
Scarlett dianiaya dan direndahkan sejak kecil oleh orang yang ia sebut keluarga. Di sisi lain, Harris yang populer dan kaya raya harus menyembunyikan rahasia kelam keluarganya. Dua orang dengan latar belakang yang berbeda, namun dalam situasi yang sama kemudian bertemu. Mereka menjadi dekat dan mulai bergantung satu sama lain. Bertahan dengan satu tujuan untuk kabur dari kota ini.

“The best response to people who hate you is to look happy and not give a shit about anything they do” ~pineocent
Ada berapa persen kemungkinan sebuah badai datang saat musim panas? Saat matahari seharusnya bersinar terang namun tergantikan dengan awan yang gelap dan petir yang menyambar daratan. Di mana musim panas dapat dilalui dengan sangat menyenangkan, tapi berakhir menjadi badai yang mengerikan. Kita tidak mengetahui kapan cuaca akan berubah, sama seperti sikap seseorang.
Mrs. Roosevelt memanggilku ke ruangannya. Ia meminta maaf atas kesalahpahaman yang terjadi dan membatalkan ujian ulang untukku. Aku meninggalkan ruangannya tanpa memahami perasaan yang kualami. Perasaan campur aduk antara senang, menyesal, dan gengsi. Setelah kejadian malam itu, hubunganku dengan Harris menjadi sangat buruk. Lebih tepatnya, perlakuannya terhadapku.
Sekembalinya dari ruangan Mrs. Roosevelt, aku mendapati lokerku yang dipenuhi sampah makanan. Begitu bau dan menjijikkan hingga aku harus bersusah payah membersihkannya. Di tengah penderitaanku ini, Bethany dan teman-temannya tampak sangat menikmati kesusahanku. Ia secara terus terang mengakui itu sebagai ulahnya. Sebagai balasannya, aku pun tak segan-segan merebut tas miliknya lalu membuang enam kaleng surströmming[1] yang telah kukumpulkan sebelumnya ke dalam tasnya.
“Are you out of your mind?!” teriak Bethany sambil membuang tasnya.
“Aku hanya membalas perbuatanmu,” balasku santai dengan senyuman yang cerah.
Bethany tampak sangat kesal. Ia maju dan hendak menantangku berkelahi, begitu juga dengan teman-temannya. Aku dengan santai mengarahkan tongkat baseball yang kubawa padanya, memaksanya mundur hingga tak berkutik.
“Aku yakin kalian masih ingat rasa sakit yang kuberikan kemarin,” ancamku ketika Harris kemudian datang dan menahan tongkatku.
“Apa kau terbiasa menggunakan kekerasan? Buah memang jatuh tidak jauh dari pohonnya,” sindir Harris dengan tajam.
“Aku tidak sebodoh itu dengan menghajar mereka di sini,” balasku tak mau kalah.
“Tinggalkan mereka atau aku akan melaporkanmu karena melakukan kekerasan di sekolah,” ancam Harris yang membuatku muak dengan sikap sok pahlawannya.
“Well, sepertinya kau juga ingin merasakan pukulanku. Protect your girl or I come to broke her legs,” tutupku memperingati mereka.
Perlakuan mereka terhadapku tidak akan berubah dalam sehari. Mereka berpikir, merekalah yang berada di puncak rantai makanan sehingga tidak menganggap serius peringatanku. Apa pun yang akan mereka lakukan, alih-alih bersembunyi, aku akan menyambutnya dengan tangan terbuka.
~runaway~
Badai sungguhan terjadi di malam hari dan meninggalkan kubangan-kubangan air di pinggir jalan. Aku berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki di atas trotoar yang basah. Saat itu, Harris dan Bethany sengaja berkendara melewati kubangan air hingga mengenai celanaku. Harris menghentikan mobilnya sejenak dan Bethany menjulurkan lidahnya demi mengejekku. Beruntung, hari ini aku menggunakan romper [2]sebagai atasan. Aku melempar tasku ke tanah, melepaskan ikat pinggang dan celanaku di tempat lalu menutupi pahaku dengan kemeja. Saat berada di koridor sekolah, dengan headphone di telinga dan celana yang kujinjing, aku melewati mereka seakan-akan tidak terjadi apa pun.
“Honey, aku melihatmu membuka celana di jalan. Kau terlihat sangat keren. Sayang sekali jika kau tidak menjadi pacarku,” sapa Justin yang berjalan di belakang Harris.
“Ada banyak wanita yang lebih baik darinya di luar sana. Jangan sampai kau menyesal berhubungan dengannya,” sahut Harris sembari merangkul Justin dan mengajaknya pergi.
Mereka masih tetap menggangguku bahkan di hari-hari berikutnya. Menumpahkan kopi ke bajuku, mengunciku di kamar mandi, menjegal kakiku hingga menyeret Kevin ke dalam permainan. Walau aku membalas semua perbuatan mereka dengan cara yang sama, sepertinya pertarungan ini tidak akan berhenti hingga aku dan Harris berbaikan.
Saat di kantin, aku bersama Roxy, Logan, dan Wade duduk berseberangan dengan Harris dan kawan-kawannya. Aku dapat melihat dengan jelas semua hal yang ia lakukan. Bahkan, ketika matanya menatap lurus ke arahku di saat ia tengah berciuman dengan Bethany. Aku tidak tahu apa yang dipikirkannya, tapi kurasa ia sedang mencoba membuatku cemburu dan itu membuatku tertawa betapa kekanak-kanakannya ia. Aku sudah tidak lagi memedulikannya ketika Kevin ikut bergabung bersama kami. Bisa dikatakan, berkat ejekan mereka, Kevin menjadi lebih terang-terangan menunjukkan rasa sukanya padaku.
Setelah pulang sekolah, Kevin mengendarai sepedanya dan menghampiriku yang tengah berjalan pulang. Seperti biasa, ia datang dengan senyuman yang lebar hingga membuatku menjadi sedikit merasa bersalah.
“Aku mungkin tidak memiliki mobil, tapi aku punya sepeda yang bisa mengantarmu,” sapanya dengan kalimat yang menurutku lucu.
“Kau mau mengantarku? Jadi, di mana aku harus duduk?” tanyaku sambil melepaskan headphone dari telingaku.
“Kau tidak bisa duduk, tapi kau bisa berdiri di atas pijakan kaki,” jelasnya.
“I don’t’ have a money to pay your kindness, but I have a lollipop,” kataku menerima tawarannya sambil menyodorkan satu buah lolipop padanya.
“Nice. Naiklah!” balasnya dengan sangat antusias.
Kevin mengayuh sepedanya dengan pelan dan berhati-hati. Ia mengendarai sepedanya di pinggir jalan dan tidak menghalangi kendaraan apa pun, tetapi selalu saja ada celah seseorang untuk berbuat jahat padamu. Saat kami asyik mengobrol, sebuah mobil membunyikan klaksonnya berkali-kali. Aku menoleh dan mendapati suara itu berasal dari mobil Harris. Tiba-tiba, aku melihat mobilnya melaju lebih kencang dan bergerak mepet ke arah kami sehingga Kevin kehilangan keseimbangannya dan kami pun terjatuh.
“Bye, loser!” teriak Bethany sambil mengacungkan jari tengah.
Kevin bergegas membantuku berdiri. Ia berkali-kali mengucapkan maaf di saat semua ini bukanlah salahnya. Aku memperhatikan mobil Harris yang makin menjauh. Dibandingkan Bethany, aku lebih marah dengan sikap Harris yang begitu egois dan tidak dewasa. Amarahku sudah pada batasnya hingga darah yang mengalir di pergelangan kakiku tidak lagi terasa sama sekali.
Keesokan harinya, aku berdiri di depan mobil Harris yang terparkir di halaman sekolah. Aku menatap mobil itu dengan sangat tajam dan penuh kebencian. Aku melihat sekitarku dan semua telah kosong. Dengan membawa sekeranjang telur busuk, aku melemparinya hingga tak tersisa. Tak lupa aku meninggalkan pesan “cinta” bertuliskan “Fuck” untuknya dari tepung terigu. Entah apa yang akan terjadi selanjutnya karena aku sudah tidak memedulikan masa depan.
~runaway~

“No matter how far you go, you will come back for someone you love” ~pineocent
Pertempuran ini hampir mendekati finalnya. Sesuai dugaanku, Harris menghampiriku dengan perasaan berapi-api, tercermin dari raut wajahnya yang terlihat sama persis saat membentakku waktu itu. Aku tak gentar sedikit pun. Aku melangkah maju menghadapinya. Tak perlu menunggu lama, perkelahian di antara kami akhirnya pecah dan dipertontonkan banyak orang.
“Apa yang telah kau lakukan pada mobilku? Apa kau tahu konsekuensi dari tindakanmu ini! You’re bitch!” bentak Harris yang tidak dapat mengontrol emosinya.
“Well, jadi seperti ini wajah asli dari pangeran kita! Kau seharusnya beruntung karena aku tidak langsung merobek wajahmu. Lagi pula, itu hanya mobil. No hurt feeling,” balasku yang makin menyulut amarahnya.
“You said no hurt feeling? Fuck you, Scarlett! Pantas saja semua orang menjauhimu. You’re so childish, rude and arrogant,” serang Harris.
“Jika aku kasar lalu bagaimana denganmu? I got three stitches cause you’re fucking game!” ucapku yang akhirnya ikut meledak.
“Kau yang memilih jalan itu. Jadi, terima saja neraka yang telah kujanjikan,” jawab Harris seakan-akan membenarkan tindakannya kemarin.
“Setidaknya, jangan libatkan orang lain. You’re fucking jerk!” bentakku.
Di tengah-tengah perkelahian kami yang makin memanas, kehadiran Mrs. Roosevelt berhasil menghentikan semua itu. Aku dan Harris dipanggil ke ruangannya. Kami saling membuang muka dan bungkam seribu bahasa. Baik aku maupun Harris, tidak ada yang mau mengalah. Kami lebih mementingkan ego dan harga diri masing-masing dibandingkan harus berdamai.
“Scarlett, berhentilah membuat masalah. Sampai kapan kau akan terus seperti ini? Tolong dewasalah sedikit! Dan Harris, kau sebelumnya tidak pernah seperti ini! Ada apa di antara kalian berdua?” ungkap Mrs. Roosevelt dengan nada kecewa. “Baiklah. Jika kalian berdua tidak ingin berbicara, tapi tetap harus ada yang membereskan kekacauan di luar sana. Harris, karena itu adalah mobil, apa yang akan kau lakukan?” tanya Mrs. Roosevelt pada akhirnya.
“Semua itu ulahnya. Jadi, tentu saja dia yang harus membersihkannya!” kata Harris.
“Scarlett?” tanya Mrs. Roosevelt.
“Aku tidak akan menyangkal kesalahanku dan sangat menyesalinya. Jadi, dengan senang hati aku akan membersihkannya,” ucapku sambil menyindir Harris.
Kami berdua keluar dari ruangan Mrs. Roosevelt dan berpisah. Aku pergi mengambil alat kebersihan dan menuju lapangan parkir. Aku tidak menganggap ini sebagai hukuman karena aku merasa bahagia dan puas dengan keadaan Harris saat ini. Yang hanya perlu aku lakukan adalah menunjukkan bahwa aku baik-baik saja dan tidak terpengaruh olehnya. Dengan rambut yang kubiarkan tergerai dan tubuh yang sedikit basah, aku mengubah hukuman tersebut menjadi surga musim panas. Memamerkan keahlian sekaligus wajah cantikku hingga menggemparkan seisi sekolah, seakan-akan semua hal telah kuatur. Mereka yang semula mengabaikanku, kini mulai menyapaku, terutama para siswa laki-laki.
“Hey, Scar!” sapa Justin dari belakang. Saat aku menoleh, ia memotretku dengan kamera ponselnya tanpa seizinku.
“Untuk apa kau memotretnya? Itu hanya akan membawa virus ke ponselmu,” sahut Harris yang segera merebut ponsel Justin dan menghapusnya.
“Fuck you, Harris!” kata Justin kesal.
“Diamlah, atau kusiram kalian!” ancamku.
“Sudahlah. Kita tinggalkan saja dia,” ucap Harris dengan nada ketus.
~runaway~
Setelah insiden mobil tersebut, Harris secara perlahan mulai menghindariku. Walau gangguan masih datang dari Bethany, intensitas perseteruan antara aku dan Harris mulai menurun seiring berjalannya waktu. Kehidupan sekolah yang kurindukan perlahan-lahan dapat kurasakan kembali.
Sebelum berangkat ke sekolah, aku bersiap-siap dan sarapan terlebih dahulu. Aku hendak menghabiskan serealku ketika kudengar sebuah kegaduhan terjadi di dalam kamarku. Aku menghentikan sarapanku dan bergegas naik. Aku memergoki Simon tengah mengacak-acak kamarku seperti mencari sesuatu. Simon menggeser meja belajarku dan mendapati kotak berisi uang yang selama ini aku kumpulkan. Aku berusaha menghentikannya, mencoba merebut kembali uang itu dari genggamannya.
“Kembalikan uangku!” teriakku sambil berusaha meraihnya.
“Diam! Berani sekali kau menyembunyikan uang sebanyak ini dariku! Dari mana kau mendapatkannya jika tidak mencurinya dariku!” tuduh Simon mengaku-ngaku.
“Tentu saja dengan bekerja, dasar idiot!” kataku sembari mengerahkan seluruh tubuh dan kekuatanku.
“Beraninya kau mengataiku., kau jalang tak tahu diri!” bentak Simon sekaligus memukul kepala dan menendangku.
Aku berlari mengejarnya. Tidak akan kubiarkan ia menikmati hasil kerja kerasku. Aku balik menyerang Simon dengan tinjuku, menghantamnya dengan tasku, dan merebut uang itu darinya. Simon balas menjambak rambutku, menghantam kepalaku ke tembok, dan kembali mengambil uangku. Masih tidak ingin menyerah, aku melompat ke punggung Simon dan mencengkeram kuat lehernya. Simon berusaha sekuat tenaga melepaskan cengkeramanku, menabrakkan tubuhku ke sudut meja guna menjatuhkanku dari punggungnya.
Simon meraih bajuku dan menarik tubuhku dengan sangat kuat lalu melemparku. Aku tidak hanya terjatuh dari punggungnya, tetapi juga dari tangga. Dengan kekuatan yang tersisa, aku mencengkeram pergelangan kakinya dan menggigitnya hingga berdarah. Simon berteriak kesakitan. Ia menendangku berkali-kali hingga aku melepaskan gigitanku. Simon meraih tongkat baseball, mengayunkannya pada kepala dan perutku berulang kali. Menendang dan menginjak-injak diriku seperti kecoak kotor.
Sebelum pergi, Simon menghantam pergelangan tanganku dengan kaki meja dan meludahiku. Di atas lantai yang dingin, aku terkapar tak berdaya. Kepala, hidung, dan bibirku mengeluarkan darah. Tanganku sulit digerakkan dan aku merasakan sakit serta nyeri di bagian dada hingga sulit bernapas. Aku melihat Layla yang berdiri memandangiku dengan sudut bibir yang sedikit terangkat. Tanpa mengharapkan apa pun, aku bangkit dalam diam. Kuambil tasku dan bergegas pergi.
Aku berangkat ke sekolah sambil terus menahan perut bagian atasku. Saat melewati taman kota, aku memuntahkan semua makananku. Aku mulai merasa pusing, lelah, dan mengantuk. Aku terduduk lemas di bangku taman. Sambil memperhatikan langit yang kala itu cerah, penglihatanku mulai memudar dan aku pun perlahan tertidur.
Aku tidak tahu sudah berapa lama aku tertidur di sana. Namun, saat kubuka mataku, langit yang awalnya berwarna biru telah berubah senja. Aku melihat jam dari layar ponselku, tertulis saat ini telah menginjak pukul 4.00 sore. Aku terperanjat dan bergegas pergi, berencana mengunjungi Roxy dan menginap di rumahnya. Akan tetapi, dari waktu ke waktu aku makin merasakan nyeri pada dada dan perutku. Sepanjang jalan, aku menyandarkan tangan kiriku pada dinding-dinding toko untuk membantuku berjalan.
Aku mulai kehilangan keseimbangan dan tumbang. Tubuhku terasa lemas dan sulit digerakkan. Aku menahan sakit pada dada dan perutku, mencoba untuk bangkit. Namun, berakhir gagal. Aku berusaha meraih tiang yang berdiri kokoh di sampingku ketika Harris datang entah dari mana dan berdiri di hadapanku.
“Apa yang terjadi dengan jagoan kita? Ke mana perginya Scarlett yang arogan itu? Saat ini, aku hanya melihat dirimu yang tampak menyedihkan,” katanya dengan nada mengejek.
Sudah kutebak, ia pasti sangat bahagia melihat keadaanku saat ini. Mungkin jika aku berakhir mati, ia akan menjadi orang yang paling bahagia melebihi diriku sendiri. Aku tidak ingin terus menjadi bahan tertawaannya. Jadi, aku pun berusaha untuk bangkit dengan menggigit bibir bawahku sekeras mungkin.
“Ini tidak ada urusannya denganmu,” jawabku dengan menatap tajam ke arahnya.
“Apa yang terjadi dengan wajahmu? Apa ini alasannya kau tidak masuk sekolah?” tanya Harris yang mulai panik begitu melihat wajahku yang pucat dan penuh luka.
“Jangan hiraukan aku!” tegasku sambil terjatuh.
“Berhentilah egois!” sentak Harris.
Tanpa memedulikan perkataan dan perlawananku, ia menggendongku masuk ke mobilnya dan membawaku ke rumah sakit. Begitu sampai di sana, aku segera dilarikan ke UGD. Aku melewati pemeriksaan darurat dan diketahui bahwa aku mengalami patah tulang rusuk. Kini, patahannya mulai bergerak mengenai organ vitalku. Akhirnya, aku pun dijadwalkan untuk menjalankan operasi sesegera mungkin.
Sungguh ironis karena wajah terakhir yang kulihat sebelum memasuki ruang operasi adalah wajah penuh kekhawatiran dan kegelisahan dari seorang Harris. Sudah lama aku tidak melihat raut wajah seperti itu ditunjukkan untukku. Aku mulai mempertanyakan sikapku. Apakah aku terlalu keras padanya? Mengapa aku tidak bisa menerima ketulusannya? Dan mengapa aku menyalahkannya atas semua tindakan Bethany? Sebelum kesadaranku benar-benar menghilang, aku mengucapkan sebuah janji bodoh yang bahkan aku sendiri tidak yakin bisa menepatinya.
~runaway~
[1] Makanan tradisional Swedia yang berupa ikan haring Baltic yang difermentasi dan sedikit diasinkan. Memiliki bau yang sangat menyengat, mirip seperti telur busuk.
[2] Pakaian terusan dengan bagian bawah berupa celana. Hampir mirip dengan jumpsuit, hanya saja romper memiliki bagian bawah berupa celana pendek.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
