Bagi yang sudah pernah membaca di Storial, tidak usah membaca lagi, ya.
Bagi yang kemarin udah beli koin utk storial tapi terkendala membukanya, silakan hubungi aku. Thank you
ORANG baru stok lama. Itulah julukan Icha sekarang.
“Udah, nggak usah peduli apa kata orang. Kembali ke kantor lama bukan hal yang memalukan,” kata ibunya menyemangati.
“Bu, ntar di kantor cabang aku tuh paling senior,” Icha masih ragu
“Halah, biarin nggak apa-apa. Wajahmu imut, badanmu mungil. Nggak bakal ada yang nyangka kalau usiamu sudah 30 tahun. Ibu nggak bohong, dari belakang kamu tuh masih kayak anak SMA!”
Iya, sih. Tapi kalau dari depan, aku udah kayak kepala SMA, Icha menambahkan dalam hati. . “Tapi kan, gengsi juga kalau harus balik ke posisi asisten finance, Bu. Mana yang jadi atasanku ntar mantan bawahan.”
“Itu cuma efek samping, Cha. Yang penting kamu balik dulu!”
Hm ….“Mumpung ada kesempatan. Udah baik banget lho, itu bos di kantor lama inget kamu, dan nawarin buat kembali.”
Icha tidak menanggapi pernyataan itu. Agak ngeri seandainya ibunya bereaksi dengan optimis berlebihan, andai tahu kalau sebenarnya Icha ditawari posisi di kantor lama tersebut secara personal.
“Memang mau berapa lama lagi kamu di Jakarta? Mau membuktikan apa lagi? Ibu sudah tahu kok, kalau anak Ibu bisa mandiri, dan nyari duit sendiri. Sudah, cukup. Sekarang pulang dan kerja di sini saja. Rumah sebesar ini mau ditempatin Ibu sendirian sampai kapan, Cha?”
“Tapi, Bu, gaji di Malang kecil, karena jabatan yang ada hanya….”
“Seimbang, tho? Kamu nggak harus kos. Kendaraan siap. Makan irit bareng Ibu. Nggak perlu laundry karena sudah ada Bu Nah yang membantu di rumah,” potong ibunya dengan cepat.
Jiah! Mana pernah kamu menang lawan ibumu, Cha! Biawak kok dikadalin! Tunggu sampai ke bagian harus bersyukur pada rezeki yang diterima. Biar makin mantap keyakinanmu! Icha mengomeli diri sendiri.
“Tapi, Bu…”
“Jangan dikira kamu hanya bisa menikmati hidup di Jakarta. Di Malang pun bisa. Ibu nggak akan melarangmu melakukan apa yang kamu mau! Apa pernah Ibu ikut campur semua keputusanmu?”
Lagi-lagi Icha tidak bisa menjawab argumen ibunya.
“Nikmati hidupmu, tapi di sini. Karena sudah waktunya kamu pulang.”
Ya, perdebatan berlarut-larut sekian lama itu memang muaranya hanya satu: pulang, Cha! Pulang!
Atas nama akal sehat, akhirnya Icha memilih kembali ke kota kelahirannya. Atas nama akal sehat pula, Icha juga kembali bekerja di kantor yang telah tujuh tahun ditinggalkannya. Di sini, di Elite Architects Cabang Malang. Salah satu tempatnya pulang. Kembali ke awal, ke habitat asal.
***
“Cha,” panggil Melvin yang tiba-tiba sudah muncul di depannya.
Icha yang belum terbiasa lagi memiliki meja kerja tanpa sekat, beberapa kali masih terkejut setiap ada orang yang muncul tiba-tiba di depannya. “Ya?”
“Jumat ini kamu ya, yang mewakili tim keuangan ke pesta perusahaan,” kata Melvin.
“Eh? Aku kan, baru dua hari di sini? Masa sudah harus mewakili….”
“Halah, cuma pesta kecil bersama keluarga para atasan. Pak Arif dan Pak Tjandra, Cha. Orang yang sudah kamu kenal,” kata Melvin menyebut dua orang big boss di perusahaan ini. “Ini yang lain pada nggak bisa datang. Jadi aku bilang ke Nadia kalau kamu nanti yang hadir mewakili kami.”
Nadia, sekretaris Pak Arif. Cewek yang juga sudah dikenalnya. Akhirnya Icha mengangguk. Mau bagaimana lagi? Ingat, dia orang baru! “Ok,” jawab Icha, akhirnya.
“Kamu ambil undangannya ke Nadia sekarang,” kata Melvin sambil meninggalkannya tanpa merasa perlu berterima kasih.
Sejak awal Icha tahu kalau pria itu memang tidak bermaksud menawarinya, tetapi menyuruhnya. Terima aja deh, Cha. Bagaimana pun juga dia sekarang atasanmu. Meskipun dulu kamu yang mengajarinya bekerja untuk pertama kali, saat dia masih menjadi juniormu.
***
Icha berjalan menaiki tangga melingkar menuju lantai tiga, tempat ruangan para pimpinan berada. Di gedung ini fasilitas lift memang hanya diperuntukkan bagi tiga orang bos besar beserta staf pribadi mereka. Sedangkan karyawan biasa sepertinya, dan para arsitek junior, harus rajin olahraga berjalan kaki naik turun tangga. Pengaturan ini tidak berubah juga meskipun Icha sudah pergi selama bertahun-tahun.
Nggak apa-apa, biar sehat, komentar Icha dalam hati. Sambil menapakkan kaki pada setiap anak tangga. Icha begitu tekun mengamati pola pada keramik lantai sehingga tidak menyadari kedatangan seseorang dari lantai dua yang bergabung dengannya dengan tergesa-gesa.
“Ups!” seru pria itu.
Icha menoleh dengan terkejut. Di hadapannya kini muncul seorang pria yang juga sedang menatapnya.
“Maaf,” kata Icha sopan sambil menganggukkan kepala.
Pria itu tersenyum ramah. Jiah, ganteng!
“Mau ke mana?” tanya pria dengan suara seempuk daging keluar dari panci presto.
“Ke lantai tiga, kantor Pak Arif.”
“Oh, ada urusan?” tanyanya lagi.
Nggak mungkin dong aku asal naik tangga ke kantor orang kalau cuma iseng, Bambang! “Iya. Mau ketemu sekretarisnya.”
“Oh, gitu. Yuk, silakan!” pria itu mempersilakan Icha jalan duluan.
“Terima kasih,” kata Icha sambil mengangguk dan meneruskan langkah.
“Kamu baru masuk kerja hari ini?”
Deg! Hampir saja Icha terkena serangan jantung. Dia tidak menyadari kalau pria tadi berjalan di belakangnya. “Ehm … tidak. Sudah dua hari, kok.”
Icha berusaha menyembunyikan senyum cerah yang merekah di bibirnya. Setelah bertahun-tahun merasa menjadi sosok perawan tua yang tidak terlalu mendapat perhatian, di-notice seperti ini membuat ego Icha meningkat sedikit. Tetapi wajar juga sih, di kantor sekecil ini, yang jumlah pegawainya tidak sampai dua puluh persen dari kantor pusat di Jakarta, kehadiran orang baru pasti menjadi perhatian. Jadi jangan GR ya, Cha!
Sayangnya begitu mereka tiba di ujung, pria itu mengambil arah yang berbeda dengannya.
“Selamat datang di kantor ini, ya. Semoga kerasan. Yuk!”
Dengan kalimat tersebut pria itu melangkah lebar-lebar mendahului Icha.
Icha mengangguk lagi. Coba kejadian kayak gini berlangsung tiga kali sehari seperti minum obat. Dijamin otot-otot lehernya akan segera mencapai tingkat kelenturan yang sempurna.
Dipandanginya punggung pria itu ketika menghilang pada salah satu pintu ruangan yang berjejer di lantai tiga. Apakah dia salah satu dari arsitek yang berkumpul di lantai dua? Masih cukup muda. Mungkin sebaya dengannya yang sudah berusia kepala tiga.
Penampilan casual-nya memang sangat menarik. Jean berwarna biru pudar berpotongan klasik dan kombinasi kemeja putih yang lengannya digulung separuh, terbukti tidak pernah gagal membuat penampilan pria meningkat beberapa derajat kekerenannya. Ya, sepertinya dia memang arsitek di sini. Gaya mereka sangat khas, seolah tulisan I Am an Architect tercetak jelas di dahi mereka.
Para arsitek, makhluk istimewa yang diberi keahlian kreativitas di dalam darahnya. Membuat orang-orang finance seperti Icha merasa kaku dan membosankan. Padahal, meskipun kaku di luar, kami ini lembut dan seru di dalam, lho! batinnya geli.
***
Menghadiri pesta sendirian itu jelas satu kesalahan.
Kurang nekat apa Icha, muncul di acara resmi begini tanpa pendamping. Wajar saja kalau tidak satu pun anggota tim keuangan sudi datang. Kaum lajang yang merasa waras tidak akan mau menghadiri acara beginian! Membosankan!
Apa serunya melihat para atasan bersama pasangan yang ngobrol dalam kelompok-kelompok khusus yang seolah tidak membiarkan orang lain bergabung. Juga beberapa klien yang lebih memilih berdansa di depan diiringi musik yang dimainkan oleh sekelompok musisi di panggung sebelah kiri. Terlihat Pak Arif dan Pak Tjandrabersama istri masing-masing sedang beramah-tamah dengan orang-orang penting itu.
Lalu ngapain kamu datang, Cha? Icha mengutuk kesialannya ini. Eh, tunggu, bukan salahnya kalau dia datang dan sekarang bengong sendirian di sudut ruangan seperti orang hilang. Salahkan yang mengundang, dong! Juga Melvin keparat yang sudah mengerjainya habis-habisan ini. Sialan!
“Mbak Icha?” tanya seseorang.
Icha menoleh mencari sumber suara. Kini dia berhadapan dengan sosok perempuan cantik jelita yang pernah dia kenal sebelumnya. Tapi dia lupa siapa namanya.
“Ini Mbak Icha, kan?” tanya perempuan sebayanya itu dengan antusias.
“Iya… ehm… maaf, ini siapa ya?” tanya Icha ragu-ragu.
“Mbak Icha pasti lupa. Ini Lusi, Mbak. Ingat? Sudah lama banget. Tujuh tahun…”
“Lusi? Lusi yang….”
“Iya, Mbak. Yang dulu jadi karyawan baru bantuin Mbak Icha,” Lusi tertawa senang karena Icha mengenalnya.
“Wah, kamu cantik banget,” puji Icha spontan. Tetapi dia tidak bohong. Lusi memang tampil cantik sekali malam itu. Dari tas tangan, sepatu, serta dress yang dia kenakan, semua meneriakkan brand terkenal dan pastinya berharga mahal. Eh, sebentar… “Lus, kamu datang ke sini sama…”
“Sama suamiku, Mbak. Setelah Mbak Icha pindah ke Jakarta, beberapa tahun kemudian aku resign dan menikah dengan orang sekantor.”
Icha mengerutkan dahi. Lalu secara tiba-tiba ingatan tentang Lusi menjadi jelas bagai album foto yang terbuka. Bego kamu, Cha! Masa kamu nggak lihat transformasi kecantikan Lusi yang meningkat puluhan lipat, yang artinya melibatkan duit yang tidak sedikit? Lusi memang sejak dulu cantik dan luar biasa seksi. Tetapi tidak bening kinclong dan canggih dengan selera fashion berkelas begini.
“Mbak Icha kapan balik ke kantor Malang sini?” tanya Lusi.
“Baru lima hari, Lus. Sejak Senin kemarin.”
Kebiasaan lama memang susah hilang. Mantan bawahan yang memanggilnya “Mbak” dan dirinya yang cukup panggil nama saja. Meskipun secara usia, mungkin mereka sebaya karena Icha toh memang masuk SD setahun lebih cepat dari yang seharusnya.
“Oh ya, kamu kuliah tahun berapa sih, Lus?” tanya Icha. Pertanyaan efektif dengan berbagai tujuan. Selain untuk bahan obrolan agar tidak garing, juga untuk memastikan usia mereka. Sebagai perempuan, urusan usia memang sensitif. Icha mengakui itu.
Benar saja, Lusi langsung nyerocos menyebutkan tahun masuknya ke universitas.
“Berarti kamu lebih muda dua tahun dari aku, ya? Aku lupa.”
Lusi tersipu malu. Mengatakan kalau dia memang telat masuk kuliah, serta perlu waktu enam tahun untuk lulus. Jadi fixed, mereka seumuran beda bulan doang. Dan ini penting untuk mendongkrak gengsi Icha, si perawan jomlo di usia tiga puluhan.
“Mbak Icha udah kenal sama suamiku? Namanya Diaz.”
Icha menggeleng.
“Oh,” komentar Lusi terlihat kecewa.
Penting nggak sih, aku kenal suami kamu? “Kecuali Pak Arif dan Pak Tjandra, hampir semua orang baru, Lus,” kata Icha kalem.
“Wajar sih, Mbak. Kan sudah bertahun-tahun juga, ya.”
Icha dan Lusi tidak akrab. Tetapi kondisi saat itu membuat Icha mengenal dengan baik karakter Lusi. Bagaimana tidak, selama menjadi bawahan Icha, Lusi masuk dalam daftar pegawai yang kurang memiliki kompetensi. Berkali-kali salah dalam mengerjakan sesuatu, membuat Icha sering terkena imbas. Akhirnya Icha pun menyerah dan Lusi dipindah ke bagian logistik. Karena sepertinya, meskipun sama-sama sarjana ekonomi jurusan akuntansi, Lusi kesulitan memahami kolom-kolom pembukuan sederhana.
Tetapi, apa pun yang terjadi di masa lalu, saat ini Icha sungguh bersyukur bertemu dengan orang yang pernah dia kenal di tempat yang seperti antah barantah ini! Meskipun iri dengan nasib baik Lusi. Dari penampilannya yang cetar sudah menunjukkan kalau sang suami pasti berpenghasilan lumayan. Arsitek senior? Atau….
“Halo, sepertinya seru banget obrolannya ini,” sapa seorang pria tiba-tiba.
Icha menoleh dan terkejut melihat siapa yang menginterupsi mereka. Lebih terkejut lagi karena pria ini adalah yang tempo hari dia jumpai di tangga kantor.
“Mbak Icha, kenalin nih, suamiku. Diaz,” kata Lusi.
“Halo, ketemu lagi,” pria itu tersenyum sambil mengulurkan tangan untuk dijabat Icha.
Oh, ini suami Lusi? Beruntung banget ya, orang cantik suaminya ganteng begini. Meskipun tidak terlalu tinggi untuk ukuran pria, 175 sentimeter maksimal menurut penerawangan sok tahu ala Icha, tetapi Diaz sangat menarik. Dengan matanya yang sedikit sipit, badannya juga bagus. Bahunya lebar, seperti bahu jalan yang cocok buat sandaran!
Jaga otakmu, Cha! Kebangetan! Suami orang woy!
BEAUTY privilege itu memang ada.
Lusi adalah monumen hidup yang membuktikan bahwa wajah cantik memberinya keberuntungan. Iri nggak sih melihat dia memiliki suami setampan Diaz? Jujur, Icha bukan malaikat. Icha manusia yang dilengkapi dengan segala sifat julit serta dengki. Apalagi melihat Lusi yang malu-malu menatap suaminya ini. Hati perempuan mana yang tidak bergelora?
Semua ingatan tentang Lusi terpampang jelas di depan mata. Betapa dulu Icha berkali-kali menderita gara-gara Lusi. Kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh bawahannya itu sering membuatnya tertahan di tempat kerja lebih lama, begadang semalaman untuk memeriksa tabel demi tabel yang salah input, hingga menerima amukan dari atasan karena dianggap tidak becus mengurus tim.
Tapi lihatlah sekarang. Seolah tanpa perlu susah payah, Lusi memakai jalur khusus untuk masuk ke pergaulan perusahaan langsung di posisi tinggi. Dengan ujung matanya Icha menyaksikan bagaimana perempuan yang dulu sering membuatnya murka itu kini beramah tamah dengan istri para pimpinan. Luar biasa! Sedangkan Icha? Duduk di pojok ruangan sendirian. Meratapi segala hal yang dalam hidupnya yang seolah menolak berjalan sebagaimana mestinya. Apa salahku, Tuhan? Berkali-kali dia berusaha mencari jawaban, kenapa hidupnya masih begini-begini saja.
Dulu Icha mengira dengan pergi ke Jakarta dia akan mengalami lompatan karier yang luar biasa. Ternyata semua tidak seperti bayangan semula. Gaji naik, tetapi standar hidup juga naik, yang ujung-ujungnya kembali ke titik semula. Dan sekarang, kembali ke Malang, bisa dikatakan hidupnya terlempar ke titik nol lagi.
Ah, cukuplah mengasihani diri untuk malam ini. Dengan beringsut, Icha berjalan menuju pintu keluar.
“Mau pulang sekarang, Cha?” tahu-tahu Diaz sudah berada di dekatnya. Pria itu berdiri begitu dekat. Caranya mengucap nama panggilannya juga terdengar akrab. Membuat Icha jengah. Tanpa sadar gadis itu mundur selangkah.
“Iya, sudah cukup saya berada di sini,” jawab Icha sopan. “Lusi masih di ….”
“Biarlah. Lusi senang berada di lingkaran seperti ini. Meskipun sebenarnya tidak ada gunanya bagi dia.”
Eh? Maksudnya apa nih? Icha penasaran. Tetapi memilih untuk tidak menanggapi. Bukan urusanku, Pak Bro! “Baiklah, saya pulang dulu, Pak,” pamitnya takzim. “Selamat malam.”
“Tunggu, Cha!”
Icha menoleh. Terkejut ketika Diaz mendekatinya lagi. “Ya? Ada apa, Pak?”
“Ini sudah cukup malam. Kamu pulang sama siapa?”
Sialan! Apa mentang-mentang aku sendirian jadi harus dikasihani begini? “Oh, itu. Saya bawa kendaraan sendiri kok. Terima kasih sudah peduli. Mari,” kali ini Icha mengangguk singkat dan sopan, lalu cepat-cepat pergi.
***
Baru hari Senin. Tetapi Icha sudah harus bersitegang dengan atasannya sendiri. Melvin.
Tak cukup puas setelah mengerjainya habis-habisan dengan mengirimnya ke pesta membosankan pada Jumat malam, kali ini pria itu lagi-lagi mengerjainya dengan menyuruh melakukan pekerjaan yang sedang berjalan. Yang tidak dia ketahui ujung pangkalnya.
“Ya, nggak apa-apa sih melanjutkan kerjaan on going. Tapi kasih tahu dulu sudah jalan sampai mana, dan mana data-data pendukungnya,” balas Icha dengan kesal, karena merasa diperlakukan seperti mahasiswa magang yang biasa dikerjai.
“Ini proyek desain interior kafe biasa kok, Cha! Masa iya kayak gitu aja kamu nggak sanggup hendel, sih? Harusnya kamu malah sudah khatam. Jenis pekerjaannya gitu-gitu aja,” Melvin menjawab dengan cara merendahkan.
Dan itu sangat menyebalkan!
“Iya, meskipun proyek biasa, nggak bisa dong aku tahu-tahu nyebur tanpa data satu pun!”
“Halah, jangan kebanyakan alasan, deh, Cha. Rapatnya 15 menit lagi tuh. Kamu bisa mulai kerja, dan bukannya ngomel-ngomel kayak nenek-nenek gini!”
“Iya, nggak masalah rapat 15 menit lagi. Lima menit juga nggak apa-apa. Tapi mana laporan yang sudah ada? Kasih ke aku dong. Biar aku ntar nggak bego kayak kebo waktu rapat!” Icha benar-benar kesal. “Etikanya orang yang akan hand over kerjaan itu ya, kasih laporan sebelumnya, biar orang baru tinggal meneruskan,” Icha berusha sabar.
“Bilang aja kamu nggak bisa kerja. Trus kamu bertahun-tahun kerja di kantor pusat Jakarta, dapet apa? Masa iya ngurus gini aja nggak becus! Kerjaan bikin anggaran proyek interior harusnya kan kamu udah hafal, Cha, tanpa harus ada laporan progress?”
“Ya mana bisa, Vin? Aku nggak tahu proyeknya jalan kapan, anggarannya berapa, item biaya yang dipakai apa aja. Emangnya aku cenayang yang bisa mengetahui urusan begini tanpa baca laporannya? Jangan asal bilang aku nggak bisa kerja. Satu tahun lho aku yang training kamu dulu! Atau jangan-jangan kamu belum menyelesaikan laporan itu, ya? Lalu mengumpankan aku buat menanggung kesalahanmu?”
“Meskipun dulu kamu yang training aku, sekarang kamu bawahanku, Cha. Harus nurut dong apa kataku,” Melvin keras kepala. “Mentang-mentang mutasi dari Jakarta.”
Eh? Icha tertegun. Ini Melvin lagi show off power gitu?
“Melvin … Melvin …. Ada-ada aja kamu ini,” Icha menggeleng-geleng, berusaha memahami jalan pikiran pria ini. “Kita sebaya, meskipun dulu secara jabatan aku lebih senior, sekarang di sini kamu yang jadi atasanku. Udah deh, nggak usah macem-macem pakai ngerjain orang segala. Yang penting urusan beres aja, dan tim kita nggak terkendala. Oke?”
“Halo, selamat pagi, Icha, Melvin. Ada apa nih, kok sepertinya tegang?”
Saat itu Icha baru sadar kalau mereka ribut-ribut di koridor depan ruangan finance yang posisinya di lantai satu. Jadi mudah terlihat dari arah lobi. Dan pria yang baru datang, siapa lagi kalau bukan Diaz? Kenapa ya, sekarang pria itu seolah mudah banget dia temui di mana-mana?
“Pagi, Pak Diaz,” Icha menyapa dengan sopan. “Cuma diskusi biasa kok.”
Diaz tertawa. “Melvin, siap rapat pagi ini?” tanyanya.
“Oh, itu. Digantiin sama Icha, Pak,” balas Melvin cepat.
Betapa inginnya Icha menonjok muka Melvin yang seolah mendorongnya pada masalah. Ngapain sih nih orang?
“Oh, Icha yang mewakili Melvin?” tanya Diaz, menatap Icha dengan matanya yang menawan.
Aduh, Pak! Sayang kamu sudah taken! Icha akhirnya mengangguk. “Perintah atasan nggak bisa dilawan, Pak,” katanya menyindir Melvin dengan halus. “Meskipun saya sama sekali tidak tahu menahu urusannya. Hand over kerjaan tapi nggak ada laporan progress sebelumnya, membuat saya buta,” lanjut Icha. Biarin dibilang sok mengadu. Melvin sudah menyudutkannya seperti ini, satu-satunya cara bertahan ya dengan melempar balik masalah.
“Wah, mana bisa itu. Nggak ada salinan laporan sebelumnya sama sekali?” Diaz mengerutkan kening.
Icha menggeleng. Melvin membuang muka.
“Baiklah kalau begitu. Cha, tim komersial pasti punya laporannya. Yuk, ikut ke kantor saya. Kita ketemu Reza,” ajak Diaz. “Dan Melvin, kalau memang kamu nggak bantu di tim saya, kamu ke Pak Tjandra aja deh. Tadi beliau bilang akan membahas tender baru.”
Noh! Syukurin! Hampir saja Icha melompat kegirangan. Kerja sama Pak Tjandra, kebayang nggak enaknya. Bos satu itu sangat kaku sampai-sampai susah sekali diajak kerja sama. Melihat Melvin yang terkejut, Icha ingin tertawa puas. Tetapi karena tidak ingin berlama-lama berada bersama Melvin, cepat-cepat dia mengekor Diaz.
Icha terkejut ketika Diaz membawanya ke lift khusus pimpinan dan langsung memencet tombol lantai tiga. Apakah pria ini asisten salah satu pimpinan? Barangkali Diaz mau bertemu dengan salah satu pimpinan di atas. Pak Arif biasanya sudah tiba. Atau Pak Tjandra.
Memang ada sih bos satu lagi, tetapi Icha belum kenal. Meskipun bos tersebut adalah orang yang mengirim email berisi tawaran posisi ini kepada Icha saat dia masih di Jakarta. Namanya D. Winadi Sentosa. Sosok yang hingga saat ini belum pernah Icha temui. Jadi terbayang dong betapa terkejutnya Icha ketika Diaz membawanya ke sebuah ruangan. Nama yang tertulis di pintunya membuat Icha melongo. Diaz Winadi Sentosa.
Jadi D. Winadi Sentosa, sang rekanan termuda di Elite Architecs ini, Diaz? What the hell? Seketika pikiran Icha meloncat ke sosok Lusi.
Ya ampun, Lus, andai aku tahu bahwa untuk mendapatkan keberuntungan seperti kamu ternyata nggak membutuhkan kepandaian dan kompetensi di bidang finance, mungkin sudah dari dulu aku mengikuti jejakmu! Karena bersuamikan orang seperti Diaz, siapa yang nolak?
KEBELET kawin. Ish, istilahnya gini amat. Tetapi bukankah memang begitu kondisinya?
Icha nggak mau munafik. Dia ingin punya suami. Yang ganteng, yang kaya, yang saleh, yang kayak Diaz. Ups! Tet tot! Jaga pikiranmu, Cha! Dia sudah bersitri!
Icha berargumentasi dengan pikirannya sendiri. Membela diri bahwa Diaz hanyalah salah satu contoh. Seperti contoh-contoh lain yang selama ini dia kagumi, public figure yang bertaburan baik di dunia nyata maupun maya. Yang kehidupannya serba sempurna. Dan setiap langkah serta perbuatannya disorot media, atau diunggah di akun media sosial untuk menginspirasi ribuan hingga jutaan pengikutnya.
Ibu, maafkan anakmu ini, yang di usia segini masih belum jadi apa-apa. Mana bisa dia membela diri dengan menyebutkan salah satu alasan dirinya masih single, dan belum taken juga adalah karier.
Karier apa, Cha? Jangan bikin tertawa dong! Kamu mati-matian kejar karier, menghabiskan sebagian besar pendapatan demi mengikuti pergaulan di kota metropolitan, lalu apa yang kamu dapatkan? Berusaha menjalin hubungan dari satu pria ke pria yang lain, berharap menemukan kecocokan. Dan berakhir dengan penipuan yang membuat tagihan kartu kreditmu membengkak tak masuk akal, yang ujung-ujungnya harus ditutup dengan menggunakan uang ayah. Jiah! Mana itu pria idaman yang kamu harapkan?
Di usia pertengahan dua puluhan berkali-kali dia mencoba satu hubungan dengan pria, yang hanya berujung kena prank. Menjelang tiga puluhan, keadaan semakin menyedihkan. Sudahlah sering ketiban sial bagian nraktir melulu, eh ada juga yang tega pinjam duit tanpa berniat mengembalikan. Saat pendekatan aduhai manisnya, begitu uang utangan sudah di tangan, menoleh saja enggan. Pria berengsek ternyata banyak bertebaran.
Jadilah sekarang dia kembali ke kampung halaman. Dengan tulisan GAGAL terstempel di dahinya. Tinggal di rumah orang tuanya, mengendarai mobil milik almarhum ayahnya, menjadi bawahan Melvin yang mantan anak buahnya. Kurang ekstrem gimana lagi, coba? Icha memuji nyalinya yang kuat luar biasa menjalani permainan nasib seperti ini.
Dan satu lagi, single! Yups, that’s the point!
Icha mengamati wajah-wajah yang duduk mengelilingi meja, mendengarkan kalimat penutupan dari Diaz –ralat: Pak Diaz—yang menekankan beberapa hal yang harus mereka lakukan demi kelancaran pekerjaan. Sebelum membubarkan rapat.
“Oh ya, Cha, laporan kamu saya tunggu sore ini, ya. Kamu orang baru, saya perlu memastikan apakah kamu bisa nge-blend dengan baik bersama tim ini,” kata pria itu.
Nge-blend? Emang eye shadow? Nih orang kebanyakan denger istrinya ngomongin teknik make up kali! “Baik, Pak. Saya usahakan secepatnya,” jawab Icha sambil mengangguk sopan.
Ketika Icha sudah melangkah meninggalkan ruangan, mengekor di belakang sosok-sosok peserta rapat yang lain, Diaz memanggilnya lagi.
“Ya, Pak?” tanyanya sambil menoleh dan menghentikan langkah.
Diaz tidak segera menjawab. Pria itu menunggu hingga orang terakhir, Fahri sang arsitek penanggung jawab proyek, meninggalkan ruangan.
“Lusi semalam meminta izin untuk menemuimu di sini,” kata Diaz. “Tentu saja saya mengizinkan. Saya senang kalau istri saya menemukan teman yang cocok.”
What? Icha kok belum paham ya ini maksudnya apa.
“Kemungkinan beberapa jam lagi dia akan datang dan akan mengajakmu makan siang. Maaf, merepotkan. Tapi kamu nggak keberatan kan, kalau harus menemani dia?”
Seperti orang bego Icha mengangguk dan cepat-cepat meninggalkan tempat. Berusaha menahan derasnya prasangka yang muncul semena-mena di otaknya, atas perilaku bos yang bucin habis kayak gini, sampai-sampai meminta bawahan untuk menemani sang istri.Padahal menurut Icha, Melvin sudah cukup aneh. Dia julitawan yang sering insecure tanpa alasan ini.
“Kamu nggak bilang kalau dekat sama Pak Diaz, Cha,” tegur Melvin begitu Icha kembali ke tempat duduknya.
Tuh, kan! Dasar si Melvin. “Dekat gimana maksudnya?” tanya Icha tak acuh.
“Kesannya dia panggil nama kamu enteng gitu,” jawab Melvin.
Oh, itu maksudnya? Icha baru paham standar Melvin tentang arti ‘dekat’. “Nggak sengaja ketemu pas pesta Jumat kemarin.”
“Ha? Terus kalian ngobrol gitu?” reaksi Melvin sungguh berlebihan.
“Ya iyalah, ngobrol. Masa iya harus gaplok-gaplokan? Ada-ada aja kamu ini, Vin.” Melvin boleh jadi atasannya sekarang. Tetapi dia tidak akan bisa memaksa Icha memanggilnya ‘Pak Melvin’.
“Maksudku, di acara-acara kayak gitu biasanya bos-bos nggak ada yang mau dekat sama bawahan, Cha. Mereka ngobrol sendiri. Orang-orang yang dianggap nggak penting dicuekin kayak nyamuk pengganggu. Tapi selalu diwajibkan hadir. Ngeselin, kan? Mana acaranya boring habis. Makanya pada ogah datang.”
Icha mendengus sebal. “Pantesan aku dikorbanin.”
“Anggap saja ucapan selamat datang dari tim, Cha,” Melvin nyengir.
Membuat Icha teringat pada cowok itu delapan tahun yang lalu, ketika pertama terdaftar di sini. Terlihat lugu pada mulanya, tetapi tidak malu-malu menunjukkan ambisinya setelah mengenal lebih dekat.
“Selamat datang gundulmu! Aku udah tua, Vin! Serendah apa juga jabatanku sekarang, kurang ajar banget kalian ngerjain aku,” hardiknya. “Serius deh, Vin. Sikapmu itu brengsek banget, tahu?”
“Iya, Cha, iya, maafin, ya. Aku inget kamu sebagai orang yang baik dan nggak dendam,” Melvin cengengesan.
Icha menghela napas panjang dan bersiap kembali bekerja.
“Ini serius aku nanya, Cha, gimana caranya kamu bisa langsung ngobrol sama Pak Diaz?”
Ish! “Aku ketemu Lusi, dan baru tahu kalau dia menikah dengan Pak Diaz. Terus gitu deh, chit-chat terjadi gitu aja.”
“Lusi hadir? Kok tumben?”
“Kok kamu bilang tumben sih? Kan wajar aja, dong. Itu acara bos-bos, dan Lusi istrinya salah satu bos.”
Tetapi Melvin tidak menanggapi ucapan Icha. Sebaliknya cowok itu melengos dengan menyebalkan.
“Makan siang di mana, Cha?” tanya Melvin beberapa saat kemudian.
“Belum tahu. Tumben kamu ramah banget sama aku. Pakai nanya-nanya makan siang segala. Kemarin-kemarin aku dicuekin.”
“Jangan marah, Cha. Kan judulnya test the water. Makan bareng aku yuk!”
“Ehm …,” Icha teringat ucapan Diaz tentang rencana kedatangan Lusi.
“Ayolah, Cha. Kapan lagi kamu ditawarin makan siang sama brondong kayak aku?”
Icha membelalak. “Brondong? Siapa? Kamu? Hei, kamu sama aku tuh seusia cuma beda sebulan doang! Enak aja brondong!”
“Biar sebulan kan aku lebih muda, Cha. Jadi tetap saja namanya brondong.”
Untung Icha terbebas dari gangguan Melvin ketika Pak Tjandra muncul dari lift dan berjalan menuju ke tempatnya.
“Melvin!” panggil Pak Tjandra.
Cukup satu kata, pria senior itu sudah membuat Melvin terbirit-birit. Yang disambut Icha dengan mengembuskan napas lega.
Menjelang waktu makan siang, resepsionis menghubungi Icha, mengabarkan kalau Ibu Lusi Sentosa telah menunggunya di lobi.
Hm …. Lusi Sentosa? “Baik, akan saya temui segera,” balas Icha kepada sang resepsionis yang belakangan diketahuinya bernama Rani.
Gadis itu segera bangkit dan bergegas. Di lorong menuju lobi, diam-diam dia mengamati Lusi yang sedang duduk di sofa sambil memainkan telepon genggamnya. Bila malam itu istri Diaz tampil dalam busana pesta yang glamor, siang ini dia memakai busana yang lebih sederhana. Setelan rok sepan selutut warna hijau toska pucat dan blus polos warna putih. Selera yang berbeda dengan Lusi yang dikenalnya bertahun-tahun lalu.
Lalu Icha meneliti outfit yang dia kenakan hari ini, dan tersenyum puas pada pilihannya. Celana bahan dengan potongan ramping berwarna moka dia padukan dengan blus sutra warna krem polos. Simplicity is the perfect example of a cool and laid back look. Kalau pun mereka akan makan siang bersama, tanpa perlu menyebut merek, Icha merasa seleranya belum terkalahkan. Yah, paling tidak tagihan kartu kredit dari tahun-tahun kemarin akibat terlalu sering dia gesekkan di butik-butik terkenal itu ada gunanya juga.
Lusi berdiri menyambut kedatangannya. Senyum terkembang di bibir cantiknya yang dipoles sempurna. Riasan natural di wajahnya memang terkesan simple, tapi Icha paham betul kalau yang terlihat sederhana itu tidak sesederhana proses dan biayanya. Ini garapan seorang profesional! Tebakan yang akhirnya terbukti karena tatanan rambut Lusi kelihatan banget baru keluar dari salon.
“Halo, Mbak Icha. Maaf mengganggu. Kebetulan tadi aku pas lewat sini dan memutuskan mampir buat ketemu kamu,” kata Lusi berbasa-basi.
Icha tersenyum. Hm … kita lihat apa maumu, Lus? Lagian kalian pasangan kok ngomongnya nggak kompak gini sih? Kalau emang sengaja mau datang, apa salahnya ngomong terus terang? Tetapi Icha hanya membalasnya dengan senyum ramah. “Waduh, makasih ya, Lus. Udah disamperin.”
“Mbak Icha sibuk?”
Icha menggoyang-goyangkan telapak tangannya. “Nggak. Sibuk biasa aja. Udah hampir makan siang juga kok. Kamu mau ketemu Pak Diaz?” pancingnya kepo, kira-kira sang istri pakai alasan apa.
“Oh, nggak. Aku mah pantang gangguin suami saat kerja.”
“Ya, kirain mau makan siang bareng suami,” isengnya Icha kumat deh.
Lusi tersenyum cantik –karena dia tidak manis—sambil memandang Icha. “Suamiku punya urusan sendiri dalam pekerjaan. Makan siang bersama kolega salah satunya. Aku nggak boleh ganggu, dong.”
Yaelah, kalau cuma nyamperin ke kantornya, sekedar say hi! sambil cium-cium manja nggak apa juga kali. Namanya juga suami istri. Lagi pula punya suami dengan bibir seksi macam Diaz kan sayang kalau dianggurin.
Itu kamu kali, Cha! Perawan tua ngebet kawin! Icha tersenyum kecil.
“Mbak, mumpung aku di sini, kita makan siang bareng, yuk!”
Tanpa menunggu ditawari dua kali, Icha mengangguk penuh semangat. Jiwa julid yang diam-diam mengintip, membuatnya penasaran seperti apa selera Lusi sekarang. Terutama setelah dia menempelkan nama Sentosa di belakang namanya.
ICHA mengatur posisi kalung yang melingkari leher jenjangnya.
“Semula Ibu pikir rantai kalung itu terlalu sederhana, Cha. Ternyata malah terlihat elegan kamu pakai,” komentar ibunya saat menghampiri Icha yang sedang merias diri di depan cermin.
“Emang cantik kok, Bu. Icha suka sekali,” balasnya sambil menyentuh benda yang tergantung di lehernya itu.
Trinity necklace, salah satu koleksi klasik dari Cartier ini adalah hadiah dari almarhum ayahnya. Dibeli saat mereka liburan di Singapura, tepat setahun sebelum beliau meninggal.
Desain sederhana berupa rantai tipis ganda dari emas 18 karat, dilengkapi liontin dari tiga utas kawat berbahan emas putih, rose gold, dan emas kuning yang dipintal bersama membentuk lingkaran tak beraturan untuk mengikat berlian mungil di tengahnya, justru menjadi daya tarik utamanya.
“Ibu lihat kamu setiap hari sudah nyaman mengenakan kalung lagi, Cha,” kata ibunya lagi.
“Iya, Bu. Di Malang sih aman saja pakai kalung seperti ini. Banyak orang nggak paham sama nilai sebenarnya, dikira ini imitasi,” kata Icha.
Gadis itu masih harus berusaha untuk mengenyahkan bayangan buruk tragedi yang dialaminya beberapa tahun lalu. Tragedi yang melibatkan salah satu kalung kesayangannya. Tragedi yang hingga saat ini belum berani Icha ungkapkan kebenarannya pada ibunya.
“Baguslah. Kamu pelan-pelan sudah kembali ke dirimu seperti sedia kala. Ibu selalu bilang, perhiasan yang paling cocok buatmu memang kalung. Kamu nggak pernah pas dengan cincin maupun gelang!”
“Karena Ibu yang mendandaniku dengan kalung sejak kecil, makanya aku senang pakai kalung sampai sekarang,” balas Icha.
“Ibu kan nggak asal menentukan kalung yang kamu pakai, Cha. Tetapi melalui pengamatan yang intens.”
“Iya, Bu. Percaya. Siapa juga yang meragukan selera fashion Ibu!” Icha tertawa lebar.
“Siapa tahu dengan penampilan terbaikmu, jodohmu semakin dekat,” tambah ibunya sambil mencomot beberapa lipstick dari kotak make up milik Icha, dan memilih yang paling sesuai.
“Bu, Icha sudah sepuluh tahun lho merawat diri dan sadar banget sama penampilan. Tapi jodoh Icha seret juga.”
“Halah, kamu ini pesimis banget,” ibunya meremehkan sambil memilih beberapa barang lagi dari kotak make up Icha.
Berdandan bersama adalah salah satu bentuk kekompakan mereka berdua. Apalagi sejak ayahnya tiada. Mereka dekat karena saling membutuhkan. Sekarang Icha jadi semakin sering melibatkan diri dalam kegiatan ibunya yang aktif ini. Seperti siang ini, mereka akan pergi ke acara bersama teman-teman ibunya, dan pulangnya mampir ke supermarket untuk berbelanja.
“Sebentar, Ibu lihat dulu,” ibunya menyentuh kalung di leher Icha, dan mengamati bekas goresan yang semakin samar di sana.
Icha tersenyum, mengakui kalau selera orang tuanya dalam hal perhiasan memang oke. Trinity necklace ini juga yang tempo hari dia bahas bersama Lusi saat mereka makan siang bersama.
“Aku suka kalung itu, Mbak. Bisa kasih referensi belinya di mana?” katanya memuji. “Tampak indah, apalagi kalau dipakai dalam satu set bersama cincing, anting, gelang, dan perhiasan lainnya.”
“Aku dibeliin ayahku, Lus,” jawab Icha enteng. Bagi istri Diaz, pasti mampulah beli perhiasan ini komplet satu set! Harga segitu pasti nggak mahal bagi suami Lusi. Hanya senilai DP mobil SUV standar saja, kan?
“Oh ya, Mbak, kalungmu yang dulu mana? Aku ingat, liontinnya seperti dari batu-batuan, dan rantainya memang bukan emas sih, tapi untuk ukuran kalung imitasi, yang dulu tuh, lumayan ya!” celetuk Lusi tiba-tiba.
Icha menyembunyikan reaksi kecutnya dalam-dalam. Pasti yang dimaksud Lusi adalah kalungnya yang berbahan rangkaian sterling silver dengan liontin dari batu amthyst berwarna hijau. Kalung legenda yang dimilikinya sejak SMA. Dan harus dia lepas karena terpaksa. Sebenarnya Icha sangat tidak rela kalau perhiasan pertamanya itu disebut imitasi oleh Lusi. Tapi tidak mungkin juga dia mengoreksi. Lusi hanya tidak tahu. Wajar sih. Delapan tahun yang lalu kan, dia belum sekeren sekarang.
“Kalung yang lama entah di mana, Lus. Karena bosen, jadi aku ganti ini aja,” kilah Icha.
Dia tidak menyangka kalau Lusi masih ingat dengan barang milik orang lain yang ditemuinya bertahun-tahun lalu, dan menanyakannya. Sebab Icha bukan jenis orang yang begitu. Dia memang mengamati apa yang apa saja yang dikenakan Lusi siang ini. Tetapi memilih untuk tidak berkomentar apa pun. Nggak sopan, tahu? Selera Lusi pada barang bermerek rada-rada tidak berkepribadian. Pilihannya jatuh pada model-model mainstream yang sudah banyak dipakai orang karena trend. Membuat Icha teringat pada beberapa teman sosialita ibunya yang ngotot memakai merek tertentu bukan karena cocok, tetapi takut ketinggalan mode.
Dan Lusi masih sosok membosankan seperti yang dia kenal bertahun-tahun lalu. Obrolan bersamanya sering mentok karena kehabisan bahan. Komunikasi jadi agak sulit, karena satu sama lain tidak memiliki referensi yang seimbang. Apa yang dilontarkan oleh Icha tidak bisa ditanggapi dengan baik oleh Lusi. Sedangkan topik yang dibahas Lusi bukan jenis yang menarik bagi Icha. Mereka sudah berpisah sekian lama, dan berkembang menjadi pribadi yang sama-sama berbeda. Sekelumit kebersamaan di masa lalu tidak cukup menjadi amunisi pembahasan dalam waktu lama.
Ketika mereka berputar arah membicarakan hal-hal umum dunia perempuan, ternyata tidak menjamin obrolan bisa lancar juga. Memang sih, ngobrolin mode bisa menarik kalau bersama orang yang tepat. Tetapi orang itu bukan Lusi!
Please deh, Pak Diaz, kamu udah bisa dandanin istrimu sehingga bisa ter-upgrade sekian ribu poin penampilannya. Masa iya kamu nggak bisa sekalian merogoh kocek lebih dalam untuk mendandani otaknya? Minimal personal trainer dan mentor kepribadian harus disewa agar bisa mengajari Lusi. Kan dia sudah bergaul dengan istri para bos? Bosen tahu, dengerin dia ngomongin tas Bu Tjandra harga segini, punya koleksi dompet merk anu dibeli di sono dengan harga segitu. Atau Bu Arif yang baru mengunjungi anaknya di Jepang, lalu melancong ke mana-mana selama sebulan.
***
Setelah memarkir mobilnya dengan mulus di sela-sela kendaraan yang memenuhi halaman salah satu supermarket terkenal di Malang, Icha segera meloncat dan menyusul ibunya yang sudah lebih dulu turun dan kini menunggunya di pintu masuk. Tanpa kata Icha mengambil satu troli dan mendorongnya pelan, mengikuti ibunya yang berjalan untuk memilih aneka barang.
Gadis itu tidak berkomentar maupun mengeluh ketika ibunya dengan cermat membaca kandungan bahan-bahan yang tertera dalam kotak beberapa jenis makanan. Karena ibunya jenis orang yang sangat peduli pada apa pun yang dikonsumsinya, dan menghitung dengan tepat jumlah nutrisi yang masuk ke tubuhnya.
Kali ini pun ibunya mengembalikan botol canola oil ke tempatnya. “Ibu mau coba varian yang lain,” katanya sambil bergerak ke rak berikut. “Merk yang tadi kurang bening dan ada aroma yang agak tidak wajar.”
Icha sama sekali tidak memahami apa yang dimaksud dengan kurang bening maupun aroma tidak wajar dari sebotol minyak. Di matanya semua terlihat mirip, hanya beda kemasan serta label saja. Tetapi dengan sabar Icha menunggu sampai ibunya memutuskan akan membeli yang mana, sambil mengamati sekelilingnya. Lai Lai Market di Sabtu siang begini memang cukup ramai. Tetapi antrean di kasir belum sampai mengular dengan mengerikan seperti beberapa kesempatan sebelumnya.
“Mbak Icha!”
Terdengar suara memanggilnya. Ketika Icha menoleh, dia melihat Lusi sedang mendorong troli berukuran mini. “Halo, Lus!” sapanya. Senang? Biasa saja.
“Belanja sama siapa, Mbak?” tanya Lusi sambil mendekat.
Iseng Icha melirik ke barang belanjaan Lusi. Kecap biasa. Dan tisu. Nih anak gabut kali ya? “Sama ibuku. Tuh! Lagi milih-milih minyak. Kamu?”
“Sendiri, Mbak,” jawab Lusi. “Naik taksi tadi, terus mampir ke sini. Lihat-lihat, kali aja ada yang butuh.”
Kok kasihan, ya? Dia yang sudah bersuami, kenapa kelihatan dia yang kesepian sekali? Akhirnya Icha menemani Lusi ngobrol sambil menunggu ibunya berbelanja. Ngobrol dalam arti Icha yang lebih banyak berbicara, menjelaskan satu demi satu barang yang dibeli ibunya.
“Ibunya Mbak Icha seru, ya,” komentar Lusi takjub. “Aku pengen banyak belajar tentang segala hal. Kayak makanan-makanan begini aku nggak paham, Mbak.”
Pak Diaz! Keterlaluan kamu, ya! Bisa-bisanya menelantarkan istrimu begini.
“Suami kamu ke mana, Cha?”
“Kalau Sabtu dia main golf sama Pak Arif dan kelompoknya. Kalau hari Minggu, biasanya dia main paralayang, naik motor, atau bersepeda sama temen-temen kuliahnya dulu.”
Icha tidak akan tega bertanya lebih lanjut. Sebab raut muka Lusi saja sudah menunjukkan kegalauan. Memang ya, cantik polesan dan cantik dari dalam itu memberi pancaran energi yang berbeda. Menurut Icha.
Hingga mereka berpisah karena ibunya sudah menyelesaikan aktivitas belanjanya.
“Itu tadi …”
“Istri salah satu bos junior di kantor, Bu,” potong Icha cepat.
“Dia salah kostum, dandanannya juga .…”
“Ibu, jangan mulai, deh! Ya kali semua anak perempuan punya ibu hebat kayak Icha begini,” Icha ngakak.
Dan dihadiahi sentilan di telinganya. Membuat Icha merasa trenyuh. Kenapa ya dulu dia begitu tega meninggalkan ibunya sendiri selama beberapa tahun? Padahal hidup bersama begini ternyata sangat menyenangkan. Ah, penyesalan memang datangnya belakangan kok. Nggak usah ditanya lagi!
***
Icha menjajari langkah Fahri yang berjalan cepat keluar dari kantor. Tiga puluh menit lagi dia akan mendampingi arsitek senior yang mengepalai proyek desain interior kafe tersebut bertemu dengan owner-nya. Dalam rombongan kecil itu juga ada dua orang asisten arsitek yang turut serta.
Tiba-tiba langkah Fahri terhenti ketika HP-nya berbunyi. “Kalian duluan ke parkiran, deh. Pak Diaz menghubungi.”
Dengan menurut ketiga orang tersebut segera menuju ke mobil Innova hitam milik kantor yang akan mengantar mereka. Tetapi sebelum mereka memasuki kendaraan tersebut, suara Fahri yang berteriak kencang mencegahnya.
“Tunggu! Kita bareng Pak Diaz, nih! Pakai mobil beliau!”
Dan pengalaman yang sudah-sudah pun terulang lagi. Sebagai satu-satunya perempuan dalam rombongan kali ini, dianggap sangat wajar kalau Icha duduk di depan, di samping sopir yang kebetulan sangat menawan. Siapa lagi kalau bos ganteng bernama Diaz.
“Siap, Cha?” tanya pria itu sambil menunggu Icha memperbaiki posisi seatbelt.
“Iya, Pak, sudah,” jawab Icha yang tanpa sadar menoleh dan bertatapan selama sekian detik dengan suami Lusi.
“Kalungmu … bagus,” komentar Diaz tiba-tiba. Lalu buru-buru memalingkan muka dan menatap ke depan, berkonsentrasi pada kemudi.
Sumpah ya, beneran ini pasangan suami istri Diaz dan Lusi resek banget deh soal kalung. Apa mereka ini fetish pada aksesori ini? Tiba-tiba Icha bergidik membayangkan aktifitas seks mereka berdua. Ish! Jaga otakmu, Cha!
ADA alasan kuat kenapa Icha merasa tidak nyaman ketika seorang pria mengawasi kalungnya. Karena hal itu membangkitkan ingatan buruk yang hampir membuatnya celaka. Padahal Icha sudah berusaha keras untuk menghapus kenangan naas malam itu.
Tetapi saat Diaz menoleh dan menatapnya selama sepersekian detik lebih lama, secara naluri Icha tahu kalau Diaz pria yang baik. Tatapan matanya teduh dan ramah. Menenangkan. Membuatnya tidak perlu takut. Lagipula Diaz bukan Seno. Juga bukan Arman.
“Fahri, kamu sudah kontak dengan Pak Samuel, kan?” tanya Diaz ketika mereka berhenti di lampu merah.
“Sudah, Pak!” teriak Fahri terlalu keras.
“Ish! Ngagetin aja. Ngomong kayak sama orang budek,” komentar Icha yang terkejut karena tiba-tiba saja kepala Fahri muncul di sebelahnya. Dari kaca spion yang terpasang di atas, Icha tersenyum geli melihat ketiga pria duduk bersama di jok tengah.
“Kagetan amat sih, Cha,” balas Fahri sambil nyengir. Lalu menoleh pada Diaz yang sedang berkonsentrasi di belakang kemudi. “Barusan juga Pak Samuel tiba di kafe dan sedang menunggu kita. Beliau menawari kita untuk makan siang di sana, Pak,” lanjut Fahri.
Diaz menggeleng. “Nggak usah. Kita makan di tempat lain saja. Saya pengen makan enak rame-rame.”
Icha menoleh lagi kepada Fahri yang sedang menyeringai lebar. Pria itu juga mengacungkan kedua jempolnya sambil berkata “aseek!” tanpa suara. Membuat Icha tertawa pelan sambil kembali melihat ke depan dan menyandarkan kepalanya di jok mobil Diaz. Kapan lagi disopirin bos, ya kan? Dari ujung matanya Icha menangkap sekilas Diaz juga tersenyum tipis oleh kelakuan anak buahnya. Siapa sih orang yang nggak suka ditraktir?
Pertemuan dengan Pak Samuel tidak berlangsung lama. Karena hanya untuk memastikan beberapa hal yang sudah dibahas sebelumnya.
“Pak Diaz juga sebenarnya nggak usah ikut,” kata Hendy, arsitek muda asisten Fahri.
Saat itu Icha mengikuti Fahri yang berkeliling bangunan calon kafe yang masih dalam tahap renovasi ini. Diaz sendiri masih ngobrol bersama Pak Samuel di taman. Membuat anak buahnya leluasa melihat-lihat.
“Pak Diaz bete kali di kantor, makanya ingin keluar. Tapi kalau jadi dia juga aku bakal males banget ngeladenin dua bapak tua itu,” kata Fahri.
Icha nyengir. Andai Fahri tahu, dibandingkan Pak Sidik yang dulu menjadi atasannya, Pak Arif dan Pak Tjandra bagai dua orang santa karena terlalu baiknya. Setelah berada di Jakarta, Icha yang baru menyadari tipu daya Pak Sidik untuk menyingkirkannya, berusaha menutup semua informasi dari kantor cabang Malang ini. Maka dia heran begitu mendengar kabar kalau Pak Sidik sudah keluar dan digantikan oleh orang baru.
“Berarti Pak Diaz memang direkrut buat gantiin Pak Sidik, ya? Aku kaget lho, karena nggak menyangka orang sekuat Pak Sidik bisa diganti gitu.”
“Nggak juga sih, Cha. Prosesnya cukup lama kok. Dulu Pak Diaz direkrut sebagai asisten Pak Tjandra. Arsitek murni dia. Setelah Pak Sidik pergi pun, posisi dia masih sebagai asisten teknis. Pak Diaz baru menjadi bos setelah menikah dengan Lusi. Cukup ngagetin juga sih pernikahan mereka. Karena nggak kelihatan pacaran. Mungkin karena Lusi mengurusi keuangan kali ya, jadi sering berurusan dengan Pak Diaz dan selanjutnya sama-sama tertarik. Siapa tahu?”
“Eh?” Icha terkejut.
“Iya, belum lama kok mereka nikahnya. Baru dua apa tiga tahun gitu.”
“Bukan itu, maksudku,” bantah Icha. Dia nggak peduli Lusi dan Diaz menikah berapa lama. Ada hal lain yang lebih menarik perhatiannya. “Maksudku si Lusi di keuangan? Akunting? Di bawah Saras yang judes? Kok kayak nggak mungkin, ya? Aku yang sabar aja tobat kok ngurusin Lusi. Apalagi Saras.”
“Koreksi, Cha. Pertama, Kamu? Sabar? Siapa yang bilang, Cha?” Fahri tertawa. “Yang kedua, Lusi nggak di bawah Saras. Dia di finance, di bawah Melvin.”
“Ha? Lusi balik ke finance? Dulu aku pindahin dia ke logistik karena dia parah banget di finance,” Icha menggeleng-geleng.
“Iya, setelah kamu pergi, Melvin naik gantiin kamu, kan? Nah, dia tarik Lusi balik. Jadi karena orang keuangan, secara otomatis mereka di bawah Pak Diaz. Kamu pikir gimana bisa Lusi deketin pria premium kelas Pak Diaz? Ini Lusi, lho. Kayak kamu nggak kenal dia dulu separah apa,” Fahri nyengir.
“Kamu kalau nyinyir ngalahin akun gosip, Ri!” ejek Icha.
“Eh, tahu nggak, ngomong-ngomong soal gosip, banyak yang bilang kalau Pak Diaz dijebak sama Lusi, lho!”
“Ih, kalian begini amat deh. Lagian Pak Diaz bego dong, kalau bisa kejebak!”
“Dibilangin nggak percaya! Habis nikah mereka kayak nggak rukun. Dan ini udah jadi rahasia umum. Lusi kan mantan karyawan. Bocor lah rahasia dia di grup.”
“Kalian bener-bener kayak grup ibu-ibu komplek, deh!”
“Sebab Pak Diaz kesannya kayak nggak betah di rumah. Pengantin baru yang tiap hari lembur melulu di kantor, ya Pak Diaz ini. Malah beberapa kali ambil proyek di luar kota, stay selama beberapa bulan pula. Katanya sih, Pak Diaz dipelet!”
“Kamu ya, zaman android masih percaya gituan,” Icha mencebik tak setuju.
“Tapi kemungkinan itu ada, Cha. Lusi cantik sih, tapi … gitu deh! Aku yang cuma gini-gini doang masih mikir-mikir lah kalau nikahin Lusi.”
“Untung di Lusi dong, dapet Pak Diaz! Bukan dapet kuli dengan status arsitek kayak kamu,” ejek Icha.
“Kayak jabatanmu mentereng aja! Kamu kan, kasir dengan jabatan finance,” balas Fahri. Membuat mereka tertawa.
Ketika Diaz muncul, keempat orang anak buah itu tersenyum penuh perasaan berdosa kepada sang atasan.
“Kualat kamu!” bisik Icha di telinga Fahri.
***
Unic Crab adalah salah satu resto dengan menu utama olahan laut.
“Kamu nggak apa-apa kan, Cha, makan seafood?” tanya Diaz tiba-tiba ketika mereka sudah duduk saling berhadapan dengan formasi dua-dua. Kebetulan Diaz duduk di sebelah Icha.
Icha menggeleng. “Nggak apa-apa, kok, Pak. Saya nggak ada alergi,” jawabnya santai.
“Bukan itu. Seafood kan, identik dengan kolesterol tinggi. Biasanya perempuan yang menjaga berat badannya sangat menghindari jenis makanan ini,” kata Diaz dengan suaranya yang empuk.
Aduh, Lus, kamu emang beruntung dapetin suami kayak gini. Aku salut dengan perjuanganmu selama bertahun-tahun, kalau apa yang dikatakan Fahri tadi benar. Diaz is worth getting! “Oh itu,” kata Icha buru-buru sebelum pikirannya ngelantur ke mana-mana. “Sumber kolesterol tinggi aslinya cuma ada pada beberapa jenis seafood saja sih, Pak. Dan saya bukan penganut diet ekstrem juga. Saya santai kok.”
Diaz tersenyum sambil mengangguk. “I see.”
Apakah Lusi penganut jenis diet ekstrem, ya? Ingat Lusi membuat Icha ingat sesuatu. “Sabtu lalu saya ketemu Lusi ketika sedang belanja di supermarket, Pak.”
“Oh ya?” Diaz mengerutkan kening. “Mungkin saya yang lupa apakah Lusi sudah cerita apa belum.”
“Lah, saya pikir karena Lusi cerita, jadinya Pak Diaz tadi memperhatikan kalung saya,” Icha tertawa. “Lusi kayaknya tertarik, Pak. Bisa lho, perhiasan model gini buat inspirasi kalau Pak Diaz mau kasih kado surprise buat istri.”
“Oh, ya?” kerutan di kening Diaz semakin dalam. “Setahu saya malah Lusi benci banget dengan kalung. Ups! Sorry. I mean, kalung bukan perhiasan favoritnya.”
Eh? Hayoloh …, Cha! Bisa berabe ini. “Wah, lucu ya, ada orang nggak suka kalung,” dengan lihai Icha membelokkan arah pembicaraan. Kalau Diaz dan Lusi ada masalah, bukan urusan Icha lah. Kayak kurang kerjaan aja, cari perkara. “Tapi untung lho, Pak, istrinya cuma nggak suka kalung. Bukan nggak suka cincin.”
“Emang kenapa?” kali ini Diaz tertawa pelan, penasaran juga dia.
“Ya kan, nggak seru, Pak! Ntar Pak Diaz bingung itu cincin kawin mau dipasang di mana. Masa iya puser ditindik buat cantelin cincin kawin.”
Diaz tertawa berderai-derai. Bukan jenis tertawa ngakak tanpa sopan santun seperti yang dilakukan Fahri dan dua asistennya tadi. Kayak Icha juga, yang kalau ngakak benar-benar all out!
“Kan bisa diselipin di rantai kalung. Kayak punya kamu itu, Cha!” Diaz menunjuk pada liontin Icha yang sekilas memang terlihat seperti cincin. “Kamu memang hobi banget ya, pakai kalung semacam itu?” tanya Diaz tak terduga.
“Semacam itu gimana ya, Pak?” tanya Icha bingung.
“Dengan bandul seperti itu,” jawab Diaz kalem.
“Eh? Wait! Dari mana Pak Diaz menyimpulkan model kalung-kalung saya, sedangkan kita baru kenal beberapa hari saja?” Icha menatap Diaz dengan tajam.
Diaz tersenyum. Lembut dan misterius. “Kita bukan baru bertemu kok, Cha. Dulu, bertahun-tahun lalu kita juga pernah bertemu. Lebih dari sekali malah. Tetapi kamu lupa. Atau malah nggak tahu.”
Eh?
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰