
Dimanakah Pusat KERAJAAN Galuh ?
Sang Wretikendayun akhirnya memindahkan pusat pemerintahan dari Medangjati ke Galuh, kemungkinan besar berlokasi di Karangkamulyan, Ciamis.
Masa kekuasaan Wretikandayun yang disebut dalam Naskah Carita Parahyangan adalah selama 90 tahun. Setelah dikompilasi dengan sumber prasasti Wanua Tengah III, maka saya menyimpulkan bahwa masa kekuasaannya adalah tahun 615 – 705 M. Namun sebenarnya Wretikandayun tidak benar-benar berada di keraton Galuh selama 90 tahun, ia...
SERAT ANGGALARANG, PERSPEKTIF LAIN DALAM SEJARAH SUNDA
4
0
22
Berlanjut
Terdiri dari 55 Bab, Serat Anggalarang adalah penulisan ulang kisah masa lalu di Tatar Sunda sejak awal Masehi hingga keruntuhan Pajajaran namun dengan perspektif dan analisa yang berbeda. Silahkan kecewa karena Sunda bukan bangsa yang sudah ada sejak zaman sebelum masehi. Sunda sebagai identitas kesukuan baru muncul di abad 10-11. Kerajaan Salakanagara juga tidak pernah ada. Maharaja Sri Jayabhupati bukanlah orang Sunda dan dianggap sebagai penjajah. Kekuasaan Sunda dan Jawa pernah ada dalam satu naungan yang sama. Konflik antara Sunda-Jawa di masa lalu adalah nyata. Prabu Siliwangi dengan segala cerita-cerita dibaliknya adalah kisah fiktif dan banyak kekeliruan analisa terkait dengan tokoh Prabu Siliwangi. Urutan dan jumlah Raja-Raja Sunda di buku ini juga tidak sama dengan yang selama ini mungkin anda pernah lihat. DAFTAR ISIAji SakaAwal Mula Pemerintahan di JawaPtolomeus, Bangsa Eropa, dan Nama Salakanagara Yang Tak Pernah AdaBerdirinya TarumanagaraLokasi Istana, Wilayah, Agama dan Periode Waktu TarumanagaraPenggambaran Sosok PurnawarmanSundapura sebagai ibukota Tarumanagara?Raja Lain Setelah PurnawarmanKaitan Kutai dan TarumanagaraMunculnya Kerajaan Maju di SumateraDulu.. China Tak Pernah Menganggap Kita SetaraLetusan Krakatau, Munculnya Nama Banten, dan Kemunduran TarumanagaraSaat Inilah Sunda Bermula (Persaingan Politik Melayu – India)Gold, Glory, Gospel adalah LumrahPembangunan Candi di BatujayaGalunggung dan Kemunculan Kerajaan di TimurKonsep Putra Mahkota Tidak Jatuh Pada Anak PertamaWilayah Sunda dan Galuh, Kerajaan Tidak Mutlak Harus Memiliki Nama ResmiDimanakah Pusat Kerajaan Galuh?Prahara Keluarga WretikandayunTrarusbawa Penguasa BaruAgresi SriwijayaKudeta PurbasoraTrarusbawa Wafat, Balas Dendam SanjayaGalunggung Sebagai Induk KerajaanSanjaya Sang PenaklukKetika Galuh Berkuasa atas Jawa, Sumatera, dan SemenanjungPerjanjian Damai Sanjaya dan Sang SeuweukarmaSanjaya Berkuasa di MedangRakai Panangkaran dan Kekuasaan TunggalPemberontakan Rahyang Banga dan Legenda Ciung WanaraMedang Berjaya di Bawah Kekuasaan PanangkaranSuksesi Kepemimpinan MedangMunculnya Rahyangta Wuwus, Kemerdekaan Sunda Selama 72 TahunDyah Balitung dan Letusan Gunung MerapiEra Baru Sunda – Galuh, 43 Tahun Merdeka Di Bawah 4 MaharajaHukuman untuk Sunda – GaluhDari Politik Menjadi Eksklusivitas KesukuanSri Jayabhupati Bukan Orang SundaPerang Panjang Sunda-JawaSunda – Galuh Bangkit KembaliSingasari dan Kekecewaan Prabu DarmasiksaPendeknya Periode Kekuasaan Raja-Raja Sunda Galuh Pasca DarmasiksaGajah Mada dan Sumpah PalapaPerang Bubat Hanyalah Puncak Gunung EsKonflik Sunda-Jawa berakhirKemunduran Majapahit, keemasan Sunda-GaluhPrabu Siliwangi, Maung, dan Kisah FiktifPajajaran Yang SejajarPolitik Global, Islam dan PajajaranRangkaian Kisah dan Urutan Raja Pajajaran Hingga Masa Berakhirnya, Upaya Penggabungan Kisah Babad Dengan Sumber HistorisKota PakwanOrang Sunda Juga Pelaut dan PedagangGaya Berpakaian dan Budaya Lainnya di Zaman KerajaanUrutan Raja Sunda versi Serat Anggalarang PENDAHULUAN Mengintip hampir 1500 tahun peristiwa masa lalu yang terjadi di tatar Sunda (sampai dengan tahun 1579), bukanlah sesuatu yang mudah. Sumber-sumber primer yang ada, seperti peninggalan prasasti, arca maupun bangunan bersejarah di tatar Sunda, meninggalkan banyak “lubang” di sana-sini sebagai catatan peristiwa. Sehingga hal itu harus “ditambal” dengan sumber sekunder seperti catatan atau naskah, baik dari dalam maupun luar negeri, itu pun sangat-sangat tidak mencukupi, banyak peristiwa yang masih gelap dan tak terungkap.Adapun “sejarah” yang beredar di masyarakat, yang selama ini saya yakini sebagai sejarah ternyata sumbernya entah darimana. Setelah diteliti secara seksama, dengan membandingkan dengan sumber yang saya kategorikan sebagai sumber primer maupun sekunder, jelaslah sudah bahwa beberapa kisah yang beredar ternyata tidak memiliki landasan yang kuat. Atau meskipun itu bersumber, ternyata diambil dari sumber yang sebenarnya lebih bersifat karya sastra dibandingkan catatan historis.Setelah bertahun-tahun berkutat diantara kisah-kisah yang membingungkan, akhirnya saya memberanikan diri untuk menyusun Serat Anggalarang, Perspektif Lain dalam Sejarah Sunda ini, tentunya dibatasi oleh sumber-sumber yang saya yakini valid saja, ditambah analisa pribadi sebagai pengembangan dari sumber yang dikumpulkan.Analisa dalam penyusunan peristiwa masa lalu adalah lumrah, sebenarnya banyak sekali sejarah yang berlandaskan analisa para ahli. Analisa tersebut kemudian dipahami sebagai kebenaran mutlak, padahal tidak demikian, sekalipun ia datangnya dari ahli, namun tetap tidak bisa disebut sebagai kebenaran mutlak.Saya memang tidak memiliki background dalam ilmu sejarah, hanya sekedar memiliki ketertarikan dengan sejarah, namun kali ini saya mencoba untuk “membebaskan diri” dalam meneropong dan menganalisa. Dalam beberapa hal, saya juga mencoba melepaskan dari pendapat siapapun. Serat Anggalarang adalah kemerdekaan berfikir pribadi. Saya tidak mengklaim catatan ini sebagai kebenaran sejarah, saya juga tidak berharap catatan ini untuk diikuti. Ini bukan buku sejarah, karena itu tidak disusun berdasarkan metodologi penulisan yang akademis. Catatan ini hanyalah cara saya dalam memandang masa lalu.51 Bab pertama, Serat Anggalarang disusun menurut kronologis waktu. Sementara bab selanjutnya hanyalah tambahan yang tidak terikat oleh waktu. Dalam menuliskan nama ibukota Kerajaan Sunda, buku ini menggunakan ejaan ‘Pakwan’, sebenarnya ini hanya masalah selera saja, jadi Pakwan atau Pakuan sebenarnya sama saja, dilafalkannya pun sama. Tidak ada yang lebih benar dari keduanya. Bandung, Januari 2022
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya
BAB 20 - PRAHARA KELUARGA WRETIKANDAYUN
0
0
Prahara Keluarga Wretikandayun Anak pasangan Wretikandayun – Pwah Bungatak Mangalengale ada 3 orang, yaitu Rahiang Sempakwaja, Rahiangtang Kidul, dan terakhir Rahiangtang Mandiminyak yang menjalankan pemerintahan Wretikandayun di Galuh. Pemilihan Mandiminyak, anak bungsu sebagai putra mahkota telah dijelaskan alasannya pada bab terdahulu. Jadi kisah tentang anak pertama dan kedua (dalam Naskah Carita Parahyangan) tidak bisa menjadi raja dikarenakan gigi ompong dan wasir, saya anggap terlalu berlebihan. Mandiminyak kemudian dinikahkan dengan salah seorang putri Medang di Jawa Tengah. Putri tersebut kemungkinan besar masih kerabat Kalingga dan diberi jatah wilayah kekuasaan di sekitar Gunung Merapi (Magelang), kita sebut saja dengan nama Kerajaan Medang.Rahiang Sempakwaja menikah dengan Pwah Rababu (anak dari penguasa Galunggung sebelumnya, kemungkinan besar masih kerabat). Karena pernikahannya itu, Sempakwaja dinobatkan sebagai Batara Dangiang Guru di Galunggung, kemudian memiliki 2 orang anak yaitu Rahiang Purbasora dengan Rahiang Demunawan. Mengenai nama Pwah Rababu di atas, sama persis dengan nama istri dari Sang Resi Makandria (sudah dibahas pada bab sebelumnya), jadi saya yakin sebenarnya Pwah Rababu tersebut bukanlah nama asli, melainkan gelar perempuan untuk putri Resi.Di suatu ketika, Mandiminyak yang belum resmi menjadi raja, baru sebatas menggantikan peran sang ayah yang menjadi rajaresi di Menir, menggoda Pwah Rababu, istri sang kakak (Sempakwaja) yang sedang berkunjung ke keraton Galuh. Dari hubungan terlarang tersebut, Pwah Rababu mengandung anak mereka dan lahirlah anak laki-laki yang diberi nama Sang Sena.Sempakwaja marah dan menyuruh istrinya tersebut untuk memberikan anak tersebut pada Mandiminyak. Setiba di istana Galuh, anak bayi tersebut sempat akan dibuang oleh Mandiminyak, namun akhirnya ia mengurungkan niatnya. Pwah Rababu sendiri tetap menjadi istri Sempakwaja.Wretikandayun kemudian datang untuk meredakan ketegangan diantara putranya itu. Ia pun memutuskan untuk menghukum Mandiminyak, untuk sementara Mandiminyak “diungsikan” ke kerajaan istri syahnya di Merapi, membawa serta pula anaknya tersebut.Namun sepertinya keputusan Wretikandayun tidak memuaskan kedua anaknya, yaitu Sempakwaja dan Rahiangtang Kidul. Mereka menginginkan jika Mandiminyak dilepaskan statusnya sebagai putra mahkota karena telah membuat aib dan mencoreng nama baik keraton Galuh sebagai keturunan dari pemuka agama di Galunggung.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai
syarat dan persetujuan?
Laporkan