
Gold, Glory, Gospel adalah Lumrah
Meminjam istilah dari abad kolonialisme mengenai Gold, Glory, Gospel yang maknanya mencari kekayaan, kejayaan dan penyebaran agama. Sahabat saya yang beragama Protestan mati-matian menyangkal istilah tersebut, ia mengeluarkan bukti-bukti kerancuan secara makna mengenai Gospel. Jelas saja ia terusik, jika agama yang ia anut dianggap sebagai agama yang dibawa oleh penjajah. Tapi saya berkata pada teman saya itu bahwa Gold, Glory, dan Gospel adalah hal yang lumrah....
SERAT ANGGALARANG, PERSPEKTIF LAIN DALAM SEJARAH SUNDA
4
0
22
Berlanjut
Terdiri dari 55 Bab, Serat Anggalarang adalah penulisan ulang kisah masa lalu di Tatar Sunda sejak awal Masehi hingga keruntuhan Pajajaran namun dengan perspektif dan analisa yang berbeda. Silahkan kecewa karena Sunda bukan bangsa yang sudah ada sejak zaman sebelum masehi. Sunda sebagai identitas kesukuan baru muncul di abad 10-11. Kerajaan Salakanagara juga tidak pernah ada. Maharaja Sri Jayabhupati bukanlah orang Sunda dan dianggap sebagai penjajah. Kekuasaan Sunda dan Jawa pernah ada dalam satu naungan yang sama. Konflik antara Sunda-Jawa di masa lalu adalah nyata. Prabu Siliwangi dengan segala cerita-cerita dibaliknya adalah kisah fiktif dan banyak kekeliruan analisa terkait dengan tokoh Prabu Siliwangi. Urutan dan jumlah Raja-Raja Sunda di buku ini juga tidak sama dengan yang selama ini mungkin anda pernah lihat. DAFTAR ISIAji SakaAwal Mula Pemerintahan di JawaPtolomeus, Bangsa Eropa, dan Nama Salakanagara Yang Tak Pernah AdaBerdirinya TarumanagaraLokasi Istana, Wilayah, Agama dan Periode Waktu TarumanagaraPenggambaran Sosok PurnawarmanSundapura sebagai ibukota Tarumanagara?Raja Lain Setelah PurnawarmanKaitan Kutai dan TarumanagaraMunculnya Kerajaan Maju di SumateraDulu.. China Tak Pernah Menganggap Kita SetaraLetusan Krakatau, Munculnya Nama Banten, dan Kemunduran TarumanagaraSaat Inilah Sunda Bermula (Persaingan Politik Melayu – India)Gold, Glory, Gospel adalah LumrahPembangunan Candi di BatujayaGalunggung dan Kemunculan Kerajaan di TimurKonsep Putra Mahkota Tidak Jatuh Pada Anak PertamaWilayah Sunda dan Galuh, Kerajaan Tidak Mutlak Harus Memiliki Nama ResmiDimanakah Pusat Kerajaan Galuh?Prahara Keluarga WretikandayunTrarusbawa Penguasa BaruAgresi SriwijayaKudeta PurbasoraTrarusbawa Wafat, Balas Dendam SanjayaGalunggung Sebagai Induk KerajaanSanjaya Sang PenaklukKetika Galuh Berkuasa atas Jawa, Sumatera, dan SemenanjungPerjanjian Damai Sanjaya dan Sang SeuweukarmaSanjaya Berkuasa di MedangRakai Panangkaran dan Kekuasaan TunggalPemberontakan Rahyang Banga dan Legenda Ciung WanaraMedang Berjaya di Bawah Kekuasaan PanangkaranSuksesi Kepemimpinan MedangMunculnya Rahyangta Wuwus, Kemerdekaan Sunda Selama 72 TahunDyah Balitung dan Letusan Gunung MerapiEra Baru Sunda – Galuh, 43 Tahun Merdeka Di Bawah 4 MaharajaHukuman untuk Sunda – GaluhDari Politik Menjadi Eksklusivitas KesukuanSri Jayabhupati Bukan Orang SundaPerang Panjang Sunda-JawaSunda – Galuh Bangkit KembaliSingasari dan Kekecewaan Prabu DarmasiksaPendeknya Periode Kekuasaan Raja-Raja Sunda Galuh Pasca DarmasiksaGajah Mada dan Sumpah PalapaPerang Bubat Hanyalah Puncak Gunung EsKonflik Sunda-Jawa berakhirKemunduran Majapahit, keemasan Sunda-GaluhPrabu Siliwangi, Maung, dan Kisah FiktifPajajaran Yang SejajarPolitik Global, Islam dan PajajaranRangkaian Kisah dan Urutan Raja Pajajaran Hingga Masa Berakhirnya, Upaya Penggabungan Kisah Babad Dengan Sumber HistorisKota PakwanOrang Sunda Juga Pelaut dan PedagangGaya Berpakaian dan Budaya Lainnya di Zaman KerajaanUrutan Raja Sunda versi Serat Anggalarang PENDAHULUAN Mengintip hampir 1500 tahun peristiwa masa lalu yang terjadi di tatar Sunda (sampai dengan tahun 1579), bukanlah sesuatu yang mudah. Sumber-sumber primer yang ada, seperti peninggalan prasasti, arca maupun bangunan bersejarah di tatar Sunda, meninggalkan banyak “lubang” di sana-sini sebagai catatan peristiwa. Sehingga hal itu harus “ditambal” dengan sumber sekunder seperti catatan atau naskah, baik dari dalam maupun luar negeri, itu pun sangat-sangat tidak mencukupi, banyak peristiwa yang masih gelap dan tak terungkap.Adapun “sejarah” yang beredar di masyarakat, yang selama ini saya yakini sebagai sejarah ternyata sumbernya entah darimana. Setelah diteliti secara seksama, dengan membandingkan dengan sumber yang saya kategorikan sebagai sumber primer maupun sekunder, jelaslah sudah bahwa beberapa kisah yang beredar ternyata tidak memiliki landasan yang kuat. Atau meskipun itu bersumber, ternyata diambil dari sumber yang sebenarnya lebih bersifat karya sastra dibandingkan catatan historis.Setelah bertahun-tahun berkutat diantara kisah-kisah yang membingungkan, akhirnya saya memberanikan diri untuk menyusun Serat Anggalarang, Perspektif Lain dalam Sejarah Sunda ini, tentunya dibatasi oleh sumber-sumber yang saya yakini valid saja, ditambah analisa pribadi sebagai pengembangan dari sumber yang dikumpulkan.Analisa dalam penyusunan peristiwa masa lalu adalah lumrah, sebenarnya banyak sekali sejarah yang berlandaskan analisa para ahli. Analisa tersebut kemudian dipahami sebagai kebenaran mutlak, padahal tidak demikian, sekalipun ia datangnya dari ahli, namun tetap tidak bisa disebut sebagai kebenaran mutlak.Saya memang tidak memiliki background dalam ilmu sejarah, hanya sekedar memiliki ketertarikan dengan sejarah, namun kali ini saya mencoba untuk “membebaskan diri” dalam meneropong dan menganalisa. Dalam beberapa hal, saya juga mencoba melepaskan dari pendapat siapapun. Serat Anggalarang adalah kemerdekaan berfikir pribadi. Saya tidak mengklaim catatan ini sebagai kebenaran sejarah, saya juga tidak berharap catatan ini untuk diikuti. Ini bukan buku sejarah, karena itu tidak disusun berdasarkan metodologi penulisan yang akademis. Catatan ini hanyalah cara saya dalam memandang masa lalu.51 Bab pertama, Serat Anggalarang disusun menurut kronologis waktu. Sementara bab selanjutnya hanyalah tambahan yang tidak terikat oleh waktu. Dalam menuliskan nama ibukota Kerajaan Sunda, buku ini menggunakan ejaan ‘Pakwan’, sebenarnya ini hanya masalah selera saja, jadi Pakwan atau Pakuan sebenarnya sama saja, dilafalkannya pun sama. Tidak ada yang lebih benar dari keduanya. Bandung, Januari 2022
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya
BAB 15 - PEMBANGUNAN CANDI DI BATUJAYA
0
0
Pembangunan Candi di Batujaya Ketika Tarumanagara runtuh, Kerajaan Sunda Sembawa (atau cukup disebut sebagai Kerajaan Sunda saja) mengambil alih peran di barat Jawa. Sokongan dari Kerajaan Kandari yang beragama Buddha membuat mereka akhirnya mendirikan candi bermotif Buddha di wilayah Batujaya, Karawang.Jauh sebelum mereka mendirikan candi, wilayah tersebut memang sudah dijadikan daerah suci terutama bagi masyarakat yang memiliki kepercayaan lokal. Karena bencana Krakatau, akhirnya tempat suci mereka sepertinya terbengkalai sampai akhirnya dialih fungsikan menjadi candi Buddha.Dalam penggambaran di amulet yang ditemukan, tampaknya bahwa Kerajaan Sunda di saat itu beraliran Buddha Mulasarvastivada, yang tergolong sebagai aliran Sravakayana. Berbicara mengenai kepercayaan lokal, apa sih kepercayaan lokal itu? Apa namanya? Bagaimana konsepnya? Pada saat itu agama apapun sebenarnya tidak memiliki nama resmi, konsepnya yang benar-benar asli sebenarnya sudah sulit untuk ditelusuri. Karena pada perkembangannya, kepercayaan tersebut sudah melebur bersama agama-agama baru yang datang seperti Hindu, Buddha, bahkan Islam. Akan tetapi kurang lebih konsep ketuhanan mereka yaitu percaya kepada zat yang Maha Gaib yang Maha menciptakan, yang disebut dengan Hyang. Hyang tersebut sebenarnya hanya 1 (monotheisme), akan tetapi mereka juga meyakini atau menghormati roh-roh para leluhur yang dianggap sudah menyatu dengan Hyang, sehingga arwah leluhur ditambahi embel-embel Hyang juga. Orang-orang suci yang masih hidup termasuk benda-benda keramat, dianggap memiliki “kedekatan” dengan Hyang, maka mereka juga diberi gelar Hyang, Rahyang atau Sanghyang. Tempat pemujaan biasanya di tempat-tempat tinggi (gunung) atau tempat yang sengaja ditinggikan atau yang kita kenal sekarang sebagai punden berundak. Di tempat pemujaan itulah mereka anggap para Hyang bersemayam, sehingga disebut Pa-rahyang-an, yang berarti tempat Rahyang. Karena di barat Jawa sangat banyak yang menganut kepercayaan lokal ini, maka sangat banyak ditemui Parahyangan.Ketika agama Hindu masuk, tempat pemujaan mereka pun digunakan bersama-sama, biasanya ditambahi dengan mendirikan Lingga (penggambaran Siwa) atau arca-arca dewa lainnya.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai
syarat dan persetujuan?
Laporkan