
Berisi lima bab awal dari kisah “MENCINTAIMU DALAM SEMALAM” yang bisa kamu baca GRATIS.
Bab 1
"Di mana barangnya?" tanya Aldebaran pada tante Merry.
Beberapa waktu lalu, tante Merry mengabarkan padanya, bahwa ada barang baru yang begitu menarik, sehingga malam ini ia datang menemuinya di tempat biasa.
"Ada di kamar biasa, sudah siap." Tante Merry menjawab dengan senyuman penuh makna.
"Berapa maharnya?"
"100 jeti," jawab tante Merry membuat Al terkesiap.
"Mahal amat? Biasanya nggak ada separuh dari itu. Benefitnya apa?" Al memprotes, bukan ia tak mampu membayar, kekayaannya bahkan tak akan habis dimakan tujuh turunan, hanya saja ia tak ingin dirugikan dengan membayar suatu hal yang tidak setimpal dengan apa yang akan didapatkannya.
Tante Merry tersenyum miring, "Gua pastikan lu akan seneng ma ni barang, Bos. Kali ini barangnya eksklusif, bukan cuma sekedar masih segel, tapi bener-bener belum ada orang lain yang menyentuhnya. Bos orang pertama yang akan menikmatinya.'' Tante Merry menjelaskan benefit yang akan didapatkan pelanggan VIPnya itu dengan membayar seratus juta.
Penjelasan Tante Merry sukses membuat Al semakin penasaran dan bersemangat. Diambilnya sebuah cek yang sudah ia siapkan di sakunya, kemudian menuliskan sebuah nominal yang tante Merry minta di sana.
"Lunas," ujar Al sembari menyodorkan selembar kertas seharga 100 juta pada tente Merry, membuat wanita paruh baya itu tersenyum mengembang.
"Thanks, Bos. Have fun, ya." Tante Merry berlalu meninggalkan Al di depan kamar tempat ia biasa menghabiskan malam. Meninggalkan kepulan asap yang aromanya menyengat menyeruak mengusik indra penciuman Al.
Dialah Aldebaran Al Fahri, seorang yatim piatu, pewaris tunggal Hartawan Al Fahri dan Rossalina Estemat yang sudah berpulang ke hadirat Tuhannya sejak ia masih berumur dua tahun.
Aldebaran tumbuh menjadi sosok lelaki yang cerdas dan tampan, namun berkepribadian dingin dan kaku, mungkin karena ia tumbuh tanpa belaian kasih sayang kedua orang tuanya.
Lelaki yang kini telah berusia 35 tahun itu memutuskan untuk tidak menikah, karena baginya, pernikahan hanya akan membatasi dirinya. Sehingga ia memutuskan untuk menjadikan Bar milik tante Merry sebagai tempat pelariannya kala bir*;hi tengah menguasai diri.
Namun walau ia penikmat s!x bebas, seleranya terhadap wanita terbilang cukup tinggi, tak sembarang wanita ia gauli, Al selalu berpesan pada tante Merry, agar ia dijadikan orang pertama yang dihubunginya saat ada barang baru yang masih segel, ia rela membayar berapapun nominal yang Merry sebutkan, asal wanita yang ditawarkan padanya masih memiliki selaput d*ra yang belum terkoyak.
Seperti malam ini, tanpa ragu ia merogoh sakunya, mengeluarkan uang sejumlah 100 juta demi menebus seorang gadis yang telah Merry siapkan di dalam biliknya.
Dibukanya perlahan pintu kamar tersebut, dan pemandangan pertama yang ditangkapnya adalah seorang wanita yang tengah duduk di tepi ranjang dengan posisi memunggungi pintu, wanita itu berpakaian lengkap, dari atas kepala hingga kakinya, semuanya tertutup sempurna oleh busana yang dikenakannya.
"Si-al," um-p*t Al kesal kemudian kembali menutup pintu dengan kasar, gegas ia berjalan meninggalkan kamar tersebut dan mencari keberadaan tante Merry dengan penuh emosi.
"Lho? Kok udahan? Tumben cepet, Bos?" Tante Merry berlagak heran melihat keberadaan Aldebaran di hadapannya. Karena biasanya, paling sebentar lelaki itu akan menghabiskan waktu selama dua jam di dalam kamarnya.
"Lu bilang barangnya eksklusive, eksklusive apaan? Buntelan karung begitu lu tawarin ke gua," protes Al merasa dipermainkan.
Tante Merry tertawa terbahak-bahak mendengar protesan pelanggan terbaiknya, sejujurnya ia sudah mengira bagaimana reaksi pria tampan berusia 35 tahun di hadapannya kala melihat barang yang ditawarkannya, tapi ia yakin, kali ini pelanggannya itu akan merasa puas.
"Nggak usah ketawa, Lu. Mana sini balikin duit gua," cerca Al masih diliputi emosi. Bayangannya yang akan segera menuntaskan hasrat tertahan di malam ini menjadi ambyar seketika.
"Sabar dulu, Bos. Lu lihat dulu barangnya baik-baik, jangan keburu emosi. Gua yakin lu baru lihatin punggung ma covernya doang, belum lihat dalemnya, kan? Coba deh, lu lihat sekali lagi, gua jamin dia selera lu banget." Tante Merry berusaha meyakinkan.
"Ogah, gua nggak selera ama yang begituan." Al menolak tanpa pertimbangan. Baginya tidak ada yang menarik dari wanita berjilbab, yang bisa dinikmati dari wanita adalah kemolekan tubuhnya, kalau tubuhnya saja ditutup rapat, apa yang bisa dia nikmati?
"Ayo lah, Lu udah bertahun-tahun langganan di mari, Bos, dan selama itu Lu belum pernah kecewa, kan? Percaya deh ama gua." Tante Merry masih terus berusaha merayu Al, ia tak ingin seratus juta yang sudah berada di dalam genggamannya melayang begitu saja.
"Gini deh, Lu coba aja dulu, kalau Lu cocok Lu lanjut, tapi kalau engga, gua balikin duit Lu dua kali lipat, gimana?" Tak tanggung-tanggung, kali ini tante Merry memberikan tawaran yang begitu menggiurkan, entah mengapa, Ia begitu yakin pelanggan setianya itu akan merasa puas dengan penawarannya kali ini.
Al tampak berpikir sejenak, "Oke, deal," sahutnya setelah mempertimbangkan tawaran Merry. Ia kemudian bergegas menuju kamar yang sudah disiapkan.
Al membuka pintu perlahan, dan wanita itu masih di posisi yang sama, segala keributan di luar dan kedatanganya sampai dua kali ke ruangan ini tak membuatnya bergerak dari tempatnya barang satu senti.
"Ck, biasanya cewek-cewek yang gua sewa bakal nyambut gua dengan seribu pesonanya, tapi lihatlah dia, dia sangat jual mahal, bahkan sekedar menoleh menyadari kedatangan gua saja tidak." Aldebaran berdecak kesal.
Ia melangkah penuh percaya diri mendekati sosok yang sedang memunggunginya. Entah mengapa, sosok yang sedari tadi hanya terdiam mengacuhkan keberadaannya itu membuatnya semakin penasaran.
Langkahnya terus maju, semakin mengikis jarak di antara ia dengan gadis itu. Kini Aldebaran telah berada tepat di hadapannya, gadis itu tertunduk, enggan memandangnya.
Diraih lah dagu gadis di hadapannya, kemudian mengangkatnya perlahan, menampakkan keindahan paras cantiknya, tetapi, gadis itu segera memberontak, dengan cepat ia mengalihkan pandangannya.
Namun, paras cantiknya yang sekilas sempat terlihat berhasil membius Aldebaran, pesona gadis yang ia taksir berusia sekitar dua puluhan itu berhasil membiusnya, ibarat buah, ia tengah berada di fase ranum-ranumnya, sangat menggoda selera.
Wajahnya yang putih bening, matanya bulat lengkap dengan bulu mata yang lentik, hidung kecilnya yang runcing serta bibir mungilnya yang ranum menciptakan kesan estetik, benar-benar perpaduan yang sempurna dan indah untuk dipandang.
"Hei, kamu kenapa, Cantik? Santai aja, rilex ... Nggak usah grogi gitu." Aldebaran berusaha menggoda gadis di hadapannya. Ia kembali berusaha mengangkat dagu gadis cantik itu, namun lagi-lagi, tangan cantiknya menepis dengan cepat.
"Jangan sentuh aku, Om," sungutnya seraya menatap tajam Aldebaran. Bukannya menjauh, penolakan gadis itu justru membuatnya semakin tertantang.
"Hei, asal kamu tahu, ya. Saya memang membayar kamu untuk disentuh," ucap Al lirih tepat di telinga gadis yang kerap disapa dengan sebutan Andin itu.
Sejenak Andin menegang mendengar kalimat Al, namun segera ia berhasil menguasai dirinya.
"Sorry ya, Om. Yang Om bayar itu si Merry, bukan aku." Merasa tak gentar, Andin terus menampakkan perlawanannya.
"Oh, jadi kamu menginginkan bayaran khusus? Baiklah ...," Al menjeda kalimatnya, mengeluarkan sejumlah uang yang sudah ia siapkan di balik jasnya. Uang itu biasanya akan ia berikan pada gadis-gadis yang menemani malamnya sebagai bonus setelah mereka menyelesaikan tugasnya. Tapi kali ini, ia memberikannya pada Andin di muka.
"Ini, lima juta, cukup?" ujar Al sembari menyodorkan sejumlah uang tepat di depan wajah Andin, namun respon gadis itu membuatnya tercengang. Ia menepis uang tersebut, "bukan ini yang aku mau," ujarnya ketus.
"Baiklah, 10 juta?" Al menaikkan tawarannya.
"No!"
Andin tetap menolak dengan tegas.
Aldebaran menghela nafasnya panjang,
"Oke, Cantik, kalau begitu tulislah sendiri nominal yang kamu inginkan di sini." Al menyerahkan sebuah cek dan bulpoin ke hadapan Andin.
Tapi lagi-lagi gadis itu menepisnya. "Aku tak menginginkan uangmu, Om!" serunya penuh keberanian.
"Cuiih, Nggak usah naif! bukankah keberadaanmu di sini sudah cukup menjelaskan bahwa kau menginginkan uangku?" sungut Al mulai emosi.
Andim tersenyum sinis, "Anda tidak bisa menilaiku serendah itu, Om!'' jawabnya santai.
"Lalu apa maumu kalau bukan uang? Dasar gadis aneh," heran Al tak dapat memahami kemauan Andin.
"Apa Om begitu menginginkanku sehingga rela mengeluarkan sejumlah uang yang terbilang besar hanya untuk kenikmatan semalam?" Andin menghiraukan pertanyaan Al dan justru malah bertanya balik.
"Menurutmu? Nggak usah sok jual mahal, anak muda!" sungut Al.
"Kalau memang itu yang Om mau, Om bisa mendapatkannya dariku setiap malam secara gratis, tapi dengan satu syarat." Andin mencoba menyelamatkan kehormatannya dengan memberikan sebuah penawaran pada lelaki berhidung belang di hadapannya.
"Cepat sebutkan apa syarat itu!" ucap Al tak sabaran, baginya yang terpenting saat ini ia bisa segera menyalurkan hasratnya pada gadis yang pesonanya telah membuatnya seakan tengah berada dalam pengaruh sihir.
Sejenak suasana menjadi hening, sebelum kemudian suara Andin memecah keheningan, "Nikahi aku!",
Bab 2
2
"Nikahi Aku!" gadis dengan nama lengkap Andini Kharisma Putri itu mengatakan syaratnya dengan lantang dan tegas, sontak membuat Al tertawa.
"Hahaha, menikah?"
"Iya." jawab Andin mantap.
"Itu hal yang mustahil saya lakukan!" mimik wajah Aldebaran berubah menjadi dingin setelah tawanya menggema ke seluruh penjuru ruangan.
"Kalau Om tidak bersedia, maka aku juga tak akan membiarkan Om menyentuhku!" jawab Andin berusaha tetap tenang.
Aldebaran memandang gadis di hadapannya sekali lagi, sejenak ia merasa heran dengan dirinya sendiri, bagaimana mungkin hanya dengan memandang wajah cantiknya membuat aliran darahnya berdesir hebat? Padahal seluruh tubuh gadis itu masih terbalut oleh busana yang dikenakannya. Ia merasakan suatu hal yang berbeda dari biasanya.
"Sial, kenapa gua begitu menginginkannya?" batin Al merutuki, andai saja ia tak terjerat oleh pesona gadis di hadapannya itu, sudah barang pasti ia meninggalkannya pergi dengan kembali mengambil alih uang seratus jutanya di tante Merry.
"Sebutkan apapun syarat yang kau mau, asal jangan pernikahan," sahut Al sembari menatap lekat kedua manik mata Andin.
"Memangnya kenapa dengan pernikahan? Apa ada yang salah?"
"Pernikahan hanya akan membatasiku, dan aku benci itu!" Al mengatakannya sembari menjauhkan posisinya dari Andin, pandangannya kosong menatap ke luar jendela. Entah mengapa ia begitu membenci pernikahan, baginya pernikahan hanya akan membuat hidupnya menderita. Dengan segala tuntutan dan tanggung jawab yang akan dibebankan di pundaknya.
Ia juga membenci hidup berkeluarga, baginya hidup sebatang kara dengan segala kebebasan yang dimilikinya lebih baik dari kehadiran keluarga yang hanya akan merepotkannya.
Ia sudah terbiasa hidup tanpa keluarga di sisinya, dan ia menikmati hal itu, walau sering kali ia merasakan hampa di dalam hantinya.
"Om tenang saja, aku tak akan menuntut apapun, juga tak akan membatasi hidup Om. Cukup nikahi aku sekedar untuk halal menyentuhku, setelah itu akan kubebaskan Om dari segala tanggung jawab sebagai suami," jelas Andin mantap. Walau dalam hatinya ia tengah merasakan ketakutan yang amat sangat, namun tak ada pilihan lain, hanya cara ini yang dapat ia pilih untuk menyelamatkan kehormatannya dari lelaki di hadapannya, juga leleki-lelaki selanjutnya yang akan mendatanginya dengan niatan yang sama.
Membayangkannya saja sudah membuatnya bergidik ngeri. Tak pernah ia sangka sebelumnya nasib akan membawanya ke tempat seperti neraka ini.
Semua terjadi begitu cepat, dan ia tak ingin merelakan kehormatan yang selama ini ia jaga terenggut sia-sia hanya seharga rupiah.
"Maksud kamu?" tanya Al tak paham.
"Ya, aku tak akan menuntut hak ku sebagai istri, aku tak akan menuntut dinafkahi, juga tak akan menuntut kesetiaan. Om bisa bebas melanjutkan hidup sebagaimana mestinya. Tidak akan ada yang berbeda dari kehidupan Om sebelum dan sesudah menikahi aku. Bagaimana?" tawar Andin lagi.
Aldebaran diam berpikir, ia tersenyum sinis.
"Hanya perempuan bodoh yang akan memberikan penawaran semacam itu," ucapnya meremehkan.
"Terserah bagaimana Om menilaiku, tapi itu yang aku mau, bukankah penawaranku ini banyak menguntungkan Om? Om tak perlu mengeluarkan banyak uang untuk membayarku, hanya perlu menikahiku di hadapan penghulu dan aku akan menjadi milikmu selama kau mau. Bukankah itu sangat menguntungkan?" desak Andin lagi.
"Ya, tentu itu hal yang sangat menguntungkan, jika kau tak melakukan kecurangan. Apa jaminan yang membuat saya yakin kau tak memiliki niatan buruk dalam rencanamu ini?" tanya Al penuh selidik.
"Om bisa menceraikanku kapanpun Om merasa keberadaanku mulai membahayakan." Andin menyahuti mantap.
Kembali Aldebaran hanya terdiam.
"Kenapa? Apa Om masih meragukanku?" tanya Andin lagi.
"Tentu saja saya ragu. Semua ini terasa sangat aneh, apa keuntungan yang kau dapatkan dari pernikahan absurd yang kau mau ini? Bukankan hal ini justru merugikanmu sebagai seorang wanita?" Aldebaran mulai menyampaikan keganjalan dalam hatinya, walau ia pria dengan tittle badboy, tapi sesungguhnya ia memiliki hati yang tulus. Ia tak akan memanfaatkan kesempatan hanya demi kepuasan egonya.
"Justru ini hal yang menguntungkan bagiku sebagai seorang wanita. Karena keputusan ini akan membebaskanku dari tempat rasa neraka ini. Impas bukan? Aku terbebas dari tindasan Merry, dan Om mendapatkan apa yang Om inginkan dariku." Andin menyampaikan alasannya mantap, dalam hati ia menyimpan harapan besar lelaki di hadapannya ini akan menyelamatkan kehormatannya.
Al memutar bibirnya, matanya melirik ke atas, alis tebalnya saling tertaut, pertanda ia tengah mencerna penjelasan Andin.
"Sepertinya tawaran ini cukup menarik, gadis ini juga tak tampak matre seperti wanita pada umumnya, mungkin niatnya memang tulus karena ingin melepaskan dirinya dari jerat kekuasaan Merry.
Gua memang nggak tahu apa yang melatarbelakangi keberadaannya di tempat ini, tapi kalau melihat dari segi penampilannya, seperti tak mungkin ia sengaja menjual diri. Sepertinya dia wanita baik-baik.
Nggak ada salahnya juga gua terima tawaran ini, lagipula dia bersedia gue nikahi tanpa mengikat gue dengan segala tanggung jawab suami yang akan merepotkan gue. Sesuai dengan yang gue harapkan. Gue juga bisa menjadikannya sebagai bahan untuk membungkam mulut Oma yang tiap kali bertemu memintaku untuk segera menikah.
Dan lagi tak kan kubiarkan dia menolakku begitu saja, tidak pernah ada ceritanya dalam kamus seorang Aldebaran ditolak oleh wanita, itu hanya akan menurunkan harga diri gue sebagai laki-laki. Lihat saja, akan gue buktikan padanya, bahwa ia tak kan bisa berpaling dari pesona Aldebaran Alfahri," batin Al mulai mempertimbangkan.
"Jadi gimana, Om?" Andin bertanya sekali lagi meminta kepastian.
"Eum, masuk akal," sahut lelaki berahang kokoh itu sembari mengangguk-anggukkan kepalanya, "Oke, deal, saya akan nikahi kamu." Al akhirnya menyampaikan keputusannya. Membuat Andin tersenyum lega.
Akhirnya usahanya untuk lepas dari tempat keji ini berbuah hasil. Walau harus melalui uluran tangan lelaki buaya di hadapannya, ia tetap bersyukur, setidaknya ia berhasil menyelamatkan dirinya dari perbuatan terhina.
"Alhamdululillah, semoga ini menjadi solusi terbaik untuk kondisiku saat ini.
Ya Allah, hamba pasrahkan takdirku dalam pernikahan ini pada-Mu. Hamba memutuskannya dengan tujuan kebaikan, semoga apa yang hamba dapat dari pernikahan ini juga kebaikan.
Hamba yakin, setiap hamba yang mentaati syariat-Mu pasti akan selamat, sebagaimana janji-Mu yang selalu tepat.
Tuntun hamba dalam setiap langkah perjalanan hamba menapaki jalan kehidupan ini, tetapkan hamba selalu berada di jalan Ridho-Mu ya Rabb ...," batin Andin penuh harap.
"Kamu tunggu di sini, saya selesaikan dulu urusan dengan Merry!" titah Al beranjak meninggalkan Andin.
"Om!" Panggil Andin menghentikan langkah Al.
"Apa lagi?"
"Terima kasih," ucap Andin dengan senyuman mengembang.
"Hem."
"Namaku, Andin, Andini Kharisma Putri." Andin memperkenalkan dirinya tanpa diminta.
"Saya nggak nanya."
"Tapi Om butuh tahu untuk akad nikah," jawab Andin setengah meledek.
Al melirik Andin sinis,"Nggak usah meledek!"
"Siap, Om!"
"Jangan panggil saya Om!"
"Lalu?"
Bab 3
3
"Jangan panggil saya Om!"
"Lalu?"
"Suka-suka kamu asal jangan Om," jawab Al asal.
"Eum, kalau gitu aku panggil siapa ya ...?" gumam Andin sembari mengetuk-ngetukkan telunjuknya di dagu. "Gimana kalau ... Oppa?" tanya gadis penggemar drakor itu berbinar. Ia jadi senyum-senyum sendiri membayangkan kedekatannya dengan Om-om di hadapannya akan seromantis drama Oppa-Oppa Korea yang biasa ditontonnya.
"Opa? Memangnya kau kira saya setua itu?" tanya Al dengan nada tinggi.
"Lho, kok tua sih, Om?" heran Andin.
"Opa gandengannya Oma, kan?" ucap Al polos mengundang tawa Andin.
Andin tertawa sampai terpingkal-pingkal di depan lelaki dewasa yang hanya melihatnya dengan pandangan penuh tanya.
"Kamu menertawai saya?" tanya Al dengan pandangan menyalang.
"Aduh, maaf ya, Om. Habisnya Om lucu sih.'' Andin berusaha menghentikan tawanya, sedangkan Al hanya menggeleng-gelengkan kepala. " Bocah sableng," gumamnya menggerutu.
"Oppa itu panggilan untuk lelaki yang lebih tua dalam bahasa korea, Om. Tapi biasanya ditujukan pada seseorang yang dikenal dekat." Andin menjelaskan makna dari panggilan sayang khas korea itu.
"Kirain Opa aki-aki," gumam Al pelan.
"Bukan, Om. Masa iya lelaki setampan Om disamain ama aki-aki?" sahut Andin memuji, "Jadi gimana?" lanjutnya.
"Terserah kamu aja lah," jawab Al tak mau ribet.
"Memangnya nama Om siapa?"
"Aldebaran," jawab Al singkat.
"Oke kalau gitu sementara aku panggil Oppa aja, ya? Sambil memikirkan panggilan apa yang lebih pas untuk Om. Oke, Oppa Al?"
"Terserah," jawab Al singkat kemudian berlalu hendak menemui tante Merry. Namun baru saja ia melangkahkan kakinya, suara Andin kembali menghentikannya.
"Oppa Al ...," panggilnya dengan nada manja.
Al menghentikan langkahnya dan membalikkan tubuhnya malas.
"Apa lagi, Ndin?" tanyanya gemas pada bocah cantik di hadapannya.
"Sarangheo, Oppa," ucap Andin dengan membentuk love menggunakan kedua ujung ibu jari dan telunjuknya yang ditautkan ala-ala drama korea.
"Kamu ngatain saya beo?" tanya Al tak terima.
"Ya ampun, Oppa, ini sarang-heo bukan sarang-beo!" jelas Andin dengan memaju-mundurkan icon hati yang dibentuknya, seolah menggambarkan sebuah jantung yang sedang berdebar-debar.
"Astaga, bahasa planet mana lagi itu? Udah ah, bisa stress saya lama-lama di sini," ucap Al sambil berlalu.
Andin tersenyum geli melihatnya,
"Sarangheo itu I Love You versi bahasa Korea, Oppa!" teriak Andin diiringi pintu kamar yang kembali tertutup menghilangkan punggung Al di balik sana.
Al yang samar-samar mendengar teriakan Andin hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, "Mimpi apa gua semalam? Bisa-bisanya gua mau kawinin bocah tengil macem Andin," batinnya sembari tersenyum tipis, menyadari tingkah konyol Andin yang cukup menghibur malamnya.
Hal yang sama juga tengah terjadi pada Andin di dalam kamar, ia tengah senyum-senyum sendiri melihat dirinya yang sedari tadi meledek calon suami dadakannya.
"Kira-kira panggilan apa ya yang cocok untuk om Al?" gumamnya mulai bertanya-tanya.
"Apa Mas ya? Mas Al? Tapi kayanya terlalu mainstream deh manggil suami dengan sebutan Mas,'' lanjutnya.
Ia lanjut berpikir,
"Eumm, Atau kakak aja ya? Kak Al? Ah, tapi panggilan itu membuatku teringat pada orang yang saat ini sangat kubenci. No ... No ... Nggak mungkin aku panggil kak," gumamnya lagi.
Andin menghela nafasnya, kemudian kembali menghembuskannya.
"Hem ... Kalau Abang cocok nggak, ya kira-kira? Bang Al? Kayanya cocok sih panggilan itu buat Om Al yang badannya kekar kaya preman. Tapi kok rasanya kaya kurang nyaman, ya?"
"Bang ... Bang Al ...? Bang ...? Idih, ngeri ah, kaya sensual banget kedengarannya, kurang terasa romantisnya," ucap Andin mencoba mempraktikkan memanggil Al dengan sebutan Abang.
"Ah pusing juga ya pilih panggilan buat si Om. Mas enggak, Kakak enggak, Abang juga enggak, apa Akang aja ya? Atau ... Ayang? Wkwkwk Ya Allah, aneh banget, kaya ABG labil aja ayang-ayangan." Andin menertawai dirinya sendiri, merasa lucu melihat dirinya sibuk mencari panggilan yang pas untuk calon suaminya.
Merasa belum juga menemukan solusi, Andin memutuskan untuk sejenak mengisitirahatkan diri dari memikirkan panggilan apa yang cocok untuk calon suaminya.
Ia berjalan ke arah jendela di hadapannya. Dibukanya jendela itu perlahan, hingga dingin angin malam menyeruak menerpa wajah cantiknya. Andin memejamkan mata, menikmati belaian angin malam yang begitu menyegarkan.
"Aku tak menyangka secepat ini akan sampai di tahap ini. Kehidupanku mengalami perubahan yang begitu drastis sejak kematian Ayah dan Ibu yang terjadi begitu tiba-tiba. Kecelakaan yang merenggut nyawa mereka itu membuat Aku yang awalnya hanyalah gadis kecil manja, kini harus berhadapan langsung dengan kejamnya dunia.
Sebelumnya hal yang memenuhi pikiranku hanyalah bagaimana aku merancang masa depanku. Tentang kuliahku yang baru menginjak semester tujuh. Tentang karirku yang baru akan dirintis. Tak pernah sedikitpun terbesit untuk memikirkan sebuah pernikahan.
Namun ternyata, takdir tentang pernikahan itulah yang terlebih dulu menyapa. Tapi tiada yang bisa kuungkapkan saat ini selain rasa syukur yang tiada tara. Bersyukur aku dipertemukan dengan Om tampan yang bersedia menghalalkanku sebelum ia menyentuh tubuhku. Yang menyelamatkanku dari dosa terhina seorang wanita.
Allah begitu baik terhadapku, hampir saja aku putus asa dengan takdir-Nya, saat kedua kakak tiriku diam-diam menjualku ke tempat ini untuk melunasi hutang-hutang kedua orang tua kami.
Ku kira semuanya akan berakhir hina di ranjang ini, ku kira kehormatanku akan terenggut paksa dan menyisakan penyesalan sepanjang masa. Tapi, lagi-lagi Allah Maha Baik, ia tak akan membiarkan hambanya yang bertakwa jatuh ke jurang kenistaan. Tiada yang mustahil jika kita mau menunjukkan usaha, tidak begitu saja pasrah pada takdir yang menimpa.
Karena kita tidak pernah tahu, ada hikmah apa di balik setiap kejadian. Semuanya tergantung pada bagaimana sudut pandang kita dalam menilai setiap takdir yang datang menyapa.
Bisa saja Allah menjatuhkan kita ke dasar lautan, karena Dia ingin melihat bagaimana kita akan survive di sana. Apakah kita akan pasrah dan membiarkan diri tenggelam, atau justru berusaha bertahan dengan terus berenang dan mencari sumber penyelamat.
Mungkin saja di balik rencana itu Allah ingin kita menyadari kuasa-Nya, ingin kita menyadari bahwa ada kehidupan indah di dasar sana. Bahkan mutiara yang berharga hanya bisa didapat oleh mereka yang mau menyelami lautan.
Tidak ada yang tidak mungkin bagi-Nya, bukankah Nabi Yunus dapat bertahan hidup di dasar laut dengan perantara ikan yang melahapnya? Karena pertolongan Allah akan selalu ada, asalkan kita mau berusaha dan meminta.
Mungkin ini juga menjadi salah satu jawaban dari doa kedua orang tuaku, yang berharap aku tumbuh menjadi sosok wanita yang selalu mengamalkan aturan agama.
Ah, mengingat mereka berdua aku jadi rindu, apakah mereka kini tengah berbahagia? Melihat anak gadisnya akan segera menikah?" batin Andin sembari menerawang cakrawala yang membentang indah.
Tiba-tiba suara pintu yang dibuka mengejutkannya, dengan cepat Andin menoleh ke arah pintu, tampak di sana Tante Merry ditemani dua anak buahnya baru saja membuang dan menginjak puting rokok mereka asal.
Tante Merry berjalan semakin mendekat, ia tersenyum penuh makna ke arahnya.
"Hai, Ndin. Lu udah siap? Tuan Alddbaran sudah menunggumu di depan," ucap Tante Merry sembari mengitari dirinya yang tengah berdiri di sisi jendela, pandangannya terus melekat menjelajahi setiap inci dari tubuhnya.
Andin menegang, merasakan sikap tante Merry yang begitu menyeramkan.
"Mimpi apa gua semalam? Tiba-tiba mendapat rejeki nomplok begini? Kedatangan Lu ke tempat ini benar-benar membawa banyak keberuntungan, Ndin," lanjut tante Merry masih dengan berputar-putar mengelilingi dirinya.
Kemudian tante Merry menghentikan langkahnya tepat di hadapan Andin, ia mengangkat wajah Andin kasar, "Lu memang cantik sih, tapi gua nggak nyangka kalau si Al sampai bakal ngebeli Lo dari gua buat koleksi pribadinya," ucap Merry seraya memandang kedua mata Andin lalu melepas tangannya dari wajahnya.
Ucapan tante Merry sontak membuat Andin terkejut, "Om Al membeliku dari tante?"
"Yups, karena gua nggak bakal biarin dia bawa Lu pergi gitu aja, harus ada yang dia bayar dari barang berharga macam Lu, bener-bener pembawa keberuntungan kan, Lu? Hahaha," ucap tante Merry sembari tertawa terbahak-bahak.
"Astaghfirullahal 'Adziim ...," Lirih Andin pelan, ia tak menyangka keputusannya meminta Al untuk menikahinya akan semerepotkan ini.
"Dan Lu mau tau? Dia bayar berapa buat dapetin Lu?" tanya tante Merry lagi dan di jawab anggukan kepala oleh Andin, Ia begitu penasaran sebanyak apa Om Al-nya itu mengeluarkan uang untuk menyelamatkannya dari Neraka dunia ini, dan ia bertekad akan menganggapnya sebagai hutang yang harus dibayar.
"Aldebaran bayar Lu senilai ...."
Bab 4
4
"Jadi kita mau langsung pulang atau gimana, Pak?" tanya Sopir pribadi Al setelah melihat tuannya selesai dengan aktifitas teleponnya. Sedari tadi ia sibuk menghubungi banyak orang untuk membantunya mempersiapkan acara pernikahan esok.
"Sebentar." Al meminta tenggang waktu untuk menjawab.
"Ndin," panggil Al membuyarkan lamunan Andin. yang sedari tadi hanya terdiam memikirkan ucapan tante Merry tentang Al yang membeli dirinya seharga Bar miliknya.
Ia menerka-nerka, berapakah harga Bar terbesar se-Surabaya itu jika dirupiahkan? Sanggupkah ia mengembalikan jumlah itu pada Al?
"Ya, Om?" sahut Andin yang belum sepenuhnya sadar.
Al menoleh dengan pandangan menyalang.
"Ah, maksudnya, Oppa Al," lanjutnya dengan senyuman bersalah.
"Nggak ada panggilan yang lebih enak didengar apa?" protes Al.
"Aku masih memikirkannya, Oppa, memangnya ada apa?" jawab Andin.
"Di mana kamu tinggal sebelumnya?" Al bertanya tanpa basa-basi.
"Kenapa Oppa tanya begitu? Oppa mau kembalikan aku ke tempat asalku?" tanya Andin heran. Setelah membayar dengan harga yang begitu besar, mana mungkin lelaki di hadapannya itu akan melepasnya begitu saja.
"Saya butuh beberapa data kamu untuk mengurus pernikahan di KUA," jelas Al tanpa basa-basi.
Andin tersenyum, tak menyangka lelaki di hadapannya itu begitu antusias mempersiapkan pernikahan mereka. Ia memang tidak mengenal sosok yang akan menikahnya itu, tapi dalam hati ia meyakini, bahwa Al adalah jawaban dari doanya yang Allah kirimkan untuknya.
"Sebelumnya aku ngekost, Oppa, di area dekat Universitas Airlangga."
"Kalau tempat tinggal orang tuamu?" tanya Al lagi.
Dina menghela nafasnya berat, "mereka sudah tenang di surga," jawabnya dengan pandangan kosong, tersirat kepedihan dari sorot matanya.
"Oh, Sorry, saya nggak tahu," ucap Al sesal.
"Nggak apa-apa," sahut Dina tersenyum tegar.
"Lalu wali nikahnya?"
"Wakil hakim saja, Oppa."
"Baiklah, Data kamu lengkap di kost-an? KTP, KK, Ijazah?" tanya Al lagi.
"Lengkap, kok," sahut Andin.
"Kalau gitu kita ke sana. Supri, mana handphone kamu," pinta Al pada sopirnya.
"Ini, Pak."
Al meraih ponsel yang diberikan Supri, kemudian menyerahkannya pada Andin.
"Tentukan titik lokasinya di Maps, biar bisa jadi petunjuk jalan untuk Supri!" titah Al pada Andin.
"Nggak usah, Oppa, biar aku pandu aja pak Sopirnya," tolak Andin tak merasa keberatan harus memandu jalan.
"Nggak usah bantah, udah cepetan cari!" titah Al tak terbantah. Segera Andin mencari titik kost-annya di Maps, kemudian kembali menyerahkan ponsel itu ke Al.
"Supri, kamu ikuti petunjuk jalan ini, ya!"
"Baik, Pak."
"Dan kamu, tidurlah! ini sudah lewat tengah malam," titah Al membuat hati Andin menghangat. Walau ia tampak sibuk menelpon sana sini, tapi perhatiannya tak luput dari bocah tengil yang berkali-kali menguap di sisinya.
"Walau gayanya badboy, tapi ternyata perhatian juga nih Om-Om," batin Andin sembari melirik Al.
"Nggak usah senyum-senyum, dah buruan tidur! Perjalanan ke kost-anmu masih setengah jam lagi."
"Aku belum ngantuk," jelas Andin merasa tak enak jika harus tidur sedangkan yang lain terjaga.
"Ya terserah kamu kalau begitu," jawab Al singkat kemudian kembali sibuk dengan ponselnya.
Suasana hening, tak ada lagi obrolan di antara mereka, membuat Andin semakin tak dapat menahan kantuknya, tanpa ia sadari akhirnya ia tertidur juga.
"Ndin ..." panggil Al masih fokus dengan ponselnya, tapi tak ada sahutan.
"Andin ..." panggil Al lagi, namun Andin tetap tak menyahuti.
Al meletakkan ponselnya di saku, kemudian menoleh ke sisinya, tampak Andin yang tengah tertidur dengan memeluk tubuhnya sendiri.
Al tersenyum tipis, "Supri, tolong AC-nya dikecilkan!" titah Al yang mengira Andin tengah kedinginan.
****
"Saya terima nikah dan kawinnya Andini Kharisma Putri binti Almarhum Surya Saputra dengan mas kawin tersebut dibayar tunai." Al mengucap ijab qobulnya dengan mantap.
"Bagaimana saksi? Sah?"
"Sah!"
"Alhamdulillahirobbil 'Alamin."
Acara prosesi pernikahan yang diadakan pagi itu telah usai. Semalaman Aldebaran mengurus segala sesuatunya, menggerakkan anak buahnya untuk menyiapkan acara pernikahan dadakan. Hingga pagi ini akhirnya acara pernikahan yang sangat sederhana itu telah usai.
Pernikahan itu hanya dihadiri oleh kedua mempelai, seorang Ustadz, seorang penghulu, Oma Rose--Nenek Al dan empat orang saksi.
Pernikahan ini memang sengaja diadakan secara sirri, sebab semua prosesnya terjadi dalam kurun waku yang sangat singkat. Tak ada cukup waktu untuk mengurus banyak dokumen dan persyaratan untuk melaksanakan pernikahan yang Sah secara Negara.
Aldebaran hanya ingin segera mendapatkan apa yang diinginkannya, perkara administrasi dengan KUA akan diurusnya belakangan. Lagi pula Andin juga tak keberatan dengan hal itu.
Dengan berbekal kehadiran empat saksi dan bukti dokumentasi, akan sangat mudah mengurus pernikahan di KUA.
"Al, kamu kenapa mau menikah nggak ngomong-ngomong dulu sama Oma? Kalau Oma tahu kan Oma bisa bantu menyiapkan segala sesuatunya," protes Oma Rose pada cucunya. Seorang wanita tua yang sangat menyayangi Aldebaran.
"Sudah lah, Oma. Yang terpenting kan Al sudah menikah. Ini kan yang Oma inginkan sejak dahulu?" jawab Al dengan lowtonenya, lelaki dingin itu selalu berkata lembut pada wanita tua yang mencintainya dengan sepenuh jiwa. Baginya beliaulah satu-satunya orang yang harus dihormatinya sepeninggal ayah dan ibunya.
"Kamu itu ya, suka aneh-aneh aja kelakuannya. Sukanya ngerjain orang tua deh. Untung Oma nggak jantungan!" keluh sang Nenek dengan gaya tuanya.
Pagi-pagi sekali memang Al meminta Asisten pribadinya menjemput sang nenek tanpa pemberitahuan terlebih dahulu sebelumnya. Dan saat wanita tua itu tiba di kediamannya, ia disambut oleh beberapa orang yang sedang berkerumun untuk melangsungkan akad nikah. Semua yang serba tiba-tiba membuatnya terkejut dan menyimpan ribuan tanya dibenaknya.
"Iya, Maafin Al, Oma. Lagian Al udah nggak sabar pengen cepet nikahin dia, masalahnya dia nggak mau Al sentuh sebelum Al nikahin," jelas Al berterus terang sembari melirik Andin yang sedari tadi hanya terdiam.
"Ya memang begitu yang bener, bersyukur kamu ketemu sama perempuan macam dia, berasa dapat rejeki nomplok tau nggak Oma liatnya," ucap Oma Rose sembari berjalan mendekati Andin.
Melihat Oma Rose yang mendekat, Andin segera beranjak dari tempatnya, kemudian meraih tangan keriput wanita tua yang masih tampak cantik itu untuk diciumnya.
"Oma ..." sapanya ramah.
"Hai, Nak. Siapa namamu?"
"Andin, Oma," jawab Andin tersenyum manis.
"Cantik," pujinya sembari membalas senyum Andin.
"Terima kasih, Oma," balas Andin ramah.
"Gimana ceritanya kamu bisa nikah sama cucu Oma? Kok kamu mau sih, Ndinsama Al?" tanya Oma Rose penasaran.
"Habisnya Oppa Al tampan, Oma, Kiyowo,'' ucap Andin dengan mimik wajah imutnya.
"Oppa Al? Kaya di film-nya lee min hoo aja kamu manggilnya?" sahut nenek kekinian itu.
"Kok Oma tahu, sih?"
"Tau, dong, kan Oma penggemar drakor," jawab Oma Rose.
"Wah, beneran, Oma? Sama dong dengan Andin," sahut Andin antusias.
"Kamu juga suka drakor? Wah, kebetulan sekali, jadi Oma punya teman se-frekuensi sekarang," ucap Oma Rose tak kalah antusias.
"Iya, Oma," sahut Andin tersenyum hangat, nenek suaminya itu begitu ramah dan penyayang.
"Gimana kalau sekarang kita nonton drakor? Di Channel langganan Oma ada tayang series baru hari ini," ajak Oma Rose.
"Wah, boleh, Oma."
Kemudian Oma Rose membawa Andinmenuju ruang keluarga.
"Lho, Oma, istri Al mau dibawa kemana?" tanya Al yang baru menyadari istrinya diculik oleh sang Oma.
"Nonton drakor bentar," teriak Oma Rose.
"Oma ... Andin harus istirahat. Ndin, sebaiknya kamu ke kamar!" titah Al pada Andi n.
"Al ini masih siang, keburu amat sih? Tunggu malam aja, lah. Andin biar temani Oma dulu," sahut Oma Rose kembali merangkul Andin berjalan menuju ruang keluarga. Sedang Andin hanya bisa menurut dengan sesekali memandang suaminya iba.
"Astagaa Oma! Pending lagi deh!" ucap Al pasrah.
Bab 5
5
Shodaqallahul'adziim ...
Andin segera mengakhiri bacaan Al Qur'annya saat mendapati suaminya telah datang dari mengantar Oma.
"Aa' sudah datang?" tanyanya sembari berdiri mendekat ke arah Al. Andin segera meraih tangan Al dan menciumnya saat ia telah berada di hadapan suaminya.
Perlakuan Andin membuat Al menegang, ia tak menyangka bahwa gadis yang dinikahinya atas dasar simbosis mutualisme itu akan bersikap begitu manis padanya.
"Kamu nggak perlu melakukan itu pada saya, Ndin," ucap Al sembari menarik pelan punggung tangan yang baru saja dikecup penuh hormat oleh istrinya.
"Memangnya kenapa?''
"Karena kamu tahu sendiri apa alasan saya menikahi kamu, jadi nggak perlu terlalu bersikap seperti suami istri pada umumnya," jawab Al dingin.
Andin tersenyum, "Apapun alasan Aa' menikahi aku, tetap kenyataannya saat ini Aa' adalah suami aku. Aku tetap harus memperlakukan Aa' sebagaimana mestinya, karena ini merupakan kesempatan untuk aku mendapatkan pahala dalam pernikahanku," jelas Andin membuat Al menatapnya tak percaya. Namun ia lebih memilih untuk tak terlalu memikirkannya. Baginya, apapun yang dilakukan Andin padanya, selama itu tidak mengganggu kenyamanannya, maka ia akan biarkan saja. Yang terpenting tujuannya menikahi gadis cantik itu segera tercapai.
"Aa' butuh apa? Mau mandi? Tadi udah Aku siapin tuh," jelas Andin lagi.
"Iya, saya mau mandi. Tapi sebentar, tadi kamu panggil saya siapa?" tanya Al yang baru menyadari panggilan baru untuknya.
"Aa," jawab Andin cepat.
"Aa'?" tanya Al heran.
Andin mengangguk, "kenapa? Aa' nggak suka aku panggil gitu? Kalau gitu nanti aku pikirkan lagi gantinya," sahut Andin tak ingin membuat suaminya merasa tak nyaman.
"Bukan, bukan nggak suka. Cuma kenapa kamu pada akhirnya memilih untuk memanggil saya dengan sebutan itu?" tanya Al penasaran, ada hangat dalam hatinya kala mendengar Andin memanggilnya dengan sebutan khas orang sunda itu.
"Ya, jadi setelah aku pikir-pikir memang sepertinya panggilan itu yang paling pas di hati, karena dengan begitu aku lebih bisa merasakan dekat dengan Aa', sehingga ada feel tersendiri saat memanggil Aa' dengan sebutan itu.
Sebenarnya mungkin karena panggilan itu sudah nggak asing aja sih di telinga, almarhumah ibuku orang sunda, beliau memanggil Ayahku dengan sebutan itu. Ibu sosok istri yang sangat baik dan penyayang untuk ayah. Dan aku berharap bisa meneladaninya. Itu aja sih alasannya," jelas Andin pada Al.
Al hanya manggut-manggut paham, dalam hatinya ia bertanya-tanya, mengapa gadis di hadapannya itu begitu tulus menjalankan perannya sebagai seorang istri, padahal ia menikahinya sama sekali bukan atas dasar cinta. Tapi, lagi-lagi ia tak ingin terlalu memimirkannya.
"Ya udah, saya mau mandi dulu, kamu sebaiknya makan malam, di meja makan bi Ina sudah menyiapkan makan malam untuk kita," titah Al pada Andin.
"Aku tunggu Aa' aja ya makannya, lagian juga nanggung, bentar lagi waktu Isya', sekalian aku tunggu aja," jelas Andin yang masih mengenakan mukena.
Al memandang Andin dari atas ke bawah, melihat Andin dengan balutan mukena ia merasakan aura yang berbeda terpancar dari paras cantiknya. Kemudian ia mulai teringat, telah bertahun lamanya meninggalkan sholat.
"Kenapa A'? Tanya Andin membuyarkan lamunan Al.
"Nggak apa-apa, terserah kamu aja kalau memang mau menunggu," jawab Al kemudian berlalu.
Andin tersenyum, kemudian berjalan ke tepi ranjang, sekedar mengecek ponselnya yang baru saja ia nyalakan kembali setelah seharian ia tak sempat menyentuhnya. Mengecek beberapa info dari kampus tempatnya kuliah sembari menunggu waktu Isya' tiba.
Setelah membaca beberapa info yang di share di grup, Andin lanjut membuka beberapa pesan pribadi dari teman-temannya yang masuk. Saat asyik berbalas pesan tiba-tiba ada pesan masuk dari kakak tingkat yang diidolakannya.
"Hah, kak Ali kirim pesan?" kemudian dengan semangat ia membuka pesan dari idolanya.
[Hai, Ndin. Kemana aja baru keliatan online?]
"Ya ampun, jadi diam-diam dia merhatiin aku online atau engga?" batin Andin merasa bahagia, seperti remaja pada umumnya, yang akan berbunga-bunga hatinya kala seseorang yang dikaguminya memberikan perhatian spesial.
"Ngapain senyum-senyum sendiri?" suara bariton milik suaminya tiba-tiba memembuatnya terlonjat kaget.
"Astaghfirullah Aa', ngagetin aja sih?" gerutu Andin reflek. Ia terkejut mendapati suaminya yang tiba-tiba sudah keluar dari kamar mandi, tapi yang lebih membuatnya kaget adalah, kesadarannya bahwa kini ia wanita yang sudah bersuami. Tak sepantasnya ia menikmati berbalas chatt dengan lelaki lain.
"Aa' sudah selesai?" tanya Andin sembari memandang Al di hadapannya dengan penuh makna. Pasalnya suaminya itu hanya mengenakan handuk yang melilit di perut hingga lututnya, menampilkan bentuk kekar tubuhnya yang sangat menggairahkan. Kulit sawo matangnya yang masih setengah basah menambah kesan eksotis saat dipandang.
"Udah," jawab Al singkat.
Setelah itu terdengar suara Adzan dikumandangkan.
"Alhamdulillah, sudah masuk waktu isya'," gumam Andin pelan. "Aa' mau sholat Isya'? Yuk Andin tungguin, kita sholat bareng," ajak Andin pada suaminya.
"Nggak, kamu aja," jawab Al sembari mengenakan kaosnya.
"Kenapa? Aa' nggak sholat?"
"Engga, saya udah lama nggak melakukan ritual itu," jelas Al apa adanya, membuat Andin sedikit terkejut, kemudian memakluminya.
"Kenapa? Kamu mau maksa saya sholat? Saya nggak suka dipaksa-paksa," lanjut Al lagi.
Andin tersenyum, "Nggak, kok, A'. Aku nggak akan maksa Aa' untuk sholat. Karena agama Islam bukan agama yang suka memaksa ummatnya," sahut Andin ramah.
"Kalau nggak maksa ya nggak akan diwajibkan, Ndin," sahut Al santak sembari melempar asal handuk yang dikenakannya.
"Sholat diwajibkan bagi kita karena kita membutuhkannya A', bukan karena Allah yang butuh kita untuk sholat," jelas Andin membuat Al memandangnya penuh tanya.
"Apa manfaat sholat sehingga kita membutuhkannya? Bukankah sholat hanya ritual peribadatan antara hamba dengan Tuhannya?" tanya Al tak mengerti maksud dari ucapan Andin.
"Sholat memang ritual peribadatan A', tapi Tuhan tak akan memerintahkan kita melakukan hal yang merugikan diri kita.
Banyak manfaat yang kita dapat dari sholat, misalnya kesehatan jasmani dan rohani, secara jasmani gerakan sholat memiliki banyak manfaat untuk kesehatan tubuh kita, coba deh Aa' baca-baca artikel terkait itu. Banyak kok di mbah gugel. Selain itu, sholat juga bisa menyehatkan sisi rohani kita, karena dengan sholat kita akan mendapatkan ketentraman hati," jelas Andin membuat Al tampak berpikir.
"Lagipula kita nggak pernah dipaksa untuk sholat, kok. Kita tetap dibebaskan memilih kan? Bebas mau melakukannya atau tidak. Tentunya dengan konsekuensi masing-masing," lanjut Andin lagi menambah bahan pertimbangan untuk suaminya.
"Ya udah, kalau gitu aku sholat dulu ya, A'," pamit Andin pada Al yang masih terdiam mencerna penjelasannya.
"Ya, saya tunggu di meja makan," sahut Al kemudian berlalu.
***
Setelah menyelesaikan makan malam, Al dan Andin segera kembali ke kamar. Entah mengapa, Andin merasa sangat gugup saat berjalan beriringan menuju bilik yang sama dengan suaminya.
Pikirannya kini berkelana, membayangkan hal apa yang akan dilakukan lelaki dewasa itu padanya. Akankah malam ini menjadi malam bersejarah? Malam di mana ia harus menyerahkan mahkota kewanitaannya yang selama ini ia jaga hanya untuk suaminya.
"Kamu kenapa tegang gitu?'' tanya Al setelah mengunci pintu kamarnya, ia berjalan ke arah istrinya yang tengah terduduk di ujung ranjang, kemudian mengambil posisi dan duduk di sampingnya.
"Eng ... Nggak apa-apa, A', " jawab Andin terbata.
"Kenapa? Kamu merasa gugup akan melawati malam ini bersama saya?" tanya Al sedikit ingin menggoda gadis yang kini pipinya mulai merona itu.
Andin hanya tertunduk tanpa menjawab sepatah kata pun.
"Rilex aja, itu biasa terjadi pada orang yang baru saja melakukannya. Kamu nggak usah khawatir, saya nggak akan menyakiti kamu," ucap Al sembari memegang kedua bahu Andin dan menatapnya penuh makna.
"Iya, A'," jawab Andin lirih.
"Ya udah, kalau gitu boleh sekarang saya buka penutup kepala ini? Sejak semalam saya sudah penasaran dengan wajah kamu tanpa jilbab ini," tanya Al meminta izin untuk membuka jilbab yang dikenakan istrinya.
Ucapan Al semakin membuat degub jantung Andin berlompatan tak karuan, kedua telapak tangan dan kakinya mendadak terasa dingin, ia benar-benar merasa gugup di hadapan suaminya.
Setelah mendapatkan lampu hijau dari sang pemilik raga, Al mulai menggerakkan tangannya untuk membuka jilbab yang menutupi kepala Andin. Ia memulainya dengan melepas peniti yang dikenakannya, lalu meletakkannya di nakas, setelah itu dengan perlahan Al menurunkan kain yang menutup kepala istrinya itu ke arah belakang, ada desiran hebat yang dirasakannya kala melakukan hal itu pada Andin, desiran hangat yang belum pernah ia rasakan sebelumnya, walau ini bukan kali pertama ia melucuti busana wanita.
Perlahan namun pasti, kain jilbab itu akhirnya tertanggalkan, menampakkan rambut pirang Andin yang bergelombang, sungguh sangat sesuai dengan bentuk wajahnya yang cantik nan imut.
Sesaat Al memandangi Andin dengan penuh ketakjuban, kemudian tangannya mengarah ke bagian belakang kepala Andin, melepas sebuah jepit yang menyanggul rambut panjangnya. Setelah itu membiarkan mahkota istrinya itu terurai indah. Al meletakkan jepit itu di nakas, kemudian dengan perlahan merapikan letak rambut gelombang milik gadis yang sedari tadi hanya menundukkan pandangannya pasrah.
Al meraih dagu Andin dan mengangkatnya, ingin melihat bentuk wajah istrinya dengan lebih detail, "Lihat saya, Ndin," titahnya pelan.
Perlahan Andin mengangkat pandangannya, memberanikan diri memandang suami di hadapannya, "Ayo, Ndin, kamu bisa, kamu pasti bisa," batinnya menyemangati diri sendiri.
Al tersenyum saat kedua mata bulat istrinya itu memandangnya, ia lalu menggerakkan jemari yang mulanya berada di dagu ke arah Pipi Andin, memberikan sentuhan halus di pipi mulus milik istrinya, membuat gadis di hadapannya semakin deg-degan tak menentu.
"Cantik," puji Al dengan pandangan dan senyuman penuh makna.
Lanjut baca bab selanjutnya ya 😍
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
