Aksara: Bab 1, 2

20
0
Deskripsi

Aksa dan Eveline saling mengenal sejak kecil. Aksa bahkan sudah mengenal gadis itu sejak dilahirkan. Bagi Aksa, Eveline adalah adik kecilnya. Dan bagi Eveline, Aksa adalah kakak yang selalu melindunginya.

Tapi apakah mereka benar-benar merasakan hal itu? Lalu mengapa timbul rasa gelisah saat salah satu dari mereka menjalin hubungan dengan orang lain?

Satu

 

 

Aksa

 

Aku memasuki Aksara. Restoran yang sudah dua tahun ini aku rintis. Meski belum sebesar Butterfly ataupun Black Roses, tapi restoran ini aku besarkan dengan usahaku sendiri. Tidak ada campur tangan Ayah dan Bunda. 

Morning, Chef.”

Begitu aku memasuki dapur, sapaan terdengar dari Gio—Junior Chef di Aksara menatapku sambil menunduk hormat.

“Yang in-charge hari ini siapa?”

Chef Zio, Chef.”

“Belum datang dia?”

Gio menggeleng. “Belum.”

“Kalau dia sudah datang, suruh ke ruangan saya.”

“Baik, Chef.”

Aku melangkah menaiki tangga menuju lantai tiga di mana kantorku berada. Sebagai owner sekaligus Head Chef di sini, aku menjadikan lantai tiga sebagai kantor, ruang meeting dan morning briefing. Aku memasuki ruang kerja dan duduk di kursi.

Sepuluh menit aku duduk di sana sambil mencatat resep-resep terbaru yang rencananya akan mulai kukembangkan dalam bulan ini, pintu ruang kerja diketuk dan Zio melangkah masuk.

Sorry, Bro. Tadi macet.”

“Macet atau lo nganter cewek lo dulu?” Aku menjawab tanpa mengangkat kepala.

“Macet. Serius.”

Aku mengangkat kepala dan menatap Zio, bersedekap, menunggu jawaban yang jujur, karena aku tahu dia berbohong barusan.

Zio menghela napas. “Gue nganter cewek dulu tadi.” Akhirnya dia memilih jujur.

“Temen ONS lo?”

Zio mengangguk seraya duduk di sofa. “Gue nggak nyangka rumahnya jauh banget.”

Aku menghela napas. “Lo udah telat lima kali bulan ini, sekali lagi lo telat, lo bakal gue pindahin ke Black Roses.”

“Jangan dong, Sa. Tega bener lo sama gue. Bisa dibantai gue kalo pindah ke Black Roses. Di sana orang-orangnya galak semua.”

“Karena itu gue ngasih lo kesempatan terakhir, kalau telat lagi. Gue nggak main-main bakal pindahin lo.”

“Gue janji. Ini yang terakhir.”

“Janji lo busuk semua.”

“Sa. Gue janji, ini yang terakhir.”

“Terserah lo, sana keluar.”

“Galak bener lo,” sungutnya seraya menyeret langkah keluar dari ruangan.

Zio melangkah keluar dari ruangan sementara aku menghela napas. Dia adalah temanku, teman dalam segala hal yang aku lakukan, teman bolos kuliah waktu kami kuliah di Paris, teman yang bikin Bunda kesal setiap kali kami membuat ulah, teman yang bikin Aleeta menjerit kesal setiap kali dia melihat Zio, dan teman dalam hal-hal bejat yang selama ini aku lakukan. 

Juga teman sedari awal aku membangun Aksara.

Aku kembali menekuri buku catatan resep saat ponselku berdering. Nama Eveline muncul di layarnya.

“Ya, kenapa, Eve?”

“Mas, b-bisa ke sini, nggak?” Suaranya bergetar oleh tangis.

“Kamu kenapa?” Aku berdiri dan segera menyambar kunci motor dari atas meja.

“Mas ke sini dulu.” Isaknya menangis pelan.

“Kamu nggak apa-apa, ‘kan?”

“N-nggak. Bisa ke sini, ‘kan?”

“Iya, aku ke sana sekarang.”

Aku melesat keluar dari ruangan dan menuruni tangga seraya berlari, nyaris menabrak Zio yang baru saja selesai melakukan morning briefing bersama karyawan Aksara.

“Lo mau ke mana?”

“Ke tempat Eve.”

“Kok, tumben pagi-pagi.”

“Nggak tahu, tadi dia nelepon gue sambil nangis.” Aku keluar dari pintu belakang, menaiki motor sport yang terparkir di sana lalu memasang helm.

Eveline Daniswara sudah aku anggap sebagai adik meski tidak ada hubungan darah di antara kami. Kakekku yang bernama Reno Bagaskara punya adik tiri bernama Rega Alexander. Nah, Eveline adalah cucu dari Rega Alexander, cucu yang lahir dari anak perempuannya. Sementara anak laki-laki Rega Alexander menjadi pamanku, Samuel Alexander menikah dengan salah satu tanteku, Luna Bagaskara. Meski keluarga Zahid dan Alexander tidak memiliki hubungan darah—selain karena Paman Sam nikah sama Tante Luna—kami tidak terhubung oleh darah karena Paman Sam sendiri pun bukan anak kandung Rega Alexander, tapi kami sudah seperti keluarga. Lagi pula, Opa Rega Alexander tidak pernah menganggap Paman Sam orang lain, Opa Rega menyayangi Paman Sam seperti dia menyayangi Ibu Eveline, yang anak kandungnya.

Aku memarkirkan motor di basemen gedung apartemen Eve kemudian menuju lift. Begitu aku sampai di unitnya, aku menekan password apartemen yang sudah aku hafal di luar kepala.

“Eve?”

Aku mengecek dapur tapi ternyata Eve tidak ada di sana.

“Eve?” Aku berdiri di depan pintu kamarnya, mengetuk pelan. “Kamu di dalam?”

“Mas Aksa?”

“Iya.”

“Masuk aja, Mas.”

Aku memutar handel pintu dan melangkah masuk, menemukan Eve sedang duduk di tepi ranjang hanya dengan mengenakan jubah mandi.

“Kamu kenapa?” Aku mendekat.

Eve menunjuk kakinya. “Aku jatuh di kamar mandi.”

Aku berjongkok di depan kakinya, memeriksa pergelangan kakinya.

“Sakit, Mas!” Dia berteriak seraya memelotot saat aku menekan mata kakinya.

“Kamu terkilir.” Aku memberi pijatan lembut di sana.

“Mas, sakit banget!” Dia menggeram saat aku memijatnya.

“Tahan sedikit.” Aku menekan pergelangan kakinya dan terdengar bunyi ‘kretak’ yang membuat Eve panik.

“Mas! Kakiku patah, ya?!”

Aku tertawa. “Nggak. Kita ke rumah sakit sekarang buat periksa.”

“Tadi kaki aku diapain? Kok, sampe bunyi?”

“Nggak diapa-apain. Sana pakai baju, aku antar ke rumah sakit.”

Eve mencoba berdiri, tapi berteriak dan kembali duduk.

“Nggak bisa jalan, Mas,” rengeknya manja.

Aku menghela napas, meraih tubuhnya dan menggendongnya menuju walk in closet miliknya. Dia berdiri hati-hati dan membuka pintu lemari, mengambil kaus lengan panjang, celana olahraga kemudian membungkuk untuk mengambil pakaian dalam di dalam laci.

“Bisa sendiri, ‘kan?”

Eve mengangguk. “Bisa.”

“Ya udah, aku keluar. Nanti panggil kalau udah selesai.”

“Tungguin di kamar, ya.”

“Hmm.” Aku melangkah keluar dari ruang ganti itu, duduk di sofa yang ada di kamarnya, membiarkan Eve berpakaian.

Zio menelepon saat aku tengah duduk di sana.

“Apa?”

“Eve kenapa?”

“Jatuh dari kamar mandi. Kakinya terkilir.”

“Udah dibawa ke rumah sakit?”

“Ini mau ke rumah sakit. Lo jaga restoran hari ini ya, bilangin sama Rasqa kalau gue hari ini nggak ke restoran.”

“Oke.”

“Mas!” Suara Eve memanggil dari dalam. Aku segera berdiri dan masuk ke ruang ganti. Eve sudah berpakaian, tengah duduk di kursi bulat yang ada di depan meja riasnya.

“Kunci mobil kamu mana? Tadi aku ke sini pake motor.”

“Di meja depan TV,” ujarnya mengalungi leherku dengan kedua tangannya. Aku membawanya keluar kamar, menyambar kunci mobilnya di atas meja depan TV, kemudian melangkah keluar unitnya. Lift tidak jauh di depan kami karena di gedung ini hanya ada dua unit di setiap lantainya. Jadi lift langsung berhadapan dengan pintu unit. Aku melangkah masuk sementara Eve menekan tombol basemen.

“Kamu makin berat.”

Eve mendelik. “Enak aja. Aku diet, kok.”

“Buktinya ini, makin berat,”

“Itu Masnya aja yang loyo.”

“Enak aja loyo.”

Bibir Eveline mengerucut dan menatapku sebal.

“Kamu hari ini ada jadwal kuliah?”

Eve mengangguk. “Terpaksa bolos dulu, sampai kaki aku sembuh.”

Aku dan Eve memiliki perbedaan usia yang tidak terlalu jauh. Hanya lima tahun delapan bulan. Dia berusia dua puluh tahun sementara aku berusia dua puluh enam tahun. Sebentar lagi dua puluh tujuh tahun. Aku sudah mengenal bocah manja ini sejak aku kecil, bahkan sejak dia masih di dalam kandungan ibunya. Jadi jangan heran kalau dia sangat manja padaku, karena kami sudah bersama-sama sejak dulu. Berhubung aku anak bungsu di keluargaku, aku menganggap Eveline sebagai adik. Aku sering memanggilnya anak bungsu Wijaya karena tentu saja aku tidak sudi disebut sebagai anak bungsu. Aleeta sering kali mengejek statusku yang lebih muda darinya. Padahal aku yakin, aku yang lebih dulu lahir daripada dia. Tetapi Bunda dan Ayah ngotot bilang kalau Aleeta yang lebih dulu keluar. Dia hanya beda lima menit dariku.

Dan sikapnya seolah-olah dia adalah kakak tertua di rumah. Padahal Teh Ala tidak sediktator Aleeta.

 

✾✾✾

 

Aku mendorong kursi roda Eveline. Kakinya sudah dibebat oleh perban dan dia dilarang berjalan selama satu minggu ke depan. Tidak bisa dibilang dilarang berjalan juga, hanya jangan memaksakan diri berjalan kalau sakitnya tidak tertahankan.

“Masa aku bolos selama satu minggu, sih, Mas?” keluhnya saat kami kembali memasuki BMW-nya.

“Terus mau kuliah pake kursi roda?”

Eve menggeleng. “Nggak, nanti dilihatin orang-orang.”

“Ya udah, kalau nggak ikut kelas online aja. Bisa, ‘kan?”

“Kayaknya bisa.”

Aku mengemudikan mobil Eveline keluar dari pelataran parkir rumah sakit Nugraha. 

“Mas, makan bubur ayam, yuk.”

“Yang deket taman apartemen?”

“Iya.”

“Oke. Kebetulan aku juga belum sarapan.” Tadi niatnya sarapan di restoran.

Aku kembali menggendong Eve keluar dari mobil menuju kursi plastik yang disediakan Mang Asep di dekat gerobak bubur ayamnya.

“Loh, Neng? Kakinya kenapa, atuh?”

“Jatuh dari kamar mandi, Mang,” jawabku. “Buburnya dua, ya.”

“Oke, Kang.”

Aku duduk di samping Eveline yang menatap ponselnya. Tak lama ponsel itu bergetar.

“Iya, Sayang. Nggak apa-apa, kok. Ada Mas Aksa. Iya … aku ikut kelas online aja sementara, nggak apa-apa. Ini udah mau pulang. Oke … nggak usah ke apartemen, kamu kuliah aja. Iya … bye, Jord.”

“Jordi?”

Eve mengangguk. “Iya, dia nungguin di kampus. Aku tadi lupa ngabarin kalau nggak masuk hari ini.”

“Oh.”

Jordi adalah pacar Eveline selama dua bulan ini.

“Dia baik sama kamu?”

“Baik.”

“Nggak macam-macam, ‘kan?”

“Nggaklah, Mas. Emangnya mau macam-macam gimana?” Dia memelotot dengan wajah memerah malu.

Aku mengangkat bahu. “Aku tahu pikiran cowok kayak apa.”

“Emangnya kayak apa?” Dia menatapku polos.

Aku hanya tertawa seraya menepuk puncak kepalanya. “Anak kecil nggak boleh tahu.”

“Ih, udah dua puluh juga!” Dia mencubit pahaku sementara aku tertawa.

Mang Asep datang membawakan bubur kami.

Aku dan Eve sangat suka bubur yang diaduk. Jadi kami berdua mengaduk dan menambahkan banyak kerupuk di sana.

Aku makan dengan cepat, seperti biasanya. Sementara Eve makan lebih lambat, dia suka makan pelan-pelan, karena dia pernah tersedak sewaktu kecil saat makan terburu-buru, sejak itu ia takut makan terlalu cepat. Meskipun itu bubur, Eve tetap memastikan kalau makanannya sudah dikunyah dengan sempurna, baru menelannya.

“Mas nggak ke restoran hari ini?”

“Iya nanti aja.”

“Nggak sibuk memangnya?”

“Kamu mau aku pulang aja?”

“Jangaaaan.” Dia menatapku dengan matanya yang bulat. “Di apartemen aku aja, ya. Aku males sendirian.”

“Di apartemen kamu nggak ada makanan. Adanya cuma air putih.”

“Belanja deh, kalau gitu. Supermarket pasti udah pada buka jam segini.”

“Oke. Kamu juga jangan kebanyakan makan fast food. Nggak baik buat kesehatan.”

“Iya, iya. Mas bawel, deh.”

Aku hanya menatapnya sambil tersenyum, menunggu dia menghabiskan buburnya, setelah itu kembali menggendongnya menuju mobil.

Eve memilih menunggu di mobil saat aku menghentikan mobil di sebuah supermarket, dia bilang tidak mungkin bagiku mendorong kursi roda dan troli sekaligus saat belanja. Jadi lebih baik dia menunggu di mobil dan minta dibelikan es krim. 

Jadi di sinilah aku, memilih-milih bahan makanan untuk mengisi kulkas Eveline, meski aku yakin bahan makanan ini akan membusuk karena dia tidak akan memasak. Dia paling payah dalam urusan memasak. Menggoreng telur dadar saja gosong. Satu-satunya yang bisa dia buat hanyalah merebus mi instan. Jadi aku tidak membeli banyak bahan-bahan makanan, hanya yang sekiranya diperlukan saja.

Akan tetapi, aku membeli cukup banyak buah. Eve sangat suka buah, terlebih stroberi.

Aku menyempatkan membeli es krim di stan favoritnya, kemudian membawanya ke mobil.

“Aaaa, makasih, Mas.” Dia menerima es krim dari tanganku dengan senyuman lebar. 

Dia mulai menyendok es krimnya, sementara aku mengemudikan mobilnya kembali ke apartemen.

“Mau?” Dia mengarahkan sendoknya ke depan mulutku.

Aku membuka mulut dan membiarkan dia menyuapi es krim rasa vanila itu ke mulutku.

“Mas beli apa? Aku pengen makan pasta siang ini.”

“Hm, aku tahu. Aku beli, kok, bahan-bahannya.”

Dia tersenyum lebar dan mengecup pipiku. “Mas Aksa emang yang terbaik!”

Aku hanya tersenyum kecil, fokus mengemudi sementara dia berceloteh panjang lebar tentang kuliahnya.

“Ternyata jurusan arsitektur bikin kepalaku mau pecah,” ujarnya mulai mengeluh lagi.

“Nggak ada yang maksa kamu ambil jurusan itu, ‘kan? Aku udah bilang kalau jurusan arsitektur itu sulit.”

“Tapi pengen jadi arsitek, kayak keluarga Mas Aksa, banyak yang jadi arsitek.”

“Jadi nggak usah ngeluh. Jalani aja.”

Bibirnya mengerucut. “Kasih semangat, kek. Apa kek.”

Aku tertawa pelan, menepuk puncak kepalanya. “Semangat, Eveline. Ingat janji kamu mau bikinin aku rumah kalau kamu udah jadi arsitek.”

“Iya, aku masih ingat. Tapi ingat loh, aku dibayar. Nggak boleh gratis.”

“Iya, aku bayar. Tenang aja. Asal sesuai selera aku.”

“Pasti. Aku yakin bakal sesuai ekspektasi kamu, Mas.”

Let’s see.” Aku mengangkat bahu.

“Ih, meremehkan banget, loh, ekspresi wajahnya.”

“Emangnya ekspresi aku kayak apa?”

“Meremehkan aku.”

“Nggak ada yang meremehkan kamu.”

“Tapi tuh barusan.”

“Salah lihat kamu.”

“Iya aku lihat dengan mata aku sendiri, bukannya mata sapi.”

Aku tertawa. 

“Kok, ketawa?!” Dia menatapku kesal.

“Ingat waktu kamu goreng telur mata sapi minggu lalu, sampe alarm kebakaran di apartemen bunyi gara-gara asap dari wajan.”

“Ih, nggak usah diingetin.” Wajahnya memerah malu.

“Makanya kamu tuh belajar masak, seenggaknya masak buat diri sendiri.”

“Nggak mau. Ada Mas Aksa yang masakin aku tiap hari, ngapain aku belajar masak.”

“Nggak selamanya aku masakin kamu.”

“Kok, nggak?” Matanya yang jernih menatapku.

“Ya mungkin suatu saat aku nikah dan harus masakin istriku. Masa iya masakin kamu juga? Nanti istriku ngambek, gimana?”

“Ih, jangan nikah dulu makanya!”

“Kalau udah ketemu jodohnya gimana?”

“Mas Aksa nggak boleh nikah dulu. Tunggu aku bisa masak, baru kamu boleh nikah.”

“Kapan?” Aku menoleh sambil tersenyum usil.

“Kapan-kapan!” ketusnya cemberut sementara aku tertawa.

Dia menatapku dengan mata yang berkaca-kaca.

“Mas beneran mau nikah?” Suaranya mulai bergetar dan aku yakin sebentar lagi dia akan menangis.

“Nggak sekarang. Tapi suatu saat nanti pasti. Nggak menutup kemungkinan dalam waktu dekat.”

“Udah punya calon emangnya?!” Dia menatapku dengan mata membulat.

Aku menggeleng. “Nggak.”

“Terus? Mau nikah sama siapa? Kuntilanak?!”

Aku menatapnya tanpa ekspresi. “Kamu pikir aku ini makhluk gaib?”

“Ya habisnya bilang mau nikah.”

“Kan, aku bilang kalau udah ketemu jodohnya, Eveline.”

“Mudahan nggak ketemu jodoh sampe tua.”

“Heh, mulutnya!” Aku memelotot. “Enak aja, kamu nanti nikah terus masa aku sendiri terus?”

“Aku nggak nikah, aku temenin Mas sendiri. Kita sendirinya barengan.” Dia menyengir polos.

Aku hanya tertawa, menggelengkan kepala. “Dasar bocah. Pikirannya nggak dewasa-dewasa dari dulu.”

“Ih, aku bukan bocah!” Dia mencubit lenganku bertubi-tubi sementara aku tertawa.

“Eve, kita nabrak nih.” Aku membelokkan mobil memasuki basemen gedung apartemen. Eveline berhenti mencubitku, tapi dia menyempatkan diri untuk menjewer kupingku.

Aku mengeluarkan kursi rodanya, sementara dia memangku kantong berisi bahan-bahan makanan yang kubeli, aku mendorong kursi rodanya menuju lift.

Dia duduk di kursi pantri sementara aku menyusun bahan makanan ke dalam kulkas. Karena sama-sama masih kenyang, aku memutuskan untuk nanti saja memasak makan siang. Jadi aku dan Eve duduk di sofa yang ada di depan TV.

Kaki Eveline berada di atas meja sementara dia memangku laptop untuk mengerjakan tugas kuliahnya. Kini Eve masih berada di semester lima. Sudah mulai sibuk dengan beberapa tugas mandiri dari kampusnya.

“Mas, desain kamar yang ini bagus, nggak?”

Dia menunjukkan layar laptopnya padaku.

“Lumayan.”

“Kok, lumayan?” Dia memelotot.

“Memang lumayan, masih berantakan soalnya.”

“Ih, bilang bagus, kek. Aku kerjain sampai bergadang, loh.”

Aku hanya menepuk puncak kepalanya. “Masih berantakan, tapi cukup bagus.”

“Beneran bagus?”

“Iya, tapi ini kayaknya nggak begini.” Aku menunjuk tata letak kamar mandi dalam desainnya. Menunjukkan letak yang lebih baik agar kamar itu bisa lebih luas.

Meski aku adalah seorang Chef, tapi darah arsitek mengalir deras di tubuhku. Keluarga besarku adalah arsitek, sejak kecil aku juga sudah sering belajar tentang arsitektur. Meski aku akhirnya menemukan bahwa ternyata ketertarikanku pada makanan lebih mendominasi. Jadi kuputuskan untuk kuliah di Le Cordon Bleu Paris bersama Zio.

Akhirnya aku membantu Eve mengerjakan tugasnya itu, membuat desainnya menjadi lebih bagus. Dia tersenyum senang melihat perubahan dalam desainnya.

“Wah, jadi lebih bagus, Mas.” Dia menoleh sambil tersenyum lebar. “Dan aku lapar. Masak dong, Mas,” pintanya dengan senyuman polos.

Aku menghela napas. “Udah dibantuin ngerjain tugas, disuruh masak lagi.”

Dia terkekeh seraya merentangkan kedua tangan.

“Apa?” Aku bertanya sambil berdiri.

“Gendong. Mau ke dapur. Ngeliat Mas Aksa masak.”

Aku menggendongnya menuju dapur, mendudukkan dia di meja pantri.

“Pasta ya, Mas.”

“Iya.”

Dia tersenyum manis sementara aku mengeluarkan bahan-bahan makanan membuat pasta. Entah kenapa sejak dulu aku paling tidak bisa menolak permintaan bocah manja ini.

 

 

Dua

 

 

Aksa

 

“Aku yang cuci,” ucap Eve sambil menjauhkan piring kosongnya.

“Nggak usah. Aku aja.”

“Mas udah masak. Aku aja.” Dia menatapku dengan mata membulat. Aku tertawa pelan melihat wajahnya yang menggemaskan. Meski umurnya sudah dua puluh tahun, di mataku dia masih Eve berusia tujuh tahun yang lucu dan selalu berhasil membuatku tertawa.

Dengan tertatih-tatih Eve melangkah menuju tempat pencucian piring. Aku mengalah dan membiarkan dia mencuci piring sementara aku mengeringkannya. Dia keras kepala dan berkemauan keras. Saat dia menginginkan sesuatu, biasanya Eve akan mengejarnya sampai dapat. Karena itulah kami sering berdebat sengit. Dia menginginkan hal seperti ini, sementara aku ingin sebaliknya. Meski sebagian besar perdebatan itu dimenangkan oleh Eveline. Hanya dikarenakan aku mengalah karena tidak ingin membuatnya merajuk selama berhari-hari.

Setelah semua piring selesai dicuci dan dikeringkan, Eveline minta digendong kembali ke sofa.

“Aku bisa encok kalau gendong kamu tiap hari.”

“Ini, 'kan, karena kaki aku sakit. Kalau nggak, akunya jalan sendiri,” gerutunya dengan wajah sewot.

Aku mendudukkan dia di sofa, kemudian berbaring di sampingnya sementara dia menonton TV. Aku meletakkan kakiku di pangkuannya. Eve segera memijat kakiku dengan perlahan.

“Kemarin main futsal, ya?” tanyanya saat aku memejamkan mata.

“Iya.”

“Malem?”

“Hmm.”

“Pantes kakinya keras amat.” Dia memijat betisku yang terasa keras. “Ini betis apa beton, sih, Mas?”

Aku tertawa meski nyaris tertidur karena pijatannya. Kemudian memilih tengkurap agar dia bisa lebih leluasa memijat betisku.

“Aku tidur bentar, ya. Pijatin.”

“Iya.”

Jika dia selalu berhasil mendapatkan apa pun yang diinginkannya dariku, biasanya aku juga berhasil mendapatkan apa pun yang kuinginkan darinya. Salah satunya pijatan ini. Aku mulai terlelap saat Eve masih memijat seraya menonton film di Netflix. Entah berapa lama aku tertidur, aku merasakan Eve mengguncang tubuhku diiringi suara bel.

“Mas, bangun dong.”

“Hmm.”

“Mas, bukain pintu.”

“Siapa yang datang?” Mataku masih terpejam rapat karena kantuk.

“Jordi.”

Nama itu berhasil membuatku membuka mata dengan lebar.

“Ngapain dia ke sini?”

“Jengukin aku.”

“Nggak perlu dijenguk segala.”

“Ih, masa dia nggak jenguk pacarnya yang lagi sakit?” Eve memukulku dengan kepalan tangannya.

Aku bangkit duduk dan mengusap wajah. Dengan mata setengah terpejam aku melangkah menuju pintu, nyaris menabrak pembatas dinding yang Eve jadikan sekat antara ruang tamu dan ruang TV-nya, Eve tertawa saat aku mengusap kakiku yang terantuk, aku mendelik sementara dia menyeringai lebar, sebelumnya aku menyempatkan diri menatap layar interkom. Lalu membuka pintu dan menahannya dengan kaki.

“Ngapain kamu ke sini?”

“Hai, Mas.” Jordi berusaha tersenyum menatapku. Aku tahu dia tidak menyukai aku, sama seperti aku yang tidak menyukainya. “Evelinenya ada?”

“Lagi tidur,” jawabku ketus.

“Mas!” Suara Eve terdengar berteriak dari dalam.

Aku menghela napas, membuka pintu lebih lebar dan membiarkan pemuda itu masuk. Aku ikut kembali ke sofa dan duduk di samping Eveline.

“Duduk,” ucapku menatap Jordi yang hanya berdiri. Pria itu memberikan sebuket bunga untuk Eve dengan senyuman manis.

Aku mual melihat senyumannya.

“Makasih, Sayang. Baik banget sampe dibawain bunga segala.”

“Kan, buat pacarku.”

Aku berdehem. Jordi memandangku dengan wajah masam sementara Eve masih tersenyum karena buket mawar merah itu.

“Mas … nggak balik ke apartemennya Mas?” tanya Jordi.

Aku memelotot. “Kenapa? Ngusir? Mau macam-macamin adik saya?!”

“Mas, ih! Galak banget.” Eve mencubit pahaku. “Kan, Jordi cuma nanya.”

“Nanya apa ngusir?” sinisku.

“Nanya doang, Mas,” ucap Jordi dengan nada pelan.

“Hmm.” Aku meraih remote dari tangan Eve kemudian mencari film action di Netflix, membiarkan mereka mengobrol pelan. Meski aku tahu Jordi tidak nyaman dengan kehadiranku, tapi Eve tampak baik-baik saja duduk di sampingku. Lagi pula siapa yang mau meninggalkan mereka berdua saja? Ibu Eveline akan memarahi aku jika aku sampai membiarkan laki-laki berduaan dengan anak kesayangannya.

“Sayang, nanti malam kita makan di luar gimana?” 

“Nggak bisa, Jord. 'Kan, kaki aku sakit.”

“Pesan makanan aja? Makan di sini?”

“Nggak. Mas Aksa yang masak. Iya, ‘kan, Mas?” Eve menoleh padaku.

“Liat nanti.”

“Kok, gitu?”

“Aku harus masakin pacar kamu juga?” tanyaku ketus.

“Kan, sekalian, Mas.”

“Ogah, suruh dia ke Butterfly atau Black Roses aja, atau nggak ke Aksara.”

“Ih, pelit banget. Cuma masakin doang.”

“Aku jauh-jauh ke Paris buat belajar masak, bukan buat masakin pacar kamu.”

“Mas ….” Eve memelotot. Kemudian menatap Jordi. “Maaf ya, Jord. Mas Aksa emang begini, mulutnya pedes kayak gado-gado karet dua. Mama selalu bilang dulu Mas Aksa waktu kecil suka dikasih makan tahu mercon sama Bunda.”

“Enak aja.” Aku memelotot sementara Eve tertawa.

“Canda, Mas.” Dia menyengir polos.

Aku menghela napas. Memilih bersila di atas sofa dan meraih laptop Eveline untuk mengecek isinya. Takut kalau dia mulai aneh-aneh dengan menyimpan video porno. Karena kadang pikiran bocah manja ini tidak bisa diprediksi. 

Saat membuka galeri album foto di dalam laptopnya, aku tersenyum kecil karena dia banyak menyimpan foto kami sewaktu kecil. Jadi kubiarkan Eve dan pacarnya kembali mengobrol sementara aku menatap satu per satu foto di sana.

Aku tertawa kecil saat melihat foto ulang tahun Eve yang ke enam, di mana gigi depannya ompong dan dia tidak malu menyeringai lebar, memperlihatkan keompongannya pada orang-orang. Sekarang kalau aku meledeknya, dia akan marah-marah dan menangis sambil menjambak rambutku. Padahal dulu dia sendiri yang memamerkan keompongannya ke mana-mana.

Aku beralih pada foto-fotonya yang mulai remaja. Saat hormon mulai menguasai tubuhnya dan dia menangis karena wajahnya ditumbuhi satu jerawat. Hanya satu, tapi hebohnya seolah seluruh wajahnya berjerawat.

Dan dia … juga mulai bertanya-tanya soal pacaran padaku saat SMP. Aku memarahinya karena belum waktunya dia bertanya hal itu, tapi dengan entengnya dia malah meledekku.

“Mas aja yang jomlo sampai sekarang, temen-temen aku aja udah punya pacar.”

Untuk ukuran anak kelas 2 SMP, dia cukup cerewet dan penasaran tentang kata ‘pacaran’. Eve sendiri punya pacar pertamanya kelas 1 SMA. Itu pun diam-diam di belakangku. Saat aku tahu, aku marah besar. Eve terpaksa memutuskan pacarnya dan marah padaku selama satu bulan.

Dia benar-benar tidak menegurku selama satu bulan.

Jadi, bagaimana kami akhirnya bisa berbaikan?

Entahlah, aku lupa. Kalau tidak salah aku mengajaknya naik gunung Panderman bersama Devan dan Aleeta, karena itu pertama kalinya dia naik gunung, dia begitu bersemangat dan memaafkan aku yang memarahinya habis-habisan karena ketahuan berpacaran.

Sebenarnya sangat mudah membujuk Eveline saat dia marah padaku. Aku cukup memasakkan dia makanan kesukaannya dan dia akan berhenti marah. Tetapi waktu itu dia benar-benar marah, bahkan saat aku memasak untuknya—yang saat itu rasa masakanku belum seenak sekarang—dia tidak menjamahnya sedikit pun. Itu pertama dan terakhir kalinya dia merajuk habis-habisan padaku. Baginya pacaran itu wajar, bagiku saat itu belum sepantasnya dia pacaran.

“Aku udah kelas satu SMA. Udah haid juga, udah gede. Kenapa nggak boleh, sih? Mas kalau mau jomlo, sendirian aja! Jangan ngajak-ngajak!”

Untung saja saat dia merajuk habis-habisan itu, aku sedang di Jakarta dan bukannya di Paris. Aku tengah liburan semester. Kalau aku di Paris dan dia di Jakarta, bisa dipastikan pikiranku akan terpecah belah karenanya.

Foto terakhir yang ada di album itu adalah beberapa bulan yang lalu. Saat dia merayakan ulang tahunnya yang ke dua puluh. Dia merangkul bahuku dan mengambil foto selfie. Aku hanya tersenyum kecil sementara dia tersenyum lebar.

Setelah puas melihat-lihat foto di sana, aku berganti mengecek satu per satu folder kuliahnya. Syukurlah tidak ada tanda-tanda dia menyimpan video porno di laptopnya. Karena dua minggu lalu aku mendapati dia mengunjungi situs porno dari ponselnya. Aku tidak sengaja mengecek riwayat pencarian di ponselnya.

Dua jam lamanya Jordi di apartemen Eve, dia akhirnya pamit pergi karena ada kuliah lagi. Syukurlah, baru saja aku berniat mengusirnya kalau dia tidak pergi juga.

Sudah pukul empat sore, tanggung kalau aku kembali ke apartemenku, jadi aku putuskan untuk tetap di sini saja sampai makan malam. Meski apartemenku sendiri hanyalah berjarak beberapa lantai dari unit apartemen Eveline.

“Aku mandi dulu. Kamu mau mandi, nggak?”

“Nanti aja,” ucapnya sambil fokus menonton, sementara aku menuju kamarnya.

Aku cukup sering mandi di sini, karena itu aku memiliki banyak pakaian yang tersimpan di lemarinya. Setelah mandi, aku membawa pakaian kotor di keranjangnya ke ruang laundry, memasukkannya ke dalam mesin cuci. Aku tidak suka dengan pakaian menumpuk. Sementara Eve kadang mencuci hanya seminggu sekali, setelah keranjangnya penuh oleh pakaian kotor. Membiarkan mesin itu bekerja, aku menuju dapur dan bersiap membuat makan malam.

 

✾✾✾

 

“Mas tidur sini aja, ya.” pintanya saat aku selesai mencuci piring terakhir.

“Hmm?”

“Kaki aku masih sakit, nanti aku kalau ke kamar mandi susah pake kursi roda.”

Aku hanya diam seraya mengelap tangan, sementara Eve masih duduk di kursi pantri.

“Tapi besok pagi-pagi aku mesti ke Aksara. Aku yang in-charge besok.”

“Iya nggak apa-apa. Tapi malam ini di sini aja. Kaki aku masih sakit.”

“Makanya kalau mandi hati-hati. Bisa jatuh segala.”

“Nggak sengaja sabun mandinya tumpah, Mas. Terus kepeleset.” Aku menggendongnya ke kamar. Biasanya dia akan membaca buku dulu sebelum tidur. Sementara aku sudah mengantuk. Efek capek karena kemarin malam aku bergadang sampai subuh.

Aku berbaring di ranjang Eve sementara dia bersandar di kepala ranjang membaca novel.

“Novel apa?” Aku berbaring miring menatapnya.

“Hmm.” Dia hanya bergumam.

“Buku baru?”

Dia mengangguk.

Aku mengintip sampulnya. Tidak ada yang aneh di sana. Judul novelnya juga tidak aneh. Crossfire. Kurasa dia membaca novel terjemahan karena dia memang lebih suka membaca novel-novel seperti itu. 

“Jangan kemalaman bacanya.”

“Iya, Mas tidur aja duluan.” Dia berbicara tanpa menoleh padaku.

Aku hanya menguap dan memeluk guling kemudian memejamkan mata. Entah kapan tepatnya, tapi aku merasakan Eve ikut berbaring dan memelukku dari belakang, aku membiarkan sementara aku masih memeluk guling.

Saat pagi harinya, aku bangun dengan Eve berada di dalam pelukanku. Dia berbaring miring, membelakangi aku sementara aku memeluknya dari belakang. Bukannya tadi malam dia yang memelukku? Kapan posisinya menjadi berbalik arah?

Aku bangkit duduk sementara dia masih tidur, bukunya tergeletak begitu saja di nakas. Aku bangkit ke kamar mandi dan memutuskan untuk langsung mandi. Aku harus ke restoran pagi ini. Eve masih tidur saat aku selesai mandi dan berpakaian, tidak ingin membangunkannya, aku menuju dapur dan membuatkan dia sarapan, kemudian meletakkan sarapan itu di nakas, menggeser bukunya ke atas ranjang dan meletakkan sarapan di sana. Setelah itu aku keluar dari kamar dan langsung menuju basemen.

“Pagi, Chef.” Sapaan Gio selalu bersemangat setiap pagi.

Aku mengangguk, menuju lantai tiga sementara pegawai mulai berbenah dan menata meja. Aku sendiri memilih untuk mengecek laporan lebih dulu sebelum memulai morningbriefing

Hari ini restoran cukup sibuk. Semakin hari Aksara semakin dikenal, aku bersyukur untuk itu. Semua meja di lantai satu maupun dua penuh oleh pesanan, tapi di tengah-tengah kesibukan itu, aku tidak lupa menelepon Eveline.

“Udah makan?”

“Belum.”

“Nggak pesan makanan?”

“Mau Mas yang masak.”

“Resto lagi ramai hari ini.” Aku menatap melalui dinding kaca kitchen, “Mau aku kirim makanan ke sana pakai kurir?”

“Boleh, aku tunggu.”

“Mau apa?”

“Terserah apa aja.”

Akhirnya aku memilih memasakkan Chicken Cordon Bleu untuknya. Hidangan ini terbuat dari ayam filet tanpa tulang yang digoreng dengan lapisan tepung roti dan diisi dengan lelehan keju serta daging ham. Disertai potato wedges, sayur buncis, wortel, dan irisan kol tipis, kemudian disiram saus BBQ. Eve sangat suka jika memakannya dengan lelehan keju yang banyak.

Setelah itu, aku meminta salah seorang sekuriti untuk mengantarnya ke gedung apartemen Eveline. Daripada harus menunggu kurir lagi, lebih baik salah satu sekuriti yang pergi ke sana.

Aku yakin Eve juga pasti sudah kelaparan.

Ternyata Aksara tidak hanya ramai pada siang hari, malam hari sudah full booked. Hari ini benar-benar melelahkan, tapi aku juga cukup senang. Aku berharap Aksara bisa seterkenal Butterfly dan Black Roses. Meski aku yakin tetap butuh usaha dan kerja keras.

“Mas, mau pecel lele.”

Eve menelepon saat aku tengah mengganti seragam Chef dengan kemeja biasa.

“Pecel lele?”

“Iya, yang di deket minimarket dekat apartemen itu loh.”

“Memangnya belum makan?”

“Udah, tadi Mama juga ke sini nganterin makanan. Tapi lapar lagi.”

Aku melirik arloji, sudah pukul sepuluh malam. Nafsu makannya memang lebih tinggi dari perempuan pada umumnya.

“Iya nanti dibeliin. Ada lagi, nggak?”

“Itu aja.”

“Oke.”

Aku keluar dari ruang kerja seraya menenteng helm. Sementara para karyawan masih berberes sebelum pulang. Aku memutuskan untuk pulang lebih dulu. Karwayan-karyawanku sudah bisa diandalkan untuk mengurus restoran.

“Mau pulang, Bos?” Rasqa menegurku. Dia sendiri hendak melangkah menuju mobilnya. Rasqa adalah manajer Aksara.

“Iya.”

“Hati-hati, Bos.”

“Hmm.” Aku hanya bergumam, menghidupkan motor dan menjalankannya. Hari ini aku cukup lelah, aku butuh tidur secepatnya. Tidak lupa, aku membelikan pecel lele pesanan Eveline, sambil menenteng kantong plastik itu, aku melangkah menuju unitnya.

“Eve?”

“Di dapur!” Dia berteriak. Dia memakai kruk yang aku persiapkan untuknya beraktifitas di dalam rumah.

Aku meletakkan pecel lelenya di atas meja, kemudian melangkah menuju kulkas untuk meraih mineral dingin. Sementara Eve mulai membuka bungkusan itu.

Aku mengambilkan piring untuknya. Duduk di sampingnya yang mulai makan.

“Mas, mau?” Dia mengarahkan tangannya padaku.

Aku membuka mulut menerima suapan langsung dari tangannya. Dia bilang, makan pecel lele paling nikmat kalau langsung pakai tangan, bukan dengan sendok.

“Tante Aster ke sini sendiri?”

Eve menggeleng. “Sama Papa.”

“Nggak nginep?”

“Aku suruh pulang. Habisnya Papa lebai. Kaki aku cuma terkilir doang, dia heboh kayak kaki aku patah. Jadi aku suruh Mama nyeret Papa pulang. Aku bilang ada Mas yang jagain.”

Dia kembali menyuapi aku yang kuterima dengan senang hati. Dia benar, makan pecel lele paling nikmat kalau langsung dari tangannya.

“Capek dong, kalau langsung balik ke Bandung?”

Eve kembali menggeleng. “Mereka nginep di rumah Opa Rega.”

“Oh.” Aku kembali menerima suapan.

Separuh makanan itu masuk ke perutku, sementara separuhnya lagi masuk ke perut Eveline. Aku yakin dia tidak terlalu lapar sampai mau berbagi makanan denganku, biasanya dia pelit kalau sedang lapar. Dia pasti hanya sekadar ‘mau’ makan pecel lele, bukan karena memang lapar.

“Aku balik ke apartemen, ya.”

“Nggak tidur sini aja?” Dia menatapku penuh harap.

Aku menggeleng. “Capek banget, butuh tidur.”

“Aku, 'kan, nggak ganggu tidurnya, Mas.” Dia menatapku cemberut. “Tidur sini, ya,” bujuknya. “Aku pijatin, deh.”

Membayangkan pijatannya, cukup menggoda.

Dan Eve tahu aku lemah karena godaannya. Maka dari itu dia tersenyum memelas.

“Mau yaaaaaa.” Dia menampilkan wajah yang begitu menggemaskan.

Menghela napas, aku mengangguk sementara dia tersenyum lebar.

“Aku mandi dulu.” Aku segera melangkah menuju kamarnya dan masuk ke dalam kamar mandi, sementara gadis itu membersihkan sisa-sisa makanan di dapur.

Entah sejak kapan, apartemen Eveline sudah menjadi rumah bagiku. Mungkin aku lebih banyak menghabiskan waktu di apartemen ini ketimbang apartemenku sendiri. Menghabiskan waktu lebih banyak dengannya daripada dengan orang lain. Pusat duniaku berputar pada titik yang sama setiap hari, dan itu Eveline.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Aksara
Selanjutnya Aksara: Bab 3, 4, 5
11
0
Aksa dan Eveline saling mengenal sejak kecil. Aksa bahkan sudah mengenal gadis itu sejak dilahirkan. Bagi Aksa, Eveline adalah adik kecilnya. Dan bagi Eveline, Aksa adalah kakak yang selalu melindunginya.Tapi apakah mereka benar-benar merasakan hal itu? Lalu mengapa timbul rasa gelisah saat salah satu dari mereka menjalin hubungan dengan orang lain?
Komentar dinonaktifkan
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan