Om Han (3. Hansa)

2
0
Deskripsi

“Lo mau yang seumuran, lebih muda, apa yang lebih tua Han?” — Arga.

“Gatau, sedapetnya ajalah. Namanya jodoh gak ada yang tau kan mau kek gimana..” — Hansa.

3. Hansa

 

.

 

.

"Berapa kali saya harus bilang? Saya gak suka liat karyawan di sini pake baju kurang sopan seperti itu. Kamu di sini niat kerja kan?"

Seorang wanita yang sedari tadi menunduk langsung mengangguk pelan. Masih tidak berani untuk sekedar mengangkat kepala dan menatap seorang pria yang berdiri di hadapannya.

"Di perusahaan ini saya mementingkan kierja dan juga sopan santun. Pakaian kamu ini tidak sopan, lain kali pakai celana panjang, atau kalau memang ingin memakai rok jangan yang terlalu pendek seperti ini."

"Ba- baik Pak.."

"Ya sudah, kembali ke ruangan kamu. Dan inget, jangan pake baju yang kurang sopan lagi."

"Iya Pak, ka- kalo gitu saya permisi.." kata perempuan itu dan hanya disahuti anggukan.

Setelah kepergian perempuan itu Hansa menghela nafas. Pria itu tidak habis pikir, bisa-bisanya seorang pekerja datang dengan pakaian seperti itu, jauh dari kata sopan. Rok yang begitu pendek dan ketat. Benar-benar tidak sopan.

Hansa selalu mementingkan kinerja, sopan santun dan juga kedisiplinan semua karyawannya. Dia sangat tidak suka melihat karyawan yang tidak bertanggung jawab pada pekerjaannya, tidak sopan di kantor dan tidak disiplin saat waktu kerja.

Dan pakaian kerja menjadi salah satu aspek yang menjadi penilaiannya. Dia tidak ingin karyawannya memakai pakaian kerja yang tidak sopan. Apalagi jika karyawan itu adalah perempuan. Karena menurutnya seorang perempuan tidak pantas memakai pakaian yang minim di tempat kerja.

Drttt~ Drttt~

Ponsel Hansa bergetar, menandakan ada panggilan yang masuk. Pria itu langsung mengambil ponselnya dan mengangkat panggilan itu.

"Halo Ma.." ucap Hansa ketika mengangkat panggilan itu- panggilan dari sang mama.

'Han, kamu nanti sore pulang ke rumah ya? Kita makan malam bareng sama keluarganya Pak Diko'

Hansa menghela nafas dan memutar kursi kerjanya menghadap ke arah jendela kaca besar di belakangnya. Menatap gedung-gedung di hadapannya.

"Aku nanti lembur Ma, gak bisa pulang ke rumah.." kata pria itu.

Terdengar suara helaan nafas dari seberang sana. Hansa tau, pasti sang mama sedikit kecewa karena dia tidak bisa pulang ke rumah.

'Kamu kapan bisa pulang ke rumah? Udah dua bulan kamu gak pernah dateng ke rumah'

Hansa menipiskan bibir, memang dia sudah jarang pulang ke rumah keluarganya. Sejak pekerjaannya semakin bertambah dan kesibukannya yang semakin padat dia benar-benar jarang sekali mengunjungi rumah keluarganya.

"Minggu depan deh Ma, aku usahain.." kata pria itu pada akhirnya.

'Diya kangen sama kamu, jangan sampe kamu gak jadi pulang lagi'

"Iya Ma aku usahain, bilangin maaf ya ke Diya. Aku sekarang bener-bener sibuk.." kata Hansa.

Haadiya- adiknya yang sekarang sudah kelas 2 SMP. Gadis itu memang sangat dekat dengan Hansa, dulu sebelum sibuk seperti sekarang Hansa selalu mengajak Diya untuk berjalan-jalan atau sekedar berbelanja bersama. Tapi sekarang dia sudah jarang melakukan itu.

Apalagi dirinya kini sudah pindah rumah. Hansa membeli rumah sendiri dan memilih untuk tidak tinggal bersama keluarganya lagi. Bukan karena ada masalah atau apa, hanya saja dia berpikir bahwa di usianya sekarang dia harus lebih mandiri lagi.

'Oh iya, kamu inget Resti gak? Anaknya Pak Diko itu?'

Hansa mengernyitkan kening mendengar pertanyaan sang mama. Resti?

"Resti? Anaknya Pak Diko? Yang mana Ma?"

Terdengar suara decakan dari sang mama.

'Anaknya Pak Diko itu loh, yang punya villa di Bogor. Yang pas kita ke rumah tante kamu, kita nginep di villa punya dia. Yang rambutnya panjang Han'

Hansa memejamkan mata, berusaha mengingat siapakah Resti.

"Oh iya, yang beliin Diya baju itu kan?" tanyanya begitu mengingat siapakah sosok Resti yang tengah mamanya bicarakan ini.

'Iya Han, yang itu'

"Oh iya-iya, kenapa Ma sama Resti? Ada masalah?"

'Enggak, Mama mau ngenalin kamu sama dia. Kata Pak Diko dia masih single. Siapa tau dia bisa sama kamu, makanya Mama sengaja nyuruh kamu pulang, supaya kita bisa makan malem bareng sama keluarga mereka'

Mendengar penjelasan sang mama, Hansa langsung menghela nafas. Pasti, pasti dibalik ajakan makan malam keluarga ada sesuatu di baliknya. Sudah sering seperti ini.

"Ma, berapa kali aku harus bilang ke Mama? Ma, aku gak mau Mama jodoh-jodohin aku kayak gitu.." kata Hansa.

'Han, mama cuma pengen kalian kenalan aja. Siapa tau kalian bisa lebih deket kan?'

Hansa kembali memutar kursinya, pria itu menopang dagu sambil menatap foto keluarganya yang terbingkai di hadapannya.

"Ma, aku masih mau fokus karier dulu.."

'Kamu dari dulu selalu aja gitu. Han, umur kamu udah 30 loh, udah waktunya kamu cari pendamping, cari istri. Mau sampe kapan kamu sendiri terus? Boleh fokus karier, tapi ya jangan lupain kehidupan pribadi kamu lah, kamu itu cowok butuh pendamping'

Hansa memijat keningnya pelan mendengar semua ucapan sang Mama. "Iya Ma iya, nanti aku cari istri kalo udah pengen.."

'Tck, kapan? Kalo kamu cuma ngurus kerjaan terus kapan nyari istrinya Han?'

"Ya nanti Ma, lagian kalo emang udah waktunya pasti jodoh aku dateng sendiri.." kata Hansa.

'Mama gak mau tau ya Han, sebelum umur kamu 32 kamu udah harus nikah. Mama pengen kamu ada yang ngurusin, ada yang nemenin'

"Iya Ma iya.."

'Yaudah kalo gitu, inget jangan keseringan lembur juga, itu gak bagus buat kesehatan kamu'

"Iya Ma.."

'Yaudah kalo gitu Mama tutup'

"Iya.."

Setelah panggilan itu berakhir Hansa berdecak lelah. Tangannya kembali bergerak untuk memijat kepalanya yang terasa pusing.

Mamanya selalu menuntut dia untuk segera menikah, padahal untuk seorang pria usia 30 masih termasuk usia muda. Lagipula dia masih ingin fokus pada kariernya. Ingin memajukan perusahannya ini.

Dia belum ingin mencari perempuan untuk dijadikan istri karena merasa belum bisa membagi waktu jika menikah nanti. Dia masih terlalu fokus pada pekerjaan dan takut jika menikah dia tidak bisa menghabiskan waktu dengan istrinya.

Tok! Tok! Tok!

Hansa menatap ke arah pintu ruangannya yang barusan diketuk.

"Masuk!"

Pintu terbuka, menampilkan seorang pria dengan setelan jas rapi sama seperti Hansa.

"Kenapa Gan? Ada jadwal meeting?" tanya Hansa menatap pria itu.

Egan- sekretaris sekaligus teman Hansa menggeleng. "Enggak, ini udah waktunya makan siang, mau ikut ke restoran depan gak? Ada Nino, sama Arga juga lagi ngumpul di sana.."

Hansa melihat jam tangannya. Ah iya, sudah masuk jam makan siang, pantas saja perutnya terasa lapar.

"Yaudah ayo.." kata Hansa berdiri dari kursinya.

Egan mengangguk. Kedua pria itu pun berjalan keluar dari ruangan Hansa untuk makan siang di restoran sekaligus bertemu dengan Arga dan juga Nino.

.

.

"Hansa! Egan! Sini!" teriak Svarga. Pria itu melambaikan tangan pada Hansa dan Egan yang baru saja memasuki restoran.

Egan dan Hansa langsung menghampiri meja Arga dan juga Nino. Duduk di hadapan kedua pria itu.

"Tumben Han, lo bisa ikut ke sini? Biasanya ngurusin kerjaan terus.." kata Arga menatap Hansa yang sedang memesan makanan.

Hansa meletakkan buku menu dan menatap temen sejak masa kuliahnya itu. "Lagi pusing, pengen refreshing.."

Nino menatap Hansa. "Kenapa lagi? Masalah kerjaan? Masalah percintaan? Keluarga?"

Hansa menyandarkan punggungnya pada kursi. Pria itu menghela nafas untuk kesekian kalinya. "Biasa, Mama nyuruh gue nyari pasangan. Tadi aja gue diajak makan malam buat dikenalin sama anaknya Pak Diko."

Ketiga pria yang ada di sana langsung saling berpandangan. Sudah paham dengan keadaan Hansa yang seringkali disuruh sang Mama untuk segera mencari pendamping.

"Terus gimana? Lo mau?" tanya Arga.

Hansa menggeleng. "Enggak, gue bilang ke Mama kalo mau fokus karier dulu, tapi ya tau sendiri Mama gue gimana. Dia nyuruh gue buat nikah cepet, sebelum umur gue 32 gue udah harus nikah.." jelasnya.

"Terus gimana? Lo iyain?" tanya Egan.

Hansa mengangguk. "Ya iya, ya mau gimana lagi coba..."

Nino menopang dagu menatap Hansa. "Ya kalo kata gue sih emang lo harusnya nikah Han, lo bertiga nih harusnya udah nikah. Anak gue aja udah gede, masa lo pada gak nikah-nikah.." kata pria itu.

Ya memang sih diantara mereka berempat hanya Nino yang sudah menikah, bahkan sudah memiliki anak. Ketiga temannya ini belum menikah, Egan sudah memiliki kekasih tapi Hansa dan Arga, entahlah.

Hansa berdecak. "Ya lo kan emang lebih tua dari kita, ya wajar udah nikah. Lo udah umurnya udah 33 No, kita masih 30.."

Nino berdecak dan menegakkan badannya. "Heh, gue dulu nikah umur 26 ya. Lo bertiga udah 30, udah nikah harusnya. Gak pengen apa punya anak kayak gue?"

Arga menggaruk pipinya pelan. "Gue entaran dulu lah, masih muda umur 30.."

"Setuju, lagian cewek gue masih fokus karier jadi model. Biarin dulu lah dia puas-puasin nikmatin masa muda. Nanti kalo udah waktunya baru gue ajakin dia nikah.." sahut Egan.

Hansa mengangguk setuju. "Iya. Gue juga belom pengen nikah, masih mau fokus karier juga.."

Nino berdecak mendengar ucapan ketiga temannya itu. "Nih gue kasih tau ya, kalo udah nikah tuh enak. Pulang kerja udah ada yang nyambut, ada yang nyiapin makan, ada yang ngurusin kita. Dan yang paling bikin bahagia tuh, pas pulang kerja terus anak istri senyum pas kita dateng. Lo bertiga tau gak rasanya tuh kayak semua rasa capek ilang kalo udah kayak gitu..." kata Nino.

Egan menghela nafas. "Bentar-bentar, ngomongin soal anak istri, itu anak lo udah umur berapa No?"

Nino yang sedang memakan pasta menatap Egan. "Mau 5 taon, aktif banget. Cerewet banget, lagi di umur yang dia penasaran sama semua hal. Gue aja kadang sampe bingung jawab pertanyaan dia.." jawab pria itu.

"Iya sih umur segitu emang lagi fase penasaran ke semua hal.." kata Arga.

Nino mengangguk. "Iya, untung sih ada adek gue. Dia yang biasanya ngejawabin pertanyaan anak gue.."

"Adek lo? Yang masih SMA itu?" tanya Egan.

"Iya si Sasa.." jawab Nino.

"Udah gede ya adek lo, dulu terakhir gue ke rumah lo dia masih SD kalo gak salah.." kata Arga.

Hansa mengernyitkan kening. "Adek lo yang mana sih? Gue gak pernah tau deh kayaknya,"

Nino berdecak. "Adek gue, lo gak tau. Belom pernah ketemu, nih si Arga yang pernah ketemu. Masih SMA dia.."

"Ohh.."

"Masih suka nyolong jambu tetangga dia No? Dulu waktu gue ke rumah lo dia kan lari-lari gara-gara dikejar tetangga lo, abis maling jambunya.." tanya Arga.

Nino langsung menghela nafas, mengingat semua kelakuan Sasa yang selalu saja membuatnya pusing.

"Makin parah Ga, sekarang dia ngajakin bocil-bocil di komplek kalo mau nyolong jambu. Gue tuh suka pusing ngadepin kelakuan dia, makin hari bukannya udahan malah makin parah, padahal dia cewek.." jawab Nino.

Egan dan Arga langsung tertawa mendengar curahan hati Nino mengenai adiknya, berbeda dengan Hansa yang kini malah fokus menatap layar ponselnya.

"Seminggu ini gue telat terus gara-gara dia telat bangun, dia tiap malem nonton film mulu. Begadang mulu.." kata Nino sambil menggelengkan kepala pelan.

Arga meminum jus jeruknya dan menghela nafas pelan. "Wajar sih, umur SMA pasti kek gitu No, tapi yang gue heran nih adek lo kenapa bar-bar banget sampe nyolongin jambu tetangga coba.."

"Jangankan lo Ga, gue aja abangnya heran. Mama gue udah kehabisan cara buat ngebilangin dia, Papa gue juga udah nyerah, udah gak bisa dibilangin dia.."

"Suruh cari pacar coba No, kali aja kalo udah ada pawang dia jadi anteng.." kata Egan.

Arga mengangguk. "Iya No, suruh cari pacar coba.."

Nino berdecak. "Udah gue suruh. Maksud gue kan kalo dia punya pacar enak ya, dia ada yang anter jemput. Jadi gue gak bakalan telat gara-gara nungguin dia juga, tapi dia gak mau. Katanya dia gak suka cowok-cowok di sekolah dia, kek bocah katanya.."

Egan dan Arga ikut menghela nafas mendengar ucapan Nino. Sepertinya adik Nino ini memang spesies yang agak berbeda dari yang lain.

"Han, diem aja. Kenapa lo?" tanya Egan menyenggol lengan Hansa. Karena sedari tadi pemuda itu hanya diam saja.

Hansa menoleh, menunjukkan layar ponselnya pada ketiga temannya itu. "Mama gue, ngirimin foto cewek. Anak temennya, gue disuruh kenalan sama dia.."

Nino, Arga dan Egan menatap foto perempuan yang terlihat di layar ponsel Hansa. Seorang gadis yang sepertinya bekerja sebagai Dokter.

"Wih Dokter, boleh nih Han. Coba lo kenalan sama dia, siapa tau cocok.." kata Egan.

Hansa meletakkan ponselnya ke atas meja dan menggeleng. "Gak ah, gue gak mau coba-coba. Nanti kalo dia kebawa perasaan terus suka sama gue repot. Gue kan gak mau ngasih harapan semu.." kata pemuda itu.

Nino berdecak. "Ya kenalan doang Han, nanti kalo lo juga ngerasa cocok kan bisa jadian. Siapa tau dia jodoh lo.."

Arga mengangguk. "Nah iya, kali aja lo juga bakalan suka sama dia. Kali aja cocok Han..."

Hansa tetap menggeleng. "Enggak, kalo lo mau lo aja yang deketin Ga. Kalo gue, jujur aja kayaknya gak cocok kalo harus sama Dokter. Dia pasti sibuk gue juga sibuk, gak bakalan ada waktu bareng.." kata pria itu sebelum mengambil jus jeruk miliknya yang ada di atas meja.

"Iya sih, pasti sama-sama sibuk.." kata Arga.

Hansa mengangguk. Pria itu meletakkan ponselnya ke atas meja. "Pusing gue, Mama nyuruh gue nikah terus. Padahal gue belom pengen.."

Egan menoleh, menatap bos sekaligus temannya itu. "Ya maklum Han, emang kan di umur segini kita harusnya udah nikah. Kek Nino tuh.."

Nino mengangguk. "Betul, umur lo pada udah lebih dari cukup buat membina rumah tangga. Lo semua udah mapan, udah mampu. Terutama lo Han, lo mah udah mampu banget, udah sangat mapan."

"Ya tapi gimana, gue belom nemuin cewek yang cocok. Yang Mama kenalin ke gue ya gimana ya, kurang cocok aja gitu.." kata Hansa.

"Lo nyari yang gimana sih Han? Tipe lo deh, nanti coba gue tanyain Naya, siapa tau dia ada kenalan gitu yang cocok sama tipe lo.." tanya Nino.

Egan mengangguk. "Nah iya Han, yang gimana? Lo harus cepet nyari calon, kalo enggak entar pas umur lo 32 Mama lo nyariin jodoh semau dia.."

Hansa menopang dagu, dia juga bingung sebenarnya. Dia tidak pernah punya tipe ideal. Dia tidak tau perempuan seperti apa yang benar-benar dia inginkan sebagai istri.

"Lo mau yang seumuran, lebih muda, apa yang lebih tua Han?" tanya Arga.

"Gatau, sedapetnya ajalah. Namanya jodoh gak ada yang tau kan mau kek gimana.." jawab Hansa.

Egan, Nino dan Arga langsung berdecak mendengar jawaban Hansa. Susah memang si Hansa ini.

"Ya jangan gitu Han, seengaknya ya lo tau mau cewek yang kayak gimana. Niat kita baik pengen bantuin lo, mending lo nyari sendiri kan daripada dicariin Mama lo yang belum tentu tuh cewek cocok sama lo.." kata Nino.

Hansa menghela nafas lelah, pria itu menatap ke arah jalanan. "Yang penting dia bisa nerima kesibukan gue, bisa sayang sama keluarga gue. Gue gak terlalu peduli soal fisiknya, yang penting dia tulus aja sih, gak aneh-aneh juga.."

"Putih? Mancung? Sexy? Kurus? Tinggi? Yang gimana, gak ada spesifikasi? Yang penting ceweknya tulus gitu?" tanya Egan sambil menaikkan sebelah alisnya.

Hansa menggeleng. "Gak, yang penting itu tadi. Bisa nerima kesibukan gue, sayang sama keluarga gue, tulus dan gak aneh-aneh.."

Terdengar suara decakan dari Arga. "Susah, nyari yang gitu susah. Yang tulus susah dicari, apalagi tau kalo lo punya perusahaan gede gini. Hah~ susah Han." kata pria itu.

"Iya Han, susah nyari yang tulus sek-..."

Drttt! Drtttt!

Ucapan Nino terpotong saat ada panggilan masuk. Pria itu langsung mengambil ponselnya dan menggeser icon hijau di layar.

"Halo Sa, kenapa?"

'...'

"Gak bisa, abang nanti ada meeting. Gak bisa ditinggal. Kamu naik bis aja pulangnya.."

'...'

"Iya, tapi jangan keluyuran. Langsung pulang."

'...'

"Sasa! Kamu kalo dibilangin, abang bilangin ke Ayah ya kalo kamu nakal terus.."

'...'

"Ya kamu nakal gitu, langsung pulang. Gak ada main-main dulu,"

'...'

"Ya udah, awas aja nanti kalo abang nelpon Bunda terus kamu belum ada di rumah, abang matiin Wi-Fi kamar kamu."

'...'

"Makanya nurut.."

'...'

"Yaudah, inget jangan keluyuran."

'...'

"Hmm..."

Nino langsung meletakkan ponselnya ke atas meja saat panggilan itu berakhir. Pria itu menggeleng pelan.

"Kenapa adek lo?" tanya Egan.

"Biasa, minta jemput. Tapi nanti gue ada meeting, jadi gak bisa jemput. Gue suruh naik bis, eh dia malah mau mampir ke mall dulu.."

Egan langsung tertawa. "Nakal banget adek lo No, keknya ada aja ulahnya.." kata pria itu.

Nino mengangguk. "Iya Gan, kalo ayah gue gak ada dia jadi liar banget. Susah diatur. Dia cuma takut kalo ada ayah gue.."

Hansa menoleh, "Om Nares masih di Surabaya?" tanya pria itu dan disahuti anggukkan oleh Nino.

"Iya, lusa baru balik. Makanya adek gue bikin ulah mulu, ayah lagi gak ada soalnya.."

"Han, awas entar lo pusing juga kayak Nino kalo si Diya udah mulai ngerusuh gitu.." kata Arga sambil tertawa.

Hansa langsung menggeleng. "Enggak, adek gue bukan tipe yang kayak gitu. Dia lebih kalem, ya kadang emang suka ngebantah tapi gak sampe kayak adeknya Nino gitu.."

"Adeknya Nino udah gak ketulungan bar-barnya, emang dari kecil aja udah bar-bar sih kelakuannya..." kata Arga.

Nino mengangguk. "Pas SMP rencananya keluarga gue mau masukin dia ke pesantren kan saking kita udah capek ngeliat dia bikin ulah mulu, tapi baru sehari di pesantren dia udah bikin ulah. Dia ke tempat asrama cowok gak pake jilbab, lari-larian godain tuh semua santri cowok.." kata pria itu sambil mengusap kepalanya. Pusing, mengingat semua kelakuan Sasa.

Egan dan Arga langsung terbahak. "Anjir, serius lo No? Adek lo kek gitu?"

Nino mengangguk. "Iya, yaudah pihak pesantren langsung nelpon. Minta supaya adek gue dijemput aja. Mereka gak mau nerima adek gue.."

"Parah banget adek lo No.." kata Hansa.

"Emang, makanya gue pusing kalo udah ngadepin dia. Bikin ulah mulu, gak ada habisnya.."

"Tapi kayaknya seru punya adek bar-bar kayak gitu.." kata Egan setelah menghabiskan makanannya.

Nino berdecak, mereka tidak tau saja betapa pusingnya dia selama ini harus menghadapi segala kelakuan bar-bar Sasa. Rasanya dia hampir setres karena kelakuan adiknya itu.

"Seru gimana, bentar lagi gue setres nih gara-gara kelakuan dia yang makin hari makin jadi.." kata Nino.

"Kayaknya emang paling bener lo cariin pawang aja buat adek lo, cariin pacar. Biar dia kalem.." kata Arga.

"Dia yang gak mau. Pusing gue.." kata Nino sambil menghela nafas.

"Gan, ayo balik ke kantor. Udah jam segini." kata Hansa melihat jam tangannya.

Egan menoleh dan mengangguk. "Ayo." sahutnya.

Hansa lalu menoleh pada Nino dan Arga. "Gue sama Egan balik ke kantor dulu. No, project kita lusa kita bahas ya.." kata pria itu.

Nino mengangguk. "Oke, lusa gue shareloc deh tempatnya. Sekalian lo biar bisa ngeliat.." kata pria itu.

"Oke, yaudah ya gue pergi.." kata Hansa.

"Iya.." sahut Nino dan Arga.

.

.

"Lokasinya sih cocok banget Han, gue udah dikasih tau Nino tempatnya.." kata Egan saat keduanya turun dari dalam mobil dan berjalan menuju ke kantor.

"Masa? Strategis tempatnya?" tanya Hansa.

Egan mengangguk. "Kalo kata gue stratergis, di deket sana ada tempat buat anak-anak maen sepeda, skateboard, sama sepatu roda. Cocok lah kalo lo bangun cafe, pasti rame. Soalnya emang banyak yang suka ngumpul di sana.." jelas pria itu.

Hansa tersenyum tipis. "Gak salah emang si Nino kalo nyari lokasi.." ucapnya.

"Emang.." sahut Egan.

Hansa mengangguk. Dia dan Egan terus berjalan menuju ke pintu masuk kantor. Namun langkah Hansa terhenti saat melihat ke arah samping parkiran.

Pria itu berbelok dan berjalan menuju ke sana. Egan yang bingung langsung mengikuti Hansa.

"Sudah jam berapa ini?!"

Seorang karyawan dan karyawati yang tengah makan sambil mengobrol langsung menoleh mendengar suara Hansa. Keduanya melotot kaget melihat bos mereka yang sudah berdiri sambil menatap tajam ke arah mereka.

"Pa- Pak Hansa..."

"Ini sudah lewat 10 menit dari jam istirahat. Kenapa masih di luar? Masih enak makan sambil ngobrol, gak bisa liat jam kalian?" tanya Hansa masih terus menatap tajam keduanya.

Sedangkan kedua pegawai itu hanya bisa menunduk, tidak berani menatap Hansa. Sial, mereka kira Hansa tidak akan kembali ke kantor setelah makan siang, ternyata pria itu kembali dan malah memergoki mereka.

"Ma- maaf Pak.."

"Berapa kali harus saya bilang? Saya tidak suka punya pegawai yang tidak disiplin. Kalian sudah beberapa kali terlambat datang, dan sekarang terlambat masuk setelah jam istirahat. Sekali lagi melakukan kesalahan yang seperti itu, lebih baik langsung tulis surat pengunduran diri. Daripada saya keluarkan secara tidak hormat." kata Hansa.

Kedua pegawai itu langsung melebarkan mata kaget. Mereka menatap Hansa. "Pak, saya minta maaf. Saya janji tidak akan mengulangi hal seperti ini lagi.."

"Saya juga Pak, saya minta maaf. Saya janji akan lebih disiplin untuk ke depannya..."

Hansa hanya mendengus mendengar ucapan kedua orang itu. "Saya gak butuh janji kalian, intinya kalau sekali lagi kalian terlambat langsung tulis surat pengunduran diri."

Egan hanya menghela nafas, dia sudah hafal dengan sifat Hansa yang memang sangat tidak suka dengan orang yang tidak disiplin. Bahkan sudah banyak karyawan yang harus mengundurkan diri karena Hansa yang tidak memberi toleransi pada mereka.

"Ayo Gan.." kata Hansa kembali berbalik dan menuju ke kantor.

Egan mengangguk dan mengikuti Hansa, meninggalkan kedua orang yang masih menunduk diam di sana.

"Gue paling gak suka sama orang yang gak disiplin kayak mereka.." kata Hansa sambil berjalan memasuki kantornya. 
 

 

           To Be Continue

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Om Han
Selanjutnya Om Han (4. Bertemu)
2
0
“Om udah aku cium! Pokoknya om bakal jadi pacar aku! Fix!” — Sasa.“Udah gila adeknya Nino.” — Hansa.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan