
Bab 1-5 GRATIS
1-5
Bab 1
Bab 1
Berkalung Luka di Malam Pertama
"Enyah kau dari sini! Dasar perempuan nggak guna, Cacat! untuk apa aku menikahi gadis sepertimu? percuma cantik tapi nggak punya lubang! " Juragan Supeno keluar dari kamar pengantinnya dengan amarah berkobar, ia mengumpat dan mendorong Anjani–gadis yang baru saja ia jadikan istri ke-dua itu hingga tersungkur.
Gadis itu hanya terisak tanpa bisa memberikan perlawanan. Ingin rasanya ia balik memaki lelaki tua di hadapannya, tetapi lidahnya mendadak kelu sebab merasakan sakit yang begitu mendalam di hatinya. Jiwanya benar-benar terguncang mendengar hinaan Juragan Supeno di depan khalayak ramai.
"Bisa-bisanya Supeno mempermalukan ku seperti ini? Bukankah dulu dia sendiri yang selalu mengemis agar aku bersedia menerima pinangannya?" geram Anjani dalam hati.
"Mulai sekarang, kamu bukan lagi istriku. Aku talak kamu, Anjani! Nggak sudi aku punya istri sepertimu! cuuuihhh, masih mending ayam betina punya lubang buat bertelor, lah kamu?" sarkas Juragan bakso itu bagai sebilah pedang menghunus hati Anjani.
Suasana rumah yang memang masih ramai orang itu mendadak riuh. Semua orang saling berbisik satu dengan yang lain, mereka memandang Anjani dengan pandangan berbeda-beda.
Ada yang iba, heran, bahkan ikut mencela.
Sebagian besar dari mereka saling bertanya, merasa tak percaya dengan situasi yang tengah terjadi.
"Masa sih Anjani nggak punya itu?"
"Ya ampun kasihan ya, padahal cantik, tapi ternyata ...."
"Nasib Anjani memang kurang mujur. "
"Kasihan Anjani, pasti dia malu aibnya diketahui oleh seluruh penduduk desa."
Begitu lah kira-kira bisik-bisik yang terdengar oleh Anjani, membuat luka di hati akibat sabetan pedang Juragan Supeno itu bagai dibumbui oleh perasan air jeruk nipis, perih.
Di antara mereka, ada juga yang hanya sibuk dengan pikirannya sendiri. Walau banyak dari mereka yang iba, tapi tak ada satupun dari mereka yang berniat menolong Anjani. Mereka membiarkan Anjani tersungkur di depan kamar pengantinnya dengan busana yang begitu acak-acakan.
Gadis itu kini memandang juragan Supeno dengan pandangan nyalang, menyiratkan sebuah dendam yang mendalam. Dadanya sesak menahan tangis, hatinya begitu sakit menyadari perlakuan Supeno terhadapnya.
Desas-desus tentang Anjani gadis tanpa lubang kenikmatan itu dengan cepat tersebar ke seluruh penjuru rumah Supeno. Orang-orang yang menyaksikan langsung kejadian di TKP tak dapat berlaku apapun pada Anjani. Semua orang takut jika dianggap tidak berpihak pada Juragan Supeno. Takut jika melakukan hal yang bertentangan dengannya.
Sebab hanya Juragan Supeno orang terkaya yang bisa mereka harapkan untuk memohon belas kasihan saat mereka membutuhkan bantuan. Melawan Juragan Supeno sama artinya kehilangan harapan hidup di saat kesusahan.
"Basuki ...! Sini kau, Basuki!" teriak Juragan Supeno menggelegar memenuhi ruangan.
"Mana Basuki?" tanyanya pada semua orang dengan amarah menyala bak singa yang siap menerkam musuhnya.
Semua orang hanya saling pandang tanpa bisa menjawab. Sedangkan Basuki–Paman Anjani yang sejak tadi tak berani menampakkan batang hidungnya itu, kini terpaksa harus keluar dari tempat persembunyiannya.
"Dalem, Juragan," cicit Basuki yang menghadap Juragan Supeno dengan pandangan tertunduk.
"Dasar pembohong! Lihat keponakanmu ini! Nggak guna! Gadis cacat gini kau nikahkan denganku, mau main-main sama aku kau, Basuki?! Hah?!" bentak Juragan Supeno.
"Maaf, Juragan! Saya benar-benar tidak tahu soal itu. Selama ini saya pikir Anjani gadis normal. Saya juga baru tahu kalau dia ternyata—."
"Halah, omong kosong! Aku gak mau tau. Pokoknya aku gak mau gadis ini kau jadikan tebusan atas utang-utangmu itu. Gak sudi aku!"
"Ampun, Tuan. Saya sudah tidak punya apa-apa lagi untuk menebus hutang-hutang saya. Biarkan Anjani menjadi tebusannya. Kalau memang Tuan tidak berkenan menjadikannya istri, dia bisa menjadi pembantu di rumah ini. Beri dia pekerjaan apapun untuk menebus semua hutang-hutang kami," ungkap Basuki membuat Juragan Supeno tampak berpikir.
Sedangkan Anjani, ia memandang nyalang, tak menyangka bahwa paman yang selama ini ia kira mengasuhnya dengan penuh cinta, ternyata hanya menjadikannya sebagai tebusan hutang-hutangnya.
"Cukup, Paman! Aku sudah menuruti permintaan Paman dan Bibi untuk menikah dengan lelaki tua ini. Dan sekarang dia sendiri yang menolakku," ucap Anjani dengan sedikit bergetar namun terdengar lantang, "jadi, jangan pernah memaksa aku untuk melakukan lebih dari ini," sambung Anjani dengan mata berkaca-kaca. Ia perlahan bangkit dari tempatnya.
"Anjani, jangan ngelawan kamu! Semua ini terjadi juga gara-gara kamu!" bentak Basuki, yang mulai mengungkit penyebab hutangnya pada Juragan Supeno bertumpuk adalah Anjani.
"Sudahlah, Anjani, terima saja nasibmu. Masih baik kamu diterima sebagai babu, dari pada nasibmu dan keluargamu terkatung-katung tak menentu?
Lagian apa sih yang bisa dilakukan perempuan cacat sepertimu? Mau jadi pelacur pun tak kan laku! Hahahaha." tawa juragan Supeno menggelegar memenuhi seluruh ruangan. Perut buncitnya sampai naik turun sebab begitu lepasnya ia tertawa.
Sementara Anjani semakin menekankan tangannya di dada, berusaha meredam tekanan yang terasa semakin berat di sana. Selain itu, ia melakukannya sebagai upaya untuk berusaha menutupi bagian dada kebaya yang terkoyak akibat ulah Juragan Supeno yang bermain kasar tak sabaran.
"Tuhan, seumur hidup aku menjaga kehormatan sebagai seorang wanita, lalu dengan entengnya dia memperlakukanku lebih rendah dari seorang pelacur? Kamu kejam, Supeno! Kau harus menebus semua yang telah kau lakukan padaku." Anjani bertekad dalam hati.
Gadis yang sempat mendapatkan julukan kembang desa itu memajukan langkahnya mendekat ke arah Juragan Supeno, hingga tersisa jarak satu meter di antara mereka.
"Dengar ya, Juragan Supeno! Saya, lebih baik mati dengan terhormat, dari pada harus menjadi babu untuk manusia sepertimu!" Anjani berkata pelan, namun penuh penekanan.
"Halah! Gadis cacat saja sok bicara soal kehormatan! Kalau memang kamu mau jadi terhormat, bayar dong utang pamanmu! Miskin aja belagu!"
Anjani terkesiap mendengar ucapan Juragan Supeno yang semakin terasa tajam mencincang perasaannya. Sepedih ini kah jadi orang miskin? Apakah miskin membuat seseorang menjadi tak punya harga diri?
Anjani tersenyum getir menyadari nasibnya sendiri.
"Baiklah, saya akan membayar hutang-hutang itu, tanpa setetes pun keringat saya jatuh sebab melakukan pekerjaan untukmu!" jawab Anjani penuh keyakinan, kemudian berlalu meninggalkan tempat yang membuat kehormatannya terinjak-injak.
"Hei, Anjani! Aku kasih kau waktu 40 hari, kalau sampai kau tak datang untuk membayar hutang, maka selamanya kau harus menjadi babuku!" teriak Juragan Supeno mengiringi kepergian Anjani.
Namun gadis dua puluh tahun itu terus melangkah tak gentar, bahkan tak sedikitpun kembali menoleh ke belakang. Beberapa orang yang masih berkerumun saling berbisik memperbincangkannya. Namun ia berusaha menebalkan telinga dari hal-hal yang semakin menjatuhkannya.
Jelas saja hal itu membuat Supeno semakin murka, merasa dirinya yang berkuasa, ditentang oleh seorang bocah.
"Dasar bocah belagu! Lihat saja, gak lama lagi pasti dia akan kembali untuk mengabdi, dan menyesali keputusannya untuk melawanku! Kalau sampai itu terjadi, kan ku buat dia bersujud di kakiku!"
Samar-samar Anjani masih mendengar apa yang diucapkan Supeno, ia menghentikan langkahnya sejenak, kemudian tersenyum miring, "Aku bersumpah atas nama hidup dan mati, pantang bagiku kembali ke tempat ini demi harga diri yang terinjak-injak kembali.
Akan kubuktikan, bahwa nanti kamu dan semua antek-antekmu yang akan bersujud di kakiku, Supeno. Kau akan menyesal sebab telah mempermalukanku seperti ini," batin Anjani, kemudian kembali mengayun langkahnya pergi meninggalkan kediaman lelaki yang menjadikannya janda di malam pertama.
Bab 2
Bab 2 MJDMP
Langkah Anjani kini terhenti di sebuah pertigaan, sejenak ia bingung kemana ia akan melangkahkan kakinya.
"Ke mana aku harus pergi? Ke arah kiri kah untuk kembali ke rumah Paman dan Bibi? Atau ke arah kanan untuk kembali ke rumah terakhir Bapak dan Ibu? Atau justru berjalan lurus tanpa tujuan pasti? Aku sungguh tak punya pilihan," batin Anjani.
Ia lalu melirik ke arah kiri, jalan yang mengarah ke tempat di mana ia tinggal sejak kecil. Anjani adalah yatim piatu, yang sejak kecil diasuh oleh pamannya, alias adik dari ibunya.
Paman yang telah menjualnya ke Juragan Supeno demi melunasi hutang-hutangnya. Paman yang telah mengorbankan harga dirinya demi menebus sejumlah materi, yang kini mengantarkannya pada nasib yang sama sekali tak pernah ia inginkan.
Mengatasnamakan balas budi, Paman Basuki meminta Anjani untuk melunasi hutang-hutangnya dengan menjadi istri ke-dua Juragan Supeno. Anjani menolak, namun Paman dan Bibinya memaksa, sehingga ia tak punya pilihan lain selain menurut.
Membayangkan dinikahi oleh Juragan Supeno, lelaki berusia 45 tahun dengan postur gendut dan perut seperti badut membuat Anjani kerap kali ketakutan sendiri.
Pola pikirnya yang masih primitif membuatnya begitu takut membayangkan betapa seram malam yang akan ia lalui bersama Juragan Supeno nanti.
Ketakutan itu semakin menjadi kala Juragan Supeno tak kunjung berhasil melaksanakan hajatnya di malam pertama, hingga terjadilah tragedi yang sangat memalukannya malam ini.
Mengingat kembali kejadian itu membuat dada Anjani terasa nyeri. Air matanya kembali berjatuhan membasahi kaki. Ia lalu memutuskan untuk melangkahkan kakinya lurus, pergi tanpa tujuan pasti menjadi pilihannya saat ini. Ia berpikir, pulang ke rumah Paman dan Bibi hanya akan menambah luka di hati.
Dengan air mata yang masih berderai, Anjani melanjutkan langkahnya, menyusuri setapak demi setapak jalanan malam dengan mengandalkan pencahayaan lampu jalan yang temaram.
Hingga satu jam berlalu, Anjani terus berjalan tanpa tau kemana ia akan pergi. Kini langkahnya berhenti di sebuah trotoar jembatan layang, sejenak mengistirahatkan kaki yang mulai terasa nyeri.
Pandangan Anjani kosong mengarah ke bawah, ke arah beberapa mobil yang berlalu-lalang melintasi tol dengan kecepatan maksimal.
"Dasar perempuan nggak guna, Cacat! untuk apa aku menikahi gadis sepertimu? percuma cantik tapi nggak punya lubang! "
"Nggak sudi aku punya istri sepertimu! cuuuihhh, masih mending ayam betina punya lubang buat bertelor, lah kamu?"
Umpatan Juragan Supeno beberapa waktu lalu kembali terngiang di telinganya. Anjani menutup telinga dengan tangannya sembari menggeleng-gelengkan kepala, berharap suara itu akan segera pergi dari telinganya.
Namun semakin Anjani berusaha menutup telinga, suara itu seolah semakin keras didengarnya.
"Stop, Anjani, Stop! Kamu jangan lemah! Jangan biarkan hinaan lelaki tua itu merusak hidupmu! Kamu masih punya harapan, Anjani! Masih punya tangan kaki untuk bekerja! Buktikan pada Juragan Supeno, bahwa kamu tidak layak dihinakan seperti ini!" Anjani mencoba mengafirmasi dirinya sendiri.
Ia menarik nafas panjang, kemudian menghembuskannya perlahan. Berharap bebannya ikut keluar bersama nafas yang terhembus. Sesaat ia merasa lebih tenang.
"Tapi apa benar yang dikatakan Supeno? Benarkah aku tidak memilikinya? Tapi ... Ini terasa aneh, sebab selama ini aku tak merasa demikian. Aku merasa tumbuh sebagaimana gadis pada umumnya. Aku pipis dan mens dengan normal.
Tapi apa mungkin Supeno salah? Dia kan sudah berpengalaman? Bagaimana mungkin dia tidak bisa melakukannya? Bahkan anaknya sudah tiga dari istri pertama." Anjani mulai heran dan bertanya-tanya dengan apa yang kini tengah menimpanya.
Perlahan Anjani membalikkan posisi menghadap ke jalan, tubuhnya merosot sebab kaki tak mampu lagi menahan beban. Anjani terduduk di sisi trotoar bagaikan seorang pengemis yang sedang memohon belas kasihan. Kepalanya tertunduk bertopang tangan yang ia sedekapkan memeluk kedua lututnya.
Sejenak ingatannya kembali memutar sebuah kejadian yang menjadi awal dari segala deritanya. Tepatnya dua tahun lalu, saat sebuah kecelakaan menimpanya, tepat di depan tempat ia bersandar saat ini. Kecelakaan akibat kelalaian pengendara mobil yang sempat membuatnya kehilangan kesempatan memandang keindahan alam semesta.
Korneanya rusak akibat terkena serpihan kaca mobil, ia dinyatakan buta untuk selamanya.
Namun keberuntungan masih berpihak kepadanya, ia dinyatakan selamat dan mendapatkan donor mata yang hingga kini tak ia ketahui siapa malaikat yang rela memberikan mata itu padanya.
Sejak kejadian itu lah, Paman dan Bibinya selalu menyalahkan Anjani, menganggapnya sebagai beban hidup dalam keluarga. Sebab akibat kecelakaan yang dialaminya, Paman Basuki dan Bibi Lestari harus mengeluarkan biaya untuk pengobatannya yang tak murah. Membuat mereka terpaksa harus berhutang ke Juragan Supeno dengan bunga yang tak kira-kira. Hutang yang membawanya ke dalam lubang nestapa sebab harus menjadi janda di malam pertama.
"Ya Allah ... Andai semua ini tak pernah terjadi. Andai aku tahu nasibku akan berujung seperti ini, mungkin aku akan lebih memilih selamanya buta ketimbang harus berkorban harga diri. Aku diperlakukan bagai sampah yang tak ada harganya. Rasanya sakit sekali Ya Allah ..." batin Anjani pilu, masih enggan mengangkat kepala dari tumpuannya.
Hingga sebuah pertanyaan terbesit di benaknya, "Sebenarnya kenapa Paman dan Bibi melakukan ini untukku? Untuk apa mereka rela membayar mahal demi agar aku bisa kembali melihat dunia?
Bukankah selama ini bahkan untuk biaya sekolahku pun mereka enggan mengupayakannya? Rasanya aneh.
Jika memang mereka melakukannya karena sayang padaku, lalu mengapa mereka memperalatku? Bahkan rela menjadikanku pembantu selamanya di rumah orang yang terang-terangan telah menghinakanku?" Anjani semakin merasakan kejanggalan dari sikap dan keputusan Paman dan Bibinya. Namun ia pun tak dapat memecahkannya.
Hingga rintik hujan mulai menetes membasahi kulitnya yang tak tertutupi busana. Suara guntur dan kilatan cahaya juga turut mendramatisir suasana. Anjani lalu memutuskan untuk lanjut berjalan, setidaknya mencari tempat untuk berteduh sementara waktu.
***PZ
Suara kicauan burung saling bersahutan meramaikan suasana pagi. Membangunkan Anjani yang tengah tidur beralaskan kardus di teras bangunan entah milik siapa.
Anjani memutuskan untuk berteduh di pertokoan yang ada di sisi jalan raya. Dan karena kondisi tubuhnya lelah, ia tertidur hingga pagi menyapa.
Perlahan Anjani bangkit dari posisi semula, memandang langit yang mulai berubah warna menjadi cerah.
"Sepertinya udah, pagi," gumamnya seraya mengusap wajah.
Ia menoleh ke kanan dan kiri. Kondisi masih sepi, bahkan lampu-lampu belum mati. Ia lalu memutuskan untuk berdiri dan membereskan kardus yang ia jadikan alas sebelum sang pemilik toko datang.
Sejenak ia merasakan perutnya lapar, beberapa kali juga sempat terdengar bersuara, meronta meminta agar segera diberikan haknya.
"Ya Allah, aku nggak pegang uang sepeserpun. Sebaiknya aku segera mencari pekerjaan. Seingatku nggak jauh dari sini ada agency ketenaga kerjaan. Mungkin aku bisa coba melamar di sana," batin Anjani kemudian berjalan mencari kantor agency yang ia ingat.
Sesampainya di sana, ternyata kantor itu masih tutup. Maklum saja, waktu masih menunjukkan pukul 06.00, dan biasanya toko-toko ini akan buka jam 8.
Sambil menunggu, Anjani memutuskan untuk mencari pekerjaan serabutan di pasar yang terletak tak jauh dari tempatnya berpijak saat ini. Ia berjalan dari satu warung ke warung lain untuk mendapatkan pekerjaan, walau sekedar diupah sepiring sarapan.
Ia mengabaikan orang-orang yang memandangnya aneh, mungkin karena ia yang masih mengenakan kebaya pengantin dengan penampilan yang acak-acakan. Baginya, yang terpenting saat ini adalah segera mendapatkan sarapan dan pekerjaan.
Namun ternyata, untuk mendapatkan sepiring sarapan itu tak semudah membalikkan tangan. Beberapa warung menolaknya dengan alasan tidak sedang membutuhkan jasanya. Namun hal itu tak membuatnya putus asa, ia terus berjalan menjajakan jasanya dari satu warung ke warung lainnya.
Hingga tiba-tiba, suara yang tak asing terdengar memanggilnya.
"Anjani!" pekik wanita paruh baya yang sedang berdiri tak jauh dari arah belakang Anjani.
"Bu Ambar? Itu kan suara Bu Ambar, istri juragan Supeno?" batin Anjani tanpa menolehkan kepalanya.
Bab 3
Bab 3 MJDMP
"Bu Ambar? Itu kan suara Bu Ambar, istri juragan Supeno?" batin Anjani tanpa menolehkan kepalanya.
Ia justru mempercepat langkah kakinya, sengaja menghindar dari istri lelaki yang baru saja menceraikannya.
"Anjani! Jangan pergi!" teriak Bu Ambar seraya mengejar langkah Anjani. Dengan setengah berlari akhirnya Bu Ambar berhasil mencekal tangan Anjani. Membuat langkah gadis itu terhenti.
"Anjani, tunggu!"
"Ada apa, Bu? Saya sudah tidak ada urusan dengan ibu."
"Saya ingin bicara sama kamu, Anjani."
"Bicara apa? Meminta saya kembali untuk menjadi pembantu di rumah ibu demi membayar hutang saya? Maaf, itu tidak mungkin terjadi. Permisi!" Anjani menjawab dengan sinis, kemudian segera beranjak pergi.
Namun sekali lagi, Bu Ambar mencegahnya.
"Anjani, sebentar saja, hanya lima menit. Ini bukan seperti yang kamu pikirkan. Saya ingin berbicara dengan kamu sebagai sesama wanita.
Sebaiknya kita duduk di sana, kamu juga pasti belum sarapan, kan?" ucap Bu Ambar sembari menunjuk warung rawon yang terletak tak jauh dari hadapannya.
Tanpa menunggu persetujuan Anjani, Bu Ambar menarik tangan Anjani menuju warung rawon yang aromanya menguar menggugah selera, terlebih selera Anjani yang memang sejak semalam belum terisi perutnya.
"Bu, nasi rawonnya satu sama teh hangat 2 ya," pesan Bu Ambar pada penjual rawon. Sedangkan Anjani memilih bungkam tanpa sepatah kata pun.
"Anjani, untuk kejadian semalam, saya minta maaf, ya? Maafkan sikap Juragan Supeno yang sudah mempermalukan kamu di depan khalayak ramai. Saya tahu, itu sungguh sangat menyakitkan, dan saya minta maaf, karena tidak bisa berbuat apapun untuk kamu semalam," ucap Bu Ambar membuka percakapan.
Anjani memandang Bu Ambar dengan sorot mata yang tak dapat diartikan, sejenak ia terdiam, sebelum akhirnya memutuskan untuk bersuara.
"Ibu tidak perlu meminta maaf atas sebuah kesalahan yang tidak pernah ibu lakukan. Masalah semalam, itu urusan saya dengan Juragan Supeno," jawab Anjani datar.
"Saya tahu, kamu pasti merasakan sakit hati yang amat mendalam. Saya turut prihatin di satu sisi, tetapi di sisi lain saya bersyukur kamu bisa lepas dari Juragan Supeno, Anjani." Bu Ambar menyampaikan empati dan syukurnya secara bersamaan. Membuat Anjani menjadi bingung menilai sikapnya.
Anjani tersenyum miring, "Ibu pasti tengah bersyukur karena tidak jadi dimadu, kan?"
"Tidak ada istri yang rela dimadu, Anjani. Tapi bukan itu yang membuat saya bersyukur." Jawaban Bu Ambar semakin menciptakan teka-teki di benak Anjani.
"Lalu?"
"Sejak awal saya sudah tidak setuju dengan keputusan Juragan Supeno menikahimu, Anjani. Bukan soal tak rela dimadu. Tapi rasanya ini terlalu tidak adil untukmu.
Kamu masih muda, cantik, pintar. Masa depanmu masih panjang. Sedangkan Juragan Supeno? Kamu tahu sendiri bagaimana perangainya.
Juragan Supeno, lelaki yang arogan, ketika dia marah, dia seperti kalap dan tidak dapat menguasai dirinya. Kamu sudah menyaksikannya sendiri semalam, kan? Hal yang patut kamu syukuri saat dia melepasmu di malam pertama kalian.
Sebab kamu tidak harus bernasib sama dengan saya. Yang harus menerima perlakuan arogannya hingga akhir hayat," ungkap Bu Ambar terdengar pilu di telinga Anjani.
"Jadi apakah selama ini Juragan Supeno tidak berlaku baik pada ibu?" tanya Anjani mulai penasaran.
"Seperti yang baru saja kamu dengar, Anjani. Dan saya hanya menyampaikan ini padamu. Bukan berniat untuk mengumbar aib keluarga sendiri, tetapi lebih untuk menguatkan kamu, bahwa di balik kecewa dan sakit hati yang kamu rasakan, ada hikmah yang patut kamu syukuri. Semoga informasi saya ini bisa sedikit mengurangi beban kamu." Wanita keturunan sunda yang dinikahi Juragan Supeno itu terlihat tulus berbicara pada Anjani.
Anjani tampak merenung, sesaat dia membayangkan apa yang akan terjadi pada hidupnya jika perceraian semalam tidak pernah terjadi? Hidup selamanya bersama manusia seperti Juragan Supeno sungguh sangat mengerikan sekedar untuk dibayangkan.
Dalam hati ia berucap syukur, setidaknya, ia bisa terbebas dari kehidupan yang mengerikan itu.
"Maaf, Bu ... Tapi kenapa ibu masih bertahan sampai saat ini?" tanya Anjani yang mulai bersimpati pada Bu Ambar.
"Kalau saya bisa memilih, saya akan meminta untuk diceraikan sejak awal sepertimu, Anjani. Sayangnya saya tidak seberani dan sekuat kamu. Saya lemah sebagai seorang wanita.
Semua sudah terlanjur terjadi. Satu-satunya alasan yang membuat saya bertahan selama ini hanyalah anak-anak. Andai tidak ada mereka, sudah barang pasti saya sudah meninggalkan juragan Supeno," jawab Bu Ambar membuat Anjani semakin bersimpati.
"Permisi, ini pesanannya ya, Bu," ucap sang penjual seraya meletakkan sepiring nasi rawon dan dua gelas teh hangat di meja.
"Matur nuwun, Bu," balas Bu Ambar. Wanita berkulit putih itu kemudian meletakkan sepiring rawon di hadapan Anjani.
"Makanlah, Anjani!" titah Bu Ambar.
"Terima kasih, Bu. Untuk ibu saja," balas Anjani merasa sungkan. Bukan ia tak ingin menyantap nasi rawon di hadapannya, sungguh perut laparnya meronta-ronta melihat nasi rawon yang masih mengepul asapnya itu. Akan tetapi dia berusaha menahan diri, sebab hanya ada sepiring di hadapan dua orang yang tengah duduk.
Bu Ambar tersenyum, "Makanlah, saya memang memesan makanan itu untuk kamu. Kalau saya nanti makan di rumah saja, Juragan Supeno tidak suka kalau dibiarkan makan seorang diri di meja," terang Bu Ambar membuat Anjani terenyuh, menyadari betapa tulusnya wanita di hadapannya itu menjalankan peran sebagai seorang istri.
"Sungguh kejam Supeno sudah memperlakukan istri sebaik Bu Ambar dengan perlakuan yang tak semestinya. Manusia macam Supeno harus segera ditumbangkan! Jangan sampai ada lebih banyak hati yang tersakiti," batin Anjani.
"Lalu setelah ini rencana kamu bagaimana, Anjani?" tanya Bu Ambar memecah keheningan.
"Saya belum tahu, Bu. Tapi yang jelas saya tidak akan menginjakkan kaki saya di Sumber Asri sebelum saya bisa melunasi hutang pada Juragan Supeno."
"Ya, menurut saya sebaiknya kamu pergi menjauh dari kampung Sumber Asri untuk sementara waktu, sebab paman kamu terus mencari kamu, Anjani," terang Bu Ambar.
"Paman mencari saya?"
"Iya, dia khawatir kamu akan lari dari tanggung jawab, dan seluruh hutang itu akan kembali dilimpahkan ke dia."
Anjani menggelengkan kepala tak percaya.
"Terima kasih infonya, Bu. Saya memang berniat pergi, tapi tidak akan jauh dari sini. Paling jauh mungkin ke kota. Sebab saya tidak membawa data identitas apapun.
Selain itu saya juga masih punya tanggungan dengan Juragan Supeno, untuk melunasi hutang dalam waktu 40 hari. Dan saya tidak akan lari dari tanggung jawab."
"Kamu gadis yang tangguh, Anjani. Ke manapun kami pergi nanti, semoga kamu mendapatkan kesuksesan." Bu Anjani menyampaikan harapannya tulus, yang diaminkan oleh Anjani.
"Kalau begitu saya pamit dulu ya, Anjani. Ini ada sedikit uang untuk kamu, gunakan untuk membayar makanan ini, lalu belilah pakaian dan gantilah bajumu. Kamu tidak mungkin kemana-mana dengan kebaya yang sudah terkoyak seperti itu. Saya bisa membayangkan apa yang sudah Juragan Supeno lakukan padamu, sekali lagi saya mohon maaf, ya," ucap Bu Ambar seraya menghela nafas panjang.
Anjani menggeleng, kemudian menyerahkan kembali beberapa lembar merah itu pada Bu Ambar.
"Tidak usah repot-repot, Bu!"
"Ini tidak repot, Anjani. Hanya ini yang bisa saya lakukan untuk membantu kamu. Saya akan menjadi dzalim jika hanya berpangku tangan melihat penderitaan kamu yang disebabkan oleh suami saya sendiri.
Setidaknya, jika saya tidak bisa membela kamu di depan dia, saya bisa sedikit meringankan beban kamu di belakangnya. Tolong diterima ya, Anjani." Bu Ambar tetap memaksa dengan meletakkan uang itu di genggaman Anjani.
Sejenak mata Anjani memanas merasakan kebaikan Bu Ambar padanya. Wanita yang bergelar istri Juragan Supeno itu benar-benar berhati malaikat.
Anjani tersenyum haru. "Terima kasih, ya, Bu. Saya benar-benar dibuat heran, bagaimana mungkin orang sebaik ibu mendapatkan suami seperti Juragan Supeno," balas Anjani.
Bu Ambar balas tersenyum, "Kamu tahu kisah Raja Fir'aun? Siapa yang lebih kejam darinya di masa itu? Dia manusia terkejam di zamannya. Tetapi ia justru memiliki istri sebaik Asiah binti Muzahim. Saya tidak sedang menyamakan Fir'aun dengan Juragan Supeno. Hanya saja saya mengambil pelajaran dan terinspirasi dari istri Fir'aun."
"Masya Allah ...." Anjani bergumam penuh keharuan.
"Saya pamit ya, Anjani, segera dimakan nasi rawonnya, keburu nggak enak nanti kalau dingin." Bu Ambar berpesan seraya berdiri dari tempat duduknya.
"Sekali lagi terima kasih, Bu."
"Sama-sama."
Setelah itu Bu Ambar benar-benar pergi. Anjani memandang lima lembar uang seratus ribuan di tangannya dengan tak percaya. "Ya Allah, sungguh Engkau tidak akan pernah menguji seorang hamba melebihi batas kemampuannya."
Ia pun segera menyantap nasi rawon yang mulai surut kuahnya, kemudian segera membayar saat semua hidangan habis tak tersisa.
Anjani melanjutkan langkahnya untuk membeli beberapa pakaian dan kebutuhannya, mencari toilet umum untuk mandi dan berganti baju, baru setelah itu kembali ke tempat agency ketenagakerjaan untuk menemukan peraduan nasib.
Nasib baik kali ini berpihak kepadanya, kedatangannya disambut baik, sebab pas sekali sedang ada rumah yang sedang membutuhkan jasanya sebagai ART.
Setelah melalui proses pemeriksaan yang tidak begitu ruwet, akhirnya Anjani diantarkan ke sebuah rumah megah yang terletak di tengah kota. Rumah yang akan membawanya pada nasib yang lebih baik di masa depan.
Anjani menghela nafas panjang di depan gerbang bangunan megah itu, tepat di atas gerbang terdapat sebuah plang bertuliskan "dr. Ahmad Ali Al-Jufry Sp.OG" beserta jadwal praktiknya.
Waaah kira-kira apa yang akan terjadi pemirsa?
Bab 4
Bab 4 MJDMP
Tak lama setelah bel dibunyikan, seorang security keluar dari dalam gerbang.
"Selamat siang, Mbak. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Satpam dengan name tag 'Toha' itu ramah.
"Siang, Pak. Apa benar ini kediaman dr. Ahmad?" tanya seorang petugas yang mengantarkan Anjani.
"Benar, Mbak. Mbaknya mau periksa? Maaf, Mbak, ini bukan jadwalnya," ucap Pak Toha seraya memandang Anjani dan petugas itu bergantian.
"Tidak, Pak. Kami kemari tidak untuk periksa. Perkenalkan saya tim dari Sumber Rejeki Agency, sudah membuat janji temu dengan dokter Ahmad. Apa dokter Ahmadnya ada?" tanya tkm Agency.
"Wah, sayang sekali, dr. Ahmad baru saja berangkat untuk seminar di luar kota. Tapi tadi beliau berpesan, kalau ada orang dari Sumber Rejeki Agency suruh dipertemukan dengan Ibu. Jadi, mari saya antar." Pak Toha kemudian membuka gerbang dan mempersilakan keduanya masuk.
Anjani dan tim agency-nya lalu mengikuti langkah pak Toha untuk bertemu dengan sang pemilik rumah.
"Assalamualaikum," salam Toha seraya mengetuk pintu rumah yang dibiarkan terbuka.
Tak lama kemudian, tampak seorang ibu-ibu yang terlihat sudah berumur tetapi tampak sangat energik keluar menggandeng seorang anak perempuan.
"Wa'alaikumsalam, ada apa Pak Toha?" tanyanya seraya membenarkan posisi jilbab pashminanya.
"Ada tamu, Bu. Dari Sumber Rejeki Agency," terang Pak Toha.
"Oh iya, minta tolong dipersilakan masuk ya, Pak," jawabnya ramah.
Setelah itu Toha mempersilakan Anjani dan tim Agency-nya untuk masuk dan bertemu langsung dengan pemilik rumah.
"Selamat siang, Mi, apa kabar?" sapa tim Agency yang mendampingi Anjani ramah.
"Eh, Mbak Indah toh yang datang," balas wanita berwajah arab itu ramah, sedangkan balita cantik di sisinya hanya melirik penuh selidik ke arah mereka berdua.
"Iya, Mi. Masih ingat aja Ummi sama saya," jawab tim Agency yang ternyata bernama Indah.
"Ya ingat toh Mbak Indah, kan dulu juga Mbak Indah yang mengantarkan Sumiati kemari. Usia saya memang tak lagi muda, Mbak Indah, tapi Alhamdullilah, Allah masih menganugerahkan ingatan yang kuat.
Qodarullah, Sumiati harus pulang kampung karena ibunya sakit. Dia harus merawat ibunya, dan saya izinkan, sebab itu kewajiban dia, kan? Jadi saya harus mencari penggantinya," jawab seseorang yang dipanggil Ummi oleh Mbak Indah.
Mbak Indah hanya mengangguk paham.
"Iya, Mi. Dan perkenalkan, ini Anjani, yang akan menggantikan Sumiati." Mbak Indah mulai memperkenalkan Anjani.
Anjani membungkukkan tubuhnya sebagai tanda hormat pada calon majikannya.
Sejenak wanita dengan panggilan Ummi itu memandang Anjani, entah apa yang sedang dipikirkannya.
"Anjani ... Perkenalkan saya Fahira, semua orang di rumah ini biasa memanggil saya dengan sebutan Ummi, kamu juga bisa memanggil saya dengan sebutan itu, atau senyaman kamu," ucap Wanita cantik itu ramah.
"Siap, Ummi." Anjani menyahut.
"Kalau ini namanya Zahira, cucu saya."
"Hallo, Zahira," sapa Anjani ramah, dia yang bercita-cita menjadi guru TK memang sangat penyayang terhadap anak kecil. Begitu pun sebaliknya. Anak-anak kecil selalu nyaman bermain dengannya.
Namun hal yang berbeda ditunjukkan oleh Zahira, anak itu justru melirik Anjani tak suka, kemudian bertanya pada neneknya, "Dia siapa, Ummi?"
"Itu namanya Mbak Anjani, yang akan bantuin Ummi ngurusin pekerjaan rumah, gantiin mbak Sumiati," jelas Ummi Fahira telaten.
"Oh, kirain tante-tante yang mau ngaku-ngaku jadi Mama Ira lagi, soalnya Mbaknya cantik sih, beda sama Mbak Sumi," celetuknya polos membuat semua orang yang ada di ruangan itu terkekeh melihat tingkahnya.
"Sssttt ... Nggak boleh banding-bandingin seperti itu, Zahira, nggak baik, Nak. Semua makhluk Allah itu cantik dan tampan." Ummi Fahira memberi pengertian pada cucunya.
"Iya, maafin Ira ya, Mi," sahutnya begitu manis.
"Ya sudah, kenalan gih sama Mbak Anjani!" titah Ummi Fahira yang dituruti oleh Zahira.
"Hallo, namaku Zahira," ucapnya singkat seraya mengulurkan tangan ke arah Anjani.
Anjani menyambut hangat uluran tangan bocah yang ia taksir berusia lima tahunan itu.
"Hallo cantik, senang bertemu dengan anak manis sepertimu," jawab Anjani seraya mencium jari-jari mungil nan gembil milik Zahira.
Sejenak sikap hangat Anjani mendapatkan perhatian lebih dari Zahira, namun hal itu tak membuatnya menunjukkan sikap bersahabat pada Anjani.
"Maafkan Zahira ya, Anjani, dia memang seperti itu anaknya kalau sama orang asing. Mangkanya saya juga kerepotan cari baby sitter, karena nggak ada yang cocok sama Zahira," ungkap Ummi Fahira meminta pengertian Anjani.
Anjani tersenyum manis, "Tidak apa-apa, Ummi, namanya juga anak-anak," jawab Anjani tak banyak bicara.
"Terima kasih ya, karena sudah mau mengerti."
"Anak kecil memang makhluk yang paling transparan, Ummi. Dia hanya melakukan apa yang sesuai dengan hatinya," jawab Anjani.
"Iya, kamu benar. Oiya, kamu terlihat sangat muda, Anjani. Berapa usiamu, Nak?" tanya Ummi Fahira yang membuat hati Anjani terenyuh dengan panggilan untuknya. Wanita bergelar nenek itu tahu dia adalah calon pembantu di rumahnya, namun ia sangat menghormatinya dengan memanggilnya dengan sebutan, Nak.
"Usia saya 20 tahun, Ummi."
"MasyaAllah, pantas saja kamu terlihat masih sangat muda," sahut Ummi Fahira dengan tersenyum. Wajah teduhnya benar-benar membawa kedamaian bagi siapapun yang memandangnya.
Anjani balas tersenyum.
"Maaf, Anjani. Boleh saya tahu mengapa kamu memilih jalan untuk bekerja menjadi Art? Mengingat kamu masih sangat muda, dan peluang kamu untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih layak mungkin sangat besar," tanya Ummi Fahira hati-hati. Tak ingin menyinggung perasaan Anjani.
"Saya membutuhkan pekerjaan cepat, Ummi. Untuk memenuhi tuntutan keluarga. Jadi saya ambil peluang apapun yang ada di depan mata. InsyaAllah, apapun pekerjaannya, asalkan pekerjaan halal, akan membawa keberkahan untuk saya," jawab Anjani terdengar begitu optimis.
"Ilahi Aamiin, Ya Kariim," Ummi Fahira mengaminkan harapan Anjani.
"Saya bangga melihat jiwa muda yang optimis sepertu ini. Kamu benar, tidak ada pekerjaan yang hina selama itu halal.
Baiklah, kalau memang kamu sudah mantap dengan keputusan kamu, Bismillah, saya terima kamu bekerja di rumah ini."
"Alhamdulillah, terima kasih banyak, Ummi."
"Sama-sama. Akan saya jelaskan beberapa aturan kerjanya, ya?" lanjut Ummi Fahira.
"Siap, Ummi."
"Untuk pekerjaan kamu adalah mengurus rumah ini, bersih-bersih, memasak dan mencuci. Kamu bisa melakukan semua pekerjaan itu?" tanya Ummi Fahira memastikan.
"InsyaAllah bisa, Ummi."
"Alhamdulillah. Oiya, untuk hal bersih-bersih, kamu hanya bertugas membersihkan ruangan yang terbuka ya. Untuk kamar saya dan Ahmad, tidak perlu dibersihkan.
Maaf, bukan saya bermaksud menyinggung kamu, tapi ini demi menjaga agar tidak ada su'udzon di antara kita," jelas Ummi Fahira.
"Baik, Ummi. Saya mengerti."
"Untuk gaji kamu, per bulan saya akan berikan 2.500.000, belum termasuk bonus jika pekerjaan kamu memuaskan, atau ada pekerjaan tambahan ya," lanjut Ummi Fahira lagi.
Sejenak Anjani berpikir, bagaimana mungkin ia mengandalkan gaji sebagai Art untuk melunasi hutang pada Juragan Supeno yang berjumlah 20 juta beserta bunganya, dengan kurun waktu 40 hari?
Akan tetapi ia sadar, ia tidak memiliki pilihan lain.
"Bagaimana, Anjani?" tanya Ummu Fahira menyadarkan Anjani dari lamunannya.
"Baik, Ummi. Saya setuju."
"Alhamdulillah. Kalau begitu kamu boleh mulau bekerja dari sekarang, ya."
"Terima kasih, Ummi," jawab Anjani.
"Oh iya, satu lagi. Kamu memang terikat kontrak kerja dengan saya, tapi saya tidak ingin menjadi penghalang untuk kamu terus berkembang.
Jadi, jika suatu saat, kamu perlu meninggalkan pekerjaan ini untuk hal yang lebih menjamin kehidupan kamu, saya akan izinkan. Dengan catatan jangan terlalu mepet pemberitahuannya. Minimal dua minggu sebelum resign kamu harus sudah infokan, supaya saya bisa mencari ganti," lanjut Ummi Fahira.
"Siap, Ummi."
"Saya juga mengizinkan kamu melakukan pekerjaan sampingan. Dengan catatan, dikerjakan di rumah ini, dan tidak mengganggu pekerjaan utama kamu, ya," terang Ummi Fahira membuat Anjani berbinar.
"MasyaAllah, terima kasih, Ummi," jawab Anjani merasa bersyukur sebab mendapatkan kesempatan untuk tetap produktif. Hal itu membuatnya semakin optimis untuk melunasi hutang pada Juragan Supeno tepat waktu.
"Sama-sama. Dan untuk makan juga kebutuhan mandi, kamu tidak perlu pikirkan. Karena semua sudah saya siapkan untuk kamu selama bekerja di rumah ini," lanjut Ummi Fahira sekali lagi. Membuat Anjani lagi-lagi berucap syukur, sebab mendapatkan majikan yang begitu baik.
"Sekali lagi saya ucapkan beribu terima kasih, Ummi."
"Sama-sama."
Dan saat mereka tengah asyik bercengkrama, tiba-tiba terdengar sebuah suara ngebass menggema mengucapkan salam.
"Assalamualaikum ...."
Seketika semua orang yang ada di ruang tamu menoleh ke arahnya.
"MasyaAllah, dia manusia atau malaikat?" batin Anjani terkagum melihat pemandangan di hadapannya.
Bab 5 MJDMP
"MasyaAllah, dia manusia atau malaikat?" batin Anjani terkagum melihat pemandangan di hadapannya.
Seorang lelaki dewasa dengan tubuh proposional tengah berdiri di ambang pintu. Perpaduan tinggi dan besar badannya begitu seimbang, sehingga menghasilkan pemandangan yang estetik di mata.
Kulit putihnya yang terbalut almamater putih khas dokter terlihat begitu bening dan terpancar. Jambang tipis, bulu mata lentik, bibir merah dan hidung mancungnya yang overdosis menambah keindahan pemandangan mata. Benar-benar nyaris sempurna.
"Wa'alaikumsalam," jawab Ummi Fahira dan Zahira bersamaan. Gadis cilik yang semula cemberut itu mendadak berbinar melihat seseorang yang baru saja datang. Ia berlari dan berhambur ke dalam pelukan seraya berteriak memanggilnya.
"Daddy ...."
Sesaat membuat Anjani tersadar dan segera menundukkan pandangannya.
"Hai, Sayang." Lelaki itu memperlakukan Zahira dengan begitu manis.
"Wah ada tamu, ya?" ucapnya seraya melirik Anjani dan Mbak Indah sekilas.
"Iya, dari Sumber Rejeki Agency," jawab Ummi Fahira membuat lelaki itu tampak sedikit heran dan terkejut, ia melirik sekali lagi ke arah Anjani dan Mbak Indah seolah tengah memastikan sesuatu. Namun tak lama kemudian ia kembali menguasai dirinya.
"Kamu kok balik lagi, Nak? Ada yang ketinggalan?" tanya Ummi Fahira.
"Iya, kok Daddy pulangnya cepat? Katanya perginya dua hari?" tanya Zahira polos.
"Iya, Sayang. Ada barang Daddy yang ketinggalan. Zahira mau ikut Daddy ambil barangnya?" tawar lelaki yang dipanggil Daddy oleh Zahira itu.
Zahira mengangguk cepat, membuat rambutnya yang kriting gantung naik turun seperti spiral, sangat menggemaskan.
"Flashdisk Ahmad ketinggalan, Mi, malah lupa dimasukin ke tas. Padahal semua materi seminarnya ada di sana," jelas lelaki yang ternyata bernama Ahmad tersebut pada Ummi Fahira.
"Daddy? Ahmad? Beralmamater dokter? Apakah dia yang bernama dr. Ahmad? Masya Allah, ganteng banget," batin Anjani masih dengan pandangan tertunduk.
"Owalaah, kamu ini ada-ada aja. Kok bisa ketinggalan itu, lho!" balas Ummi Fahira.
"Ya, namanya juga lupa, Mi. Ahmad ambil dulu ya," pamit dr. Ahmad kemudian berlalu dengan Fahira di gendongannya.
Sedangkan Ummi Fahira hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Dia itu anak saya, namanya Ahmad," jelas Ummi Fahira memperkenalkan putranya pada Anjani, yang akan menjadi ART di rumahnya.
Anjani hanya menanggapi dengan anggukan, lalu mereka kembali membahas tentang pekerjaan.
Setelah urusan dengan bagian Agency selesai, Mbak Indah berpamit pulang. Bersaman dengan itu dr. Ahmad juga keluar untuk kembali melanjutkan perjalanannya.
Taksi online yang membawa Mbak Indah baru saja pergi, meninggalkan Anjani seorang diri di tempat barunya mengais rizki.
Posisi mereka masih di halaman rumah saat Ahmad kembali berpamit.
"Sudah nggak ada yang ketinggalan lagi, Nak?" tanya Ummi Fahira memastikan.
"InsyaAllah nggak ada, Mi."
"Oh iya, ini Anjani, yang akan menggantikan Mbak Sumi," ucap ummi Fahira memperkenalkan Anjani.
dr. Ahmad memandang Anjani dari atas ke bawah, memastikan kembali apakah pemandangannya tak salah, sebab ia tampak berbeda dengan pembantu-pembantu sebelumnya.
"Selamat datang, Anjani. Semoga kamu betah ya?" ucap dr. Ahmad memberi sambutan.
"Aamiin, terima kasih, Pak."
"Sama-sama. Jangan panggil saya, Pak. Saya memang Bapaknya Zahira, tapi bukan Bapak kamu," ucap dr. Ahmad yang terdengar tak suka dengan panggilan Anjani.
"Baik, Tuan," jawab Anjani meralat.
"Jangan panggil Tuan juga, saya tidak terbiasa dipanggil dengan panggilan seperti itu." dr. Ahmad kembali memprotes, membuat Anjani jadi bingung sendiri.
"Maaf, lalu saya harus memanggil dengan sebutan apa, ya?" tanya Anjani polos.
"Apa aja, terserah kamu. Asal jangan Tuan, apalagi Pak." jawaban dr. Ahmad membuat Anjani semakin terlihat bingung.
"Ya Allah, ini orang, perkara panggilan aja ribet amat, lama-lama aku panggil si ganteng deh!" gumam Anjani dalam hati. "Astaghfirullah, Anjani! Nggak sopan kamu! Ingat, dia majikan kamu, Anjani!" Anjani berperang dengan dirinya sendiri.
"Ya sudah, kalau gitu Ahmad pamit dulu ya, Mi, doakan semoga segala urusannya lancar," pamit dr. Ahmad seraya mencium bolak balik tangan Umminya.
"Sayang, Daddy berangkat dulu, ya? Zahira sama Ummi dulu, sama Mbak Anjani juga," ucap dr. Ahmad seraya melirik Anjani.
Zahira yang masih dalam gendongan dr. Ahmad mengangguk pelan, tampak raut wajahnya begitu sedih melepas kepergian sang Daddy.
Balita imut itu lalu mencium pipi daddynya, kemudian turun dari gendongan dan beralih ke dalam pelukan sang nenek.
"Titip Zahira ya, Mi." dr. Ahmad berpesan pada Ummi Fahira seraya mengusap rambut Zahira penuh sayang, terlihat sekali ia berat meninggalkan bocah lucu itu.
Ah, benar-benar sugar daddy idaman.
"Iya, kamu tenang aja, Zahira aman sama Ummi. Kamu hati-hati ya? Kabarin Ummi kalau sudah sampai." ummi Fahira berpesan.
"Siap, Mi."
"Daddy cepet pulang ya? Nanti jangan lupa video call sama Zahira," ucap Zahira berpesan.
"Siap, putri cantik," balas dr. Ahmad seraya mencolek gemas ujung hidung mancung milik Zahira.
Pandangan Ahmad kemudian beralih pada Anjani. "An, saya titip Ummi dan Zahira, ya? Tolong dijaga dengan baik. Bantu Ummi jaga Zahira, jangan biarkan beliau bekerja berat! Kalau ada yang darurat kamu bisa hubungi saya melalui telepon rumah, ada kartu nama saya di sana," pesan dr. Ahmad pada Anjani.
"An? Baru kali ini ada yang manggil aku dengan sebutan An, biasanya orang akan menyebut namaku secara lengkap, Anjani. Apa nama Anjani terlalu panjang baginya untuk diucapkan, sampai harus disingkat jadi An? Nyebelin banget!
Coba kalau nama dia yang disingkat manggilnya, emang mau? Jadi Ah, Ah, Ah, dah kaya orang mendesah-desah aja," batin Anjani menggerutu, kemudian dengan sigap merespon pesan dr. Ahmad untuknya.
"Siap —," Anjani menggantung kalimatnya, ia tampak bingung harus memanggil dr. Ahmad dengan sebutan apa.
Seolah memahami kebingungan Anjani, Ummi Fahira tersenyum ke arahnya, "Biasanya orang memanggil Ahmad dengan sebutan dokter atau habib. Kamu juga bisa memanggilnya dengan salah satu dari sebutan itu, pilih saja yang membuat kamu nyaman," terang Ummi Fahira membuat Anjani tersenyum lega, setidaknya dia sudah menemukan solusi soal panggilan untuk majikan ganteng di hadapannya.
"Siap, Bib," jawab Anjani mantap seraya tersenyum dan balas memandang dr. Ahmad.
"Manis juga," gumam dr. Ahmad dalam hati.
Ia hanya mengangguk sebagai jawaban untuk tanggapan Anjani.
"Ahmad jalan dulu, ya, Mi, Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Lelaki yang sempat membuat Anjani terkesima saat pertama memandangnya itu berjalan ke arah mobil sedan mewah berwarna putih dengan logo khas mercedes-benz.
Ia membuka kedua sisi jendelanya untuk sekedar melambaikan tangan dan kiss bye pada Zahira, benar- benar super Dad.
"Ah, Zahira yang dapat kiss bye kenapa aku yang senyum-senyum sendiri?" batin Anjani heran dengan dirinya sendiri. "Lagian habib Ahmad paket sempurna, sudahlah tampan, mapan, penyayang lagi sama putrinya," lanjutnya dalam hati seraya mengiringi kepergian majikan barunya.
Namun sebuah pertanyaan tiba-tiba terbesit dalam benaknya, "Bentar-bentar, Zahira putrinya habib Ahmad? Lalu di mana mamaknya? Kenapa dari tadi yang nampak hanya Ummi Fahira dan dr. Ahmad?" batin Anjani bertanya-tanya.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
