Rendezvous Part 7-8

14
7
Deskripsi

🌷Silahkan mampir untuk yang ingin lanjut membaca. ❤

🌷 Matur nuwun. Hatur nuhun. Terima kasih. 

Part 7. Mengenali Rasa

Desi Pov

Entah apa yang kurasakan saat ini, ketika mendengar suara mobil mendekat ke garasi rumah. Jam 10 malam cukup larut menurutku, untuk jam pulang kerja.

Mungkin Pak Sena, macet di jalan dan harus bersabar menembus hiruk pikuk ibu kota. Yang membuatku debar jantungku tak karuan adalah pesan Ardi, adikku sore tadi.

Dengan santai Ardi bilang, kalau malam ini dia menginap di rumah orangtua kami. Lagaknya ingin mengawasi tukang seperti mandor proyek dan meninggalkan aku sendiri di rumah Bosnya.

Eh, sebenarnya aku tidak sendiri. Ada bibi yang tidur di kamar belakang. Cukup mengejutkan ketika aku diajak bibi ke kamarnya. Ternyata tidak seperti kamar ART yang kubayangkan selama ini.

Kamar bibi layaknya kamar tamu dengan springbed empuk, lemari pakaian, meja rias dan kursi kayu, kamar mandi dalam dan juga AC yang berfungsi maksimal. Mungkin aku masih terbawa cerita masa kecil tentang Upik Abu yang tidur di loteng dengan isi ruangan mirip gudang.

"Kamu belum tidur, Des?"

Bibirku terbuka saking terkejutnya. Terlambat menghindar. Tadinya aku hanya ingin mengintip Pak Sena, dari balik tirai ruang tamu. Ternyata aku malah melamun tidak jelas sampai beliau masuk pun, di luar batas kesadaranku.

"Eh, saya menunggu Bapak. Maksud saya..." jari tanganku berubah dingin, memperlihatkan sisi canggung dan kegugupanku. "Apa Bapak mau dibuatkan minuman hangat?"

Sebenarnya aku cuma berbasa-basi dan ingin segera kabur ke kamar. Berharap beliau menolak tawaranku dan mempersilahkan tidur.

"Boleh, Des. Ada kotak jahe hangat di atas lemari dapur. Kalau kamu nggak keberatan, saya minta tolong dibuatkan satu cangkir. Airnya panas semua nggak apa-apa."

Aku berusaha memalingkan wajah karena semakin Pak Sena mendekat, aku takut luluh dengan pesonanya. Padahal beliau bukan tipe pria yang agresif atau genit. Bukan sama sekali.

Ada sesuatu yang disembunyikan dalam dirinya. Mungkin masih terkait luka masa lalu yang tidak mau ia bagi dengan orang lain.

Cerita pernikahan beliau yang kandas tiga tahun lampau, aku tahu dari bibi. Ternyata kisah beliau, mulai mengubah sudut pandangku yang sebelumnya membenci beliau tanpa alasan.

"Saya mandi dulu, Des. Nanti minuman jahenya ditaruh saja di meja makan. Setelah itu, kamu tidur saja. Sudah malam."

Perhatian kecil yang diberikan Pak Sena, membuat hatiku tersentuh. Sedikit. Aduh, Des. Kamu seperti gadis perawan yang kurang belaian dan pujian. Ingin rasanya kujitak kepalaku berkali-kali.

"Baik, Pak." Hanya jawaban pendek yang kuberikan. Lebih baik aku cepat ke dapur sebelum degub jantungku jadi tak terkendali. Mungkin aku hanya mengagumi kebaikan hati pria ini.

Sejak tadi pagi hingga sore hari, selain berkunjung ke kamar bibi, aku juga melihat seluruh ruangan di rumah ini. Tidak satu pun kutemukan foto pernikahan Pak Sena dengan mantan istrinya.

Kami memiliki kemiripan pada satu hal. Ingin melupakan masa lalu yang pahit, termasuk menghilangkan jejak kenangan yang ada. Jauh sebelum putusan pengadilan berakhir pada kata resmi berpisah, aku sudah menyimpan foto-foto pernikahan dengan Juan di gudang rumah. Bersama sepatu bekas, mesin cuci yang sudah rusak namun sayang dibuang, juga ditemani sarang laba-laba di atas plafon.

Aku berjalan ke dapur dan mencari bubuk jahe yang dimaksud. Menakar semampunya dalam cangkir dan melihat susu kental manis di samping tempat roti tawar, membuatku tertarik mencampurnya. Mungkin rasanya jadi lebih enak dan hangat untuk perut.

Ingin mencoba apakah sudah pas apa belum, aku berinisiatif membuat satu cangkir lagi untukku sendiri. Kuaduk dan kucicipi dengan satu sendok makan penuh. Menyimpulkan rasa yang muncul setelahnya. Kurang manis.

"Des."

Aku terkejut mendengar suara Pak Sena di belakang punggungku. Apa kecepatanku membuat minuman seperti keong atau Pak Sena yang terlalu cepat mandi.

Sebentar kemudian beliau sudah berdiri di sampingku, mengenakan  kaos bola berlogo Real Madrid dan celana kain berwarna navy sampai lutut. Kukira beliau akan memakai piyama.

"Bapak sudah mandi?" Tanyaku seperti orang bodoh dan baru menyadari kebodohanku beberapa detik kemudian.

"Eh, kenapa? Saya kecepatan ya, mandinya?" Gurat kelelahan di wajah beliau, digantikan dengan seulas senyuman tipis.

Jujur aku jadi bertambah deg-degan. Apakah aku mulai menyukai beliau, karena hatiku mulai melemah dan bersimpati dengan kisah hidupnya.

Too fast, Des. Jangan ge er. Lukamu sendiri bahkan belum sembuh sempurna.

"Saya agak nggak enak badan, Des. Jadi tadi nggak lama-lama di kamar mandi. Oh iya, saya lupa kalau tadi bawa soto ayam dua porsi. Saya ingat kamu. Tadi titip OB buat beliin habis maghrib."

Pantas saja pulang-pulang minta jahe hangat. Rupanya beliau sedang sakit.

"Mau saya panasin sotonya, Pak?"

Pak Sena mengangguk. "Boleh, kalau kamu nggak keberatan. Maaf jadi menahan kamu lama disini, bersama saya. Kamu nggak takut kan, Des? Kata Ardi, kamu masih trauma kalau dekat sama laki-laki."

Aduh, mulut adikku itu harus diingetin supaya menyaring info apa saja yang nggak perlu diceritain ke bosnya.

Hatiku sedikit berseri saat tahu beliau membeli satu soto ayam untukku. Tahu saja kalau malam-malam aku suka kelaparan.

Eh, tunggu dulu. Jangan-jangan waktu Ardi bawa sate ayam ke rumah, itu juga hasil traktiran dari Pak Sena.

"Pipi kamu kenapa, Des? Kok merah? Kamu nggak enak badan juga?"

Aku gelagapan menanggapinya. "Engg...nggak Pak. Nggak apa-apa."

Pak Sena tertawa. "Kita bicara formal banget ya, Des. Padahal saya sudah panggil kamu nama. Tapi kamu masih panggil saya Bapak. Berasa masih di kantor."

"Saya menghormati Pak Sena sebagai bos Ardi, adik saya." Pungkasku.

"Iya Des, saya tahu. Tapi jadi membuat jarak kita berdua, terasa jauh. Saya terdengar tua sekali, dibanding kamu. Umur kamu berapa Des, kalau boleh tahu?"

"Waduh, kalau nanya umur itu SARA Pak." Aku mengelak.

"Oh, begitu ya." Pak Sena menarik kursi dan menunggu minuman jahe buatanku.

Done.

"Silahkan, Pak."

"Terima kasih."

Dengan cekatan aku mengambil kantung plastik berisi soto yang dibawa Pak Sena. Aku memperhatikan letak panci dan perkakas rumah tangga lainnya, ketika bibi memasak.

"Kurang manis ya, Pak?"

Aku melirik takut-takut.

"Enak kok. Kamu buat satu juga ya?"

Aduh, malah ketahuan. Aku meringis. "Tadi mau uji coba dulu, Pak. Khawatir nggak enak."

Sambil menunggu kuah soto mendidih, aku mengambil mangkuk dua buah. Kalau soal makan, aku memang rela mengalahkan rasa malu. Daripada malam-malam aku kelaperan.

"Des, kadang saya pernah mikir. Kalau memang jodoh ngga datang lagi, mengadopsi anak jadi pilihan terakhir. Saya akan membesarkan dan mendidik mereka, sampai saya tua nanti. Kelak saya bisa punya anak-anak yang tulus merawat dan menemani."

Aku terenyuh mendengarnya, karena pernah memikirkan hal yang sama. Berharap agar Raka anakku, menjadi teman hingga aku renta.

Tapi takdir berkata lain dan dengan berat hati aku mesti menerima kenyataan. Belajar mengikhlaskan, meskipun butuh waktu untuk jatuh bangun dan menangis berulang kali.

Air mataku menitik, tanpa permisi. Sampai aku tidak sadar kalau kelopak mataku sudah basah. Buru-buru aku menghapus air mata dan mematikan kompor, karena isi panci sudah bergolak.

"Des, kamu menangis? Maaf kalau jadi mengingatkan kamu ke Raka."

Aku mulai menampakkan sisi lemah yang selama ini berusaha kututupi.

"Kalau bicara anak, otomatis ingat Raka, Pak. Maafin saya masih cengeng."

"It's ok. Itulah kasih sayang seorang ibu yang tidak akan putus pada anaknya. Kamu tahu Des, Mama juga selalu jadi orang pertama yang menelepon saya setiap pagi. Sewaktu saya pergi ke Kalimantan, untuk healing. Tapi sebenarnya yang saya lakukan juga  melarikan diri. Saya belum mengakui kegagalan pernikahan."

Aku memindahkan soto ke mangkuk. Beliau beranjak dari tempat duduk dan malah ikut membantuku membawa mangkuk soto.

Beliau juga mengambil dua gelas dan mengisinya dengan air putih. Ini beliau mengambilkan untukku juga ya. Lagi-lagi aku jadi lemah dengan kebaikan hati Pak Sena.

Kami berdua duduk berjarak satu bangku dan mulai berdo'a sebelum makan. Aku pikir tidak ada salahnya mengobrol dengan beliau, karena suara beliau terdengar sedih saat bercerita tentang kegagalannya berumah tangga.

"Setahu saya, laki-laki mudah sembuh dan mudah juga move on. Saya yakin Pak Sena bisa jadi seseorang yang lebih baik lagi."

Beliau makan dengan lahap, lalu berhenti sesaat.

"Kalau kamu tahu masa lalu saya, mungkin kamu akan membenci saya sesudahnya, Des."

Sebenarnya aku baru mendengar nama istri Pak Sena yang bernama Aruna, dari Bibi. Karena penasaran, aku sempat browsing dan mendapatkan foto wanita itu dengan gaun tanpa lengan.

Cantik. Sangat cantik malahan. Sama sekali tidak kuduga, Pak Sena melepaskan wanita secantik Aruna.
Sekarang wanita itu tengah hamil anak pertama dengan suami keduanya.

"Cinta pertama saya bernama Raya Azalea. Dia meninggal dalam kecelakaan mobil dan saya justru menikahi tunangan lelaki yang menjadi Bosnya Raya."

Mataku spontan membelalak. "Mbak Aruna itu, tunangannya orang lain?"

Pak Sena menyesap jahe merah dalam cangkir yang masih mengepul. Raut wajahnya terlihat tenang, seperti telah menduga reaksiku saat mendengar pengakuannya.

"Karena amarah dan dendam, Des. Waktu itu saya berpikir pendek dengan merebut Aruna, bisa membuat Bosnya Raya kehilangan. Saya masih menganggap Raya kecelakaan karena ulah Ezhar, Bos sekaligus tuangan Aruna. Nyatanya sampai akhir, saya tidak mendapatkan apa-apa. Hanya kesakitan dan penyesalan. Ezhar, dia mengutus seseorang untuk menolong saya, saat kecelakaan di hutan."

Tanganku jadi sedikit gemetar. Tidak menyangka akan mendengar sisi gelap Pak Sena. Pernikahannya ternyata menyimpan kepedihan.

Bertemu. Saling jatuh cinta. Bahagia. Itu impian setiap orang yang menikah. Aku pun pernah mengangankan hal yang sama, meskipun yang terjadi adalah sebaliknya.

"Tiga tahun saya mengasingkan diri di tempat baru. Berusaha menemukan bahagia disana. Melepaskan bayang-bayang Raya. Ternyata jatuh cinta memang menyakitkan. Jika kita belum bisa mengikhlaskan."

Aku menunduk. "Jatuh cinta menyakitkan seperti saya dan Juan. Berharap suami saya akan memberi kasih sayang, sebanyak yang saya beri untuk dia. Ternyata semua hanya semu dan menorehkan luka terdalam. Sampai saya tidak mampu menjahit luka itu hingga rapat."

"Maafkan saya, Des. Jadi mengingatkan kamu ke Juan. Hari ini dia sudah tidak mengganggumu lagi, kan?"

Aku menggeleng. Lebih tepatnya menyembunyikan kenyataan. Entah sampai kapan mantan suamiku akan terus meneror. Tabiatnya sejak dulu tidak akan berhenti, sebelum mendapatkan apa yang ia inginkan.

"Des, besok pagi, apa boleh saya antarkan kamu makam Raka? Sejak Raka wafat, saya belum pernah ziarah kesana. Setelah itu saya ingin kenalkan kamu ke Mama."

"Secepat itu Pak?" Aku keceplosan. "Maksud saya, nanti Pak Sena mengenalkan saya sebagai apa?"

Wajahku mungkin terlihat lucu di mata Pak Sena, karena beliau tergelak. Sudut kelopak matanya menyipit hingga aku bisa melihat beliau tidak melulu serius.

"Nanti saya kenalkan kamu sebagai kakaknya Ardi, karyawan saya. Oya, Mama suka bunga dan memuji bunga yang dulu kamu rangkai di toko."

"Sebenarnya... Saya tidak terlalu menyukai bunga, Pak. Saya terpaksa karena tuntutan pekerjaan dan harus menerangkan ke customer toko. Saya merasa tidak memiliki kelebihan apapun."

"Kamu punya banyak kelebihan, Des. Kamu ibu yang baik. Penyayang dan pekerja keras." Pak Sena kembali menghirup minumannya sampai tandas.

Alisku bertaut. "Pekerja keras?" Aku bahkan menyangsikan ucapan beliau barusan.

"Tadi siang saya ditelepon Bibi. Tadi pagi kamu menyapu dan mengepel rumah. Itu tipikal pekerja keras juga, kan?" Pak Sena sekarang malah puas tertawa geli di depanku.

"Itu sih karena saya tahu diri Pak. Saya kan menumpang menginap disini. Makan minum gratis. Kalau perlu, kolam renang di belakang rumah saya kuras juga. Cuma nggak dibolehin sama Bibi."

Perasaan, kata-kataku biasa saja. Tapi Pak Sena bisa terbahak sampai memegangi perutnya.

"Jangan, Des. Nanti Pak Badri nggak kebagian kerjaan."

Pak Badri adalah tukang kebun yang sekaligus rutin membersihkan kolam renang di halaman belakang rumah.

Tidak terasa soto yang kami santap, sudah habis. Pak Sena melirik layar ponsel di atas meja.

"Sudah malam, Des. Terima kasih telah menemani saya mengobrol. Mengenai tawaran saya yang tadi, tolong dipertimbangkan."

Oh...

Eh. Tawaran yang mana? Aku bahkan lupa karena gagal fokus dengan pembawaan Pak Sena yang santai malam ini.

Ia berusaha menghilangkan jarak antara kami berdua. Tidak lagi sebagai Bos adikku, tapi aku mulai menerimanya sebagai teman.

Aku mengambil mangkuk bekas soto dan hendak membawanya ke wastafel.

"Biar saya aja yang cuci, Des."

"Ini kan bekas makan saya, Pak. Masak Bapak yang cuci?"

"Nggak apa-apa. Santai aja."

Aku akhirnya beranjak pergi sambil memegang sisi kiri dadaku. Debar jantungku rupanya tidak aman.

***
 

🌷 Mbak Desi mulai tersepona sama Bapak Sena. 🤭

 

 


 

 

Part 8. Matahariku

Sena Pov

Pagi hari badanku terasa segar dan perutku juga hangat. Efek minum jahe buatan Desi semalam, membuat badanku jadi terasa lebih baik. Aku juga banyak tersenyum pagi ini.

Baru saja aku selesai mandi dan mengganti pakaian dengan kemeja lengan panjang berwarna abu-abu. Di depan kaca, aku merasa jadi lebih muda beberapa tahun.

Kemarin sore Ardi 'menitipkan' kakaknya kepadaku. Apa mungkin ini cara dia mendekatkan kami berdua.
Entahlah. Aku ingin semua berjalan alami.

Aku tidak mau memaksakan diri dan membuat Desi tidak nyaman. Semalam aku bercerita kepada Desi, tentang Raya dan Aruna -perempuan-perempuan masa laluku-.

Lega tepatnya, karena Desi bersedia mendengarkan. Meskipun aku bisa menangkap ekspresi terkejut di wajahnya. Bisa jadi dia syok setelah tahu sisi kelam yang selama ini tidak pernah kubagi dengan orang lain.

Aku baru menyadari. Perempuan yang aku cari selama ini, bukan lagi sebatas fisik belaka. Tapi dia aku harap, dapat menerima kelemahanku dan mendukungku untuk menjadi lebih baik dari sebelumnya.

Meskipun Desi belum mau bercerita lebih banyak mengenai lukanya, tapi aku sudah tahu dari Ardi. Tanpa kuminta, sepanjang perjalanan, Ardi bercerita kepadaku.

Ada rasa pedih yang menyayat hati dan keinginanku untuk melindunginya, 
semakin menjadi-jadi.

Sabar, Sena. Aku masih mematutkan wajah di depan cermin. Pagi ini aku bahagia dan ada seseorang yang juga ingin aku bahagiakan.

***
 

Keluar dari kamar, Desi dan Bibi sudah siap menunggu di teras depan. Dia memakai blus berwarna peach dan rok gelap. Kerudungnya juga senada dengan blusnya.

Dia tampak bahagia karena pagi ini aku menepati janji, menemaninya berziarah ke makam Raka, putra pertama Desi.

Salah satu alasan Desi tidak menolak,  mungkin karena kami pergi bertiga.  Aku sengaja mengajak Bibi untuk ikut. 

Semalam, sebelum pulang ke rumah, aku menyempatkan mampir ke Daisy Florist. Tempat kerja Desi sebelum dia resign. Aku sudah menyiapkan bunga mawar putih, bunga melati dan bunga sedap malam yang disimpan di bagasi.

Paradise Memorial Garden adalah tempat yang kami tuju saat ini. Aku melihat binar keceriaan di wajah Desi. Dari cerita Ardi, aku tahu sejak Raka meninggal dunia, Desi baru dua kali berziarah kesana. Itu pun dia lakukan diam-diam, karena takut bertemu ibu mertuanya.

Sampai disana, Desi hanya bisa memandang makam Raka dari balik pagar besi, karena ibunya Juan berpesan ke penjaga makam. Tidak mengizinkan siapa pun berziarah kecuali keluarga. Kejam memang. Padahal tidak ada istilah mantan ibu.

"Kamu senang ya, bisa bertemu Raka?"

Desi menoleh ke arahku, beberapa detik. Menjawab pertanyaanku dengan seulas senyum. Wajahnya yang hanya dipoles bedak ala kadarnya, sudah memantik nyala bara di dalam dadaku. Tangan kananku beralih mengusap tengkuk karena gugup.

Padahal Desi hanya diam dan tersenyum tipis. Dia tidak menyangkal rasa bahagia yang kini justru menular kepadaku.

"Saya belum pernah punya anak. Pasti rasanya menakjubkan ya, Des?"

"Sangat." Mata perempuan yang duduk di sampingku, semakin memancarkan binar indah.

Lalu tanpa aku minta, dia dengan antusias menceritakan proses kehamilannya. Energi suka cita yang mengalir, membuatku bertambah kagum. Setiap detik. Setiap saat.

Kalau dari cerita Ardi, kakaknya diabaikan, ditelantarkan dan ditinggal Juan saat mengandung anak pertama. Tapi Desi seolah melupakan semua kepahitan itu. Rasa sakitnya terobati dengan kehadiran anak yang dia sayangi.

Bibir merah muda milik perempuan ini, mulai terkatup ketika kami sudah masuk ke gerbang pemakaman mewah dengan banyak pohon peneduh di sisi kanan dan kiri. Sepanjang jalan yang kami lalui, berdiri kokoh pohon mahoni dan kamboja silih berganti.

"Di sebelah mana, makamnya Arka?"

Aku salah fokus dengan jari lentik milik Desi yang menunjuk ke arah Alphard berwarna silver.

Kami kemudian turun dari mobil dan Desi tampak ragu menatap ke arah makam di seberang.

"Nggak usah takut. Ada saya yang temani kamu, Des."

"Terima kasih, Pak Sena. Saya sudah bahagia meskipun hanya bisa melihat dari jauh."

Seorang petugas makam berpakaian hitam menghampiri kami. Tadinya aku menduga bapak berkumis tebal ini hendak melarang kami berziarah. Ternyata aku salah.

"Keluarga Hernawa?"

Desi mengangguk takut-takut. "Saya ingin berziarah dan berdo'a disana. Di makam anak saya."

Petugas yang memasang name tag Doni di kemeja sebelah kanan, seperti hendak memastikan dengan gambar yang ia buka di layar ponsel.

"Oh, Ibu istrinya Pak Juan ya?"

"Mantan." Desi cepat mengoreksi.

"Ah iya Bu, maaf. Wajah Ibu sesuai dengan foto yang dikirim Pak Juan ke saya. Pak Juan bilang kalau Ibu datang kesini, kami harus mengantar ke makam putra Ibu. Mari saya temani."

Desi memandang heran ke arahku. Hatiku sedikit panas dengan tindakan Juan yang tidak biasa. Lelaki itu sepertinya tidak main-main ingin mendapatkan Desi kembali.

Padahal Juan sudah beristri dan kini kebaikan hatinya membuat perempuan berkerudung biru di sampingku, mengucapkan syukur.

Bara di hatiku mulai menyalakan api cemburu. Meskipun tahu saat ini aku bukanlah siapa-siapa bagi Desi, tapi aku  tidak pernah rela Juan kembali mendekati perempuan yang kusukai.

Bibi memilih menunggu di mobil yang sengaja tidak kukunci dan sudah kubuka kaca jendelanya. Aku sengaja menahan diri untuk tidak mengucapkan nama Juan, sampai kami selesai berdo'a.

Aku belum pernah merasakan perasaan cemburu yang seperti ini. Tahan, Sena. Aku bersabar dan mengikuti Desi yang duduk di samping makam Raka. Petugas bernama Doni, sudah pamit pergi meninggalkan kami.

"Pak Sena mau pimpin baca do'a untuk Raka?"

Kedua mata kami saling bertemu dan kali kedua atau mungkin seterusnya, aku menyadari sepasang netra indah milik Desi membuka lebar.

"Boleh." Jawabanku membuat Desi kembali tersenyum.

Selama tiga tahun pergi ke Kalimantan, perlahan-lahan aku membenahi diri. Termasuk mulai memperbaiki ibadahku.

Meski baru sebatas menjalankan sholat wajib tepat waktu dan belajar mengaji ditemani Ustadz yang datang ke kantor cabang sebulan sekali, sudah membuat hatiku tenang dan tidak lagi mudah tersulut amarah seperti dulu.

Lantunan surah Al-Fatihah dan do'a mengalir untuk Raka. Ingin rasanya aku mengatakan ke Raka. Aku ingin membahagiakan mamanya. Agar tidak lagi sedih dan membuka hati untuk menerimaku.

Sang surya yang beranjak terik, tampak bersahabat karena sejenak bersembunyi di balik awan. Berdua kami berdo'a dengan khusyuk, agar sampai ke almarhum Raka dan mengaminkan di penghujung do'a.

"Aamiin." Desi berujar lirih dan mulai mencabut beberapa rumput liar yang tumbuh di sisi makam.

Pemakaman sebagus ini, masih bisa lengah dalam hal perawatan. Aku bergumam dalam hati. Bunga yang aku persiapkan di mobil, kuberikan pada Desi.

"Bunganya wangi dan cantik sekali. Terima kasih, Pak." Desi menerima dan menaruhnya di atas pusara Raka.

"Sayang, Mama pulang dulu ya. Insya Allah Mama akan kesini lagi, tapi belum tahu kapan. Ini Pak Sena, Bosnya Om Ardi. Orangnya baik dan menemani Mama kesini. Sampai juga lagi, anak sholeh."

Setidaknya Desi mengatakan aku bosnya Ardi dan bukan temannya. Berarti aku masih ada harapan lebih dari sekedar teman.

"Kapan kamu mau kesini lagi, saya dengan senang hati menemani, Des."

Desi melirik sekilas. "Jangan Pak. Nanti pasaran Bapak turun kalau jalan berdua sama janda seperti saya."

Aku menyejajarkan langkah di samping Desi. "Kamu lupa kalau saya juga duda, Des?" Entah sejak kapan, aku jadi bangga dengan statusku yang sekarang.

"Tetap bedalah, Pak. Bapak itu ibarat duda potensial. Banyak yang mau jadi istri Pak Sena. Kalau saya, sudah nggak terbayang mau menikah lagi."

Wanita ini selalu saja merendah. Membuatku ingin segera menjadi teman hidupnya. Tapi kalau tergesa, aku khawatir dia menolak.

"Trauma itu perlu waktu untuk sembuh. Tapi jangan berlama-lama, Des. Ada kalanya hati seseorang yang berharap, bisa lelah dan bahkan berkarat." Mungkin aku sudah gila karena terang-terangan menyampaikan perasaanku.

"Sama seperti Pak Sena yang pernah kehilangan Mbak Raya, saya juga pernah mencintai Juan. Sulit rasanya menghilangkan trauma itu, Pak."

Hatiku buram sejenak. "Kamu pernah cinta sama Juan, tapi bukan berarti sekarang masih kan? Atau kamu ada rencana rujuk sama dia? Apalagi dia sekarang sudah buka akses untuk kamu datang ziarah ke makam Raka."

Setengah mati aku berusaha menahan gejolak dalam dada, karena Desi mengakui pernah mencintai Juan.

"Nggak mungkin balikan, Pak. Juan sudah punya istri yang cantik."

"Bukan ngga mungkin dia bakal pisah sama istrinya dan dekati kamu lagi, Des." Aku mendengus kesal.

"Pak Sena lucu deh. Kok Bapak jadi marah?"

"Nggak. Saya nggak marah kok." Sebaik mungkin aku berusaha mengendalikan nada suaraku agar tetap terdengar tenang.

"Des, kamu mau kerja di kantor saya?" Aku mengalihkan pembicaraan, ketika
Kami hampir sampai di parkiran mobil.

Bukan tanpa sebab aku meminta Desi bekerja, karena ingin dia mudah kupantau. Lebih aman juga dari gangguan mantan suaminya.

"Memangnya ada lowongan, Pak? Kok Ardi nggak cerita ya?"

Aku berdehem. "Ada Des. Kamu bisa Ms Office kan?"

"Waktu SMA pernah belajar, tapi nggak sampai dalam, Pak."

"Nggak usah dalem-dalem, Des. Nanti kelelep." Gurauku yang disambut tawa kecil di wajah Desi.

"Pak Sena bisa bercanda juga. Saya kirain Bapak orangnya dingin dan serius."

"Saya masih keturunan manusia, Des. Bukan patung es."

Sebenarnya banyak yang mengatakan hidupku monoton seperti robot, sejak berpisah dengan Aruna. Dingin seperti freezer kulkas. Pernah tidak sengaja aku dengar dari pembicaraan karyawanku.

Es lama-lama bisa mencair dan aku sendiri tidak menyangka kalau akan bertemu dengan matahariku. Desi adalah sinar matahari yang membuatku ingin jadi sosok terbaik untuk dirinya.

"Nanti saya ikut kursus komputer dulu ya, Pak. Supaya bisa kerja dengan baik dan nggak malu-maluin Bapak."

Berulang kali aku mengerjapkan mata. Meyakinkan diri kalau tidak sedang bermimpi, karena baru saja Desi menyetujui tawaran kerja di kantorku.

"Alhamdulillah. Kamu beneran mau, Des? Ada Windi, sekertaris saya yang nanti mengajari kamu. Jadi kamu nggak perlu kursus." Sepertinya bibirku akan tersenyum sepanjang hari ini.

"Rezeki nggak boleh ditolak, Pak. Selagi ada kesempatan. Daripada saya nganggur di rumah. Nanti Pak Sena bisa potong dari gaji saya, untuk bayar biaya menginap di rumah Bapak."

Kegembiraanku tiba-tiba redup. "Memangnya saya pernah minta bayaran dari kamu?"

"Eh, enggak ya? Tapi saya ingat kalau Ardi kemarin bilang mau pinjam uang kantor buat renovasi rumah orangtua kami yang ambruk. Bisa bayar pakai gaji saya juga kan, Pak?"

Ingin rasanya aku mencubit pipi Desi karena gemas. Perasaan gaji dia nantinya, uang-uang aku juga.

"Iya boleh. Apa aja yang bisa membuat kamu senang, saya kabulkan."

Aku memutari mobil dan membukakan pintu untuknya.

"Terima kasih, Pak. Saya jadi punya alasan untuk bahagia."

Perkataan Desi membuatku tertegun sesaat. Sepertinya aku butuh aq*a untuk tetap fokus dan tidak mengira yang barusan itu hanya delusi belaka.

***

 

Bersambung

🌷 Halalnya sudah mulai tampak hilal belum ya? 🤭

🌷 Terima kasih telah berkenan membaca. ❤

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Rendezvous
Selanjutnya Padamu Kutemukan Cinta Part 25
17
5
25. SERPIHAN MASA LALUPart ini akan membawa pembaca menyelami perasaan Alby saat Papanya sakit. Silahkan membaca.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan