Scandalous Marriage — Bab 11

0
0
Deskripsi

Scandalous Marriage — Bab 11

Pengakuan Harsa membuat Sarayu kecewa. Alhasil, Sarayu pergi dari rumah. 

Scandalous Marriage — Bab 11

post-image-682873ab4249a.png

***

Sejak tadi banyak pergunjingan yang mampir di telinga Harsa. Membicarakan Sarayu tanpa henti. Kalau dia yang dibicarakan tidak akan peduli, tetapi sekarang yang dibahas adalah istrinya. Harsa merasa kesal. Namun, kekesalan harus ditunda karena Harsa mendapat beberapa kasus baru untuk diurus.

Siapa yang bakal menyangka bahwa dialah yang akan menangani kasus Ayfin? Baru kemarin sore Sarayu cerita bahwa Ayfin membunuh pacarnya, sekarang dialah yang ditunjuk mengurus kasus ini. Kasus Ayfin sedang disorot besar-besaran karena tindakannya terlalu keji untuk dianggap sebagai manusia. 

Harsa akan mempelajari lebih rinci kasus Ayfin secara cepat sebelum menentukan tanggal sidang pertama. Mengesampingkan kasus Ayfin, Harsa masih ada sidang pidana terkait penipuan. Sebelum masuk ke dalam ruang sidang, Harsa mengirimkan pesan kepada Sarayu untuk mengabarinya. 

Baru dua detik mengirim pesan, ada pesan lain yang muncul. Harsa segera membuka pesan dari Sadawira yang muncul di bagian paling atas. 

Sadawira: Gue udah cabut hahahahaha thanks, Kak!

Harsa sebatas memberi emoji jempol untuk menanggapi pesan adiknya. Tidak lama setelah itu Harsa memasuki ruang sidang. Sepertinya hari ini akan lebih lama, Harsa ingin mendengar cerita Sarayu. Dia berharap urusan Sarayu dan ibunya baik-baik saja.

*****

Biasanya setelah pulang bekerja Harsa disambut dengan wajah jutek atau wajah bete Sarayu. Istrinya senang cemberut. Akan tetapi, kali ini berbeda. Harsa menemukan Sarayu duduk di sofa ruang tamu, lalu berdiri dan menghampirinya yang baru tiba. Harsa menangkap adanya kemarahan menyelimuti wajah cantik Sarayu. Harsa tidak bisa menebak apa yang membuat Sarayu marah.

Sejak tadi siang dia bertanya perihal pertemuan Sarayu dengan ibunya, tidak ada jawaban. Sarayu membaca pesannya, tetapi tidak membalas. Harsa mencoba telepon, Sarayu tidak menjawab panggilannya. Harsa dibuat bingung. Padahal tadi pagi mereka baik-baik saja.

"Kenapa Mas bilang sama Mama kalau saya gabung parpol Rakasa?" Tanpa basa-basi, Sarayu bertanya galak.

Harsa membelalak, dibuat kaget selama beberapa saat. Harsa menahan mulutnya untuk tidak bertanya lebih jauh dan tetap bungkam. 

"Satu-satunya orang yang tahu saya mau gabung parpol Rakasa hanya Mas. Saya nggak bocorin ke siapa pun dan Pak Deka adalah musuhnya Mama saya. Dia nggak mungkin bocorin," lanjut Sarayu dengan tangan terkepal. 

Sorot tajam terpancar dari mata Sarayu. Harsa tetap diam saat menyadari tatapan Sarayu jauh lebih menakutkan dan menunjukkan kemarahan yang dalam padanya. 

"Saya percaya sama Mas makanya kasih tahu. Kenapa malah dikasih tahu ke Mama? Kalau kayak gini, rencana saya gagal!" Nada bicara Sarayu berubah. Tidak lagi hangat atau sewot, yang ada hanyalah kemarahan tanpa akhir.

Harsa tetap diam tidak menjawab. Melihat Sarayu begitu kukuh menunjukkan tatapan yang sama, bibirnya semakin ditahan.

"Kenapa Mas diam aja? Jawab, Mas!" desak Sarayu sambil memukul dada Harsa.

Harsa tetap bergeming. Sarayu yang menyadari diamnya Harsa, dia tahu ada yang tidak beres.

"Apa yang Mas sembunyikan?" cecar Sarayu. Suaminya tetap diam. "Oke, saya ganti pertanyaannya. Apa yang Mas dapat dari memberi tahu informasi itu?"

Harsa masih bungkam, hanya menatap Sarayu yang kian menunjukkan tanduk marahnya. Sarayu menatap dengan tidak sabar hingga tangannya bergerak meremas lengan kemeja Harsa.

"Mas masih bisa bicara, kan? Jawab, Mas, jawab!" tuntut Sarayu berteriak. Melihat Harsa tetap tak bersuara, Sarayu memukul dada Harsa sekali lagi. "Mas mau saya pukulin sampai mati? Kenapa nggak jawab? Kenapa?" Suara Sarayu semakin meninggi, lebih nyaring dari biasanya.

Sudah beberapa menit Harsa diam tanpa memberi jawaban. Sarayu kehabisan kesabarannya. Sudah kesal dengan video palsu, sekarang suaminya bungkam seribu bahasa.

"Kalau Mas nggak mau ngaku, saya akan tanya Mama." Sarayu ingat ibunya tidak sebodoh itu memberi tahu siapa yang bicara terkait parpol. "Kalau Mas nggak bicara sekarang, saya akan tusuk diri saya dengan cutter dan menjadikan Mas sebagai tersangka sekarang juga." 

Sarayu berbalik badan dan berjalan perlahan untuk mengambil cutter di dapur. Jika pertanyaan tidak bisa membuat Harsa buka mulut, maka dia akan menggunakan cara paling gila. Sarayu belum sempat ganti pakaian sejak pulang dan menunggu satu jam hanya untuk bertanya kepada Harsa mengenai hal ini. Sarayu tidak bisa tenang sampai dia mendapat jawaban konkret. 

"Adik saya jadi ketua umum partai ibu kamu," ungkap Harsa.

Sarayu berhenti melangkah dan berbalik badan. "Apa?"

"Sebagai ganti memberi informasi penting tentang kamu, adik saya jadi ketua umum di partai ibu kamu. Itu syarat yang saya minta," aku Harsa akhirnya.

Sarayu kaget mendengarnya. Dia tidak percaya Harsa akan menukar informasi dirinya dengan balasan semacam itu. Sarayu pikir Harsa sosok yang jujur dan tidak pernah berharap apa pun dalam pernikahan ini. Dia pikir hanya ayahnya Harsa atau orang tuanya yang saling mengharapkan sesuatu dari satu sama lain. Rupanya Harsa juga mengharapkan sesuatu.

Ada kekecewaan bercampur kesal yang muncul menyelimuti hatinya. Sarayu mengepal tangannya, menahan diri untuk tidak menampar Harsa. Setelah dia mulai terbuka dan merasa nyaman di samping Harsa, laki-laki itu melemparnya ke dalam jurang yang dipenuhi bara api. 

"Saya pikir Mas nggak mengharapkan apa-apa, ternyata sama aja liciknya. Saya terlalu naif berpikir Mas menikah tanpa mengharapkan apa-apa. Saya benci sama Mas."

Kalimat itu menjadi yang terakhir. Suara Sarayu bergetar. Matanya berkaca-kaca. Ditambah lagi tangan yang mengepal ditahan sekuat tenaga untuk tidak membunuh Harsa detik itu juga. Demi ketenangan hatinya, Sarayu berbalik badan dan melanjutkan langkah yang sempat tertunda. Sarayu tidak mau melihat Harsa lagi. 

"Sarayu, tunggu," panggil Harsa yang menyusul dari belakang. Langkahnya cepat hingga berhasil menangkap pergelangan tangan istrinya.

"Don't touch me!" Sarayu berteriak keras sambil memukul tangan Harsa sampai berhasil menarik tangannya. Dengan menunjukkan tatapan nanar "Saya nyesal terbuka sama orang seperti Mas. Betapa bodohnya saya begitu mudah cerita sama...." Sarayu menghentikan kalimatnya--tertawa sesudahnya seperti orang yang kehilangan akal sehat. 

"Saya--"

Sarayu memotong kalimat Harsa yang belum diucapkan setelah berhenti tertawa. "Saya salah menganggap Mas baik. Mas seburuk itu. I hate you ... I really hate you!" Lalu, dia melanjutkan langkahnya lebih cepat dan tidak menoleh sedikitpun ke belakang.

Harsa diam di tempat memandangi kepergian Sarayu. Tidak berusaha menahan atau mencoba menjelaskan. Tidak perlu. Dia sudah menduga akan terjadi hal seperti ini. Cepat atau lambat, Sarayu akan tahu bahwa dia tidak sebaik yang perempuan itu pikir. Faktanya, Harsa memang punya kepentingan yang perlu dia raih dengan menikahi Sarayu. 

*****

"Lo serius mau nginap di sini?" Jandra bertanya sekali lagi setelah tiga kali menanyakan hal yang sama.

Sarayu mengasingkan diri ke rumah Jandra yang ada di Patra Kuningan. Rumah Jandra yang satu ini tidak diketahui siapa pun. Sarayu juga kabur dari pengawasan pengawalnya dan berhasil datang sendirian naik taksi. Biasanya Jandra akan mengisi rumah tersembunyi yang dibeli dengan memakai nama asisten pribadinya. Jandra sengaja membeli rumah dengan nama orang lain supaya tidak bisa dilacak. Terkadang ada hari di mana Jandra ingin sendirian. Ya, meskipun sering diganggu Sarayu dengan tiba-tiba, seperti sekarang contohnya. 

Sarayu juga punya tempat tinggal tersembunyi yang dibeli dengan memakai nama teman sekelasnya semasa SMA. Namun, Sarayu tidak mau sendirian menetap di apartemen itu. Sarayu ingin ditemani. Kalau harus ditemani tentulah Jandra orangnya. Di samping itu, Jandra sedang hibernasi dan tidak bersama Preeti. Kalau ada Preeti pasti akan lebih repot dan menasihatinya bak ibu-ibu. 

"Iya. Kenapa? Takut nggak bisa bercinta?" sahut Sarayu, masih dengan nada kesal.

"Santai, Sister. Galak banget." Jandra meletakkan sepiring keripik kentang di atas meja. Dia tahu Sarayu menyukai keripik kentang. "Ada masalah apa sih sama suami sampai kabur ke rumah gue? Dari tadi lo cuma duduk, diam, bengong, tiba-tiba ngomong mau nginap. Udah, begitu aja. Teh juga dianggurin."

Benar yang dikatakan Jandra. Sejak datang Sarayu hanya duduk di ruang tamu, belum berganti pakaian, diam cukup lama, dan tidak menyentuh minuman yang disajikan sang empunya rumah. Sarayu belum cerita dan lebih banyak diam. Amarahnya sudah sampai batas, ingin dikeluarkan, tetapi dia belum punya niat untuk menyampaikannya. 

"Sar, kenapa? Something happenedright?" Kali ini Jandra bertanya lebih serius, merendahkan nada bicaranya.

Sarayu mengambil segelas jus jeruk yang disajikan, membasahi tenggorokkannya. Matanya bergerak memperhatikan jarum jam bergerak. Sudah pukul delapan malam. Tidak terasa Sarayu sudah menumpang duduk selama hampir 45 menit. 

"Ya udah kalau lo nggak mau cerita." Jandra mengusap kepala Sarayu, membiarkan sahabatnya untuk menenangkan dirinya lebih dahulu. Jika ingin cerita, sahabatnya pasti cerita. Mengambil keripik kentang, dia mengunyah sambil berbicara. "Omong-omong, lo tahu berita yang lagi hits nggak? Adik ipar lo si Sadawira mengundurkan diri dari jabatan sekaligus keluar dari parpol bokapnya. Ramai banget dibahas di Twitter. Gue nggak tahu ada masalah apa sampai dia begitu. Banyak spekulasi bilang Sadawira capek jadi boneka bokapnya. Nggak paham sih mana yang benar soalnya keluarga Soedjatmiko se-problematic itu. Mungkin Harsa doang yang nggak problematic."

Kedua sudut bibir Sarayu tertarik sempurna menciptakan senyum kesal. "Nggak problematic tapi licik," gumamnya pelan.

"Lo ngomong apa?" ulang Jandra.

Sarayu tidak menjawab. Benar-benar konyol. Jadi selama ini Harsa begitu perhatian padanya untuk mengambil kepercayaan dirinya. Lalu, setelah dia merasa cukup percaya dan terbuka akan sesuatu, Harsa menjual informasi penting itu kepada ibunya. Sebagai gantinya, Sadawira menjadi ketua umum partai ibunya. Sungguh luar biasa. Bagaimana bisa dia tertipu dengan wajah dingin Harsa? 

"Jandra," panggil Sarayu.

"Apa? Lo mau cerita?" 

"Kalau lo udah nggak mau percaya lagi sama istri lo, apa yang lo lakukan?" 

"Cerai mungkin?" jawab Jandra asal. Kalau ditanya hal seperti itu, dia tidak tahu, tidak pernah berniat berkomitmen juga.

"Kalau gitu gue perlu bercerai." 

Jandra melotot sekaligus memekik sekencang-kencangnya sampai seisi ruangan hanya diisi suaranya yang nyaring. "Ehhhhhh? Apa-apaan?" 

Sarayu memukul meja yang terbuat dari kayu, tidak peduli telapak tangannya merah atau tidak, dia ingin menyalurkan amarah yang belum meluap dengan sempurna.  

"Heh, lo cerita dulu deh. Jangan bikin gue mati jantungan," desak Jandra tidak sabar.

Sarayu menghela napas, lantas dia berteriak sekencang-kencangnya seperti berada di hutan. Jandra spontan menutup telinganya mendengar Sarayu berteriak seperti kesetanan. Bukan tenang, Jandra merasa akan mati sebentar lagi dengan adanya Sarayu. Tapi Jandra tidak berani menghalangi Sarayu dan membiarkan perempuan itu berbuat sesukanya jika memang bisa merasa lebih tenang. 

Selesai berteriak tanpa tujuan jelas, Sarayu diam menghela napas sekali lagi. Tidak, dia tidak merasa tenang. Marahnya sampai ubun-ubun. Akhirnya dia terpaksa menceritakan masalahnya kepada Jandra. Mungkin saja jawaban asal bunyi Jandra bisa membuatnya lebih tenang. 

"Gimana ya..." Jandra merebahkan tubuhnya di atas sofa, menatap candelier di atas sana. "Bukannya sejak awal perjodohan, lo harusnya curiga? Kenapa suami lo yang bersih dari gosip, skandal, dan terkenal nggak pernah terima suap, mau nikah sama perempuan yang penuh skandal seperti lo? Pasti ada yang bisa ditawarkan nyokap lo, kan? Selain itu pasti ada yang Om Harsa tawarkan sebagai balasan."

Sarayu tertawa renyah. Benar, seharusnya dia curiga bukan?

"Tapi ya dengan sosok Om Harsa yang begitu, gue juga nggak bakal nyangka dia minta balasan. Ya, balik lagi, hati orang siapa yang tahu? Seperti lautan aja nggak sih yang semakin dijelajahi lebih dalam semakin menakutkan?" 

Sarayu setuju. Dia terlalu naif mengira pernikahan mereka hanya akan menguntungkan para orang tua.  

"Hm ... lo marah bukan masalah kesepakatan itu sih kayaknya. Tapi lebih ke arah kenapa dia buang kepercayaan yang baru dibangun. Lagi nyaman-nyamannya, eh, malah dihancurkan. Memang dasar laki-laki begitu semua. Gue nggak sih karena gue paling baik sedunia," tambah Jandra membanggakan diri. Padahal mah dia jauh lebih sialan.

Sarayu berdecih, membuat Jandra tertawa. Jandra melirik Sarayu yang mengambil keripik kentang dan menyuap ke dalam mulutnya. Syukurlah Sarayu mulai terhibur.

"Gue muak bahas dia. Lebih baik buatin gue makan." 

Jandra berdecak kecil. "Gaya-gayaan auwo macam Tarzan sih lo. Mau makan apa?"

"Spaghetti." 

"Oke deh, Nyonya." Jandra bangun dari tempat duduknya, mendekati Sarayu dan mengacak-acak rambut perempuan itu. "Jangan macam orang gila lagi, kita ke dapur. Gue buatin lo spaghetti paling enak." 

"Iya." 

"Gue tunggu di dapur," pamit Jandra yang kemudian meninggalkan ruang tamu menuju tempat tujuan. 

Sarayu masih duduk di tempat yang sama, mengambil sekali lagi keripik kentang dan menyuap ke dalam mulutnya. Bangun dari tempat duduknya, Sarayu melihat layar ponsel menyala, menunjukkan adanya notifikasi pesan WhatsApp.

Sarayu mengambil ponselnya, membuka pesan masuk yang ternyata dari Harsa.

Mas Harsa: Saya minta maaf. 

Kata-kata itu tidak membuat Sarayu luluh. Lebih dari itu, amarah Sarayu terisi kembali. Dia mematikan ponselnya, meletakkan di atas meja ruang tamu dan pergi menuju dapur. Sarayu tidak peduli. Terserah Harsa ingin melakukan apa, dia sudah malas.  

*****

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Scandalous Marriage — Kilas Balik Part 1
5
4
Scandalous Marriage — Kilas Balik Part 1Harsa dan presiden bertemu untuk membahas perjanjian awal mereka. Namun, ada perjanjian lainnya yang diinginkan Harsa dan juga presiden. **** Membeli paket harganya akan jauh lebih murah dari satuan.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan