
โ Silahkan dibaca. ๐
PROLOG
Kilas balik.
Gedung Dekanat Fakultas Kedokteran menjadi saksi pertemuan pertamaku dengan Ahsanul Fikri.
Fikri, demikian aku memanggilnya. Meskipun belum saling kenal, ia sudah lebih dulu menyapaku dengan wajah ramah.
"Assalaamu'alaikum. Kenalin, nama gue Fikri."
Tidak terbiasa menjawab salam, aku sempat terkejut mendengar dia langsung memanggil dengan bahasa gue-elu."
"Wa'alaikumsalam. Gue Alby. Lu juga dari Jakarta?"
Fikri mengangguk dan kami berjabat tangan.
"Wah, tinggal dimana Lo? Kalau gue, di Depok."
"Gue daerah Jaksel." Jawab Fikri dengan wajah kalem.
"Wuih, anak Jaksel. Bisa bahasa gaul dong." Aku bergurau.
"Kagak bisa gue. Eh, sebentar ya. Khaira telepon."
Khaira? Oh, mungkin pacarnya Fikri.
Selesai memasukkan berkas mahasiswa baru ke bagian pendaftaran, aku langsung pamit.
"Bisa tungguin gue, Al? Gue mau cari rumah kos habis dari sini." Fikri menepuk pundakku.
"Pacar lu sudah selesai telepon? Cepat banget."
Fikri tersenyum tipis. "Khaira pengertian sama gue. Dia tahu kalau gue sibuk."
Oh, ternyata benar Khaira itu nama pacarnya Fikri.
Gue mengiyakan untuk menunggu, karena melihat Fikri anak baik-baik dan tidak sombong.
Setelah urusan Fikri selesai, ia mengajakku keliling perumahan warga di sekitar kampus. Aku ikut membonceng motor milik saudaranya.
Sebenarnya Fikri masih memiliki Om di kota yang sama, tapi ia memilih untuk kos. Aku sendiri tidak tahu alasannya. Hanya sekedar menebak. Mungkin ia ingin hidup mandiri.
Kami masuk ke jalan setapak. Dari satu rumah ke rumah kos lainnya. Sudah mirip petugas sensus penduduk. Menawar harga kamar kos dan mencari rumah dengan lingkungan kondusif, sampai akhirnya menemukan tempat yang cocok.
"Gimana Al, kalau kita kos di sini? Lokasinya dekat masjid juga."
Karena sudah lelah dan siang mulai terik, aku akhirnya setuju. Banyak kamar kos yang sebelumnya kami singgahi, sudah terisi penuh. Sekalinya kosong, harganya tidak ramah di kantong Fikri.
"Gue pakai kamar yang ada ACnya nggak apa-apa kan, Fik?"
"Iya, Al. Senyamannya Lo aja. Kalau gue, mampunya kos di kamar yang ada kipas angin."
"Tenang aja. Lu bisa ikut tidur dan belajar di kamar gue, kalau kamar Lu panas." Aku ganti menepuk bahu Fikri.
Sebenarnya aku masih menyembunyikan latar belakang keluargaku. Papaku adalah pengusaha properti, sementara mama adalah dokter umum. Setelah menikah, mama tidak lagi praktek karena ingin program hamil.
Aku lahir di tahun kesepuluh usia pernikahan mama dan papa. Setelah mama beberapa kali keguguran dan sempat gagal program bayi tabung. Bisa dikatakan aku adalah anak mahal dan dimanja sejak kecil.
Tapi itu tidak lantas menjadikan aku lemah dan mudah bergantung pada orang lain. Ya, kecuali hal-hal tertentu seperti fasilitas kamar berAC dengan kamar mandi dalam, televisi, kulkas dan dispenser di dalamnya.
Sebenarnya papa menawarkan satu unit apartemen untuk kos. Tadinya aku hendak menawarkan Fikri untuk tinggal bersama. Tapi setelah melihat Fikri sudah menetapkan pilihan, aku coba menyesuaikan.
Jadilah aku memilih kamar kos bawah dengan AC dan fasilitas lainnya, sementara Fikri di kamar atas. Lima tahun kuliah di Fakultas Kedokteran bukan waktu yang sebentar. Sepertinya berteman dengan Fikri akan menyenangkan.
Kesan pertamaku terhadap Fikri. Dia bersahabat, cerdas, tapi tetap rendah hati. Tadi dia sempat bercerita kalau diterima di FK lewat jalur nilai rapot. Dia juga sama-sama berasal dari Jakarta. Lebih nyaman karena kami berasal dari daerah yang sama.
***
Setelah lima tahun.
Aku benar-benar tidak menyangka akhirnya perjuanganku setelah kuliah, sebentar lagi terbayar. Ada rasa bangga menyelinap di dadaku.
Tidak sia-sia menghabiskan masa 'tua' di kampus, mengingat hampir semua teman SMAku yang kuliah di jurusan berbeda, sudah lebih dulu lulus menyandang gelar sarjana.
Hal yang paling menyenangkan dalam hidupku adalah masuk di Fakultas Kedokteran dan keluar dengan gelar profesi dokter. Deretan calon jodoh pun sudah menanti.
Bisa dibilang selama kuliah, aku memiliki beberapa pacar yang sekarang sudah menjadi mantan. Tidak perlu disebut namanya, karena aku memang ingin melupakan mereka semua.
Bukan karena sudah insaf, tapi lebih ke mencari profil terbaik yang akan menjadi istri dan ibu untuk anak-anakku. Aku sedikit iri dengan Fikri yang sejak awal kuliah sampai menjelang lulus, hanya fokus pada satu nama perempuan.
Jam tiga dini hari, kami menikmati sahur bersama di kamar kosku. Fikri masih asyik dengan gawainya.
"Khaira lagi?"
Fikri menoleh dan tersenyum.
"Lagi-lagi Khaira." Aku berkomentar sambil mengunyah gurame goreng yang menjadi menu kali ini.
Selama puasa Ramadan, ibu kos membuka katering. Jadi mempermudah kami untuk makan dan berbuka puasa.
"Al, Lu percaya nggak sih. Gue sudah suka sama Khaira sejak kelas enam SD. Waktu itu dia masih kelas tiga. Dia suka main bekel dan kelereng di depan rumah."
Aku tersedak mendengar pengakuan Fikri yang mengejutkan. Sebelumnya ia memang tidak pernah memberitahu siapa Khaira. Aku cuma tahu nama, tapi sampai sekarang juga tidak tahu yang mana orangnya.
"Pedofil, Lu ya." Pungkasku cepat sambil menelan air putih. Sebelum daging ikan gurame tersangkut di kerongkongan.
Fikri tergelak mendengar perkataanku.
"Dari SD Khaira mau jadi dokter. Tapi sayang sampai sekarang nggak kesampaian. Makanya gue masuk FK buat wujudin mimpi dia. Sebenarnya gue pengen masuk Teknik Arsitek. Supaya bisa bangun rumah impian kita berdua."
Glek.
Asli aku jadi tidak nafsu makan mendengar kisah cinta Fikri yang di luar ekspektasiku.
"Rendah amat mimpi Lu, jadi dokter hanya buat si Khaira."
Fikri tersenyum malu-malu persis kayak anak lelaki yang baru puber.
"Lo tahu Al, apa yang seru dari Khaira?"
"Apaan?" Tanyaku tanpa banyak minat.
"Sampai sekarang kita masih sering diskusi masalah penyakit pasien di grup chat. Almarhum papanya Khaira seorang Internist."
"Oya? Kenapa dia nggak jadi dokter, buat nerusin papanya?" Kok aku tiba-tiba jadi tertarik urusan dalam negeri orang.
"Dia sudah coba cari beasiswa dan ikut ujian masuk Perguruan Tinggi Negeri, tapi nggak keterima. Kalau mau kuliah di swasta, dia nggak punya uang."
"Serius? Bukannya papanya kaya. Masak nggak punya cuan buat sekolahin di swasta."
Aku menghabiskan satu gelas berisi air putih.
"Karena Khaira anak angkat. Dia nggak punya hak waris. Sama kayak gue. Kami besar di rumah panti asuhan yang sama. Gue diadopsi setelah lulus SD dan Khaira menyusul dua tahun kemudian. Meski kami tinggal beda kota, sampai sekarang masih kontak. Itu definisi cinta sejati kan, Al? Nggak gonta-ganti pacar tiap tahun kayak Lu."
Aku sukses melongo. Jadi, Fikri dan Khaira sama-sama yatim piatu. Fakta mengejutkan yang baru aku ketahui hari ini.
"Terus, rencana Lu setelah lulus dokter bakal ngelamar dia?" Tebak-tebak buah manggis. Mungkin saja prasangkaku tidak meleset.
"Iya, benar. Gue sudah nabung dari kerja paruh waktu di redaksi majalah kampus. Gue juga kerja jadi tim reporter pas libur semesteran."
Ah, pantas saja setiap libur, Fikri jarang pulang ke Jakarta. Rupanya ia benar-benar niat menikah setelah lulus.
"Khaira minta gue sekolah lagi seperti almarhum ayah angkatnya."
"Jadi Internist?"
"Iya. Gue juga suka sih ilmunya. Bisa makin seru bahas kasus pasien sama Khaira."
"Oya? Padahal dia cuma lulusan SMA. Kok bisa nyambung diskusi sama Lu." Aneh saja menurutku.
"Khaira suka baca. Kalau saja ada kesempatan kuliah, mungkin dia sudah jadi calon dokter."
Aku hanya mengangguk. Melihat Fikri seantusias ini, aku ikut bahagia untuknya.
***
Jam 17.30
"Al, gue beli es blewah buat buka puasa ya."
Belum sempat aku menjawab, Fikri sudah menyalakan motor yang diparkir di depan kamar kos.
"Hati-hati."
Aku hanya berkata singkat dan menunggu di kamar kos.
Sampai azan Maghrib berkumandang, Fikri tidak ada tanda-tanda datang. Perasaanku mulai tidak enak.
Gawai milikku berdering dan aku melihat nama temanku. Syarif.
"Alby, cepat Lu sekarang ke IGD. Fikri kecelakaan!"
Aku hanya membatalkan puasa dengan beberapa teguk air dan keluar kamar. Aku meminjam motor anak ibu kos dan memacu dengan kecepatan tinggi.
Ya Tuhan, tolong selamatkan sahabatku. Di saat genting seperti ini, bahkan aku baru ingat Tuhan.
***
Instalasi Gawat Darurat.
Kakiku seperti berhenti berpijak di lantai, ketika melihat Fikri terluka parah. Kedua kelopak matanya lebam dan lehernya memakai cervical collar.
Tanpa kusadari, air mataku meleleh. Membayangkan momen wisuda kami yang telah berada di depan mata. Sedikit lagi, Fik.
"Al."
Lirih Fikri memanggilku. Ia juga menitikkan air mata.
"Maafin gue, Al." Kedua jemari tangan kami saling berjabat tangan. Hanya beberapa detik, karena dokter dan perawat masih membersihkan luka di kepala dan tangan Fikri.
Layar monitor di samping Fikri mulai berbunyi. Semua mulai berwarna merah. Detak jantungku semakin kencang.
"Fikri, Lu sudah janji sama gue. Kita masuk sama-sama dan lulus juga sama-sama. Jangan tinggalin gue!"
Tatapan Fikri meredup, bersamaan dengan denyut nadinya yang kian melemah.
"Al, kalau memang sudah waktunya gue pergi. Gue titip Khaira. Tolong jaga dia buat gue."
Dokter jaga dan perawat bersiap memindahkan Fikri ke label merah. Kondisinya mengalami perburukan.
"Lu harus selamat, Fik. Gue nggak bisa tunaikan janji untuk hal yang satu itu."
Sesaat sebelum pintu ruang IGD label merah ditutup, aku melihat layar monitor sudah berubah menjadi garis lurus.
"Pasien cardiac arrest. RJP!"
***
Bersambung.
Catatan :
*) FK : Fakultas Kedokteran.
*) Internist : dokter Spesialis Penyakit Dalam.
*) Cervical collar : alat penyangga leher yang digunakan pada korban trauma kepala atau cedera leher.
*) Cardiac arrest : kondisi jantung yang tiba-tiba berhenti berdetak.
*) RJP : singkatan dari Resusitasi Jantung Paru atau CPR adalah pertolongan awal untuk menyelamatkan nyawa seseorang yang mengalami henti napas dan henti jantung.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐ฅฐ
