
“Lo kok gak pernah ngasih tau sih kalo punya sodara spek bidadari gitu. Cakep banget Div, kenalin ke gue lah..” — Edo.
“Tuh liat tuh, noh liat lakinya. Spek Dewa Yunani gitu. Lo udah gak ada harapan Do. Udahlah, udah gak ada apa-apanya lo dibanding kak Hanan. Lagian liat tuh anak-anak mereka, udah empat Do..” — Divya.
47. Kondangan 2
.
.
"Morning..." sapa Hanan sambil tersenyum. Tangannya mengusap wajah Chacha pelan.
Chacha yang baru saja membuka matanya terenyum dan menggenggam tangan Hanan. "Morning.." balasnya.
Hanan mendekat dan mengecup pipi Chacha gemas. "Lucu banget pipinya, makin gembul aja kayak Yaya." kata pria itu.
Chacha mendengus. Wanita itu mendorong wajah Hanan menjauhinya. "Ish, nyebelin ah."
Hanan terkekeh dan menangkup wajah Chacha gemas. "Kok nyebelin sih? Lo tuh makin gemes Cha, makin imut." kata pria itu.
Chacha menoleh dan menatap Hanan, wanita itu mendengus. "Gara-gara lo nih, nguyel-uyel pipi gue terus jadinya makin gede gini."
Hanan tertawa. "Lo pikir pipi kaya tete yang kalo diuyel-uyel makin gede." ucapnya.
Chacha mendengus. "Ya abisnya pipi gue makin gede gini ih." kesalnya.
Hanan tertawa dan kembali menangkup wajah Chacha. Pria itu menciumi wajah Chacha gemas.
"Hanan ih!"
Hanan menarik Chacha ke dalam pelukannya. Pria itu mengecup puncak kepala Chacha beberapa kali.
"Mama! Papa!"
Hanan dan Chacha menoleh kearah pintu, disana sudah ada Leen dan juga adik-adiknya berdiri. Keempat anak itu berlari ke arah ranjang dan langsung naik ke sana.
"Aduuh!" Hanan langsung mengaduh saat Yaya naik ke atas perutnya.
"Mama ayoo bangun, oma udah bangun loh. Kita harus ke rumah Tante Divya.." kata Nares sambil menatap Chacha.
"Kalian pagi banget sih bangunnya? Tumben?" tanya Chacha sambil mengusap rambut Naren. Wanita itu sudah duduk sambil bersandar pada headbed.
Leen yang duduk di tengah menunjuk jam yang tergntung di dinding. "Udah jam 5 lebih ma. Kan kita harus siap-siap. Nanti telat loh.."
Hanan dan Chacha refleks menoleh ke arah jam itu. "Aduh udah jam segini, ayok sholat dulu. Keburu terang langitnya."kata Hanan menurunkan Yaya dari perutnya.
"Ayoo!" sahut anak-anak itu.
Mereka turun ke bawah untuk menuju ke ruang sholat. Setelah wudhu Hanan langsung mengimami mereka. Papa Herdi dan Mama Jihan yang sudah selesai sholat tersenyum melihat mereka.
Selesai sholat Hanan dan Chacha mandi, sedangkan anak-anak dimandikan oleh Papa Herdi dan Mama Jihan. Mereka naik ke kamar Hanan setelah selesai mandi.
Chacha langsung mengeluarkan baju dan juga perlengkapan lain dari dalam tas. Hanan membantu Nares dan Naren memakai bajunya begitupun dengan Chacha yang membantu Yaya. Leen sudah mandiri dan bisa memakai baju sendiri.
Keempat anak itu duduk bergantian untuk Chacha rapikan penampilannya. Nares dan Naren semakin tampan dengan rambut mereka yang sudah rapi.
Leen meminta agar Chacha mengepang dan menyanggul rambutnya. Tentu Chacha turuti. Sedangkan rambut Yaya hanya sedikit dirapikan dan diikat dua. Ditambah dengan hiasan jepit berbentuk buah ceri membuat penampilan gadis kecil itu semakin manis.
Pakaian anak-anak dan Hanan seragam, berwarna hitam dan putih dengan corak batik di sekitaran dada. Sedangkan Chacha memakai kebaya berwarna hitam.
"Kalian turun dulu ya, mama masih mau dandan bentar." kata Chacha menatap anak-anaknya yang sudah siap itu.
"Oke mama.." sahut Naren.
"Jangan lari-larian, nanti kalian keringetan. Sama oma aja, pasti udah nunggu di bawah." kata Hanan.
"Iya pa.."
Leen menggandeng tangan Yaya dan mereka keluar dari kamar itu, meninggalkan Hanan dan Chacha yang masih bersiap.
Hanan menyisir rambutnya dan sedikit memakai pomade agar terlibat lebih rapi. Pria itu terlihat begitu tampan dan mempesona, apalagi dalam balutan baju batik. Terlihat bertambah tampan di mata Chacha.
Chacha merapikan rambutnya, wanita itu menyanggul rambutnya dan menambah hiasan jepitan bunga di bagian samping. Selesai dengan rambut dia langsung memakai make up.
Hanan dengan setia berdiri di samping Chacha dan menunggui wanita itu sampai selesai.
"Jangan cantik-cantik, nanti pada terpesona sama lo." kata Hanan sambil menatap Chacha.
Chacha melirik Hanan melalui sudut matanya. "Kita mau kondangan Bi, harus dandan lah. Malu kalo paling kucel.." sahutnya.
"Lo gak make up aja udah cantik banget Cha, apalagi make up gini. Duh makin cantik banget." kata Hanan.
Chacha yang sudah selesai memakai maskara mengambil lipsticknya. "Kondangan Bi, wajar kalo pake make up. Semua nanti juga pake make up." sahutnya mulai memoleskan lipstick itu ke bibirnya.
"Tuh kan, ih lipstick lo merah banget Cha. Jangan yang itu ah.." kata Hanan protes.
Chacha menghela nafas, dia mendongak menatap Hanan. "Ini yang paling cocok warnanya. Udah ah, ayo turun. Telat nanti.." kata wanita itu berdiri dan menggandeng tangan Hanan.
Hanan menatap tidak suka pada bibir Chacha, warna lipstick wanita itu terlalu cerah. Dan jujur saja sangat menggoda.
Chacha yang melihat ekspresi kesal Hanan menghela nafas. Wanita itu menarik kerah baju Hanan dan mengecup bibirnya. "Jangan gitu ah mukanya, dikira lo gak bahagia nanti."
Hanan melotot, pria itu langsung berbalik dan melihat ke arah cermin.
Chacha tertawa. "Tenang aja, lipstick gue kissproof. Gak bakal belepotan, gak bakal nempel ke lo." ucapnya. Dia tau pasti Hanan memeriksa bibirnya, memastikan apakah ada bekas lipstick di sana.
Hanan menghela nafas. "Awas ya kalo sampe lo sengaja cium gue terus ninggalin bekas. Malu nanti pasti diejekin sama sepupu-sepupu gue." kata pria itu.
Chacha mengangguk dan terkekeh pelan. "Enggak sayang, udah ah ayo turun. Mama sama papa pasti udah nunggu.." ucapnya dan kembali menggandeng tangan Hanan.
Hanan mengangguk. Mereka keluar dari kamar itu dan turun ke lantai bawah. Di sana sudah ada Papa Herdi, Mama Jihan dan juga anak-anak mereka.
"Mama cantik banget!" kata Leen menatap Chacha.
"Mama tantik!" kata Yaya sambil tersenyum.
Chach terkekeh pelan dan mengusap kepala kedua anak gadisnya itu. "Kalian bisa aja. Kalian juga cantik banget.."
"Uwaah, mama beneran cantik banget.." kata Nares menatap Chacha.
"Kamu juga ganteng, mirip papa.." ucapnya. "Naren juga ganteng.." lanjutnya menatap Naren.
Mama Jihan mendekat, wanita itu memakai kebaya berwarna hijau, tampak begitu anggun dan elegan. "Kamu cantik banget loh Cha, duh kalo gini orang-orang bisa ngira kamu temennya Divya ini. Masih kayak seumuran sama dia." kata wanita itu.
Chacha terkekeh. "Mama bisa aja ah.."
"Beneran loh Cha, orang-orang gak bakal nyangka kalo kamu udah punya anak. Mama jamin deh.."
Chacha hanya tersenyum menanggapinya.
"Yaudah, ayo berangkat. Keburu besannya dateng nanti.." kata Papa Herdi.
Naren berlari dan menggandeng tangan Papa Herdi. "Naren mau sama kakek.." ucapnya.
Papa Herdi tertawa. Dia mengusap kepala cucunya itu pelan. "Ayo, kamu jalan sama kakek ya."
Naren mengangguk.
Leen mendekati Mama Jihan dan menggandeng wanita itu. "Aku mau sama oma.."
"Ayo.." sahut Mama Jihan sambil tersenyum.
Nares menggandeng tangan Chacha sedangkan Yaya digendong oleh Hanan agar mereka cepat sampai.
.
.
"Div, itu siapa?" tanya salah seorang teman Divya— Edo namanya, menunjuk Chacha yang sedang membantu menyiapkan makanan untuk para tamu.
Divya yang duduk di samping pelaminan bersama suaminya menoleh kearah yang ditunjuk oleh temannya. Mereka baru saja selesai acara bersalaman dan sedang istirahat saat ini.
"Yang mana?" tanya gadis itu.
"Yang kebaya item, itu loh yang lagi bagiin makanan." jawab Edo.
Divya mengerutkan keningnya. Gadis itu menyipitkan mata. "Kebaya item? Oh Kak Chacha maksud lo?"
"Yang kebaya item pokoknya." jawab Edo.
"Iya itu Kak Chacha.." kata Divya.
Edo menyenggol lengan Divya. "Itu sodara lo? Sepupu? Atau gimana Div?"
"Sodara jauh sih, kenapa?"
Edo tersenyum. "Lo kok gak pernah ngasih tau sih kalo punya sodara spek bidadari gitu. Cakep banget Div, kenalin ke gue lah.." kata pemuda itu.
Divya menahan tawa. "Heh, dia lebih tua dari lo ya asal lo tau.." kata gadis itu.
Edo berdecak. "Yaelah, umur cuma angka. Gak masalah Div. Kenalin ke gue lah, buset cantik banget dia.." kata pemuda itu sambil menatap Chacha yang kini tengah mengobrol bersama Tante Melly.
Divya menggelengkan kepala pelan. "Jangan ngadi-ngadi lo Do." kata gadis itu.
"Yaelah Div, kenalin dulu lah ke gue.." kata Edo tetap memaksa.
"Dia udah punya pasangan, gak mungkin lirik lo. Pasangannya ganteng banget." kata Divya sambil menoleh pada Edo.
Edo menghela nafas. "Ya gue coba deketin dulu lah, kalo belom nyoba kan gak bakal tau hasilnya." kata pemuda itu kekeuh.
Divya menghela nafas dan memijat keningnya. "Anaknya udah empat Do."
"HAH?! ANJIR, BERCANDA YA LO!" teriak Edo kaget mendengar ucapan Divya.
Divya berdecih. "Dih, ngapain gue boong. Beneran anjir, anak kak Chacha tuh udah empat. Udah gede-gede asal lo tau. Yang pertama aja udah kelas 2 SD.." jelas gadis itu.
"Anjir, yang bener ah? Masa dia udah punya anak? Gak keliatan Div, masih kayak anak kuliahan gitu. Badannya bagus, boong lo ah." kata Edo yang tidak percaya.
Divya berdecak. "Lo tuh dibilangin malah gak percaya, liat aja deh. Bentar lagi pasti suami sama anak-anaknya nyamperin dia." kata gadis itu.
Edo menghela nafas lesu. Pemuda itu masih menatap Chacha yang kini tengah tertawa. Sial, yang benar saja. Mana mungkin Chacha sudah memiliki 4 anak. Pasti Divya hanya berbohong.
"Tuh liat tuh, itu suaminya kak Chacha.." kata Divya menunjuk Hanan yang berjalan bersama anak-anak untuk menghampiri Chacha.
Begitu sampai di tempat Chacha, anak-anak langsung memeluk kaki wanita itu. Hanan terkekeh dan merangkul pinggang Chacha serta mengecup kening wanita itu. Chacha melotot dan memukul lengan Hanan karena ulah pemuda itu. Dia malu, dilihat oleh banyak orang.
"Tuh liat tuh, noh liat lakinya. Spek Dewa Yunani gitu. Lo udah gak ada harapan Do. Udahlah, gak ada apa-apanya lo dibandig kak Hanan. Lagian tuh liat anak-anak mereka, udah empat Do.." kata Divya menyenggol lengan Edo.
Edo langsung tertunduk sedih. Ternyata benar, dia tidak ada apa-apanya. Suami Chacha terlihat begitu gagah dan tampan. Dan lagi mereka terlihat begitu serasi.
Sedangkan di tempat Hanan dan Chacha, anak-anak mengajak mereka untuk duduk dan makan karena mereka sudah lapar.
"Kalian duduk di sini ya, mama sama papa mau ambil makanan dulu." kata Chacha menatap anak-anaknya yang sudah duduk melingkari salah satu meja bulat.
"Aku ikut maa.." kata Leen mengikuti Chacha.
Chacha mengangguk. Dia menatap Nares dan Naren. "Jagain adik kalian ya, jangan sampe dia jatoh." pesannya kepada kedua anak kembarnya itu.
"Iya ma.."
Chacha pun berjalan menuju ke meja prasmanan. Dia mengambil nasi dan beberapa lauk. Hanan mengambil minum, sedangkan Leen mengambil kudapan-kudapan manis seperti puding dan juga cupcake.
Chacha mengambil dua piring makanan dengan isi yang cukup banyak. Tentu itu untuk anak-anak juga.
Setelah mengambil makanan Chacha, Hanan dan Leen kembali ke meja mereka. Yaya yang melihat banyaknya kudapan manis yang Leen bawa langsung berbinar senang.
"Uwaah kakak bawa cupcake.." kata Yaya senang.
Leen tersenyum. "Iya, nanti kita makan bareng ya.."
Yaya menganggukan kepalanya semangat.
"Mama laper.." kata Nares sambil memegangi perutnya.
Chacha mengelap sendok yang sudah dia ambil menggunakan tisu. "Mama suapin aja ya kalian, biar gak belepotan." kata wanita itu.
Anak-anak langsung mengangguk. "Aku mau pake rendang ma.." kata Leen.
Chacha mengangguk. Dia menyuapi anak-anak bergantian. Akan lebih repot kalau mereka makan sendiri, bisa belepotan dan bajunya juga kotor.
"Mama aaak.." kata Hanan menyuapkan nasi pada Chacha.
Chacha melotot pada suaminya itu. Dia malu karena beberapa pasang mata langsung melihat ke arahnya. "Apasih, aku bisa makan sendiri mas." ucapnya.
Hanan menggeleng. "Iya tau, tapi papa mau nyuapin mama. Iya kan anak-anak? Emang papa gak boleh nyuapin mama?" tanya Hanan menatap anak-anaknya itu.
"Boleh dong pa, mama kan nyuapin kita jadi papa yang nyuapin mama.." jawab Leen.
Ketiga anaknya yang lain mengangguk. "Betuuul." sahut Yaya.
Chacha menghela nafas. Wanita itu akhirnya membuka mulut dan menerima suapan dari Hanan.
"Aku juga mau dicuapin papa.." kata Yaya.
Hanan terkekeh dan menatap Yaya. "Mau disuapin apa?"
"Mau naci cama ayam.." jawab gadis kecil itu.
Hanan langsung menyuapkan apa yang Yaya mau. Pria itu terkekeh melihat Yaya yang sepertinya sangat menikmati makanannya.
"Kalian mau papa suapin juga?" tanya Hanan menatap ketiga anaknya yang lain.
Mereka langsung mengangguk. Hanan pun tersenyum dan langsung menyuapkan makanan untuk mereka bergantian.
Tak jauh dari mereka ada Selly yang berdiri bersama Tante Santi dan juga Tante Halimah. Tante Halimah ini adiknya Om Sandi— suaminya Tante Melly.
"Liat tuh keluarganya Hanan, gak malu apa suap-suapan gitu.." kata Tante Santi sinis.
Selly memutar bola mata jengah mendengar ucapan mamanya itu. "Ya gapapa ma, malah bagus keliatan harmonis gitu.." sahutnya.
Tante Santi mendengus. "Halah harmonis, mau pamer itu. Emang sengaja.."
Tante Halimah mengusap dada pelan. Memang kakak iparnya ini benar-benar keterlaluan. Ada saja yang menjadi bahan pembahasannya.
"Lagain mama heran, bisa-bisanya Hanan mau sama perempuan kayak Chacha. Diliat sekilas aja udah keliatan dia orangnya gimana.."
"Maksud mbak apasih? Chacha itu baik kok.." kata Tante Halimah.
Tante Santi memutar bola mata malas. "Baik? Mana ada perempuan baik yang ninggalin suaminya dua tahun. Aku kalo jadi Hanan udah nyari cewek lain yang lebih baik, ngapain sama cewek kayak Chacha.." kata wanita itu.
Selly menghela nafas. "Ma, itu udah masalah lama. Lagian kita gak tau gimana yang sebenernya. Mama gak boleh judge orang cuma karena kita denger berita kayak gitu. Kita gak tau loh kejadian sebenernya.." kata wanita itu.
Tante Santi menatap Selly. "Kamu tuh kenapa sih belain dia? Dia gak bener Sel, heran mama.."
"Setau aku Chacha orang baik ma, dia pinter. Dan aku yakin dia enggak kayak yang mama pikir." kata Selly.
"Sel, dia ninggalin Hanan 2 tahun. Pergi ke luar negeri, kita gak tau selama di sana dia ngapain aja. Bisa aja dia di sana sama cowok lain." kata Tante Santi.
"Mbak, dia di sana terapi loh. Mbak Jihan pernah cerita ke aku gimana keadaan Chacha waktu pergi itu. Dia trauma mbak, bukannya nyari cowok lain.." kata Tante Halimah.
"Yakan itu yang dia bilang ke Jihan, aslinya mana kita tahu.."
"Ya ampun ma, mama kenapa sih suudzon mulu sama orang? Dosa ma.." kata Selly.
"Halah, terserah kamu lah. Belain aja terus si Chacha.." kata Tante Santi dan berjalan meninggalkan Selly dan juga Tante Halimah.
Kedua wanita itu menghela nafas setelah kepergian Tante Santi.
"Ya ampun Sel, mama kamu kapan sih berubahnya.." kata Tante Halimah.
Selly menggelengkan kepala pelan. "Gak tau lah tan, aku aja capek liat dia kayak gitu. Suudzon terus sama orang, apalagi sama Chacha. Kayaknya nggak suka banget.."
Tante Halimah menoleh menatap keluarga Chacha yang kini sedang bercanda sambil memakan kudapan manis.
"Padahal Chacha itu baik, tiap ada yang punya acara dia selalu bantu masak. Bikin ini itu, pergi beli ini itu. Hah~ tapi mama kamu yang diinget cuma kejadian buruk itu aja.." kata wanita itu.
Selly mengangguk. "Iya tan, keliatan kok kalo dia baik. Biarpun aku jarang ketemu sama dia dan gak akrab tapi aku bisa rasain kalo dia baik orangnya. Terus dia juga hebat banget, bisa ngurus anak-anaknya sendiri. Gak pake babysitter, kagum aku.." kata wanita itu menatap Chacha.
Tante Halimah mengangguk. "Iya Sel. Mama kamu pasti gak suka banget karena itu, dulu dia pernah bilang kalo Chacha bakal susah punya anak karena pernah keguguran.."
Selly yang mendengarnya terkejut. "Mama pernah ngomong gitu?"
Tante Halimah mengangguk. "Iya dulu, waktu keluarga kamu ke sini. Yang sama adik kamu itu, waktu itu pertama kalinya mama kamu ketemu sama Chacha. Terus ya itu denger cerita ini itu, eh dia bilang kalo Chacha bakal susah punya anak karena pernah keguguran.."
Selly mengusap dadanya kaget. "Ya Allah, keterlaluan banget mama sampe ngomong gitu.."
"Iya Sel, kasian banget Chacha waktu itu. Keliatan syok dan sedih banget pas mama kamu bilang itu.."
Selly menghela nafas pelan. Dia tidak menyangka kalau mamanya sampai hati mengatakan hal menyakitkan seperti itu. Pasti saat itu Chacha benar-benar terluka saat mendengarnya.
"Kemaren pas Chacha dateng aja mama kamu keliatan gak suka, apalagi pas anak-anaknya dateng nyamperin. Mama kamu langsung pergi Sel, melengos gitu aja.." kata Tante Halimah.
"Mama keterlaluan banget. Padahal Chacha baik banget, anak-anaknya juga pinter. Iri banget aku sama dia tan.."
Tante Halimah menghela nafas. Wanita itu mengusap lengan Selly pelan. "Mama kamu emang gitu Sel, gak pernah berubah.."
"Malu aku tan, mama banyak nyakitin orang karena omongannya.."
"Kita doain aja semoga mama kamu berubah Sel. Udah yuk kita ke belakang lagi.."
"Iya tan.."
Di lain tempat Edo yang nekat tetap menghampiri Chacha. Pemuda yang juga merupakan fotografer di acara pernikahan Divya itu nekat ingin berkenalan dengan Chacha.
"Emm, permisi mbak.." panggilnya.
Chacha yang sedang bercanda dengan Nares dan Naren menoleh. Wanita itu mendongak menatap Edo yang berdiri di sampingnya. "Iya?"
Edo mengulurkan tangannya. "Saya Edo mbak, temen Divya sekaligus fotografer hari ini.."
Chacha mengerutkan kening dan melirik Hanan sebentar, melihat Hanan yang mengangguk wanita itu menerima uluran tangan Edo. "Oh iya, saya Chacha.."
Edo tersenyum lebar. "Saya tadi liat mbak dari jauh, mbak cantik banget jadi saya tertarik buat nyamperin ke sini. Kalau boleh, saya mau motret mbak. Buat dokumentasi.." kata pemuda itu memegang kameranya.
Chacha menoleh pada Hanan. "Gimana mas? Boleh nggak?" tanyanya.
Hanan yang memangku Yaya mengangguk. "Boleh gapapa, kan buat dokumentasi.." jawabnya.
Chacha kembali menatap Edo. "Yaudah, mau foto dimana?" tanya wanita itu.
"Di sana aja mbak, bagus backgroundnya.." kata Edo menunjuk tempat di bagian samping bawah pelaminan. Di sana dekornya sangat bagus, cocok untuk dijadikan tempat foto.
Chacha mengangguk dan berdiri. "Yaudah ayo.."
Edo tersenyum lebar dan berjalan menuju ke tempat itu. Di sana dia langsung memotret Chacha yang begitu cantik dan lihai berpose.
Divya dan suaminya yang melihat itu dari atas pelaminan menggelengkan kepala pelan. Nekat juga si Edo.
"Bagus banget mbak, cantik. Sekali lagi ya.." kata Edo melihat hasil foto Chacha.
Chacha mengangguk dan kembali berpose.
"Ooom! Aku mau foto juga!"
"Aku juga om!"
"Yaya mau foto sama mama papa!"
"Fotoin dong om!"
Keempat anak Chacha berlari ke tempat mereka. Nares dan Naren sudah merengek ingin difoto. Begitu juga dengan Yaya yang menarik tangan Hanan dan Leen minta untuk difoto.
Edo gelagapan karena anak-anak itu yang tiba-tiba menyerbu. Dia kaget, untung saja kameranya tidak jatuh.
"Maaf ya, anak-anak saya emang agak rusuh.." kata Hanan.
"Oh iya, gapapa mas. Gapapa.." kata Edo sambil tersenyum. Udah nerveous dia gara-gara suaminya mbak Chacha tiba-tiba ikut nyamperin. Mana badannya tinggi agak berotot lagi.
"Ooom! Fotoin kita sama mama! Om cepet!"
"Iya om! Fotoin kita!"
Nares dan Naren sudah berdiri di samping Chacha, mereka ingin segera difoto. Chacha tersenyum dan mengusap kepala kedua anaknya itu.
"Ooom fotoin!" teriak Nares lagi.
Edo langsung menatap Chacha. "Oh iya, ayo silahkan atur posisinya." kata pemuda itu bersiap memegang kameranya.
Nares dan Naren berdiri di samping Chacha, kedua anak itu berpose seolah menjadi bodyguard sang mama.
Chacha tersenyum ke arah kamera. Edo langsung mengambil foto mereka. "Kayaknya mbak sambil duduk juga bagus." kata pemuda itu.
"Oh ya?"
"Ini, duduk sini sayang.." kata Hanan menaruh kursi di samping Chacha.
Chacha langsung tersenyum pada Hanan. "Makasih mas.." ucapnya.
Hanan mengangguk. Pria itu kembali menjauh dan menggandeng tangan Yaya juga Leen.
Chacha pun duduk di kursi yang Hanan ambil, dia merangkul bahu Nares dan Naren. Mereka kembali menghadap kamera dan tersenyum.
"Gantian, Yaya juga mau foto. Papa ayo, kakak ayoo!" kata gadis kecil itu menarik Hanan.
Chacha menatap Edo. "Anak saya yang kecil juga mau foto, gapapa kan?" tanyanya.
Edo langsung menggeleng. "Gapapa mbak, ayo silahkan saya fotoin." jawabnya sambil menoleh pada Yaya.
Yaya tersenyum senang. Dia langsung duduk di kursi yang tadi Chacha tempati. Gadis kecil itu sudah berpose dengan senyumannya. Leen berdiri di sampingnya, sedangkan Hanan ada di belakang mereka.
Edo mengambil beberapa foto mereka dengan beberapa pose lain juga.
"Mas, bisa fotoin saya sama istri saya juga gak?" tanya Hanan menatap Edo.
Edo yang melihat hasil jepretannya mengangguk. "Oh iya, bisa.." jawabnya.
Hanan tersenyum. Dia menatap Chacha. "Ayo Cha.." panggilnya.
Chacha terkekeh pelan. Dia mendekati Hanan. Hanan memindahkan kursi yang ada di sana, dan mereka langsung berdiri menghadap kamera.
"Tumben banget ngajakin foto gini.." kata Chacha.
Hanan tersenyum. "Lo cantik banget, kita harus foto berdua. Mumpung ada yang motoin, fotografer lagi.." jawabnya.
"Dasar.."
Hanan merangkul pinggang Chacha mesra. Mereka tersenyum ke arah kamera.
Edo yang melihatnya hanya bisa tersenyum sedih. Hah~ kalau dibanding dengan suaminya mbak Chacha ya jelas beda jauh. Dia tidak ada apa-apanya. Mereka sangat serasi.
"Papa cun mama! Ayo pa cun mama!" teriak Yaya menunjuk-nunjuk pipinya.
Chacha melotot kaget. "Yaya.."
"Cun mama! Cun mama!" teriak gadis itu lagi.
Hanan terkekeh, pria itu langsung mencuri satu kecupan di pipi Chacha dan dijepret dengan begitu baik oleh Edo. Oke, pemuda itu semakin pundung sekarang.
"Ih, mas sembarangan banget!" kata Chacha memukul lengan suaminya itu.
"Kan disuruh Yaya, kalo gak diturutin ngambek nanti dia." sahut Hanan santai.
Chacha berdecak. Malu dia, apalagi banyak orang melihat ke arah mereka. Aduh, Hanan memang benar-benar menyebalkan.
"Anak-anak ayo sini, kita foto bareng." panggil Hanan.
Anak-anak langsung berlari menghambur mendekati mereka. Chacha terkekeh. Dia langsung mengatur posisi mereka. Anak-anak ada di depan berdiri berdampingan. Berurutan mulai dari Leen, Nares, Naren hingga Yaya.
"Siap ya? 1..2..3.."
Keluarga kecil itu— besar sebenarnya tersenyum ke arah kamera. Anak-anak saling bergandengan sedangkan Hanan merangkul pinggang Chacha. Ah, sangat indah untuk dilihat. Keluarga besar yang bahagia..
Abaikan Edo yang semakin pundung melihat keluarga bahagia itu hehe..
To Be Continue
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
