Makanan Tahlilan

0
0
Deskripsi

"Ke rumah arwah Mang Marsi, Mang?"

"Tidak lah, Tuh."

"Kenapa, Mang? Dia kan selama hidup selalu membantu di selamatan Abah, tak pernah absen."

Sudah seminggu meninggalnya Mang Marsi, penjaga kubur kampung kami. Biasanya selalu ada tahlilan saban menujuh hari, empat puluh hari, dan seterusnya. Katanya, arwah harus didoaselamatkan agar selamat jua hidupnya di alam sana. Istri Mang Marsi pun sudah menyebar-nyebar pinta agar aku, kawan-kawanku, dan para tetangga lelaki datang ke rumah almarhum dan doa bersama usai Isya malam ini. Tapi, amangku sama sekali tidak terlihat akan menghadiri tahlilan Mang Marsi itu. Bahkan dia melepas sarung dan baju sepulangnya dari mesjid, lalu duduk-duduk santai di teras, berkolor dan memakai kaus singlet putih yang menguning, menunggu Mamak selesai menyiapkan makan malam dan memanggil untuk makan bersama.

"Ke rumah arwah Mang Marsi, Mang?"

"Tidak lah, Tuh."

"Kenapa, Mang? Dia kan selama hidup selalu membantu di selamatan Abah, tak pernah absen." Semasa hidupnya Mang Marsi adalah orang muda yang sangat baik yang kutahu di kampung ini. Setiap ada tahlilan atau selamatan, dia jadi orang yang jasanya paling diharapkan oleh si empunya acara. Mang Marsi tak pernah menolak jika dimintai mengundangi orang-orang sekampung, mendatangi setiap rumah di kampung kecil kami, mengetuki pintunya satu persatu untuk memberitahu orang-orang. Kataku lagi pada amangku “Masakan kita tidak ikut mendoakan dia?”

"Ya sudah, Tuh, kamu saja yang berangkat sana. Kamu yang mewakili keluarga Abah di tahlilannya arwah Mang Marsi. Aku mau di rumah saja. Kenyang."

Aku heran melihat amang yang tiduran malas di dipan, mendinginkan diri dengan angin malam di musim kemarau yang berhembus di sela-sela daun nipah. Asap obat nyamuk tebalnya mengalahkan asap rokok yang ia hisap. Kubiarkan amang malas-malasan di teras, aku berangkat sendirian masih bersarung dan berbaju sama seperti waktu sholat Isya tadi. Aku masih heran pada laku amang. Sungguh, tidak biasanya amang begitu. Dia selalu rajin datang jika ada undangan tahlilan atau selamatan di rumah entah siapa. Aku dan dia sama-sama menjadi pengganti almarhum Abah untuk tetap menjalin ikatan dengan orang-orang sekampung. Di kampung sini, jika ada undangan tahlilan atau selamatan dan ada yang tak datang, pasti esoknya akan jadi bahan olok-olok dan gosip hingga berlama-lama. Disebut tidak menghormati kemurahan hati orang, lah. Memutus ikatan persaudaraan, lah.

Di persimpangan jembatan kayu, aku berpapasan dengan Kiai Giri. Kurus betul badan orang tua itu. Terompah kayunya selalu berbunyi setiap kali ia menapak di atas jembatan kayu yang melintang panjang dan menjadi jalan penghubung antarrumah warga kampung. Jalan Kiai Giri pelan, tapi tenang. Aku menyapa orang yang kami tuakan itu dan berjalan beriringan dengannya. Hanya beliau yang kutemui di jalan, padahal biasanya julak-julak, amang-amang, dan uncit-uncit beramai-ramai berangkat saban ada doa selamatan di rumah orang.

Saat di perempatan jembatan, kami melalui warung Lak Hatim dan dari jembatan bisa kudengar tawa ramai amang-uncit yang suaranya sungguh kukenal betul. Kulihat di teras warung itu ada Mang Lakui, Juret, Uncit Tadih, dan kawan-kawannya yang duduk merokok, berhimpun suka-sukaan di sana dengan secangkir kopi pahit sambil bermain domino.

"Kemana Kiai?" tegur Uncit Tadih ramah ketika melihat aku dan Kiai Giri melewati depan warung Lak Hatim. Orang tua itu tersenyum tipis dan menunjuk ujung jembatan, "Rumah Mang Marsi, Ncit. Ayo ikut sini. Kita pergi sama-sama."

Mereka semua yang duduk-duduk santai di warung Julak Hatim terdiam, tidak ada yang bergeming, tak ada yang berdiri atau memperbaiki sarung. Mereka saling bertatapan, Juret bahkan masih menikmati rokoknya dengan tenang.

"Enggak ah, Kiai. Buat apa ke rumah Mang Marsi?"

"Ya untuk mendoaselamatkan arwah Mang Marsi."

"Gak kenyang, Kiai. Tahlilan arwahnya tidak pakai sesuguhan. Sudah lelah-lelah bacakan doa, yang keluar dari dapur cuma air putih dan gorengan. Orang biasanya itu sesuguhan pakai ayam karih, daging sapi, minimal telur karih. Disantapnya dengan nasi putih panas dan teh hangat-hangat. Wah, mantap betul."

Kiai Giri geleng-geleng kepala mendengar jawaban Mang Lakui. Ia tidak lagi mengajak apalagi memaksa mereka. Orang tua itu kembali melanjutkan jalannya yang pelan dan tenang. Sementara aku terpekur di tempatku berdiri, baru teringat ketika pemakaman Mang Marsi dulu pun aku pulang dengan kelaparan. Istri Mang Marsi sama sekali tidak menyediakan apa-apa untuk para peziarah.

Ah, aku jadi teringat amang yang tentulah masih duduk santai di dipan. Ada kesalku padanya karena dia tidak mengingati aku tentang hal ini dan justru melimpahkan kewajibannya padaku. Entah kenapa ada penyesalan di hatiku. Seharusnya aku ikut duduk-duduk di dipan, menunggu panggilan Mamak di rumah bersama amang. Tapi mau kembali pulang sudah kepalang tanggung, di tengah jalan. Bersama Kiai Giri pula. Akan kutaruh dimana mukaku dan muka Abah jika aku setengah hati begitu?

“Uncit Atui, ayo.” Kiai Giri menoleh ketika tahu seretan sendal jepitku tidak mengiringi bunyi terompahnya di jembatan kayu. Aku berjalan satu langkah dengan ragu, rasanya ingin bergabung ngopi bersama kawan-kawanku di warung Lak Hatim meski akhirnya aku memberatkan diri kembali melanjutkan jalanku bersama Kiai Giri.

Yang datang ke pondokan Mang Marsi hanya ada Kiai Giri, aku, Mang Jiki, dan Uncit Taslim. Sedari awal, perutku keroncongan. Dan harus kutahan beberapa lama sambil menunggui lantunan doa Kiai Giri yang selalu panjang setiap tahlilan. Kepalaku terayun-ayun ke depan ke belakang karena mengantuk. Perutku berkali-kali berbunyi nyaring, hampir lebih nyaring dari doa Kiai Giri. Lagi-lagi aku menyesal untuk duduk di pondokan ini. Ah, jika bukan karena bersama Kiai Giri, sudah pasti tadi aku pulang ke rumah.

Aku mengujarkan ‘amin’ senyaring mungkin ketika lantunan doa Kiai Giri memanjang dan menjadi pertanda akhir upacara sederhana itu. Sebelum istri Mang Marsi keluar dari dapur sambil membawa empat gelas air putih dan senampan pisang goreng, Kiai Giri berujar, “Ini adalah hari ketujuh Mang Marsi meninggalkan kita. Jika menurut hukumnya, hari inilah Mang Marsi didatangi oleh malaikat penanya.”

Kiai Giri terbatuk-batuk dulu karena lelah tenggorokannya membacakan doa sedari tadi dan disuruh berbicara lagi, “Semoga doa kita yang empat ini bisa membantu Mang Marsi di alam kuburnya meskipun sangat yakin aku tanpa doa kitapun Mang Marsi tidak akan memiliki kesusahan jika bertemu dengan malaikat penanya.

*Yogyakarta, Maret 2017

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Cerita Pendek
Selanjutnya Simbahku Pernah Ke Neraka
0
0
Simbahku meninggal sekitar dua setengah tahun yang lalu. Beberapa minggu lagi akan diadakan nyewu kematiannya. Semasa hidup, simbahku ini orangnya galak bukan main. Tapi kata ayahku dia hanya sedikit disiplin. Maklumlah, pensiunan tentara. “Sudah didikannya begitu,” ujar ayah saat aku mengeluh jika baru dimarahi simbah. Aku tidak berani bersungut-sungut di depan simbah, tapi pasti semasa dia hidup simbahku tahu kalau aku jengkel bukan main kepadanya.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan