadi beritanya bener, Mbak? Dia nggak jadi kawin?” Joe yang menimpali.
Mbak Dita mengangguk. “Gue rasa, kawin sih, dia sering, nikahnya yang batal. Si bule balik ke Polandia.”
“Wah, pantes, kek kucing kurang kawin,” sambung Joe.
Aku hanya tertawa pelan mendengar duo penggosip di kiri kanan kubikelku. Hanya dua orang ini yang bersikap baik dan malah menjadi temanku di sini. Selebihnya menjaga jarak.
“Sana gih, lo kawinin, siapa tahu habis ini jinak.”
“Ogah, Mbak.” Joe menatap jijik. “Nggak nafsu gue.”
“Terus nafsu lo sama siapa? Pak Alvian?”
“Kok, tahu?” Joe menatap Mbak Dita dengan wajah berbinar. “Mbak emang hebat banget.”
Mbak Dita meringis jijik. “Lo menjijikkan, Joe.”
Joe hanya tertawa santai. Hari ketiga aku bekerja dan mulai akrab dengan mereka, Joe dengan terang-terangan kalau dia menyukai sesama jenis dan tidak tertarik dengan lawan jenis. Aku sih, tidak masalah, orientasi seks seseorang bukanlah urusanku. Tidak berniat ikut campur masalah pribadi orang lain, jadi kukatakan padanya, selagi dia tidak menjadi musuh dalam selimut padaku, aku tidak peduli meski dia gay atau normal. Masalah seksual bisa aku toleransi, tapi jika bermuka dua, maaf saja, aku tidak ingin dekat-dekat dengan orang seperti itu.
“Heh, Nek. Muka gue satu ini aja susah ngurusnya, apalagi muka dua. Mbak Dita noh, mukanya sepuluh.”
“Anjir, ngurus muka satu aja udah ngeluarin modal banyak, apalagi sepuluh. Sori deh, skincare gue mehong.”
Aku hanya tertawa pelan. Sejak itu aku yakin, aku bisa berteman baik dengan mereka. Joe dengan masalah orientasi seksual tapi dia terlihat apa adanya, sementara Mbak Dita yang hobi menggibah, tapi kurasa dia juga apa adanya. Cukup sering membantu Ayah bekerja di kantornya, membuatku memahami beberapa karakter orang lain, salah satunya karakter penjilat seperti yang dimiliki Mbak Fita. Di depan Pak Alvian, sikapnya anggun luar biasa, tapi begitu di belakang bosku itu, tanduknya setannya keluar.
Aku sih, tidak peduli. Jika dia macam-macam denganku, nama Evans di belakang namaku bukanlah nama yang bisa diremehkan. Selagi aku masih menjadi Arunika si anak magang, aku akan mengerjakan pekerjaanku dengan baik. Tapi begitu dia mengusik Arunika Evans, kuyakin aku juga bisa bersikap kejam.
“Terima kasih kopinya, Arunika Evans.”
Aku hanya menatap datar Pak Alvian yang tersenyum lebar di depanku.
“Udah, masih ada yang lain?”
“Jutek amat. Masih PMS?”
“Masih ada nggak, nih? Saya mau balik ke meja kerja.”
“Kamu kenapa sih, Run? Tiap ngomong sama saya tarik urat mulu. Sesekali tarik tambang kek, biar olahraga sekalian.”
“Apa sih, ngawur banget,” jawabku ketus.
Pak Alvian malah tertawa.
“Ngomong-ngomong, saya suka rok kamu hari ini.”
Aku menunduk, menatap rok selututku yang sedikit ketat hari ini. Aku mengangkat kepala dan memicing tajam padanya, sementara dia tersenyum miring padaku.
“Dasar cabul!” sentakku kemudian keluar dari ruangannya dengan langkah kesal.
Aku masih tidak bisa melupakan apa yang dia lakukan padaku sepuluh tahun yang lalu! Dia menciumku tanpa permisi begitu saja, saat aku menamparnya, dengan santainya dia bilang.
“Aku nggak tahan ngeliat kamu pakai celana pendek itu. Maaf, jadi horny.”
Sejak itu, bagiku dia hanyalah manusia cabul yang sialnya cukup cerdas dalam pekerjaannya. Tapi tetap saja, kata-kata brengseknya padaku sepuluh tahun lalu, membuatku membencinya.
Manusia tidak bermoral!
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
