Menjadi Janda di Malam Pertama (Bab 6-10)

0
1
Deskripsi

Bab 6-10

Bab 6 MJDMP

Anjani POV

Aku menutup pintu kamar saat Ummi Fahira baru saja keluar dari ruangan ini. Ruangan dengan ukuran yang cukup luas jika dibandingkan dengan kamarku di kampung.

Bagiku ini cukup mewah untuk sekelas kamar pembantu, walaupun minimalis, tapi semua lengkap tersedia di sana. Ada lemari baju, meja rias dan juga TV berukuran 24 inch, bahkan di kamar ini juga tersedia kamar mandi lengkap dengan WC-nya.

Keluarga ini memang sangat baik, mereka sangat menghargai orang lain. Kekayaan tidak membuat mereka bersikap congkak bahkan semena-mena terhadap orang kecil.

Bagaikan langit dan bumi jika dibandingkan dengan Supeno. Orang yang mendadak kaya karena warisan sehingga menjadi latah. Berlaku seolah dia yang paling berkuasa, seenaknya sendiri menindas orang-orang lemah yang berada di bawahnya.

Padahal jika dihitung, mungkin kekayaan Supeno hanya seujung jari dari harta milik bib Ahmad dan Ummi Fahira.

Ternyata memang benar, semakin berilmu seseorang, membuatnya semakin beradab. Ibarat padi yang semakin berisi semakin merunduk. Bukan seperti tong, yang kosong, hanya besar bunyinya, tapi zonk isinya.

Hanya syukur yang dapat kupanjatkan saat ini, entah apa yang Allah rencanakan pada hidupku. Aku tiba-tiba terlempar pada takdir yang sama sekali tak pernah terpikirkan olehku. Terjerumus ke lembah penderitaan, kemudian terbawa arus hingga sampai di tempat yang seolah menjanjikan kebahagiaan.

Bukan aku tak pernah memikirkan pernikahan,  sebagai gadis yang mengalami pubertas, aku pun memiliki keinginan untuk menikah, membayangkan pernikahan sederhana nan indah bersama pasangan pilihanku dan hidup bersamanya hingga menua, ini adalah harapan terbesarku, bahkan mungkin harapan setiap gadis yang belum menikah.

Akan tetapi takdir seperti merusak imajinasi indahku. Pernikahan itu akhirnya terjadi tanpa persetujuanku. Aku dipaksa menikah dengan lelaki bringas yang sama sekali tidak kuinginkan demi membayar hutang paman yang konon disebabkan oleh ku.

Sejak kecil, aku memang dirawat oleh paman dan bibiku, sebab orang tuaku sudah tiada sejak aku masih balita. Dulu kukira paman dan bibi sengaja merawatku sebab mereka begitu menyayangiku, mengingat mereka juga tak memiliki anak. Akan tetapi, semakin ke sini aku semakin ragu, terlebih saat aku tahu paman menikahkanku dengan Supeno sebagai tebusan atas hutang-hutangnya.

Aku tahu, hutang itu memang tanggunganku, sebab paman mempergunakannya untuk biaya operasiku, yang bahkan sampai saat ini membuatku heran, apa motiv di balik keputusannya itu?

Mengapa paman tak membiarkanku buta saja? Mengapa harus berhutang demi membuatku dapat kembali menikmati keindahan dunia? Padahal aku tahu, hidup kami cukup susah untuk sekedar makan saja.

Andai aku aku bisa memilih, antara buta dan menikah dengan Juragan Supeno, sungguh aku akan memilih buta selamanya, dari pada harus menjadi istri yang melayani manusia sepertinya.

Namun, apa yang terjadi semalam, membuatku sakit sekaligus bersyukur, seperti yang Bu Ambar katakan, setidaknya hikmah dari kejadian ini aku bisa terlepas dari Supeno, walaupun dengan cara yang begitu menyakitkan.

Aku dipermalukan di depan banyak orang di malam pertamaku. Dia mengataiku cacat sebagai seorang istri tanpa lubang kenikmatan. Entah apa yang terjadi malam itu, mengapa Juragan Supeno tidak berhasil melakukannya, aku pun tak tahu.

Benarkah aku gadis cacat seperti yang Supeno katakan? Sedangkan selama ini aku sama sekali tidak merasakan kekurangan itu ada pada diriku.

Tapi yang jelas, ini jalan Tuhan untuk menyelamatkanku dari pernikahan ini. Walaupun tak dapat kupungkiri, bahwa pernyataan Supeno begitu mengganggu pikiranku.

Sebaiknya aku fokus pada pekerjaan baru, sejenak melupakan apa yang telah terjadi dalam hidupku.

Tadi, Ummi Fahira mengajakku berkeliling ke setiap sudut ruangan yang ada di rumah ini, menjelaskan satu persatu apa yang menjadi tugasku selama bekerja di sini.

Tidak berat, hanya pekerjaan rumah yang memang sehari-hari biasa aku lakukan, bahkan aku terbiasa bekerja yang lebih berat dari ini, terjun langsung ke sawah untuk membantu Paman dan Bibi bercocok tanam.

Di sini aku sadar, bahwa Tuhan mengujiku untuk memberikan kehidupan yang lebih baik bagiku. Setidaknya di tempat ini aku akan memulai merajut asa dan meraih cita-cita yang tertunda, dan yang terpenting, aku akan membuktikan pada semua orang bahwa aku tidak lemah.

Kubaringkan tubuh di kasur yang akan menemani malam-malamku, nyaman, itu yang aku rasakan.

Aku memandang setiap sudut dari ruangan ini, rumah ini mewah, megah, akan tetapi isinya hanya ada Ummi Fahira, Zahira dan Bib Ahmad.

Setelah berkeliling aku benar-benar tak mendapati tanda-tanda keberadaan ibunya Zahira. Bahkan sekedar foto keluarga yang bisa memuaskan rasa kepoku pun tak kutemukan.

Entahlah, bagaimana mungkin rumah semegah ini tidak menjadikan foto keluarga sebagai pajangan yang menambah kecantikan desain interiornya.

Sepanjang aku berkeliling, yang kutemukan hanya lukisan-lukisan abstrak atau kaligrafi yang dipajang di pigora-pigora besar sebagai hiasan.

Masih menjadi misteri, sebenarnya keluarga seperti apa yang menjadi majikanku kini. Mereka bahkan membebaskanku dari tugas membersihkan kamar pribadi dengan alasan agar tak ada buruk sangka di antara kami. Entah memang seperti itu adanya, atau justru karena alasan privasi.

Ah, sebaiknya aku tak boleh terlalu ingin tahu. Tugasku di sini adalah mengurus rumah, bukan mencari tahu seluk beluk pemilik rumah.

Aku harus paham batasan, mereka adalah majikan dan aku adalah ART, aku harus memahami batasan agar tak sampai terlalu masuk ke kehidupan pribadi mereka, demi kebaikan karirku.

Lebih baik sekarang aku beristirahat, memejamkan mata barang sejenak sepertinya akan begitu nikmat, tidur di lantai semalaman membuat tulangku terasa remuk redam.

Namun, saat baru saja mata ini terpejam, aku mendengar suara Zahira berlarian melintasi kamarku, sontak membuatku kembali terjaga.

"Zahira? Kenapa dia bermain-main di sekitar kamar ini?" batinku bertanya-tanya dalam kondisi separuh sadar.

Beberapa detik kemudian, aku tersadar, teringat akan dapur yang terletak tak jauh dari kamar ini.

Aku segera bangkit dari posisi semula untuk mengecek kondisi Zahira. Benar saja, bocah gembil itu sedang bermain-main di dapur.

Aku berjalan pelan ke arahnya, mengecek apa yang sedang dilakukannya di sana, ia yang sedang fokus bermain boneka wortel di atas talenan itu tidak menyadari kehadiranku. Sepertinya dia ingin bermain masak-masakan.

Tapi ini berbahaya jika tidak dalam pantauan, sebab ia menggunakan pisau sungguhan untuk memotong boneka wortelnya. Anak kecil memang rasa penasarannya sangat tinggi.

"Hai, Zahira," sapaku pelan namun berhasil membuatnya terjingkat dan reflek menyembunyikan pisau di balik tubuh mungilnya.

"Zahira lagi masak, ya?" tanyaku berusaha masuk ke dalam aktivitasnya.

Bocah gembil itu hanya melirikku, seperti sedang ketakutan aksinya akan ketahuan. Aku mulai memutar otak untuk mencari cara bagaimana bisa memantaunya bermain tanpa membuatnya ketakutan.

"Wah, Zahira suka masak ya? Sama lho, Mbak juga suka. Gimana kalau kita masak bareng?" tawarku.

Sejenak ekspresi wajah Zahira berubah, ia tampak berpikir dan menimbang tawaranku. Sedangkan aku memutuskan untuk menunggu tanpa mendesaknya. Menghadapi anak kecil sebenarnya bukan hal sulit bagiku yang bercita-cita menjadi guru TK.

"Emm ... Memangnya boleh? Mbak nggak marah?" tanyanya polos.

Aku tersenyum menanggapi pertanyaannya, mungkin selama ini orang-orang di sekitarnya selalu melarang Zahira untuk eksplor keinginannya bermain-main di dapur.

"Boleh, dong, Sayang. Kenapa nggak? Malah seru kan kalau kita masak bersama? Dulu waktu Mbak masih kecil juga senang bantu-bantu masak kayak kamu," jelasku mencoba mengakrabkan diri dengan Zahira.

"Beneran?"

"Iya, Sayang."

Bocah itu tampak tersenyum riang.

"Gimana, mau, kan?" tanyaku sekali lagi.

"Mau dong, Mbak. Kita mau masak apa?" tanyanya antusias.

"Eum ... Enaknya masak apa, ya? Tadi Zahira potong wortel kan? Gimana kalau kita masak sup? Zahira suka sup nggak?"

"Suka, Mbak." Bocah dengan mata bulat bak boneka itu menjawab cepat, cantik dan menggemaskan, tapi tidak mirip dengan daddy-nya, mungkin dia mirip ibunya.

"Ya udah, sekarang Zahira taruh dulu pisaunya, kita ganti dengan wortel yang asli ya, oke?" rayuku berharap Zahira mau melepaskan pisau dari genggamannya.

Namun saat Zahira belum sempat menjawab, teriakan Ummi Fahira terlebih dahulu mengejutkannya, membuat pisau yang semula digenggamnya, reflek ia lepas dan terjatuh di lantai.

"Zahira!"

Bab 07 MJDMP

"Zahira! Astaghfirullah, kenapa kamu bisa bawa pisau, Nak?" pekik Ummi Fahira terkejut melihat pisau yang terjatuh dari tangan Zahira.

Bocah itu kemudian memeluk kaki Anjani dan bersembunyi di belakangnya.

"Anjani, kenapa Zahira bisa bermain pisau?" tanya Ummi Fahira pada Anjani yang juga tampak kebingungan, gadis itu tak menjawab barang sepatah-kata pun.

Ummi Fahira lalu berjalan mendekati Zahira, berjongkok mensejajarkan tubuhnya dengan tinggi Zahira.

"Zahira, bisa kamu jelaskan pada Ummi?" tanyanya pelan, seraya meraih tangan mungilnya agar bocah itu mendekat ke arahnya.

"Ummi jangan marahin Mbak Anjani, ya. Dia nggak salah kok, Zahira yang salah," ucap bocah mungil itu dengan tatapan penuh permohonan. Sejenak membuat hati Anjani meleleh merasakan ketulusannya.

Hal yang berbeda justru dirasakan oleh Ummi Fahira. Nenek Zahira itu merasakan sesuatu yang berbeda dari cucunya, sebab ini kali pertama ia bisa dengan mudah akrab dengan seorang asing, terlebih dia adalah seorang wanita.

Yang ia tahu selama ini, Zahira adalah anak yang tertutup, ia selalu menolak orang baru yang masuk ke dalam kehidupannya. Terlebih jika orang itu memperkenalkan diri sebagai calon Mamanya, bagai ada pintu otomatis yang tertutup dalam hatinya.

Sikapnya yang selalu possesive pada sang Daddy membuatnya merasa sosok Mama hanya akan datang untuk merebut kasih sayang Daddy darinya. Lagi pula, kasih sayang dari Ummi sudah lebih dari cukup baginya.

Hal itu lah yang membuat Ahmad–anak lelakinya itu tak kunjung menikah hingga di usianya yang ke-35. Bagi Ahmad, pasangan tak hanya membutuhkan kecocokan untuk dirinya, melainkan juga untuk Zahira.

"Sayang, Ummi cuma nanya, Ummi nggak menyalahkan siapa-siapa kok, dan nggak akan marahin siapa-siapa juga," ucap Ummi Fahira tak ingin membuat cucunya ketakutan.

Perlahan Fahira melepas dekapannya pada kaki Anjani, dan mendekat ke arah neneknya.

"Maaf ya, Ummi, tadi Zahira main-main di dapur tanpa izin Ummi, soalnya Umminya tidur," terang Zahira berkata jujur.

Ummi Fahira tersenyum melihat sikap manis cucunya, "Ummi minta maaf ya, tadi Ummi ketiduran. Terus kenapa Zahira main di dapur, pakai bawa pisau lagi, kan bahaya, Sayang?" ucap Ummi Fahira pelan.

"Zahira mau bantu Mbak Anjani masak sup, Ummi. Ya, kan, Mbak?" Zahira melempar pertanyaan pada Anjani, membuatnya bingung dan gelagapan.

"Benar, Anjani?" tanya Ummi Fahira seraya memandang Anjani penuh tanya.

"I ... Iya, benar, Ummi," jawab Anjani sedikit terbata.

"Kamu yang ngajakin?" tanya Ummi Fahira sekali lagi.

"Emm ... tidak, Ummi, tadi saya datang, Zahira sudah di sini, sedang memotong wortel, jadi saya menawarkan diri untuk bergabung memasak sup," terang Anjani memberikan kode, berharap Ummi Fahira akan mengerti maksudnya.

Ummi Fahira mengangguk paham, lalu mencoba membujuk Zahira dengan mengalihkan perhatiannya ke permainan yang lain, akan tetapi cucunya itu menolak, ia tetap kekeuh ingin membantu Mbak Anjani memasak sup.

Tak ada pilihan lain, kaki sudah terlangkahkan, tangan sudah terjembakan, Ummi Fahira pun hanya bisa menyetujuinya.

"Zahira ini rasa penasarannya besar, Anjani. Sebab itu selama ini saya melarangnya untuk bermain di dapur, khawatir dia akan meminta bermain hal-hal yang membahayakannya. Terlebih tidak ada baby sitter yang akan terus memantaunya. Saya sendiri ya seperti ini, kadang kurang bisa maksimal dalam menjaga Zahira," terang Ummi Fahira dengan suara sedikit berbisik.

"Ummi tenang saja ya, InsyaAllah Zahira aman bersama saya, saya akan memantaunya terus."
Anjani mencoba meyakinkan majikannya bahwa cucunya akan baik-baik saja.

"Kamu yakin, Anjani? Apa nggak terlalu berbahaya untuk anak sekecil Zahira bermain-main di dapur?" Ummi Fahira bertanya sangsi, sebab walau ia sudah berumur, tapi ia tak berpengalaman merawat balita perempuan.

"Saya yakin, Ummi. Insya Allah aman, mungkin ini juga momen untuk menjawab penasaran Zahira dengan tetap dalam pantauan. Maaf, bukan saya bermaksud menggurui, Ummi, tetapi, dia akan terus penasaran kalau tidak merasa terpuaskan. Akan semakin bahaya kalau dia mencari kepuasan diam-diam sepertu tadi." Anjani mencoba memberikan pengertian berdasarkan apa yang ia amati dari anak-anak di kampungnya.

"Iya juga, kamu benar, Anjani," jawab Ummi Fahira membenarkan ucapan Anjani, ia lalu kembali beralih ke cucunya.

"Zahira mau masak sup?"

"Iya, Ummi."

"Ummi boleh bantu?"

"Ummi istirahat aja ya, biar nggak capek. Biar Zahira sama Mbak Anjani aja yang masak untuk Ummi. Kata Daddy kan Ummi nggak boleh capek-capek, nggak boleh kerja berat," jawab Zahira dengan gaya bicara layaknya orang dewasa, menirukan ucapan sang Daddy tiap kali berpesan pada Umminya, sungguh terdengar menggemaskan.

Ummi Fahira juga Anjani tersenyum melihat tingkah bocah lima tahun di hadapan mereka.

"Oh, begitu, ya? Kalau begitu Ummi tunggu di ruang makan aja, ya?"

"Oke, Ummi," jawab Zahira bersemangat.

Ummi Fahira segera berlalu untuk memberi ruang pada Zahira dan Anjani. Memantau dari kejauhan aktivitas yang tengah mereka lakukan.

Zahira dan Anjani terlihat akrab, Anjani begitu pandai masuk ke dalam dunia Zahira. Gadis itu dengan penuh ketelatenan menjelaskan pada Zahira pekerjaan apa yang boleh dilakukannya di dapur, dan apa saja yang tidak boleh dilakukannya.

Ia juga melibatkan Zahira dalam pekerjaan sesuai dengan porsinya, sehingga tidak membuat bocah itu merasa bosan dan menjadi sibuk sehingga tidak sempat penasaran dengan pekerjaan lainnya.

Seperti saat ini, Anjani memberi Zahira tugas untuk membersihkan kentang yang sudah dikupasnya dengan merendam dan menggosoknya di dalam air yang sudah disiapkan di baskom. Tentu hal itu membuat anak kecil bahagia, selain ia merasa berkontribusi dalam pekerjaan memasak, ia pun senang bisa bermain air.

Sesekali keduanya tampak bercanda dan saling tertawa, membuat Ummi Fahira menjadi yakin bahwa Zahira akan aman di bawah pantauan Anjani.

Diam-diam Ummi Fahira merekam aktivitas cucunya, setelah kira-kira mencapai durasi satu menit, ia menghentikan rekamannya. Kemudian mengirimkannya ke Daddy Zahira.

Sedangkan di tempat lain, dr. Ahmad yang baru saja sampai di tempat seminar pertamanya, menyempatkan diri untuk mengecek handphone. Memastikan apakah ada chatt penting sebelum ia sibuk dan tak sempat memantau hp.

Benar saja, sebuah notifikasi masuk ke ponselnya, tentu saja itu dari Ummi tercinta, sebab tidak ada orang terdekat selain sang Ummi dan putrinya.

Uminya itu selalu mengirimkan foto dan video aktivitas Zahira sebagai obat rindu di saat ia tengah berada jauh dari putrinya.

Ahmad tersenyum saat melihat sebuah video yang dikirim oleh Umminya. Cepat-cepat ia mendownload, tak sabar ingin segera menyaksikan tingkah lucu putrinya.

Beberapa saat kemudian, ekspresi wajahnya terlihat bahagia sekaligus terheran melihat video yang tengah diputarnya.

"Zahira ... Anjani ... Kenapa mereka bisa cepat sekali akrab?" batin Ahmad bertanya-tanya.

Ia tersenyum simpul menyaksikan Anjani yang dengan telaten mengajari putrinya banyak hal, putrinya itu terlihat sangat nyaman dan bahagia.

"Dua tahun lamanya aku hampir frustasi mencari Mama untuk Zahira, sudah berapa banyak perempuan yang ditolaknya tanpa kata tidak. Zahira selalu menunjukkan penolakannya dengan sikap tidak bersahabat di depan perempuan-perempuan yang sengaja Ummi bawa sebagai calon Mama untuk Zahira.

Bahkan puluhan baby sitter yang aku pekerjakan selalu terpaksa kuhentikan paksa, sebab mereka yang tak kunjung bisa meluluhkan hati putri kecilku itu.

Tapi Anjani? Apa yang dilakukannya pada Zahira? Sehingga bocah itu bisa cepat akrab dengannya?" pertanyaan demi pertanyaan bermunculan di benak Ahmad.

"Anjani ... Gadis muda yang baru saja melamar menjadi ART di rumah, siapa dia sebenarnya? Dari mana asalnya? Dan ... Mengapa ia mengambil pekerjaan itu di usianya yang masih belia?"

Bab 8 MJDMP

Dua hari kemudian.

Waktu menunjukkan pukul 19.00 saat Anjani tengah sibuk menyiapkan makan malam. Ditemani gadis kecil yang kini telah menjadi sahabat barunya di rumah ini. Sahabat sekaligus majikan yang membuat hari-harinya terasa indah dan berwarna.

Zahira, ia senang sekali ikut menyibukkan diri membantu Anjani. Putri habib Ahmad itu sangat kritis, rasa penasaran dan ingin tahunya begitu tinggi. Dia selalu ingin mencoba hal baru, dan hanya Anjani yang mampu memahaminya, dengan memberinya kesempatan untuk mencoba, namun tetap dalam pengawasannya.

Hal itu lah yang membuat Zahira merasa menemukan sosok sahabat yang bisa memahaminya. Selama ini, yang ada dalam benaknya, orang-orang dewasa hanya akan membatasi geraknya, dengan selalu melarangnya untuk melakukan ini dan itu atas nama cinta.

Tetapi, bersama Anjani, Zahira menemukan dunia baru, dunia yang selama ini ia rindukan, dunia yang memberinya kebebasan untuk mengeksplor segala sesuatu yang membuatnya penasaran.

Hal itu disadari oleh Ummi Fahira, di awal-awal, nenek Zahira itu merasa khawatir melihat cucunya dekat dengan Anjani yang ia nilai terlalu memberinya kebebasan.

Akan tetapi, lama kelamaan, Ummi Fahira mulai memahami pola asuh Anjani, dan kekhawatirannya berangsur berkurang, berganti dengan keyakinan bahwa Zahira akan aman bersama Anjani, terlebih saat melihat cucunya merasa nyaman bersamanya.

"Zahira nggak sabar deh pengen Daddy buruan cobain masakan kita, Mbak. Pasti Daddy seneng banget, sebab gurame asam manis kan makanan favoritnya," celetuk Zahira sambil memberi saus asam manis di atas gurame goreng yang sudah disiapkan Anjani.

Hari ini Anjani memasak menu gurame asam manis, ia sengaja memasak menu kesukaan bib Ahmad bermodalkan informasi yang ia dapatkan dari Zahira. Majikan kecilnya itu benar-benar menjadi teman sharing terbaiknya dalam mengenal lebih jauh selera penghuni rumah.

"Semoga Daddy suka ya, Sayang." Anjani menyahuti.

"Aku sih yakin Daddy bakal suka, Mbak. Apalagi masakan Mbak Anjani enak banget, kemarin yang sop aja enak banget, Zahira suka." Zahira yang polos terus berceloteh, ucapannya yang begitu jujur memuji Anjani berhasil membuatnya besar kepala, semakin percaya diri bahwa ia akan berhasil menjadi ART yang dapat diandalkan.

"Mbak, udah selesai nih kasih sausnya," lapor Zahira.

"Oh, sudah selesai, ya? Ya sudah, berarti pekerjaan kita sudah selesai. Zahira boleh makan atau kalau mau nunggu Daddy dan Ummi dulu juga boleh," ucap Anjani memberi opsi.

"Aku nugguin Ummi sama Daddy aja deh, tadi Ummi bilang Daddy dah mau sampai, kok."

"Oke, kalau gitu Mbak tinggal beresin dapur dulu, ya?" pamit Anjani.

"Ntar dulu deh, Mbak, temenin Zahira ngobrol dulu, ya? Soalnya Zahira sendiri nih, Ummi kan masih sholat," pinta Zahira dengan nada manja khas kanak-kanak.

Anjani tersenyum, kemudian menarik kursi di sisi Zahira, duduk di sana untuk menemani sang majikan cilik mengobrol sembari menunggu Ummi dan Daddynya bergabung.

"Eum ... Zahira, boleh nggak Mbak nanya sesuatu?" tanya Anjani pada bocah yang tengah memandangi masakan hasil karyanya.

"Nanya apa, Mbak?" balas Zahira.

"Mbak pengen tahu, kenapa Zahira suka sekali bantuin Mbak di dapur?" tanya Anjani.

"Oh ... Itu, sebab Zahira ingin belajar masak, Mbak. Zahira pengen jadi anak yang jago masak," jawab Zahira sembari mengayun-ayunkan kakinya yang menggelantung di kursi.

"Kenapa begitu? Maksud Mbak, kenapa Zahira ingin sekali jago masak?" tanya Anjani ingin lebih mengenal sosok Zahira cilik di hadapannya.

"Supaya bisa masakin Daddy," jawab Zahira singkat, padat dan jelas.

"Waahh ... Anak yang baik," puji Anjani seraya mengusap kepala Zahira, sayang.

"Iya dong, Mbak. Zahira harus jadi anak yang baik, selain pintar di sekolah, Zahira juga harus pintar masak, supaya Daddy makin sayang sama Zahira.

Soalnya Daddy kan nggak ada Mama yang bisa masakin. Zahira juga nggak mau kalau Daddy dimasakin Mommy baru, jadi Zahira harus pandai memasak." Bocah kecil itu menjawab apa adanya, polos dan terkesan sederhana, akan tetapi sarat akan makna, terlebih saat hal itu diucapkan oleh gadis seusianya.

"Memangnya kenapa Zahira nggak mau dimasakin sama Mommy baru?" tanya Anjani mulai kepo.

"Nggak mau ah, Mbak. Zahira nggak mau punya Mommy baru. Nanti Daddy nggak sayang Zahira lagi." Bocah dengan hidung bangir itu mendadak ngegas mengungkapkan rasa tidak setujunya akan memiliki Mommy baru.

Melihat itu Anjani hanya tersenyum, "Zahira terlihat sangat posesif sama Daddynya, pasti figur seorang Daddy di benaknya begitu istimewa. Ah, bib Ahmad memang istimewa dari segala sisi," batin Anjani yang malah memikirkan bib Ahmad.

"Nggak apa-apa, kan? Mengangumi seorang habib yang merupakan keturunan Rasul. Bukankah hal itu sama halnya kita sedang mengagumi kakeknya?" batin Anjani mencari pembenaran atas apa yang ia rasakan, sambil mesam-mesem sendiri.

"Mbak, kenapa senyum-senyum sendiri?" celetuk Zahira mengejutkan Anjani.

"Oh, nggak apa-apa, Sayang. Tadi kebetulan Mbak teringat sesuatu yang lucu." Anjani mulai beralibi. Mana mungkin dia mengakui apa yang sebenarnya terjadi? Bisa-bisa perang dingin di antara dia dan Zahira akan terus terjadi sepanjang hayatnya di rumah ini.

"Oh, gitu." Zahira menyahut paham. Bersamaan dengan itu, Ummi Fahira yang sedang berjalan menuju ruang makan menghentikan langkahnya, saat melihat Zahira dan Anjani sedang asyik mengobrol.

Rasa ingin tahu akan apa yang sedang mereka bahas membuat Ummi Fahira memutuskan untuk mengurungkan niatnya, dan lebih memilih untuk diam di tempat mendengarkan percakapan Anjani dengan cucunya.

"Iya, Sayang. Kita lanjut ceritanya yuk!" ajak Anjani.

"Cerita apa, Mbak?"

"Soal yang tadi, kenapa Zahira beranggapan kalau punya Mommy baru akan membuat Daddy nggak sayang lagi sama Zahira?" tanya Anjani mencoba mengulik lebih dalam isi hati putri majikannya.

"Menurut Zahira, apa untungnya punya Mommy baru? Dia hanya akan datang untuk mengurangi porsi kasih sayang Daddy buat aku." Gadis cilik itu kemudian mengambil sebuah apel yang disediakan di meja.

"Anggap aja Zahira punya apel ini hanya satu, kalau harus dibagi, maka jatah untuk Zahira akan berkurang, kan? Sama seperti Daddy, Zahira cuma punya Daddy satu, kalau harus dibagi nanti jatah Zahira berkurang, dong?" Zahira menjawab pertanyaan Anjani dengan menyertakan argumennya.

Pola didik Daddy yang selalu mengajarkannya untuk memiliki alasan dalam setiap keputusan membuatnya terbiasa berargumen secara logika. Tentu saja hal itu membuat Anjani begitu takjub.

"Masya Allah, bocah di hadapanku ini bukan sembarangan bocah. Pola pikir yang terbentuk dalam dirinya begitu mengagumkan. Zahira berbeda dengan anak-anak seusianya. Entah seperti apa Bib Ahmad mendidiknya?

Memang benar, kualitas nggak pernah salah. Keturunan bunda Fathimah Azzahra pasti lah mengagumkan seperti neneknya, bahkan Siti Fathima RA melaksanakan pernikahan di awal usia balighnya, maka bukan hal yang aneh jika keturunannya mendapatkan kedewasaan lebih awal seperti neneknya.

Ada darah Siti Fathimah RA yang mengalir di tubuh Zahira sebagai pengikat, dan hal itu tak bisa ditampik dengan apapun." Anjani terdiam dalam kekagumannya.

Ia memutar otak untuk menanggapi ucapan Zahira, agar apa yang akan ia sampaikan nanti sesuai dengan porsinya. Anjani kemudian teringat akan materi kajian yang sempat ia dengar dari seorang ustadz di masjid, tentang ayat yang menjelaskan perumpamaan seorang istri untuk suaminya seperti ladang. (QS. Al Baqarah. 223)

"Zahira tahu nggak? Allah mengibaratkan keberadaan seorang Mommy untuk Daddy itu seperti sebuah ladang.

Jadi, ketika Zahira mengibaratkan Daddy seperti apel ini, maka yang akan Daddy berikan untuk ladangnya adalah biji, sebagai benih yang akan ditabur di sana. Sedangkan porsi apelnya tetap tidak akan pernah berkurang.

Dan Zahira bisa bayangkan, apa yang akan terjadi kemudian? Jika Daddy berhasil menanam biji apelnya, lalu tumbuh menjadi pohon baru, maka Daddy akan menghasilkan apel baru untuk Zahira.

Misalnya, adik-adik baru untuk Zahira, keluarga dan kerabat baru untuk Zahira, dan lain-lain, sehingga, dengan kehadiran mereka, kasih sayang yang didapatkan Zahira pun akan berlipat ganda.

Tidak hanya dari Daddy, tetapi dari pohon dan juga buah apel yang lainnya nanti." Anjani mencoba menjelaskan dengan bahasa seringan mungkin, berharap agar Zahira mampu mencernanya.

Benar saja, bocah berkulit bak susu itu kini terlihat berpikir, mencoba memahami apa yang Anjani ucapkan padanya.

Namun, belum sempat Zahira menanggapi ucapannya, suara salam dari arah depan membuyarkan segalanya.

"Assalamualaikum ...."

Bab 09 MJDMP

"Assalamualaikum ...." suara seorang lelaki yang tak asing di telinga Anjani terdengar menggema mengucapkan salam.

"Daddy!" pekik Zahira kegirangan. Bocah itu turun dari kursinya dan berlari menghampiri Daddy-nya dengan kecepatan cahaya.

Melihat putrinya berlari menghampirinya, dr. Ahmad segera meletakkan barang bawaannya, lalu merentangkan kedua tangannya, demi menyambut putri tercinta.

Kini bocah dengan kecerdasan di atas rata-rata itu sudah berada dalam gendongan Daddy-nya. Menciumi pipi lelaki yang ditumbuhi jambang yang terlihat terawat dan rapi.

"Daddy ... Zahira kangen ...." Zahira berucap manja.

dr. Ahmad hanya tersenyum melihat putrinya, "Jawab salam dulu, Sayang," ucapnya mengingatkan seraya mencubit gemas ujung hidung mancung Zahira.

"Waalaikumsalam, Daddy," jawabnya riang dengan nada menjawab salam khas anak-anak.

"Nah, gitu dong, ini baru anak Daddy yang cantik," jawab dr. Ahmad seraya mencium pipi gembil Zahira penuh kerinduan. "Daddy juga kangen banget sama Zahira," balas dr. Ahmad membuat gadis dalam gendongannya itu tersenyum bahagia.

"Gimana kerjaannya, Nak? Lancar?" tanya Ummi Fahira yang tiba-tiba bergabung dengan anak dan cucunya.

"Ummi ...." dr. Ahmad berjalan mendekati sang Ummi untuk mencium tangannya sebagai bentuk takdzimnya. "Alhamdulillah, lancar semua, Ummi, hanya sedikit macet aja tadi dari arah Bandara, mangkanya jadi agak telat sampainya, Maaf, ya," terang putra Ummi Fahira tersebut.

"Nggak apa-apa, yang terpenting kamu sampai rumah dengan selamat, itu sudah membuat kami semua lega," jawab Ummi Fahira.

"Iya, Zahira seneng banget akhirnya Daddy sampai juga. Zahira dah nggak sabar mau ajakin Daddy nyicipin masakan Zahira," celoteh Zahira membuat Ummi Fahira terhibur. Ia menyaksikan sendiri betapa sejak tadi cucunya itu sibuk mempersiapkan hidangan untuk menyambut kedatangan Daddy-nya.

"Zahira masak?" tanya dr. Ahmad pura-pura tak tahu, padahal ia selalu memonitoring aktivitias putrinya melalui informasi yang diberikan Ummi Fahira.

"Hehe, Zahira bantuin Mbak Anjani aja sih, Dad. Baru belajar. Nanti kalau sudah bisa, pasti Zahira akan masakin Daddy," jawabnya jujur.

"Wah, hebat putri Daddy. Ya sudah, kita makan sekarang, yuk?" ajak dr. Ahmad yang disetujui oleh Zahira dan Ummi Fahira.

Ketiganya lalu berjalan menuju dapur untuk mencuci tangan, kemudian segera menuju meja makan untuk makan malam bersama.

Sedangkan Anjani yang semula hanya terdiam di sana menonton drama keharmonisan keluarga yang tak lengkap itu segera tersadar dan mengetahui apa yang harus ia lakukan.

Anjani berdiri di ujung meja makan, mempersilakan para majikan untuk menikmati hidangan makan malam yang sudah disajikannya.

Sesaat pandangan Anjani dan dr. Ahmad saling bertemu, sebelum kemudian Anjani mengangguk seraya tersenyum hormat sebagai caranya menyapa sang majikan, setelah itu ia  menundukkan pandangan.

"Akhlak juga ni anak," batin dr. Ahmad memberi penilaian, seraya mendudukkan Zahira di kursinya.

"Hai, An, gimana kabarnya? Aman semua ya selama saya nggak ada?" sapa dr. Ahmad dengan memandang Anjani lekat, sembari menggerakkan tangannya untuk membuka kancing teratas juga kancing tangan dari kemeja putih yang ia kenakan.

Pandangan itu tentu saja membuat Anjani salah tingkah. Sebagai gadis normal, tentu saja darahnya berdesir merasakan pandangan lelaki dengan wajah bak malaikat itu.

"Astaghfirullah dr. Ahmad! Bisa nggak sih nggak usah ngelihatin kayak gitu? Kan nggak kuat jantung ini dilihat mata setampan itu.

Tetap tenang, Anjani! Kamu nggak boleh seperti ini. Jangan terlalu berlebihan mengagumi ketampanan manusia, ingatlah, penciptanya jauh lebih indah!" batin Anjani menasihati diri sendiri, menghindarkan dirinya dari zina mata yang dapat membahayakannya.

"Alhamdullillah, semuanya aman, Bib," jawab Anjani seraya menundukkan pandangannya.

"Terima kasih, ya, sudah banyak membantu Ummi menjaga Zahira," ucap dr. Ahmad tanpa basa-basi.

Sedangkan Anjani terlihat bingung mendengar ucapan majikannya. Bingung memikirkan dari mana bib Ahmad mengetahui aktifitasnya. Sejenak terbesit dipikirannya sebuah anggapan bahwa bib Ahmad adalah seorang cenayang, namun ia segera menepisnya.

"Sudah nggak usah dipikirin, lebih baik sekarang kita makan. Yuk, mari!" ucap dr. Ahmad mempersilakan Anjani, seraya menarik kursi untuk ia duduki.

"Bentar-bentar, ini sebenernya yang ART siapa, ya? Kenapa justru aku yang dipersilakan untuk makan? Bukannya kebalik?" batin Anjani merasa heran.

"Kenapa masih berdiri di sana? Ayu duduk, kita mulai makan malamnya," ucap dr. Ahmad lagi seraya menyendokkan nasi ke piringnya.

"Eum, maaf, Bib, tapi saya di dapur saja, masih banyak pekerjaan yang harus saya lakukan. Silakan Habib dan keluarga saja yang menikmati." Anjani menolak ajakan bib Ahmad dengan halus.

"Pekerjaan bisa dikerjakan nanti, makanlah terlebih dahulu, tidak etis rasanya seluruh anggota keluarga menikmati hidangan, sedang di waktu bersamaan membiarkan orang di tempat yang sama kelaparan," jawab bib Ahmad  diplomatis.

"Iya, Mbak, makan dulu aja, sini duduk di samping Zahira." Putri dr. Ahmad turut menimpali, sungguh kolaborasi yang begitu kompak.

Sedangkan Ummi Fahira hanya memberikan perintah melalui isyarat kepalanya. Beliau menganggukkan kepalanya meminta Anjani mengambil posisi untuk duduk.

Tak dapat lagi menolak, akhirnya Anjani menarik kursi di sisi Zahira, dan ikut menikmati makanan yang tersaji di meja.

Setelah memastikan Anjani duduk di sisi Zahira, dr. Ahmad memulai aktifitas makannya diikuti oleh yang lain.

dr. Ahmad terlihat bersemangat menikmati menu ikan gurame asam manis favoritnya.

"Masakan Anjani enak juga, perpaduan bumbunya bisa pas di lidah, nggak kurang dan nggak lebih," batin dr. Ahmad memberi pujian.

"Gimana, Dad? Enak nggak masakannya?" celetuk Zahira membuyarkan keheningan.

"Enak banget, Sayang, makasih, ya?" jawab dr. Ahmad apa adanya.

Gadis cilik itu terlihat bahagia, kemudian menoleh ke arah Anjani seraya mengangkat kedua jempolnya. Tentu saja tingkah lucunya itu mengundang senyuman semua orang di sana.

"Makasih sama mbak Anjani juga dong, Dad, kan dia yang masak," pinta Zahira.

"Iya, Sayang. Terima kasih ya, An, masakan kamu enak, saya suka," ucap dr. Ahmad tulus memuji masakan Anjanj. Entah mengapa hal itu membuat hati Anjani berbunga-bunga.

"Sama-sama, Bib," jawab Anjani seraya tersenyum, menampilkan lesung pipinya yang tercetak dalam, terlihat sangat manis.

Mereka semua lalu melanjutkan makan malam dalam keheningan, menerapkan adab agar tak banyak bicara saat makan.

Setelah selesai makan, dr. Ahmad bepamit lebih dahulu untuk membersihkan badannya. Tetapi, sebelum dr. Ahmad beranjak, Ummi Fahira menghentikan langkahnya.

"Setelah bersih-bersih kamu ke kamar Ummi sebentar, ya? Ada yang ingin Ummi bicarakan sama kamu," pinta Ummi Fahira pada putranya.

"Iya, Ummi," jawabnya yang selalu patuh pada Umminya.

Setelah itu ia berlalu meninggalkan meja makan, tak lupa menyempatkan mengusap kepala Zahira, sayang. Ia selalu melakukan phisichal touch dengan putrinya untuk membangun bonding agar lebih kuat.

Sementara dr. Ahmad kembali ke kamarnya, Ummi Fahira pun melakukan hal yang sama, sedangkan Zahira memilih menemani Mbak Anjani membereskan meja makan sambil memperhatikan setiap aktivitas yang dilakukannya.

Setelah mandi dan berganti baju, dr. Ahmad segera menemui Umminya di kamar. Tak ingin membuat azimat satu-satunya di dunia ini menunggu lebih lama.

"Ummi," panggilnya seraya memasuki kamar Ummi Fahira yang tidak tertutup pintunya.

"Eh, Nak. Sudah selesai? Sini," jawab Ummi Fahira yang sedang membaca Al Qur'an di ranjangnya seraya menepuk tempat di sisinya.

Putranya itu segera berjalan dan duduk di sisi Ummi Fahira. Ummi menutup Al Qur'an di tangannya, menciumnya pelan sebagai bentuk rasa cintanya, lalu meletakkannya di nakas.

"Ummi mau bicara soal apa sama Ahmad?" tanya dr. Ahmad to the point, ia paham betul jika apa yang akan dibicarakkan oleh Umminya adalah suatu hal yang penting, sebab jika tidak, ia tidak mungkin sampai di minta untuk ke kamarnya.

"Ini soal Zahira dan Anjani," jawab Ummi Fahira seraya melepas kacamata yang dikenakannya, kemudian meletakkan di nakas.

"Zahira dan Anjani? Ada apa dengan mereka, Mi?" tanya dr. Ahmad yang belum menangkap arah pembicaraan sang Ummi.
 

Bab 10 MJDMP

"Ada apa dengan mereka, Mi?" tanya dr. Ahmad yang belum menangkap arah pembicaraan sang Ummi.

"Dua hari ini Ummi memperhatikan kedekatan mereka, Nak, ya ... seperti beberapa video yang sempat Ummi kirim ke kamu, mereka terlihat akrab.

Ummi senang lihat cara pendekatan Anjani pada Zahira, dia bisa masuk ke dunia Zahira tanpa membuatnya merasa terancam dan tidak nyaman. Bahkan, Ummi lihat, Anjani banyak memberikan pengaruh positif pada Zahira.

Begitu juga sebaliknya, Zahira juga terlihat nyaman bersama Anjani. Dia banyak bertanya dan bercerita, terlihat tidak canggung, padahal Anjani termasuk orang asing baginya.

Dari sini, Ummi jadi berpikir, apa tidak sebaiknya kita ganti posisi Anjani saja, ya?" Ummi Fahira mengakhiri penjelasannya dengan sebuah pertanyaan yang jelas, namun seolah memiliki makna tersirat.

"Maksud Ummi kita minta Anjani jadi Baby sitter untuk Zahira? Dan kita mencari ART baru untuk menggantikannya, apa begitu?" tanya dr. Ahmad menanggapi.

"Ya, itu salah satu opsi. Tapi ada opsi lainnya." Ummi Fahira menjawab dengan ungkapan yang menimbulkan tanya.

"Opsi lainnya, maksud Ummi?"

"Bagaimana jika posisi Anjani diganti menjadi Mommy untuk Zahira?" tanya Ummi Fahira tanpa basa-basi, membuat putranya menoleh seketika, tampak sekali raut wajahnya terkejut mendengar penuturan sang Ummi.

Bukan soal Umminya yang menjodoh-jodohkannya, tapi lebih ke mengapa
harus Anjani yang masih asing? Ahmad memang sudah terbiasa dijodoh-jodohkan oleh sang Ummi, walau tidak ada satu pun rencananya yang berhasil.

Akan tetapi, selama ini, wanita yang dijodohkan dengannya selalu dari kalangan putri saudara, kerabat atau teman-teman Umminya. Seseorang yang memang sudah tidak asing lagi di mata Ahmad.

Sedangkan Anjani? Gadis itu bahkan baru bekerja di rumah ini dua hari yang lalu. Akan tetapi, sudah berhasil membuat Umminya berminat untuk menjadikannya menantu. Ia merasakan ini aneh.

"Maksud Ummi, Ahmad menikahi Anjani?" tanya dr. Ahmad memastikan kembali.

"Iya. Bagaimana?"

"Tapi, kenapa harus Anjani, Ummi?"

"Memangnya kenapa kalau Anjani? Apa kamu tidak bersedia, sebab dia hanya seorang ART?" Ummi Fahira bertanya balik.

"Astaghfirullah, bukan begitu maksud Ahmad, Ummi. Ahmad yakin Ummi sudah faham standar Ahmad untuk seorang istri. Bahkan sudah berkali-kali Ahmad katakan pada Ummi, siapapun wanita yang akan menjadi pendamping Ahmad, asalkan dia baik, sayang pada Ummi dan Zahira dengan tulus, maka Ahmad akan mencintainya dengan sepenuh hati.

Tidak peduli dia siapa, bagaimana latar belakangnya, bahkan bagaimana rupanya. Asalkan dia bisa membahagiakan keluarga Ahmad, maka Ahmad akan menerima dan mencintainya dengan sepenuh hati. Apakah Ummi lupa semua itu?" tanya Ahmad.

"Maafkan Ummi, Nak. Ummi tidak lupa, dan Ummi sangat mengenal putra Ummi. Hanya saja Ummi ingin tahu apa alasan kamu bertanya seperti itu? Biasanya, tiap Ummi sebut nama wanita untuk menjadi kandidat Mommy Zahira, kamu selalu patuh tanpa tapi." Ummi Fahira berkata dengan rasa sesal yang tersirat.

"Ahmad hanya terkejut saja, sebab Anjani kan orang yang masih asing di tengah-tengah kita, dia baru masuk ke kehidupan kita dua hari yang lalu, Ummi," jelas dr. Ahmad menyampaikan alasan keterkejutannya.

"Ummi tahu, dan Ummi Faham, Nak. Akan tetapi, ini kan baru opsi. Tentunya, kalau kamu memang bersedia, akan banyak proses yang terlebih dahulu harus dilalui. Kamu perlu mencari tau terlebih dahulu siapa Anjani? Dari mana dia berasal? Bagaimana latar belakang keluarganya, dan lain-lain.

Setelah semuanya dipastikan baik dan memenuhi standar kamu, maka kamu bisa melanjutkan ke langkah selanjutnya. Akan tetapi jika tidak, maka biarlah hal ini hanya menjadi wacana," terang Ummi Fahira.

dr. Ahmad mengangguk paham.

"Kalau kamu bertanya, mengapa Ummi sampai terpikir menjadikan Anjani sebagai kandidat menantu, jawabannya simpel. Dia baik, selain itu dia juga bisa nyambung sama Zahira, dia bisa masuk dan di terima di hidup Zahira. Itu saja.

Kamu tahu sendiri, kan? Selama ini kendala yang membuatmu gagal menikah dengan wanita-wanita pilihan Ummi hanya satu, penolakan Zahira," jelas Ummi Fahira, membuat putranya tampak termenung.

"Masuk akal, alasan Ummi sangat masuk akal, memang benar apa yang dikatakan Ummi, selama ini kendalanya selalu penolakan Zahira, lalu saat sekarang ada wanita yang bisa dekat dengan Zahira, yang kemungkinan besar bisa diterimanya, tak ada alasan untuk aku tak mengambil kesempatan ini.

Tapi, apakah Anjani bersedia? Dia masih sangat muda, sedangkan aku?" batin dr. Ahmad sibuk dengan pikirannya sendiri.

"Bagaimana, Nak?" tanya Ummi Fahira sekali lagi.

"Tapi, Anjani masih sangat muda, Ummi. Apa dia bersedia dinikahi oleh Ahmad?" tanya dr. Ahmad ragu.

"Persoalan Anjani bersedia atau tidak itu urusan nanti, Nak. Yang terpenting kan kamunya. Kamu bersedia atau tidak? Kalau kamu sudah bersedia maka mulailah langkahnya.

Cari tau asal-usul Anjani, jika semua langkah sudah dilalui, barulah bertanya kebersediaannya. Sebagai seorang wanita, Anjani punya hak untuk menerima ataupun menolak, dan itu sama sekali bukan wewenang Ummi untuk menjawabnya.

Jadi sekarang, semua tergantung kamu, apakah kamu berminat terhadap Anjani atau tidak," ucap Ummi Fahira bijak.

dr. Ahamad mengangguk, memahami maksud ucapan sang Ummi, setelah menimbang, ia akhirnya memutuskan untuk memulai langkahnya dalam misi ini.

"Bismillah, insyaAllah Ahamd akan cari tahu siapa Anjani lebih dalam lagi, Ummi doakan, ya?" ucap dr. Ahmad membuat Ummi Fahira tersenyum haru.

"Alhamdulillah, Ummi bahagia mendengarnya, Nak. Dan doa Ummi selalu menyertaimu," jawab Ummi Fahira.

"Alhamdulillah, terima kasih, Ummi," balas dr. Ahmad seraya mencium tangan Sang Ummi.

"Sama-sama, Nak.  Kamu mau dengar Ummi cerita nggak?" tawar Ummi Fahira.

"Cerita soal apa, Mi?"

"Tadi sebelum kamu datang, Ummi sengaja mendengarkan percakapan antara Anjani dan Zahira di meja makan.

Saat itu Anjani sedang memberi Zahira pengertian, tentang kehadiran Mommy di hidupnya tidak akan mengurangi porsi kasih sayang Daddy terhadapnya, seperti yang selama ini dia pikirkan.

Anjani menjelaskan menggunakan buah apel sebagai perumpamaan. Ummi lihat dia sangat berbakat dalam hal pengasuhan anak," puji Ummi Fahira terang-terangan di hadapan dr. Ahmad.

"Menggunakan buah apel? Gimana itu, Mi?" tanya dr. Ahmad penasaran. Ummi Fahira lalu menceritakan apa yang didengarnya tadi. Sedangkan dr. Ahmad hanya mendengarkan dengan sesekali manggut-manggut dan tersenyum penuh makna.

"Jadi belum sempat Zahira menjawab, Ahmad sudah datang?"

"Iya, jadi Ummi pun tak tahu apa jawaban Zahira," jelas Ummi Fahira.

"Tapi Ahmad yakin Zahira bisa menyerap apa yang Anjani sampaikan. Dia anak yang sangat cerdas dan kritis. Semoga saja," sahut dr. Ahmad penuh harap.

"Aamiin." Ummi Fahira mengaminkan.

dr. Ahmad tersenyum, "Anjani, sungguh karakter yang menarik. Terlihat polos tapi ternyata berbobot. Apa maksudnya menjelaskan hal itu pada Zahira? Apakah dia mengharapkan Zahira bisa menerimanya menjadi Mommy? Jika memang benar, itu artinya gayung bersambut. Sungguh ini kabar yang menggembirakan.

Tapi, rasanya terlalu Dini kalau sampai dia berpikir ke sana. Apa yang mendorongnya untuk berpikir sejauh itu? Mungkin saja Anjani melakukannya karena ketulusannya pada Zahira.

Apapun itu, semoga keputusan ini membuahkan hasil yang baik," batin dr. Ahmad penuh harap.

Saat dr. Ahmad tengah sibuk dengan pikirannya sendiri, tiba-tiba terdengar Ummi Fahira menguap.

"Ummi sudah ngantuk, ya?" tanyanya perhatian.

Ummi Fahira menjawab dengan senyuman, "usia semakin tua, rasanya, rasa kantuk itu memang semakin mudah datang," jawab Ummi Fahira.

"Ya sudah, kalau gitu Ummi istirahat aja, Ahmad juga mau ngecek Zahira. Kasihan dia pasti berharap ditemani setelah dua hari Ahmad tinggal," ucap dr. Ahmad.

"Ya sudah, Ummi istirahat dulu ya. Terima kasih kamu sudah meluangkan waktu untuk mendengarkan Ummi. Padahal seharusnya kamu istirahat, sebab capek, 'kan baru datang dari luar kota?"

"Sama-sama Ummi. Sekarang Ummi istirahat ya, Ahmad tinggal dulu."

"Iya."

dr. Ahmad lalu membantu menyalakan AC kamar Ummi Fahira, kemudian menyelimutinya. Setelah itu baru meninggalkannya menuju kamar Zahira.

dr. Ahmad melangkahkan kakinya perlahan, sudah menjadi kebiasaan keluarga ini untuk mengangkat kaki serapi mungkin saat berjalan, agar tidak menimbulkan suara bising. Mereka melakukannya sebab itu bagian dari akhlaqul karimah.

Saat langkah semakin dekat dengan kamar Zahira, tiba-tiba pintu kamar terbuka, dan tak lama, Anjani terlihat keluar dari sana.

Gadis manis itu tampak terjingkat saat menyadari dr. Ahmad berada tak jauh dari hadapannya, akan tetapi ia segera berhasil menguasai dirinya.

"Anjani?" ucap dr. Ahmad sedikit kaget mendapati Anjani keluar dari kamar putrinya.

"Iya, Bib."

"Kok kamu ada di sini?"

"Iya, tadi Zahira meminta saya untuk menemaninya belajar, sebab ia tak menemukan habib di kamar," jelas Anjani apa adanya.

"Oh, iya. Tadi saya di kamar Ummi. Sekarang Zahira gimana?" tanya dr. Ahmad lagi.

"Sudah tidur, Bib, baru saja," terang Anjani.

dr. Ahmad menganggukkan kepalanya.

"Terima kasih, ya, sudah menemani putri saya," ucap dr. Ahmad tulus.

"Sama-sama, Bib. " Anjani menjawab seperlunya. "Kalau begitu saya mohon izin untuk kembali ke kamar, ya, Bib," pamit Anjani.

"Sebentar, Anjani," ucap dr. Ahmad mencegah niat Anjani. "Bisa kita bicara sebentar?" tanya dr. Ahmad yang tiba-tiba membuat jantung Anjani berlompatan.
 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Menjadi Janda di Malam Pertama (Bab 11 & 12)
2
1
Bab 11-12
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan