
Bab 3, 4 dan 5
Bab 3 PRUK
"Gila ... Gila ... Gila! Ini bener-bener gila! Bisa-bisanya sih Ayah kepikiran hal segila ini? Pesantren Ramadhan? Perjodohan? Apa-apaan ini?!" gerutu Kamila dalam hati.
Kini, gadis yang biasanya hidup di jalanan itu terpaksa harus duduk di sebuah mobil, dan melakukan perjalanan ke sebuah tempat yang enggan dikunjunginya.
Sebuah pesantren yang di matanya layaknya sebuah penjara. Tempat dengan penuh aturan dan juga tuntutan, dua hal yang sangat dibencinya. Parahnya lagi, dia dipaksa harus tinggal di sana selama hampir dua bulan.
"Mimpi apa aku semalam Ya Tuhan ... Bisa-bisanya aku terjebak dalam situasi sulit seperti ini? Mana mungkin aku bisa tahan tinggal di penjara itu? Dan lagi, perjodohan? Di era kekinian masih ada istilah perjodohan? Sungguh amat sangat membagongkan!" batin Kamila seraya melirik lelaki di sisinya. Lelaki yang ia juluki sebagai pengacau sebab pagi-pagi sudah datang dan mengacau hidupnya.
Tadi, ayahnya sudah menjelaskan bahwa Gus Zainal adalah lelaki pilihannya yang kelak akan menjadi suaminya. Jelas saja hal itu tidak bisa diterima begitu saja olehnya, sebab di hati Kamila sudah ada Dion sebagai kekasihnya.
Di sisi lain, perjodohan merupakan salah satu hal yang sangat dibencinya, sebab menurut pandangannya, perjodohan merupakan praktik pemaksaan dan menghilangkan hak kebebasan manusia untuk memilih.
Akan tetapi ia sadar, melakukan perlawanan saat itu juga tidak akan memberikan dampak apa-apa untuknya. Sehingga ia hanya memilih diam seolah menerima, namun otaknya terus berputar, memikirkan bagaimana caranya agar perjodohan ini bisa dibatalkan.
Kamila melirik lelaki di sisinya, memandangnya dalam beberapa saat, "Ganteng sih, tapi bukan selera aku banget. Masa iya sih, seorang Kamila mau nikah sama anaknya Kyai yang gayanya ngustadz begini? enggak lah! Apa kata dunia?" Kamila kembali sibuk dengan pikirannya sendiri
"Gus!" panggil Kamila pada Gus Zainal yang sedang fokus menyupir.
"Hemm?" gumam Gus Zainal sebagai responnya.
"Gus udah tau soal perjodohan kita sejak awal?" tanya Kamila penasaran.
"Tau." Gus Zainal menjawab singkat-singkat.
"Sejak kapan?" tanya Kamila lagi.
"Sejak kamu masih ingusan." jawaban Gus Zainal sukses membuat Kamila jengkel.
"Idih sok tau! Aku kecil nggak ingusan ya!" sangkal Kamila tak terima. Sedangkan Gus Zainal tidak menanggapi lagi.
"Gus, serius aku mau tau!" ucap Kamila sekali lagi, semakin merasa jengkel sebab ucapannya tidak ditanggapi.
"Saya sudah jawab, Kamila."
"Iya tapi nggak jelas! Maksudnya tuh tepatnya kapan, Gus?" Kamila terus mengejar jawaban Gus Zainal. Sebelum menyusun rencana, ia perlu tahu terlebih dahulu bagaimana tanggapan lelaki di sisinya itu terhadap perjodohan mereka.
"Sepuluh tahun lalu." Gus Zainal menjawab enteng.
"What! Nggak usah ngadi-ngadi ya, Gus! mana bisa bocah diajakin ngobrolin soal jodoh?" pekik Kamila merasa heran.
"Sepuluh tahun lalu kamu memang masih bocah, Kamila, tapi saya sudah perjaka," jelas Gus Zainal, sabar.
"Terus maksudnya sekarang udah nggak perjaka, gitu?" Celetuk Kamila sengaja ingin membuat hati Gus Zainal jengkel.
Akan tetapi lelaki berkulit putih itu hanya melirik Kamila sekilas, tanpa memberikan respon berlebih.
"Nih orang manusia apa tembok sih? datar amat! Niat hati mau bikin dia jengkel, malah aku sendiri yang jengkel," batin Kamila menggerutu.
Gus Zainal lalu melepas kopyah putih yang dikenakannya, menaikkan tingkat pendingin suhu dalam mobilnya, sebab cuaca semakin terasa panas.
Butir-butir peluh terlihat membasahi bagian atas kepalanya yang bekas tertutup kopiyah, membuat tingkat ketampanannya meningkat seketika.
"Widih, makin ganteng aja dia kalau kopiahnya dicopot gitu," gumam Kamila, tentu saja hal itu hanya ia ucapkan dalam hatinya.
Gus Zainal–lelaki yang dijodohkan dengan Kamila memang memiliki paras yang tampan, kulitnya putih, badannya tinggi tegap dan proposional, hidungnya cukup mancung untuk ukuran lelaki Jawa, matanya bulat dengan bulu mata yang cukup lentik. Menambah kesempurnaan rupanya.
"Jadi bener, Gus?" tanya Kamila sekali lagi.
"Apanya?"
"Gus udah nggak perjaka?"
"Memangnya penting untuk kamu?" tanya Gus Zainal balik.
"Nggak sih!" jawab Kamila dengan nada malas. Merasa gengsi juga sebab sudah bersikap terlalu kepo.
"Memangnya dia usia berapa sih? kok aku masih kecil dia udah bisa diajakin ngobrol soal jodoh? jadi penasaran deh! Tapi gengsi lah kalau mau nanya, tar dikirain aku kepo lagi," gumam Kamila dalam hati.
"Terus kok Gus mau aja sih dijodohin sama bocah?" Kamila terus mewawancarai lelaki di sisinya.
"Saya nggak tahu saat itu kamu masih bocah, jangankan usia kamu, wajah kamu pun saya tidak tahu. Yang saya tahu hanya nama kamu," jawab Gus Zainal apa adanya, membuat Kamila semakin terheran.
"Bego, ya? cuma tahu nama tapi mau-mau aja dijodohin," gumam Kamila sangat pelan, hampir tak terdengar.
"Bego-bego begini Alhamdulillah saya lulus S3," balas Gus Zainal yang ternyata mendengar Kamila bergumam.
"Ebusyet, kupingnya kek kuping Ayah, deh! ta-jem!" batin Kamila seraya memberikan penekanan di kata terkahir.
"Sayangnya, gelar S3 nggak bisa tuh bikin saya tertarik sama Gus!" balas Kamila yang terus menunjukkan penolakannya.
"Ya bagus, sebab saya memang tidak ingin kamu menerima saya karena gelar saya." Gus Zainal menyahuti santai, membuat Kamila semakin geram.
"Dan saya nggak akan pernah tertarik apalagi menerima Gus!" balas Kamila nyolot.
"Kenapa begitu?"
"Sebab saya sudah memiliki kekasih," jawab Kamila apa adanya, tak ingin menutup-nutupi fakta, dengan begitu ia juga berharap Gus Zainal akan merasa ilfeel dan bersedia membatalkan perjodohan mereka.
"Oh, gitu," jawab Gus Zainal manggut-manggut.
"Iya. Jadi Gus nggak usah berharap, ya! Sebab nggak ada tempat lagi di hati aku buat nampung Gus," jawab Kamila sinis. Sengaja ingin membuat lelaki di sisinya merasa sakit hati.
"Nggak apa-apa, tinggal kita lihat saja nanti, saya pasti bisa membuat kamu jatuh cinta pada saya melebihi cinta kamu pada kekasih kamu itu," balas Gus Zainal membuat kedua mata Kamila membola. Bukannya sakit hati dengan ucapan Kamila, dia malah memantapkan hatinya.
"Idih, nggak usah kepe-dean ya, Gus! Memangnya situ siapa? Sorry ya, bukan tipe aku!" sarkas Kamila terang-terangan.
Gus Zainal hanya tersenyum sambil melirik penuh makna ke arah Kamila, ia lalu kembali fokus menyupir tanpa merespon ucapan Kamila.
"Kamila ... Kamila ... ternyata dia tidak semanis yang aku kira, cewek barbar, berani dan ceplas-ceplos kalau bicara. Aku belum tahu apa alasan Abah menjodohkanku dengan gadis seperti Kamila? tapi aku yakin, Abah pasti memiliki alasan tersendiri," gumam Gus Zainal dalam hati.
"Gus ...."
"Apa lagi?"
"Sebaiknya Gus tolak aja deh perjodohan kita ini, supaya kita kompak!" ucap Kamila bernegosiasi, pantang menyerah untuk menggagalkan perjodohannya.
"Memangnya kenapa saya harus melakukan itu, Kamila?"
"Ya nggak papa, memangnya Gus mau nikah sama aku? aku cewek nakal loh, Gus!" sahut Kamila.
"Dan sudah menjadi tugas saya sebagai seorang suami, untuk membimbing kamu menjadi lebih baik sebagai istri saya." Gus Zainal semakin menunjukkan sikap optimis, sengaja ingin membuat Kamila kesal.
"Ya udah, Gus nikah aja sama cewek baik-baik, kan? jadi nggak usah repot ngebimbing lagi deh gusnya," rayu Kamila sekali lagi.
Gus Zainal tampak berpikir, "Nggak ah, kurang menantang!" Jawab Gus Zainal santai membuat Kamila mengerucutkan bibirnya.
"Gus ... Ayolah ... Tolong, saya sudah punya kekasih loh! gimana dong nasib dia nanti kalau saya nikah sama Gus?'' rayu Kamila sekali lagi.
"Ngapain saya harus mikirin nasib kekasih kamu? Nggak penting. Lebih baik saya memikirkan nasib saya sendiri, bagaimana nanti kehidupan saya setelah menikahi kamu, itu akan lebih bermanfaat untuk saya," sahut Gus Zainal sama sekali tak bisa diajak kompromi.
"Iiiiiihh nyebelin banget sih ni orang!" teriak Kamila dalam hati, hingga kemudian terbesit pikiran jahil di benaknya. Ia tersenyum miring.
"Nggak ada cara lain, aku harus lakuin ini, dijamin dia pasti nyerah, deh!" batin Kamila, ia lalu mengubah posisi duduknya menjadi sedikit serong ke arah Gus Zainal, kemudian segera melakukan aksinya
"Gus ... Ayolah gus ... Please, mau ya?" Ucap Kamila dengan nada manja seraya bergelayut di lengan gus Zainal yang terbalut koko panjang.
"Astagfirullah, Kamila!" pekik Gus Zainal terkejut.
Bab 4 PRUK
"Astagfirullah, Kamila!" pekik Gus Zainal terkejut. Tubuhnya mendadak menegang, merasakan tangan dan kepala Kamila yang tiba-tiba sudah bersentuhan dengan tubuhnya. Walau terhalang helai kain dari baju yang dikenakannya, tapi tetap saja hangat dari suhu tubuh Kamila dapat dirasakannya.
Detak jantungnya mendadak berpacu lebih cepat, ia lelaki normal, yang sudah hampir tiga puluh tahun membujang tanpa belaian. Tentu sentuhan seorang wanita membuat tubuhnya bereaksi.
"Kamila, lepas, ya," pinta Gus Zainal dengan suara sedikit bergetar, seraya sedikit menarik tangannya dari dekapan Kamila, namun gadis itu menahannya, hatinya bersorak penuh kemenangan memandang ekspresi tegang wajah lelaki di sisinya.
"Aku nggak akan lepasin tangan Gus sebelum Gus menyetujui permintaanku," ancam Kamila yang ia anggap mampu menggertak pertahanan Gus Zainal.
"Kamila, kita bukan muhrim!" ucap Gus Zainal tegas.
"Nggak akan, Sayang, aku nggak akan melepaskannya sebelum kamu menuetujui permintaanku," balas Kamila yang malah menggoda Gus Zainal dengan mengusap-usapkan tangannya ke lengan Gus Zainal.
Lelaki dewasa itu semakin menegeng merasakan sentuhan Kamila, dalam hati ia terus menerus berucap istighfar, memohon penjagaan pada Allah agar dihindarkan dari dosa-dosa zina.
"Kamila! Lepaskan sekarang! atau—,"
"Atau apa?!" tantang Kamila percaya diri.
"Atau saya nikahi kamu sekarang juga!" ucap Gus Zainal cepat dan sontak membuat Kamila menjauhkan tubuhnya darinya, membuatnya kembali merasa lega sebab terhindar dari jerat pesona Kamila yang bisa saja membuatnya terjerumus ke liang dosa.
"Iiiiihhh! Nyebelin banget sih jadi orang!" gerutu Kamila setengah berteriak sambil mencak-mencak. Wajahnya mengkerut, menggambarkan hatinya yang tengah kesal. Ia memalingkan pandangan ke jendela sembari mulutnya dimanyun-manyunkan, membuat Gus Zainal yang mencuri-curi pandang menjadi gemas.
"Astaghfirullah ... Nambeng sekali bocah ini!" gumamnya dalam hati seraya tersenyum penuh makna.
"Awas jangan sebel-sebel, Kamila! Biasanya kalau terlalu sebel suka jadi cinta," ucap Gus Zainal yang malah menggoda Kamila. Merasa lucu dengan sikap kekanak-kanakannya.
Mendengar itu, sontak Kamila menolehkan wajahnya ke arah Gus Zainal, "Heh Gus! Nggak usah ngimpi ya! Sok kecakepan banget jadi orang!" sarkas Kamila membuat Gus Zainal tersenyum tipis.
"Secara nggak langsung kamu sedang memuji saya cakep, Kamila. Makasih ya!" balas Gus Zainal dengan santainya, membuat hati Kamila semakin gremetan!
"Dih! Kege-eran amat!" jawab Kamila menolak jujur, ia terlalu gengsi untuk mengakui ketampanan Gus Zainal secara terang-terangan, walau dalam hati ia tidak memungkirinya.
Gus Zainal hanya balas tersenyum, tak terlalu meladeni bocah di sisinya.
"Mangkanya, jangan coba main-main sama saya, Kamila." Gus Zainal mencoba memperingati.
"Mbuh, Gus! Karepmu!" balas Kamila kesal, sengaja menggunakan gaya bicara khas anak jalanan.
"Hush, perempuan kok kasar gitu sih bicaranya, nggak sopan ah! Perempuan itu calon ibu, harus belajar berprilaku lemah lembut!" Gus Zainal mengingatkan etika Kamila.
"Gak penting gimana cara bicaranya, Gus! Yang penting itu hatinya! Mau bicaranya kasar gapapa! Asal hatinya lembut. Daripada yang sok-sokan sopan di depan padahal menghanyutkan di belakang, amit-amit!" balas Kamila mulai mengeluarkan jargon anak jalanannya.
Gus Zainal hanya tersenyum, "Pemahaman seperti itu kurang tepat, Kamila. Sebab hati yang keras itu berawal dari ucapan kasar, ucapan yang menyakitkan. Kalau kamu berkata lemah lembut, insya Allah akan berimbas juga ke kelembutan hatimu.
Yang penting lakukan dengan hati, kalau tidak dilakukan dengan hati ya akibatnya seperti tadi, sopan di depan menghanyutkan di belakang, itu juga tidak dibenarkan. Muslim muslimah sejati adalah yang sama ketika di depan maupun di belakang saudaranya," jelas Gus Zainal pelan, mencoba memberi pengertian pada Kamila.
Kamila terdiam sejenak, mencoba mencerna ucapan Gus Zainal yang secara logika ia membenarkannya. Akan tetapi hatinya enggan menerima.
"Dah lah, Gus! Saya tuh nggak suka denger ceramah. Mendingan kalau Gus mau ceramah di Masjid aja sana, jangan di depan Kamila," balas Kamila sengit.
"Oke," jawab Gus Zainal setelah menghela nafas panjang.
"Sepertinya butuh menyiapkan strategi khusus untuk menghadapi nih anak, nggak bisa disamakan dengan mendidik santri-santri di pesantren pada umumnya. Kamila ini 'istimewa' dan ini pengalaman pertama untukku.
Harus sabar dan semangat Zainal! Kencangkan ikat pinggang! Mari kita berperang! Sekeras-keras batu, kalau terus-menerus disiram oleh air akan berlubang juga," tekad Gus Zainal dalam hati.
Selanjutnya suasana di antara mereka menjadi hening, masing-masing dari keduanya hanya berdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Kamila sibuk memutar otak untuk bisa lepas dari jerat perjodohan dengan Gus Zainal, sedangkan Gus Zainal sibuk menyusun strategi agar Kamila bisa masuk ke perangkapnya.
"Gus."
"Ya?"
"Dari sini kalau mau ke Pom atau rest area jauh nggak ya?" tanya Kamila yang memang tak enak diam.
"Memangnya kenapa?"
"Aku mau pipis, Gus!"
"Ditahan aja ya, 30 menit lagi sampai kok!" rayu Gus Zainal.
"Nggak bisa, Gus! Memangnya Gus mau saya ngompol di sini? Udah kebelet ini!" balas Kamila tak menyerah.
"Yah, jangan dong, Kamila!"
"Ya udah buruan cari toilet, Gus!"
"Kamu tahan dulu ya, sekitar 500 meter dari sini sepertinya ada Indoapril, nanti kamu ke toilet situ saja, sekalian saya mau belanja cemilan untuk kamu di pesantren," ucap Gus Zainal memberi solusi..
"Yesss!" sorak Kamila dalam hati, di sisi lain, hatinya juga menghangat, melihat kebaikan Gus Zainal, "perhatian juga si Gus, segala pake beliin cemilan, tau aja kalau aku doyan makan! Padahal dari tadi aku gangguin dia mulu!
Duh, sungguh perjuanganmu sangat mengagumkan, Gus! Tapi sorry , kamu bukan tupe-ku," gumam Kamila dalam hati.
Tak lama kemudian, mereka sampai di sebuah supermarket yang penyebarannya cukup merata di hampir setiap kota di indonesia.
Setelah memarkir mobil dengan sempurna, keduanya segera turun dan berpencar. Kamila langsung menuju toilet, sedangkan Gus Zainal, mengambil sebuah keranjang, dan memenuhinya dengan berbagai macam cemilan.
Saat Gus Zainal tengah asyik memilih camilan, Kamila sudah selesai dengan hajatnya di toilet. Ia yang semula memang merencanakan sesuatu, mulai menoleh ke kanan dan kiri, mencari-cari celah untuk melancarkan aksinya.
Kamila berjalan pelan dengan pandangan yang ditajamkan, mencari posisi Gus Zainal agar ia bisa menghindar.
"Nah, itu dia si Gus," gumam Kamila dalam hati saat Gus Zainal tengah berada di depan rak khusus minuman kemasan instan. Sedang memilih beberapa merek kopi dan susu yang siap seduh.
Posisi Gus Zainal yang membelakangi kasir dimanfaatkan oleh Kamila, dengan kecepatan Cahaya, Kamila berjalan menuju pintu keluar. Dan, beberapa detik kemudian Kamila sudah berada di balik pintu.
"Yes! Berhasil!" ucapnya lirih seraya mengepalkan tangan di depan dada, seolah tengah berhasil menyelesaikan sebuah misi besar.
Sekali lagi ia menoleh ke arah dalam ruangan, melihat posisi Gus Zainal. Aman, lelaki itu masih memilih-milih makanan.
"Maaf ya, Gus. Aku pergi dulu. Bye-bye!" gumamnya pelan sembari cekikikan, merasa berhasil membodohi sosok yang memperkenalkan dirinya sebagai lulusan S3.
Kamila mulai mengayun langkahnya ke arah jalan, akan tetapi, ia dilanda kebingungan saat berada di hadapan jalan raya dengan kendaraan yang berlalu-lalang.
"Aku mau ke mana ya? Daerah sini kan daerah asing buat aku. Mana nggak ada ponsel lagi. Kan hp aku disita sama Ayah, alesannya di pesantren nggak boleh bawa hp. Kalau udah gini mau pesan taxi online pun repot. Mana taxi biru nggak keliatan lewat lagi di sini," batin Kamila mencoba mencari cara untuk melarikan diri.
"Aku nggak bisa lama-lama di sini, mendingan sambil jalan, aku sambil mikir, setidaknya menghindar dulu deh dari si pengacau," gumam Kamila seraya mengambil langkah ke arah kanan, langkah yang berlawanan dengan tujuan awal mereka.
Sedangkan di sisi lain, Gus Zainal yang sedang mengantre di kasir merasa curiga, sebab tak kunjung melihat Kamila keluar dari toilet. Ia mulai mengedarkan pandangan ke kanan dan ke kiri, mencari keberadaan calon istrinya yang mungkin saja sengaja pergi.
Dan benar saja, saat pandangannya mengarah ke luar, ia tengah melihat Kamila berjalan sambil menoleh ke kanan dan ke kiri, gadis itu terlihat melambaikan tangan, seolah sedang menghentikan sebuah angkutan yang sedang melintas.
Dugaannya benar, tak lama kemudian, sebuah bentor (becak motor) terlihat berhenti di hadapannya. Melihat itu, Gus Zainal segera tersadar apa yang harus dilakukannya.
"Astaghfirullah, Kamila!" ini kali ke-tiga ia berucap istighfar merasakan kelakuan calon istrinya.
Bab 5 PRUK
Gus Zainal segera meletakkan belanjaan di meja kasir, "titip dulu, Mbak, nanti saya kembali," pesannya pada penjaga kasir.
Ia lalu berlari keluar mengejar Kamila, namun sayang, Bentor yang ditumpangi Kamila sudah terlebih dahulu jalan.
"Aduh! Telat lagi!" gumamnya pelan sembari menoleh ke kanan dan kiri, mencari cara untuk mengejar Kamila. Hingga tiba-tiba seseorang menyapa,
"Gus Zainal?"
Gus Zainal menoleh ke arah lelaki yang baru saja berhenti di parkiran indoapril, mencoba mengenalinya, namun gagal.
"Wonten nopo, Gus?" tanya lelaki tersebut sebab melihat Gus Zainal yang seperti orang kebingungan.
"Mau ngejar bentor itu!" jawab Gus Zainal seraya menunjuk Bentor yang ditumpangi Kamila tanpa pikir panjang.
"Monggo sareng kulo mawon, Gus!" lelaki asing tersebut menawarkan dirinya untuk mengantarkan.
"Nggak apa-apa, Kang?" tanya Gus Zainal memastikan.
"Nggih, Gus, Monggo!" jawab lelaki yang ia taksir berusia tiga puluh tahunan.
Tanpa banyak bicara lagi, Gus Zainal segera mencincing sarungnya lalu naik ke motor yang sudah siap melaju mengejar Kamila.
"Cepet ya, Kang! Kita ikuti bentor itu!" titah Gus Zainal seraya menunjuk Bentor Kamila yang semakin berjalan menjauh.
"Siap, Gus!"
Detik berikutnya, motor sudah melaju dengan kecepatan maksimal. Membelah jalanan yang cukup lenggang di pagi menjelang siang.
"Hati-hati ya, Kang!" pesan Gus Zainal.
"Baik, Gus!"
"Samean ini siapa toh, Kang? Kok kenal saya?"tanya Gus Zainal penasaran dengan pandangan terus melekat ke Bentor yang Kamila tumpangi.
"Saya Bahrul, Gus, dulu nyantri di Kyai Husein, tapi nggak lama, sama Gus ya kenal, tapi mungkin Gus nggak kenal saya." lelaki yang dipanggil dengan sebutan Kang tersebut mulai bercerita.
Gus Zainal mengangguk paham, banyaknya jumlah santri di pesantren yang didirikan Abahnya membuatnya tak dapat mengenali satu persatu santri. Akan tetapi hal yang ia syukuri, berkah dari abahnya bahkan dapat dirasakan di mana saja, seperti saat ini, tiba-tiba ada pertolongan saat dibutuhkan.
Dia sangat yakin, bahwa kehadiran Abahnya selalu membawa keberkahan, itulah alasan mengala ia selalu tunduk patuh pada setiap arahan Abahnya. Termasuk dalam hal perjodohan ini.
"Itu yang di Bentor sinten toh, Gus?" tanya kang Bahrul mulai penasaran.
"Santri putri yang kabur. Ayo buruan, Kang!" jawab Gus Zainal asal.
"Oh, siap Gus!" balas Kang Bahrul yang sebenarnya masih bingung. Kenapa ada santri putri yang kabur tapi kok Gus Zaina yang sibuk ngurusin? Namun Kang Bahrul tak mempermasalahkan, ia memilih untuk melajukan motornya semakin cepat sesuai instruksi putra kyainya.
Sedangkan di sisi lain, Kamila mulai kebingungan saat ditanya tujuan oleh tukang Bentor.
"Ini mau ke mana, Mbak? Kita udah jalan dari tadi tapi mbaknya belum bilang mau ke mana?" tanya tukang bentor.
"Saya mau ke Surabaya, Pak, bisa?" jawab Kamila ragu.
"Waduh, mau ke Surabaya kok naik bentor, Mbak? Nggak sekalian aja naik dokar?" ledek tukang bentor membuat Kamila semakin kesal.
"Ya udah sih, Pak, jalan aja dulu! Sambil saya mikir mau ke mana," titah Kamila.
"Mbak-nya ini aneh kok, masa nggak ngerti tujuannya mau ke mana sih?" gerutu tukang bentor namun tak di tanggapi oleh Kamila. Gadis itu sibuk menentukan tujuan ke mana ia akan pergi.
"Tadi Gus Zainal bilang dari indoapril ke rumahnya tinggal 30 menit lagi, berarti ini sudah deket sama Pacet. Mendingan aku ke Tretes aja kali, ya? Terus nanti dari sana minta dijemput Dion. Dia pasti nggak asing sama Tretes," batin Kamila menyusun rencana. Namun baru saja ia hendak bertanya pada tukang Bentor tentang rute yang harus dilalui, bentor itu menepi.
"Loh, kok berhenti sih, Pak?" tanya Kamila heran.
"Iya, isi bensin dulu, Mbak," jawabnya santai.
Kamila hanya mendengus kesal, "untung udah mayan jauh, Gus Zainal pasti nggak akan liat gue lagi sekarang, aman lah," batin Kamila yang tak sadar telah diikuti Gus Zainal. Ia pun bersabar menunggu tukang bentor mengisi bensin, sambil duduk bersila dan bersiul di atas bentor.
Hingga tiba-tiba, sebuah bayangan muncul dari arah belakang.
"Udah selesai isi bensinya, Pak?" tanya Kamila tanpa menoleh, belum menyadari bayangan siapa yang dilihatnya.
"Mau ke mana kamu, hem?"
Suara Gus Zainal tiba-tiba mengejutkan Kamila, gadis itu seketika terjingkat mendapati Gus Zainal telah berada di hadapannya.
"Loh, Gus? Kok bisa di sini?" tanyanya heran sambil celingukan ke kanan dan kiri.
"Gila ya ni orang, udah kayak Jin aja tiba-tiba nongol," kesal Kamila dalam hatinya.
"Harusnya saya yang nanya, kenapa kamu ada di sini?" balas Gus Zainal dengan raut wajah kesalnya.
Kamila memalingkan muka, merasa kesal sebab usahanya gagal. Ia lalu berusaha keluar dari bentor, namun Gus Zainal segera mencegah dengan menghadangnya.
"Eits, mau ke mana?" tanya Gus Zainal dengan kedua tangan terbuka, bersiap menangkap Kamila kalau saja gadis itu berniat kabur lagi.
"Pergi lah! Kenapa? Mau meluk aku? Sini kalau berani!" tantang Kamila sengit.
"Tetap diam di situ!" titah Gus Zainal.
"Ogah!" Kamila tetap memaksa, namun usahanya gagal sebab dengan sigap Gus Zainal menghalangi.
"Apaan sih, Gus?" tanya Kamila kesal.
"Geser!" titah Gus Zainal.
"Mau ngapain, Gus?" tanya Kamila.
"Saya mau duduk!"
"Ih, ogah! Enak aja! Ini bentor aku yang sewa ya, Gus! Gus cari aja sana bentor yang lain," balas Kamila enggan menurut.
"Cepat geser, Kamila!" titah Gus Zainal sekali lagi, dengan penuh penekanan. Akhirnya, walau kesal, Kamila pun menggeser posisnya. Sudah kepalang basah, ia hanya bisa pasrah, mau kabur pun sudah pasti susah.
"Loh kok penumpangnya jadi ada dua?" tanya tukang bentor heran saat kembali setelah membayar bensin.
"Kembali ke indoapril ya, Pak!" titah Gus Zainal tanpa menjawab.
"Siap, Mas," jawab tukang bentor kemudian mulai menjalankan bentornya.
Suasana di bentor masih sunyi, hanya terdengar suara mesin bentor yang memang sangat nyaring di telinga. Sejak bentor dijalankan, Kamila hanya terdiam, mengalihkan pandangan ke arah berlawanan. Tampak sekali wajahnya menunjukkan kekesalan.
"Sebenarnya mau kamu apa sih, Kamila?" tanya Gus Zainal mencoba membuka pembahasan setelah suasana cukup kondusif.
"Aku kan udah bilang, aku mau Gus tolak perjodohan kita, tapi Gus malah nggak mau diajak kerja sama!" sungut Kamila.
"Saya tidak bisa menolak begitu saja tanpa alasan yang jelas, Kamila!" Gus Zainal mencoba menjelaskan dengan sabar.
Kamila hanya mendengus kesal.
"Gini, deh, Kita buat perjanjian saja gimana?" tawar Gus Zainal membuat Kamila penasaran.
"Perjanjian gjmana, Gus?" tanya Kamila terlihat antusias.
"Saya akan turuti permintaan kamu, tapi dengan syarat." Gus Zainal mulai memberikan penawaran.
"Apa syaratnya, Gus?" sahut Kamila berbinar, merasa Gus Zainal mulai bisa diajak kompromi.
"Syaratnya, beri saya waktu selama 40 hari, kita jalani dulu perjodohan ini selama 40 hari ke depan dengan sebagaimana mestinya, dan selama itu juga, kamu harus mengikuti kemauan orang tua kita, untuk menetap di pesantren dan mengikuti program-programnya." Gus Zainal mulai menyampaikan rencananya.
"Lalu setelah itu?" tanya Kamila.
"Setelah itu, keputusan ada di tangan kamu. Jika setelah 40 hari kamu masih dengan keputusan kamu untuk menolak perjodohan ini, saya akan ikuti kemauan kamu. Saya akan meminta pada orang tua saya untuk membatalkannya. Setidaknya saat itu saya sudah punya alasan untuk menolak. Gimana?" jawab Gus Zainal.
"Hanya 40 hari, kan?" tanya Kamila memastikan lagi.
"Ya, hanya 40 hari, dan kita berdamai selama itu. Kita saling bekerja sama untuk kompak menjalani perjodohan ini dengan sepenuh hati, khususnya saat di depan kedua orang tua kita," lanjut Gus Zainal lagi.
Kamila tampak berpikir, "Bener juga sih apa kata Gus Zainal, dengan begitu aku pun bisa punya alasan di depan Ayah dan Bunda saat menolak perjodohan ini nanti. Setidaknya Ayah dan Bunda nggak bisa maksa aku, sebab aku sudah menuruti mereka untuk mencoba menjalani perjodohan ini," batin Kamila.
"Oke, Gus. Soal menjalani perjodohan selama 40 hari aku setuju. Nggak ada salahnya juga, toh cuma 40 hari 'kan? Setelah itu aku bebas. Tapi aku keberatan soal harus mesantren selama itu, Gus." Kamila mencoba menawar lagi penawaran Gus Zainal.
"Apa yang membuat kamu keberatan?" tanya Gus Zainal mencoba memahami keinginan Kamila. Sebab memaksa Kamila pun percuma, yang ada gadis itu akan terus memberontak.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
