
VERSI BUKU.
Aruni membenci Alvian Wijaya. Alasan pertama karena pria itu mencuri ciuman pertamanya sepuluh tahun lalu. Alasan kedua karena pria itu menyebalkan, penjahat kelamin yang hobi bergonta-ganti pacar. Aruni berniat menjauhi Alvian meski pria itu adalah bosnya.
Tapi apakah Aruni benar-benar bisa menolak pesona pria itu? Terlebih ketika pria itu mengejarnya dan memintanya menjadi kekasih. Oh, ngomong-ngomong, Aruni sangat suka senyum di wajah pria tampan itu.
Aruni
Sial! Aku terlambat!
Aku berlari cepat keluar dari mobil menuju lobi untuk mencapai lift, padahal pagi ini adalah hari pertamaku bekerja. Dan semua ini gara-gara Ayah!
“Kok, kamu ngelamar kerja di perusahaan Zahid, nggak bilang Ayah dulu?” Ayah memelotot saat melihatku turun dari lantai dua dengan setelan kerja. Saat Ayah tanya aku mau ke mana, aku jawab kalau hari ini aku mulai bekerja. Dan yang membuat Ayah semakin sebal adalah bahwa aku tidak masuk ke dalam perusahaan Ayah, melainkan ke perusahaan terbesar di Asia saat ini, Zahid-Renaldi Group.
“Aku bilang kok, sama Bunda,” jawabku seraya menatap Bunda untuk meminta bantuan.
Ayah menoleh kepada Bunda. “Kok, kamu nggak bilang sama Mas?”
Bunda hanya tersenyum lembut. “Kemarin aku bilang, tapi kamunya nggak denger, Mas.”
Ayah mendengkus sebal, kemudian kembali menatapku. “Memangnya kenapa sama perusahaan Evans? Kamu nggak suka kerja di perusahaan kita?”
“Bukan nggak suka, aku mau nyari pengalaman dulu di perusahaan lain, nanti aku pasti ke perusahaan Ayah kalau aku udah punya pengalaman yang lebih baik. Lagian ada Erfan di sana.” Aku lalu menoleh kepada adikku yang sibuk dengan sarapannya. “Iya, kan, Fan?”
“Hm, terserah lo aja, Kak,” gumamnya seraya mengunyah.
Dasar punya adek nggak ada manis-manisnya dikit pun, bela kek, kakaknya yang lagi pengen keluar dari penjara ayah posesif! Huh, menyebalkan!
“Tiga bulan.” Ayah menatapku lekat. “Ayah kasih kamu waktu tiga bulan di perusahaan Zahid, setelah tiga bulan, Ayah nggak mau tahu, kamu harus mengundurkan diri dan masuk ke perusahaan kita. Arunika Evans, kamu paham?”
Tidak ada lagi kata lain, yang bisa kukatakan, “Iya, Ayah, aku paham.”
Jadi aku punya waktu selama tiga bulan di perusahaan ini untuk mencari pengalaman sebelum akhirnya harus masuk ke perusahaan Ayah.
Aku diterima di perusahaan Zahid sebagai pegawai magang, selama tiga bulan ke depan, akan ditentukan apakah aku akan diangkat sebagai pegawai tetap atau tidak, harapanku tentu saja aku ingin tetap di perusahaan ini, masuk ke dalam perusahaan ini susahnya melebihi masuk ke universitas terkenal di Jakarta sekarang, saingannya sangat banyak. Lalu mengenai janji tiga bulan dari Ayah? Aku pikirkan nanti.
“Tunggu!” Aku berteriak saat pintu lift akan tertutup. Beruntung seseorang bersedia menahan lift untukku. Syukurlah. Aku segera masuk dan mengucapkan terima kasih kepada seseorang yang berdiri di dekat tombol lift.
“Pegawai baru?” Pria itu menatapku.
Aku mengangguk. “Iya, Mas. Baru bekerja hari ini.”
Pria itu melirik arloji yang melingkari pergelangan tangannya sementara aku meringis. Aku tahu kalau aku sudah terlambat sepuluh menit.
“Telat sepuluh menit.”
“Iya, macet,” gumamku pelan. Alasan apa lagi yang aku punya? Aku nggak mungkin bilang datang telat karena habis berdebat dengan Ayah tentang perusahaan mana yang lebih baik, antara Evans atau Zahid. Jelas-jelas Zahid lebih unggul daripada perusahaan Ayah, tapi aku tidak sampai hati dengan mengatakannya secara terang-terangan. Ayah akan merajuk berhari-hari karena itu.
“Lantai berapa?” tanyanya, saat aku belum menekan tombol lantai tujuanku.
“Ah, ya.” Aku menekan tombol lantai delapan belas.
Pria itu menatapku dengan satu alis terangkat.
“Lantai delapan belas?”
Aku mengangguk.
Lalu tiba-tiba dia menatapku iba. Kok, perasaanku jadi tidak enak, ya?
“Selamat kalau begitu,” ujarnya padaku seraya mengiris.
Kok, wajahnya nggak enak begitu? Emangnya ada apa dengan lantai delapan belas? Ada macan? Hantu? Kolor Ijo?
“Bye, Anak Baru. Selamat bekerja.” Pria itu keluar lebih dulu di lantai sepuluh sementara aku masih di dalam lift menuju lantai delapan belas.
Aku memperhatikan angka yang tertera di dinding lift, menunggu angka berubah menjadi delapan belas. Saat pintu lift terbuka, aku menarik napas panjang dan segera melangkah keluar dengan penuh percaya diri. Tapi baru beberapa langkah, kakiku menjadi berat saat merasakan suramnya suasana di lantai itu. Semua orang sibuk di kubikelnya masing-masing, hening, yang terdengar hanya suara-suara dari jemari yang bermain-main di atas keyboard komputer.
“Heh, Anak Baru!” Aku terkesiap saat sebuah suara terdengar lantang memanggil. Yang membuat semua kepala menoleh kepadaku saat ini.
“Y-ya …,” jawabku pelan.
“Lo tahu jam berapa ini?!”
Aku menelan ludah susah payah. “M-maaf—”
“Lebaran masih jauh, nggak perlu bilang maaf sekarang!”
Astaga! Kejam banget, sih?
“Berani banget lo datang telat. Hari pertama lo kerja, ‘kan?”
Aku mengangguk seraya memegangi tasku semakin erat. Memandang seorang wanita cantik dengan rambut sebahu, berdiri dengan berkacak pinggang tidak jauh dariku.
“Siapa nama lo?”
“Arunika.”
“Ck, punya nyali juga lo datang telat di hari pertama kerja,” sinisnya.
Siapa, sih, dia? Sinis banget!
Tapi kemudian sikapnya yang belagu itu menjadi anggun saat suara langkah kaki terdengar di belakangku. Aku menoleh ke belakang, dua orang pria baru saja keluar dari lift eksekutif dan melangkah tidak jauh dariku. Salah satu pria berhenti melangkah dan menatapku.
“Siapa dia?” tanyanya seraya menatap wanita rambut sebahu yang tadi bersikap sinis padaku.
“Pegawai magang yang baru masuk hari ini, Pak,” jawabnya kalem.
Aku mengerutkan kening. Nada suaranya terdengar berbeda sekali. Tadi sangat sinis, sekarang sangat anggun.
Pria yang tadi bertanya menatapku lekat, sementara aku berusaha untuk tidak memutar bola mata. Aku tahu siapa dia, aku beberapa kali bertemu dengannya di acara keluarga. Dan aku juga yakin dia tahu siapa aku.
“Siapa nama kamu?” tanyanya padaku.
Aku menahan dengkusan, mustahil dia tidak tahu namaku! Tapi karena aku kini berada di perusahaannya, maka aku tidak boleh memaki-makinya seperti yang kuinginkan.
“Arunika, Pak,” jawabku pelan.
“Arunika.” Pria itu mengangguk-angguk. “Kamu telat?”
Dengan pasrah, aku menganggukkan kepala.
“Macet?” cibirnya. Aku tahu dia sengaja mencibir alasan klise itu.
Tapi aku hanya menganggukkan kepalaku. Memangnya aku harus bilang apa lagi? Kucing tetanggaku melahirkan? Nenek sebelah rumah lagi dangdutan?
“Buatkan saya kopi, antar ke ruangan saya. Saya beri waktu lima menit.”
Kemudian pria itu meneruskan langkahnya menyusul seseorang yang sudah lebih dulu masuk ke sebuah ruangan. Aku menatap lekat punggungnya.
Kopi? Memangnya aku melamar pekerjaan sebagai office girl di sini? Aku melamar sebagai junior arsitek, bukannya pembokat slash babu.
“Lo nggak denger Pak Alvian bilang apa?!” Suara itu kembali terdengar angkuh ketika bosnya sudah masuk ke dalam ruang kerjanya.
“Denger, Mbak,” jawabku pelan.
“Buruan! Bikin kopi. Buat gue juga.”
Hell yeah! Seenak udel aja!
“Gue juga.” Suara lain terdengar.
“Gue juga, jangan yang manis banget. Tapi jangan kedikitan gula.”
“Buat gue teh, deh.”
Aku melongo. Apa-apaan ini? Hukuman karena datang terlambat? Atau karena memang mereka sengaja mengerjai pegawai magang?
***
Aku mengetuk pintu ruang kerja yang luas dan membukanya dengan pelan, di sana, pria yang tadi memintaku membuat kopi sedang duduk dengan membaca beberapa laporan di meja kerjanya.
“Ngapain kamu berdiri di sana? Masuk. Saya haus, nih.”
Rasanya ingin kusiram kopi ini ke kepalanya. Dengan memegangi baki yang kubawa, aku melangkah masuk dan meletakkan secangkir kopi di atas meja kerjanya. Dia mengangkat wajah dan menatapku. Aku tidak mau berpura-pura ramah dan menatapnya datar.
“Wah wah, bisa-bisanya putri Radit Evans kerja di sini.”
Aku memilih diam, membalikkan tubuh dan bermaksud untuk kembali ke meja kerjaku.
“Saya belum selesai bicara.”
Aku menghela napas. Kembali menatap pria itu.
“Apa lagi?” ketusku.
Satu alisnya terangkat mendengar nada suaraku. Menghela napas, aku kembali bersuara, kali ini suaraku lebih sopan.
“Bapak perlu sesuatu lagi? Kalau nggak, saya mau balik ke meja kerja saya.”
“Tehnya nggak kamu kasih racun, ‘kan?”
Aku memutar bola mata. “Saya lupa bawa sianida hari ini, besok deh, saya bawain.”
Sialnya dia malah tertawa mengejek padaku.
“Ayah kamu nggak ngamuk denger kamu kerja di sini?”
Ngamuk banget malah, kayak banteng. Tapi untuk apa juga aku ngomongin hal ini sama dia.
“Biasa aja,” jawabku pelan. “Bapak masih butuh sesuatu, nggak?”
“Kok, kamu malah nyolot?”
Astaga, Ujang! Yang nyolot siapa? Aku cuma ingin kembali ke meja kerjaku saja, karena aku harus mulai belajar pada senior-senior di luar sana caranya bekerja. Aku tidak mau hanya jadi pembuat kopi dan teh di perusahaan ini.
“Ya udah sana, kamu keluar,” usirnya dengan wajah jutek padaku.
Aku mendengkus dan melangkah keluar. Kurasa dia juga mendengar dengkusan kasarku tapi aku tidak peduli. Aku meletakkan baki di ruang pantri, kemudian kembali ke kubikelku.
“Hei, gue Dita.” Seorang wanita yang sepertinya lebih tua dariku mengulurkan tangannya.
“Hai, Mbak. Gue Aruni.”
“Gue Joe.” Dari kiri kubikelku, seorang pria yang sepertinya seusia denganku, mengulurkan tangannya.
“Aruni.”
“Betah-betah di sini ya, Run. Kerja di sini enak banget, kok.”
Aku hanya mengangguk. “Thanks,” jawabku.
“Aruni?”
Aku segera berdiri dari kubikel dan menatap mbak berambut sebahu yang baru kutahu bernama Fita, dia adalah salah satu tim leader di sini, dan sialnya aku tergabung di bawah pengawasannya.
“Ikut gue.”
Aku segera berdiri dan mengikutinya menuju mejanya yang terpisah dari meja senior-senior yang lain.
“Nih.” Dia memberiku setumpuk berkas yang segera aku peluk di dada karena takut berkas-berkas itu akan terjatuh di lantai. “Pelajari ini dalam dua hari, kalau ada yang bikin lo bingung, tanya sama senior lo di sana,” tunjuknya pada kubikel Mbak Dita dan Joe.
Aku mengangguk.
“Ya udah, tunggu apa lagi? Sana!”
Menahan umpatan yang ingin keluar, aku menelannya mentah-mentah dan kembali ke kubikelku, meletakkan setumpuk berkas itu di atas meja. Mengembuskan napas perlahan, aku mulai membuka salah satu berkas dan membacanya.
Beruntung, Ayah mengajariku tentang bisnis maupun arsitektur sejak aku kecil, jadi, istilah-istilah di dalam berkas ini, sedikit banyak aku cukup mengerti. Dan lagi pula … aku dulu juga sering mengikuti Ayah setiap kali Ayah mengadakan meeting bersama perusahaan Zahid.
Tidak bermaksud sombong, tapi aku rasa, aku bisa mempelajari ini semua dalam waktu dua hari. Aku cukup cerdas dalam hal ini. Meskipun sebelumnya aku tidak pernah bekerja secara resmi, tapi aku sudah banyak membantu Ayah maupun Erfan di perusahaan selama ini.
***
Hari ini berjalan lancar, cukup baik meski cukup mengesalkan. Seniorku yang bernama Fita itu sepertinya sangat tidak suka denganku. Beberapa kali aku disuruh membuatkan kopi dan teh untuknya. Karena ini hari pertama dan aku memang salah karena terlambat, aku memaklumi tindakannya. Tapi hanya hari ini saja, besok kalau dia masih menyuruhku membuat kopi, aku kusuruh dia membuatnya sendiri.
Memangnya aku kerja di sini sebagai babu?
Aku melangkah menuju lift, berdiri seraya menunggu lift berhenti di lantai delapan belas.
“Mau pulang?”
Aku menoleh, menemukan Alvian Wijaya berdiri di depan lift eksekutif.
“Nggak, mau ke mal,” jawabku ketus.
Pak Alvian memicing menatapku, kemudian bersedekap. “Kamu sadar nggak kalau saya ini atasan kamu?”
“Saya sadar seratus persen.”
“Lalu kenapa kamu suka nyolot sama saya?”
Yang nyolot siapa, sih? Udah tahu ini jam pulang kerja, masih juga ditanya aku mau pulang atau nggak? Tapi karena aku tidak boleh berbuat onar di tempat ini, maka aku harus menahan diri.
“Maaf, Pak. Saya memang mau pulang.”
“Tuh, jawab begitu, kan, enak. Nggak perlu nyolot begitu,” gerutunya seraya menekan tombol lift dan pintu lift langsung terbuka. Dia langsung masuk begitu saja ke dalam kotak persegi itu, sementara aku sendiri masuk ke dalam lift karyawan yang berisi beberapa orang yang juga akan turun ke lobi.
Sesampainya aku di rumah, aku memicing menatap beberapa mobil yang terparkir di depan rumahku. Aku mengenali mobil-mobil mewah ini. Sial, apa aku juga harus bertemu dengannya di luar kantor?
Saat aku masuk ke dalam, aku mendengar beberapa percakapan santai dari ruang keluarga.
“Eh, Aruni, udah pulang?” Bunda tersenyum padaku.
“Iya, Bun.” Aku mendekat, lalu menyalami beberapa orang yang duduk bersama Bunda di ruang keluarga ini. Ada Om Aaron bersama istrinya—Tante Sansha, ada Tante Bella dan suaminya yang merupakan kembaran Om Aaron—Om Alfariel, lalu ada si kembar Aksa dan Aleeta dan … raut wajahku datar seketika ketika melihat Alvian Wijaya duduk di sofa single yang di sana.
“Alvian bilang, kamu kerja di perusahaan Zahid mulai hari ini?” Om Aaron menatapku yang duduk di samping Bunda.
“Iya, Om.”
“Wah, pantes Radit ngambek nggak mau ketemu kami, anaknya kerja di perusahaan lain dan bukannya di perusahaan sendiri.”
“Siapa yang bilang ngambek?” Ayah keluar dari ruang kerjanya dan menatap Om Aaron sebal. “Aku mau ambil berkas ini.” Ayah meletakkan berkas itu di meja kemudian duduk di sampingku. “Baru pulang, Kak? Capek?”
“Nggak, kok.” Aku melirik Pak Alvian yang tersenyum mencibir padaku. Sejak dulu dia memang mengejekku anak manja karena Ayah sangat posesif padaku.
“Alvian bersikap baik sama kamu, ‘kan, Run?”
Aku menatap wajah Tante Sansha. Ingin sekali mengatakan bahwa sikap putranya sangat menyebalkan sejak dulu.
“Baik kok, Tan.” Aku menjawab dengan nada kering. Lagi-lagi dia tersenyum mengejek padaku.
Aku benci dia, sejak aku kecil, dia selalu saja bersikap menyebalkan. Terlebih dengan dia yang selalu mengejekku dengan sebutan anak manja, memangnya apa salahnya kalau aku memang manja kepada ayah? Mengganggu ketentraman hidupnya? Mengganggu kelangsungan hidup masyakarat Indonesia? Nggak ‘kan?!
“Bang, gue mau nunjukkin sesuatu.”
Erfan datang dari lantai dua dan menatap Pak Alvian.
“Apaan?”
Bukan rahasia kalau Pak Alvian dan adikku cukup akrab, karena memang mereka memiliki hobi yang sama, yaitu bersikap menyebalkan.
“Sini. Ke kamar gue.”
Pak Alvian berdiri dan menyusul Erfan menuju kamarnya, sementara aku undur diri menuju ke kamarku untuk membersihkan diri. Keluarga Zahid pasti akan makan malam bersama di sini. Jadi, sebaiknya aku mandi seraya menunggu makan malam dihidangkan.
Setelah mandi air hangat cukup lama, aku mengenakan celana panjang dan kaos rumahan, mengucir rambutku menjadi ekor kuda, kemudian aku keluar dari kamar.
“Kaus yang keren.”
Aku menoleh, menemukan Pak Alvian keluar dari kamar Erfan dan menatapku. Aku melirik kaus pudar yang kukenakan. Kaus kesayanganku.
Mengabaikan dia, aku membalikkan tubuh dan melangkah menuju tangga.
“Kamu kenapa, sih? Jutek mulu sama saya?”
Aku melirik, tapi tetap mengabaikannya, terus melangkah sementara dia melangkah di sampingku.
“Hei, saya ingin lagi ngomong sama kamu.”
“Apa, sih!” Aku menepis tangannya yang menyentuh lenganku. “Jangan pegang-pegang!”
“Astaga, kayak mau diperkosa aja.” Dia menatapku lekat. “Jutek amat, PMS?”
“Iya!” semburku dan segera berlari menuruni tangga, mengabaikan Pak Alvian yang terkekeh geli di belakangku.
Dia ketawa kenapa, sih? Ada yang lucu memangnya? Nggak, ‘kan?
Dasar sarap!
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
