
Chapter 6-10 (Cinta Satu Malam - Pesona Om Bujang Lapuk) yang bisa kamu baca gratis.
Bab 6-10.
Bab 6. Nikmat Pernikahan
"Cantik," puji Al dengan pandangan dan senyuman penuh makna.
"Astaggaaaahh, bisa copot ini jantung kalau dibiarin gini terus," batin Dina tak mampu lagi menahan gejolak di hatinya.
"Bentar A'," ucap Dina membuat fokus Al buyar.
"Kenapa, Din?"
"Dina deg-degan A'," ucap Dina sembari menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Membuat Al menahan tawa melihat tingkah polos istrinya.
"Gadis ini masih sangat polos dan lugu, sebenarnya apa yang terjadi padanya, mengapa ia bisa berada di tempat tante Merry?" batin Al mulai bertanya-tanya.
"Lucu ya, kamu," ucap Al sembari mengacak rambut Dina asal. Pandangannya yang sempat menggelap kini berubah menghangat. Dina dengan segala kepolosannya justru mewarnai malam yang sangat dinantikannya.
Biasanya, ia hanya melewati malam dengan peluh kenikmatan, menuntaskan hasratnya dengan ketergesa-gesaan, sekedar untuk memenuhi kebutuhan tubuhnya, tanpa merasakan adanya suatu yang dapat menyentuh hatinya.
Tapi malam ini, berkali-kali ia merasakan desiran asing yang belum pernah ia rasakan di malam-malam sebelumnya, ada rasa hangat yang menyentuh hatinya tiap kali ia memandang gadis di hadapannya.
Bahkan ia belum sempat menyentuh dan menikmati setiap jengkal dari tubuhnya yang masih berbalut busana. hanya dengan menyentuh pipi mulus Dina, ketentraman hati itu sudah dapat dirasakannya. Ada kenikmatan tersendiri kala ia melewati momen demi momen kebersamaan mereka.
Tampak Dina menghela nafasnya beberapa kali untuk menetralkan detak jantungnya. Ia merutuki dirinya sendiri yang tak mampu mengendalikan rasa nervous akibat sentuhan si Om bujang tampan di hadapannya.
"Minum dulu, Din." Al menyodorkan segelas air minum pada Dina. Dina menerima gelas itu kemudian meneguknya hingga tandas. Segera Al meraih gelas yang sudah kosong itu kemudian meletakkannya kembali ke tempat semula.
"Sudah rilex?" tanya Al sembari mengusap ujung bibir Dina yang basah, merasai hal itu, Dina tak mampu lagi menjawab dengan kata-kata, ia hanya tersenyum tipis tanda ia mulai menikmati sentuhan suaminya.
Lembut bibir ranum Dina yang menyentuh permukaan jemari Al membuatnya tak sabar ingin merasainya dengan kecupan kenikmatan. Perlahan, masih dengan memandang lekat wajah istrinya, Al semakin mendekat dan mengikis jarak di antara mereka.
Merasakan suaminya yang semakin mendekat, kedua mata Dina reflek terpejam, menantikan sesuatu yang indah akan segera dinikmatinya.
Tak perlu menanti terlalu lama, kini kedua bibir itu akhirnya bertemu, saling memberikan kehangatan dengan pagutan demi pagutan kemesraan, menciptakan suasana intim di antara dua manusia yang hendak meneguk cawan madu surga dunia.
Tak lama, Al segera menyudahi akifitas di bibir istrinya, sengaja memberi jeda untuk Dina yang terkesan belum mahir dalam melakukannya.
Al menjauhkan wajahnya dan membiarkan kedua tangannya menangkup kedua pipi istrinya, dipandangnya pipi putih yang kini berubah menjadi pink kemerahan.
"Apa ini yang pertama?" tanya Al lirih dengan pandangan melekat ke bibir ranum Dina yang semakin memerah akibat ulanhnya.
Dina mengangguk malu-malu sebagai jawaban atas pertanyaan Al.
"Good job, awal yang bagus, Sayang," ucap Al sembari membelai pipi Dina pelan. "Kamu begitu nikmat, Din," lanjut Al lagi dengan pandangan yang semakin menggelap.
Pujian suaminya sukses membuat Dina berbunga-bunga, ia semakin yakin dan percaya diri untuk melanjutkan tugas utamanya sebagai seorang istri.
Melihat respon Dina yang baik, Al segera melanjutkan aktifitas yang terjeda. Kali ini Dina mulai memberikan balasan, membuat keduanya semakin melayang, terbuai kenikmatan dari sentuhan demi sentuhan yang memabukkan.
Malam itu, akhirnya tunai juga tugas Dina sebagai seorang istri seutuhnya. Membuat suaminya berkali-kali mengerang penuh kenikmatan sembari memanggil namanya.
Malam itu pula, Al akhirnya mendapatkan apa yang diinginkannya. Hasratnya yang sempat tertahan sehari semalam itu akhirnya dapat tersalurkan dan berakhir penuh kepuasan.
Alfaro dan Dina kini terbaring lemas di atas ranjang yang menjadi saksi percintaan mereka, peluh kenikmatan membasahi tubuh mereka, menandakan mereka benar-benar mencapai puncak kenikmatan surga dunia.
Al melirik Dina di sisinya, mata wanita itu terpejam, namun bibirnya menggambarkan senyuman.
"Masih sakit?" tanya Al sembari memiringkan tubuhnya, memandang Dina dengan memainkan rambut gelombangnya menggunakan jari telunjuk.
Mendengar suara suaminya, Dina segera menoleh, kemudian mengulas senyuman manis, "Dikit, A'," jawabnya sembari menautkan ujung telunjuk dan ibu jarinya menggambarkan sesuatu yang kecil.
"Maaf, ya, itu wajar terjadi saat kali pertama melakukannya, nanti akan berangsur hilang," ucap Al lembut."
"Nggak apa, A', aku menikmatinya, kok."
"Syukurlah." Al memeberikan senyum manisnya. Keduanya saling terdiam dan berpandangan.
"Entah mengapa, walau ini bukan kali pertama gue menghabiskan malam bersama seorang wanita, tapi rasanya berbeda. Ada hal lain yang gue rasakan saat ini, dan itu belum pernah gue rasakan sebelumnya.
Tak hanya kepuasan yang gua rasakan, tetapi, ada semacam ketenangan hati yang tak bisa gue definisikan. Seperti ada sesuatu yang kurang lalu kini menjadi lengkap.
"Din ...."
"A' ...."
Panggil Al dan Dina bersamaan.
"Kamu mau ngomong apa?" tanya Al.
"Nggak ada, aku cuma mau nanya sesuatu aja sama Aa', Nggak apa, Aa' duluan aja, Aa' mau bicara apa?" tanya Dina mempersilakan Al bicara terlebih dahulu.
"Sama, ada satu hal yang ingin saya tanyakan sama kamu," sahut Al.
"Apa itu A'?"
"Kenapa kamu menutupi tubuhmu dengan busana serapat itu? Padahal kamu memiliki bentuk tubuh dan paras yang indah, yang tidak dimiliki semua wanita," tanya Al mengungkapkan kekagumannya. Menurutnya bisa saja Dina memanfaatkan tubuh indahnya untuk menunjang penampilannya.
"Aa' sedang memujiku?" goda Dina dengan senyuman tengilnya.
"Saya bertanya, bukan memuji, nggak usah kege-eran," sahut Al gengsian.
"Ehm ... Kenapa, ya?'' sahut Dina dengan raut bertanya- tanya. " Karena Aku manis, A'," jawab Dina kemudian, membuat Al mengerlingkan matanya malas.
"Dina please, serius jawabnya, nggak usah narsis!" protes Al menganggap Dina hanya bercanda.
"Aku serius, A'," jawab Dina mantap.
"Aneh," gumam Al.
"Apanya yang aneh, A'? Menurut Aa' kenapa permen ada bungkusnya?" Dina balik bertanya.
"Kamu bercanda ya? Ya jelas biar nggak dikerubung semut dong, kan permen manis," jawab Al sekenanya.
"Sama kaya aku, A', karena aku manis, jadi aku dibungkus, supaya nggak dikerubungi semut-semut nakal yang tidak bertanggung jawab. Biar nggak sampai terkontaminasi dengan udara kotor terus jadi rusak," jelas Dina memberi perumpamaan.
"Jadi itu alasan kamu? Tapi kenapa kamu justru berada di tempat tante Merry?" tanya Al merasa heran, karena jawaban Dina tidak sinkron dengan kenyataan bahwa dirinya menjadi bagian dari anak buah tante Merry.
"Panjang ceritanya A', kapan-kapan aja lah aku ceritanya," ucap Dina yang tampak tiba-tiba badmood dengan pertanyaan Al. Melihat itu, Al memutuskan untuk menunda pembahasan.
"Ya udah, kalau gitu gantian, tadi kamu mau nanya apa?" tanya Al mencari pembahasan lain.
Dina menatap Al sejenak, kemudian sedikit membenahi posisinya,
"Sebelumnya maaf, ya, A', mungkin pertanyaanku ini terlalu memasuki privasi Aa', tapi aku penasaran, apakah Aa' sering datang ke tempat tante Merry?" Tanya Dina sangat berhati-hati, tak ingin menyinggung perasaan suaminya.
'' Ya, saya pelanggan VIP di sana," jawab Alfaro apa adanya.
"Berarti sudah ada banyak wanita yang pernah melayani Aa' sebelum ini?" tanya Dina penasaran.
"Nggak banyak sih, hanya beberapa kali aja saya memakai jasa mereka, karena saya selalu minta yang masih gadis sama tante Merry." Al menjelaskannya tanpa merasa bersalah, sebab ia merasa tidak terikat oleh tuntutan kesetiaan dalam pernikahannya.
"Kenapa Aa' memilih yang masih gadis? apa itu soal rasa?" tanya Dina penasaran. Karena kalau memang suaminya itu hanya menginginkan kegadisannya, sudah barang pasti sebentar lagi ia akan dilepaskannya. Dan ia harus siap dengan konsekuensi apapun.
"Bukan soal rasa alasan saya memilih itu, karena kalau berbicara soal rasa, saya justru belum pernah merasakan bagaimana berhubungan dengan seorang wanita yang sudah tidak gadis, sehingga saya tidak bisa membandingkannya," jelas Al.
"Lalu apa alasan Aa'?"
"Simpel sebenarnya, karena saya tidak ingin menggauli bekas orang lain," jelas Al apa adanya.
"Oh, jadi gitu alasannya. Kalau bekas Aa' sendiri bagaimana?'' tanya Dina to the point membuat Al memandangnya penuh makna.
Bab 7 Ketagihan
"Oh, jadi gitu alasannya. Kalau bekas Aa' sendiri bagaimana?'' tanya Dina to the point membuat Al memandangnya penuh makna.
" Tergantung." Al menjawab setelah berpikir beberapa saat.
"Tergantung apa, A'?"
"Tergantung apa kata nanti, bakal ketagihan atau nggak," jawab Al asal.
Dina tersipu mendengar jawaban suaminya.
"Dina berharap Aa' selalu ketagihan," ungkapnya malu-malu, yang hanya dibalas dengan pandangan lekat oleh Al.
"A' boleh aku tanya satu hal lagi?"
"Boleh."
"Apa benar Aa' membeliku dari tante Merry?"
"Ya," jawab Al singkat.
"Kenapa Aa' lakukan itu?" tanya Dina penasaran.
"Lantas saya harus bagaimana? Saya tidak bisa membawa kamu begitu saja dari tempat itu. Ibarat kata kalau si Merry itu pedagang, maka kamu adalah barang dagangannya. Mana mungkin saya bisa membawa barang dagangannya cuma-cuma?" jelas Al panjang.
Dina tertegun, karena apa yang suaminya katakan memanglah benar dan masuk akal. Tapi, ia tak menyangka bahwa suaminya harus membayar semahal itu untuk membawanya pergi dari neraka itu.
"Dah nggak usah dipikirkan, hal itu sudah saya perkirakan," lanjut Al santai.
"Tapi Aa' harus membayar begitu mahal untuk membawaku pergi, kenapa Aa' lakukan hal itu?" tanya Dina tak enak.
"Saya akan lakukan apa saja untuk mewujudkan apa yang saya inginkan, Din," lanjut Al penuh penekanan.
Dina manggut-manggut paham. "Apapun alasan Aa' yang jelas Dina berhutang budi sama Aa', Dina janji akan berusaha untuk menebusnya." Dina menyatakan tekadnya di depan Alfaro.
"Sudahlah, tak perlu terlalu mempermasalahkan hal itu. Bukankah itu sudah masuk di perjanjian kita? Saya bawa kamu keluar dari tempat Merry dan kamu bersedia melayani saya kapanpun kamu mau." Al kembali mengingatkan perjanjian di antara mereka
Dina mengangguk paham.
"Ya sudah, hari sudah malam. Saya ngantuk." Al membalikkan badannya memunggungi Dina.
"Selamat malam A'."
"Hemm."
"Maaf kalau hari ini Dina ada salah, ya."
Mendengar ucapan Dina, Al kembali membalikkan tubuhnya.
"Kamu kenapa bicara seperti itu? Kamu nggak ada berbuat kesalahan pada saya." Heran Al dengan sikap Dina.
Dina tersenyum, "Syukurlah kalau nggak ada kesalahan yang aku perbuat hari ini. Tapi nggak ada salahnya meminta maaf, kan? Aku pernah dengar, kalau sebaiknya sebelum mengakhiri hari, suami dan istri terlebih dulu saling memaafkan dan ridho satu sama lain, supaya hati menjadi tentram dan bisa menyambut hari esok dengan penuh semangat," jelas Dina menyampaikan alasannya.
"Tapi kan saya sudah katakan sama kamu, nggak perlu terlalu berlaku sebagaimana suami istri pada umumnya?"
"Dan Aku juga sudah katakan pada Aa' 'kan? bahwa aku akan berusaha menjadi istri yang baik untuk Aa'," jawab Dina.
"Terserah kamu lah," sahut Al seraya menghela nafasnya, kemudian kembali berbalik memunggungi Dina dan memejamkan matanya.
Sedangkan Dina masih terus memandangi punggung suaminya.
"Ya Allah, jadikanlah pernikahan ini pernikahan yang bisa membawa kebaikan untuk hamba dan suami hamba," harap Dina sebelum memejamkan matanya.
****
Dina mengerjapkan matanya kala telinga mendengar ayat-ayat Al Qur'an dilantunkan dari speaker-speaker Masjid. Pertanda waktu shubuh akan segera tiba.
Saat matanya mulai terbuka, Dina terlonjat kaget mendapati seorang lelaki tengah tertidur di sisinya. Ia lupa, bahwa kini statusnya tak lagi jomblo merana, melainkan seorang istri dari Alfaro sang sultan dengan rumah bak istana.
"Astaghfirullah, ingat, Dina. Kamu udah nikah," batinnya sembari mengelus dada.
Dina beranjak dari posisinya, namun ia merasakan sesuatu yang perih di bawah sana.
"Awwww!" pekiknya tertahan, membuat Al yang tengah berkelana di alam mimpinya menjadi terusik.
Al mencoba membuka matanya yang masih sangat mengantuk, mata itu begitu berat untuk terbuka, bagai ada lem di setiap sisinya.
"Kamu kenapa teriak-teriak sih, Din?" protes Al kesal.
"Maaf Aa', tadi reflek soalnya ini sakit," jelas Dina sembari meletakkan kedua tangannya di bawah perut.
"Lagian kamu mau ngapain sih?" tanya Al masih enggan bangkit dari posisi semula.
"Mau mandi, A'," jawab Dina apa adanya.
"Ini masih gelap, Din. Nggak bisa apa mandinya tunggu pagi aja!" protes Al merasa geram sebab tidurnya terganggu.
"Ini dah hampir shubuh, A', aku mau sholat.'' Dina menjelaskan alasannya. " Maaf ya, kalau aku dah ganggu tidur Aa'," lanjutnya lagi.
"Hadeeh, ribet amat hidupmu," gerutu Al sembari kembali memeluk gulingnya. Sedangkan Dina, kini ia berjalan perlahan sembari menahan rasa sakit di area kewanitaannya. Mahkota kegadisannya yang baru saja dikoyak membuat ia merasakan sensasi pedih dan panas di area itu.
Melihat Dina yang tertatih berjalan ke arah kamar mandi membuat Al merasa tak tega, pasalnya, baru kali ini ia menyaksikan sendiri bagaimana perjuangan seorang wanita menahan rasa sakit akibat malam pertamanya. Biasanya, setelah ia menuntaskan kebutuhannya, ia segera pergi meninggalkan wanita-wanita yang melayaninya dengan sejumlah uang yang telah disepakati sebelumnya.
Al segera beranjak dari ranjangnya, berjalan cepat ke arah istrinya, lalu,
Hap!
"Aaaaaaaa...." teriak Dina yang terkejut karena Al yang tiba-tiba menggendongnya.
"Ssssttt, ngapain teriak-teriak sih? Ini masih pagi. Nanti dikira orang saya ngapain kamu lagi," protes Al.
"Habisnya Aa' ngagetin aja sih," keluh Dina.
"Sakit mata saya lihat kamu jalan dah kaya buronan polisi, masih gelap dah bikin orang repot aja kamu," gerutu Al membuat Dina tersenyum haru.
Kini langkah Al sudah sampai di kamar mandi, ia segera menurunkan Dina.
"Jangan lupa pakai air hangat, biar lebih rilex dan nggak semakin sakit," pesan Al sebelum berlalu meninggalkan Dina.
Namun baru saja Al sampai di pintu kamar mandi, suara Dina kembali menginterupsi,
"Oppa ..." panggilnya dengan nada manja khas cewek-cewek korea.
"Hem?" Al menoleh sekilas, takut kalau saja istrinya itu membutuhkan sesuatu.
"Sarangheo," lanjut Dina lagi dengan membentuk love dengan jarinya ala-ala pemeran wanita di drama korea favoritnya.
"Saya ngantuk, mau tidur!" balas Al ketus kemudian berlalu, namun diam-diam ia tersenyum melihat tingkah lucu bocah tengil yang kini berstatus sebagai istrinya itu.
****
Waktu menunjukkan pukul 7 pagi saat Al mengerjapkan matanya, ia mengedarkan pandangan mencari keberadaan Dina, tapi ia tak kunjung mendapatinya.
"Kemana bocah itu? pagi-pagi dah ngilang aja, padahal si junior lagi morning wood–gini, harusnya kan enak kalau ada dia yang service gue," batinnya menggerutu, ia baru menyadari, bahwa pelayanan istri kecilnya itu benar-benar nagih.
Al tersenyum tipis menyadari kondisinya saat ini, "biasanya bangun tidur gue langsung disambut oleh pikiran tentang pekerjaan dan kehidupan yang runyam, tapi pagi ini? Bisa-bisanya gue malah mikirin mau mengulang kejadian semalam," batinnya seraya menggelengkan kepala merasa heran dengan dirinya sendiri, kemudian ia memutuskan untuk mandi dan bersiap bekerja.
Setelah siap, Al segera berjalan ke arah meja makan untuk sarapan, biasanya Bi Ina sudah menyiapkan beberapa lembar roti tawar dengan selai coklat favoritnya sebagai menu sarapan, selain itu juga ada segelas susu sebagai penunjang staminanya dalam menghadapi kehidupan. Memang Al sendiri yang meminta agar setiap sarapan selalu disediakan menu tersebut.
Tapi pagi ini ia dibuat heran dengan pemandangan di meja makan yang tersaji makanan dengan banyak variasi. Ada nasi dengan aroma yang begitu menggugah selera, juga perkedel, ayam goreng, tempe orek dan telur dadar sebagai lauk pendampingnya.
Merasa heran, Al segera berteriak memanggil bi Ina.
"Bi Inaaaa!!"
"Dalem, Tuan Muda, ada apa?" sahut Bi Ina yang datang tergopoh dari arah dapur. Saat sang tuan muda memanggil, maka ia harus dengan sigap segera menghadap, karena kalau tidak, sudah pasti tuannya itu akan rusak mood sehari semalam.
"Ini kenapa meja makan isinya warna-warni begini? Mana sarapan saya?" tanya Al pada bi Ina.
"Ehm, itu, anu, Tuan ...." belum selesai Bi Ina berbicara, Dina datang dari arah belakang dengan membawa nampan berisi roti tawar, sekai coklat dan segelas susu sebagai menu sarapan Al.
"Ini sarapan Aa'," ujar Dina sembari meletakkan nampan yang ia bawa di meja.
Al segera duduk di kursinya, kemudian Dina memberi kode pada bi Ina agar ia segera pergi dari hadapan tuannya.
"Jadi dari tadi kamu di sini?" tanya Al pada Dina yang sudah duduk di sisinya.
"Iya A', kenapa? Aa' nyariin aku, ya?"
"Hem, kamu ngapain di sini?" sahut Al sembari bersiap sarapan.
"Bantu Bi Ina siapin sarapan buat Aa','' jawab Dina apa adanya.
"Lain kali nggak perlu, saya memang sengaja bayar bi Ina buat ini semua," sahut Al.
"Iya, aku tau A', tapi aku pengen aja masakin sarapan buat Aa'," sanggah Dina.
"Nggak usah masak untuk sarapan saya, karena saya biasa makam roti dan susu aja untuk sarapan," ucap Al sembari membuka selai hendak mengoleskannya ke roti.
"Sini A' biar aku bantu," ucap Dina sembari mengambil alih pisau dan roti dari tangan Al.
Al tak menolak.
"Ini semua kamu yang masak?"
"Iya, A', cobain deh, enak, lho!"
"Masakan apa ini?" tanya Al mulai penasaran.
"Nasi uduk, A'," sahut Dina.
"Dari namanya aja udah nggak menarik," sahut Al meremehkan.
"Cobain dulu A' baru berkomentar, aku ambilin ya?" tawar Dina pada Al.
"Dikit aja. Saya nggak biasa makan nasi di pagi hari.'' Al mencoba menghargai jerih payah Dina, walau sejujurnya ia tidak tertarik.
Dengan penuh semangat Dina mengambil nasi dan beberapa lauk untuk suaminya, kemudian mempersilakan Al untuk mencicipinya.
Di luar dugaan, ternyata Al makan dengan begitu lahap. Bahkan sampai nambah-nambah karena merasa ketagihan dengan masakan Dina.
"Enak ya A'?'' tanya Dina meminta penilaian.
"Hem," sahut Al singkat yang masih sibuk mengunyah.
Dina tersenyum penuh kepuasan.
"Terus ini rotinya gimana , A'?" tanya Dina meminta kepastian untuk nasib roti di tangannya.
"Buat kamu aja," jawab Al asal sembari mencomot perkedel di hadapannya.
Dina berucap syukur menyaksikan suaminya begitu menikmati sajian yang disiapkannya.
"Kamu mau kemana? Kok udah rapi gitu?" tanya Al setelah menyelesaikan sarapannya.
"Aku mau kuliah A' boleh, kan?" tanya Dina meminta izin.
"Boleh, terserah kamu aja,'' jawab Al santai.
"Makasih A', boleh nebeng nggak?" tanya Dina lagi.
"Memangnya di mana kamu kuliah?"
"Universitas Airlangga," jawab Dina.
"Ya udah nggak apa-apa, searah juga dengan kantor saya. Kebetulan saya juga berencana mengajak kamu ke rumah sakit," jelas Al sembari membersihkan mulutnya dengan tissue.
"Ke rumah sakit? Mau ngapain A'?"
Bab 8. Saya Tidak Ingin Punya Anak
"Ke rumah sakit? Mau ngapain A'?"
"Saya mau ajak kamu ke dokter kandungan," jawab Al singkat.
Dina menahan tawa, "Ngapain ke dokter kandungan A'? Kan aku nggak hamil? nggak mungkin, kan, A' bikin se3malem paginya langsung jadi, emang adonan donat?" lawak Dina di sertai tawanya merasa aneh dengan suaminya.
"Kita ke dokter kandungan mau konsultasi KB untuk kamu.'' Al menyampaikan rencananya dengan lugas, membuat Dina seketika menghentikan tawanya.
"KB, A'? Aa' ingin aku KB?" tanya Dina tak memahami maksud keinginan suaminya.
"Iya."
"Tapi kenapa A'? Aa' pengen kita pacaran dulu ya?'' goda Dina dengan gaya riang khasnya.
"Saya tidak ingin punya anak!" jawab Al datar.
"Deg!"
Bagai disayat belati, mendengar itu Dina hanya terdiam, tak lagi berucap sepatah katapun. Rasanya begitu sakit mendengar ucapan suaminya yang tak ingin memiliki anak darinya.
"Ya sudah, kamu siap-siap, saya tunggu di depan," lanjut Al lagi yang tak menyadari perubahan sikap Dina.
"Iya A'."
Al berlalu meninggalkan Dina dengan embun di matanya, "Sabar, Din. Kamu harus sabar. Harusnya hal seperti ini sudah kamu perkirakan sejak awal. Kamu harus sadar diri, Din, kamu ini siapa? Hanya wanita yang dibelinya untuk menuntaskan hasrat birahinya. Kamu dan dia beda kasta, Dina, so nggak mungkin dia mengharapkan keturunan darimu.
Nggak usah terlalu banyak berharap, Din. Ingat! Pernikahan ini terjadi bukan atas dasar cinta!'' batin Dina menguatkan dirinya sendiri.
''Lho, Non Dina kenapa nangis?" tanya Bi Ina dengan suara cemprengnya yang tiba-tiba sudah berada di sisi Dina.
"Ssssttt ... Jangan keras-keras, Bi!" ucap Dina memperingati, tak ingin suaminya mendengar ucapan Bi Ina,"aku nggak apa-apa, kok," lanjutnya lagi.
"Owalaah, kasian cah Ayu pagi-pagi dah nangis, pasti gara-gara tuan muda, yo? Non Dina harus gedein sabarnya, Tuan itu memang keliatan galak, suka marah-marah, kalau ngomong pedesnya kaya seblak level lima, tapi sebenarnya dia sangat baik," ucap Bi Ina menenangkan.
"Iya, Bi, makasih, ya? Kalau gitu aku mau siap-siap dulu, si bos muda udah nungguin, ntar keburu marah lagi kalau kelamaan," pamit Dina dengan nada bercanda.
"Oh iya iya, silakan, Non, semangat ya!"
Dina tersenyum, "Oke, Bi. Semangaat!" sahutnya kemudian berlalu.
***
Mercedes Benz Maybach S-Class, Si Merah yang membawa Dina dan Alfaro di bawah kendali Supri kini mulai melaju membelah jalanan kota Surabaya yang mulai padat.
"Jadi kita ke mana dulu, Pak?" tanya Supri pada majikannya.
"Kita ke Universitas Airlangga dulu untuk antar Dina, tapi sebelumnya kita mampir ke rumah sakit terdekat ya!" titah Al pada Supri.
"Baik, Pak. Kalau gitu langsung ke rumah sakitnya UNAIR ya?" ucap Supri memastikan
"Iya, tadi saya sudah daftar online di sana,'' jawab Al.
"Baik, Pak. Tapi siapa yang sakit?" tanya Supri mulai kepo.
"Udah jalan aja, nggak usah banyak tanya!"
"Baik, Pak. Maaf."
Sedangkan Dina sedari tadi ia hanya terdiam, memandang kosong ke arah luar jendela. Keinginan suaminya untuk dia ber-KB benar-benar merusak moodnya.
Merasa hening, Al melirik ke arah Dina, " Tumben si Dina diem aja? biasanya dia banyak tanya," batin Al merasa ada yang kurang jika tak mendengar celotehan bocah tengil di sisinya.
"Ah, bukannya begitu lebih baik ya? Jadi kan gue nggak perlu ngeladenin pertanyaan-pertanyaannya," lanjut Al lagi mencoba menghibur diri.
Ia kembali menyibukkan dirinya dengan benda pipih di tangannya, tapi lagi-lagi hatinya merasa tak tenang melihat perubahan sikap Dina.
"Din ...."
"Ya?"
"Kamu ambil jurusan apa di UNAIR?" Al mulai basa-basi mencari pembahasan.
"Sastra Bahasa A','' jawab Dina singkat.
"Kenapa ambil jurusan itu? Mau jadi pujangga, ya?" tanya Al yang mulai terdengar sok asik.
Dina melirik sekilas ke arah suaminya, ia merasa aneh ketika pria dingin di sisinya itu mulai banyak bicara.
"Nggak apa-apa, suka aja," jawab Dina lagi, kemudian kembali memandang ke jendela. Kondisi di luar yang sedang gerimis membuat ia semakin mellow, seolah alam ingin memeluknya, dan mengatakan padanya bahwa ia tidak sendiri, ada langit yang juga tengah mendung dan siap meluncurkan air hujannya.
Tak berselang lama, kini mobil merah itu sudah berhenti di depan IGD, Supri terlebih dahulu mempersilakan tuan dan istrinya itu turun sebelum memarkir mobil di tempat parkiran.
"Ayo, Din," ajak Al.
Dina pun menurut tanpa banyak berkata. Mereka langsung melakukan komfirmasi pendaftaran dan segera menuju poli kandungan.
Al dan Dina duduk di kursi tunggu bersama, ikut mengantre bersama pasien yang lain. Dina mendapatkan urutan ke-3, dan kini yang sedang berada di ruangan adalah pasien dengan urutan ke-2, tepat waktu.
Dina duduk di sisi seorang ibu-ibu berusia tiga puluh tahunan dengan seorang balita di pangkuannya. Sedang Al berada di sisi kanannya.
"Itu suaminya, Mbak?" tanya seseibu dengan lipen merah cabe itu mulai kepo.
"Iya," jawab Dina dengan senyuman ramah.
"Wah ganteng, ya?" ucap si Ibu dengan nada centil sembari melirik suami di sisinya.
"Alhamdulillah," jawab Dina.
"Periksa anak pertama ya, Om? Mbaknya kelihatan masih muda banget, pasti si Om nih yang udah ngebet punya anak?'' tanya si Ibu langsung pada Al, yang hanya dibalas dengan senyuman kecut olehnya.
"Nomor urut 3," panggil seorang suster membuat Al dan Dina berucap syukur dalam hati, karena diselamatkan dari berlama-lama duduk bersama the real netijen kepo.
"Saya duluan ya, Bu," pamit Dina masih berusaha ramah, kemudian segera berdiri dan berlalu ke ruang pemeriksaan.
"Istrinya dirangkul dong, Om, biar keliatan mesra, kan pengantin baru!" seru si ibu-ibu yang ternyata bukan hanya kepo tapi juga sok tau itu. Walau memang benar apa yang dikatakannya.
Al dan Dina hanya saling berpandangan kemudian berlalu tanpa menggubris ucapan si Ibu.
Aksi ibu tersebut tentu saja mengundang perhatian semua orang yang sedang mengantre. Ia tersenyum kikuk pada semua orang yang memandangnya, "lucu ya ibu-ibu, pasangan om-om sama mbak-mbak imut, kaya cerita-cerita CEO di KBM," celetuknya membuat semua orang menggelengkan kepala heran.
Al dan Dina sedang berada di dalam ruangan untuk berkonsultasi, setelah mendengar keinginan pasangan di hadapannya untuk ber-KB, dokter segera memberikan penjelasan terkait KB yang dianjurkan untuk pasangan yang baru menikah dan ingin menunda memiliki keturunan.
"Jadi untuk pasangan baru seperti kalian sebaiknya menggunakan KB pil ya untuk alat kontrasepsinya, KB ini memudahkan kalian untuk bisa menghentikannya kapan saja kalian sudah ingin dan siap untuk memiliki keturunan, dan KB pil juga relatif aman digunakan untuk wanita yang belum pernah hamil sebelumnya," jelas dokter kandungan menyampaikan benefit menggunakan KB pil.
"Maaf, Dok. Apa penggunaan KB ini nantinya akan berpengaruh pada tingkat kesuburan saya?" tanya Dina menyampaikan kekhawatirannya.
"Tidak ya, Mbak. KB pil sekarang tergolong aman untuk kesuburan penggunanya. Dulu, memang KB pil memiliki efek samping membuat rahim menjadi kering, dan mempengaruhi kesuburan penggunanya setelah ia memutuskan untuk berhenti ber-KB. Sehingga kasus yang sering di temui, mereka kesulitan mendapatkan kehamilan selanjutnya.
Tapi itu dulu ya, sekarang sudah tidak. Karena kadar hormon dalam pil kontrasepsi sekarang sangat dijaga. Dahulu, dosis yang digunakan sekitar 50 mcg (mikrogram) dan sekarang diturunkan menjadi 20 mcg sehingga efek samping dari penggunaan alat kontrasepsi bisa diminimalkan.'' penjelasan dokter tersebut membuat Dina bernafas lega.
Dokter lalu memberikan pil KB dan menjelaskan aturan minumnya pada Dina, tak lupa memberikan resep agar ketika pil sudah habis dan ingin lanjut ber-KB mereka bisa membelinya di apotek.
"Jadi apa sudah jelas semuanya? Barangkali ada yang ingin ditanyakan, silakan.'' dokter memberi waktu pada mereka untuk berkonsultasi. Al dan Dina saling berpandangan, kemudian memutuskan untuk menyelesaikan sesi konsultasi ini.
Al dan Dina segera berpamit dan pergi meninggalkan ruangan untuk melanjutkan perjalanan.
Tak perlu waktu lama untuk sampai di Fakultas Ilmu Budaya dari Rumah Sakit UNAIR, kini Supri telah menepikan mobilnya tepat di halaman kampus tempat Dina kuliah.
Segera Dina mengemasi barang bawaannya, kemudian meraih tangan Al untuk berpamit, " Dina kuliah dulu ya A','' ucapnya sembari mencium punggung tangan Al penuh hormat.
"Iya," jawab Al singkat, kemudian Dina segera turun dan berlalu.
"Kita langsung jalan, Pak?"
"Tunggu sebentar sampai istri saya masuk," jawab Al masih dengan pandangan melekat pada punggung Dina yang semakin menjauh.
"Sikap dia pagi ini benar-benar berubah, padahal tadi di meja makan masih biasa-biasa saja. Kira-kira apa ya penyebabnya?" Al mencoba menerka-nerka.
"Astaga! Bodoh banget sih lu, Al!" gumamnya dalam hati merutuki dirinya sendiri. "Dia pasti tersinggung soal ucapan gue yang nggak ingin punya anak. Mungkin dia pikir gue nyuruh dia KB karena gue nggak mau punya anak dari dia, padahal bukan itu alasannya," sesalnya dalam hati. Merasa bersalah telah menyinggung hati wanita yang baru dinikahinya sehari lalu.
"Ah, ngapain pula gua sesali? Siapa dia dalam hidup gue? Sampai gue harus khawatir bikin dia tersinggung?" lanjutnya lagi berusaha menepis rasa bersalah dari hatinya dengan sisi dinginnya.
Baru saja Al hendak mengalihkan pandangannya dari Dina, tiba-tiba seorang lelaki dengan paras tampan mendekat ke arah istrinya, "Siapa lelaki itu? Kenapa Dina kelihatan happy banget ngobrol sama dia?" batinnya bertanya-tanya.
Bab 9. Cemburu
"Siapa lelaki itu? Kenapa Dina kelihatan happy banget ngobrol sama dia?" batinnya bertanya-tanya.
"Supri!" panggil Al pada sopir pribadinya dengan pandangan masih melekat pada istrinya yang tengah asyik bercengkrama dengan lelaki lain.
"Ya, Pak?"
"Kamu lihat lelaki yang bersama istri saya itu, perhatikan wajahnya baik-baik!" titah lelaki dengan mata elang itu penuh emosi.
"Sudah?"
"Sudah, Pak."
"Setelah kamu antar saya ke kantor, segera kamu kembali ke sini. Saya ingin kamu pantau terus gerak-gerik Dina, siapa saja orang-orang yang dekat dengannya. Cari tahu siapa lelaki itu, lalu informasikan pada saya!" Al kembali memberi perintah pada Supri.
"Siap, Pak."
"Jangan lupa ganti baju kamu, ya, jangan pakai baju sopir, karena Dina akan mengenali. Belilah kaos dan celana juga topi seperti yang kebanyakan mahasiswa itu kenakan, untuk penyamaran kamu selama penyelidikan,"Al memperingati lagi.
"Baik, Pak!''
Kemudian Al tampak mengutak-atik ponsel di tanganya,
"Sudah saya transfer 1 juta untuk belanja kostum kamu. Kalau pekerjaan kamu berhasil, nanti akan saya tambahkan fee," sahut Al lagi membuat Supri berbinar.
"Wah, terima kasih banyak, Pak!"
"Sama-sama, Jalan sekarang!" Al memberi instruksi agar Supri segera melajukan mobilnya.
Sesampainya di kantor, Al segera melangkahkan kaki ke ruangannya, mengabaikan beberapa karyawan yang menyapanya ramah. Pikirannya kalut dipenuhi oleh istrinya yang terlihat asyik bercengkrama dengan lelaki tampan seumurannya.
Al menghentakkan tubuhnya keras ke kursi kerjanya, ia menyandarkan kepalanya sembari menyilangkan kaki dan memejamkan mata.
"Siapa lelaki itu sebenarnya? Kenapa Dina terlihat begitu akrab? Apa jangan-jangan Dina sudah punya pacar? Aaaaarrrggghhh sial! Kenapa hal seperti ini sangat mengganggu pikiran gue?
Apa peduli gue sama Dina? Mau dia punya pacar kek, tunangan kek, gua gak peduli, toh statusnya dia istri sah gue. Ada atau tidak adanya kekasih di hati dia, dia akan tetap terikat perjanjian untuk terus melayani gue kapanpun gue mau.
So, masalahnya apa, Al? Came on, Al! Sadar! jangan sampai bocah tengil itu ngerusak fokus lo bekerja!" gerutu Al pada dirinya sendiri kemudian mencoba untuk kembali fokus bekerja. Dibukanya beberapa dokumen yang sudah terletak di mejanya untuk diperiksa.
Namun, rangkaian kata demi kata yang tertera seolah begitu sulit untuk dibaca dan dicerna. Pikirannya benar-benar telah dipenuhi oleh bocah tengil bernama Dina yang baru dinikahinya.
Al memijat pelipisnya, kepalanya terasa pening karena memaksakan diri untuk membaca dokumen-dokumen di hadapannya.
Tiba-tiba terdengar suara pintu ruangannya diketuk.
"Masuk!" titahnya pada seseorang di balik pintu.
"Permisi, Pak," ucap Alice–sekertaris pribadinya memohon izin untuk masuk.
"Ada apa, Lice?"
Alice melangkah maju mendekat ke arah bosnya, meliuk-liukkan cara jalannya dengan mini span berwarna merah yang ketat membentuk lekuk tubuhnya, di tambah belahan di sisi kirinya memperlihatkan kulit langsat pahanya.
Alice, seorang wanita dengan kemeja yang kencing atasnya selalu terbuka menampilkan belahan dadanya, merupakan sekertaris Al yang sudah lama dipekerjakannya. Ia memang sengaja selalu menarik perhatian bosnya dengan penampilan hotnya, walau begitu Al tak pernah sekalipun meliriknya dengan alasan dia janda. Al tetap pada pendiriannya, yang tak akan pernah berselera bermain-main dengan 'bekas orang lain'.
"Saya mau bahas materi meeting yang kemarin Bapak meminta saya untuk merangkumnya," jelas Alice setelah duduk di hadapan Al.
"Oh, ya, silakan kamu jelaskan!" ucap Al mempersilakan Alice untuk menjelaskan pada Al.
Sepuluh menit berlalu hingga Alice selesai dengan penjelasannya.
"Jadi bagaimana, Pak? Apa sudah sesuai? Apa ada yang perlu direvisi?" tanya Alice pada atasannya yang sedari tadi hanya diam tanpa respon. Padahal biasanya beliau sangat teliti sampai seringkali meminta revisi berkali-kali.
Satu detik,
Dua detik,
Hingga lima detik Alice berhitung dalam hati, tapi atasannya itu tak kunjung menjawab, pandangannya kosong memandang langit-langit ruangannya.
"Jadi bagaimana, Pak Al?" tanya Alice sekali lagi membuat Al tersadar.
"Ya, gimana, Din?" tanya Al refleks, membuat Alice mengerutkan keningnya.
"Din?" tanya Alice heran. Membuat Al membulatkan matanya mendengar pernyataan Alice.
"Ah, maksud saya, kamu, Alice," jawab Al berusaha tetap berwibawa.
"Sepertinya Pak Al sedang banyak pikiran, ya? Apa mungkin saya jelaskan lain waktu saja, Pak?" tawar Alice seolah memahami kondisi Al.
"Ya, saya minta maaf ya, kita lanjutkan besok saja," ungkap Al benar-benar menyerah.
Alice mengerti, dan segera undur diri untuk memberi atasannya ruang.
"Kalau begitu saya pamit kembali ke ruangan saya ya, Pak. Semoga masalah yang sedang Bapak hadapi cepat selesai. Kalau Bapak butuh tempat berbagi saya siap kok, Pak," ucapnya dengan nada kecentilan.
"Ya, silakan," ucap Al tanpa merespon godaan Alice.
Baru saja Alice hendak melangkahkan kakinya, tiba-tiba Al mencegah.
"Lice!" seru Al membuat Alice membalikkan badannya bersemangat, "Ah, akhirnya pak Al menerima tawaranku juga," batinnya bergembira.
"Ya, Pak? Ada lagi yang bisa saya bantu?" tanya Alice dengan suara yang dibuat- buat terdengar sok imut.
"Tolong mulai besok kamu perbaiki cara berpakaian kamu ya. Ini kantor, bukan diskotik!" titah Al membuat Alice tertohok. Pasalnya selama ini Bosnya itu tak pernah mempermasalahkan penampilannya.
"Ah, baik, Pak Al," jawab Alice kikuk.
"Ya sudah, kamu boleh pergi!" ucap Al yang terdengar bagai usiran di telinga Alice. Alice pun segera berlalu dari hadapan bosnya dengan menanggung malu.
Waktu terus berjalan, dan Al hanya menghabiskan waktunya untuk memikirkan Dina. Berkali-kali ia mengecek ponselnya, berharap ada kabar baik dari Supri yang bisa membuat hatinya lebih tenang. Namun, sampai hari menjelang sore, Supri tak kunjung mengabari.
Sedari tadi Al merasa gelisah, ingin rasanya ia menelpon Supri, bila perlu menvideo call agar bisa cepat tau apa yang tengah dilakukan oleh istrinya. Tapi ia menahan diri, sebab tak ingin rencananya malah jadi berantakan.
Al kembali menyandarkan tubuhnya di kursi kebesaran, tak lama kemudian terdengar suara denting di ponselnya, pertanda ada pesan yang masuk. Dengan cepat Al meraih ponselnya di meja, berharap pesan itu berasal dari sopir pribadinya.
Namun, raut wajahnya berubah kecewa saat membaca pesan yang muncul di pop up hp-nya.
[ Selamat sore Bunda dan Ayah, semoga hari ini menyenangkan, ya? Ayah, jangan lupa ingatkan Bunda untuk minum susu ya, demi kebaikan kebutuhan kalsiumku.
Prentogen esensis ....]
"Sial, kok malah iklan susu hamil sih? Ini pasti gara-gara nomor gue masuk data rumah sakit di pendaftaran poli kandungan nih," gerutu Al kesal sembari kembali meletakkan ponselnya asal.
Namun kembali ponselnya berdenting, dan kali ini berkali-kali, seperti seorang tengah membombardirnya dengan pesan.
Al kembali meraih ponselnya, tampak di pop up pesannya Supri mengiriminya banyak gambar, ada sekitar lima gambar yang Supri kirimkan.
Segera Al membuka pesan dari Supri, dan mendownload satu persatu gambar yang Supri kirimkan.
Gambar pertama menampilkan sebuah foto Dina berjalan bersama seorang lelaki tampan yang tadi pagi dilihatnya menemui Dina. Mereka memang tampak berjarak, tapi mereka berjalan beriringan hanga berdua. Hal itu cukup membuat hati Al terbakar.
Gambar ke-dua, menampilkan aktivitas Dina dan lelaki itu sedang memasuki ruang BEM, sepertinya keduanya sama-sama aktif mengikuti organisasi di kampusnya. Sungguh sangat serasi, sepasang muda mudi yang seumuran dan satu tujuan. Membuat Al tersadar, sangat berbeda dengan dirinya ketika bersanding dengan Dina.
Gambar ke-tiga, tampak Dina sedang presentasi di hadapan teman-teman BEM-nya. Dan lelaki itu memandang Dina lekat penuh makna.
"Sial, kenapa harus segitunya sih mandengin istri orang?" gerutu Al kesal. Namun tak membuatnya berhenti mendownload gambar selanjutnya.
Gambar ke-empat, menampilkan Dina dan lelaki itu tengah makan siang bersama, mereka duduk di sebuah bangku kantin berhadap-hadapan, tampak di sana senyum istrinya begitu mengembang. Membuat hati Al semakin bergejolak.
Dan di gambar terakhir, tampak lelaki yang bersama istrinya berada di sebuah kasir kantin, sedang mengeluarkan sejumlah uang untuk membayar, sedangkan Dina berada di sisinya.
"Apa-apaan ini? Sok bayarin istri orang makan? Memangnya dia kira gue nggak sanggup kasih istri gue makan?" gerutu Al semakin merasa kesal.
Al mematikan ponselnya, masa bodo dengan Supri yang masih tampak mengetikkan pesan panjang, entah ingin menyampaikan info apa ia tak lagi peduli.
Merasa masih tak dapat mengendalikan emosinya, Al segera meraih apapun dihadapannya, kemudian melemparkannya asal ke arah pintu.
Hingga tak sengaja,
"Aaaawwww!" terdengar seseorang memekik di ambang pintu.
10. Kamu Hanya Milik Saya!
"Lu apaan sih, Al? Main lempar bolpoin sembarangan!" keluh Reno–asisten pribadi Al sembari menggosok-gosok keningnya.
Reno merupakan sahabat karib Al saat kuliah di Amerika, dia sosok yang cerdas juga mumpuni di bidang arsitektur, sehingga Al merekrutnya sebagai tangan kanannya di perusahaan propertinya.
"Ren? Sejak kapan lu di sana?" tanya Al yang baru menyadari kehadiran Reno.
"Sejak lu kesambet terus main lempar bolpoin sembarangan," sindir Reno sembari berjalan dan duduk di hadapan Al.
"Sorry, sorry, Bro. Gue nggak sengaja," sesal Al.
"Kesambet apa sih Lu, Al? Emosian aja? Ada masalah lu?" tanya Reno tetap perhatian.
"Nggak pa-pa, nothing problem. Lu ada perlu apa datang kemari? Kita nggak ada meeting kan hari ini?" tanya Al berusaha mengalihkan pembicaraan.
"Gua emang sengaja datang kemari buat nengokin keadaan, Lu. Si Alice cerita katanya lu lagi banyak pikiran, ampe nggak fokus kerja. Kenapa sih? Nggak biasanya deh seorang Alfaro yang terkenal workaholic ini sampai nggak fokus begini," tanya Rendy terus terang.
"Astaga, tuh orang emang ya, nggak enak diem mulutnya," gumam Al geram.
"Lu kaya baru kenal dia aja, Al. Kan dah biasanya dia laporan ma gua. Emangnya ada apaan sih? Pengantin baru kok bawaannya bad mood mulu? Gagal malam pertama lu?" tanya Reno ceplas ceplos.
"Sembarangan aja lu kalau ngomong!" sergah Al tak terima.
"Hahaha, iya, iya, paham gua kalau lu udah mahir. Lagian lu sih Al, pengantin baru malah sibuk kerja, bukannya bulan madu kek? agak-agaknya lu masih kurang belaian ini, mangkanya emosian gini!" Reno memberikan saran sekenanya.
Al terdiam, memikirkan ucapan sahabatnya, "Bulan madu? Boleh juga tuh, gua jadi bisa habiskan waktu sama si Dina," batin Al membayangkan indahnya menghabiskan waktu bersama Dina, meneguk madu surga dunia di pagi, siang, dan malam tanpa ada yang bisa menghalangi dan menghentikannya.
"Jadi bener lu kurang belaian?" tanya Reno lagi menyadarkan Al dari lamunannya.
"Nggak usah sok tau, lu!" seru Al tak terima.
"Si Dina nggak jago emang mainnya?" goda Reno membuat Al memandangnya nyalang.
"Nggak usah kepo, lu!" sahutnya tak menghiraukan godaan Reno.
"Ya udah, ya udah, coba lu cerita, sebenernya ada masalah apa?" tanya Reno dengan mode seriusnya. Meski ia tampak somplak, tapi ia pendengar terbaik untuk Al, selalu memberikan solusi yang bijak di setiap permasalahan yang Al hadapi.
"Dina sepertinya udah punya pacar." Al mengucapkannya dengan pandangan kosong.
"Terus masalahnya apa buat lu, bro? Cuma pacar, kan? Bukan suami?" tanya Reno heran. Pasalnya ia tau betul alasan sahabatnya itu menikahi Dina.
"Ya masalah lah! Gua nggak suka liat dia deket ama cowok," jelas Al membuat Reno tersenyum penuh makna.
"Lu cemburu, Al? Jatuh cinta lu ama tu bocah?" tanya Reno to the point.
"Apaan sih? Ya enggak lah, mana mungkin gua jatuh cinta ama bocah tengil macem Dina? Ngaco, lu!" ucap Al mengelak.
"Halah, sok gengsi, Lu Al.''
"Apaan sih!" elak Al mulai terlihat salah tingkah.
"Ya udah, kalau lu emang nggak suka liat dia bareng ma cowok lain, ngapain lu masih diem di sini?" tanya Reno mulai menyadarkan sahabatnya.
"Terus gua harus apa?" tanya Al polos.
"Lu pulang lah! Temui istri lu, buktikan kepemilikan lu atas dia," saran Reno yang kemudian membuat Al menyadari apa yang seharusnya ia lakukan.
Ia segera meraih ponsel di hadapannya, kemudian berdiri dari tempatnya dan berlalu.
"Thanks ya, Bro!" ucapnya sembari menepuk pundak Reno kemudian meninggalkannya. Membuat Reno hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala.
****PZ
Al berjalan cepat memasuki rumahnya yang bak istana, di depan ia bertemu Bi Ina yang sedang membereskan ruang tamu.
"Bi, Dina sudah datang?"
"Sudah, Tuan muda."
Setelah itu ia segera bergegas menuju kamarnya.
Braaak!
Al membuka pintu dengan kasar.
"Astaghfirullah Aa', pelan-pelan dong, buka pintunya, ngagetin aja," protes Dina yang sedang membereskan baju kotornya.
"Suka-suka saya lah, kamar, kamar saya," jawab Al kesal.
"Iya iya, maaf," ucap Dina kemudian mendekat ke arah suaminya, mencium punggung tangannya penuh hormat, kemudian mengambil alih tas kerja di tangannya, juga membantunya melepas jas yang dikenakannya. Membuat Al sejenak membisu, merasa tertampar dengan sikap manis istrinya, padahal baru saja ia berlaku kasar padanya.
"Kok Aa' pulang cepat? Ini baru selesai Ashar, lho! Belum juga jam 4, kirain aku kalau kerja kantoran tuh pulangnya jam limaan," celetuk Dina sembari membereskan barang bawaan Al.
"Terserah saya mau datang dan pulang kapan, perusahaan juga perusahaan saya," jawab Al masih merasa kesal, walau nadanya kini sudah semakin melembut.
"Wah, jadi Aa' pemilik perusahaan? Perusahaan apa A'? Keren euy suami aku," jawab Dina antusias.
Melihat Dina yang kembali ceria membuat hati Al menghangat, karena bocah itu kini sudah kembali normal, tak lagi bersikap aneh seperti tadi pagi.
"Ya, memang saya pemiliknya. Hanya sebuah perusahaan di bidang properti," jawab Al apa adanya.
"MasyaAllah, hebat ya Aa', di usia yang masih muda sudah sesukses ini, kagum deh Dina sama Aa'," puji Dina pada suaminya yang kini sudah duduk di tepi ranjang, jelas pujian itu membuat Al berbunga-bunga bak ABG yang baru diterima cintanya.
"Memangnya menurut kamu saya masih muda?" tanya Al ingin tahu penilaian Dina terhadap dirinya.
"Untuk seukuran pengusaha sukses sih, Aa' bahkan terbilang sangat muda," puji Dina jujur.
"Kalau untuk ukuran sebagai suami kamu?" tanya Al to the point, membuat Dina sedikit terhenyak mendengarnya.
"Eum, muda sih," jawab Dina ragu sembari memandang suaminya dari atas ke bawah.
"Kanapa kamu ragu gitu jawabnya? Pasti saya terlalu tua kan untuk kamu anggap sebagai pasangan?" jawab Al mulai insecure, membandingkan dirinya sendiri dengan lelaki tampan yang ia lihat di foto yang dikirim oleh Supri.
Dina menggeleng cepat, "Nggak kok, A', Dina nggak bilang begitu."
"Tapi berpikir begitu, kan? Kamu aja panggil saya Om awalnya," protes Al bak seorang balita yang menginginkan pengakuan tampan dari ibunya.
"Nggak Aa', sama sekali nggak berpikir seperti itu. Bagiku Aa' adalah suami terbaik yang Allah kirimkan untukku. Aa' tau nggak? Kehadiran Aa' di hidupku bagaikan seorang hero penyelamat, yang selalu terkenang sepanjang masa," jawab Dina sedikit merayu suaminya, tak ingin suaminya merasa tersinggung dengan penilaiannya.
"Kalau cuma penyelamat apa bedanya saya dengan tim pemadam kebakaran?" jawab Al asal.
"Bedanya, kalau tim pemadam kebakaran memadamkan api, kalau Aa' memadamkan gairah yang menggelora di hati ini," jawab Dina sembari menunjuk dadanya, membuat Al tak tahan untuk tak tersenyum dibuatnya.
"Dasar ABG labil, om-om malah digombalin," batinnya menggerutu, walau dalam hati ia merasa bahagia mendengar rayuan istrinya.
Al lalu merogoh kantongnya, mengambil dompet kemudian mengeluarkan sebuah kartu kredit platinum dan menyerahkan pada Dina.
"Pakai ini," ucapnya singkat.
"Apa ini A'?''
''Kartu kredit, masa KTP?" sarkas Al.
"Maksud Dina untuk apa?"
"Untuk apa aja yang kamu butuhkan."
"Tapi Dina nggak butuh ini A', kan sudah Dina katakan sejak awal, Dina akan membebaskan Aa' dari tanggung jawab untuk menafkahi," ungkap Dina mencoba kembali mengingatkan Al pada poin perjanjian mereka.
Al memandang Dina sejenak, "Bukan karena takut terbebani dengan tanggung jawab menafkahi yang membuat saya enggan menikah, tapi saya hanya tak ingin hidup terkekang dan diatur-atur oleh wanita seperti kebanyakan rekan-rekan saya. Semua itu hanya membuat hidup saya ribet," jelas Al menyampaikan alasannya.
"Pakai saja kartu itu untuk memenuhi kebutuhanmu, jadi tidak perlu lagi meminta orang lain untuk mentraktir makan," lanjut Al menyampaikan kekesalannya, membuat Dina jadi bertanya-tanya.
"Maksud Aa'?"
"Nggak ada maksud." jawab Al singkat.
"Oiya, sama ama satu lagi ...," Al menjeda kalimatnya kemudian mengambil sesuatu dari saku kemejanya.
"Pakai ini," ucap Al seraya menyodorkan sebuah kotak perhiasan berwarna maroon.
"Ini apa A'?"
"Cincin kawin, saya baru sempat membelinya, sebab pernikahan kita yang diadakan dalam waktu yang begitu singkat. Pakailah!" titah Al pada Dina.
"Tapi kenapa aku harus memakainya?" tanya Dina ingin tahu alasan Al.
"Agar teman-temanmu tau kalau kamu sudah menikah," jelas Al menyampaikan maksudnya.
"Nggak mau ah, A', malu Dina kalau teman-teman tiba-tiba tahu Dina udah menikah, secara mereka nggak ada yang Dina undang ke acara pernikahan Dina," ucap Dina beralasan, padahal ia sama sekali tak keberatan untuk mengenakan cincin pemberian suaminya.
Al memandang Dina sejenak, ia tampak berpikir.
"Itu bisa diatur, kita bisa menyelenggarakan resepsi pernikahan setelah urusan dengan KUA beres," jawab Al membuat Dina sedikit sulit untuk mempercayainya.
"Aa' serius?"
"Memang kamu lihat saya sedang ngelawak?"
"Bukan begitu A', maksud Dina, memangnya Aa' nggak malu gitu kalau publik tau seorang pengusaha sukses seperti Aa' menikahi bocah ingusan yang dibelinya dari tempat hiburan malam?" tanya Dina serius, ia sadar siapa dirinya.
Al memandang Dina dalam, "Tidak ada yang bisa mengatur hidup saya, Din. Dengan siapa saya akan menikah itu urusan saya, orang lain tak ada yang berhak mengaturnya, bahkan orang terdekat saya sekalipun," ucapnya penuh penekanan.
Dina tersenyum haru kemudian memeluk lengan suaminya, bergelayut manja sembari memandang wajah lelaki tampan di hadapannya dengan penuh cinta.
"Oppa ..." panggil Dina manja.
"Hem?" Al menolehkan wajahnya memandang wajah Dina.
"Sarangheo," ucap Dina dengan membentuk love menggunakan jarinya, kemudian mengarahkannya ke dada Al.
Al tampak menahan senyumnya melihat kelakuan istri kecilnya, kemudian ia menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Dah ah, saya mau mandi," ucap Al mencoba mengalihkan aliran hangat dalam hatinya.
Dina segera melepas pelukan di lengan suaminya, membiarkan suaminya pergi untuk membersihkan tubuhnya. Namun, belum sempat Al berdiri, tiba-tiba ponselnya berdering.
Segera Al meraihnya kemudian melihat siapa yang tengah menelponnya. Begitupun dengan Dina, pandangannya kini terarah ke objek yang sama dengan suaminya.
"Tante Merry?" batin Dina terkejut saat melihat nama yang tertera di hp suaminya.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
