
Seringkali Wayang mengumpat betapa praktisnya kehidupan di masa sekarang. Teknologi selalu menjawab semua kebutuhan krusial manusia. Dan tentu saja hal itu tidak disia-siakannya. Wayang tak ingin menjadi satu dari banyak orang yang masih terseok-seok mengikuti perkembangan zaman.
Sekali lagi Wayang melihat layar ponsel pintarnya. Senyumannya tidak hilang menatap foto gadis berambut hitam ikal dengan mata cokelat indah itu. Dia terlihat mengenakan kebaya dan berlatar belakang sebuah pasar malam entah di mana. Senyumannya tak pudar dan terlihat natural meski bisa dilihat Wayang di belakangnya orang-orang berkerumun dengan ramai. Tentu pasar malam yang cukup besar dan populer. Dan Wayang juga ingin ke pasar malam itu nanti. Bersama gadisnya.
Dia Jesika—gadis itu. Mereka berkenalan melalui aplikasi kencan yang belakangan ini populer digunakan oleh teman-temannya. Mempersingkat waktu untuk berjalan berkeliling atau pergi ke entah bar mana untuk mencari jodoh. Aplikasi yang mempermudah siapapun yang tidak memiliki keluangan itu. Seringkali Wayang mengumpat betapa praktisnya kehidupan di masa sekarang. Teknologi selalu menjawab semua kebutuhan krusial manusia. Dan tentu saja hal itu tidak disia-siakannya. Wayang tak ingin menjadi satu dari banyak orang yang masih terseok-seok mengikuti perkembangan zaman.
Dan rasanya sudah setahun Wayang menggunakan aplikasi itu dan sudah—mungkin delapan bulan?—sejak dia dan Jesika saling mengenal melaluinya.
Dering lonceng pelan terdengar dari ponselnya dan kotak kecil di atas layar memperlihatkan pesan masuk dari Jesika. “Aku sudah sampai.”
Wayang melirik ke lampu lalu lintas di depannya. Masih merah dan ia menjadi sangat tidak sabar untuk menyeberangi jalan, masuk ke bar yang tak jauh dari perempatan situ, dan melihat secara langsung Jesika-nya.
Ah—mungkin masih terlalu cepat untuk memanggil Jesika sebagai miliknya—tapi yah—mereka memiliki tujuan yang sama. Berkencan. Jika tidak, kenapa Jesika menggunakan aplikasi itu dan—bahkan—mengajaknya bertemu? Kecuali jika salah satu dari mereka merasa tidak puas setelah pertemuan pertama ini, maka tidak akan ada lagi pertemuan kedua, ketiga, dan selanjutnya. Tapi sangat kecil kemungkinan Wayang tidak puas setelah mengenal Jesika sekian lama—meskipun hanya sebatas chat—oleh karena itu si lelaki berusaha untuk mengupayakan dirinya tidak membuat kecewa Jesika nantinya.
Atau penantian panjang ini hanya akan berakhir buruk untuknya.
Perlu berjalan sekitar lima belas meter setelah menyeberangi perempatan itu untuk sampai di bar yang terlihat jauh lebih terbuka dari bar manapun. Lokasinya tak jauh dari pusat perbelanjaan dan butik-butik sehingga rasanya Wayang tak heran melihat orang-orang dengan pakaian yang begitu modis dan berkelas keluar masuk bar itu. Tentu prioritas utama pemilik bar ini adalah para pengunjung yang memiliki gaya serta pelayan dan pekerja di wilayah sana, sehingga penampilan bar itu dibuat dengan begitu elegan, seluruh dinding luarnya diganti dengan kaca-kaca besar dan beberapa pintu angin yang menghubungkan ruangan pada balkon yang berterali besi dicat putih serta ditumbuhi ivy dari atas hingga bawah. Balkon itu terlihat melayang dari luar, pondasinya pada tanah disembunyikan dengan begitu mahir oleh sang arsitek dan itu mengagumkan. Bar itu keseluruhannya adalah putih. Mungkin akan mencolok jika berada di tempat lain, tapi dia sudah berada di tempat yang tepat. Tempat di mana toko-toko yang mencolok lainnya berada.
“Halo, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?”
Wayang memperbaiki dasi dan ujung jasnya sebelum berkata pada resepsionis bar itu, “Aku sudah memiliki janji dengan—uhm, dia sudah di sini.”
“Nona Jesika, sepertinya? Anda sudah ditunggu.”
Wayang melirik ke dalam bar sekali. Biasanya bar selalu mirip dengan gua—suram, kelam, dan gelap. Tapi tempat itu sangat cerah. Cahaya alami matahari langsung masuk ke dalam dan tidak ada lampu yang menyala meskipun saat itu sudah senja mendekati malam. Cahaya jingga matahari langsung masuk ke dalam ruangan melalui kaca-kaca dan pintu angin, mengotori dinding putihnya dengan semburat natural di akhir hari. Hanya satu kata yang dibatinkan Wayang, “Mempesona.”
Matanya tiba-tiba terpaku pada rambut panjang ikal yang entah bagaimana ia kenali betul milik siapa meski sang empunya membelakanginya, menghadap meja panjang bar dengan tenang sambil berbicara entah apa pada bartender, tidak mempedulikan pintu masuk. Sekali gadis itu menoleh ke kanan, nyaris ke arahnya dan Wayang sudah hampir salah tingkah karena keterpanaannya pada sosok itu. Itulah gadisnya.
“Saya melihat tatapan Anda.” Resepsionis di depannya tersenyum tipis. Wayang lupa bahwa dia masih di pintu masuk dan mematung dengan bodoh. Resepsionis itu ikut melirik ke arah Wayang memakukan pandangnya, “Silakan, Tuan. Gadis Anda menunggu.”
Wayang berlalu dengan wajah sedikit kemerahan. Jantungnya berdetak luar biasa kencang dan berkali-kali ia berusaha mengendalikan napasnya yang terkadang tak teratur. Ia tak ingin didapati perempuan itu sebagai orang yang kikuk. Dia sudah berusaha menciptakan sosok berkharisma selama mereka mengobrol online, oke. Jangan hancurkan itu sekarang.
“Jesika?”
Dia benar. Wajah itu sama cantiknya seperti di foto. Bahkan jauh lebih luar biasa lagi. Dagunya tidak bulat, rahangnya tegas membentuk suatu figur yang seperti perwujudan nyata dari karya klasik Eropa dipadukan dengan sosok yamato nadeshiko, gambaran ideal wanita cantik Jepang seperti di animasi yang dia tonton selama ini. Rambutnya ikal, hitam legam dan diuraikan, dibiarkan jatuh dengan lembut ke punggung dan ke tepian wajahnya. Bibirnya tipis, diberi lipstik berwarna natural—atau mungkin orang-orang menyebutnya liptint? Entahlah, Wayang tak tahu banyak mengenai kosmetik. Matanya tidak sipit, namun jua tidak belo. Pancaran tatapannya dalam dan Wayang bisa mengukur tingkat intelegensi dan keteguhan si gadis dari sana. Tipikal wanita yang takkan membiarkan laki-laki sembarangan mendekati dan mengganggunya, dan aura itu—Wayang yakini seratus persen—takkan membuat lelaki manapun cukup bernyali untuk mengganggu.
Jesika tak bersolek. Hanya bedak dan lipstik, itu saja yang Wayang tangkap. Mungkin lebih dari itu, tapi Wayang tak peduli. Dia menawan. Ia bermata cokelat cemerlang dan kulitnya halus, pesona khas kecantikan Asia yang hanya dimiliki oleh gadis itu. Dan Wayang melihat segala hal tentang gadis itu adalah, dia berkelas. Pilihan gaunnya bukanlah pilihan umum, setelan putih tulang yang menutupi dress selutut berwarna hitam dengan pola kelopak bunga putih berjatuhan dan tertumpuk di ujung roknya. Paduan jas dan dress biasanya menciptakan kesan kuno, tapi pada Jesika tidak. Tidak kuno, tapi juga tidak berlebihan. Dia mengenakan jam tangan emas yang tipis di pergelangannya yang tidak terlalu kurus, dan ada giwang sederhana dengan satu permata kecil menempel di telinganya. Dan kakinya sangat jenjang dan indah, berlekuk elok di topangan kursi tinggi. Pun yang paling penting, tidak ada cincin sama sekali. Bahkan bekasnya saja pun tidak ada.
Lensa kamera tentu gagal menangkap pesona dan aura gadis ini. Wayang menyumpahi Gombreng yang kemarin menakut-nakutinya bahwa sosok di balik akun Jesika hanyalah pria-pria tua gendut yang berencana memeras dan menipunya.
Suaranya lembut, sedikit dalam dan berat ketika menyebutkan nama Wayang dengan hati-hati, “Mas Wayang?”
Senyuman Wayang bisa dikendalikannya agar tidak terlalu sumringah. Jesika turun dari kursi tinggi dan menyalaminya, “Bagaimana jika kita mencari meja sendiri?”
Jesika tinggi. Dia memang memakai sepatu hak tinggi, tapi kesan jenjangnya di luar itu. Mungkin tingginya sekitar 165an. Mungkin lebih lagi, Wayang tak bisa memastikan dengan tepat karena sepatu hak tingginya. Tingginya hampir sama seperti Wayang dan Wayang suka perempuan tinggi. Mereka memberikan impresi sulit ditaklukkan dan butuh upaya-upaya tertentu untuk mencapai level mereka dan Wayang dengan senang hati akan berusaha menaiki tangga itu untuk membuktikan dia pantas dan setara. “Tentu saja.”
Jesika mengangguk pada bartender yang langsung memanggil seorang pelayan untuk mengantarkan keduanya menuju meja lain di dekat pintu angin besar yang terbuka dan membiarkan udara segar sore itu masuk. Mereka sudah berencana untuk makan malam berdua, sehingga pesanan segera dibuat dan dicatat oleh pelayan yang berlalu setelah memastikan Wayang pun Jesika tidak memiliki keperluan lain lagi. Lampu-lampu putih dinyalakan ketika ruangan menjadi sedikit lebih gelap dan Wayang menyadari bahwa dinding bar itu tidak sepenuhnya putih. Ada desain hijau menyerupai ivy yang merangkak di dinding, warnanya terang dan tak tertangkap jika cahaya redup. Tulisan-tulisan menarik dibingkai dengan bingkai putih dan digantung di salah satu dinding. Di dinding lain segala jenis lampu kecil dengan berbagai model dipasang, semuanya bercahaya jingga, seolah jingga yang diberikan senja tadi masih berada di sana. Cahayanya tidak seterang lampu utama, hanya memberikan pertanda bahwa lampu itu nyala sebagai hiasan.
Semua pesona bar itu tetap tidak membuat si lelaki berhenti memandangi gadis di depannya. Seolah keindahan utama bar itu adalah Jesika. Ketika mata itu membalas matanya, rasanya ada gelombang hangat di perutnya yang nyaman sekaligus—menggairahkan.
Diam selama sepuluh detik, Wayang tertawa pelan, “Maafkan aku—ini pertama kalinya aku bertemu dengan seseorang yang kukenal dari dunia maya.”
Jesika memperlihatkan keheranan yang sebentar di matanya, “Oh ya?”
Pundak Wayang terangkat dan ia hanya menyengir tipis, “Ya—kau yang pertama. Maksudku—aku sudah mencoba chat dengan perempuan lain tapi—entahlah, aku merasa tidak cocok saja dengan mereka. Jadi ketika aku—kau—maksudku—ketika obrolan kita sinkron, aku sangat tidak sabar untuk segera bertemu langsung denganmu.” Wayang menyumpah di dalam hatinya dan khawatir jika dia salah mempergunakan kata ‘sinkron’ dalam kalimatnya tadi. Pun dia tetap tersenyum untuk menutupi keraguannya. “Kau sudah sering?”
“Ya. Tapi yah—tidak lama. Biasanya mereka takkan menghubungiku lagi setelah—ini. Pertemuan seperti ini maksudku. Dan—aku sudah terbiasa rasanya.”
Kali ini pancar tatap Wayang yang heran, “Bagaimana mungkin?” Jesika luar biasa. Orang bodoh mana yang meninggalkan orang seanggun dan sehebat ini?
Jesika sunyi sebentar sebelum menjawab, “Ketidakcocokan. Sepertimu juga, Mas Wayang. Terkadang mereka—yang berkenalan denganku melalui chat—selalu tergesa-gesa memutuskan untuk bertemu. Bukannya aku keberatan, tapi untuk banyak kasus, rasanya lebih baik menunggu dan saling mengenal lebih jauh.”
“Kau benar.” Wayang bersyukur dia tidak diburu oleh hawa nafsunya untuk segera menemu Jesika dulu itu. Ia tak menarik tatapnya dari Jesika sekitar semenit dua. Gadis di depannya tidak terlihat salah tingkah dan hanya membalas pandangannya dua tiga kali dan tersenyum. Beberapa kali Jesika memperhatikan orang-orang yang ada di sekelilingnya, sekali dua merapikan rambut ikalnya yang acap kali menutupi pipinya, ikut diembus pelan oleh kipas angin besar yang ada di atas mereka. Wayang berkata lagi, “Katamu kau desainer?”
Pelayan datang membawakan makan malam mereka. Pun Wayang perlu menunggu waktu untuk mendengar jawaban Jesika hingga pelayan itu pergi dari meja mereka. Sang perempuan yang berkata lebih dulu, “Ya—aku desainer. Di Secret Story—butik di ujung jalan.”
“Oh, jadi kau sering ke tempat ini?”
Jesika tersenyum, “Ya. Maafkan aku jika aku mengajakmu kemari. Orang-orang di sini sangat terbuka dan aku menyukai mereka.”
“Tentu saja.” Wayang tertawa, “Dan terlalu bahaya jika kau bertemu dengan orang asing untuk pertama kalinya di tempat yang tak kau kenal—maksudku—haha—aku juga ingin membuat Indonesia menjadi negara yang aman bagi siapapun—pria—wanita—siapapun—kemana pun mereka pergi.” Wayang mengangguk dengan yakin sambil memotong bistiknya meski paku matanya hanya pada gerakan tangan Jesika yang dengan anggunnya mengangkat sendok dan menghirup pelan kuah supnya.
“Kau polisi yang baik, Mas Wayang.” Wayang buru-buru mengalihkan matanya ke bawah, pada pisaunya yang sedari tadi tak disangkanya berhenti bergerak, “Aku sempat tidak percaya ketika kau berkata kau bekerja sebagai polisi.”
Mata Wayang terbelalak sekali sebelum ia membuat ekspresi seolah-olah kecewa, “Kenapa?”
Yang ditanya tertawa pelan. “Kau selalu mengirimiku lelucon yang lucu—bahkan terkesan konyol. Maafkan aku, selama ini aku membayangkan bahwa polisi adalah orang-orang kaku yang tak memiliki selera humor. Tipikal orang-orang penegak hukum dan pengatur kedisiplinan.”
“Aku tak bisa menyalahkanmu. Aku punya beberapa teman yang benar-benar—yah, katakan saja serius dalam bekerja—maksudku, aku bukannya tidak serius, aku selalu serius menjalani pekerjaanku, hanya saja kau butuh sesuatu untuk mencerahkan harimu, yeah?”
“Tentu saja.” Jesika tersenyum. Wayang menyukai senyuman Jesika. Tulus dan tak dibuat-buat. Wayang sering menghadapi wanita-wanita yang datang padanya—atau entah diperkenalkan oleh kawannya, dan biasanya mereka adalah pemuja polisi. Mereka tampak manis pada awalnya, tertawa pada leluconnya, mencicipinya, dan setelah itu berantakan. Mereka selalu memiliki keinginan saat bercinta dengan polisi. Entah itu berkenaan dengan seragam atau senjata. Senjata yang memang benar-benar senjata di balik sarung pistol, ataupun senjata di balik restleting celananya—atau mungkin keduanya. Wanita terlalu banyak siasat bagi Wayang, seringkali mereka hanya membutuhkan lelaki untuk melepaskan kesendiriannya dan hal itu merupakan sebuah celaka bagi Wayang jika dia terburu-buru mengambil keputusan. Sudah banyak rekannya yang seperti itu dan Wayang belajar dari mereka. Seluruh langkahnya selama ini dipikirkan Wayang dengan hati-hati. Ia tidak ingin berantakan. Dia ingin menjalani kehidupannya dengan santai dan tidak terburu-buru.
Selama delapan bulan langkah yang penuh kehati-hatian itu dia dan Jesika lalui. Tidak ada satupun dari keduanya—selama delapan bulan itu—menginisiasi dengan cepat-cepat bertemu dan memutuskan jenis hubungan apa yang akan mereka miliki. Dan Wayang menyukainya. Dia menikmati bagaimana dia dengan sabar menanti balasan Jesika, mengucapkan ‘Selamat malam, semoga mimpi indah’ di akhir hari dan ‘Selamat pagi, semoga harimu menyenangkan’ di pesan pertama mereka saban pagi. Saling berbagi kisah tentang bagaimana mereka menjalani hari itu, sesekali luapan hati yang entah kecewa, sedih, hingga ketidakpercayaan pada hal lain dan butuh seseorang untuk mendengarkan—atau membaca apa yang dituliskan.
Dan dia suka membuat Jesika tersenyum. Awalnya dadanya bergemuruh jika Jesika merespon leluconnya di chat dengan reaksi yang menyenangkan atau bahkan hanya dengan mengirimkan sebuah stiker lucu. Kali ini sensasi itu jauh lebih luar biasa saat secara langsung ia lihat sendiri bagaimana Jesika menanggapinya. Wayang senang melihat Jesika menikmati makan malamnya dengan santai dan penuh tawa.
※
Kencan adalah suatu hal yang sangat sulit untuknya. Untuk Jesika. Ketika dia menyukai seseorang, ia tak bisa tidak jujur kepada orang itu. Jesika adalah seseorang yang akan memberikan perhatian penuh pada orang yang menariknya dan biasanya orang-orang seperti itu selalu ingin tahu mengenai masa lalunya, sejarahnya, apa yang ia lakukan dan pikirkan saat ini, dan masa depan seperti apa yang diinginkannya. Tak ada yang berakhir baik bagi Jesika, karena itu dia menyerah untuk cepat menghakimi dirinya sendiri bahwa dia jatuh cinta.
Karena itulah dia masih tetap menjaga jaraknya dari Wayang. Jujur saja, ia sudah tertarik pada Wayang sejak chat mereka yang keempat kalinya, namun ia masih mempelajari Wayang dan berusaha mengendalikan diri. Pria itu selalu bisa memperbaiki suasana hatinya ketika ia benar-benar membutuhkan pendorong semangat, tapi banyak orang mampu melakukannya sebaik Wayang—meski sangat jarang Jesika mengenal orang seperti Wayang di dalam lingkaran pertemanannya. Ia masih ingin tahu arah pikiran Wayang, kemauannya, ambisinya.
“Jadi, kapan terakhir kali kau berkencan?” Jesika mengelap ujung bibirnya sambil membalas tatap yang masih berkilauan memandanginya itu. Jesika berulang kali menahan tawanya saban ia mendapati kekikukan pemuda itu ataupun keanehan pilihan kata yang dituturkan Wayang. Ia menyukai tatap yang terkadang kebingungan di sela kalimatnya sendiri. Jesika minum terlebih dahulu setelah sebelumnya sedikit terkejut pada sensasi pedas dan asam dari salad dressing pada salad ayam pesanannya. Katanya menjawab tanya Wayang, “Bulan lalu.”
Dan Jesika menikmati keterkejutan mata itu, “Ah, aku ingat kau pernah berkata bahwa kau diajak kencan seseorang. Lalu bagaimana akhirnya?”
“Tidak bagus. Setelah itu pertemanan kami hanya bertahan selama seminggu. Itu lebih baik karena aku pernah ditinggalkan sama sekali dalam tiga hari. Biasanya kami melakukan penyesuaian yang cukup lambat dan—rasanya aku harus mulai bisa memaklumi keadaan itu.
“Kau sendiri, Mas Wayang, bagaimana dengan kencan terakhirmu?”
Wayang menggeram pelan. Ia mendongak selama dua detik, menggaruk pipinya dengan ganjil dan tersenyum aneh, “Untuk yang serius, rasanya sudah bertahun lalu. Yang terakhir sekitar dua atau tiga bulan lalu mungkin. Sangat buruk. Mereka hanya memanfaatkanku. Menyebalkan.”
Jesika menanti kelanjutan cerita itu. Wayang mengerti dan memasang raut kesal mengingat masa lalunya, “Diperkenalkan temanku ketika kami karaoke bersama. Hubungan satu malam. Tapi malam yang panjang. Rupanya dia dikuntit mantan pacarnya. Nah, bukannya jika seperti itu harus melapor pada polisi, bukan? Maksudku, aku memang polisi, tapi hal seperti itu harus masuk secara resmi melalui pos dan laporan saat aku memakai seragam dan bukannya ketika kau mulai tiduran di ranjang dan pintu hotel ditendang penguntitmu sendiri. Dan dia mengancamku dengan pisau. Dia tak tahu aku polisi dan jago karate jadi dengan mudah kukalahkan dia.” Cerita itu diakhiri Wayang dengan nada yang sedikit tinggi dan penuh kebanggaan. Dadanya sedikit membusung dan dagunya terangkat. Si gadis mengulum senyumnya melihat gestur itu dan hanya memberikan tatap prihatin, “Maafkan aku jika kau harus mengingat hal itu.”
Raut Wayang berganti dan dia tersenyum lebar. Pancaran matanya tulus ditangkap Jesika, “Tidak. Aku sudah biasa. Justru aku senang menceritakannya padamu. Ketika aku bercerita pada teman-temanku di kantor, mereka hanya menertawakanku atau mengolok-olokku. Menyebalkan.”
Dilihat Jesika Wayang mengangguk pada pelayan yang datang ke meja mereka. Seluruh piring kotor bekas makan mereka diangkat, berganti dengan hidangan penutup manis yang dipesan Wayang untuk dimakan bersama olehnya dan Jesika. Tak luput didengarnya Wayang menitipkan terima kasih kepada koki dan memuji masakannya.
Kata Jesika setelah pelayan berlalu, “Aku senang mendengar cerita semacam itu. Film favoritku genre aksi dan detektif.”
Mata Wayang berkilat antusias, rona wajahnya bersemangat, “Benarkah? Aku punya segudang cerita tentang itu.”
Jesika tersenyum tipis. Matanya menyipit kala begitu, “Aku tidak sabar mendengarkan.”
Wayang adalah orang yang ekspresif. Jesika sudah menduganya sejak awal, tapi dia lebih sentimental saat bertatap muka seperti sekarang. Air mukanya menggambarkan dengan jelas perasaannya, mengungkapkan dengan lugas bagaimana isi hati dan emosinya yang mudah meledak-ledak, melankoli, optimisme, dan lainnya, yang semua itu dilihat Jesika begitu mudah berganti-ganti seiring waktu dan perbincangan mereka. Jesika selalu menyukai senyuman Wayang. Dan seluruh eskpresi yang dimiliki Wayang yang telah diperlihatkan oleh sang lelaki sejak di detik pertama mereka bertemu tadi.
Kencan adalah suatu hal yang sangat sulit untuknya. Untuk Jesika. Suatu hubungan haruslah berlandaskan pada kejujuran dan keterbukaan masing-masing pasangan. Acapkali banyak yang mundur selepas keduanya tahu apa yang ditutupi oleh yang lain. Ada yang pelan-pelan, ada yang dengan cara yang sopan, dan tidak sedikit yang mengolok-olok, mengancam, bahkan melibatkan kekerasan. Jesika mungkin bukan orang yang lemah, tapi jika melibatkan perasaan, Jesika lebih memilih diam dan membiarkan dirinya hancur pelan-pelan. Sudah puluhan kali dia hancur. Tapi rasanya selalu ada dorongan dalam hatinya untuk terus maju. Mungkin suatu saat dia akan menemukan orang yang tepat. Mungkin suatu saat dia akan berbahagia. Mungkin suatu saat ada yang benar-benar mencintainya, menginginkan Jesika untuk dirinya sendiri.
Segala kemungkinan-kemungkinan itu tiba-tiba saja terjawab malam ini. Mungkin malam inilah yang dia tunggu. Mungkin orang inilah yang tepat. Mungkin inilah akhir pencariannya.
“Omong-omong tentangmu, Jesika—” Wayang menusuk stroberi dan mencelupkannya di cokelat fondue sambil meneruskan, “—jadi, apakah menjadi desainer adalah mimpimu?”
“Ya—tapi jika mengatakan tentang impian, aku belum sepenuhnya mencapainya. Aku masih memiliki perjalanan panjang untuk itu. Aku baru saja mengajukan proposal untuk memulai brand-ku sendiri. Ada banyak hal yang menantiku dan rencanaku ke depannya.” Jesika mempermainkan sedotan di gelas jusnya. Senyumnya tipis dan matanya sedikit layu saat menjawab tanya Wayang. Ia tak menatap Wayang.
“Oh ya? Orang-orang yang tidak berhenti mengejar mimpinya selalu membuatku kagum. Aku tahu kau bisa.” Jesika hanya tersenyum mendengar kalimat Wayang. “Jadi brand-mu akan tentang apa?”
Jesika mendongak, membalas tatap ingin tahu Wayang. Si gadis masih tersenyum ganjil. Jemarinya dua kali menghalau rambutnya yang sedikit membuat geli pipinya. Sekali dia menggigit bibir bagian bawahnya, tertawa pelan dan berkata dengan hati-hati, “Aku merasa sangat kesulitan untuk mencari dress dan pakaian dalam yang sesuai untukku, jadi aku berpikir untuk membuat dan mendesainnya di bawah brand-ku sendiri. Dress dan pakaian dalam untuk trans—”
Jesika menanti respon Wayang, namun tiada. Mata itu masih berkilat menanti, senyuman itu masih sama. Jesika mengulangi dengan sedikit lebih jelas dan penekanan, “—orang trans, sepertiku.”
Kali ini senyuman lebar yang memperlihatkan dua bilah gigi Wayang tertutup, tapi dia masih tersenyum tinggi. Alisnya terangkat, ekspresinya penuh kekejutan, dan bahkan ada tawa tak percaya didengar Jesika sekian detik kemudian. Wayang menatap Jesika dengan tatap yang tak bisa diartikan sang gadis. Di situlah Jesika mulai was-was. Dadanya tidak tenang dan dia khawatir Wayang bukanlah orang yang dia tunggu.
“Oh—wow. Aku—aku tidak menyangka. Kau tidak terlihat—”
Jesika tahu kata yang tidak bisa diteruskan itu dan tetap mengusahakan senyumannya. Dia menggigit bibir bawahnya dan masih menanti tanggapan Wayang yang lain, namun tiada. Hanya satu hal, dan itu adalah hal yang paling tidak Jesika percaya.
Ketakjuban.
“Kau mungkin keberatan.” Jesika menanya hati-hati. Wayang tertawa pelan. “Tidak, sama sekali tidak. Aku tidak pernah peduli hal itu.”
Dua alis Jesika terangkat, kini dia yang terkejut. Biasanya orang-orang akan meminta waktu untuk mencerna dan menerima kenyataan itu, bahkan seringkali langsung menolak dan pergi. Tapi baru kali ini dia menerima penerimaan seperti ini. Wayang hanya menjumput stroberi dan memakannya tanpa melepaskan senyuman dan pandangannya pada Jesika. Kali ini dikatakannya dengan terus terang, “Kau cantik dan luar biasa. Tidak peduli kau perempuan, laki-laki, atau trans, kau berhasil menarik perhatianku. Maksudku aku tahu sejak lama kalau kita cocok, tapi setelah bertemu denganmu, aku tahu kita sangat cocok. Tidak peduli selain itu.”
Wajah Jesika memerah. Wilayah matanya terasa menghangat dan ada setitik air mata lepas dari pelupuk mata kanannya. Tangan kanan Jesika terangkat, menyapu hidungnya sekaligus menutupi entah apa yang bersarang di wajahnya, yang membuat seluruh badannya menghangat dalam seketika. Dadanya bergejolak dengan alur yang menyenangkan, seluruh tubuhnya terasa ringan, dan rasanya ia ingin menangis saat itu juga. Bibirnya bergetar, matanya terasa berkaca-kaca dan berat. Katanya pelan namun bisa ditangkap Wayang, “Terima kasih.”
Wayang masih diam, tersenyum menemukan sisi lain Jesika malam ini. Dibalik ketenangan dan kemampuan membawa diri itu selalu ada sesuatu yang rapuh yang disembunyikan. Wayang sering melihat itu dari banyak korban kasus kekerasan yang selama ini ditanganinya. Dan ia tahu di detik pertama Jesika mengatakan kejujuran mengenai jati dirinya, masa lalu yang keras dan menyakiti bukan hanya sekedar pemanis cerita-cerita jika di masa depan keadaan berubah. Wayang tahu saat itu juga bahwa Jesika membutuhkan seseorang. Seseorang selevel dengannya. Dan Wayang ingin orang itu adalah dirinya.
Jesika sedikit tersedak saat disadarinya lebih dari setetes air matanya jatuh. Wayang menyodorkan air putihnya dan membiarkan sang gadis menenangkan diri. “Maafkan aku,” ujar Jesika pelan.
Kening Wayang bertautan. Mulutnya sengaja dikerucutkan dengan cara jenaka, “Kenapa minta maaf?”
Jesika tersenyum tulus melihat ekspresi menggelikan Wayang yang dibuat-buat meski wajahnya masih memerah. “Aku sudah menangis di depanmu, sudah membohongimu.”
“Tak ada yang salah dari menangis.” Wayang menjawab jujur. Senyumnya tak lepas, “Dan aku tidak merasa kau membohongiku. Kau hanya masih belum menceritakan semuanya padaku. Dan itu tidak salah. Justru tindakan yang tepat karena—bisa saja aku sejak awal berniat untuk memanfaatkanmu, bukan, jika kau sudah mengatakan segalanya sebelum kita mengenal lebih jauh—yah meski aku sama sekali tidak ada niatan jahat begitu. Aku polisi, loh. Polisi. Tidak boleh begitu.”
Kali ini senyum Jesika lebih terbuka. Dia tersipu. Tangan kanannya menutupi pipi kanannya yang terasa memanas karena takjub dengan ujaran Wayang. “Kukira awalnya ini adalah sesuatu yang mustahil untuk menemukan seseorang yang—sepertimu.”
Seringai Wayang mendadak melebar, nyaris setengah wajahnya tenggelam dari senyuman jujur itu. “Tidak ada yang mustahil, yang ada hanyalah sulit. Karena orang sepertiku memang sangat sulit ditemukan dan menemukan yang sinkron—ah, benar tidak aku menggunakan kata sinkron?”
Jesika tertawa. Jemari Wayang bergerak pelan dan hati-hati, menggapai tangan kiri Jesika yang terjatuh di atas meja, “Beberapa orang seringkali memilih memutuskan pilihan hidup yang mudah. Tapi, aku tidak pernah memikirkan sesuatu yang mudah. Aku hanya mementingkan tentang sesuatu yang menyenangkan dan memuaskanku meski pencapaiannya sulit. Kau juga begitu, bukan?”
※
Wayang melonjak dari tempat tidurnya. Tangan kirinya mengepal penuh kebahagiaan sementara tangan kanannya gemetaran memegangi ponselnya. Matanya berkali-kali membaca ulang apa yang tertera di layar. Dadanya memenuh dan menggemuruh.
“Kau mau kencan berikutnya?”
“Mungkin.”
“Aku ingin kencan kedua, ketiga, keempat. Ah, aku berencana kencan ketiga adalah waktunya kencan kita sebagai pasangan sesungguhnya.”
“Aku juga.”
“Selamat malam, semoga mimpi indah.”
“Kau juga, Mas.”
“Aku mencintaimu—”
Wayang termangu sebentar. Kepalanya terjatuh ke atas bantal dengan dua tangannya memegangi ponsel pintarnya. Alisnya tidak sejajar, yang kanan lebih tinggi dari yang kiri dan kelopak mata kirinya sedikit menyipit, memberikan kesan asimetris pada dua matanya.
Dihapusnya dua kata yang telah ia ketikkan.
Ia akan menyimpan itu. Ia tidak ingin ada media yang menjadi jembatan ungkapan hatinya. Ia akan mengatakan itu secara langsung—
—sebentar lagi.
“Berbahagialah, karena aku bahagia mengenalmu.”
“Terima kasih sudah menjadi alasan untukku bersyukur berada di dunia ini.”
Yogyakarta - 2019
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
