
Cerita Adam meluncur, guys!
ALMOST HATING YOU
Suara pintu dibuka terdengar pelan. Aku sudah bisa menebak siapa yang sedang memanjat naik ke atas ranjang, tidak lama, seseorang menduduki perutku—bukan seorang, tapi dua orang sekaligus. Aku menghela napas panjang ketika ada jari kecil yang berusaha mencolok mataku, lalu ada tangan lain yang sedang berusaha membuka mulutku.
”Abang … Adek ….”
Keduanya terkikik geli lalu memukul-mukul dadaku hingga aku membuka mata. Ada dua makhluk mungil yang biasanya aku juluki si unyil. Unyil pertama adalah anak laki-laki bernama Arga Bramanta dan unyil kedua adalah anak perempuan bernama Avanya Bramanta.
”Good morning, Om Adaaaaam,” sapa keduanya sambil berebut mencium pipiku.
“Good morning—ugh!” Aku menahan napas saat Arga melompat-lompat di atas perutku. “Abang, jangan lompat-lompat, perut Om sakit.”
Belum cukup sampai di sana, tangan Ava menarik rambutku dengan genggamannya yang kecil.
Ya Tuhan, mengapa setiap pagi aku harus mengalami ini semua? Aku hanya bisa berbaring pasrah saat dijambak di jadikan alas melompat-lompat oleh keduanya.
”Oke, cukup. Om Adam sudah bangun.” Aku bangkit duduk secara paksa, membuat keduanya terguling di atas kasur dan tertawa-tawa. Aku ikut tertawa dan menggelitik mereka. Aku sangat suka aroma minyak telon dari tubuh mereka, kucium mereka satu persatu dan menggendongnya turun dari ranjang. Keduanya memeluk leherku saat aku membuka pintu.
”Astaga, mereka kabur lagi,” ucap Mbak Alee tepat ketika aku membuka pintu kamar. “Baru mau dimandiin udah kabur.”
”Lain kali ikat pake tali.”
Kuserahkan dua makhluk kecil itu kepada ibunya. Mereka melambai-lambai sambil digendong menuju kamar mereka untuk mandi. Aku melambai kecil dan menutup pintu lalu menguncinya. Kalau tidak, bisa dipastikan setelah mandi mereka akan kabur lagi ke kamarku.
Saat turun sarapan, aku melihat Mas Arsal sedang berjongkok di depan Ava yang cemberut. Sepertinya. Bocah kecil itu merajuk lagi. Tiada hari tanpa merajuk, semakin hari, keponakanku itu semakin mirip dengan ibunya. Dalam hati, aku menertawai Mas Arsal, hidupnya sangat malang karena harus berurusan dengan dua perempuan yang sama-sama hobi membuat drama.
”Kenapa lagi si adek?” Aku bertanya pada Mbak Alee yang sedang menyiapkan sarapan.
”Ngambek karena daddy-nya harus pergi kerja sementara dia minta ditemani nonton.”
”Sudah anaknya yang ngambek, pasti sebentar lagi emaknya yang ngambek.”
”Maksud kamu apa?” Mbak Alee melotot galak.
”Kasihan banget Mas Arsal, yang kecil hobi ngambek, yang gede ratunya ngambek.”
”Kamu jangan bikin aku marah pagi-pagi begini ya, Dam.”
Lenganku dicubit sedangkan aku tertawa. Aku duduk di meja makan, mengamati Mas Arsal yang masih terus berusaha membujuk Ava, tetapi semakin dibujuk malah semakin merajuk. Persis sekali dengan ibunya.
Jika yang satu itu adalah ratu drama, berbeda dengan yang satu ini. Arga duduk anteng di kursinya dan sedang mengunyah sarapan. Kalau yang satu ini tidak terlalu banyak bicara, dia cukup mudah diatur—kecuali kalau sudah kesal dan diganggu, dia akan marah besar.
Aku menyeka remah-remah di sudut bibirnya menggunakan tisu, Arga tersenyum sambil mengunyah, kuusap kepalanya lalu mengacak rambutnya, dia tertawa setiap kali aku mengacak rambutnya yang lembut.
”Daddy akan pulang cepat hari ini,” ucap Mas Arsal masih berlutut di depan anak perempuannya.
“Nggak mau!”
Aku menahan tawa yang hendak menyembur. Hanya dua orang yang pernah membuat Mas Arsal berlutut. Yang satu Ava dan yang satunya lagi ibunya Ava. Dua perempuan paling ribet namun sialnya sangat dicintai Mas Arsal secara ugal-ugalan.
”Daddy janji, atau nanti siang, Adek mau ke kantor Daddy? Sama Abang dan Mami?”
Kubiarkan pria itu dijajah anaknya sendiri, aku memilih untuk fokus sarapan. Anggap saja itu karmanya, dia sudah cukup sering semena-mena padaku, jadi giliran dia yang diperlakukan semena-mena oleh istri dan anak-anaknya. Rasakan! Dunia itu memang berputar sebagaimana mestinya.
Hampir tiga puluh menit, akhirnya Ava bisa dibujuk. Dia masih cemberut di pangkuan ayahnya, memeluk pinggang ayahnya dengan sepasang tangannya yang mungil. Kuulurkan tanganku pada Ava yang segera menyambutnya, dia berpindah ke pangkuanku sedangkan Mas Arsal mulai sarapan.
”Adek kenapa?”
”Mau main sama Daddy.”
”Nanti siang ke kantor Daddy sama Abang dan Mami, gimana?”
”Tapi Adek mau nonton princess sama Daddy.”
”Nanti aja nontonnya, ya. Daddy harus kerja dulu pagi ini. Nanti siang, Om temenin nonton juga. Kita nonton bareng-bareng. Adek mau nonton princess apa hari ini?”
”Mau nonton Elsa lagi.”
”Oke, kita nonton Elsa lagi siang ini.”
Dia mencebik tapi tetap mengangguk. Tidak tahan melihat kelucuannya, aku mencium pipinya berkali-kali hingga Mas Arsal berdehem keras sambil melayangkan tatapan tajam.
Ck, dasar bapak-bapak posesif!
***
Hidupku monoton. Kerja, kerja, hampir mati! Itulah yang kurasakan. Hari-hariku disibukkan dengan segala pekerjaan yang tiada habisnya. Belum lagi perusahaan kelapa sawit milik ibuku yang harus aku urus karena Mas Arsal menyerahkan semuanya padaku. Kalau ada yang bertanya apa hubunganku dengan Arsal Bramanta? Dia kakakku, Mbak Alee adalah istrinya, Arga dan Ava adalah anak-anaknya. Aku tinggal serumah dengan mereka. Mas Arsal sendiri yang tidak memberiku izin untuk tidak sendiri dan aku pun tidak mau sendirian. Aku sudah terbiasa bersamanya sejak kecil. Aneh rasanya kalau suatu saat aku harus tinggal di tempat yang berbeda dengan kakakku itu. Mama pun berpesan bahwa kami harus saling menjaga.
”Mau ke mana?” Mas Arsal bersedekap di dekat pintu garasi saat aku sudah duduk di atas motor dan memakai helm.
Kulepaskan lagi helm untuk menatapnya.
”Litera.”
”Ngapain?”
”Lagi bosen, Mas. Butuh hiburan.”
”Sudah jam sepuluh malam.”
”Ya aku tahu, aku belum ngantuk.”
Dia memicing tajam. Terkadang aku kesal kalau dia masih memperlakukan aku seperti aku bocah berumur empat tahun yang sering mengikutinya ke mana-mana. Apa dia lupa kalau umurku sudah masuk kepala tiga tahun ini?
“Istirahat sana—““
”Malam ini aja.”
”Pake motor?”
”Iya.”
”Mau mati?”
Anjing, sadis!
”Nggak lah.”
”Pake mobil.”
”Aku pake—“
”Mobil, sama Pak Juna.” Final. Selesai. Done. Tidak boleh dibantah!
”Okay.” Aku turun dari motor, menaruh helm di tempatnya lagi. Pak Juna sudah berdiri di samping mobil yang biasa dia pakai untuk mengantar salah satu anggota keluarga ini. “Pakai mobil aku aja, Pak.” Aku masuk ke dalam rumah untuk mengambil kunci mobil dari laci penyimpanan. Mas Arsal masih berdiri di tempatnya sambil memperhatikan aku.
”Jangan nyetir kalau mabuk. Kalau kamu nyetir, saya pukul kepala kamu.”
”Iya, Mas. Iya.” Aku membuka pintu mobil dan menatap Pak Juna. “Aku yang nyetir, Pak. Nanti pulangnya Pak Juna yang nyetir.”
”Baik, Mas Adam.”
”Aku pergi, Mas.”
Mas Arsal hanya bergumam dan masuk ke rumah sementara aku mengeluarkan mobil dari garasi.
”Pasang sabuk pengaman,” ujarku pada Pak Juna.
Pak Juna mulai ketar ketir saat aku tersenyum. Ini mobil sport yang jarang kupakai, mobilku sendiri. Biasanya aku memakai mobil Mas Arsal karena aku juga menjadi sopir pribadinya selama ini. Mobilku melaju meninggalkan garasi. Begitu masuk tol, aku memacu kecepatan, membuat Pak Juna berpegangan erat pada jok mobil.
”Pelan-pelan aja, Mas Adam.”
”Bapak tenang aja, besok jangan kasih tahu Mbak Alee kalau aku ngebut.” Nenek sihir itu akan mengomeli aku kalau dia tahu aku ugal-ugalan di jalanan.
”I—iya, astgafirullah, Mas Adam. Ngebut banget. Bapak belum siap mati.”
Aku hanya tertawa. Alih-alih mengurangi kecepatan, aku malah menginjak pedal gas semakin dalam.
Mbak Alee tahunya aku anak baik, adik ipar yang patuh. Tetapi sejatinya aku bukanlah anak baik-baik. Aku memiliki banyak sifat jelek yang jarang kuperlihatkan di depan kakak iparku itu. Satu-satunya orang yang tahu bagaimana jeleknya sifatku hanyalah Mas Arsal. Pria yang telah membesarkan aku sejak Mama meninggal itu sudah sangat tahu bagaimana aku kalau sudah mulai stress. Untungnya Mas Arsal tidak banyak mengekang kalau dia tahu aku sedang mengalami stress. Seperti malam ini, dia tahu aku stress dan dia membiarkan aku pergi meskipun harus membawa sopir.
Mobil berhenti di pelataran parkir Litera. Berjejer dengan mobil pelanggan VIP lainnya. Aku keluar dan melempar kunci mobilku pada Pak Juna. Beliau bisa masuk atau menunggu di sini, itu pilihannya. Tapi biasanya Pak Juna memilih menunggu di mobil sambil tidur.
Aku tidak mau repot-repot memasuki lantai satu, langkahku langsung mengarah ke tangga khusus yang dijaga ketat oleh penjaga. Hanya anggota VIP yang diizinkan naik ke lantai dua.
“Hai, bro.” Dastan menyapa saat aku mengambil sebotol minuman di bar. Bartender yang sudah kukenal sejak lama itu menyodorkan gelas yang sudah berisi ice ball.
Aku tersenyum kecil dan membawanya menuju meja di sudut. Duduk sendirian di sofa untuk minum dan merokok.
Sejak Mbak Alee hamil, aku dilarang keras merokok di rumah oleh Mas Arsal. Padahal setan alas yang satu itu perokok berat, tapi dia langsung berhenti merokok sejak istrinya hamil. Ditambah dengan kehadiran dua unyil yang setiap hari menggangguku, jika sedikit saja tercium bau rokok di dalam rumah, Mas Arsal akan memukul kepalaku dengan kuat. Jadi aku akan merokok di balkon kamar atau di luar rumah sekalian.
Asap rokok berhembus ke udara. Mataku mengamati sekeliling untuk mencari-cari wanita mana yang bisa kugoda malam ini.
Wanita memakai gaun biru di meja bar sejak tadi menatapku, sejak aku tiba dia tidak mengalihkan perhatiannya. Aku tersenyum padanya dan dia tersenyum lebar. Tapi aku tidak berminat karena bokongnya terlalu besar. Aku tidak suka.
Jadi aku mengalihkan pandangan pada gadis dengan dress seksi berwarna merah yang berdiri di dekat meja biliar. Umurnya mungkin awal dua puluhan. Masih sangat muda. Dia memegang tongkat biliar dan sengaja membungkuk dengan rendah agar belahan dadanya terlihat. Bukannya menatap bola biliar yang dia sodok, dia malah menatapku.
Skip, aku tidak suka senyumannya. Terlalu lebar.
Mataku kembali beralih pada gadis yang memakai rok mini dan atasan bermodel kemben. Payudaranya terlihat menyembul dan hampir tumpah. Dia duduk di kursi tinggi, saat aku menatapnya, kaki yang semula tersilang, sengaja dia buka agar aku bisa melihat celana dalamnya.
Bukan tipeku.
Kuhisap rokok lebih dalam dan menaruh kedua kaki di atas meja. Tidak ada yang menarik minatku malam ini. Jadi kuputuskan untuk minum saja.
Dan saat itulah aku menatapnya. Dia masuk ke ruangan bersama seorang pria yang—bagiku pria itu tampak seperti cowok cantik daripada cowok macho. Perempuan itu menggandeng lengan cowok cantik itu dengan mesra. Aku menopang kepala dengan salah satu tangan, memperhatikan cara pria itu duduk, langsung saja aku tertawa.
Really, boy? Dia duduk seperti menahan bisul di pantat! Ambeyen? Atau habis disodok cowok di kamar mandi gym?
Kujepit rokok dengan bibir, tanganku meraih botol alkohol dan menuangkan ke gelas. Fokusku kembali tertuju pada perempuan di sampingnya. Perempuan galak yang pernah menamparku karena dia mengira aku menatap dadanya saat dia berenang, padahal aku sedang menjaga keponakannya.
Dia … Ashilla Wijaya. Hari itu aku menjaga Vella dan Reyn yang berenang di rumah kakek mereka, kebetulan perempuan galak itu juga berenang di sana. Aku terus memperhatikan Vella karena dia belum mahir berenang sementara Reyn sudah sangat jago. Kebetulan saja Vella berenang di dekatnya. Tanpa basa basi dia mendekat dan menamparku kuat-kuat sambil memaki. Dia menuduhku menatap dadanya—yang kuakui ukurannya sangat kusukai, bulat dan kencang. Tapi aku sama sekali tidak menatap dadanya itu.
Dan sampai sekarang, aku masih dendam karena dia menampar dan menuduhku sekeji itu.
Aku memantik rokok kedua, masih menopang kepala dengan tangan, terus mengamati keduanya. Setelah aku merasa cukup malam ini, aku bangkit berdiri dan menghampiri perempuan galak satu itu.
”Sayang ….” Kepeluk pinggangnya dengan kuat. Berlagak seperti orang mabuk.
Ashilla Wijaya ini merupakan sepupunya Mbak Alee, dia menatapku dengan mata yang tidak fokus karena sepertinya dia mulai mabuk.
”Who … kamu?”
Aku tersenyum dan terus berakting mabuk. Kucengkeram dagunya agar dia menengadah.
”Kamu sama siapa, Baby?”
Dia terbelalak, tapi tidak kuizinkan dia bicara karena aku mencengkeram rahangnya dengan kuat. Tanpa aba-aba, aku mendekatkan wajah dan mencium bibirnya yang merekah.
Kenyal, lembut dan manis.
Niatku tadi hanya mengecup dan mengerjainya saja, tapi bibirnya benar-benar terasa manis. Maka aku memilih memejamkan mata dan melumatnya.
Dia tidak membalas, tapi mulutnya terbuka karena syok. Aku mendorong lidahku ke dalam mulutnya, barulah dia mulai sadar dan berusaha mendorongku.
Sial, bibirnya benar-benar kenyal. Kuhisap bibir bawahnya lebih dalam, dia mulai berontak. Aku menjauhkan wajah dan kembali berakting mabuk.
”Aku … ke toilet dulu. Kamu jangan ke mana-mana, Sayang,” ujarku padanya.
Aku pergi sebelum dia sempat bereaksi. Sambil menuruni tangga, aku tertawa geli.
Kalau Mbak Alee tahu aku mengerjai sepupunya seperti ini, aku yakin dia akan memukulku habis-habisan. Begitu sampai di rumah, aku akan kembali menjadi adik baik kesayangannya, dia tidak perlu tahu sejelek apa sifatku yang sebenarnya.
Sambil bersiul, aku berjalan menuju mobil, membuka pintu dan masuk. Pak Juna yang sedang tidur langsung membuka mata.
”Sudah selesai, Mas Adam?”
”Sudah, kita pulang, Pak. Di sini bikin bosan,” ujarku padanya.
Kecuali ciuman tadi, tidak ada yang membuatku tertarik di klub ini. Mobil melaju meninggalkan Litera, sambil memandang jendela, aku menjilat lagi bibirku. Rasa manisnya masih tertinggal di sana.
Sialan. Tak kusangka kalau bibirnya akan semanis ini.
***
Anak baik yang nggak baik-baik amat.

Mbak-Mbak yang nampar dan bikin si anak baik balas dendam.

Mbak-Mbak Accounting yang dikejar-kejar si anak baik.

Bonus: Abang Adek yang tiap hari nyolok mata Om Adam

Sorry for typo 🖤
Adaaaam, nakal kamu ya, Dek! Kalau udah baca Extra Part Blooming Agreement pasti tahu ada part di mana Adam bilang sifat jelek dia banyak dan dia mau jadi anak baik-baik di depan Aleeta, karena kalau Aleeta tahu gimana kelakuan aslinya, Adam bilang Aleeta pasti nggak suka sama dia. Dan itu bener banget. Jangan lupa, Adam ini anak didiknya Mas Arsal. Otomatis ada beberapa sifat Mas Arsal yang dia ambil—salah satunya suka hard-ekhem! Wkwkwk
Pecinta NatGeo ini aslinya nggak akan sama kayak di POV-nya Aleeta, karena Aleeta tahunya dia ini adik baik. Padahal dia ini tengil, nakal dan suka maksa.
Like dan komen yang banyak, ya, Guys! Thank you.
Coba komen, kaget kah sama sifat aslinya Adam?
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
