The Baskara (39. Rumah Uti)

3
0
Deskripsi

“Heeem mentang-mentang gak ada anak-anak kalian langsung gaspol ya? Dasar kalian ini..” — Mama Renata.

“Ya gapapa, kan Mas Hanan seneng kalo aku agresif.” — Chacha.

39. Rumah Uti

.

 

.

Hanan tersenyum menatap Chacha yang masih terlelap di sampingnya. Wanita itu sepertinya kelelahan karena aktifitas mereka semalam. Bahkan saat semalam dia mengangkat tubuh Chacha menuju ke kamar mereka, wanita itu tidak terganggu sama sekali dan tetap terlelap.

"Mmmh Bi?"  Chacha memegang tangan Hanan yang ada di pipinya. Mata wanita itu terbuka perlahan.

"Morning.."  sapa Hanan sambil tersenyum menatap wanitanya itu.

Chacha menghembuskan nafas pelan. Dia tersenyum. "Morning.."

Chacha memajukan tubuhnya dan semakin merapat pada Hanan.

Hanan memeluk tubuh Chacha. "Dingin ya?"

Chacha mengangguk, hidungnya menggesek pelan dada bidang Hanan. "Banget.."

Hanan terkekeh dan mengeratkan pelukannnya. "Bangun dulu yuk, udah jam lima. Sholat dulu." kata pria itu sambil mengusap punggung polos Chacha.

Chacha menghela nafas pelan dan mengangguk. Wanita itu duduk dan meregangkan ototnya. "Pegel-pegel, nanti mau minta dipijet mama ah..." ucapnya.

Hanan ikut bangun dan menutupi tubuh bagian atas Chacha menggunakan selimut. "Jangan gitu, ntar engas lagi gue."

Chacha terkekeh pelan. Wanita itu merapatkan selimutnya dan turun dari ranjang mereka.

"Bisa jalan gak?" tanya Hanan menatap istrinya itu.

Chacha meringis pelan dan berpegangan pada tembok. "Bisa, sana mandi di kamar mandi sebelah. Cepetan."  ucapnya sambil menatap Hanan.

Hanan mengangguk dan mengambil baju ganti dari dalam lemari. Pria itu keluar  dari kamar mereka dan menuju ke kamar sebelah untuk mandi. Selesai dengan kegiatan mandi masing-masing mereka kembali ke kamar untuk sholat subuh.

Selesai sholat subuh mereka ke balkon dan duduk di sana. Melihat cahaya matahari pagi yang mulai muncul. Jarang sekali mereka bisa bersantai seperti ini setelah memiliki Leen dan adik-adiknya. Biasanya setiap pagi sudah sibuk mengurus  keempat anak itu. Entah membuat sarapan ataupun sekedar membereskan tempat tidur mereka.

Chacha duduk di depan Hanan dengan pria itu yang menggosok rambut basahnya menggunakan handuk.  Wanita itu menghirup udara segar pagi hari sambil memejamkan mata dan tersenyum.

"Tenang banget ya  kalo lagi berdua. Gak  ada anak-anak." kata Chacha.

Hanan mengangguk. Tangannya masih bergerak menggosok rambut basah Chacha. "Iya. Biasanya Nares sama Naren udah berisik. Leen udah bingung nyariin Yaya yang ngumpet."

Chacha terkekeh pelan. Matanya terbuka dan dia menoleh kepada Hanan. "Yaya emang suka banget ngumpet. Kadang kalo siang tuh dia tiba-tiba ngilang. Eh pas gue sama anak-anak udah bingung dia muncul sambil ketawa."

Hanan menghela nafas pelan. Dia meletakkan handuk kecil di tangannya dan memeluk tubuh Chacha erat. "Jadi aneh ya gak ada anak-anak."

Chacha mengusap tangan Hanan yang melingkari perutnya dan mengangguk. "Iya. Jadi berasa sepi banget." ucapnya.

Hanan menyandarkan kepalanya di bahu Chacha dan menghirup aroma wanita itu. "Nanti ke rumah mama?"  

"Iya, jangan siang-siang. Takut macet, lagi hari libur gini." ucapnya.

Hanan mengangguk. Setelah beberapa saat duduk menghabiskan waktu di balkon, mereka akhirnya turun ke bawah. Perut mereka sudah mulai lapar. Apalagi setelah semalaman melakukan aktifitas yang cukup melelahkan. Mereka butuh mengisi tenaga lagi.

"Bi, ah. Pake baju sana. Ntar keburu Bi Parti dateng.." kata Chacha menyikut pelan dada Hanan. Pria itu malah bertelanjang dada dan melepas kaosnya sebelum turun tadi.

Hanan menggeleng. Pria itu semakin erat memeluk Chacha yanang tengah membuat pancake. "Gak mau. Bi Parti gak akan dateng, tadi gue udah bilang supaya gak usah ke sini hari ini."  

Chacha menoleh sebentar pada Hanan dan mendengus. "Dih, dasar."  

Hanan terkekeh. Tangan pria itu menelusup masuk ke dalam kaos longgar  yang dipakai oleh Chacha. Meremas dan memainkan dada wanita itu gemas.

"Bi, jangan ah. Gelii.." kata wanita itu.

"Lo lanjutin aja bikin pancakenya." kata Hanan malah menyamankan posisi kepalanya bersandar di bahu Chacha.

Chacha menghela nafas. Wanita itu berdecak dan melanjutkan kegiatannya membuat pancake. Hanan juga pasti tidak akan melepaskannya. Jadi lebih baik dia biarkan saja.

"Sorry ya, pasti badan lo pegel gara-gara semalem kita kelamaan main di sofa." kata Hanan sambil menciumi bahu Chacha.

Chacha menoleh dan mengecup bibir pria itu. "Gapapa nanti kan mau minta dipijitin sama mama." sahutnya sambil tersenyum.

Hanan menghela nafas  dan mengangguk. Pria itu semakin erat memeluk tubuh Chacha. Matanya memandang pancake yang sudah selesai dibuat oleh wanita itu.

"Coklat atau madu?" tanya Chacha.

"Madu." jawab Hanan.

Chacha mengangguk dan menuangkan madu diatas pancake mereka. Wanita itu mencolek madu yang ada di atas pancake dan menjilatnya. "Manis.."

Hanan memegang dagu Chacha dan mengarahkan wajah wanita itu padanya. "Mau..." ucapnya dan langsung melumat bibir Chacha.

Chacha membuka mulutnya, membiarkan lidah pria itu menjelajahi rongga mulutnya yang terasa manis karena madu.

Setelah beberapa saat Hanan melepas ciumannya. Dia mengusap bibir Chacha yang sedikit membengkak.

"Udah ah, ayo makan dulu." kata Chacha menepuk lengan Hanan yang melingkari perutnya.

Hanan mengangguk, dia mengambil air dari dalam kulkas dan mengikuti Chacha yang sudah sudah membawa dua piring pancake menuju ke meja makan.

"Sini aja.." kata Hanan menepuk pahanya.

"Iya-iya.." sahut Chacha dan kembali mendekati Hanan, duduk di atas pangkuan pria itu.

Mereka berdua akhirnya sarapan dengan memakan pancake sebelum berangkat menuju ke rumah Mama Renata.

.


.

"Mamaaaaa~" Nares dan Naren langsung berlari mengampiri Chacha dan memeluk wanita itu.

Chacha tersenyum dan berjongkok membalas pelukan kedua anaknya itu. "Gak nakal kan? Gak repotin kakek sama uti?"

Kedua anak kembar itu menggeleng. "Enggak, kita baik kok. Kemaren kita ikut kakek ke sungai, mancing." jawab Naren antusias.

"Oh ya?"

"Kita juga diajarin kakek bikin perahu dari botol bekas ma, terus perahunya kita taruh di sungai. Gak tenggelem ma. Pokoknya seruu!" kata Nares sambil sambil tersenyum senang.

Chacha mengusap kepala kedua anaknya itu. "Pinternya anak mama.."

Naren dan Nares tersenyum bangga. Mereka menggandeng tangan Chacha untuk masuk ke dalam rumah. Di ruang tamu terlihat Yaya yang sedang bermain robot ultraman yang sepertinya dibelikan oleh Papa Bima.

"Mama!" Leen berdiri dan memeluk Chacha.

Chacha tersenyum dan mengusap rambut Leen. "Gimana? Kemaren kemana aja sama uti?"

Leen melepas pelukannya. "Kemaren diajak jalan-jalan ma sama uti. Seru banget, kita main banyak permainan. Pokoknya seru!" jawab gadis itu senang.

"Mama, papa mana?" tanya Yaya sambil menarik-narik tangan Chacha.

Chacha berjongkok dan menatap Yaya. "Bentar ya, papa masih di mobil."

"Huum.." sahut Yaya. Gadis kecil itu kembali duduk dan bermain dengan mainan ultramannya.

Papa Bima menatap Chacha. "Oleh-oleh buat kamu sama Hanan ada di deket tv tuh Cha.."

Chacha menatap papanya itu. "Loh, aku sama Mas Hanan juga dapet oleh-oleh pa?"

"Ya dapet lah.." jawab Papa Bima.

Chacha tersenyum senang. "Makasih pa.."

"Iya.." sahut Papa Bima.

Tak lama Hanan masuk ke dalam rumah membawa 3 ikat buah rambutan dan juga kantong plastik berisi ubi cilembu.

"Waah rambutan!" teriak Naren girang. Bocah itu berlari menghampiri Hanan dan berjingkrak-jingkrak senang.

Hanan tertawa dan berjalan menuju ke arah anak-anak dan juga Chacha. Pria itu duduk di bawah. "Gimana Jepang pa?" tanyanya pada Papa Bima.

Papa Bima menghela nafas. "Ya gitu Nan, dingin." jawabnya.

"Mama mau rambutan ma!" kata Nares menarik-narik tangan Chacha.

Chacha terkekeh pelan. "Iya-iya, sini. Kan kemaren udah bisa ngupas sendiri kan?"

Nares mengangguk. Chacha mengambilkan satu buah rambutan dan memberikannya pada Nares. "Jangan pake gigi ya, pake tangan aja. Kayak yang mama ajarin waktu itu."

"Oke ma.." sahut Nares dan mulai mengupas buah rambutan itu sesuai dengan yang pernah Chacha ajarkan.

"Papa, Yaya angen.." kata Yaya berjalan menghampiri Hanan dan langsung duduk di pangkuan pria itu.

Hanan terkekeh pelan. "Uluh-uluh, gemesnya anak papa. Kangen ya?"

Yaya mengangguk. Tangannya memegang tangan Hanan. "Angen.."

"Yaya kayaknya manja banget sama Hanan.." kata Papa Bima melihat cucu kecilnya yang sepertinya sangat dekat dengan Hanan.

Chacha menghela nafas. "Iya pa, Yaya emang manja banget sama Mas Hanan. Lengket pokoknya.."

"Papa ini apa?" tanya Leen menunjuk kantong plastik yang tadi Hanan bawa.

"Oh iya, ini ubi cilembu. Papa kan pernah bilang pengen ubi cilembu, ini tadi kebetulan ada yang jualan jadi aku beli. Ini pa, udah mateng kok.." kata Hanan membuka kantong plastik di depannya.

Aroma ubi cilembu langsung memenuhi ruangan itu. Sangat harus dan menggugah selera.

"Baunya enak.." kata Naren.

"Wangi banget.." sahut Nares.

"Aduh bau apa nih? Kok kayak bau ubi cilembu sih?" tanya Mama Renata yang baru saja memasuki rumah. Sepertinya wanita itu baru saja pergi untuk membeli sayur.

"Iya ma, ini aku sama Mas Hanan bawa ubi cilembu. Mama sama papa kan suka.." kata Chacha.

Mama Renata langsung mengulas senyum senang. Wanita itu langsung ikut duduk dan mengambil satu ubi cilembu berukuran cukup besar. Dia memotong ubi itu menjadi dua bagian.

"Ini pa, aduh baunya enak banget.." kata Mama Renata memberikan sepotong ubi cilembu pada Papa Bima.

Papa Bima langsung menerimanya. "Heem, enak banget nih. Pasti manis." ucapnya.

"Papa, Yaya mau ubi.." kata Yaya menunjuk ubi yang ada di dalam plastik.

Hanan mengambil satu ubi berukuran kecil dan membersihkan kulitnya. "Aduh panas, papa suapin aja ya?"

Yaya mengangguk dan membuka mulutnya. Saat Hanan menyuapkan ubi itu, Yaya langsung melahapnya dengan senang.

"Aduh gemesnya, enak? Hem?" tanya Chacha sambil mengusap pipi gembul Yaya.

Yaya mengangguk senang. "Enyak, maniss.." jawabnya.

"Udah lama mama gak makan ubi cilembu Cha, aduh manis banget ini. Enak." kata Mama Renata yang memakan  ubi cilembunya dengan lahap.

"Makanya tadi aku sama Mas Hanan beli, udah ngira pasti mama seneng kalo dibeliin ini." kata Chacha.

"Iya Cha, aduh mama nyari-nyari tapi yang di sekitar sini udah gak ada yang jualan. Di pinggir jalan juga jarang." kata Mama Renata.

"Ini abisin aja ma, puas-puasin makan ubi. Mumpung ada." kata Chacha.

Mama Renata mengangguk dan terus memakan ubinya dengan senang. Sepertinya wanita itu memang sangat menyukai ubi.

.

 

.

"Maaaa.." Chacha memanggil Mama Renata yang sedang berjalan menuju ke kamar tamu.

Mama Renata menoleh dan berhenti berjalan. "Kenapa? Mama, mau ngambil gorden di dalem. Mau nama cuci." tanyanya.

Chacha memajukan bibir bawahnya. "Ma, pijitin aku dulu.."

Mama Renata mengerutkan keningnya. "Dih, biasanya juga dipijitin Hanan kamu. Kok tiba-tiba malah minta pijit ke mama?"

"Ya pengen mama yang mijit pokoknya. Ayo ma, pegel-pegel badan aku. Gak enak banget.." kata Chacha sambil menarik tangan sang mama untuk masuk ke dalam kamarnya.

Anak-anak dan Hanan sedang ikut Papa Bima memancing di pemancingan yang tak jauh dari rumah. Tentu saja anak-anak sangat senang dan antusias diajak untuk memancing, apalagi Nares dan Naren. Mereka berdua sangat bersemangat.

"Mbok Nah kemana ma?" tanya Chacha.

"Ada, tadi sih ke pasar. Nyari jagung manis sama kencur. Di tukang sayur udah abis, padahal anak-anak kamu pengen bakwan jagung. Yaudah tadi mama nyuruh Mbok Nah ke pasar buat nyari.." jawab Mama Renata.

"Oh, pantes gak keliatan.." kata Chacha.

"Cepet tiduran, buka bajunya biar mama olesin pake minyak urut." kata Mama Renata.

Chacha yang akan naik ke atas kasur menoleh. "Dih, mama dapet dari mana minyak urut?" tanyanya.

"Dari tante kamu, dia dikasih mertuanya. Ampuh Cha, waktu mama dipijit sama Mbok Nah pake minyak itu langsung mendingan loh pegel-pegelnya."

"Masa sih?"

Mama Renata mengangguk. "Iya, yaudah nanti kamu rasain sendiri deh. Bentar mama mau ambil minyaknya di bawah. Kamu buruan buka baju terus tiduran. Di bawah aja biar kasur kamu gak bau minyak urutnya. Atau mau di kamar tamu? Biar nanti sepreinya mama ganti langsung?"

Chacha berfikir sebentar. "Di kamar tamu aja ma kayaknya."

Mama Renata mengangguk. "Yaudah, sana ke kamar tamu. Mama ambil dulu minyaknya."

"Oke ma.." sahut Chacha.

Mama Renata pun keluar dari kamar Chacha dan menuju ke lantai bawah untuk mengambil minyak urutnya. Sedangkan Chacha mengambil kain tipis miliknya dan menuju ke kamar tamu.

Dia membuka bajunya dan membalut tubuhnya menggunakan kain itu sebelum berbaring di atas ranjang kamar tamu.

"Kamu abis ngapain sih Cha kok pegel-pegel?" tanya Mama Renata saat masuk ke dalam kamar itu.

Chacha menoleh sekilas dan langsung nyengir. "Ya gitu ma, biasa.." jawabnya.

Mama Renata mendengus. Wanita itu naik ke atas ranjang dan duduk di samping Chacha. "Heeem, mentang-mentang gak ada anak-anak kalian langsung gaspol ya? Dasar kalian ini.."

Chacha mengerucutkan bibirnya. "Kan jarang-jarang ma, bisa bebas gitu..."

Mama Renata menggelengkan kepala pelan. "Kalian tuh haduh, anak udah 4. Masa masih kayak gitu terus?"

"Yaiya ma, emang kenapa? Kan bagus, berarti rumah tangga aku sama Mas Hanan harmonis ma.." kata Chacha.

Mama Renata kembali menghela nafas. Wanita itu menyibak rambut Chacha yang menutupi punggung. "Ya ampun Cha, ini merah-merah semua gini? Astaga.."

Mama Renata berdecak melihat bercak-bercak merah yang ada di tengkuk dan juga punggung Chacha.

"Biarin ah ma, buruan pijitin ma.." kata Chacha.

Mama Renata mengoleskan minyak urut yang dia bawa ke punggung Chacha dan mulai memijat putrinya itu. "Kamu sama Hanan nih gak ada berubahnya, masih aja aktif banget. Mama kira kalian gitu karena emang dulu masih umur-umur segitu ya wajar kalo menggebu-gebu. Lha ini sekarang udah anak 4 umur segini masih aktif juga kalian.."

"Udah rutinitas ma hehe.." kata Chacha yang mulai nyaman merasakan pijatan sang mama di punggungnya.

Mama Renata memijat punggung Chacha. "Bakal nambah lagi kayaknya cucu mama.." kata wanita itu.

Chacha terkekeh pelan. "Biar makin rame ma haha.." sahutnya.

"Mama sih seneng-seneng aja Cha. Yang penting kamu sama Hanan bertanggung jawab. Rawat anak kalian, jagain mereka, didik mereka dengan bener.."

"Pasti ma, aku sama Mas Hanan selalu berusaha jadi orangtua yang baik kok buat anak-anak. Kita pasti lakuin yang terbaik buat mereka."

Mama Renata mengangguk. "Iya Cha, harus gitu."

"Aw! Sakit ma! Aduh, sakit banget disitu!" teriak Chacha saat Mama Renata mulai menekan bagian pinggangnya.

Mama Renata mendengus. "Kamu kemaren di atas ya?"

Chacha mengedipkan matanya beberapa kali. Saat menyadari maksud dari pertanyaan sang mama dia mengangguk. "Iya ma.."

"Pantes sakit pinggang kamu.."

Chacha mengerucutkan bibirnya. "Kemaren kelamaan di sofa, jadi sakit badan aku.." jelasnya.

Mama Renata berdecak dan menjitak kepala Chacha. "Ya kamu ngapain di sofa, kayak gak punya kamar aja. Aneh kalian emang.."

Chacha nyengir. "Ya Mas Hanan ma, ish sakit badan aku."

Mama Renata kembali menekan bagian punggung bawah Chacha.

"Aw! Sakit ma! Aduh!"

"Diem Cha, harus di teken biar sembuh." kata Mama Renata.

"Sakit ma, pelan-pelan aja." kata Chacha.

"Kalo pelan gak berasa, sama aja boong." kata Mama Renata.

Chacha kembali meringis pelan merasakan rasa sakit di bagian pinggangnya.

"Lain kali gausah aneh-aneh. Di kamar aja, biar gak sakit pinggang kamu." kata Mama Renata.

"Iya ma.." sahut Chacha sambil mengangguk.

"Makanya gak usah langsung gaspol, mentang-mentang gak ada anak-anak langsung aja kalian gaspol gak tau tempat."

Chacha memajukan bibir bawahnya. "Hish, kan kesempatan ma.."

"Halah kamu tuh, terlalu agresif emang."

"Ya gapapa, kan Mas Hanan seneng kalo aku agresif." sahut Chacha.

Mama Renata menggelengkan kepala pelan. "Iya deh, terserah kalian aja. Pusing mama dengernya.."

Chacha langsung terkekeh karena mamanya yang telah kalah berdebat dengannya itu.
 

 

 

             To Be Continue

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
The Baskara
Selanjutnya The Baskara (40. Rooftop)
3
2
“Diem aja sayang, gue jamin lo bakal nikmatin ini. Gue jamin lo bakal keenakan..” — Chacha. “Cha, please masukin sayang. Ugh!” — Hanan.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan