
Asep dan Ryan, dua orang sahabat yang berani memancing di danau angker. Bagaimanakah nasib mereka. Apakah mereka bisa pulang dengan selamat dari danau itu?
Akibat Tak Mau Mendengar Nasehat Orang Tua
"Bro, pulang yuk! Sudah sore, nih," seru Asep padaku yang masih asik menunggui joran pancing bergerak, karena umpan di sambar ikan.
"Bentar lagi, Bro. Nanggung, nih," jawabku, masih fokus mengamati pelampung yang mengambang di permukaan air danau yang bening.
"Takutnya kita kesorean, Bro! Entar jalannya gelap."
"Alah, bilang saja kau takut, Bro. Nggak usah cari alasan."
"Nggaklah. Kalau sama setan buat apa takut. Setan itu cuma mitos, karangan orang-orang tua dulu saja buat nakut-nakuti anak-anak mereka supaya jangan main di danau ini. Buktinya, kalau setan itu benar-benar ada di sini, kenapa aku nggak pernah melihatnya sama sekali."
"Memangnya kamu sering mancing di sini, Sep?"
"Wah, bukan sering lagi, Yan, tapi sudah hampir setiap hari aku mancing di sini."
"Lho, kenapa kamu nggak ngajak-ngajak, Bro."
"Kamu kan tiap hari kerja, Yan! Bagaimana aku mau mengajaknya. Orang jumpa aja jarang."
"Iya, ya."
Benar seperti yang di katakan oleh Asep, bahwasanya setiap hari aku memang bekerja. Jadwal libur hanya sebulan sekali, itupun aku pergunakan untuk berlibur atau berkumpul dengan keluarga. Sangat jarang sekali aku pergunakan waktu yang singkat itu untuk berkumpul dengan teman, atau menghabiskan waktu seperti ini. Di tengah hutan, di pinggir danau, memancing dari siang tadi, sebelum tengah hari, hingga kini baru mendapatkan beberapa ekor anak ikan yang masih kecil. Menyesal, iya. Ada rasa sesal di hati saat istriku tadi melarangku untuk pergi.
"Buat apa pergi mancing, Mas. Lebih baik waktunya di pakai untuk istirahat di rumah. Kalau Mas Asep itu nggak usah Mas turut-turutin. Dia masih lajang, pengangguran, nggak punya tanggungan sama sekali. Jadi, dia bisa bebas mau ngapain saja." Istriku mengomel ketika tau aku akan pergi memancing bersama Asep.
"Bentar aja lho, Ma. Sesekali nggak apa-apa lah ya, Mas pergi bergaul dengan mereka."
"Bukannya Mama melarang Mas bergaul dengan mereka. Tapi tempat yang akan Mas datangi itu kan danau angker. Sudah banyak cerita mistis yang terdengar dari sana asalnya. Sudah tahu tempat angker kenapa mesti di datangi juga. Apa Mas nggak takut bahaya, apa?" ucap Wulan, mengingatkanku.
"Ah, nggak apa-apalah. Jika kita nggak melihat langsung, untuk apa langsung percaya begitu saja. Bisa saja kan itu hanya karangan orang saja."
Aku memang tak begitu yakin dengan hal-hal yang begituan, sebab aku belum pernah melihatnya langsung dengan mata kepalaku sendiri seperti apa bentuknya.
Tapi, kalau untuk cerita, aku sudah sering mendengar dari mulut ke mulut, termasuk tentang keangkeran tempat ini. Namun, setelah kami sampai di sini, ternyata tempat ini tak seseram apa yang orang omongin selama ini.
Tadinya kami berangkat enam orang dengan mengendarai tiga motor berboncengan. Namun, empat orang teman kami sudah pulang duluan. Entah kenapa, hari ini ikannya kurang galak. Padahal, menurut kelima temanku tadi, salah satunya Asep, biasanya ikan disini galak-galak. Begitu umpan di lempar mengenai air, langsung strike.
Namun kali ini, sudah hampir magrib, mata kailku tak tersentuh sedikit pun.
"Oke. Kalau Mas maksa ingin pergi juga, silahkan! Wulan nggak melarang. Tapi, jangan pulang jika tidak mendapat hasil pancingan ya." Ancam Wulan ketika aku tetap ngotot ingin pergi. Aku dan teman-temanku sudah merencanakan ini sejak malam tadi. Jadi, aku merasa tidak enak jika harus ingkar janji dan membatalkan semuanya. Nanti, apa yang akan mereka katakan padaku. Suami takut istri, begitu? Kan nggak keren.
"Yan, pancingmu di tarik, tuh." Asep mengagetkanku dari lamunan. Sontak aku menatap ke arah pancing yang aku letak di sebelah kiri. Jorannya sudah melengkung karena mendapat tekanan dari dalam air. Dengan cepat aku segera memainkan joran itu, dengan menarik dan mengulurnya secara perlahan. Belum ikan terangkat naik kepermukaan, joran yang satunya lagi kembali strike. Aku menoleh pada Asep yang berada agak jauh di sampingku agar dia membantuku untuk mengangkat pancing yang satunya.
Namun, Asep juga terlihat sibuk, memainkan joran pancingnya yang melengkung. Dari gerak-geriknya, dapat di pastikan jika ikan yang sedang memakan umpan itu cukup besar. Itu dapat dirasakan dari tarikannya yang sangat kuat sekali.
Tak terasa, hari semakin gelap. Aku berhasil mengangkat dua ekor ikan nila berukuran jumbo dari dalam danau. Sedangkan yang satunya lagi lepas, karena mata kailnya putus nggak kuat menanggung beban. Sedangkan Asep, berhasil mengangkat lima ekor ikan jenis Nila, ikan Mas dan ikan Gabus dengan ukuran jumbo pula. Jadi, kami berhasil mendapatkan tujuh ikan berukuran jumbo, dan beberapa ekor berukuran kecil.
Lumayanlah, ada oleh-oleh untuk dibawa pulang agar istriku tidak marah-marah. Seandainya hari masih terang atau kami membawa alat penerangan seperti senter misalnya, mungkin aku belum mau pulang. Masih ingin menikmati sensasi tarikan ikan dari dasar danau. Tarikannya, uiiihhh, seru. Tak ada duanya.
Setelah mengemasi barang-barang bawaan. Aku dan Asep segera pergi meninggalkan tempat itu. Hari sudah mulai gelap. Suara hewan liar terdengar nyaring di telinga, saling bersahut-sahutan, manandakan waktu mereka telah tiba untuk mencari makan.
"Cepat, Sep! Sudah gelap, nih," ucapku panik pada Asep agar dia bergerak lebih cepat untuk menyalakan motor. Mungkin karena terlalu lama ditinggal, mesin motor milik Asep dingin sehingga susah untuk dihidupkan. Berkali-kali Asep menyalakannya dengan cara di engkol, dan di starter, namun belum juga berhasil
"Mungkin bahan bakarnya abis, Sep! Coba dulu kamu periksa."
Asep membuka bagasi dan memeriksa tangki motor itu dengan cara menggoyang-goyangnya.
"Ada kok, Yan. Masih penuh."
"Jadi apanya yang bermasalah, Sep?"
"Itulah yang aku nggak tau, Yan."
"Coba periksa businya dulu. Mana tau basah terkena embun."
"Susah, Yan. Aku nggak pernah bawa-bawa kunci busi."
"Aduh, jadi gimana ini, Sep?" tanyaku semakin panik.
"Kita dorong aja dulu, Yan. Nanti kalau ada bengkel, baru kita periksakan."
"Ya udah. Ayolah gerak."
Aku mengajak Asep cepat untuk meninggalkan tempat itu, karena merasa sudah tidak enak. Rasanya seperti ada sesuatu yang sengaja mengerjai kami agar jangan pulang. Dia ingin kami lebih lama untuk tinggal di situ. Bulu kudukku terasa merinding, mengingat kembali ucapan Wulan pagi tadi, yang sempat ku bantah habis-habisan. Dan kali ini, cerita yang selama ini beredar, begitu terasa nyata.
"Sep, seperti ada yang ngikutin di belakang," bisikku pada Asep yang fokus melihat jalan dalam kegelapan.
"Jangan di lihat. Apapun yang kau dengar atau rasakan, jangan di lihat. Abaikan saja. Anggap seperti tidak ada."
Kami terus berjalan, namun semakin lama, suara telapak kaki seseorang semakin terdengar dekat di telinga, seperti seseorang yang sedang ikut berjalan di belakang kami. Sesekali, Asep menghentikan mendorong motor karena lelah, dan suara telapak kaki yang ada dibelakangku pun terdengar senyap, sepi.
Sebenarnya aku merasa sangat penasaran dengan sosoknya, namun mengingat ucapan Asep tadi, aku tak berani menoleh. Takut terjadi apa-apa. Jujur, ini yang pertama kalinya aku ikut memancing ke hutan ini.
Entah sudah berapa lama kami berjalan, hingga terlihat ada sebuah cahaya terang di depan sana.
"Itu sudah dekat kampung," ucap Asep, yakin.
"Iya, ya. Perasaan kampung masih jauh, Sep jika kita lalui dengan naik motor."
"Mungkin itu hanya perasaan kamu saja, Yan. Aku juga biasa begitu. Pas perginya terasa jauh sekali, begitu pulang malah terasa dekat sekali. Itu karena kita sudah tau kemana tujuan kita. Makanya terasa dekat."
Iya juga ya. Pikirku sambil mengingat-ingat kembali lokasi tempat ini.
Namun semakin mendekati ke tempat itu, rasa was-wasku semakin berkurang. Suara telapak kaki mengikuti yang ada di belakang tadi pun perlahan sirna. Aku menarik napas dalam, merasa lega. Akhirnya kami selamat juga.
Sesampainya di tempat itu, ternyata kami menemukan sebuah warung makanan. Di depan warung itu bertuliskan ' Warung Bu Ar. Buka dari pukul enam sore hingga pukul enam pagi.' Pantas sewaktu pergi tadi, aku tak melihat warung ini ada di sini.
"Bagaimana, Yan! Singgah kita?" tanya Asep padaku.
"Boleh, Sep. Lagian aku sudah lelah. Kita istirahat dulu, sambil ngopi-ngopi."
Kami masuk ke dalam warung setelah memarkir motor dipinggir jalan. Aroma wangi Indomie yang di iringi oleh suara wajan semakin membuat perutku lapar. Ku lihat daftar menu terpampang jelas menempel di dinding ruangan yang terbuat dari bambu sebatas dada.
Indomie Kuwah, sepuluh ribu.
Dan ada beberapa menu lainnya yang tersedia, dan semua menu itu memakai kuwah.
"Bik, aku pesan Indomie kuwah satu, ya!" seruku pada pemilik warung yang masih asik menggoreng di dalam sana.
Wanita paruh baya itu hanya mengangguk.
"Aku pesan Indomie goreng satu ya, Bik!" Kali ini, Asep yang pesan.
"Tidak menjual makanan yang di goreng , Nak! Yang ada hanya makanan yang berkuwah." Suara wanita itu terdengar seperti suara nenek-nenek yang sudah tua. Padahal kelihatannya dia masih muda. Kenapa suaranya serak begitu. Aneh.
Aku terus memperhatikan Buk Ar, merasa penasaran dengan wajahnya. Tak lama kemudian, seorang laki-laki tua keluar dari dapur dengan membawakan dua porsi Indomie kuwah. Jalannya agak terseret-seret saking tuanya, namun masih memaksa untuk bekerja.
"Minumnya apa, Nak?" tanya kakek tua itu.
"Ada kopi, Kek?"
"Ada. Itu minuman favorit di sini."
"Ya udah, Kek. Kami pesan dua."
Aku menyantap Indomie kuwah itu dengan sangat lahap. Suasananya juga sangat mendukung. Selain cuaca dingin, kami juga merasa lelah karena berjalan cukup jauh, mendorong motor yang mogok. Begitu juga dengan Asep, dia terlihat sangat lahap, menikmati hidangan yang rasanya sangat nikmat. Selama ini, aku belum pernah merasakan makanan senikmat ini. Enaknya bikin ketagihan.
"Ini kopinya, Nak." Si kakek meletakkan dua gelas kopi di dekat kami.
Aku langsung menyambar kopi itu dan segera meneguknya. Rasanya aneh, terasa hangat dan sedikit berbau anyir. Aku mencium tanganku sendiri, mengendus-endus apakah bau anyir itu berasal daei tanganku, bekas anyir ikan yang menempel.
"Banyak dapat ikannya, Nak?" tanya kakek itu pada kami.
Spontan, aku langsung menghentikan makanku. Merasa aneh, kenapa si kakek tau kami baru pulang mancing.
"Lumayan, Kek. Aku dapat lima ekor, gede-gede," ucap Asep bangga, memamerkan pendapatannya.
"Apa kalian tidak pernah dengar bahwa di sana dilarang untuk memancing ikan?" tanya kakek itu lagi.
"Pernah sih, Kek," ucap Asep menunduk.
"Jadi, kenapa masih nekat mancing di sana?"
"Nggak ada. Cuma iseng aja." Lagi-lagi Asep yang menjawab.
Sejenak aku menoleh kepada Asep dan melihat ke arah mulutnya, di sana terlihat Asep sedang menyantap segumpal cacing tanah yang masih segar, seperti baru di gali dari tanah. Berlendir. Seketika perutku terasa mual melihatnya, dan aku memuntahkan apa yang baru masuk ke dalam perutku kembali. Aku melihat segumpalan cacing tanah berjatuhan dari mulutku, masuk kembali ke dalam mangkok.
Sembari muntah-muntah, aku masih sempat mendengar si kakek berujar.
"Itu hukuman bagi kalian yang tidak mengindahkan larangan dari orang tua. Untung kalian bertemu dengan saya. Jika tidak, kalian akan mati jadi tumbal di hutan ini."
Dan setelah itu, pandanganku kabur dan dunia terasa gelap.
Aku baru sadar ketika berada di rumah sakit. Menurut Dokter yang menangani, aku terkena penyakit asam lambung. Menurut cerita istriku, bahwa aku menghilang selama satu minggu lamanya. Hingga tim SAR dan gabungan TNI-POLRI ikut membantu untuk mencari ke danau larangan, namun tidak juga ketemu.
Beruntung, ada seorang petani yang sedang mengarit rumput untuk makanan ternak melihat motor kami berada di dalam semak belukar. Setelah dia dekati, petani itu menemukan dua jasad di dekatnya. Dengan panik, sang petani tadi langsung melaporkannya ke warga sehingga warga cepat melaporkannya ke polisi.
Polisi datang ke tempat kejadian perkara, dan benar menemukan dua orang laki-laki yang sebelumnya di nyatakan hilang sejak seminggu yang lalu. Namun sayang, salah satu diantara mereka ditemukan sudah tidak bernyawa.
Aku menitikkan air mata ketika mendengar Wulan bercerita, dan memberitahu jika Asep sudah tiada. Itu semua murni karena kesalahanku yang tidak mau mendengarkan ucapannya dari awal, ketika mengajakku pulang. Aku benar-benar merasa menyesal karena tidak mau mendengarkan nasehat orang lain dan sekarang aku sendiri yang menanggung akibatnya.
******
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐ฅฐ
