
Deskripsi
(1) Saat Dilamar Dan Dipaksa Menikah
“Mas, akhirnya aku hamil, Mas. Aku hamil.” Tanpa sengaja aku mendengar ungkapan kebahagiaan dari Mbak Silvi.
Tadinya aku bermaksud mengetuk pintu untuk memberitahukan bahwa makan malam sudah siap. Namun belum sempat tanganku mendarat di pintu, terdengar lagi suara itu.
“Sebaiknya kamu ceraikan saja Delima, Mas. Kita udah nggak butuh dia lagi.”
Deg!
Astaghfirullah alaziim. Kenapa sampai hati dia mengatakan hal sekeji itu. Padahal dia sendiri yang memohon dan memaksaku...
42,201 kata
Dukung suporter dengan membuka akses karya
Pilih Tipe Dukunganmu
Sudah mendukung?
Login untuk mengakses

Selanjutnya
Akibat Ulah Suamiku(Tamat)
6
0
(1) Kehilangan
Berapa Bu, semuanya? tanyaku pada Buk Siti setelah selesai memilah-milih belanjaan yang akan aku beli untuk keperluan hari ini. Ayam sekilo tiga puluh ribu, bumbu kari tiga ribu, santan tiga ribu, itu aja? tanyanya. Aku mengangguk. Jadi, semuanya tiga puluh enam ribu, ucap Buk Siti. Ayam lagi naik soalnya, lanjutnya kemudian. Aku hanya tersenyum sembari merogoh kocek, mengambil dompet bermerek toko emas dari saku daster kesayangan yang aku punya, segera membayar tagihan belanjaan yang disebutkan Buk Siti barusan. Maklum sih, soalnya beberapa hari terakhir, harga pangan memang lagi pada melambung tinggi. Minyak goreng aja susah nyarinya apalagi yang ada diskonnya itu. Semua jenis bahan pokok pada ikutan naik, tinggal uang belanja dari suami aja yang masih stabil, nggak naik-naik. Untuk kaum Ibu-Ibu seperti saya ini, ya harus pandai-pandai berhemat, memutar outak biar bahtera rumah tangga nggak oleng apalagi sampai bubar. Loh. Betapa kagetnya aku saat mendapati isi dompetku hanya tinggal beberapa lembar uang pecahan dua ribuan, seribuan dan beberapa keping uang recehan. Padahal seingatku malam tadi, Bang Diki_ Suamiku_ sudah memberikan jatah uang belanja untuk hari ini. Yaitu berupa uang bulat lima puluh ribuan seperti biasa dan langsung aja aku masukin ke dalam dompet ini. Kenapa, Mbak? tanya Buk Siti saat melihatku sedang kebingungan. Uangnya ketinggalan, Buk. Sebentar ya! jawabku sambil garuk-garuk kepala yang tiba-tiba terasa gatal, bergegas pergi meninggalkan kedai sampah miliknya, juga beberapa orang ibu-ibu yang masih asyik memilah milih barang belanjaan yang mau dibeli sambil ngobrol. Dalam perjalanan menuju rumah, aku mengingat-ingat kembali uang itu. Apakah aku salah letak atau jangan-jangan uangnya malah hilang dicuri Tuyul. Aduh, tiba-tiba kepalaku terasa pusing. Mumet. Bukan cuma sekali ini uangku lenyap begitu saja. Kemarin dulu juga pernah hilang mulai dari uang sepuluh ribuan, dua puluh ribuan dan pernah juga seratus ribuan. Menurut tetangga di sekitar sini, uang mereka juga sering hilang seperti aku. Bahkan, ada juga seseibu yang pernah bilang kalau uang tabungan anaknya yang dalam celengan berbentuk reflika ayam itu hanya tersisa sepuluh ribuan saja setelah ditabung beberapa tahun lamanya. Sampai-sampai rasanya aku pengen nangis aja bawaannya membayangkan jika uang itu benar-benar hilang dan nggak ketemu di rumah. Sedikit memang nominalnya, hanya lima puluh ribu rupiah saja. Akan tetapi, uang sejumlah segitu sudah banyak dan sangatlah berarti untukku.
.
Bang! Liat uang Yara nggak? teriakku pada suami yang masih enak enakan tidur di kamar, begitu aku sampai. Senyap, nggak ada jawaban. Bang! Liat uang Yara nggak? ulangku lagi sambil terus mencari disekitaran dapur dan kamar mandi. Sepi, nggak ada jawaban. Aku segera masuk ke dalam kamar dan mendapati Bang Diki masih bergulung nyenyak didalam selimut. Bang! teriakku sembari memukul punggungnya dengan guling hingga dia tersentak. Enak aja, sudah siang begini masih mendengkur seperti nggak punya tanggungan sama sekali. Nggak peduli sedikit pun kepada istrinya yang lagi kesusahan seperti ini. Liat uang Yara, nggak Bang? Bentakku dengan nada jengkel. Uang apa? Dia terlihat seperti orang bodo. Uang belanja. Tapi, udah Abang kasi tadi malam! Nggak ada di dompet loh, Bang! ucapku setengah frustasi bercampur sedih dan kesal juga. Bingung mau nyari kemana lagi. Kulihat dia bangkit dan kemudian duduk bersandar di sisi ranjang, seperti sedang memikirkan sesuatu. Abang nggak ada lihat? tanyaku penuh selidik. Nggak ada loh, Dek. Sumpah! Aku memastikan. Sumpah. Demi ALLAH. Iya. Iya, apa? Yang tadi. Yang tadi, apa? desakku. Yang tadi Adek bilang, loh. Dari gerak- gerik dan cara bicaranya aja sangat-sangat mengundang kecurigaan, nih. Jangan-jangan beneran dia yang mengambil uang itu kembali. Serius, Bang? Abang nggak ada ngambil? Duarius lho, Dek. Kan tadi malam Abang udah kasih sama kamu. Emang adik tarok mana? Yaelah, kalau aku ingat letaknya dimana, ngapain juga aku sibuk-sibuk nanya. Aku duduk disisi ranjang, kembali mengingat-ingat kejadian tadi malam. Dari saat bang Diki pulang, terus ngasi uangnya, abis itu dia mandi. Waktu itu aku sedang lagi asyik baca-baca cerbung di grup fesbuk. Seketika, semua kejadian malam tadi berkelebatan dikepalaku. Tapi, waktu dia ngasi uang itukan, aku langsung masukin ke dompet. Iya, aku langsung masukin dompet, nggak salah lagi. Takut kalau tergeletak sembarangan, entar dimainin sama si bocil yang lagi aktif-aktifnya ngerusuh. Aku kembali meraba saku dasterku dan berulang-ulang membuka isi dompet itu untuk memastikan apakah uangnya ada atau tidak. Atau jangan-jangan terselip di lembaran uang yang lain. Aku keluarin uang pecahan ribuan itu satu persatu dan memisah-misahnya, namun apa yang kucari nggak juga ketemu. Ya ALLAH, sedihnya minta ampun. Mungkin, untuk kebanyakan orang diluar sana, uang sebegitu bukanlah apa-apa. Tapi , untuk diriku, uang segitu sangat-sangat berharga dan berarti. Kemana lagi aku akan mencarinya. Ya ALLAH? Tak terasa, air mataku menetes begitu saja. Kenapa kejadian ini menimpa kepada diriku yang malang ini. Kemana lagi aku akan mencari gantinya? Bener Bang, Abang nggak ada lihat? Aku kembali bertanya pada suami untuk yang kesekian kali dengan air mata yang berlinang. Memastikan bahwasanya uang itu memang benar-benar sudah hilang. Sudah kubilang dari tadi, aku nggak ada lihat, jawabnya kasar. Pikun kali pun kau jadi orang. Entah apa aja yang kau pikirkan? Hape aja isi outak kau. Dia bangkit, kemudian keluar dari kamar sembari membanting pintu dengan sangat keras. Nyes... darahku berdesir dan terasa menusuk sampai ke ulu hati. Sakit rasanya diperlakukan suami seperti ini. Sudah jelas-jelas dari tadi dia melihatku dalam kesusahan, jangankan untuk membantu mencari atau sekedar menenangkan. Sedikitpun dia nggak peduli sama sekali. Entah dianggapnya apa aku di rumah ini. Lama aku termenung mematung, pikiranku buntu dan kosong. Aku tak tahu lagi harus berbuat apa dan bertanya kepada siapa. Aku benar-benar dalam kebingungan. Sampai aku teringat kembali pada Buk Siti dan belanjaan yang belum aku bayar tadi. Pasti Buk Siti masih menunggui kedatanganku dan menyisihkan belanjaan yang sudah aku pilih tadi. Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan? Pakai apa aku harus membayarnya? Tadi waktu kau ke warung, nggak ada jatuh di jalan? tiba-tiba saja Bang Diki kembali masuk kedalam kamar. Aku hanya menggeleng. Pasrah. Waktu mau bayar tadi? Nggak ada jatuh? Aku hanya diam. Merasa pertanyaan itu sudah nggak penting dan terlambat. Disaat hatiku sudah hancur dan merasa jijik walau hanya sekedar mendengar suaranya. Bodo kali pun kau jadi orang. Baru disuruh megang duet segitu aja udah nggak becus. Belum aku nyuruh kau megang duit Milyaran. Maulah entah kemana-mana kau buat. Dia terus saja mengoceh, bertausyiah, ceramah seperti layaknya pejabat atau konglomerat yang lagi diundang sebagai narasumber di acara-acara bergengsi. Uang belanja aja pun baru sanggup ngasi lima puluh ribu sehari buat anak dan istri. Tapi, gayanya udah songong setinggi langit pakai acara nyebut uang Milyaran rupiah pula. Dasar laki nggak tau diuntung. Aku terus menjawab dan merutukinya, walau hanya dalam hati. Hanya seperti ini cara yang bisa aku lakukan untuk mengurangi sedikit beban dan membalaskan sakit hatiku padanya. ******(2) Melawan
Ketemu uangnya? tanya Buk Siti setelah aku kembali kewarungnya.
Aku menggeleng. Nggak ketemu, Buk, ucapku pasrah.
Kumpulan ibu-ibu yang tadi pagi, sudah nggak ada di sini lagi. Berganti dengan ibu-ibu yang lain yang tampak berbisik-bisik seperti sedang menggosipin aku. Pastilah kejadian yang menimpaku tadi pagi sudah jadi trending topik di kalangan emak-emak sekitar sini.
Hilang dimana uangnya Mbak ? tanya salah satu dari mereka.
Aku menggeleng. Kemungkinan di rumah, jawabku lemah. Paling mereka cuman kepo doang, bukan niat mau nolong atau membantu ngasi solusi gitu.
Suaminya sudah ditanya, Mbak?
Aku mengangguk. Sudah, kujawab seadanya saja.
Ouh. Dia manggut-manggut. Bukan apa-apa sih Mbak, laki-laki zaman sekarang udah nggak bisa dipercaya lagi. Aneh-aneh aja kelakuan mereka di luar sana, kalau udah lepas dari pantauan. Main perempuanlah, minum-minumlah, main judi lah, kita ibu-ibu ini yang jadi korban. Terkadang hilang uang kita di dompet, kita tuduh juga tuyul yang nyuri. Eh, nggak taunya malah tuyul gondrong yang ambil.
Seseibu itu terus bertausyiah panjang kali lebar yang membuat kepalaku semakin cenat cenut pusing. Sesekali, ibu-ibu yang lain ikut bertanya atau menyambung isi dari perkataannya. Nggak di rumah, nggak di warung, sepagian ini asyik dengerin tausyiah orang melulu.
Aku pulang menenteng kresek plastik berisi belanjaan yang barusan aku tebus. Setelah tadi bersusah payah mengiba, memohon kepada Bang Diki agar meminjami aku uang.
Nah, makan sama kau uang itu semua! Biar puas hati kau, katanya sembari melemparkan selembar uang biru yang baru dia keluarkan dari dalam dompetnya.
Sial kali aku kawin sama kau, cuman nambahin beban aku aja, bentaknya.
Nyes...lagi-lagi jantungku berdebar seperti tersengat aliran listrik. Sakit rasanya diperlakukan suami sendiri seperti ini. Entah kemana semua janji manisnya dulu yang pernah ia katakan padaku. Dan aku pun nggak tau kenapa Bang Diki tiba-tiba berubah setelah nggak lama kami punya bayi.
Aku masuk ke dalam rumah dan mendapatinya sedang rebahan santai di atas ranjang sambil bermain hape. Kalau giliran dia yang pulang dari bepergian dan memergokiku sedang asyik bermain hape seperti itu, sudah pasti dia bakalan komplain dan bilangin kalau aku cuma pandai main hape saja. Pemalas, jorok dan kata-kata tercela lainnya. Apakah laki-laki selalu berbuat seperti itu saat melihat istrinya lagi bersantai? Atau, apakah cuma suamiku saja yang perangainya seperti itu?
Tapi biarlah, mungkin Bang Diki masih kesal sama aku karena kecerobohanku tadi. Apalagi mengingat sulitnya nyari uang saat ini, karena susahnya nyari penumpang selama masa pandemi yang nggak berkesudahan ini.
Selama ini, Bang Diki bekerja sebagai driver Ojol. Sewaktu awal-awal dulu, pendapatannya lumayan banyak sehingga dia serius untuk melamarku. Walaupun usia kami masih tergolong muda kala itu, aku mau saja menerima lamarannya karena dia sangat baik dan perhatian padaku, begitu juga sama ibu dan adikku. Sedangkan ayahku sendiri sudah lama nggak ada lagi di dunia ini.
Waktu itu, aku merasa sangat membutuhkan bahu seseorang untuk sekedar tempat kepala bersandar, yang dapat menjagaku dan mau menerima keluargaku. Dan Bang Diki menyanggupi semua permintaanku itu. Dia berjanji akan membahagiakan aku dan siap untuk memenuhi kebutuhan keluargaku. Walaupun semua itu, ternyata hanya omong kosong dan janji palsu belaka.
Setelah selesai memasak dan beberes rumah, aku masuk ke kamar lagi buat bangunin anakku yang masih tidur. Kulihat Riki sudah bangun dan bermain sama Bapaknya.
Nggak kerja, Bang? tanyaku, saat melihat dia masih santai berleha-leha.
Dia hanya diam, seolah-olah nggak mendengar pertanyaanku.
Ayo Riki! sini sama Bunda, biar Bapak mandi dulu. Ku ulurkan tanganku untuk mengangkatnya, tapi dia menolak.
Kata Bapak, Bapak nggak kerja, ucap anakku dengan celat.
Nggak kerja? jadi, besok mau makan apa?
Iya Bang, nggak kerja kau? Aku memastikan ucapan anakku tadi. Tapi, Bang Diki nggak menjawab, dia hanya diam membisu seperti nggak punya mulut saja.
Iya Bunda, kata Bapak dia mau main sama Riki. Iya kan, Pak? Anakku yang menjawab seolah-olah juru bicaranya. Sambil menjambak-jambak rambut Bang Diki yang masih asik mainin hape terus dari tadi.
Ya udah, ayo sini Bunda mandiin dulu! aku masih saja memujuknya.
Nggak mau, Riki mau mandi sama Bapak aja.
Bapak sebentar lagi mau pergi kerja, sayang. Riki sini sama bunda saja, biar Bapak mandi dulu. Aku masih terus memujuknya. Berharap dia mau menuruti keinginanku dan bapaknya juga mau mengerti kalau kami butuh uang untuk besok.
Nggak mau. Riki mau main sama Bapak aja. Iya kan Pak? Lagi-lagi putraku itu berontak dan terus menempel mencari perlindungan pada bapaknya. Padahal, sedikit pun Bapaknya nggak peduli sama sekali sama dia.
Entah karena sudah merasa kesal dari tadi pagi atau merasa nggak dihargai sama sekali oleh anak dan suami. Rasanya the power emak-emakku meronta-ronta nggak terkendali. Kepalaku serasa mau pecah saja dan rasa emosiku pun meluap-luap. Sebenarnya, aku sangat kesal sama suamiku yang terkesan cuek dan nggak peduli sama sekali, akan tetapi anakku lah yang jadi sasarannya.
Sini kau cepat! masih kecil aja sudah bandel kali kau. Belum besar nanti, nggak usah kau contoh sifat buluk bapak kau itu. Ayo mandi, cepat! kuteriaki dia sembari menyeret dan mencubit lengannya geram. Sudah capek aku kerja dari pagi nggak ada kalian hargai sama sekali. Aku semakin jengkel dan ngomel-ngomel.
Anakku menjerit-jerit dan meronta-ronta saat kuseret paksa. Sengaja aku berbuat kasar di depan suamiku, agar dia tahu bahwa aku juga bisa marah. Aku ingin melihat seperti apa reaksinya. Dia kira cuma dia saja yang punya emosi dan bisa berkuasa di rumah ini. Oh, tidak. Aku juga bisa melakukannya. Belum tau dia rupanya seperti apa aku kalau sudah marah.
Bagus-bagus kau ngurus anak anjir, kau peker nggak capek aku nyariin makan buat kalian. Sehari aja pun aku mau rehat maen sama anak aku di rumah, terus kek gitu perlakuan kau, bentaknya sembari merampas anakku kembali dari genggaman tanganku.
Akhirnya, terpancing juga dia rupanya. Inilah saat yang sejak lama sudah aku nanti-nantikan, setelah sekian purnama hanya diam menahan sakit. Dan hari ini, akan ku buktikan bahwa aku juga bisa melawan. Biar pecah sekalian. Bisa apa dia rupanya.
Nggak ada yang ngelarang kau santai di rumah bintang, tapi kau cukupi dulu kewajiban kau sebagai suami, baru kau santai. Aku nggak mau kalah, menantang kembali ucapannya. Begitulah akibatnya jika sudah berani membangunkan seekor singa betina yang sedang tidur. Biar mamp*s sekalian.
Aku pun sudah tidak sudi lagi untuk memanggilnya dengan sebutan Abang. Buat apa juga menghargai orang yang nggak mau menghargai kita sama sekali. Durhaka, durhaka deh situ.
Kalau urusan dosa, entar aja perhitungannya diakhirat. Sekarang yang paling terpenting ialah bagaimana caranya untuk memperjuangkan harga diri kita sebagai seorang wanita agar tidak di injak-injak sama para lelaki yang nggak bertanggung jawab. Emansipasi wanita moderen itu harus tetap dipertahankan. *****(3) Menyesal Setelah selesai berperang hebat tadi dan sudah merasa puas mengeluarkan semua jurus andalan. Aku bergegas mandi dan berpakaian rapi, kemudian pergi meninggalkan rumah tangga yang rasanya sudah seperti neraka jahanam itu.
Aku pergi ke rumah ibuku yang terletak di kampung sebelah. Kutinggalkan putraku_ Riki_ bersama bapaknya di rumah itu. Biar bang Diki tau bagaimana rasanya menjadi seorang ibu rumah tangga yang harus terkurung seharian dalam rumah. Biar dia bisa menghargai betapa beratnya perjuangan menjadi seorang istri itu.
Itupun dia sudah terbilang enak, karena beberes rumah dan prosesi masak memasak sudah aku yang ngerjain semua. Tinggal urusannya hanya memandikan Riki dan mencuci perkakas dapur yang belum sempat aku bersihin tadi.
Tiba-tiba saja aku merasa menyesal. Menyesal karena tadi sudah mengerjakan banyak, bahkan hampir semuanya. Menyesal juga kenapa perang itu telat datangnya. Seharusnya, perang itu datang lebih awal digelar biar aku bisa bebas lebih cepat dan pekerjaan rumah untuk Bang Diki lebih banyak dan tambah berat.
Kenapa juga aku tadi hanya memecahkan sebiji gelas saja, seharusnya aku bisa memecahkan lebih banyak lagi. Entah selusin atau dua lusin sekalian. Biar bang Diki tau siapa aku sebenarnya. Kalau perlu, biar rumah itu aku bakar sekalian saja tadi, biar rumah tangga itu nggak ada lagi. Jadi, aku bisa benar-benar terbebas dari sebuah belenggu yang bernama sebuah ikatan pernikahan itu.
Sepanjang perjalanan, hanya itu saja yang aku pikirkan berulang-ulang. **** Nenek Riki belum pulang, Buk! seru salah seorang tetangga sebelah rumah ibuku, saat menyadari keberadaanku yang dari tadi memanggil-manggil dari luar.
Oh, iya Buk. Makasih ya!
Riki mana? kok nggak keliatan?
Dia nggak ikut, Buk. Tinggal di rumah sama Bapaknya.
Oh, pantas nggak keliatan. Bapaknya nggak kerja?
Aku menggeleng. Lagi libur, Buk. Mau istirahat dulu, katanya.
Enaklah ya kalo kita kerja sendiri, nggak terikat sama orang lain, bisa libur suka-suka hati. Kalo seperti bang Nanda, nonstop nggak ada liburnya, katanya menceritakan suaminya yang bekerja di bengkel sepeda motor.
Sebenarnya, usia kami nggak jauh berbeda. Dia di atas aku hanya beberapa tahun saja. Tapi, karena sudah punya suami dan masing-masing sudah memiliki anak, kami lebih nyaman jika satu sama lain saling menyapa dengan sebutan Ibu. Kesannya, lebih dewasa aja, dan anak-anak juga bisa meniru.
Sini lah, singgah dulu! Menggosip kita dulu. Dia menawari.
Karena merasa segan, akupun mampir kerumahnya. Sudah lama juga kami nggak ngobrol bareng karena aku sendiri pun memang sudah jarang main kesini. Andaipun pulang ke sini, kami nggak sempat kumpul-kumpul lagi seperti dulu.
Enaklah ya, tinggal di rumah sendiri. Nggak ada yang mengganggu.
Sama aja loh, Buk. Kalo masih ngontrak, mana ada enaknya.
Setidaknya kan Buk, bisa bebas. Nggak diusik sama mertua juga ipar.
Aku hanya tersenyum, karena dia nggak tau aja bagaimana sikap Bang Diki terhadapku. Apa saja yang telah dia perbuat kepadaku selama ini. Tapi, apalah gunanya jika aku ceritakan padanya. Kalau semua itu tidak mendatangkan manfaat sedikit pun sama sekali. Alangkah baiknya jika semua itu aku simpan saja sendiri, agar orang-orang nggak tau betapa buruknya perangai suamiku itu.
Bagaimanapun, dia tetaplah suamiku dan ayah dari anakku yang tentu saja harus kututupi segala keburukannya. Bukankah Aib suami itu merupakan Aib kita juga?
Nggak kaya aku, Buk! Malah kejebak di rumah ini, curhatnya lagi.
Tapi kan enak, Buk. Nggak mikirin uang sewa kontrakan.
Iya. Orang luar selalu mikirnya kek gitu, Buk. Padahal, semua-semua musti mertua yang ngatur. Gaji suami aja pun dia semua yang pegang. Kalo aku di sini nggak ubahnya seperti pembantu aja, Buk. Itu pun masih mending pembantu di rumah orang dapat gaji. Lah, di sini malah dapatnya caci maki.
Yang sabar aja lah Buk, kita! Gitulah yang hidup berumah tangga ini, nggak ada yang lurus-lurus aja. Yang banyakan tikungannya, ucapku menghiburnya. Padahal, kata-kata itu lebih pantas aku tujukan buat diriku sendiri.
Lama kami mengobrol ngalor-ngidul ke sana kemari sampai kulihat ibuku sudah pulang.
Ibuku bekerja sebagai asisten rumah tangga di salah satu rumah orang terpandang di desa sini. Tapi, dia hanya bekerja setengah hari saja saat pagi, dan nanti sekitar jam empat-an sore datang lagi buat mengangkat jemuran sekalian menyetrikanya. Lumayanlah buat menutupin kebutuhan ibu dan biaya sekolah adikku sehari-hari.
Riki mana? tanya ibu padaku.
Aku hanya diam nggak menyahut. Terus berjalan masuk kedalam rumah yang baru saja dia buka.
Mamak masak apa?
Ada, sayur lodeh tempe sama tauge tuh. Jam berapa kau datang ke sini?
Dari tadi. Ku pikir nggak kerja mamak. Aku mengambil sebuah piring dan mulai menyendok nasi. Perutku memang sudah terasa perih dari tadi karena belum sarapan dari rumah. Aku lupa sarapan pagi, gara-gara emosi melihat tingkah laku suamiku yang nggak tahu diuntung itu.
Riki kok ditinggal? Sama siapa dia di rumah?
Sama siapa lagi, jawabku datar. Karena masih males sebenarnya menyinggung tentang suami unfaedah itu.
Nggak kerja dia?
Nggak. Aku menggeleng.
Kenapa?
Entah.
Ibuku menarik napas dalam. Berantem lagi?
Hu-uh.
Dia diam, membiarkanku menikmati makanan yang ada dihadapanku kini. Padahal aku tahu, sebentar lagi dia akan bertausyiah menceramahi aku.
Mamak nggak makan?
Bentar lagi.
Lama ibuku diam dan mengerjakan beberapa pekerjaan rumah yang belum sempat dia kerjakan tadi pagi. Setelah selesai makan, ibu kembali menghampiriku di dalam kamar yang baru saja ingin rebahan meluruskan badan.
Jadi, makan apa orang itu di sana?
Ada, aku sudah masak tadi.
Jadi, anak kau bagaimana?
Biar aja dia yang urus, biar tau dia bagaimana rasanya ngurus anak.
Ibuku menarik napas dalam lagi dan mulai menyalakan sebatang rokok ditangannya.Ibuku memang seorang perokok aktif. Namun, walaupun begitu, dia bukanlah wanita murahan. Dan aku juga nggak tau sudah sejak kapan dia candu nikotin itu.
Aku mau tinggal disini aja, pintaku padanya.
Jadi, anak kau bagaimana?
Biar bapaknya aja yang ngurus.
Kami saling diam, aku pun mulai berselancar di dunia maya dan mulai mencari-cari lowongan pekerjaan yang sedang membutuhkan karyawan. Banyak sebenarnya iklan lowongan pekerjaan yang tersedia. Akan tetapi, memiliki syarat yang tidak bisa kupenuhi.
Rata-rata lowongan pekerjaan itu memiliki syarat yang begitu rumit. Harus singel, belum menikah, berpenampilan menarik dan memiliki ijazah. Sedangkan aku sendiri, apalah daya yang hanya tamatan SMA saja pun belum sempat lulus.
Ku kirimi pesan inbox satu persatu kepada teman-teman yang aku kenal, baik teman sekampung ataupun teman sekolah dulu yang sudah sukses merantau ke luar kota untuk menanyakan pekerjaan. Namun, belum ada yang membutuhkan karyawan baru apalagi yang hanya memiliki ijazah SMP. Kok sulit ya mencari pekerjaan di negara ini?
Semua-semua harus mengandalkan ijazah melulu. Kalau nggak punya ijazah seperti aku, alamat nasibnya akan menjadi ibu rumah tangga sejati, yang hanya akan ditindas dan diperbudak oleh suami.
Lelah mengirimi pesan dan menunggu balasan dari beberapa pesan yang belum dibaca, akhirnya aku tertidur pulas hingga ibuku membangunkan aku dikala hari sudah agak sore.
Kok belum pulang kau? ****(4) Merubah Nasib
Aku bangkit dan memeriksa jam di hape sudah menunjukkan pukul setengah enam sore. Malas sebenarnya untuk pulang ke rumah itu lagi.
Aku nginap di sini aja, pintaku pada ibu.
Nggak bisa, kata ibuku. Jangan kau ikutin emosi kau aja, kau harus ingat sama anak kau juga.
Yara mau nyari kerja aja. Yara nggak mau pulang ke rumah itu lagi. Sudah seperti heawan perlakuannya sama Yara. Aku beralasan. Tapi, memang begitulah kenyataannya.
Gara-gara apa rupanya perkaranya sampai segitu? tanya ibuku yang biasa kami panggil mamak.
Aku menceritakan semuanya, agar ibu tahu dan tak memaksaku untuk pulang ke rumah itu lagi. Adikku yang baru pulang dari bekerja sampingan sebagai tukang cuci sepeda motor di rumah teman sekolahnya, juga ikut duduk mendengarkan ceritaku.
Kau pikirkan lagi halus-halus! Kalau kalian berpisah, siapa yang akan mengurus anak kau itu. Nggak sedih kau rasa rupanya bagaimana sakitnya nggak punya orang tua itu? Apa mau kau rupanya anakmu bernasib sama seperti apa yang sudah kau rasakan?
Aku hanya tertunduk pilu mendengarkan perkataan ibu. Bagaimana mungkin aku menginginkan anakku bernasib sama seperti yang menimpaku. Sudah menjadi yatim sejak kecil, itu merupakan sesuatu hal yang sangat-sangat menyakitkan.
Begitulah ibuku, jika sudah mendengar atau melihat kami berantem suami istri. Pasti dia memberi nasehat yang nggak putus-putus, sampai hatiku mencair seperti es batu diterpa cahaya sinar matahari. Meleleh.
Pergi lah pulang kau! Nanti kemalaman. Kau pikirkan saja masa depan anak kau itu. Kalau dia sudah besar nanti, terserah kau lah mau berbuat apa. Tapi untuk sekarang, sembahku dikau untuk pulang. Kasihan sama anak kau itu, karena belum kau rasainnya bagaimana susahnya jadi janda. Sudah mamak janda, jangan pula kau juga ikut-ikutan jadi janda. Dia terus saja mengoceh panjang kali lebar.
Kali ini, air mataku luluh juga. Setelah puas menghabiskan air mata. Sekarang timbul lagi rasa bersalah dan menyesal dalam hatiku. Menyesal, kenapa aku sampai hati meninggalkan anakku seharian ini. Kenapa juga aku tega berlaku kasar padanya tadi siang dan memukulinya secara membabi buta, padahal dia tidak tahu apa-apa. Penyesalan itu terasa menyeruak di sekujur tubuhku sehingga dadaku terasa sesak untuk bernapas. Aku terburu-buru pamit ijin untuk pulang.
Nah Kak! Buat belanja kakak besok.
Fauzan _ adikku _ menyodorkan selembar uang kertas berwarna biru untukku.
Nggak usah Dek, buat kebutuhan sekolah kamu aja.
Sudah, kakak bawa aja dulu. Nanti kalau ada rejeki, baru kakak ganti, ucapnya tulus, sambil terus menyodorkan uang itu.
Dengan berat hati, aku terpaksa menerimanya. Karena aku memang sangat-sangat membutuhkan uang ini.
Makasih ya, Dek! ucapku terharu pilu.
Baru beranjak remaja saja dan masih duduk di bangku SMP, tapi sifatnya sudah sangat dewasa. Mungkin, keadaanlah yang mengajarinya berpikir sedewasa itu. Nggak seperti laki-laki yang aku tinggalkan di rumah sana, sudah pandai buat anak tetapi sifatnya masih kanak-kanak.
Sesampai di rumah, hari sudah malam. Kulihat ruangan tamu dari luar terlihat gelap. Semua lampu terlihat mati. Apakah mereka sudah tertidur?
Setelah pintu terbuka, segera kunyalakan saklar lampu dan menuju ke dalam kamar. Tetapi, bang Diki dan Riki tidak ada. Kemana mereka?
Aku kembali ke luar, berniat ingin memasukkan motor yang masih terparkir di halaman depan. Tiba-tiba saja seseorang berteriak mengejutkanku.
Kemana kau seharian? Anak dititipin ke rumah orang. Kalian enak-enak keluyuran. Kalian pikir ada pembantu gratisan kalian, iya? Mak Anto , tetangga sebelah rumahku datang sambil menggendong Riki yang sedang tertidur.
Tapi tadi, ada Bang Diki yang ngasuh. Aku membela diri.
Ngasuh apa? Begitu kau pergi, tak lama dia datang ke rumah nitipin anak kau. Katanya dia mau pergi sebentar keluar. Tapi, sampai sekarang belum pulang juga. Ada yang bilang, dia sedang minum-minum di kafe pinggir sungai sana. Anak nggak dikasih makan, nggak dimandiin. Sama aja kalian aku tengok laki bini. Sama-sama nggak ada outak, kata Mak Anto mengomel.
Cepat aku mengambil Riki dari tangannya agar Mak Anto cepat pulang ke rumahnya. Capek aku dengerin ceramah terus-menerus hari ini.
Aku membaringkan diri di ranjang dan menatap lekat-lekat wajah Riki yang sedang terlelap pulas. Sesekali, ku kecup keningnya yang terlihat masih imut-imut itu. Ku periksa sekujur tubuhnya yang siang tadi sempat ku sakiti. Aku menemukan beberapa bekas biru lebam di bagian tangan serta pahanya. Aku kembali terisak tangis, sesenggukan. Merasa bersalah meratapi nasib anakku seharian ini, setelah ditinggal oleh ayah dan bundanya. Bagaimanakah perasaannya saat diasuh oleh orang lain?
Aku terbangun setelah mendengar suara gedoran pintu dari luar. Aku segera bangkit dan melirik jam yang sudah menunjukkan sekitar pukul satu malam.
Setelah pintu kubuka, Bang Diki masuk dengan sempoyongan, tubuhnya beraroma bau asam khas minuman memabukkan. Membuat perutku terasa mual dan ingin muntah. Bau tubuhnya menyeruak ke seluruh isi ruangan. Bergegas aku meninggalkannya dan cepat-cepat mengunci pintu kamar dari dalam agar dia nggak bisa masuk. Aku takut jika nanti dia nekat berbuat yang macem-macem saat dalam keadaan mabuk seperti itu.
Begitulah kelakuan Bang Diki jika sedang ada masalah. Selalu saja lari dari tanggung jawab dengan cara minum-minuman keras dan mabuk-mabukan seperti anak muda yang nggak punya beban sama sekali.
Hari ini, aku sengaja bangun pagi-pagi sekali. Setelah selesai mandi dan berkemas pakaian ganti buat Riki, aku bergegas pergi sebelum Bang Diki bangun. Kuambil hapenya yang sedang dia charger di atas tivi. Begitu juga dengan jaket Ojol yang setiap hari dia pakai. Iya, aku berinisiatif untuk menggantikannya sebagai Driver Ojek Online untuk beberapa hari ke depan.
Ngapain juga aku harus terus menerus bergantung sama suami unfaedah seperti itu. Mendingan aku cari uang sendiri saja buat kebutuhanku dan kebutuhan Riki. Kalau ada lebihnya bisa aku berikan buat ibuku nanti.
Sebenarnya, aku juga belum mengerti bagaimana cara menggunakan aplikasi Ojol ini. Akan tetapi, aku optimis saja dulu. Mudah-mudahan, di pangkalan Ojol sana banyak teman-teman driver yang mau ngajarin aku nanti.
Sebenarnya, pekerjaan ini sudah aku pikirkan semalaman suntuk. Setelah malam tadi, saat pulang dari rumah ibu, aku melihat seorang Driver Ojol wanita ditengah perjalanan. Aku jadi kepikiran terus. Kalau dia bisa, kenapa aku nggak? Pertanyaan itu memenuhi isi kepalaku. Makanya, hari ini tekad itu aku bulatkan untuk mencoba langsung, agar tidak hanya menjadi angan-angan saja.
Mudah-mudahan ini merupakan jalan awal yang harus aku tempuh agar bisa keluar dari belenggu yang menderaku selama ini.
Kemana kita, Bunda? tanya Riki saat dalam perjalanan.
Ketempat Nenek.
Ketempat Nenek? tanyanya kebingungan, sambil melihat ke sekeliling jalan yang kami lintasi.
Iya. Riki mau kan tinggal sama Nenek dulu?
Memang, Bunda mau kemana?
Bunda mau kerja dulu.
Bunda mau kerja?
Iya. Bolehkan Bunda kerja, biar bisa beli es krim buat Riki!
Riki sama siapa?
Nanti, Riki sama nenek dulu. Tapi, Riki jangan nakal ya kalau Nenek pergi kerja! Dia mengangguk. Baik budinya lah anak lanang aku ini. Dia sangat penurut, nggak seperti kemarin saat dekat sama bapaknya.
Aku sampai ke rumah Ibuku masih sangat pagi. Sengaja aku berangkat lebih awal agar ibu belum pergi bekerja. Biasanya dia berangkat sekitar pukul delapan atau pukul sembilan pagi gitu.
Aku ingin menitipkan Riki padanya dulu untuk hari ini. Kalau Riki nggak boleh dibawa ke rumah majikannya, terpaksa ibu lah yang akan ku pinta ijin dahulu untuk hari ini.
Ya Robbi, permudah lah langkah hamba ini, Ya Allah.... *****(5) Terbelit Hutang Ya udah, nggak apa-apa. Biar nanti mamak bawa aja. Kasihan kalau ditinggal sendiri di rumah. Malah jadi pikiran pula nanti, jawab ibuku setelah kami sampai dan kuberitahu maksud dan tujuanku datang ke sini.
Tadinya, aku usulkan agar Riki ditinggal sendiri aja di rumah. Nanti, sesekali akan aku lihat saat belum ada orderan. Tapi, kata ibuku lebih baik dia bawa saja ke rumah majikannya, di sana pun memang nggak ada siapa-siapa.
Majikan ibuku sama-sama bekerja di kantor kecamatan. Sedangkan anak-anaknya sudah pada besar dan sudah berkeluarga juga. Hanya tinggal satu orang lagi yang belum menikah, itupun sudah kerja juga. Kalau tidak salah, dia bekerja di perkapalan yang jarang sekali pulang ke kampung sini.
Jangan nakal ya sama nenek! pesanku pada Riki sebelum aku pergi.
Bunda, nanti pulang bawa es krim ya! pintanya. Aku mengangguk dan mencium kedua pipinya.
Doain Bunda ya, sayang! Dadaaa.... * Aku sampai di tempat biasa Bang Diki mangkal. Sebuah warung nasi yang sekaligus tempat berkumpulnya para driver Ojol. Beberapa wajah mereka memang nggak begitu asing bagiku, tapi nggak begitu juga aku kenal. Walaupun Bang Diki sering menyebutkan nama mereka satu persatu saat berpapasan di jalan, namun aku nggak begitu hapal.
Diki mana, Kak? Kemarin nggak narik, tanya salah satu dari mereka saat aku baru saja turun dari motorku.
Lagi nggak enak badan, Bang.
Ah, Diki modus aja itu Kak, seloroh yang lain.
Oh, iya Bang. Boleh kan aku yang gantikan dia dulu buat sementara?
Aman itu, Kak. Cuman kakak ambil makanan aja ya, Kak! Saran mereka.
Aku hanya mengikuti anjuran mereka saja. Maklumlah karena masih anak baru juga. Harus kalem dan nurut sama senior. Apalagi mereka juga terbilang ramah- ramah. Mereka nggak keberatan saat aku minta diajarin cara menggunakan aplikasinya. Walaupun jantungku sebenarnya dag... dig... dug... serrrrr.., sih karena merasa grogi.
Dari tadi, orderan yang masuk ke ponselku lumayan banyak. Baru setengah hari saja aku sudah mengantongi puluhan ribu rupiah, bahkan sudah hampir mencapai ratusan ribu rupiah. Lumayanlah buat memenuhi kebutuhan untuk esok hari.
Walaupun terasa lelah di badan, tapi bagiku itu bukanlah apa-apa. Soalnya, lebih capek lagi kalau harus meminta dan mengemis uang sama Bang Diki yang belum tentu mau memberi begitu saja. Sebelum dia puas merendahkan, mencaci-maki, menyumpah serapah serta mengungkit-ungkit kembali apa yang telah dia beri.
Nasi satu ya, Uni!
Pakai apa nih?
Dencis aja, deh. Sambalnya yang banyak ya!
Saking asyiknya mengantar orderan pelanggan yang masuk, aku sampai melewatkan jam makan siang. Mungkin masih merasa kemaruk karena baru kali ini bisa memegang uang sebanyak ini. Apalagi jerih payah sendiri.
Saat baru saja menikmati nasi padang buatan Uni Anik, aku teringat lagi pada Bang Diki. Apakah dia sudah makan di sana apa belum?
Sedangkan aku sendiri nggak meninggalkan uang sepersen pun untuknya tadi. Bagaimana kalau dia belum makan dan kelaparan? Berdosakah aku sebagai istri berbuat seperti ini padanya? Apakah aku termasuk istri yang durhaka? Hatiku berkata-kata dan merasa begitu bersalah.
Mengingat kebaikan yang pernah dia perbuat selama ini. Waktu awal-awal menikah dulu, Bang Diki selalu saja membawakan makanan untukku. Apalagi saat kami baru pindah ke rumah kontrakan, sedangkan sebiji perkakas dapur pun belum punya. Setiap hari dia selalu membawakan sebungkus nasi padang untuk kami santap berdua, dimakan bersama-sama. Sungguh sangat-sangat romantis perasaanku waktu itu. Walaupun porsinya sedikit. Entah kenapa, itu sangat mengenyangkan bagiku.
Dan sekarang, saat dia sedang kelaparan di sana. Bersalah kah diriku jika hanya mengabaikannya saja?
Seribu tanda tanya dan rasa bersalah berkecamuk di pikiranku. Apakah aku harus mengalah dan melupakan sakit hatiku yang sudah dia gores kan kemarin dan kembali seperti semula lagi?
Kenapa Mbak? Kok melamun. Suara Uni Anik menyadarkanku.
Nggak apa-apa, Uni.
Oh, Uni kira tadi kenapa-napa?
Nggak, Uni. Yara baik-baik saja, kok, ucapku meyakinkan. Oh, iya Uni. Yara pesen satu bungkus lagi ya, buat dibawa pulang!
Sekarang, apa nanti Mbak?
Sekarang aja, Uni. Sekalian hitung ya, semuanya!
Setelah selesai makan, aku segera menghampiri Uni Anik untuk mengambil pesananku tadi dan membayarnya. Aku ingin cepat-cepat pulang dulu mengantar makanan ini untuk Bang Diki. Biar nanti bisa narik lagi. Kan lumayan kalau masih bisa menghasilkan sepuluh atau dua puluh ribu lagi sebelum petang.
Semuanya tiga ratus ribu, Mbak. Sama utangnya Diki kan?
Haaa. Mataku melotot kaget mendengar tagihan yang di katakan Uni Anik barusan.
Semuanya kan? Dia memastikan kepadaku dan menghitung-hitung kembali buku catatan yang ada dihadapannya.
Aku hanya bisa bengong melihatnya. Nggak menyangka kalau Bang Diki punya hutang sampai sebanyak itu di warung ini.
Boleh lihat catatannya, Uni! pintaku.
Uni Anik menyodorkan buku catatan itu kepadaku.
Ya ampun, kenapa banyak sekali hutang Bang Diki di sini. Aku sampai pusing melihatnya.
Besok aja ya Uni, tagih sama Bang Diki aja. Soalnya, Yara nggak tau dia punya hutang sebanyak itu. Aku merasa sangat malu dan nggak enak sama uni Anik jadinya. Tapi kalau mau aku bayarkan pun, uang penghasilanku hari ini saja masih belum cukup.
Iya, nggak apa-apa. Tapi, tolong nanti di ingetin ya sama Diki, soalnya Uni segan kalau harus nagih tiap hari.
Iya, Uni, nanti Yara bilangin.
Aku sampai di rumah dengan membawakan sebungkus nasi padang buat Bang Diki. Sebenarnya, aku sudah malas mau pulang kesini setelah mengetahui dia punya banyak hutang di warung Uni Anik tadi. Tapi, karena nasi padangnya sudah sempat aku pesen, jadi nggak enak kalau mau dikembalikan lagi.
Aku masuk kerumah dan meletakkan bungkusan tadi di atas meja. Kulihat Bang Diki masih rebahan santai dalam kamar sambil bermain hape yang aku tukar dengan hape milikku tadi pagi. Padahal, ini sudah hampir jam dua siang, dia belum makan sama sekali. Benar_benar aneh manusia satu ini, dia bisa kenyang hanya dengan bermain hape saja.
Setelah meletakkan bungkusan tadi, aku kembali pergi meninggalkannya tanpa menegur sedikitpun. Jijik rasanya aku melihat tingkah lakunya itu yang nggak punya pikiran sedikitpun. Kenapa lah dulu aku mau kawin sama dia. Aku merasa sangat-sangat menyesal.
Tak lama setelah meninggalkan rumah, ada orderan lagi yang masuk. Segera aku bergegas untuk mengerjakannya. Betapa senang rasanya hatiku bisa menghasilkan uang sendiri dan bisa bebas keluar dari rumah itu. * Diki mana? nggak masuk lagi? tanya seseorang yang baru saja datang ke warung Uni Anik. Postur tubuhnya besar tinggi dan memakai jaket kulit berwarna hitam yang sudah retak-retak.
Nggak, kenapa?
Belum bayar dia utangnya yang kemarin. Katanya, dia mau bayar hari ini. Brengsek kali tuh anak, ucap lelaki itu kesal.
Aku hanya diam mendengarkan celotehnya. Nggak berani berkata apapun. Takut kalau dia akan menagih hutang Bang Diki kepadaku.
Ini ada motornya! Mana dia? Apa sembunyi dia di dalam? selidik orang itu sembari turun dari motor besar yang dia tunggangi, masuk ke dalam warung.
Woi, Dik. Keluar kau teriaknya.
Ada apa Bang, nyariin Bang Diki? Aku memberanikan diri untuk bertanya.
Kakak siapa?
Ini istrinya Diki, dia yang narik hari ini. Uni Anik yang menjawab.
Diki mana Kak? Kok dua hari ini nggak narik?
Lagi nggak enak badan, Bang! Aku beralasan.
Minta tolong lah ya, Kak. Bilang sama dia lunasin utang-utangnya dulu. Soalnya aku lagi butuh duit ini, Kak! Sudah bolak balik aku ditipuin sama si Diki itu, Kak! Katanya mau bayar hutang tapi nggak jadi-jadi dia transfer. Si abang itu malah curhat.
Memang hutangnya Bang Diki berapa, Bang?
Ada dua juta Kak. Sudah tiga kali minjem dia tapi nggak pernah dibayar. Jadi, totalnya sudah tiga juta sama bunganya.
Ya Tuhan betapa terkejutnya aku mendengar hutang bang Diki begitu banyak. Satu hari ini saja sudah dua orang yang mengadu padaku. Padahal selama ini, dia sendiripun nggak pernah terlihat memiliki uang berlebih sama sekali. Kemanakah uang itu dia habiskan?
****(6) Dibegal Suami Sendiri Nantilah ya, Bang. Yara bilangin sama dia. Soalnya, Yara nggak tau Bang Diki punya utang, ucapku berterus terang. Malu rasanya ditagih seseorang seperti ini dihadapan orang banyak pula.
Tolonglah ya Kak, kakak bilangin sama dia! Kalau dalam minggu ini belum dilunasinya semua hutang-hutangnya, mau nggak mau, motornya itu yang akan kami sita sebagai jaminan, ucap pemuda tegap itu sambil menunjuk motorku yang terparkir di depan warung.
Ya Tuhan, masalah apalagi ini. Jika sampai motor kami ini disita juga olehnya, aku akan ngojol pakai apa ya, Allah....
Tiba-tiba saja dadaku terasa sesak, baru saja rasanya aku bisa menikmati bagaimana nikmatnya bisa memiliki penghasilan sendiri, akan tetapi langsung diterpa kabar buruk seperti ini. Jika nanti bang Diki nggak sanggup melunasi semua hutang-hutangnya pada orang itu dan orang itu benar-benar menarik motor ini sebagai jaminan, apalagi yang bisa aku kerjakan.
Semangat dan rasa senang yang aku rasakan hari ini tiba-tiba saja menghilang lenyap, menciut seperti strofoam disiram bensin. Nggak habis pikir aku mengingat kelakuan bang Diki diluaran sana seperti apa.
Apakah dia punya selingkuhan seperti dalam cerita-cerita drama rumah tangga yang sering aku baca di komunitas grup fesbuk itu? Apa iya, ada wanita yang mau sama bang Diki? Sedangkan aku sendiri saja sebagai istrinya yang sah sudah merasa sangat-sangat menyesal dan jenuh hidup berumah tangga dengannya.
Kasihan aku sebenarnya melihat kakak, ucap pria itu lagi mengagetkanku dari lamunan. Mungkin, dia dari tadi mengamati mimik wajahku yang tiba-tiba saja berubah pias. Entahlah....
Tapi, kek mana mau dibuat, Kak! aku pun orang kerja juganya, Kak. Disuruh atasan seperti itu, seperti itulah kita bertindak tegas di lapangan, katanya lagi menjelaskan. Sebenarnya, nggak tega kali aku sama Kakak.
Entah kenapa, tiba-tiba saja air mataku jatuh begitu saja. Aku merasa sangat terharu mendengar ucapannya. Baru kali ini rasanya ada seseorang yang mau memperhatikan aku seperti itu.
Walaupun pria itu berwajah garang dan berbadan tegap, tapi dari gaya bicaranya, kelihatannya dia merupakan seorang laki-laki yang berhati lembut, perhatian dan penyayang kepada anak dan istrinya. Beruntung sekali wanita yang bersuamikan pria seperti dirinya.
Driver-driver Ojol lain yang mayoritas kaum adam, hanya melihat kejadian itu begitu saja. Mereka nggak terlalu menghiraukan apa yang sedang terjadi, apalagi sampai ikut campur atau ikut-ikutan kepo tentang masalah yang sedang aku hadapi ini.
Beda halnya jika kejadian ini terjadi disekitaran kedai sampah milik Buk Siti yang mayoritas ibu-ibu semua. Sudah dapat dipastikan kalau masalah yang sedang menderaku ini akan menjadi top trending selama berhari-hari di sekitaran kompleks tempat tinggalku .
Kau lagi, Zul! Kau sudahi lah main judi itu, nggak bakalan kaya kau dari main itu, ucap pria itu lagi sembari menepuk-nepuk pundak salah seorang driver Ojol yang lain, yang sedang asyik bermain hape seperti yang sering dilakukan Bang Diki di rumah.
Selow saja bos, pokoknya setoran untuk orang rumah aman, jawabnya cuek.
Iya, sekarang masih aman, karena belum ketahuan, ucap pria itu lagi.
Aku jadi penasaran, apa sebenarnya yang sedang mereka bicarakan. Setelah merasa agak tenang, aku mendekati Uni Anik yang sedang berada dibelakang. Aku ingin mencari sumber informasi darinya. Sebenarnya, apa yang sedang mereka lakukan di sini.
Sebenarnya, nggak enak sama Diki kalo Uni kasih tau, ucap Uni Anik setelah kutanya, apakah dia tau uang yang biasa Bang Diki pinjam itu dia pergunakan untuk apa.
Sudah. Nggak usah takut, Uni. Toh, bang Diki juga nggak tau kalo Uni yang ngasi tau. Aku memujuknya agar mau bicara.
Bener, ya. Jangan bilang Uni yang ngasi tau. Uni Anik menatapku serius.
Iya, Uni.
Sebenarnya, Diki itu ikut-ikutan main judi online, ucap Uni Anik setengah berbisik agar tidak terdengar oleh yang lain. Lihat itu! Orang itu juga pada main semua di sini, makanya jadi malas narik. Maunya main itu saja sampai malam, sampai nggak ingat waktu. Uni Anik memberikan kode dengan dagu dan matanya menunjuk ke arah abang-abang Driver Ojol yang pada santai bermain hape masing-masing.
Kalo kamu mau tau, pergi duduk saja dekat mereka! Kamu lihat apa saja yang sedang mereka lakukan. Perintah wanita paruh baya itu padaku.
Aku pun menuruti perintahnya dan bergabung kembali dengan para driver yang lain. Sengaja aku duduk di dekat salah seorang dari mereka yang terlihat paling serius menatap layar hape itu. Setelah lama mengamati, akhirnya aku sedikit mengerti dan baru menyadari bahwa aplikasi yang sedang mereka mainkan itu ada juga di layar hape Bang Diki yang aku bawa.
Ternyata, kepala-kepala dan calon kepala rumah tangga yang sedang berkumpul disini sudah banyak yang kecanduan judi online. Sehingga merusak outak dan pikiran mereka. Sehingga mereka lupa diri dan tidak ingat lagi akan tanggung jawab kepada anak dan istri. Mereka lupa bahwa mereka sudah memiliki keluarga yang butuh untuk dinafkahi.
Pantas saja akhir-akhir ini bang Diki terlihat cuek sama keluarga. Ternyata outak dan pikirannya sudah rusak parah karena pengaruh permainan itu rupanya. * Sudah tiga hari aku tidak pulang ke rumah. Malas jika harus bertemu sama laki-laki itu lagi. Untuk apa juga punya suami, kalau kita sendiri yang harus ikut turun tangan banting tulang buat nyari uang. Lebih baik uangnya aku nikmati sendiri saja dengan anak serta ibuku, dari pada harus ikut bayarin hutangnya dia.
Heh, lont*. Kemana aja kau? Apa nggak ada outak kau mikirin orang kelaparan di rumah, ha? Bentak Bang Diki saat aku baru saja sampai di basecamp tempat kami biasa nongkrong.
Aku sangat terkejut dengan keberadaannya di sini. Jantungku tiba-tiba saja berdebar kencang dan sekujur tubuhku terasa bergetar hebat. Seluruh persendianku terasa kaku dan sepertinya aku kehilangan banyak tenaga, saking takutnya.
Sejurus kemudian, dia datang mendekatiku dan langsung menempeleng kepalaku dengan sangat keras. Seketika itu juga, aku jatuh tersungkur dari atas motor yang belum sempat aku parkir. Aku menangis histeris saat motor yang kutunggangi tadi ikut jatuh menimpa tubuhku.
Mamp*s kau, kan! Geram kali aku nengok kau. Kalau di rumah tadi, udah tamat kau kubuat.
Sempat kudengar dia berkata kasar mengumpatku seperti itu sembari mengangkat motor yang menimpaku. Lalu merampas hape miliknya yang aku bawa kemarin beserta dengan ransel yang aku kenakan. Karena hape miliknya memang masih berada dalam ransel itu, serta beberapa lembar uang merah hasil pencarianku selama tiga hari ini ikut dia bawa kabur juga semuanya.
Aku hanya bisa menangis sesenggukan setelah mendapat perlakuan kasar darinya. Entah setan apa yang telah merasukinya hingga nekat berbuat kasar seperti itu di depan umum. Karena masih pagi, belum banyak Driver Ojol yang datang. Hanya ada beberapa orang saja yang sempat melihat kejadian itu. Tapi, karena kejadiannya sangat cepat berlalu, sehingga mereka hanya menonton dari kejauhan saja.
Aku merasa sedikit kecewa karena tidak ada satu orangpun yang datang menolongku tadi. Akan tetapi, aku lebih sangat kecewa lagi saat melihat sendiri perilaku yang Bang Diki tunjukkan itu, yang sudah tega membegal istrinya sendiri.
Aku benar-benar sangat kecewa padanya. *****(7) Minggat ke Rumah Ibu Kenapa, Kak? Barulah seseorang datang menghampiriku yang masih terduduk lemah di depan warung nasi padang uni.
Kakak nggak kenapa-napa kan? tanyanya lagi sembari mengulurkan tangannya untuk membantuku agar bisa bangkit.
Kenapa Bang Diki tadi? ucapnya lagi, saat pertanyaannya yang pertama dan yang kedua tadi belum sempat ku jawab.
Aku hanya menggelengkan kepala saja tak menjawab satupun pertanyaan yang dia lontarkan. Lagipula, aku sendiri nggak tahu apa yang harus aku bilang untuk menjawabnya.
Dari tadi malam dia nyariin kakak kesini. Katanya, kakak larikan motor sama hapenya. Apa benar kek gitu, Kak? tanya laki-laki yang sedang mengenakan jaket berwarna hijau muda itu lengkap dengan helmnya penasaran.
Apa? Dari tadi malam Bang Diki mencari aku kesini? Kenapa dia nggak langsung aja datang ke rumah ibuku untuk menemuiku. Bukankah dia tahu kalau aku menginap di sana.
Naik apa dia ke sini, Bang? tanyaku berbasa-basi. Merasa tidak enak karena dari tadi hanya banyak diam nggak merespon ucapannya.
Ada kawan dia yang bonceng, Kak. Aku pun nggak kenal. Bukan kawanan yang biasa nongkrong disini.
Oh.
*
Aku sampai di rumah ibuku setelah diantar abang yang tadi. Namanya Riko, itupun aku baru tau karena dia yang bilang tadi ditengah jalan. Sewaktu di sana tadi, dia menawariku untuk mengantarkan aku pulang. Entah itu tulus atau ada maksud dan tujuan tertentu aku pun nggak tau. Tapi, karena aku juga lagi butuh tumpangan dan ingin segera pulang, jadi aku terima saja. Lagipula, nggak enak juga rasanya kalau harus menolak tawaran dari orang jika kita sendiri lagi butuh. Itu jual mahal namanya.
Tapi sebenernya orangnya sih asik, ramah dan banyak cakap juga. Katanya dia masih lajang, padahal aku nggak ada nanya. Katanya juga kalau cewek-cewek cantik banyak yang ngejar-ngejar dia, tapi dia tolak. Katanya nggak seru kalau pacaran sama anak abege, tantangannya kurang gede. Entah apa maksudnya. Menurutku sih, orangnya agak aneh juga pemikirannya.
Kok pulang kau, Ra? Mana motormu? Ibu keluar dari rumah dan langsung menanyaiku dengan raut wajah cemas.
Kenapa kau pincang? Jatuh kau? tanyanya lagi saat melihat aku jalan terpincang-pincang.
Aku menggeleng untuk menjawab pertanyaan yang terakhir saja. Aku juga masih tidak percaya apa yang baru saja terjadi menimpaku, rasa-rasanya malah seperti mimpi disiang bolong.
Mana motormu? Ibu mengulang pertanyaannya kembali.
Dibegal, jawabku asal.
Ha, siapa yang membegal kau? Dimana kau dibegal? Udah dilapor polisi? Ibuku terlihat sangat khawatir dan memberondongiku dengan banyak pertanyaan. Sebenarnya aku nggak bermaksud membuatnya panik seperti itu. Tapi, karena dia terus bertanya, aku asal jawab saja. Apalagi, hatiku juga masih kesal banget gara-gara si Monyet itu. * Setelah hatiku agak tenang, barulah kuceritakan kejadian yang sesungguhnya pada ibu. Mendengar ceritaku, ibu sangat marah saat mengetahui anaknya dianiaya seenak jidatnya saja, apalagi di depan umum .
Kalau nggak sanggup dia ngasi makan kau lagi, bagus-bagus dipulangkannya kau ke sini. Ngomong muncungnya itu, sudah nggak sanggup lagi dia mencarikan makan untuk kalian. Biar kutampung. Masih sanggup lagi aku mengasih makan untuk anak dan cucuku. Masih kuat aku. Jangan pulak main pukul-pukul saja dia. Ibu terlihat berang dan ngomel-ngomel sendiri. Aku pun nggak tau dia marah pada siapa. Setidaknya aku agak tenang sedikit, sebab kali ini aku merasa dapat pembelaan dari ibu dan tidak menyalahkan aku lagi seperti yang sudah-sudah.
Jangan kalian buka nanti pintu kalau dia datang kemari ya! Kalian kunci aja rumah dari dalam kalau dia nekat datang kesini. Jangan kau kasi si Riki keluar-keluar rumah. Diculiknya nanti anak kau itu. Pesan ibu sebelum dia berangkat bekerja.
Aku menarik napas lega setelah memastikan semuanya aman dan terkendali. Pintu sudah kututup rapat dan menguncinya dengan kuat. Biarlah untuk beberapa hari ini, aku rehat sejenak sambil memikirkan langkah apa yang harus aku ambil untuk ke depan. Yang paling penting adalah aku harus benar-benar bisa memastikan keluar dari rumah itu dan tidak akan kembali lagi ke sana bagaimanapun caranya.
Aku benar-benar sudah muak hidup dengannya. Ini saatnya bagiku untuk hidup bisa bebas tanpa terikat oleh apapun. Aku harus bisa membahagiakan orang tuaku di usia senjanya dan mencukupi kebutuhan Riki untuk masa depannya. Aku harus bisa benar-benar bangkit setelah ini.
Bunda, kaki bunda kenapa? Riki datang menghampiriku saat sedang mengolesi luka bakar di kakiku dengan salep antiseptik.
Nggak kenapa-napa sayang.
Nggak kenapa-napa, Bunda?
Nggak sayang.
Bunda kok nggak kerja?
Bunda udah pulang sayang.
Udah pulang?
Iya.
Kok nggak bawa eskrim?
Tiba-tiba saja air mataku jatuh begitu saja mendengar pertanyaan polos darinya. Bagaimana aku bisa membelikannya eskrim lagi, sedangkan semua uangku ada dalam tas yang telah dirampas bapaknya.
Bunda kok nangis? Dia menatap wajahku lekat-lekat dengan sorot mata berkaca-kaca.
Nggak sayang, Bunda nggak nangis kok.
Tapi, mata bunda berair.
Iya, tadi mata Bunda kemasukan debu, jadi berair, jawabku beralasan sambil menyeka air mataku yang jatuh.
Kalau matanya berair, itukan menangis namanya, Bunda, ucapnya lagi dengan polosnya. Kaki Bunda sakit ya, makanya Bunda menangis?
Iya, kaki Bunda sakit. Dia mengamati gerakan tanganku yang masih mengoleskan salep luka bakar di kakiku itu dengan lembut sambil menahan perih.
Sini, biar Riki embus! Kemudian, dia meniup-niup kakiku itu dengan mulut mungilnya. Baik budinyalah anak lajang bunda ini. Setidaknya, melihatnya perhatian seperti ini saja, rasa sakit yang ku derita kini jauh berkurang. Tapi, aku akan selalu mengingat perbuatan Bang Diki ini yang sudah sampai hati menggoreskan luka padaku. Tidak hanya di hatiku, tetapi juga di tubuhku. Aku akan selalu mengingat ini sampai mati. * Jadi Kakak pulang? Biar Aldi temani.
Nggak apa-apa Dek, kalau kita cuman berdua saja? Takutnya kalau dia ngamuk lagi, gimana?
Nanti Aldi ajak teman Aldi. Sekalian minjam becaknya.
Oh, ya udah. Sekarang ajalah kalau begitu. Biar Riki ada yang jagain.
Sebentar ya, Kak! Aldi jemput teman Aldi dulu.
Bawa aja semua apa saja yang bisa dibawa nanti dari sana kalau kau memang nggak mau lagi tinggal disitu! Sayang, busuk nanti barang kamu tuh disitu. Aku hanya mengangguk mendengar nasehat ibu.
Walaupun masih merasa agak trauma dengan kejadian kemarin, tetapi mau nggak mau aku harus kembali ke rumah kontrakan buat mengambil pakaianku dan pakaian Riki yang masih tertinggal. Apalagi, ibu juga sudah mengizinkan kami untuk tinggal lama di rumahnya sebelum Bang Diki datang menjemput dan meminta maaf pada ibu. Ibu juga bilang akan meminta persyaratan berupa surat perjanjian di atas materai kalau Bang Diki benar-benar menginginkan kami berkumpul lagi.
Aku terkejut saat sampai di rumah kontrakan setelah melihat pamflet yang bertuliskan rumah ini disewakan di pajang di depan pintu. Bukankah rumah ini masih menjadi hak kami karena masa jatuh tempo masih lama?
Aku celingak-celinguk melihat kesekeliling, ingin bertanya pada tetangga sekitar sini. Kenapa rumah ini mau disewakan ke orang lain.
Eh, pindah kemana kamu rupanya? Kenapa barang-barang kamu masih banyak yang ditinggal?
Kebetulan sekali. Mak Anto, mantan tetangga sebelah datang menghampiri.
Aku tinggal di rumah Mamak, Buk.
Oh. Kemarin Buk Mariam datang kesini mau melihat rumahnya. Dia ngomel-ngomel karena isi dalam rumah kalian masih berantakan seperti kapal pecah. Sudah itu katanya, uang kontrakan kalian masih nunggak tiga bulan ya, sama dia? Haaa.... *****(8) Minder
Mulutku ternganga lebar setelah mendengar penuturan Mak Anto. Bukankah selama ini uang sewa rumah kontrakan selalu dibayar tepat waktu setiap bulan? Tapi kenapa bisa sampai menunggak seperti ini. Apakah uang yang aku kasi ke bang Diki itu dia habiskan juga untuk main judi? Aku semakin pusing saja memikirkannya.
Ya, uang untuk bayar sewa rumah biasanya dia berikan setiap seminggu sekali untuk aku simpan. Katanya takut habis kalau dia yang pegang. Tapi nyatanya apa? Dasar laki-laki tak berguna.
Setelah pintu dibuka, alangkah terkejutnya aku saat mendapati pakaianku berserak dimana-mana. Sedangkan perabot rumah tangga sudah tak ada lagi yang tersisa. Seperti kulkas, lemari dan tivi entah kemana rimbanya.
Kapan Bang Diki pergi dari sini, Buk?
Nggak tahu aku. Tapi pas tiga atau empat hari yang lalu, ada suara ribut-ribut dari sini kudengar malam-malam. Cuman nggak kami tengok langsung. Biasanya kan hampir tiap hari tiap malam kelen ribut disini. Kupikir kelen juga yang perang kemarin tuh, ucap Mak Anto santai seperti tanpa dosa mengatakannya.
Cepat-cepat aku memunguti pakaian yang berserakan dilantai itu dan memasukkannya dalam karung . Takut kalau yang punya kontrakan tiba-tiba datang memergoki kami disini dan meminta kekurangan uang yang belum disetor Bang Diki itu kepadaku. Pakai apa aku akan membayarnya. *
Kok lama Mamak pulang? tanyaku pada ibu saat dia pulang kerja agak terlambat hari ini. Biasanya pukul dua belas siang dia sudah berada di rumah, tapi kali ini sudah hampir jam dua siang dia baru sampai.
Tadi disuruh Buk Atin nyetrika pakaian saja sekalian biar sore nanti nggak usah masuk lagi. Soalnya, Buk Atin mau pergi, ada pengajian di tempat Buk Paimah, jawab ibuku.
Buk Paimah? Aku seperti nggak asing sama nama itu. Seperti sering juga mendengar namanya . Tapi aku lupa siapa.
Iya, Paimah yang pernah tinggal disini dulu. Mamaknya si Melly loh! Masak kau nggak ingat? Kata ibuku lagi.
Aku mencoba mengingat-ingat.
Oooohhh, Melly yang cengeng itu ya Mak, yang sering dicagil sama anak laki-laki itu?
Aku baru ingat. Dia itukan dulu orangnya cengeng sama jorok juga. Makanya dia sering dijadikan bahan bulian sama anak laki-laki kalau lagi bermain. Apa ya, kabarnya sekarang?
Iya. Tapi cantik kali dia sekarang. Kulitnya putih bersih, rumah mamaknya pun yang besaran dibangunkannya di sana. Tadi aja orang itu datang ngundang, naik mobil baru mamak tengok. Baru beli mobil orang tuh mamak rasa. Ini aja pun ngundang mau sedekah pengajian Mamak sama Ayahnya mau diumrohkannya. Beruntunglah orang itu punya anak seperti itu, ucap ibuku panjang lebar membanggakan anak orang.
Sedih rasanya hatiku saat mendengar dia memuji dan menyanjung-nyanjung anak orang seperti itu. Bukannya merasa iri sama rezeki orang lain, akan tetapi siapa juga anak di dunia ini yang nggak kepengen sukses dan dapat membahagiakan hati orang tuanya. Aku juga manusia normal yang ingin dianggap dan disanjung seperti itu. Tapi apalah dayaku, yang belum bisa membahagiakan hidupnya. Sedangkan saat ini saja pun, aku dan anakku masih jadi tanggungannya.
Ikutlah kau nanti ke sana, tanya-tanya kerjaan sama dia, mana tau ada. Daripada disini, apalah yang mau kau kerjakan. Nggak terasa nanti anakmu sudah besar, mau masuk sekolah, beli buku, seragam dan macam-macam. Kalo kau kerja' kan, dapat sedikit-sedikit kumpulin untuk anak kau. Anak kau itu saja yang perlu kau pikirkan. Kalo aku tak usah pala kau pikirkan, sebentar lagi matinya aku, ucapnya lagi.
Ya Allah, sakitnya diberi petuah seperti ini. Dadaku terasa sesak mengingat harus berpisah dari Riki yang masih kecil. Apakah aku sanggup meninggalkannya untuk pergi jauh ke rantau orang dalam kurun waktu yang lama atau tidak? Tapi seperti yang ibu bilang, kalau aku nggak segera bekerja dan ngumpulin uang untuk masa depan Riki, nanti dia besar mau jadi apa? aku nggak mau nasibnya berakhir tragis sama seperti nasibku. Apalagi, dia anak laki-laki yang harus bertanggung jawab pada keluarganya kelak. Jangan seperti bapaknya yan unfaedah itu.
Tak terasa, air mataku lolos begitu saja. Lama aku tepekur merenungi nasib sendiri. Merenungi masa depan yang masih samar-samar terlihat. Aku memegangi dadaku yang semakin sesak sehingga sulit rasanya untuk bernapas.
Lebih baik kau menangis sekarang, daripada kau menangis dimasa depan, kata ibuku menguatkan. *
Kami sampai di depan rumah Melly setelah beberapa kali muter-muter naik becak karena nggak tau alamatnya. Ternyata, apa yang ibu bilang itu benar. Rumahnya besar dan terlihat mewah.
Sebenarnya, aku merasa minder dan deg-degan ingin bertemu dengannya. Apalagi, sekali bertemu langsung mengemis ingin minta pekerjaan. Tapi, rasa gengsi itu segera kubuang jauh-jauh untuk masa depan anakku. Apalagi pagi tadi kata ibu, dia juga menanyakan kabarku. Berarti dia juga masih ingat sama aku walaupun sudah sejak lama kami nggak pernah komunikasi sama sekali.
Sebelum berangkat tadi, aku juga sudah mencoba stalking-stalking akun media sosialnya untuk kepoin pekerjaannya apa. Tapi aku nggak menanyakan apapun, karena kurang enak saja rasanya jika harus komunikasi lewat online perihal seperti itu.
Betewe terlihat dari medsosnya memang kehidupannya bisa dibilang mewah. Dia sering membagikan foto-fotonya di hotel bintang lima dan juga jalan-jalan ke luar negeri. Makan di tempat-tempat elit dan berpakaian modis. Makanya aku sangat grogi dan merasa rendah diri mengingat aku nggak punya apa-apa untuk dibanggakan. Apakah ada lowongan pekerjaan untukku nanti di sana?
Eh, Yara. Ayok sini masuk! serunya saat melihat kami yang sedang kebingungan mau duduk dimana. Soalnya acaranya nggak tau di dalam rumah atau di halaman yang ada tendanya.
Udah lama kalian sampai, tanyanya lagi sambil menyalami kami.
Baru aja. Tadi sempet nyasar juga.
Loh, kok bisa. Kan ada google maps! ucapnya ramah.
Aku hanya cengengesan merasa malu karena nggak punya hape lagi. Tadi saja minjam hapenya_Ambang_Adikku buat ngepoin akunnya dia.
Ada sih, kalau kamu mau. Tapi beda tempat sama aku. Kalau aku sekarang penempatannya di hotel. Kalo dulu ya, dari kafe juga. Baru ditarik ke hotel, ucapnya menjelaskan setelah kutanya apakah ada lowongan.
Tapi kamu jauh banget ya, berubahnya dari dulu. Sampai aku pangling loh tadi melihatnya. Aku mencoba berbasa-basi untuk mencairkan suasana. Karena dari tadi aku merasa tegang saat bicara sama dia. Kalau dia sih terlihat biasa dan santai saja seperti sudah biasa bicara dengan banyak orang. Entah pun karena sekarang dia merasa sudah memiliki segalanya, makanya rasa percaya dirinya meningkat, atau karena akunya saja yang kurang pede dan merasa minder sendiri. ****(9) Dapat Kerjaan
Biasa aja kali Ra, ucapnya sungkan. Oh iya, kamu udah vaksin kan? Biar minggu depan kita tinggal berangkat aja.
Aku mengangguk. Udah kok, Mel!
Sebenarnya tadi, dia bilang belum ada lowongan saat kutanya untukku. Tapi, karena sudah terlanjur malu, aku sekalian curhat saja sama dia tentang derita hidup yang sedang aku jalani. Mana tau dia merasa kasihan dan berubah pikiran setelah mendengar ceritaku. Dan alhamdulillah cara itu ternyata jitu.
Tunggu ya, aku tanya sebentar sama temen aku yang di kerjaan lama. Mana tau masih butuh orang, ucapnya dengan wajah prihatin melihatku. Lalu pergi sebentar untuk menghubungi temannya. Dan ternyata lowongan itu ada. Rezeki anak sholehah.
Setelah pengajian selesai, kamipun keluar dari kamar dan melanjutkan perbincangan di ruang tamu. Kali ini kami ditemenin sama ibu dan ibunya Melly juga. Sedangkan tamu yang lain sudah pulang semua.
Untuk apalah nikah terlalu muda kalau akhirnya berpisah juga. Anak malah sudah ada. Kasihan. Bagus seperti si Melly ini, nggak mau dia nikah cepat-cepat kali katanya, karena dia mau membahagiakan orang tua lebih dulu. Baru nanti nikah belakangan. Kau tengoklah sudah berhasil dia sekarang. Sudah sukses dia. Bos kerjanya sajapun sayang kali sama dia. Selama disini saja pun dia, setiap hari ditelepon sama Bos besarnya dari sana nanyakin kapan balik kerja lagi. Bawa hoki si Melly ini kata orang itu. Kalau si Melly pulang kampung begini, sepi hotel itu nggak ada tamu yang menginap. Bu Paimah dengan bangga menyanjung-nyanjung anaknya.
Kulirik Melly, sekilas hanya tersenyum kepadaku. Dia hanya ikut mendengarkan celoteh ibunya yang menurutku terlalu berlebihan. Tapi karena aku sedang butuh sama anaknya, aku dengerin saja apa yang ingin dia katakan. Biar hatinya senang dan mempermudah langkahku untuk merubah nasib di kampung orang bisa berjalan dengan mulus.
*
Jangan ambil hati ucapan Mamak kemarin itu ya, Ra! ucap Melly saat kami dalam perjalanan. Mamak memang gitu kalau cerita sama orang, lebay banget, suka melebih-lebihkan.
Aku hanya tersenyum tipis menanggapinya. Kalau dia malu diomongin ibunya seperti itu, kenapa nggak ditegur saja langsung kemarin. Kenapa dia diam saja. Pasti dia juga merasa bangga disanjung seperti itu.
Sebenarnya, Mamak itu hanya ingin mengangkat derajatku saja di depan orang-orang , dia ingin orang-orang memandang aku ini wanita sempurna dimata mereka. Dia selalu ingin melindungiku agar tidak direndahkan lagi seperti dulu. Kau tau, Ra! aku sempat kena mental karena bullyan itu. Melly bicara serius, sorot matanya terlihat sendu olehku. Makanya, sekarang aku tau siapa yang tulus sayang padaku. Dari itu, aku akan melakukan segala-galanya untuk mereka agar mereka semua bahagia. Kau tau Ra, siapa mereka itu? Aku menggeleng. Mereka itu keluargaku. Aku akan melakukan apapun untuk membuat mereka selalu bahagia. Apapun itu, ucapnya penuh dengan keyakinan.
Aku agak terkejut juga mendengar pengakuan darinya. Pantas saja waktu itu mereka memutuskan untuk pindah dari kampung kami ke tempat yang mereka tinggali sekarang. Tapi, lihatlah sekarang korban bullyan ini. Dia bisa melewatinya, dengan bangkit dan tumbuh besar menjadi gadis yang cantik serta jutawan juga. Aku sangat kagum dengan semangat juangnya. Aku berharap bisa belajar banyak darinya kelak.
Ra! Kamu sudah pernah naik pesawat sebelumnya? Aku menggeleng. Jangankan naik pesawat, naik mobil pribadi pun aku sangat jarang-jarang sekali.
Apa kamu pernah bercita-cita ingin menjadi orang kaya? Aku juga menggeleng, bahkan untuk memimpikannya saja pun rasanya aku kurang pantas. Malu sama keadaan.
Jadi orang kaya itu ternyata nggak mudah, Ra! Terlalu banyak godaannya. Apalagi bagi kaum laki-laki. Makanya sampai saat ini aku enggan menikah walaupun Mamak sudah selalu mendesak. Aku hanya nggak mau disakitin lagi sama laki-laki.
Benar seperti apa yang dia katakan. Aku sendiripun masih merasa trauma sama yang namanya suami. Masih merasa terpukul dan sakit hati pada Bang Diki. Dan sekarang, aku juga nggak tau status kami apakah masih suami istri atau tidak. *
Ini Mi! yang Amel ceritain kemarin. Melly memperkenalkanku pada seorang wanita yang kelihatannya sudah berumur, saat kami baru sampai di tempat tujuan.
Kulihat bibirnya yang merah merona karena tebalnya gincu, membulat, memandangi tubuhku dari atas sampai bawah secara detail. Jelas aku merasa malu dan sangat gugup saat diperhatikan oleh orang lain dari jarak sedekat ini.
Ya udah, kamu naik aja dulu keatas untuk istirahat. Besok kamu baru mulai kerja. O iya, nama kamu tadi siapa?
Namaku Yara, Buk!
Yara?
Iya, Buk, jawabku gugup dan hampir menangis. Seumur-umur aku belum pernah interview dengan seseorang seperti ini. Aku benar-benar sangat gemetaran sekali.
Jangan panggil saya ibuk. Kamu panggil saja saya Mami!
Iya, Mi! Aku masih gugup.
O iya, satu lagi. Nama kamu diganti saja kalau lagi kerja!
Ha, nama aku di ganti? Buat apa? *
Aku berbaring di atas kasur yang disediakan oleh perusahaan di lantai paling atas. Dari lantai dua tadi, aku melihat banyak sekat kamar disini seperti tempat kos-kosan. Kalau di lantai bawah seperti sebuah kafe tempat orang ngopi atau nobar, mungkin. Tapi suara musiknya sangat keras, terdengar sampai ke lantai atas.
Sebenarnya aku merasa penasaran dengan pekerjaanku disini itu apa. Tapi aku juga takut untuk turun ke bawah karena belum kenal dengan karyawan yang lain. Jadi, aku memutuskan untuk rebahan di kamar saja walaupun perutku sudah terasa lapar.
Mbak! Mbak! Terdengar panggilan dari luar dengan diiringi suara ketokan pintu.
Cepat aku bangkit dan membukakan pintu untuknya, agar dia bisa masuk.
Ini Mbak, makan malam untuk Mbak! ucap seorang gadis muda sembari menyodorkan nampan berisi makanan.
Aku segera menerimanya dengan senang hati dan senyuman termanisku. Terima kasih ya Mbak! ucapku kembali padanya.
Dia juga tersenyum manis dan kurasa lebih manis dari senyumanku tadi. Apalagi, wajahnya terlihat imut-imut sekali seperti boneka berbi. Wow aku merasa iri.
O iya ,Mbak. Habis makan nanti, Mbak disuruh turun sama Mami biar dikasi tau apa saja kerjaan Mbak buat besok malam!
Iya, Mbak. Nanti aku nyusul.
Setelah selesai makan, aku memberanikan diri untuk turun ke bawah melihat keadaannya seperti apa. Apalagi, ada alasan juga dengan berpura-pura membawa piring kotor. Lagian tadi juga sudah dipesenin buat turun. Jadi, ngapain takut.
Itu Mbak, Mami ada di depan, ucap seseorang menunjukkan posisi keberadaan Mami.
Aku pun berjalan keluar gedung untuk menemui Mami yang sedang duduk berjejer dengan karyawan lain menunggu tamu datang. Perasaanku mulai tidak enak saat melihat suasana tempatku akan mengais rezeki ini. Tempat ini bukan seperti kafe-kafe pada umumnya, akan tetapi lebih mirip seperti tempat hiburan malam yang sering dirazia Satpol PP di tivi-tivi apalagi saat menjelang bulan ramadhan.
Apakah aku telah dijual dan akan dijadikan sebagai wanita penghibur ditempat ini? Jantungku kembali berdebar-debar membayangkan hal buruk dipikiran. Apakah aku sudah tertipu?
Mamak, tolongin Yara Mamak! Yara pengen pulang. *****(10) Tertipu dan PasrahMami tersenyum ramah menyambut kedatanganku. Kemudian, dia mempersilahkan aku duduk di sebelahnya untuk bergabung dengan yang lain.
Ini anak barunya! Namanya Yara, dari medan, katanya memperkenalkanku ke teman-teman lain yang rata-rata cewek semua.
Orang Medan ya! Satu kampung dong, sama si Mellow! seru salah seorang dari mereka.
Iya, ini temennya si Amel. Dia yang bawa kemari, ucap Mami sebelum sempat kujawab. Kulihat wajah mereka berubah sinis menatapku. Seperti nggak suka dengan kehadiranku di sini.
Satu kampung! Jangan-jangan sudah join nih sama si Mellow, cibir yang satu lagi.
Karena merasa dikucilkan oleh mereka, aku berinisiatif untuk berkata jujur saja. Bahwa aku dan Melly hanya teman lama, dari pada nggak ditemenin sama mereka nanti. Sepertinya, mereka nggak suka sama Melly, entah apa masalahnya. Lagipula, Melly kan nggak ada di sini, kurasa dia tidak akan marah. Sebagai anak baru, aku harus bisa menyesuaikan diri dengan mereka dan aku juga butuh teman.
Nggak kok, dia temen aku waktu kecil dulu. Tapi dia udah pindah dan udah lama banget nggak ketemuan lagi. Baru kali ini aja ketemuan lagi dan aku minta kerjaan sama dia. Tapi dia bilang nggak ada. Setelah aku lama memohon, sebab lagi butuh banget, baru dia mau ngasi.
Kenapa kamu tiba-tiba nanya kerjaan sama dia?
Kebetulan ada pengajian dirumahnya waktu itu, aku ikut sama ibu. Karena dia sudah sukses di perantauan, makanya aku pengen ikut juga. Entah kenapa, mulutku malah lancar bercerita semuanya pada mereka yang seharusnya nggak perlu aku ceritakan. Entah apa yang membuatku ingin berkata jujur kepada orang-orang ini, yang sama sekali belum aku kenal perangainya.
Dia bilang kamu mau dikasi kerjaan apa?
Kerja kafe.
Lagi?
Nggak ada, nanti kamu juga tau sendiri. Cuma itu yang dia bilang.
Kamu udah tau kita disini kerjaannya apa?
Aku menggeleng.
Kita tuh disini Bondon. Tau nggak Bondon?
Aku menggeleng lagi.
Bondon itu Lacur, Lont*. Kamu tau kan Lont*! sambung salah satu dari mereka, yang terlihat paling bar-bar dari paras wajahnya.
Seketika darahku berdesir mendengar perkataannya itu. Rasanya tubuhku seperti berguncang dan ingin pingsan. Aku sangat kecewa pada Melly yang sudah tega sekali menipuku. Kenapa dia tidak menceritakan dengan gamblang kemarin, kalau pekerjaan yang dia tawarkan itu seperti ini adanya. Setidaknya, aku bisa berpikir dua kali untuk ikut dengannya.
Aku menutup wajahku dengan kedua telapak tanganku. Tanpa kusadari, tiba-tiba saja air mataku sudah jatuh membasahi bumi. Aku sangat menyesali keputusan dan langkah salah yang telah kupilih. Ternyata, bayanganku selama ini hanya sebatas angan saja. Dan ternyata, kemewahan yang Melly dapatkan selama ini bukan dengan cara yang baik. Kenapa dia harus berbohong, menipuku dengan mengatakan kalau dia bekerja sebagai sekretaris di hotel itu.
Kasihan kamu Mbak, Mbak. Jauh-jauh datang kesini cuma jadi Bondon. Bukannya merasa kasihan, mereka malah mencibirku seperti itu.
Udah, udah kerja sana! Nggak boleh seperti itu sama anak baru, ucap Mami pada mereka. Melerai.
Biar Mbak ini tau aja Mi, kalau dunia itu kejam. Biasalah ya Mbak, namanya juga perkenalan. Biar Mbak nggak polos-polos amat jadi orang.
*
Aku kembali naik ke lantai atas. Tak lama kemudian, Mami datang menyusul masuk ke kamarku. Mungkin dia merasa nggak enak karena dari tadi aku hanya diam dan nggak merespon sama sekali apa saja yang mereka bicarakan. Aku benar-benar kecewa dan berniat ingin pulang.
Kalau kamu nggak mau melayani, kamu bisa menemani tamu yang minum saja. Nggak usah sampai ngamar segala, bujuk Mami padaku.
Sayang juga kan, kalau kamu pulang sekarang belum sempat kerja. Jadi nggak bisa bawa apa-apa, ucapnya lagi seperti sedang merayu, agar niatanku tadi kubatalkan.
Mami juga nggak enak sama Amel kalau sampai kamu pulang. Dia kan sudah nitipin kamu di sini sama Mami! Kamu itu sekarang jadi tanggung jawab Mami. Kalau sampai terjadi sesuatu nanti di jalan sama kamu, bagaimana?
Benar juga apa yang Mami katakan. Waktu datang kesini pun, aku yang mengiba meminta pada Amel agar mau membawaku. Tapi, setelah aku tahu semua keburukannya di sini, kenapa malah aku meminta untuk pulang. Bukankah itu akan jadi beban sendiri untuknya? Dimana aibnya sekarang ada di tanganku.
Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan? Jika aku tetap memaksa, mungkin Mami dan Amel tidak akan membiarkanku pergi dengan mudah. Mereka pasti akan berbuat sesuatu agar aku tidak bisa keluar dari tempat ini. Entah pun mereka akan menyekap dan menjadikan aku tawanan di sini. Aku benar-benar merasa ketakutan.
Bagaimana? Apakah kamu mau mengikuti saran Mami tadi? Mami menyentuh bahuku pelan. Jujur, aku sangat takut melihat gelagatnya. Jangan-jangan dia ingin...Aku bergidik ngeri.
Aku mengangguk pelan tanda setuju. Untuk sementara, aku akan bertahan disini dulu, menunggu mereka lalai dan aku bisa kabur melarikan diri. Ada baiknya aku menerima sarannya barusan sebagai pelayan minuman saja. Jika aku sudah punya uang, barulah aku akan pergi diam-diam. *
'Kak! ibu kos-kosan kakak datang lagi nih minta uangnya yang masih nunggak. Mamak juga belum ada uang. Jadi kami harus bilang apa?'
Untuk kesekian kalinya, adikku_Ambang_berkirim pesan. Mengatakan kalau sudah beberapa orang datang menagih hutang Bang Diki ke rumah ibu. Padahal, aku sendiri tidak tau Bang Diki minjam uang itu berapa, ke siapa dan di habiskan untuk apa.
'Bilang aja bulan depan baru kakak lunasin, Dek!'
'Ya udah, nanti Ambang bilang sama Mamak.'
Aku membanting ponsel ke atas kasur secara asal, merasa kesal sama kelakuan Bang Diki yang masih saja seperti itu. Anehnya, entah kenapa orang-orang yang dia pinjami uang itu malah datang menagih ke rumah ibuku. Bahkan kata adikku, mereka menagih sambil marah-marah dan membentak-bentak. Kasihan sama ibu, sudah tua harus di bentak-bentak orang asing seperti itu.
Kenapa, Ra? Ada masalah lagi? Tiba-tiba Mami masuk ke kamarku.
Aku hanya menggeleng, malu jika harus bercerita sama Mami lagi. Selama di sini, dia sudah sangat banyak membantuku. Bahkan, dia juga yang membelikanku ponsel ini waktu itu, karena aku nggak jadi pulang dan mau menuruti semua perkataannya. Entah apa alasannya dia memberiku hadiah seperti itu.
Kalau ada masalah lagi, cerita aja sama Mami! Nggak usah sungkan. Anggap saja Mami ini sebagai pengganti orang tua kamu di sini. Nanti, kalau kamu sudah cerita, biar kita cari bareng-bareng jalan keluarnya! Dia duduk tepat di sampingku.
Aku yang sudah tidak tau lagi harus berbuat apa, akhirnya menyerah juga.
Yara perlu uang lagi, Mi. Yara sudah siap untuk ngamar malam ini. ******Nextnya ada di bawah! Tapi harus buka gembok dulu, ya!
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai
syarat dan persetujuan?
Laporkan