
“Haduh Sya, padahal beneran loh Panji pernah bilang buat lamarin kamu eh malah keduluan gini sama Nak Arbi…” — Pak Jul.
“SYAAA! UDAH YAAA! GUE DIGIGIT SEMUT ANJIR! GUE MAU TURUN!” — Niko.
11. Perkara Mangga
.
.
"Assalamualaikum, Nik? Niko?" Arbi mengetuk pintu rumah Niko beberapa kali.
"Niko? Nik?"
Sya yang ada di samping Arbi mengerucutkan bibirnya, gadis itu mengusap-usap perutnya sambil menunggu Niko membuka pintu.
"Niko? Assalamualaikum.." panggil Arbi sedikit lebih keras.
"Kok lama sih Mas? Bang Niko kemana ihh?" tanya Sya sambil menoleh pada Arbi.
Arbi menoleh pada Sya, pemuda itu meraih tangan Sya dan menepuk-nepuknya pelan. "Sabar, mungkin masih tidur. Kan baru pulang semalem masih capek pasti orangnya." kata pemuda itu.
Sya hanya menghela nafas dengan bibir ditekuk ke bawah.
Arbi kemudian kembali menghadap ke arah pintu dan mengetuknya beberapa kali. Akhirnya tak lama kemudian terdengar sahutan dari dalam rumah.
"Iya, eh Bi. Ada apa pagi-pagi ke sini?" tanya Niko yang baru saja membuka pintu. Pemuda itu terlihat sangat berantakan, rambutnya sudah agak gondrong dan juga kumis serta janggutnya mulai tumbuh.
Arbi berdehem pelan dan melirik Sya. "Emm jadi ini Nik, Sya ngidam katanya.."
Niko mengerutkan keningnya dan menoleh pada Sya. "Ngidam apaan lo Sya?" tanya pemuda itu.
Sya memainkan bibirnya, gadis itu dengan takut-takut menatap Niko. "Bang Niko mau nurutin ngidam gue gak?" tanyanya.
Niko menguap dan menggaruk pipinya. "Ya ngidam apaan lo? Lo aja gak bilang ngidamnya apaan gimana gue mau nurutin.." kata pemuda itu.
Sya melirik Arbi sebentar sebelum menatap Niko lagi.
"Apa? Ngidam apaan lo Sya?" tanya Niko.
Sya menipiskan bibirnya dan menghela nafas pelan. "Pengen makan mangga punya Pak Jul, tapi yang metikin harus Bang Niko." jawab gadis itu.
"Hah? Mangga Pak Jul? Yang di ujung desa itu? Yang orangnya galak?" tanya Niko kaget.
Agak ngeri juga dia kalau ingat dengan Pak Jul. Semasa masih sekolah dulu dia dan anak-anak lain sering dimarahi oleh pria berkumis tebal itu karena mencuri mangga di depan rumahnya. Masih agak terbayang juga sampai sekarang kenangan itu. Apalagi kepalanya pernah terkena lemparan sendal dari pria itu saat tengah berlari dulu.
Sya mengangguk. "Iya Bang, yang itu. Pengeeeen banget makan mangga di sana tapi harus Bang Niko yang metikin."
Niko menggaruk kepalanya, pemuda itu kemudian menoleh pada Arbi. Arbi hanya bisa tersenyum dengan sorot mata memohon pada Niko.
"Please Bang, mau ya? Demi anak-anak gue Bang. Mau ya?" kata Sya sambil menatap Niko.
Niko berdecak, pemuda itu menatap Sya. "Lo hamil anaknya Arbi kenapa ngidamnya harus gue yang metikin mangga? Kenapa gak Arbi aja sih Sya?" tanyanya heran.
Sya menggembungkan pipinya. "Ya gak tau, anak gue maunya Bang Niko kok yang metikin mangganya.." jawabnya.
Arbi kemudian menatap Niko dan memegang tangan pemuda itu. "Nik please, kalo bisa mah udah gue yang minta ke Pak Jul, tapi Sya ngidam maunya lo. Nanti gue bayar deh Nik. Tapi tolong banget lo turutin ngidamnya Sya ya? Please Nik.." kata pemuda itu memohon.
"Gimana ya Bi gu---..."
"Loh Arbi, Sya? Kok gak masuk ke dalem?" tanya Tante Yuni yang baru saja dari pasar. Wanita itu membawa tas berisi belanjaannya.
Arbi dan Sya menoleh, mereka tersenyum pada Tante Yuni. "Eh Tante.."
Tante Yuni meletakkan belanjaannya ke atas kursi di teras dan menghampiri mereka. "Kok pada di luar sih? Niko gak nyuruh masuk?" tanya wanita itu.
Niko menghela nafas dan menoleh pada mamanya itu. "Enggak gitu Mah, tad---..."
Tante Yuni menoleh pada Niko dan melotot pada anaknya itu. "Kamu nih gimana sih Nik? Ada tamu bukannya disuruh masuk, kasian tuh Sya lagi hamil malah berdiri terus. Kamu nih bener-bener ya, dasar!" kata wanita itu disertai cubitan maut pada perut Niko.
"Aduhh! Sakit Mah!" teriak Niko merasakan perutnya yang ngilu karena cubitan maut sang mama.
"Eh gapapa Tante, bukan salah Niko kok. Aku sama Sya tadi emang mau minta bantuan Niko aja makanya gak masuk ke rumah." kata Arbi sambil tersenyum pada Tante Yuni.
Niko mendengus kesal sambil mengusap-usap perutnya. "Tuh Mah, dengerin. Emang mereka aja yang gak mau masuk ke rumah.." kata pemuda itu sedikit kesal karena sang mama yang langsung saja mencubitnya tanpa lebih dulu mendengar penjelasannya.
Tante Yuni menipiskan bibirnya. Wanita itu menoleh pada Sya. "Oh gitu, emang mau minta bantuan apa sih ke Niko?" tanyanya.
Sya mengusap perutnya lagi. Gadis itu melirik Niko sebentar. "Eem aku ngidam Tan.."
Tante Yuni mengerutkan keningnya. "Ngidam? Ngidam apa Sya?" tanya wanita itu.
Arbi berdehem dan menatap Tante Yuni. "Jadi gini Tan, Sya dari semalem ngidam katanya pengen makan mangga punya Pak Jul itu, tapi mangganya harus dipetikin sama Niko.." sahut pemuda itu menjelaskan maksud dari kedatangannya dan ngidannya Sya.
Niko kemudian menoleh pada Tante Yuni. "Tuh Mah dengerin, itu kan anaknya Arbi kok malah ngidam mau makan mangga yang aku petikin. Gimana tuh Mah?" kata pemuda itu.
Tante Yuni menatap Niko dan menjewer telinga pemuda itu. "Kamu nih ya Nik!"
"Akh! Mamah! Kok aku di jewer sih?!" teriak Niko sambil mengusap telinganya. Kenapa dia malah di jewer sih?
Tante Yuni menarik nafas panjang dan menghembuskannya. "Ya kamu ini abisnya ngeselin banget, namanya ngidam itu ya gak mandang lah anaknya siapa terus pengen apa. Mama pas hamil kamu dulu juga pernah pengen makan nasi goreng tapi disuapin sama penjualnya pas lagi makan. Jadi kamu nih kalo ada yang butuh bantuan apalagi pas ngidam ya bantuin lah, mama tau rasanya gimana pas ngidam tapi gak keturutan. Nanti kalo kamu nikah terus istri kamu hamil kamu bakal ngerti kenapa ngidam itu random. Jadi mending sekarang kamu bantuin Arbi sama Sya, turutin ngidamnya Sya." kata Tante Yuni tegas.
Niko langsung meneguk ludahnya takut, kalau mamanya sudah mengeluarkan omelan maut seperti ini maka mau tidak mau dia harus menurutinya dari pada dia berakhir dikutuk menjadi kumbang tai.
"Buruan mandi! Terus bantuin Sya sama Arbi!" kata Tante Yuni melotot galak pada Niko.
Niko langsung menegakkan badannya dan berbalik. "Iya Maaah!" sahutnya dan berlari untuk masuk ke dalam rumah.
Tante Yuni hanya menghela nafas sambil menggelengkan kepalanya melihat kelakuan anak bujangnya itu, sedangkan Arbi dan Sya hanya saling berpandangan beberapa saat.
"Bi, ajakin Sya duduk dulu sambil nungguin Niko. Biar tante bikinin teh.." kata Tante Yuni sambil menatap Arbi dan tersenyum ramah.
Sya langsung menggeleng. "Eh gak usah repot-repot Tante, gak usah bikin teh. Aku sama Mas Arbi udah minum kok tadi. Kita duduk aja di sini nungguin Bang Niko.." kata gadis itu sambil menatap Tante Yuni.
Tante Yuni menatap Sya. "Beneran?"
Sya mengangguk. "Iya Tante, gak usah repot-repot. Mending Tante masak aja deh, pasti Tante abis belanja sayur buat di masak kan.." kata gadis itu sambil tersenyum.
Tante Yuni menghela nafas dan mengambil belanjaannya yang tadi dia taruh. "Yaudah kalo emang gitu, Tante masuk dulu. Tante bilangin Niko supaya cepet keluar, kalian duduk aja dulu.." kata wanita itu.
"Iya Tante..." sahut Arbi dan Sya.
Tante Yuni mrngangguk dan masuk ke dalam rumah untuk segera memasak. Wanita itu harus segera membuat sarapan sebelum semakin kesiangan.
.
.
"Bi, sana ah lo bilang ke Pak Jul. Nanti gue yang metik mangganya tapi lo yang minta izin ke dia. Buruan." kata Niko menyenggol lengan Arbi. Mereka sudah ada di depan gerbang rumah Pak Jul.
Arbi menatap ke dalam pagar, di teras rumah terlihat seorang pria berbadan kekar berkumis tebal yang tengah duduk santai sambil meminum kopi. Arbi jadi ngeri sendiri melihat penampilan pria itu yang terlihat sangar.
"Dia galak banget ya?" tanya Arbi menoleh pada Niko.
Niko mengangguk. "Banget, dia mantan tentara anjir. Dulu pas gue kecil sama Mama Papa gue pasti gue ditakutin kalo bakal di tangkep sama dia kalo misal gue gak mau nurut sama mereka.." jawab pemuda itu.
"Mantan tentara?"
Niko mengangguk. "Iya, anaknya juga sekarang jadi tentara namanya Panji, si Panji sempet naksir sama Sya dulu. Pas dia tau kalo Sya udah nikah patah hati juga dia.." jelas pemuda itu.
Arbi langsung mengerutkan keningnya. "Hah? Anaknya Pak Jul itu pernah suka sama Sya?"
"Iya, gue kan udah bilang kalo bini lo tuh kembang desa. Banyak yang suka sama dia anjir, makanya pas tau Sya udah nikah banyak cowok pada patah hati. Lo sebagai cowok yang bisa dapetin Sya harus bersyukur Bi.." kata pemuda itu menepuk-nepuk bahu Arbi pelan.
Arbi menghela nafas dan mengangguk. "Kalo soal itu udah pasti Nik, gue selalu bersyukur banget bisa dapetin Sya." sahutnya.
"Ihh kok malah ngobrol sih, buruan mau mangganya Maaaas!" kata Sya menghampiri kedua pemuda itu.
Arbi dan Niko menoleh pada Sya. "Bentar dulu Sya, mantau situasi dulu kita." sahut Niko.
Sya menyilangkan tangan di depan dada dengan bibir mengerucut lucu. "Ihh lama." kata gadis itu kesal.
Arbi menghela nafas pelan dan mendekati Sya, mengusap perut gadis itu beberapa kali. "Sabar sayang, ini mas sama Niko langsung ke sana. Kamu duduk aja di sini, tungguin kita ya.." kata pemuda itu.
Sya dengan bibir yang masih mengerucut mengangguk. "Heem.." sahutnya.
Arbi tersenyum dan menoleh pada Niko. "Ayo Nik, gue izin ke Pak Jul ntar lo manjat ya.." ucapnya.
"Iya." sahut Niko pasrah.
Mereka berdua pun berjalan mendekati Pak Jul yang masih duduk sambil minum kopi di teras.
"Assalamualaikum.." kata Arbi mengucap salam.
Pak Jul yang sedang membaca koran mendongak dan menatap Arbi serta Niko dengan alis berkerut dan mata menyipit. "Waalaikumsalam.." sahut pria itu membenarkan kacamatanya.
Arbi dengan sedikit ragu mendekat dan tersenyum ramah pada Pak Jul. "Maaf ganggu pagi-pagi gini Pak.." ucapnya.
Pak Jul dengan sebelah alis terangkat menatap Arbi, asing dengan pemuda itu. Siapa pemuda dengan rambut ngejreng ini? Rasa-rasanya dia tidak pernah melihat pemuda ini.
Namun saat melihat Niko pria itu kembali menyipitkan mata. "Kamu Niko kan? Anaknya Pak Jodi?"
Niko mengangguk dan tersenyum kikuk. Pemuda itu mengangguk. "Iya Pak, saya Niko.." jawabnya.
Pak Jul mengangguk-angguk. Pria itu kemudian kembali menatap Arbi. "Kamu siapa? Kayaknya saya jarang liat." tanya pria itu.
Arbi langsung mengulurkan tangannya menjabat tangan Pak Jul. "Saya Arbi Pak, saya temennya Niko cucunya almarhumah Nenek Tati.." kata pemuda itu ramah.
Pak Jul sedikit kaget namun pria itu langsung mengangguk-angguk. "Oalah iya-iya, cucunya almarhumah Nenek Tati anaknya Aisyah ya?" tanya pria itu.
Arbi langsung mengangguk. "Iya Pak.."
Pak Jul mengangguk mengerti. "Oh iya-iya, terus ada keperluan apa ya pagi-pagi ke sini?" tanya pria itu sambil menatap Arbi dan Niko bergantian.
Arbi berdehem. "Em, itu Pak sebenernya saya ke sini karena mau minta mangga Bapak. Nanti saya bayar mangganya, tapi nanti Niko yang metik mangganya Pak.."
"Minta mangga?" tanya Pak Jul.
Arbi mengangguk. "Iya Pak, istri saya lagi hamil terus ngidam pengen makan mangga punya Bapak tapi harus Niko yang manjat sama metikin." jelas pemuda itu supaya Pak Jul mengerti.
Alis Pak Jul langsung berkerut. "Istri?"
"Iya Pak, istri saya lagi hamil terus ngidam pengen makan mangga tapi yang metik harus Niko. Saya mohon banget sama Pak Jul supaya ngasih izin, kalo emang perlu saya bayar deh Pak nanti mangganya.." kata Arbi memohon.
"Ada siapa Pak?"
Arbi dan Niko menoleh ke arah pintu. Seorang pemuda tinggi dengan badan kekar keluar dari sana. Itu pasti Panji--- anak Pak Jul yang Niko ceritakan tadi.
Pak Jul menoleh pada Panji. "Ini Ji, ada yang minta mangga." jawab pria itu.
Panji berjalan mendekati Niko dan Arbi, pemuda itu menatap Niko dan Arbi bergantian. Alisnya berkerut saat menatap Arbi. "Lo, lo suaminya Sya kan?" tanya pemuda itu.
Panji beberapa kali pernah melihat Arbi dan Sya saat sedang ada di pasar dan dia ingat betul kalau teman-temannya mengatakan bahwa Arbi ini adalah suami Sya. Tentu saat pertama tau dia patah hati, apalagi saat pernikahan Sya dia sedang bertugas di luar kota jadi tidak melihat langsung dan saat mendapat kabar bahwa Sya sudah menikah perasaannya langsung sedih.
Arbi mengangguk. "Iya, saya suaminya Sya." jawab pemuda itu.
Pak Jul kembali menatap Arbi. "Loh kamu toh suaminya Sya, waduh jadi kamu ya yang bikin anak saya patah hati. Ck, ck, ck padahal waktu itu saya udah ada niatan mau lamar Sya buat Panji kalo dia udah pulang tugas eh ternyata keduluan sama kamu ya." kata pria itu.
Arbi hanya bisa meneguk ludahnya mendengar perkataan Pak Jul. Ternyata benar kata Niko tadi.
"Maaaaas kok lama sih? Belom manjat dari tadi." kata Sya yang menghampiri mereka.
Gadis itu kesal karena sedari tadi dia menunggu namun Niko tidak kunjung memanjat dan memetik mangga. Mereka malah mengobrol entah membahas apa.
Semua langsung menoleh. Panji yang melihat penampilan Sya dengan perut membuncit sedikit kaget. Astaga, mau bagaimanapun rasa suka itu tetap ada. Dia masih sedikit belum rela rasanya melihat Sya menjadi milik orang lain.
"Sya, lagi hamil?" tanya Panji, meskipun sudah tau jawabannya namun entah mengapa justru pertanyaan itu yang keluar dari mulutnya.
Sya menoleh dan menatap Panji. "Eh Mas Panji, iya Mas lagi hamil. Tumben di rumah, gak tugas Mas?" tanya gadis itu sambil mengusap-usap perutnya.
Sya agak heran melihat Panji ada di rumah, karena setahunya Panji lebih sering ada di luar kota untuk bertugas, mungkin dalam setahun hanya beberapa kali saja pemuda itu ada di rumah.
Panji menipiskan bibirnya. "Iya, lagi libur. Berapa bulan itu Sya?" tanyanya.
"Udah jalan 6 Mas alhamdulillah.." jawab Sya dengan senyuman di bibirnya.
Panji hanya mengangguk mengerti. "Ooh.."
Arbi kemudian kembali menatap Pak Jul. "Gimana Pak? Boleh nggak saya minta mangganya?" tanya pemuda itu lagi.
"Iya Pak, saya lagi ngidam banget pengen makan mangga itu. Boleh nggak Pak saya minta?" tanya Sya ikut memohon pada Pak Jul sambil mengusap-usap perutnya.
Pak Jul menghela nafas dan mengangguk. "Boleh, tapi lagi banyak semutnya ya tiati aja kalo manjat." kata pria itu.
Mata Niko langsung melebar mendengar ucapan Pak Jul. Mampus, pasti kena lagi dia.
Dengan cepat Niko menoleh pada Arbi. "Bi, pake bambu aja ya metiknya? Gue gak mau gatel-gatel.." kata pemuda itu.
Sya dengan cepat menatap Niko. "Ihhh gamau, pokoknya aku pengen makan buah mangga yang dipetik langsung sama Bang Niko." kata gadis itu dengan bibir yang sudah mengerucut kesal.
Niko berdecak dan menatap Sya. "Tapi banyak semutnya Sya, ntar gue gatel-gatel kalo manjet terus digigit sama semutnya." kata pemuda itu berusaha menolak.
Sya menyilangkan tangan di depan dada. "Bang Niko kan udah biasa di alam bebas, masa iya digigit semua aja gak mau? Gimana sih Bang? Mana yang katanya fotografer alam liar yang gak takut sama hewan liar? Masa sama semut aja takut.." kata gadis itu mencibir Niko.
Niko yang mendengar cibiran Sya mengepalkan tangannya kesal. Pemuda itu memejamkan mata dan menarik nafas dalam kemudian menghembuskannya. Benar-benar ya, Sya sangat menyebalkan sekarang.
"Bang Niko ihhh buruan naik pohonnya, gue udah ngiler pengen makam mangganya. Nih plastik buat tempat mangganya nanti.." kata Sya memberikan kantong plastik yang dia bawa pada Niko.
Niko mendengus kesal. Pemuda itu akhirnya mengambil plastik yang Sya sodorkan dan langsung menuju ke pohon mangga milik Pak Jul yang memang sedang berbuah banyak.
"Sambil nungguin Niko duduk dulu aja, saya pengen ngobrol-ngobrol sama kalian.." kata Pak Jul sambil menatap Sya dan Arbi.
Arbi menoleh pada Pak Jul. "Oh iya Pak.." sahutnya.
Pak Jul kemudian mempersilahkan mereka untuk duduk. Awalnya pria itu menyuruh untuk duduk di atas kursi yang ada di teras namun Arbi dan juga Sya menolak dan lebih memilih untuk duduk di bawah saja, langsung di terasnya.
"Saya masih gak nyangka kalo kamu udah nikah, udah hamil gini Sya.." kata Pak Jul sambil menatap Sya.
Sya tersenyum. "Iya Pak, kalo gak salah saya nikah waktu Pak Jul sekeluarga lagi di luar kota semua waktu nganterin Putri kuliah di Jogja itu.." kata gadis itu.
Pak Jul mengangguk-angguk, memang sih saat itu dia sekeluarga mengantar anak bungsunya si Putri yang akan berkuliah di salah satu universitas di Yogyakarta.
"Waktu dapet kabar kalo lo nikah gue kaget banget Sya, gue kira cuma prank aja dari temen-temen di sini." kata Panji sambil menatap Sya.
Sya menipiskan bibir. "Kebanyakan emang ngira kalo prank sih Mas, soalnya pada gak nyangka gue bakalan nikah secepet ini." sahutnya.
"Haduh Sya, padahal beneran loh Panji pernah bilang buat lamarin kamu eh malah keduluan gini sama Nak Arbi.." kata Pak Jul melirik ke arah Arbi.
Arbi hanya bisa berdehem dan tersenyum tipis mendengarnya.
"Arbi asli orang mana?" tanya Panji menoleh pada Arbi.
"Saya aslinya dari kota Mas, tapi semenjak Nenek sakit saya di sini jagain beliau. Tapi mungkin emang udah waktunya jadi nggak lama setelah saya di sini Nenek meninggal. Dan saya akhirnya menetap di sini buat nerusin usaha Nenek sama Kakek saya, usaha percetakan itu Mas.." jawab Arbi.
Pak Jul mengangguk-angguk mengerti mendengar ucapan Arbi. "Emang sih dari muka-mukanya bukan kayak orang desa. Apalagi rambutnya warna blonde gitu, di desa ini kayaknya cuma kamu doang yang warna rambutnya gitu.." kata pria itu disertai sedikit kekehan di akhir kalimatnya.
"Sebenernya rambut Mas Arbi jadi warna ini karena saya ngidam sih Pak, saya yang minta dia warnain rambut.." kata Sya.
"Ya ampun Sya, ada-ada aja ngidam kamu ini.." kata Pak Jul sambil terkekeh.
Panji masih menatap Sya. Pemuda itu benar-benar kagum dengan kecantikan Sya yang sepertinya kian bertambah.
"Lo sering di percetakan ya Sya? Kayaknya gue sering liat kalo pas lewat di jalan depan itu." tanya Panji.
Sya mengangguk. "Iya, soalnya bosen di rumah jadi suka ikut ke percetakan. Seru kalo di sana bisa layanin orang yang dateng. Gak bosen juga jadinya.." jawabnya sambil tersenyum.
Pak Jul meraih cangkir kopinya. "Denger-denger dari tetangga, katanya sekarang percetakannya udah buka cabang ya? Di deket jalan raya?" tanya pria itu menoleh pada Arbi.
Arbi mengangguk. "Alhamdulillah Pak, ada rejeki buat buka percetakan baru.." jawab pemuda itu.
Pak Jul mengusap-usap dagunya yang ditumbuhi janggut. "Hebat ya, masih muda tapi udah bisa nerusin bisnis Kakek sama Nenek kamu. Bisa buka cabang lagi, gak heran kalo Sya mau sama kamu.." kata pria itu.
Arbi tersenyum. "Alhamdulillah Pak.."
"Mas Panji tumben ada di rumah, lagi libur nugas apa gimana Mas?" tanya Sya.
"Iya lagi libur, bulan depan udah harus nugas lagi ke luar kota.." jawab Panji dengan senyuman di bibirnya.
"Oalah.."
Pak Jul kembali menatap Arbi. "Asal kamu tau ya Bi, istri kamu ini selalu jadi rebutan. Gak cuma orang desa sini aja tapi juga dari luar, banyak yang mau lamar dia bahkan yang udah dateng ke rumahnya aja banyak. Saya juga hampir lamarin dia buat Panji, tapi udah telat. Udah keburu nikah sama kamu Sya sekarang.."
Arbi mengangguk. "Iya Pak, saya juga udah denger kok dari temen-temen kalo Sya ini emang jadi rebutan banyak orang. Banyak yang mau ngelamar dia.."
"Iya Nak Arbi bener itu, Nak Arbi ini bener-bener beruntung bisa dapetin Sya. Apalagi sekarang Sya lagi hamil.." kata Pak Jul sambil melirik ke arah Sya.
Sya tiba-tiba menarik tangan Arbi dan menaruhnya ke atas perut. "Mas.." panggilnya sambil menatap Arbi.
Arbi yang mengerti langsung mengusap-usap perut Sya. Memang sekarang perut Sya kadang mengalami nyeri atau kram mendadak. Dan biasanya akan mendingan kalau Arbi mengusap-usapnya.
"Kenapa Sya?" tanya Panji khawatir.
Sya menoleh pada Panji. "Gapapa Mas, biasa nyeri dikit. Emang lagi sering gini, tapi kalo udah diusap-usap sama Mas Arbi biasanya langsung mendingan sih.." jawab gadis itu.
"Oalah.."
Arbi mengusap perut Sya dengan begitu lembut. Di usia kehamilan 6 bulan ini perut Sya sudah sangat besar mungkin karena ada dua bayi di dalamnya.
"SYAAAA UDAH YAAA! GUE DIGIGIT SEMUT ANJIR! GUE MAU TURUN!" teriak Niko menunjukkan kantong plastik berisi buat mangga yang dia pegang pada Sya.
Semua menoleh pada Niko yang ada di atas pohon. Sya menyipitkan matanya. "MAU YANG UDAH MATENG BANG!"
"YAELAH SYAAAA! GUE UDAH GATEL-GATEL INI!" teriak Niko.
"POKOKNYA MAU YANG MATENG DULU, BANG NIKO BOLEH TURUN KALO UDAH NEMU YANG MATENG!"
"ANJIR SYAAAAA!"
To Be Continue
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
