Teman Cerita #CeritadanRasaIndomie

6
5
Deskripsi

Kesendirian Bina dalam menjalani kebingungan skripsinya, menghilang hanya dengan semangkuk indomie warung buatan Desi. Desi dan indomie adalah pernyataan tegas atas sifat alami manusia yang tidak akan bisa hidup solitaire. Teman cerita, dapat berbentuk apapun, melalu perantara se-sederhana semangkuk indomie.

Yang bisa membantu diri kita sendiri adalah diri kita sendiri. Aku mulai merasakan arti dari pepatah itu belum lama ini. Setelah sekian bulan berjuang dan berkutat sendirian dengan laptop dan revisi, mereka yang sedari semseter satu bergaul dan belajar bersamaku sudah lebih dulu sidang dan bekerja. Solidaritas apanya? Aku bingung sendirian tidak ada yang bantu. Bahkan untuk sekedar menemani nongkrong seperti biasa saja mereka tidak punya waktu.

“Ya ampun duit sisa 150.000, masih seminggu lagi sampe bapak kirim uang bulanan” kataku lesu sambil melihat isi dompet. “ke warmindo akang aja deh”.

Warmindo akang ini selalu jadi tempat favorit kami nongkrong selepas kelas. Tidak ada yang istimewa. Sebuah bangunan kayu dengan meja kecil panjang didepannya. Bangkunyapun hanya bangku plastik tanpa senderan. Hanya jual indomie, bubur kacang hijau, roti bakar dan aneka minuman. Hanya saja warmindo selalu menjadi penyelamat bagi kami para mahasiswa rantau dalam menghemat uang bulanan. Lagipula aku tidak keberatan kalau harus makan indomie setiap hari.

“Kang kaya biasa ya” kataku sambil duduk melepas tas.

“Yang biasa itu apa a?” kata seorang perempuan yang membuatku langsung melihat ke arahnya.

“eh akang asep nya kemana?” tanyaku malu karena sudah pede kalau si akang yang akan melayani pesananku.

“pulang kampung a, istrinya sakit. Jadi mau pesan apa?” kata perempuan itu

“duh maaf nih teh agak panjang pesanannya. Indomie soto dobel, mienya jangan terlalu lodoh, pake telor setengah mateng, pake sawi sama cabe rawit dua. Trus minumnya es teh manis, gulanya sedikit aja.” Kataku menjelaskan pesananku yang rumit. Bahkan kang asep saja perlu beberapa waktu untuk membuat pesanan persis seperti yang aku mau.

Gadis itu memperhatikan pesananku dengan seksama. Setelah selesai aku bilang pesananku, dia langsung membuatnya. Yasudah aku mengeluarkan skripsiku yang penuh dengan coretan Pak Ridzki ke atas meja warmindo yang sempit itu. Seharusnya aku mencari judul yang mudah saja seperti Arya. Datanya mudah didapat, analisanya mudah dan pembuatan aplikasinya pun mudah. Memang tampak sederhana sekali, tapi dia sudah lulus sidang dengan mudah. Ah, seandainya aku tidak terlalu perfeksionis, mungkin aku juga sudah lulus sidang sekarang, bahkan mungkin sudah bekerja sambil menunggu wisuda.

“Ini a” kata gadis itu sambil menyodorkan indomie pesananku. “kertasnya dimasukin tas dulu atuh a”.

“Oh iya teh” kataku sambil memasukkan kembali skripsiku ke dalam tas. “sini teh”.

Aku mengambil semangkuk surga dunia yang aromanya seketika menghilangkan pikiran skripsi dalam kepalaku. Gadis itu membawakan es teh pesananku sambil membawa semangkuk indomie lagi. Dari wanginya aku sudah tau kalau itu indomie goreng. Siapa orang yang tak mengetahui wangi indomie goreng? Aku yakin, bahkan orang yang mengidap anosmia pun akan tetap bisa mencium aroma indomie goreng.

“Ini es nya a, sekalian gabung makan bareng ya a” kata gadis itu sambil duduk disebelahku.

Aku baru sadar, gadis ini cantik. Rambutnya yang hitam panjang dengan jepitan yang menyingkap dahinya dari poni. Duh, bisa dingin mie ku kalau terus menatap dia. Aku memulai suapan pertamaku. Aku tidak begitu berharap sama pesananku saat ini, mungkin akan sedikit lodoh. Saat mie itu sampai dimulutku, ku kunyah, kaget aku dibuatnya. Kekenyalannya sesuai dengan pesananku seperti yang sering dibuat kang asep. Aku belah kuning telornya, mengalir kuning telur itu ke atas kuah indomie ku. Aku mulai menyantapnya dengan lahap. Benar-benar tidak ada yang salah dari pesananku.

Gadis itu memandangku dengan wajah ingin tahu dan bertanya,“Pas a?”.

“Hmm mm pas teh” kataku sambil mengunyah. “teteh makannya polosan gitu aja?”

“alhamdulillah kalo pas. Hehe iya a, lebih enak original kaya gini” kata gadis itu. “saya desi adiknya kang asep”. Astaga, baru sadar aku belum memperkenalkan diri. “oh iya saya bina.”

Kami bertukar cerita sambil menyantap makanan kami. Aku menceritakan tentang hubunganku dengan kang asep dan teman-temanku. Bagaimana skripsiku yang tak kunjung di setujui Pak Ridzki, juga teman-temanku yang sudah mulai sibuk. Desi hanya menyimak ceritaku dan membalas sesekali. Sudah lama aku tidak bercerita sebanyak ini. Rasanya seperti beban pikiranku hilang untuk sementara. Senang rasanya punya seseorang yang mendengarkan disaat seperti ini.

Aku kemudian kembali ke kos ku setelah selesai makan dan pamit ke Desi. Kini setiap aku selesai bimbingan dengan pak ridzki aku menyempatkan untuk datang ke warmindo akang. Kadang aku makan indomie, kadang bubur kacang ijo dan roti, bahkan kadang aku hanya datang membeli es teh. Pokoknya aku sempatkan datang walau sebentar, hanya untuk bercerita padanya. Kadang aku berpikir, rasanya indomie buatan desi lebih enak dari pada buatan kang asep. Tapi setelah kupikir lagi, aku rasa aku hanya sedang kasmaran.

Entah apapun itu, perasaan itu membuatku waras. Kini aku bisa menyelesaikan skripsiku. Pak Ridzki sudah menyetujui skripsiku dan bisa dijadwalkan untuk siding esok hari. Setelah bimbingan malam ini, aku mau makan sesuatu yang beda dari kebiasaanku. Berharap itu akan menjadi tanda bahwa statusku besok akan berubah. Ya, Aku akan makan indomie original, tanpa toping, cabe dan sawi. Hanya indomie apa adanya. Penasaran juga rasanya seperti apa.

“eh a bina, kaya biasa?” tanya desi.

“Ngga des. Indomie goreng aja satu.” Kataku sambil duduk dan memandangi desi.

“Telor?” tanya desi kembali

“Ngga” jawabku

“sawi? Cabe?” tanya lagi

“Ngga des. Mie goreng aja satu” jawabku

“Original?” tanya desi bingung

“Iya, original. Kaya kamu” jawabku

“ehh?” desi malu

Aku bingung kenapa dia malu. Kayanya aku tidak mengatakan hal yang aneh. Aku Cuma pesan mie original seperti yang biasa dia makan. Original kaya dia. Eh eh. Aku baru sadar. Original kaya kamu. Aku bilang gitu tadi?

“Ini a” desi menyodorkan indomie goreng itu dengan malu.

Aku menerimanya tanpa berkata apapun. Aku rasa aku harus mengoreksi omonganku tadi. Maksudnya indomie original seperti yang kamu makan. Tapi aku rasa aku akan mengacaukan suasananya. Toh entah kenapa aku juga merasa kata-kataku tadi cocok menggambarkan dirinya dan mewakili perasaanku padanya. Akhirnya kami hanya diam canggung. Aku menyantap indomieku, dia hanya melayani pelanggan lain.

Pukul sepuluh malam, warung sudah sepi pengunjung. Hanya tinggal kami berdua. Tidak mau ada kecanggungan yang lebih parah, akhirnya aku pamit pulang.

“Des aku minta doanya ya. Besok aku sidang skripsi.” Kataku

“Iyaa?? Wah semangat a, semoga Allah lancarkan semuanya dan lulus memuaskan sesuai harapan a Bina” kata desi mendoakanku dengan tulus.

“iya amiin” jawabku sambil mencari cari dompet di saku celana dan jaketku. “ lho dompetku mana?”

“coba cek di tas a” kata desi yang ikut membantu mencari di bawah bangku.

Aku mencari setiap kantong jaket, celana dan tas ku. Tidak ada. Aku rasa dompetku tertinggal di kos. Akupun baru sadar, seharian ini aku belum makan apa apa, hanya indomie yang desi buat. Makanya aku tidak mengeluarkan dompet untuk membayar apapun.

“aduh maaf des, kayanya ketinggalan di kos” kataku malu tak bisa membayar.

“Yaudah a gapapa, desi yang traktir. Hadiah kelulusan a Bina hehe” kata desi sambil tersenyum lebar hingga gigi gingsulnya muncul dibalik bibir tipisnya.

“jangan gitu dong. besok aku bayar des, aku pulang dulu ya” sambil berjalan menjauhi desi.

“gapapa aku traktir. Semangat sidangnya besok yaaa a” kata desi.

***

Besoknya aku mempresentasikan sidang skripsiku. Entah kenapa aku mendapat jadwal sore, tapi yasudah aku persiapkan mentalku agar tidak menurun. Aku mempresentasikan skripsiku dengan baik. Tidak ada kegugupan yang berpengaruh pada caraku berbicara. Pertanyaan dosen pembimbing pun aku jawab dengan baik. Sampailah pada keputusan. Pak ridzky mengambil secarik kertas keputusan.

“Dengan ini dinyatakan bahwa tugas akhir dari mahasiswa Bina Nugra dinyatakan diterima dan menandakan telah penuhnya syarat nama yang dimaksud untuk lulus dan mengemban gelar sarjana komputer” kata pak ridzky sambil menyodorkan kertas itu.

Kaki ku langsung lemas dan mata ku berkaca-kaca. Aku tidak percaya aku sampai pada tahap ini. Aku hampiri pak ridzky dan mengambil kertas berharga itu. Akhirnya, aku bisa lulus. Setelah itu aku telepon ibu bapak ku. Aku kabari mereka bahwa anaknya kini menjadi sarjana. Aku rapihkan laptop dan berkas berkas skripsiku. Tak sabar aku ingin mengabarkan ini kepada Desi. Akupun keluar kampus menuju warmindo.

“wuih sarjana muda euyy” kata kang asep.

“Lho kang asep, desinya mana?” tanyaku mencari-cari desi.

“pulang tadi pagi ke sukabumi. Kenapa?” Jawab kang asep. “Emang istrinya kang asep udah sembuh?” tanyaku ketus.

“Alhamdulillah udah bisa di rumah” jawab kang asep.

“sakit lagi dong kang, biar desi aja disini” kataku. “idih yang bener wae bin.” Kata kang asep kesal dan mengibaskan serbet ke arahku. “kaya biasa?”

Seketika aku kehilangan nafsu makan. Padahal semangatku sudah memuncak untuk menceritakan semuanya ke desi. Tapi dia malah pergi. Kenapa dia tidak bilang apa apa semalam.

“indomie goreng aja satu” kataku.

“Telor?” tanya kang asep.

“ngga” jawabku.

“Sawi? Cabe?” tanya kang asep kembali.

“Ngga” kataku singkat.

“Eleuh eleuh sarjana badmood” goda kang asep sambil menyiapkan pesananku.

Seperti itu lah hari kelulusan ku. Disatu sisi bahagia, sisi yang lain sedih. Aku hanya terus bertanya hari demi hari, kenapa malam itu dia tidak bilang apa-apa. Setidaknya aku hanya ingin pamit dan berterima kasih. Terimakasih karena mau jadi teman cerita selama ini. Mendengarkan dan menemani saat aku sangat kesepian.

***

Wisuda selesai, aku kembali ke kampungku. Hidup kembali dengan keluarga ku. Aku juga sudah mulai bekerja sebagai software engineer di sebuah perusahaan teknologi. Sudah satu tahun lamanya. Aku kira sudah cukup untuk berhenti bertanya. Nyatanya, pertanyaan itu tetap mengulang di dalam kepalaku. Besok aku ditugaskan ke jakarta untuk bertemu dengan client. Aku sudah mencoba untuk tidak berharap, tapi mustahil.

Besoknya aku pergi ke jakarta. Bertemu dengan client, mendengarkan kebutuhan sistem mereka dan mengeosiasikan harga. Deal. Syukurlah semua berjalan lancar. Kini aku sudah bekerja dan memiliki uang untuk makan di tempat-tempat mewah. Tempat yang dulu tidak pernah aku datangi karena terbatasnya uang saku. Tapi entah kenapa aku sangat ingin sekali makan indomie Kang Asep. Mungkin karena sudah setahun tak bertemu. Mungkin memang benar kata orang, indomie buatan warung lebih enak dari buatan sendiri atau mungkin aku hanya ingin kembali berharap kalau Desi ada disana.

Taksi online menurunkanku di jalan dekat warung kang asep. Dari jauh aku melihat keadaan warung yang cukup ramai. Terlihat tumpukan gorengan diatas meja yang satu persatu diambil oleh pelanggan. Semakin dekat aku berjalan, semakin nampak barisan botol minuman soda berjejer di depan mereka yang duduk menyantap entah apa itu. Semakin dekat semakin terdengar suara yang indah namun cukup keras menjawab pesanan pelanggan. Suara itu makin jelas selaras dengan langkahku mendekati warung. Aku tidak mau berharap lebih dari ini, tapi suara itu sangat akrab di telinga. Kini aku berada persis di depan warung, tidak ada yang menjaga di balik meja. Lalu seketika seorang perempuan muncul dari bawah meja itu. Aku tau wajah itu. Aku tau rambut hitam panjang itu. Bahkan aku tau jepit rambut yang menjepit poninya kesamping.

“kaya biasa a?” tanya desi tersenyum menampakkan gigi gingsulnya.

Aku membalas senyum indahnya “iya. original, kaya kamu”

Yang bisa membantu diri kita sendiri adalah diri kita sendiri. Tapi kehadiran teman untuk bercerita meringkankan beban itu.

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan