Bab 6 - Bab 10 Segitiga Patah Kaki (Gratis)

87
2
Deskripsi

Pernah tayang di Storial.

Bagi yang sudah pernah membaca di Storial, tidak usah membaca lagi, ya.

Bagi yang kemarin udah beli koin utk storial tapi terkendala membukanya, silakan hubungi aku. Thank you

Isi:

Bab 6 - Kontradiksi

Bab 7 - Kakak Senior

Bab 8 - Pulang

Bab 9 - Karena Makan Siang Adalah Keputusan

Bab 10 - Hujan dan Taksi

06 – Kontradiksi

MENYEBALKAN sekali bertemu dengan orang yang mengetahui sesuatu tentang diri kita, tetapi kita sendiri malah tidak tahu itu apa. 

“Apakah saya perlu mengingatnya, Pak?” tanya Icha berusaha menyembunyikan rasa penasaran sekaligus kejengkelan melihat wajah Diaz yang menyeringai misterius itu.

“Nggak usah,” Diaz menggeleng. “Itu kan hanya masa lalu, Cha. Kejadiannya juga nggak sengaja kok. Lagian bertemu seseorang tak dikenal kan sudah menjadi peristiwa sehari-hari dalam hidupmu. Kebetulan saja waktu itu kamu ketemu saya.”

“Tapi kan saya jadi penasaran, Pak,” Icha menggerutu.

“Rasa penasaran nggak bakal bikin kamu mati,” Diaz mengelak dengan lihai.

Icha ingin membantah. Tetapi segera mengingatkan dirinya siapa laki-laki yang sedang dihadapinya saat ini. Selain berstatus suami orang, yang membuatnya tidak boleh sok akrab dan bercanda semaunya karena baru kenal, Diaz juga atasannya. Apalagi ekspresi pria itu menunjukkan kalau dia tidak akan membuka mulut lagi. Akhirnya Icha menyerah sambil tersenyum masam.

“Nyerah kamu, Cha?” tanya Diaz dengan nada meledek.

“Menyerah sekali-sekali juga nggak bikin saya mati kok, Pak.”

Tawa Diaz meledak. Baru berhenti melihat Fahri yang muncul bersama dua asistennya. Ternyata tanpa Icha dan Diaz sadari, ketiga pria itu memilih menunggu di luar sejak tadi.

“Mulut asem pengen ngerokok, Pak,” kata Fahri meminta pemakluman.

Yang ditanggapi Diaz dengan tersenyum kalem. “Saya juga kadang ngerokok. Tetapi jarang sekali.”

Obrolan itu dilanjutkan dengan keributan memesan makanan. Dengan lincah Icha menyarankan agar mereka memesan satu porsi middle crab untuk 4 pax. 

“Pak Diaz nggak pesan?” tanya Icha karena Diaz tidak menyentuh daftar menu di depannya.

“Saya gabung sama kalian aja,” kata Diaz sambil melipat lengan bajunya sampai siku, lalu berdiri menuju tempat cuci tangan. Saat kembali ke tempat duduk, pria itu tertawa geli melihat anak buahnya yang melongo keheranan.

“Serius, Pak?” tanya Fahri takjub. 

Sebab makan seafood gaya warung begini sangat tidak cocok dengan citra Bos Diaz yang selalu tampil rapi dalam versi casual. Mana bisa mereka menjaga penampilan tetap paripurna kalau berhadapan dengan aneka kerang, kepiting, dan cumi, dengan saus kental kehitaman di atas meja yang dialasi kertas nasi? Impossible!

“Serius,” sahut Diaz sambil mengulurkan tangan untuk mengambil satu bungkus kerupuk udang yang tersaji di atas meja. “Tambahin pesenannya.”

Fahri yang menyambutnya dengan wajah berseri-seri. “Ganti yang porsi premium all in one, Cha! Empat pax dan dua pax. Total enam pax untuk berlima kan masih pantes, ya. Aku nggak keberatan kok makan sisanya kalau kalian nggak habis!”

“Dasar!” ejek Icha sambil tertawa.

Mereka berempat terpesona ketika sang bos benar-benar mengulurkan tangan pada setumpuk makanan sarat kalori itu. Melahapnya tanpa gengsi, dan ikut berceloteh ribut tentang segala hal. Setelah menghabiskan makanan dengan berisik, mereka melanjutkan dengan dessert berupa es teler porsi jumbo yang disajikan dalam gelas-gelas besar berbentuk setengah lingkaran.

“Ternyata kamu memang beneran nggak takut gendut, Cha,” komentar Diaz takjub melihat Icha yang dengan riang gembira tak mau kalah menyerbu hidangan yang tersaji di atas meja.

“Icha, nih, bisa banget ya, jaga penampilan,” kata Fahri yang sedang menyandarkan punggung di kursi. Pose khas orang yang kekenyangan. “Perasaan dari pertama kenal badannya segini doang. Aku yang laki-laki aja kesulitan ini menjaga ukuran pinggang biar tetap kelihatan cakep. Lama-lama bisa kayak gentong ini.”

Icha tertawa. “Aku diet, kok. Sejak remaja aku sudah diajari ibuku cara konsumsi harianku. Bisa makan enak tanpa takut kelebihan berat badan. Dan tanpa menderita sama sekali.”

“Ajarin dong, Cha,” pinta Fahri.

“Udah telat, ah. Kamu kalau makan nggak aturan gitu! Itu habit, tahu! Kecuali kamu sadar dan mau mengubah kebiasaan makanmu. Hal kayak gitu nggak bisa didapat dalam waktu singkat!”

“Dengerin tuh! Putri keraton memberi sabda!” ejek Fahri.

Icha terbahak-bahak tanpa merasa tersinggung sama sekali. Sudah lama dia tidak mendengar sebutan itu. Ejekan bagi Icha yang merasa dirinya dikenal sebagai putri keluarga baik-baik, selalu bersikap baik, dan tak pernah melakukan sesuatu yang tidak baik. Paling tidak itulah yang dia ketahui.

“Ibuku kan memang sangat peduli dengan kesehatan,” kata Icha sambil tersenyum. “Kamu kalau mau belajar, langsung sama ibuku aja. Beliau lebih paham soal ginian.”

Hanya Ibu yang bisa membuat pelajaran diet menjadi praktis dan mudah dijalani. “Intinya satu, Cha. Jangan rakus. Makan secukupnya saja. Kalau kamu sudah makan gorengan sebanyak ini di waktu siang, berarti malamnya kamu harus banyakin makan buah dan sayur, biar nggak nimbun penyakit.” Itu kalimat yang selalu diucapkan ibunya, dan tertancap dengan kuat di kepalanya.

Alih-alih mengatakan istilah seperti detoksifikasi, ibunya lebih suka menyebutnya “jangan menimbun penyakit”. Dengan bijak ibunya menghindari istilah lemak dan gendut. Beliau selalu menekankan pentingnya menghindari penyakit dengan menjaga tubuh tetap sehat melalui makanan yang baik. Ajaran yang pelan-pelan membentuk pola makan Icha menjadi sebaik sekarang. 

“Oh ya, Pak Diaz, kalau boleh tahu. Lusi rajin diet dan olahraga juga, kan?” tanya Icha tiba-tiba. Teringat ketika makan siang bersama betapa pemilihnya Lusi pada jenis makanan yang dikonsumsinya. Meskipun menurut Icha sikap Lusi agak berlebihan. Mungkin ini cara sang Nyonya Diaz untuk mempertahankan bodi langsing dengan wajah tirusnya itu.

“Yaelah, Cha! Kayak gitu ditanyain. Dikira kami para suami paham kali, istri diet apaan!” komentar Fahri sebelum Diaz menjawab. “Lagian para istri juga aneh. Ngaku diet, ribut kalau berat badan naik, tapi jajan jalan terus!”

“Itu istri kamu, kali! Bukan istri Pak Diaz tentunya,” bantah Icha. Lalu dia menoleh kembali pada Diaz. “Kemarin ketika kami bertemu, Lusi bilang dia ingin belajar banyak hal pada ibu saya, Pak.”

“Mungkin saja dia minat,” kata Diaz tak acuh. “Kamu akrab banget ya, sama Fahri?” tanya Diaz mengalihhkan topik bahasan dengan sengaja.

Icha membelalak ke arah Fahri yang juga sedang memelototkan mata. “Ya …, nggak akrab banget juga sih. Lebih tepatnya kami terpaksa jadi akrab gini karena sejak dulu sering kerja bareng,” Icha menghindar dengan sengaja, ingin memancing komentar Fahri.. 

“Yaelah, Cha, kamu gengsi amat sih mengakui kalau kita pernah dekat! Kalau kamu nggak ke Jakarta juga mungkin kita sudah menikah, dan tiga Fahri junior itu akan lahir dari rahim kamu!” kelakar Fahri.

“Ih! Sembarangan! Kalau istrimu dengar, bisa-bisa kamu disuruh tidur di trotoar!” omel Icha.

Fahri tertawa. Tetapi begitu melihat melihat ekspresi terkejut yang tak dibuat-buat di mata Diaz, pria tiga puluh tahun itu buru-buru menambahkan, “becanda, Pak! Kami berteman baik aja kok. Icha mah, gitu deh!”

“Ih, Fahri sok misterius banget,” balas Icha. “Kami masuk ke Elite hampir bareng, Pak. Cuma sekarang Fahri udah memimpin proyek, saya malah terjun bebas jadi bawahan Melvin,” Icha nyengir.

“Icha tuh, jabatan boleh rendah, Pak. Tapi sejak dulu dia jadi andalan. Kerjaan Pak Sidik aja dulu banyak dihendel dia! Dia dulu sering diledekin, gaji asisten standar kerja ala bos. Kurang kerjaan banget kan?” Fahri terbahak-bahak.

“Fahri, lebay deh kamu. Di Jakarta ternyata nggak ada tempat untuk orang kayak aku,” lanjutnya sambil tertawa ringan. Dia tidak mau dikasihani, tetapi tanpa sadar hal itu nyeplos begitu saja. Aku tidak bermaksud mengeluh, Tuhan!

“Ya udah, kamu di sini aja, Cha. Semoga awet ya. Tulus lho, aku doain kamu,” Fahri mengedipkan sebelah mata dengan jenaka.

Diaz tersenyum melihat interaksi Icha dan Fahri. Tetapi kemudian dahinya sedikit berkerut melihat bagaimana dengan luwesnya Icha membereskan sisa-sisa aktivitas makan mereka, membantu sang pramusaji tanpa diminta. Dan sengan senyum ramah membalas ucapan terima kasih pegawai restoran ini.

Icha? Tuan putri sombong dan angkuh itu? Jangan harap dia mau dekat pada orang yang dianggap nggak sederajat sama dia! 

Seseorang dulu pernah berkata begini pada Diaz.

***

Setelah berkali-kali rapat dilakukan di lantai dua, tempat Fahri bermarkas, kali ini Diaz meminta mereka hadir ke ruangannya untuk memberi laporan. Di sana memang ada meja rapat berukuran sedang yang di letakkan di sebelah ruang pribadi bos muda ini.

Bukan perkara rapat di lantai tiga yang membuat Icha enggan. Melainkan karena Diaz menggunakan kantor yang dulu digunakan Pak Sidik. Meskipun pria itu sudah mengubah penataan interior secara total, ruangan di ujung lorong dengan pintu abu-abu menghadap ke balkon yang langsung menyajikan pemandangan jalanan asri di wilayah komplek perumahan tempat kantor ini berada, selalu membangkitkan kenangan yang tidak semua menyenangkan bagi Icha.

Andai saat itu aku lebih peka, mungkin aku tidak akan menyia-nyiakan waktu selama ini untuk belajar bahwa hidup tidak selamanya adil. Bahwa nasib bisa sangat berbeda sekuat apa pun aku berusaha menjadi yang terbaik.

“Cha?” Diaz bertanya heran.

Icha terkejut. Rupanya dia terlalu banyak melamun, membuatnya tidak sadar kalau Fahri dan tim lainnya sudah meninggalkan ruangan. Sekarang dia hanya tinggal berdua bersama Diaz. 

“Oh, maaf, Pak! Rupanya saya nggak sengaja melamun,” katanya sambil buru-buru bangkit dari tempat duduknya.

“Kenapa, Cha?” Diaz tidak membiarkannya lolos begitu saja.

“Oh … eh … tidak, Pak. Hanya saja ruangan ini mengingatkan saya pada Pak Sidik. Konyol sekali saya ini. Padahal sudah lama sekali berlalu,” kata Icha berusaha menghindar dengan wajah memerah. Sayangnya dia tidak bisa segera pergi karena Diaz tidak ada tanda-tanda mau melepasnya begitu saja. 

“Apakah kamu masih berhubungan dengan Pak Sidik?” tanya Diaz.

Icha terkejut. “Tidak, Pak. Terakhir saya bertemu beliau ketika mau keluar dari sini. Tujuh tahun yang lalu.”

“Bukannya kamu pindah ke Jakarta atas bantuan Pak Sidik? Beliau kan, yang membantumu sampai diterima di kantor pusat Elite Architect?”

Icha gelagapan. Lalu mengangguk lemah. “Iya, Pak. Benar.”

Memang benar, begitulah kenyataannya. Pak Sidik yang menawarinya kesempatan masuk ke kantor pusat di Jakarta. Dan Icha yang baru berusia 23 tahun, sedang di puncak semangat berkarier, menerimanya dengan sangat antusias.

“Oke, silakan pergi,” kata Diaz dengan ekspresi yang tiba-tiba dingin.

Tanpa menunggu diperintah dua kali Icha pun bergegas pergi. 

Icha itu gayanya aja yang sok alim sok priyayi. Begitu pandai berpura-pura, sehingga hanya beberapa orang saja yang tahu sifat aslinya. Juga kenyataan kalau dia sebenarnya adalah simpanan Pak Sidik. Makanya biarpun dia sudah melakukan kesalahan fatal, tetap dilindungi oleh sugar daddy-nya. Icha sengaja dikirim ke Jakarta biar nggak kena kasus penyelewengan keuangan di sini.

Diaz menatap tajam pada pintu yang telah ditutup oleh Icha. Kenapa semua begitu kontradiktif, Cha.


 

07 – Kakak Senior!

MESKIPUN sudah menjadi atasan, kelakuan Melvin masih sama persis dengan yang diingatnya tujuh tahun lalu. Sering menunda pekerjaan dan menghilang saat dibutuhkan. 

“Emang kamu sekarang lagi di mana, Vin? Aku harus kelarin laporan progress Fahri habis makan siang ini! Aku nunggu hasil verifikasi dari kamu, tahu?”

“Aku berada di satu tempat, Cha. Dan aku nggak wajib lapor kamu kalau mau pergi ke mana. Kecuali kamu mau jadi pacarnya brondong kayak aku!”

Betapa ingin Icha menimpuk kepala cowok geblek itu dengan bundel dokumen setebal 400 halaman yang ada di atas meja kerjanya. “Vin, terus gimana? Aku nggak bisa laporan kalau gini caranya,” keluh Icha dengan menahan kekesalan yang pelan-pelan mulai muncul.

“Kan sesuai antrean, Cha. Nggak bisa cepat lah. Kerjaanku kan nggak ngurusin kamu doang!” balas Melvin nyebelin. 

Widih! Sok penting banget. “Kalau urusannya cuma sama aku, nggak masalah, Vin. Mau kamu tunda berbulan-bulan juga aku nggak protes. Enak malah. Tinggal leha-leha nungguin aja. Tetapi ini urusannya sama bos kita. Yang tahu prioritas itu kamu, dan yang bisa mengomunikasikan ke para bos, juga cuma kamu. Kamu dong yang harus bilang ke Pak Diaz! Biar bawahan kayak aku nggak jadi tumpuan kesalahan!”

“Cha, my job my rule!”

“Dan kita lihat, rule konyol kamu itu akan bertahan sampai kapan!”

“Udah tujuh tahun bertahan dan aku aman, Cha! Mau bukti apa lagi?” ejek Melvin. 

Melvin tahu sekali kalau hal ini menampar Icha dengan sangat keras dan menjatuhkan harga dirinya dengan telak. Tahan, Cha! Tahan! Meskipun dia kamu anggap nggak kompeten, Melvin tetap atasanmu! Demi tetap menerima transfer gaji setiap bulan, abaikan ucapan Melvin. Karena kamu Icha, bukan Lusi yang sudah punya suami berpenghasilan besar yang bisa menjamin pasokan dana di rekening tetap terjaga! 

“Lalu aku harus jawab apa kalau nanti Pak Diaz nanyain, Vin?” tanya Icha sok bego.

“Kamu harus bisa kasih alasan yang bagus, dong. Tugas kamu itu!”

“Ya udah, aku bilang aja laporannya masih di meja kepala finance dan belum diperiksa,” kali ini Icha memanfaatkan kesempatan untuk membalas Melvin.

“Cha, sialan! Itu sama aja kamu ngumpanin aku!” 

“Aku cuma bawahan. Mau bagaimana lagi? Yang jadi bos itu kamu, Vin. Tugasku cuma setor. Tugas kamu yang verifikasi. Clear?” dengan kalimat itu Icha memutus sambungan telepon. 

Melvin boleh jadi memang atasannya. Tetapi secara psikologis, secara tidak sadar dia masih memosisikan dirinya sebagai traineer yang dulu mengajari pria itu dalam berbagai hal. Dan Melvin tahu sekali hal ini. Terlihat dari beberapa kali dia menjadi tidak percaya diri dan goyah saat Icha mengklarifikasi hasil pemeriksaannya. Padahal yang Icha lakukan hanya bertanya, “masa gitu sih, Vin? Yakin udah bener?” Dan Melvin akan menutupi kegugupannya dengan menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan memeriksa lagi dari awal. 

Sebentuk senyum penuh kemenangan terukir di sudut bibir Icha. Lalu dia kembali memeriksa laporan yang dia buat untuk Fahri. Di atas mejanya juga tertumpuk beberapa map dengan label nama proyek yang berbeda. Belum juga sebulan Icha di kantor cabang ini, dia sudah harus mengurus empat proyek sekaligus. Dan harus bersedia melayani konsultasi dari beberapa orang yang ada di bagian finance sepertinya.

***

Icha mengembuskan napas dengan lega ketika mengetahui bahwa Pak Sidik belum meninggalkan kantornya. Dengan penuh semangat dia mengetuk pintu ruangan di ujung lorong lantai tiga itu.

“Hm… ada apa? Kamu anak baru itu kan?” tanya pria itu.

“Iya, Pak. Saya Alisya, atau biasa dipanggil Icha. Tadi saya disuruh mengecek beberapa laporan transaksi oleh Mbak Saras,” kata Icha dengan jantung berdebar. Keuangan memang dipegang oleh Saras. Baik itu akunting mau pun finance. Tetapi karena Saras lebih berkonsentrasi pada akunting, untuk segala hal yang berurusan dengan finance, Icha disuruh berkomunikasi secara langsung dengan arsitek bersangkutan, atau ke Pak Sidik yang membawahi keuangan.

“Tadi saya sedang mengecek beberapa nota pembelian dari proyek yang dipegang Arya,” kata Icha.

“Lalu?”

“Ehm, ada beberapa pembelian yang setelah saya teliti ternyata tidak masuk dalam kontrak, Pak.”

Pak Sidik yang duduk bersandar di kursi besar yang ada di belakang mejanya, menegakkan tubuh dan melepas kacamatanya. “Sudah konfirmasi sama Arya?” tanyanya, dengan ekspresi tidak suka. “Kalau saya harus menerima laporan remeh tentang nota begini, habis waktu saya. Nggak bisa mengurusi perusahaan, nggak dapet proyek lagi. Mau digaji pakai apa kamu?”

Icha terkejut dan tanpa sadar mundur satu langkah. “Maaf ….”

“Apa kata Arya?” tanya Pak Sidik setengah membentak.

“Maaf, tadi karena saya lihat keterangan pada nota-nota tersebut atas nama Pak Sidik, dan Arya juga sudah pergi, jadi saya ke ….”

“Lancang kamu! Belajar kerja yang bener!” bentak Pak Sidik.

Icha mengangguk dengan wajah pucat ketakutan. “Baik, Pak.”

“Mana nota yang kamu maksud?” tanya pria itu tanpa keramahan sama sekali.

Icha maju dengan ragu-ragu dan menyerahkan bundel dokumen yang dibawanya. “Nilainya besar, Pak. Bahkan beberapa nota memiliki nilai pembayaran lebih dari 50 juta rupiah. Saya pikir ada kekeliruan. Mungkin ini nota pribadi Pak Sidik yang secara tak sengaja terselip di laporan itu. Karena supplier-nya sama, Pak.”

“Arya nggak tahu?” kali ini Pak Sidik menatap Icha dengan tajam.

Icha menggeleng dengan takut. “Maaf, Pak. Saya belum bertemu Arya sejak pagi. Tadi saya hanya bertanya ke Mbak Saras tentang dugaan itu ….”

“Saras? Bodoh kamu!” bentak pria senior itu. Dan Icha terkejut sekali ketika tiba-tiba Pak Sidik berdiri dengan kasar. “Besok pagi, bawa nota sialan itu menghadap saya lagi. Juga bawa laporanmu. Saya tunggu jam delapan pagi! Awas, jangan terlambat dan jangan sampai lupa!”

Ingatan tentang pertemuan pertamanya dengan Pak Sidik memang sudah agak kabur. Tetapi suasana ruangan Diaz membuat Icha lagi-lagi seperti melihat kembali sosok Pak Sidik hadir di sini. Karena meskipun hampir semua furnitur sudah diganti, Diaz tetap mempertahankan meja dari kayu jati berwarna coklat gelap yang dulu merupakan singgasana Pak Sidik.

“Ntar urusan yang belum fixed, langsung kamu konfirmasi sama kepala proyek masih-masing, ya Cha. Mereka yang lebih tahu kebutuhan di lapangan. Harus cepat ini. Akunting sudah nagih-nagih terus karena nggak mau terlambat mengirim laporan pajaknya,” kata Diaz. 

Icha akhirnya menyampaikan laporan yang belum diverifikasi oleh Melvin. Untung Pak Diaz mau menerimanya. 

“Kalau saya pribadi, sudah oke banget sama hasil kerjamu ini. Ntar saya yang akan menghubungi Melvin langsung dan memintanya untuk segera verifikasi.”

Privilese potong kompas begini hal yang tidak Icha sukai. Apa yang dia ucapkan pada cowok tadi hanyalah gertak sambal belaka. Tak mungkin Icha menurunkan profesionalismenya dengan mengadukan rekan sendiri. “Soal Melvin, saya rasa bukan salah dia, Pak. Sistemnya memang begitu, kan?” Icha menyampaikan argumennya dengan sopan.

“Kenapa, Cha? Takut dibilang pengadu?” Diaz tersenyum.

Icha menggeleng. “Tidak. Urusan evaluasi sistem tidak ada hubungannya dengan rasa takut dan pengaduan.”

Diaz tertawa. “Bener. Mungkin kalau kita lebih akrab, kamu bakal geblek-geblekin saya seperti kamu memprotes Fahri,” katanya ringan. “Tetapi hal-hal seperti ketidakefisienan di kantor ini pastilah sudah saya notice, Cha. Hanya perlu katalisator untuk menggulirkan isu ini kepada dua rekanan yang lain. Dan kamu adalah katalisator itu.”

“Atas dasar apa, kalau saya boleh tahu?”

“Empat proyek kamu pegang sekaligus itu pasti sesuatu banget, Cha. Melvin pasti menghibahkan pekerjaan itu begitu saja dan melakukannya tanpa sadar. Dia hanya berpikir bisa mengandalkanmu dan merasa aman karena sang guru telah kembali,” Diaz menaikkan alis. “Correct? Sekali senior, tetap senior.”

Icha mengeluh. “Padahal saya hanya lebih tua sebulan dari Melvin, Pak.”

“Oh ya?” Diaz melipat tangannya di dada. Tetapi bibirnya menyunggingkan senyum geli. “Bagaimana kalau dibandingkan dengan Lusi?”

Demi apa pria ini menggunakan istrinya untuk perbandingan! “Ehm, nggak sampai setahun juga. Kami bisa dikatakan sebaya.” Dan awas saja kalau aku disebut bermuka boros, sehingga terlihat seperti sangat senior dibanding Melvin dan Lusi!

“Oke, Cha, saya akan bahas tentang efisiensi di finance ini bersama Pak Arif dan Pak Tjandra. Kamu tunggu hasilnya saja, ya,” katanya ringan, sambil menutup dokumen serta mengembalikannya kepada Icha. Tanda pertemuan telah selesai.

Ketika seorang bos mengatakan hal seperti itu, berdasarkan pengalaman, artinya tidak usah terlalu berharap. Bos orang sibuk. Urusannya banyak. Soal ketidaknyamanan karyawan, biarlah mereka berusaha semampunya untuk bertahan dan menyesuaikan diri. Performance terbaik muncul karena persaingan bukan? Pikir Icha dengan sinis. Makanya dia sangat terkejut ketika suatu pagi, tiba-tiba saja Diaz muncul di depan mejanya dengan wajah berseri.

“Cha, aku sudah berdiskusi dengan Pak Tjandra dan Pak Arif. Urusan verifikasi ini sudah dapat solusi. Tinggal difinalkan dalam rapat tertutup nanti. Siap-siap terima kejutan, ya, setelah ini!” katanya penuh semangat.

“Eh?” Icha menanggapi dengan kaget.

“Jangan bengong, Cha! Nggak pantes kamu melongo begitu. Semangat dong, Cha! Semangat!”

“Saya cuma nggak nyangka kalau beneran bakal dibahas.”

Count, me, Cha!” dengan senyum lebar Diaz meninggalkan Icha. Tetapi begitu tiba di ambang pintu, Diaz berhenti. “Oh ya, Cha, aku belum sempat bilang, bahwa di antara Lusi dan Melvin, kamu tetap terlihat paling muda kok. Jangan khawatir!” seringainya iseng.

Hei! Gimana? Dia bilang apa? Sialan! Dia tadi bilang ‘aku’? Demi apa!

***

Begitu mudah Icha melebur dalam rutinitas lama. Seolah waktu tujuh tahun kepergiannya itu tidak pernah terjadi. Seolah setiap hari dia bekerja di sini tanpa pernah meninggalkan kota ini. 

“Iya, Bu. Aku tadi kan, sudah bawa bekal dari rumah. Jadi tidak jajan sembarangan. Ini mau makan kok, sebentar lagi. Hanya sedang mencocokkan beberapa faktur saja,” kata Icha. “Iya, nggak. Nggak ngoyo. Biasa saja.”

Setelah berhasil meyakinkan pada ibunya bahwa dia baik-baik saja, Icha menutup ponselnya. Sejak kepulangannya, kebutuhan ibu untuk mengobrol dengannya seolah sulit dicukupkan. Wanita itu selalu mencari cara agar mereka tetap berkomunikasi dan mengatur agar keduanya selalu terlibat satu sama lain. Ya, nggak apa-apa juga, sih. Namanya juga ibu dan anak. Icha senang sekali malah. Karena sekarang satu-satunya sandaran yang dia punya hanya Ibu. Dan setelah berpisah sekian lama, dia butuh kedekatan ini untuk membantunya pelan-pelan kembali ke dirinya yang dulu. 

Tetapi ketika notifikasi ponselnya berbunyi lagi, Icha mengerutkan kening. Ada apa lagi sih, Bu? pikirnya geli sambil mengambil HP yang sudah dia letakkan di atas meja. Eh, ternyata bukan dari Ibu! Icha membuka pesan dari satu nomor tak dikenal itu dengan penasaran.

Selamat siang, Mbak Icha. Ini Lusi. Maaf, ternyata tempo hari aku lupa nggak save nomor HP Mbak Icha. Untung aku dapet dari suamiku. Tolong disimpan nomorku ini ya, Mbak.

Icha sampai dua kali mengulang apa yang dibacanya ini karena merasakan keanehan yang sulit diabaikan. Kok bisa sih Diaz kasih nomor HP-nya ke Lusi? Bukannya Diaz juga nggak tahu nomor pribadi Icha? Mereka baru bertemu beberapa kali saja. Belum sampai pada tahap tim kerja yang intens sampai harus saling simpan nomor HP. Lagian seorang bos seperti Diaz, kalau butuh sesuatu yang melibatkan anak buah juga tinggal nyuruh anak buah yang lain buat manggilin. Ada asisten, ada intercom juga. Kok aneh, ya!


 

08 – Pulang[oo1] 

JANTUNG Icha hampir copot ketika tahu-tahu intercom di mejanya berbunyi. 

Sialan! Lagi dipikirin juga itu intercom berbunyi dengan semena-mena! Dan ternyata dari Lastri, asisten Diaz. Tuh, kan? Nongol deh.

“Cha, habis makan siang ke kantor Pak Diaz, ya. Bisa cepet, kan?” suara Lastri terdengar kenes seperti biasa.

Kalau dipikir-pikir, hampir semua yang ada di kantor ini adalah wajah-wajah lama. Lastri dulu asisten Saras di akunting yang sekarang jadi asisten Diaz. “Iya, beres! Aku bisa cepet kok. Aku nggak ke mana-mana, makan siang di kantor ini.”

“Kamu bawa bekal, Cha?” tanya Lastri antusias.

“Iya. Kenapa?”

“Akhirnya! Teman kencan makan bekal demi pengiritanku kembali ke habitat semula!” Lastri terkekeh. “Bentar, tungguin. Barengan, yah. Aku juga bawa bekal ini. Biar hemat, buat beli susu anak!”

Icha tertawa. Dulu Lastri kerap membawa bekal dengan alasan penghematan biar bisa beli skincare dan bayar iuran gym di pusat kebugaran. Sekarang setelah menjadi ibu dari seorang anak berusia satu tahun, ganti lagi alasannya. Padahal sih aslinya karena mereka senang membawa bekal. Tidak jauh beda dengan Icha, Astri dan suami masih tinggal di rumah ibunya, dan punya pembantu yang bisa masak enak. Tak perlu menunggu waktu lama, wanita yang setahun lebih tua dari Icha itu sudah muncul sambil menenteng tas bekal Lock n Lock.

“Ciye … nggak tupperware lagi,” ledek Icha.

“Ciye … sesama emak-emak gabut, yang dibahas merek kotak bekal,” balas Lastri mencibir.

“Kamu kali yang emak-emak,” Icha protes dan pura-pura tersinggung.

“Kamu juga bisa jadi emak-emak kalau mau lahirin anak,” celetuk Lastri tak mau kalah.

Berbalas kelakar receh bareng Lastri memang seolah tidak akan ada selesainya. Sambil tertawa-tawa ribut mereka menggelar makan siang di atas meja Icha. 

Icha dan Lastri berteman dengan baik, berbagi kegemaran pada makanan-makanan sehat dan bergosip sekitar orang-orang di kantor. Tetapi dalam level ringan. Karena Icha memang sebenarnya bisa berteman dengan siapa saja, tetapi hanya bisa membagi sedikit saja dari kehidupan pribadinya. “Halah, hidupku mah gitu-gitu aja, nggak usah kepo, lah!” begitu dia selalu mengelak. 

“Ngapain beli makanan kaki lima kalau bisa bawa bekal level premium yang didapat dengan gratis,” kembali Lastri nyeletuk. Ini adalah obrolan lama, yang ternyata masih diingat dengan baik oleh mereka berdua. Olok-olok bercanda hanya untuk bahan tertawa.

“Jangan sombong! Makanan premium ini hasil minta ke orangtua juga,” ledek Icha. “Mereka yang berjuang antre di warung tuh bayar pake duit sendiri, lho! Nggak nebeng gratisan kayak kita! Kalau dipikir-pikir, kasta mereka lebih tinggi!”

Lalu mereka tertawa terbahak-bahak sambil saling mencicipi menu untuk beradu kepandaian memasak pembantu rumah tangga masing-masing. 

“Eh, tadi kamu kasih nomor HP-ku ke istri Pak Diaz nggak, Tri?” tanya Icha begitu ingat.

“Nggak. Aku belum save nomor HP kamu yang sekarang,” kata Lastri.

“Oh, iya …ya …. Aku juga belum save nomor-nomor kalian lagi,” Icha nyengir. Lupa dengan statusnya sebagai orang baru.

“Eh, lagian ngapain Pak Diaz kasih nomor kamu ke istrinya? Ini kita bahas tentang si Lusi kan?” tanya Lastri memastikan.

“Emangnya Pak Diaz punya istri mana lagi selain Lusi?” balas Icha.

“Eh, emang ada?” Lastri terkejut.

“Bego, ah! Aku kan, nanya!” Icha sebal sendiri.

Keduanya terbahak-bahak seperti orang tolol.

 “Eh, tapi kayaknya Pak Diaz melarang istrinya untuk gaul sama orang-orang kantor ini deh. Nggak tahu kenapa.”

“Masa?” tanya Icha heran. “Tapi tempo hari Lusi …,” Icha tidak melanjutkan ucapannya.

Dia teringat Lusi yang menunggunya di lobi, bukannya langsung masuk menghampirinya di ruangan. Padahal kalau dipikir lagi, ini kan, kantor suaminya? Dia bisa leluasa masuk tanpa ada yang berani larang. Dan Lusi sendiri juga sebagai mantan karyawan harusnya masih akrab dengan teman-teman yang ada di sini, kan?

“Kenapa, Cha?” Tanya Lastri heran.

“Oh, nggak kok,” Icha menggeleng. 

Tanpa bisa dicegah, Icha mulai merangkai beberapa hal yang dia ketahui. Dimulai dari Diaz yang memintanya untuk menemani Lusi, memberi kesan seakan-akan Lusi tidak akan berteman dengan orang tanpa persetujuan suaminya. Icha memang tahu ada beberapa istri yang bersikap begitu. Segala hal harus pamit dulu pada suami. Mungkin rumah tangga Lusi dan Diaz juga memakai aturan serupa. Lalu perkataan Lusi yang mengaku tidak pernah mengganggu suaminya saat bekerja. Make sense, sih. Apakah Diaz sengaja menjaga dengan ketat batas pekerjaannya dengan seprofesional itu? 

“Kamu sekarang akrab sama Lusi, Tri?” tanya Icha. “Maksudku, karena kamu asisten Pak Diaz, dan Lusi kan mantan karyawan di sini. Mungkin kamu sering harus berhubungan dengan Lusi untuk keperluan-keperluan pribadi Pak Diaz.”

Lastri menggeleng. “Beda dengan ketika jadi asisten Mbak Saras, Cha. Yang sampai aku kenal dekat sama suami plus pembantu dia juga,” Lastri terkekeh. “Jadi asisten Pak Diaz nggak kayak gitu. Aku malah sama sekali nggak pernah kontak sama Lusi lho.”

Icha mengerutkan kening. “Masa sih?”

“Dibilangin kok nggak percaya,” kata Lastri. “Dan off the record ya, selama menjadi asisten si Bapak Ganteng itu, nggak pernah sekalipun lho istrinya telepon ke kantor.”

“Sok tahu kamu, Tri! Paling juga mereka teleponan pas kamu nggak tahu. Ada HP juga, yang bisa saling kirim pesan dengan lebih asoy. Perhatiin aja. Kalau Pak Diaz diam-diam senyum-senyum mesum sambil baca HP, mungkin sedang chatt porno sama bini.”

“Geblek kamu, Cha!”

Makan siang yang menyenangkan. Otot-otot wajah Icha rasanya menjadi jauh lebih rileks setelah tertawa begitu banyak dan begitu lepas bersama Lastri. Ya Tuhan, berkali-kali Kau tunjukkan kebodohan dari keputusanku dulu, yang terbuai iming-iming Pak Sidik dengan janji karier cemerlang di Jakarta. Padahal bekerja di sini rasanya bagai surga, bersama orang-orang baik ini!

***

Icha dengan enggan mendatangi ruangan Diaz. 

“Kok bisa sih Pak Diaz terima-terima aja laporan kamu yang belum aku verifikasi?” protes Melvin barusan.

“Beliau cuma memantau progres, Vin. Aku hanya bilang kalau laporannya belum final karena masih kamu verifikasi. Jadi beliau cuma cek acak,” bantah Icha. “Emang kenapa, Vin?”

“Pak Diaz mengirim pesan ke aku disuruh segera tanda tangan aja laporan kamu. Udah dinyatakan beres,” kata Melvin dengan ekspresi tersinggung. “Itu sama aja dengan mengatakan kalau aku nggak dianggep, Cha.”

Duh, laki-laki dan egonya! “Lalu aku harus gimana, Vin? Di antara Pak Diaz dan kamu, siapa kira-kira yang harus lebih aku patuhi?” tantang Icha.

Melvin mengembuskan napas dengan kesal.

“Kalau kamu mau Pak Diaz nggak potong kompas dengan ngelewatin kamu langsung ke finance kayak aku, Henry, dan lain-lain, berarti kamu perlu evaluasi hasil pekerjaan kamu. Kalau ada masalah, segera konsultasikan ke atasan untuk meminta solusi. Jangan diam saja.”

“Cha ….”

“Itu nasihat profesionalku. Aku bagi gratis sama kamu!” dengan kata-kata itu Icha meraup setumpuk dokumen dan membawanya pergi.

Sekarang dia duduk di depan Diaz, menunggu pria itu selesai memeriksa pekerjaannya. Daripada bengong, Icha mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Membaca beberapa schedule yang ditulis Diaz pada white board yang terpasang di dinding dekat meja rapat, juga beberapa foto proyek yang dia tangani. Lalu pada rak berisi ordner dengan nama proyek ditulis besar-besar di punggungnya. Satu nama proyek membuat Icha terkejut. 

Stone Miles Resort – SGA. 

Eh? Icha sampai membaca berulang-ulang tulisan itu hingga dia yakin tidak salah baca.

“Oke, Cha. Setelah ini kamu tinggal balik ke Fahri, dan menghubungi Pak Eros, ya. Koordinasi langsung dengan orang komersial.”

Icha yang masih terkejut melihat keberadaan laporan Stones Miles Resort yang bertempat di Singapura itu buru-buru mengalihkan pandangan dari lemari dokumen dan kembali menatap Diaz dengan gugup. “Baik, Pak.”

“Kenapa, Cha? Ada yang aneh?” tanya Diaz sambil mengerutkan kening.

“Oh … ehm … itu. Heran saja melihat laporan dari proyek Stone Miles Resort.”

Diaz tersenyum. “Oh itu. Kenapa? Laporannya baru kelar. Heran itu kantor pusat kenapa lambat gitu kerjanya. Baru juga hari ini aku dapetin hard copy-nya itu. Dikirim ekspedisi.”

“Eh?” Icha terbelalak. “Pak Diaz terlibat di sana?”

“Iya,” Diaz menatap Icha tajam. “Kebetulan aku menjadi design advisor-nya. Dan ini untuk pertama kali lho, ada kantor cabang yang meminta dilibatkan dalam pekerjaan kantor pusat, dan dikabulkan.”

“Oh.” Icha tertegun. 

“Satu tim dengan Arman dan Seno. Kamu pasti kenal mereka, Cha,” kata Diaz yang menatap Icha penuh arti.

Membuat Icha terkejut. Tiba-tiba dia curiga, apakah Diaz tahu pelecehan seksual yang dilakukan oleh Seno dan Arman kepadanya? Apakah Diaz menyalahkannya seperti orang-orang lain? “Iya, saya kenal mereka,” jawabnya pelan sambil mengangguk. 

Icha berusaha keras menyembunyikan rasa tidak nyaman yang selalu timbul setiap kali nama kedua pria itu disebut. Stone Miles Resort adalah mega proyek kebanggaan Arman dan Seno. Tetapi neraka bagi Icha. Jadi ketika namanya dicoret dari daftar anggota tim yang akan bertolak ke Singapura, tak henti-henti Icha melakukan sujud syukur. Karena dia tidak akan sudi berada dalam satu tim dengan dua pria yang sudah mengakibatkan mimpi buruk dalam hidupnya itu. 

Dan keberuntungan lagi-lagi menghampiri Icha ketika sebelum Arman dan Seno kembali ke Jakarta, satu email telah lebih dulu mampir ke kotak suratnya. Dari Diaz, menawarkan satu posisi untuk Icha di kantor cabang yang berada di kota kelahirannya. Email dari Diaz, yang secara tak sengaja telah menyelamatkan hidupnya.

“Aku jadi paham kenapa Pak Sidik merekomendasikan kamu untuk bekerja di Jakarta. Karena kemampuanmu memang bagus, Cha,” puji Diaz tulus. Lalu pria itu meletakkan dokumen di meja dan memandang Icha dengan tajam. “Boleh aku berkomentar?”

“Tentang apa, Pak?” tiba-tiba Icha jadi berdebar.

“Menurutku memang sayang banget kalau kemampuanmu tersia-sia jadi bawahan Melvin. Kamu nggak ada niat untuk bekerja di tempat lain yang lebih bonafide? Sebab di tempat yang tepat, kamu bisa jadi finance yang andal.”

Tujuh tahun Icha berusaha melakukannya. Membuat lamaran ke mana pun ada lowongan yang cocok dengan kemampuannya. Dan tujuh tahun pula dia tidak berhasil mendapatkan pekerjaan lain. “Iya, Pak. Saya tahu itu. Tetapi kadang nasib dan kemampuan itu tidak selalu berjalan linier. Sampai saat ini sumber rezeki saya masih dari perusahaan ini.”

“Begitu?” Diaz masih menatapnya dengan tajam. 

Tiba-tiba Icha menarik satu kesimpulan. “Apakah… ehm… apakah kantor cabang ini sebenarnya tidak membutuhkan tenaga saya lagi? Kalau memang begitu, saya tidak perlu direkomendasikan untuk pindah ke mana-mana lagi, Pak. Cukup dijelaskan saja dan saya akan mengundurkan diri dan keluar dengan cara yang baik.”

Karena Icha sudah tidak mau lagi diperlakukan seperti cara Pak Sidik memperlakukannya. Diusir secara halus itu ternyata sangat menyakitkan.

“Ups! Sorry!” Diaz mengangkat tangannya, menyadari kekeliruannya. “Sepertinya kamu salah menangkap maksud perkataanku. Aku sama sekali nggak bermaksud untuk ngeluarin kamu dari sini kok, Cha.”

Icha mengangguk dan menarik napas dengan lega. 

“Sebelum mengirim email itu, aku sudah berdiskusi dengan Pak Arif dan Pak Tjandra yang sudah lebih dulu mengenalmu. Mereka memberimu credit point yang bagus, Cha. Dan aku selalu percaya dengan penilaian profesional mereka.”

Lagi-lagi Icha mengangguk. Tidak tahu harus bicara apa lagi dengan Diaz. Icha juga heran kenapa menghadapi pria ini seolah ada sesuatu yang mengeblok pikirannya dan membuatnya sangat tidak nyaman. Ayolah, Diaz bukan satu-satunya pria beristri yang dikenalnya. Karena Icha bisa menghadapi Fahri dan teman-teman arsiteknya dengan santai tanpa grogi atau sungkan. Mereka kan, pria-pria beristri juga. Malah Icha sama sekali tidak kesulitan berteman dengan ibu-ibu dharma wanita para arsitek ini!

“Oh ya, Pak, tadi Lusi mengirim pesan pada saya,” kata Icha. 

Dan Icha terkejut menyadari dirinya keceplosan bicara begini. Ya ampun, apa pentingnya bahas ginian dengan bos seperti Diaz, Cha? Bego!  Diaz sampai melongo sebagai reaksi atas ucapan Icha yang nggak jelas mutunya ini.

“Ehm … maaf,” Icha jadi gagu. “Lusi tadi bilang kalau dapetin nomor HP saya dari Pak Diaz. Sebab tempo hari kami memang lupa saling save nomor,” lanjutnya. Kepalang gengsi, Icha tidak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk mengobati kekepoannya. Urusan nomor HP memang remeh, tetapi dia penasaran.

“Lusi bilang begitu?” Diaz malah terlihat heran. “Aku malah nggak punya nomor kamu, Cha.”

Nah lho? Ini jadi bumerang malah buat Icha. Rasain kamu, Cha! Sekarang malah Diaz yang mengira kamu mengada-ada. Icha mengomeli dirinya sendiri. Dih!

 “Hm, nggak tau juga sih, Pak, yang bener yang mana. Kalau saya ngotot dengan menunjukkan isi pesan istri Pak Diaz, kesannya kok norak dan lebai ya, nggak penting juga dia dapat nomor saya dari mana. Bisa jadi dia nanya ke resepsionis, atau entahlah. Maaf, saya menyinggungnya tanpa sengaja,” kata Icha dan berharap agar topik ini di-take down seketika. Sialan, dia merasa seperti jadi provokator!

“Melvin mungkin?” tebak Diaz.

Yah! Dibahas! “Maaf, Pak. Nggak usah dibahas aja,” kata Icha risih sendiri.

“Oh ya? Padahal aku lagi pengen bahas,” Diaz nyengir. 

Aduh, Pak! Jangan nyengir! Orang ganteng berbahaya banget kalau nyengir begini deh. Membuat Icha teringat pada Takeru Satoh. Karena bentuk wajah, mata, dan senyum Diaz sekilas mirip aktor Jepang itu. Khawatir pikirannya semakin ngelantur nggak keruan, lagi pula apa pentingnya bagi Icha mendebat soal Lusi dengan suaminya, karena biar bagaimana juga sebagai suaminya, Diaz lebih paham kelakuan istrinya, akhirnya Icha memutuskan undur diri. Tanpa menunggu isyarat diusir.

Tetapi ketika sampai di ambang pintu, Icha teringat sesuatu dan menoleh kepada Diaz yang berdiri menatapnya dari belakang meja kerjanya.

“Pak Diaz, saya memang nggak tahu apa alasan Bapak untuk menawari saya posisi ini kembali. Saya juga nggak tahu apa yang sudah saya lakukan di perjumpaan pertama kita dulu yang memang tidak sanggup saya ingat. Tetapi terima kasih, Pak, atas kesempatan bekerja di sini. Terima kasih karena membuat saya bisa pulang kembali.”

Tanpa menunggu jawaban, Icha melangkah keluar ruangan.


 

09 – Karena Makan Siang adalah Sebuah Keputusan

ICHA keluar dari ruangan rapat dikawal dengan ketat oleh Saras sang akunting.

“Selamat datang kembali, Cha. Lega rasanya mengetahui kamu balik ke kantor ini,” kata wanita itu dengan suara setengah berbisik.

“Ah, Mbak Saras ada-ada aja. Posisiku sekarang hanya bawahan, Mbak. Nggak bakalan bisa membuat banyak perubahan,” Icha mengelak.

“Aku malah nggak berpikir begitu, Cha. Justru karena kamu kembali ini, maka para atasan berani membuat keputusan ekstrem seperti tadi.”

Reformasi aturan baru saja diputuskan pada rapat terbatas yang melibatkan semua bagian keuangan, arsitek senior, beserta tiga pimpinan perusahaan. Verifikasi laporan satu pintu pada finance yang biasanya di bawah tanggung jawab Melvin secara resmi ditiadakan. Sebagai gantinya, finance bisa langsung berkoordinasi dengan salah satu bos penanggung jawab proyek, setelah mendapat persetujuan dari kepala proyek. Dengan adanya peraturan baru ini, yang diusulkan oleh Diaz dan mendapat persetujuan secara aklamasi dari Pak Tjandra maupun Pak Arif, secara tidak langsung telah menurunkan wewenang Melvin menjadi setara dengan finance biasa. 

“Waktu Pak Sidik turun dan digantikan Pak Diaz, aku sudah mulai optimis perusahaan ini akan membaik, Cha. Sayangnya kamu udah keburu pergi. Jadi seperti ada mata rantai yang lepas karena kamu tahu sendirilah, Melvin seperti apa. Arogan iya, tapi kerjanya nggak maksimal karena dia terlalu perhitungan dan menilai diri terlalu tinggi. Tetapi dengan kembalinya kamu, aku yakin, pekerjaan akan lebih cepat terselesaikan. Dan kesombongan Melvin yang selama ini lebih banyak merugikan bisa diminimalisir.”

Ucapan tulus dari seorang senior seperti Saras, sungguh merupakan pujian tak terhingga bagi Icha. “Terima kasih atas kepercayaannya, Mbak.”

Mereka pun berpisah saat memasuki ruangan masing-masing.

“Cha, kamu gitu deh!” Melvin tahu-tahu memasuk dengan langkah mengentak dan tampang terlihat sangat kesal. “Ini namanya nikung teman, Cha!” tuduhnya.

“Kok bisa? Siapa nikung siapa, Vin?” protes Icha tidak terima.

“Coba kalau kasus kemarin nggak kamu blow up?” Melvin ngegas.

“Idih! Siapa yang blow up? Vin, sini aku ulang lagi kronologinya biar kamu inget. Pertama, laporanku belum kamu verifikasi. Kedua, Pak Diaz keburu meminta laporan itu. Ketiga, aku sudah menjelaskan kenapa belum diverifikasi, tetapi sebagai bos, Pak Diaz punya wewenang untuk mengecek laporan meskipun belum final prosesnya di kamu. Dan keempat, Pak Diaz sebagai bos menyimpulkan ada masalah yang membuat proses verifikasi jadi lama. Dan kalau sudah begitu, salah siapa?” Icha berkacak pinggang.

Melvin diam.

“Jawab! Salah siapa? Siapa nikung siapa? Sini ngomong, aku siapin rekamannya buat bukti. Ayo, kalau berani!” tantang Icha. “Vin, kamu ingat nggak apa yang aku bilang dulu banget, saat kamu baru masuk kerja? Masalah ringan jangan dibikin ruwet!”

“Tapi, Cha …,” Melvin seperti kehilangan semua powernya kalau menghadapi Icha.

“Sekarang aku nanya lagi, dengan sistem baru ini, kerjaanmu jadi lebih ringan apa lebih berat?”

“Lebih ringan sih ….”

“Lalu gaji dan tunjangan kamu tetap apa turun?”

“Tetap lah. Nggak ada omongan soal turun jabatan.”

“Ya udah! Kenapa protes?” cibir Icha. “Kamu kalau ribut ntar HRD nongol, digorok gajimu sekian persen. Mau? Terserah sih kalau mau. Kalau kataku ya, namanya bego.” 

Melvin tertegun. Berpikir sejenak, lalu menyeringai lebar. “Bener juga. Ah, emang Mbak Icha tersayang ini selalu bisa diandalkan! Membuat masalah pelik jadi gampang! Andai boleh, pengen deh aku kasih hadiah ciuman di bibirmu, Cha! Dan kita bisa resmi pacaran.”

Icha melemparkan tinjunya ke udara, ke arah Melvin. “Jaga mulut!”

“Cha … serius, nih! Aku nembak ini, Cha. Mau ya jadi pacarku. Ya? Ya?” 

“Kamu becanda kelewatan, Vin,” Icha tersinggung berat. 

“Jangan marah, Cha …,” Melvin menyeringai. “Satu ciuman? Satu aja, Cha ….”

Namun sebelum Icha sempat membalas, terdengar satu dehaman dari arah pintu ruangan. Keduanya menoleh dengan terkejut melihat Diaz sudah berdiri di sana. 

“Pak Diaz …,” Icha tiba-tiba jadi gugup. 

“Cha ….”

Mendengar nama Icha disebut, diterjemahkan oleh Melvin sebagai tanda dia tidak dibutuhkan dalam percakapan dan memanfaatkan kesempatan ini untuk segera kabur. 

“Sorry, ganggu,” kata Diaz tanpa menunjukkan penyesalan sama sekali. “Aku cuma mau minta nomor HP kamu, Cha!”

Allah Gusti! Suami istri pemburu nomor HP! Keluh Icha dalam hati. Dan keduanya bertukar nomor tanpa banyak basa-basi.

***

Lusi memegang ponsel erat-erat sambil menatap nama Icha yang tertera pada daftar phone book-nya. Teringat apa yang harus dia lakukan untuk bisa kembali bertemu mantan seniornya tersebut. Karena meminta izin pada Diaz sungguh bukan perkara mudah.

“Ngapain kamu mau ketemu Icha?” tanya Diaz sinis ketika mereka dalam perjalanan pulang dari pesta perusahaan, kali pertama Lusi bertemu Icha kembali.

“Aku akan merasa sungkan kalau tidak menemui Mbak Icha. Minimal kami bisa makan siang bersama sesekali. Bagaimana pun juga dia dulu mantan atasanku,” Lusi beralasan.

“Bukannya kamu nggak suka sama dia?” balas Diaz.

“Aku nggak pernah bilang begitu,” Lusi menundukkan kepala.

“Aku simpulkan begitu,” komentar Diaz datar.

Dan Lusi pun bungkam, tahu dia tidak akan bisa mengubah pendirian suaminya kecuali pria itu sendiri yang memutuskan untuk berubah.

“Baiklah, aku akan mengatakan pada Icha kalau kamu mau ketemu. Hari Senin besok datanglah ke kantor dan temui resepsionis agar dia saja yang memanggil Icha dari ruangannya,” kata Diaz akhirnya ketika Lusi bersiap turun dari mobil.

Dan Lusi merasa kunjungannya ke kantor Elite Architect menemui Icha tak sia-sia. Dia jadi tahu suasana kantor terbaru, dan tahu kalau resepsionisnya juga baru. Membuatnya merasa bebas karena tidak dikenal. Resepsionis itu pula yang memberinya nomor HP Icha ketika dia bergerilya mencari informasi. Dengan bersenjatakan identitas sebagai istri Diaz Winadi Sentosa.

Banyak hal yang terjadi tidak sesuai dengan ekspektasinya ketika memutuskan untuk meminta Diaz menikahinya. Tetapi menjadi Lusiana Indarti Sentosa masih memberinya banyak keuntungan. Salah satunya adalah rumah yang dia huni ini. Juga kenyamanan yang bisa dia beli karena setiap bulan ada yang mengisi rekeningnya tanpa dia susah-susah bekerja. Dan setiap dia menatap cermin, tak henti-hentinya Lusi mengagumi diri sendiri. Dengan perawatan mahal dan busana yang tepat, Lusi mengakui kalau dirinya kini terlihat sangat menarik. Untuk ukuranmu, lumayan kok Lus, pencapaianmu selama ini.

Lusi tersenyum berpuas diri.

Tapi sampai kapan, Lus, kamu bisa menikmati semua ini? Icha sudah kembali. Sudah saatnya kamu mengembalikan sesuatu yang kamu curi, kan?

Lusi menepis jauh-jauh pikiran yang semakin kerap menghinggapi kepalanya ini. Tak mau dihantui perasaan bersalah yang harusnya tidak dia pedulikan, Lusi memencet tombol panggilan. Tidak ada jawaban. Mungkin Icha masih sibuk. Dicobanya sekali lagi. Masih belum ada jawaban juga. Kali ketiga pun sama. Akhirnya Lusi meletakkan ponselnya. Melirik kesal pada tas tangan yang tergeletak di sebelahnya. Juga pada pakaian yang telah dengan sangat cermat dipilihnya. Karena tahu bahwa dia tidak bisa tampil sembarangan kalau akan bertemu Icha. Tetapi sekarang dia kecewa karena rencana yang telah dia susun siang ini terancam gagal.

***

Setelah menghabiskan waktu bersama Fahri beserta timnya, Icha menyempatkan diri ke lantai tiga untuk mampir ke meja Lastri.

“Cha, makan siang bareng?” perempuan itu menawari.

“Boleh. Di mana, nih?” tanya Icha.

“Di sini dong. Masa iya aku yang nyamperin kamu terus? Sekali-sekali yang muda sowan ke yang tua.”

Icha terbahak. “Idih! Sowan! Bentar ya, aku ke kantor dulu ambil bekal.”

“Eh, nggak apa-apa tuh naik turun gitu?” tanya Lastri khawatir.

“Nggak lah. Targetku jalan 10.000 langkah sehari,” Icha menunjukkan smart watch pemantau langkah kaki yang dipakainya.

“Ciyee … centil amat warna pink,” ledek Lastri.”Ada-ada saja kamu ini, Cha!”

“Lagi rajin!” sahut Icha sambil tertawa lepas dan bergegas menuruni tangga, kembali ke ruangannya. Ketika mengambil ponsel dari laci meja, dia menemukan notifikasi panggilan tak terjawab dari Lusi. Tiga kali. Ada apa ya? Tanpa pikir dua kali Icha menghubungi istri Diaz.

“Siang, Mbak Icha. Mimpi apa aku ditelepon kamu,” kata Lusi.

Lebay! “Kamu sampai tiga kali call. Ada apa, Lus?” tanya Icha to the point. “Mungkin kamu masih ingat kebiasaanku. Aku jarang buka HP kalau sedang kerja.”

“Oh, iya, Mbak, maaf,” balas Lusi. “Ehm … tadi sebenarnya aku ingin mengajak Mbak Icha makan siang. Tapi kayaknya Mbak Icha sibuk. Jadi aku nggak berani ganggu.”

Ini yang istri bos siapa, sih? Apa karena Icha mantan seniornya? Tapi kan itu sudah lama banget kejadiannya? Bahkan setelah perjumpaan kedua, saat makan siang dulu, Icha belum bisa mengobrol lepas bersama Lusi.

“Aku diet, Lus. Jadi nggak sembarangan makan di luar,” kata Icha beralasan. “Lain kali kalau mau ada rencana makan bareng, kabari sehari sebelumnya, ya. Biar aku nggak bawa bekal.”

“Oh, gitu. Baik, Mbak, akan aku ingat. Tapi misal kapan-kapan aku menghubungi Mbak Icha, boleh kan?”

“Tentu boleh, dong. Kenapa nggak?”

Setelah berbasa-basi sejenak, Icha memutus obrolan. 

Haduh! Ngobrol sama Lusi benar-benar perjuangan tersendiri. Nggak nyambungnya itu kadang membuat Icha bingung harus ngomong apa lagi! Juga kebiasaannya yang penuh basa-basi dan sungkan-sungkan melulu menguras habis kesabaran Icha. Duh, melas banget sih kamu, Lus? Nggak dulu nggak sekarang, masih belum berubah juga. Dulu kerja salah melulu, jadi sering diomelin. Sekarang sudah jadi istri seorang bos, ternyata yang ter-upgrade sebatas penampilan luar doang. Kebayang ketika Lusi ngobrol dengan istri para bos lain. Apa nggak kesulitan dia? Cuma jadi people pleaser doang? Atau tim hore-hore tanpa punya pendapat sendiri?

Acara makan bersama Lastri ternyata berlanjut dengan kejutan tak terduga. Temannya itu mengajak Icha membuka bekal di meja yang ada di ujung lorong. Berada tepat di sebelah balkon.

“Biar aku tahu kalau ada tamu yang datang di saat yang nggak pas begini,” katanya beralasan, sambil menunjuk ke pintu ruangan Diaz.

“Tamu?” tanya Icha heran.

“Jaga-jaga aja, sih. Kadang ada aja orang yang nggak kenal aturan main nongol sembarangan di jam orang lagi makan.”

“Emang Pak Diaz nggak makan di luar?” tanya Icha lagi. Sebab tadi dia bertemu dengan Pak Tjandra serta Pak Arif dan gerombolan staf mereka yang bergegas menuju lift untuk meninggalkan lantai tiga.

“Ih, jarang banget! Kalau nggak ada acara makan siang bareng kolega, seringnya beliau suruh OB beliin makan siang dari luar!”

Di saat bersamaan Diaz keluar dari ruangannya, dan di ujung lorong pula OB yang dimaksud muncul dengan membawa pesanan yang dimaksud. Lastri melirik Icha penuh arti, yang dibalas Icha dengan kerutan dahi tak mengerti.

“Lho, ada ibu-ibu sedang arisan di sini,” komentar Diaz yang tahu-tahu mendekati meja mereka.

Lastri tersenyum sopan. Icha mengangguk. 

“Cha? Sejak kapan ….”

“Mengulang masa lalu, Pak. Dari dulu kami sering makan bareng.”

I see,” Diaz menatap keduanya bergantian. “Boleh gabung?”

Awkward moment terjadi. Ketika Diaz memutuskan untuk mengambil kursi satu lagi, dengan Lastri yang bagai induk ayam memerintah OB untuk menyiapkan segala piring dan gelas demi agar si bos bisa makan dengan nyaman. Dan Icha yang memandang keduanya dengan heran. Diaz ternyata memesan makanan Korea dengan porsi yang lumayan. Icha berusaha menahan rasa tertarik dengan menjaga ekspresinya tetap cool saat Lastri membantu atasannya mengeluarkan kimbab, dakkochi, serta odeng dari boksnya dan memindahkannya ke atas piring.

“Kamu nggak sama Melvin, Cha?” tanya Diaz lempeng. “Kasihan lho, dia ngarep banget jadi pacarmu, Cha!”

Icha langsung bad mood. “Bapak, Melvin mah cuma becanda!” bantahnya.

Diaz tertawa. “Porsi pesananku banyak nih. Kalian boleh ambil mana yang kalian suka, selama nggak mengganggu acara diet kalian.”

Lastri tertawa. “Diet bisa ditunda sampai besok, Pak. Kami mah, penganut prinsip pantang menolak makanan gratis,” katanya sambil mencomot odeng –sate ikan yang bentuknya seperti sate usus—tanpa malu-malu.

Icha mengikuti jejaknya, mengambil satu dakkochi –sate ayam ala Korea—dan meletakkannya di atas salad sayuran yang dia bawa. Ketika Diaz menawarkan kimbab, dengan sopan Icha menolak.

“Kalau kalian rutin bawa bekal begini, aku nggak nolak lho dibagi satu porsi. Kali aja kalian minat buka jasa katering,” seloroh Diaz. “Makanan rumahan pasti lebih sehat.”

Woy, Pak! Minta istrimu sendiri yang siapin! Meskipun ingin berteriak begitu, yang berani Icha lakukan cuma tertawa. “Yaelah, pakai buka jasa katering segala. Saya sama Lastri ini bekal juga cuma modal minta jatah ke orangtua, Pak,” selorohnya.

“Ya kali …,” Diaz tertawa renyah. 

Saat ketiganya menikmati makan siang yang terjadi di luar rencana ini, diam-diam Icha mengamati Diaz yang terlihat santai. Pria ini mengobrol dengan ringan, menceritakan hal-hal umum secara acak yang berkaitan dengan beberapa pekerjaan mereka. Diaz pria yang menyenangkan. Teman bicara yang bisa menyesuaikan bahan obrolan dengan orang yang dihadapinya saat ini. Berbeda dengan Lusi, Diaz tidak membosankan.

Tiba-tiba Icha merasa berdosa pada Lusi. Dari nada suaranya di telepon tadi, lagi-lagi Icha menangkap kesan kalau wanita itu sangat kesepian. Maaf ya, Lus, bukan maksud kami sengaja pinjem suami kamu, ya! Ketika kembali ke belakang meja kerjanya, Icha segera menghubungi Lusi.

“Lus, kamu suka olah raga, nggak? Hari Sabtu, ibuku dan teman-temannya mau datengin instruktur cardio dance ke rumah. Aku sih sebenarnya ogah, bareng ibu-ibu gitu. Tapi kalau kamu minat, dan lagi nganggur, datang aja. Ntar kita bisa olah raga yang lain bareng-bareng. Gimana?” tanya Icha menawarkan undangan ke rumahnya.

“Serius ini, Mbak, aku boleh datang? Aku mau banget lho, Mbak!” jawab Lusi penuh semangat.

Saat sosok Diaz berjalan melintas di depan ruangannya, Icha hanya bisa membatin: Pak Diaz, please deh. Perlakukan istrimu dengan baik. Kalau kamu hanya melihatnya sebagai boneka cantik pemuas nafsu, aku akan kehilangan seluruh respekku ke kamu, Pak!

Lalu Icha tersadar akan sesuatu. Tempo hari Melvin. Sekarang Lusi. Ya Tuhan! Akankah aku kembali menjadi ‘Mbak-Mbak’ yang momong juniornya?


 

10 – Hujan dan Taksi

AKHIRNYA Lusi diundang juga ke rumah Icha.

Wanita itu turun dari taksi online yang membawanya ke depan rumah orangtua Icha yang megah, di komplek perumahan kelas menengah. Yang pastinya akan menjadi milik gadis itu suatu saat nanti karena dia anak tunggal. Iri? Pasti. Bahkan sejak pertama bertemu, Lusi sudah merasa iri pada setiap keberuntungan yang Icha miliki. 

Orangtua Icha memang bukan dari golongan kaya raya, tetapi berkecukupan sehingga tidak kesulitan untuk memenuhi kebutuhan dasar putri semata wayangnya. Membuat Icha yang memang memiliki paras menarik meskipun tidak terlalu cantik itu bisa selalu tampil dengan pantas. Baju-bajunya bagus meskipun tidak berlebihan. Wajah dan tubuhnya juga terawat meskipun Icha bukan jenis perempuan dengan riasan tebal. Icha pintar dan memiliki pembawaan elegan serta tegas. Hasil didikan berkualitas sejak kecil memang tidak bohong dalam membentuk karakter seseorang.

Sabtu pagi itu, senyum Icha terkembang menyambut kedatangan Lusi. “Nggak kesulitan kan, nyari alamatnya?” tanya Icha dengan senyum ceria.

Lusi menggeleng. “Alamatnya sangat jelas, dan terdaftar di aplikasi. Jadi driver-nya nggak nanya-nanya lagi.”

“Oke. Sebab sejak tadi aku nunggu kalau-kalau kamu telepon. Kali aja nyasar gitu. Ternyata udah nongol aja di sini,” Icha mempersilakan Lusi masuk. “Yuk!”

Lusi membatin, Icha pasti tidak menduga kalau rumah Diaz, rumah orangtua pria itu lebih tepatnya, berada tidak jauh dari sini!

***

“Ha? Lusi? Yang ketemu kita di Lai Lai dulu itu?” tanya ibunya dengan heran ketika Icha menjelaskan kalau dia mengundang seorang teman. “Yakin kamu, Cha?”

“Nggak apa-apa, Bu. Meskipun dia sudah jadi istri bos, dia masih seperti junior yang dulu aku kenal,” sahut Icha santai.

“Tapi Ibu kok merasa agak nggak sreg sama dia, Cha. Matanya itu bukan mata perempuan baik-baik.”

“Ih, Ibu kok fitnah, sih? Dia gadis baik-baik kok, Bu. Dulu, seingatku, latar belakang keluarganya memang kurang beruntung. Jadi dia juga kuliahnya perlu waktu lama karena disambi kerja.”

“Bukan perkara itu, Cha. Tapi Ibu lihat matanya itu bukan mata orang yang jujur,” ibunya mengerutkan kening. “Tapi, ya sudahlah, nggak apa-apa. Kamu yang lebih kenal sama dia. Ibu kan cuma sekali ketemu.”

“Yakinlah, Bu. Dia orang baik, kok!”

Icha tahu ibunya hanya khawatir berlebihan. Melepas dirinya hidup sendiri di Jakarta telah menjadi salah satu fase paling berat bagi orangtuanya. Sekarang, setelah berbagai peristiwa yang terjadi, ibunya tanpa sadar menjadi over protective.

Keberadaan Lusi membuat Icha memiliki alasan untuk menghindar dari kewajiban bergabung dengan teman-teman ibunya. Hal itu karena Bu Ridwan yang heboh ingin mengenalkan Icha dengan keponakannya. 

“Ganteng kok, Cha. Dia duda tanpa anak. Bercerai karena mantan istrinya memilih kuliah di luar negeri dan bekerja di sana. Usia 32 tahun. Sudah mapan, jadi pegawai di instansi pajak.”

Kalau ganteng, duda tanpa anak, dan mapan, emang kenapa, gitu?

“Nggak ada salahnya mencoba kenalan, Cha. Orangnya agak tertutup memang. Tapi Tante sudah kasih foto kamu dan kelihatannya dia tertarik. Nanti Tante kasih kamu nomor HP-nya ya. Kamu bisa pura-pura kenalan.”

Idih! Mentang-mentang dia dianggap perawan tua jadi harus nawar-nawarin diri, gitu? Lagian kalau dibilang “kelihatannya dia tertarik” ya harusnya si cowok dong yang ngajak kenalan! Icha sebel sendiri.

“Biasalah, Lus. Nasib perawan tua. Semua orang pengen nyeburin ke kolam perjodohan, dan semua orang kayak tiba-tiba merasa berkewajiban menjadi mak comblang,” keluh Icha. Mereka berdua akhirnya memilih bermalas-malasan di balkon rumah, menikmati cuaca cerah di bawah bayang-bayang kanopi, ditemani seteko teh lemon segar dan puding buah buatan Bu Nah, pembantu keluarga Icha.

Lusi merenung sambil mengawasi Icha yang sedang memindahkan beberapa pot bunga, memutar posisinya agar tanaman hias itu mendapat sinar matahari lebih banyak. Icha terlihat begitu muda dan penuh semangat. Hari ini dia mengenakan celana pendek jeans belel dan tshirt putih yang sederhana. Wajahnya juga polos tanpa riasan dengan rambut diekor kuda yang sedikit berantakan. Icha memang tidak sempurna. Tetapi dia terlihat begitu segar dan bahagia. Dua hal milik Icha yang Lusi sadari mustahil untuk dibeli. Bahkan setelah dia menikah dengan Diaz sekalipun. 

Segar? Alih-alih segar, entah sejak kapan Lusi kehilangan keluguannya, yang membuatnya memandang hidup dengan sedih dan masam. Muram dan tidak indah. Hidup yang dia jalani hanya berisi serangkaian transaksi jual beli, juga pinjaman dan jaminan.

Bahagia? Iya, kadang Lusi merasa bahagia. Ketika mendapati perempuan lain iri dengan apa yang dia miliki, dan apa yang bisa dia beli. Tetapi bahagia itu hanya sesaat. Karena begitu dia sendiri lagi, bahagia itu juga ikut pergi.

“Mbak Icha belum punya calon sama sekali?” tanya Lusi waswas.

Icha menggeleng.

“Dan Mbak Icha nggak nyari?”

“Heh? Nyari?” Icha tertawa. “Aku masih belum paham, Lus, apa yang dimaksud dengan mencari calon suami itu. Aku sudah pernah melakukan beberapa hal, dan setelah tidak berhasil, aku jadi ragu, apa benar memang begitu caranya mencari. Jadi sekarang aku memilih santai saja menikmati apa yang ada. Nggak keburu-buru. Masanya juga sudah hampir lewat. Karena sebentar lagi, setelah usiaku lebih dari tiga puluh tahun, dengan sendirinya orang akan berhenti menjodoh-jodohkan aku. Karena mereka akan mencari target yang lebih muda untuk diganggu!” Icha nyengir lebar.

Apakah sebenarnya Icha memang setenang itu? Lusi tidak percaya. Karena dia bercermin dari diri sendiri. Orang lain melihatnya sebagai si cantik yang lemah, lugu, dan bodoh. Karena begitulah yang ingin dia tampilkan di hadapan orang lain. Sebab berperan menjadi orang bodoh itu baginya menguntungkan, untuk beberapa kondisi.

***

Diaz mengecek jam tangannya. Sudah pukul tiga sore. Tetapi tak satu pun dari para mahasiswa yang menjadi tanggung jawabnya ini menyelesaikan tugas mereka.

Cowok itu mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru studio gambar jurusan arsitek di universitas tempatnya magang sebagai asisten dosen. Usianya sudah 24 tahun. Lulus dua tahun lalu dan selama itu pula dia bertahan di kampus ini. Bekerja dengan gaji yang terlalu kecil meskipun sebenarnya dengan predikat arsitek yang disandangnya dia bisa bekerja di tempat lain. Di kota besar, di perusahaan-perusahaan besar.

Sambil menunggu, cowok itu duduk lagi dan melanjutkan kegiatan mencoret-coret di buku sketsa, untuk memberi sentuhan akhir pada serangkaian gambar furniture yang dibuatnya. Sambil berpikir kapan dia akan memiliki waktu luang untuk menjalankan hobinya, bermain-main dengan kayu untuk membuat perabotan.

Setelah beberapa lama, dia melirik kembali pada jam tangannya. Lalu menutup buku sketsa itu, memasukkan ke dalam tas tenteng miliknya yang sudah butut, dan berdiri. “Saya tunggu lima menit lagi, ya,” katanya dengan tegas.

Terdengar gumaman pelan dari setiap penjuru ruangan. Lalu dari baris bangku paling depan, seorang gadis berwajah imut mendongakkan kepala dan menatap penuh harap kepadanya. Dia satu-satunya orang yang pekerjaannya jauh dari kata selesai. 

Diaz pun lalu mendekatinya. “Baiklah, kamu bisa bawa pulang tugasmu dan selesaikan di rumah. Besok pukul sebelas saya tunggu di kantor Pak Guntur. Oke?”

Gadis itu mengangguk dengan mata berbinar. Suaranya lembut saat mengucapkan terima kasih.

Ah, lucu sekali kamu, Dek! Sayang aku sedang tidak dalam kondisi bisa mengencani gadis-gadis dengan bebas. Karena ada kewajiban lain yang menuntut konsentrasiku. Coba kalau situasinya berbeda. Sudah pasti akan kudekati kamu. Siapa tahu setelah kamu lulus nanti kita bisa punya masa depan bersama.

Diaz tersenyum miris. 

“Lima menit habis!” teriaknya.

Seperti biasa kelas pun bubar dengan ribut oleh suara langkah kaki dan meja kursi yang berderit saat digeser oleh sosok-sosok manusia berusia awal dua puluhan yang sedang penuh vitalitas hidup itu. Diaz menunggu hingga mahasiswa terakhir meninggalkan studio. Lalu melangkah gontai menuju kantor rekording untuk menyimpan tugas mereka sekaligus melapor kepada petugas yang ada di sana.

Tetapi baru saja Diaz meninggalkan rekording, sebuah panggilan dari suster pribadi yang merawat ibunya muncul di layar HP-nya.

“Mas Diaz, Ibu ngedrop tiba-tiba. Jadi sekarang saya dalam perjalanan menuju rumah sakit!” kata wanita senior itu.

“Oke, saya langsung menuju ke sana!” sahut Diaz.

Cowok itu bergegas meninggalkan gedung jurusan dan berlari menuju gerbang tengah yang berada tepat di titik pertemuan jalan MT. Haryono, Panjaitan, dan Sukarno Hatta. Tetapi baru beberapa langkah, hujan turun tanpa permisi.

***

Icha menatap gedung jurusan akuntansi untuk terakhir kali. Sampai jumpa lagi, terima kasih sudah memberiku banyak kenangan di sini! 

Senyum terukir di bibirnya. Setelah melambai kepada beberapa temannya, gadis itu melangkah meninggalkan kampus yang selama empat tahun telah menjadi bagian paling penting dalam hidupnya. Ini hari terakhirnya, karena semua kewajiban sudah dia jalankan. Wisuda, setor skripsi, menyelesaikan urusan buku perpustakaan, dan segala hal remeh lainnya. Sekarang dia sudah bebas. Siap untuk memasuki tahap hidup selanjutnya. 

Sambil menenteng tas plastik berisi salinan skripsi yang sudah mendapat pengesahan akhir dari kampus, dia melangkah ringan menyusuri trotoar. Icha sengaja tidak membawa kendaraan karena ingin menikmati saat seperti ini untuk terakhir kali. Tetapi langit yang mulai gelap membuatnya khawatir. Gerbang tengah masih beberapa puluh meter lagi. Dia harus bergegas kalau tidak ingin terkena hujan yang sepertinya akan turun sebentar lagi.

Dengan cepat Icha mengambil ponsel dari saku celananya untuk mencari nomor layanan taksi yang biasa menjadi langganannya. Tepat saat dia sudah membuat janji dengan customer service armada yang bersangkutan, hujan turun mengguyur bumi. Dan Icha pun berlari tanpa pikir-pikir lagi.

Dalam deraian air hujan yang semakin deras, dia melihat mobil berwarna biru yang berhenti tepat di depan portal yang terpasang di tengah gerbang. Alhmadulillah taksiku sudah sampai! Soraknya dalam hati sambil berlari mendekat.

Dalam kalutnya pikiran akan kondisi ibunya yang dalam beberapa hari ini semakin memburuk, Diaz berlari menembus hujan dan tak lagi peduli pada tubuhnya yang basah kuyup. Jarak seratus meter menuju pintu gerbang seolah begitu jauh baginya. Bu, bertahanlah! Tunggu aku!

Pemuda itu sudah tiba gerbang dan melompati portal besi begitu saja ketika melihat sebuah mobil berwarna biru mendekat ke tepi trotoar dan berhenti di sana. Tetapi tiba-tiba saja dia melihat sosok seorang gadis sudah berlari cepat di depannya dengan tangan terulur siap membuka pintu taksi itu. Tanpa pikir panjang Diaz berlari mengejarnya.

“Dek!” panggilnya.

Gadis itu menoleh. Sama seperti Diaz, dia juga basah kuyup.

“Boleh saya pakai taksinya dulu? Minta tolong ya, Dek. Ibu saya sedang kritis di rumah sakit,” pintanya dengan memohon.

Gadis itu tertegun sejenak. Lalu mengangguk. “Silakan, Mas,” katanya sambil mundur beberapa langkah.

Ha? Semudah ini? Diaz tertegun. 

“Cepetan, Mas! Hujan! Kalau ibunya sedang kritis, lebih baik bergegas!”

Suaranya begitu empuk dan lembut. Membuat Diaz terpaku menatap sosok yang berdiri di dekatnya ini. Kondisinya yang basah kuyup tidak menutupi kecantikannya yang klasik. Dan perhatian Diaz terpaku pada kalung unik yang melingkar di lehernya, dengan liontin dari batu berbentuk unik. Mahasiswi di kampus ini, pasti.

“Mas ….”

Diaz tersentak dan mengangguk. “Makasih banget, Dek,” katanya sambil membuka pintu taksi. Diaz menoleh sekali lagi. “Suatu saat aku akan membalas kebaikan ini, entah bagaimana caranya” katanya dengan bersungguh-sungguh. Lalu Diaz meloncat masuk ke dalam taksi. “Rumah Sakit Lavallete, Pak!” serunya kepada sang pengemudi.


 


 [oo1]Sampai kamu kembali – relate bab06 – Kontradiksi

Menyebalkan sekali bertemu dengan orang yang mengetahui sesuatu tentang diri kita, tetapi kita sendiri malah tidak tahu itu apa. 

“Apakah saya perlu mengingatnya, Pak?” tanya Icha berusaha menyembunyikan rasa penasaran sekaligus kejengkelan melihat wajah Diaz yang menyeringai misterius itu.

“Nggak usah,” Diaz menggeleng. “Itu kan hanya masa lalu, Cha. Kejadiannya juga nggak sengaja kok. Lagian bertemu seseorang tak dikenal kan sudah menjadi peristiwa sehari-hari dalam hidupmu. Kebetulan saja waktu itu kamu ketemu saya.”

“Tapi kan saya jadi penasaran, Pak,” Icha menggerutu.

“Percaya deh, rasa penasaran nggak bakal bikin kamu mati,” Diaz mengelak dengan lihai.

Icha ingin membantah. Tetapi segera mengingatkan dirinya siapa laki-laki yang sedang dihadapinya saat ini. Selain berstatus suami orang, yang membuatnya tidak boleh sok akrab dan bercanda semaunya karena baru kenal, Diaz juga atasannya. Apalagi ekspresi pria itu menunjukkan kalau dia tidak akan membuka mulut lagi. Akhirnya Icha menyerah sambil tersenyum masam.

“Nyerah kamu, Cha?” tanya Diaz dengan nada meledek.

“Menyerah sekali-sekali juga nggak bikin saya mati kok, Pak.”

Tawa Diaz meledak. Baru berhenti melihat Fahri yang muncul bersama dua asistennya. Ternyata tanpa Icha dan Diaz sadari, ketiga pria itu memilih menunggu di luar sejak tadi.

“Mulut asem pengen ngerokok, Pak,” kata Fahri meminta pemakluman.

Yang ditanggapi Diaz dengan tersenyum kalem. “Saya juga kadang ngerokok. Tetapi jarang sekali.”

Obrolan itu dilanjutkan dengan keributan memesan makanan. Dengan lincah Icha menyarankan agar mereka memesan satu porsi middle crab untuk 4 pax. 

“Pak Diaz nggak pesan sekalian?” tanya Icha.

“Saya gabung aja deh, sama kalian,” kata Diaz tanpa terduga sambil melipat lengan bajunya sampai siku, lalu berdiri menuju tempat cuci tangan. Saat kembali ke tempat duduk, pria itu tertawa geli melihat anak buahnya yang melongo keheranan.

“Serius, Pak?” tanya Fahri takjub. 

Sebab makan seafood gaya warung begini sangat tidak cocok dengan citra Bos Diaz yang selalu tampil rapi dalam versi casual. Mana bisa mereka menjaga penampilan tetap paripurna kalau berhadapan dengan aneka kerang, kepiting, dan cumi, dengan saus kental kehitaman di atas meja yang dialasi kertas nasi? Impossible!

“Serius,” sahut Diaz sambil mengulurkan tangan untuk mengambil satu bungkus kerupuk udang yang tersaji di atas meja. “Tambahin pesenannya.”

Fahri yang menyambutnya dengan wajah berseri-seri. “Ganti yang porsi premium all in one, Cha! Empat pax dan dua pax. Total enam pax untuk berlima kan masih pantes, ya. Aku nggak keberatan kok makan sisanya kalau kalian nggak habis!”

“Dasar!” ejek Icha sambil tertawa.

Mereka berempat terpesona ketika sang bos benar-benar mengulurkan tangan pada setumpuk makanan sarat kalori itu. Dan tanpa gengsi memakannya penuh semangat serta berceloteh ribut tentang segala hal. Setelah menghabiskan makanan dengan berisik, mereka melanjutkan dengan dessert berupa es teler porsi jumbo yang disajikan dalam gelas-gelas besar berbentuk setengah lingkaran.

“Ternyata kamu memang beneran nggak takut gendut, Cha,” komentar Diaz takjub melihat Icha yang dengan riang gembira tak mau kalah menyerbu hidangan yang tersaji di atas meja.

“Icha, nih, bisa banget ya, jaga penampilan,” kata Fahri yang sedang menyandarkan punggung di kursi. Pose khas orang yang kekenyangan. “Perasaan dari pertama kenal badannya segini doang. Aku yang laki-laki aja kesulitan ini menjaga ukuran pinggang biar tetap kelihatan cakep. Lama-lama bisa kayak gentong ini.”

Icha tertawa. “Aku diet, kok. Sejak remaja aku sudah diajari ibuku cara konsumsi harianku. Bisa makan enak tanpa takut kelebihan berat badan. Dan tanpa menderita sama sekali.”

“Ajarin dong, Cha,” pinta Fahri.

“Udah telat, ah. Kamu kalau makan nggak aturan gitu! Itu habit, tahu! Kecuali kamu sadar dan mau mengubah kebiasaan makanmu. Hal kayak gitu nggak bisa didapat dalam waktu singkat!”

“Dengerin tuh! Putri keraton memberi sabda!” ejek Fahri.

Icha terbahak-bahak tanpa merasa tersinggung sama sekali. Sudah lama dia tidak mendengar sebutan itu. Ejekan bagi Icha yang merasa dirinya dikenal sebagai putri keluarga baik-baik, selalu bersikap baik, dan tak pernah melakukan sesuatu yang tidak baik. Paling tidak itulah yang dia ketahui.

“Ibuku kan memang sangat peduli dengan kesehatan,” kata Icha sambil tersenyum. “Kamu kalau mau belajar, langsung sama ibuku aja. Beliau lebih paham soal ginian.”

Hanya Ibu yang bisa membuat pelajaran diet menjadi praktis dan mudah dijalani. “Intinya satu, Cha. Jangan rakus. Makan secukupnya saja. Kalau kamu sudah makan gorengan sebanyak ini di waktu siang, berarti malamnya kamu harus banyakin makan buah dan sayur, biar nggak nimbun penyakit.” Itu kalimat yang selalu diucapkan ibunya, dan tertancap dengan kuat di kepalanya.

Alih-alih mengatakan istilah seperti detoksifikasi, ibunya lebih suka menyebutnya ‘jangan menimbun penyakit’. Dengan bijak ibunya menghindari istilah ‘lemak’ dan ‘gendut’. Beliau selalu menekankan pentingnya menghindari penyakit dengan menjaga tubuh tetap sehat melalui makanan yang baik. Ajaran yang pelan-pelan membentuk pola makan Icha menjadi sebaik sekarang.

“Oh ya, Pak Diaz, kalau boleh tahu. Lusi rajin diet dan olahraga juga, kan?” tanya Icha tiba-tiba. Teringat ketika makan siang bersama betapa pemilihnya Lusi pada jenis makanan yang dikonsumsinya. Meskipun menurut Icha sikap Lusi agak berlebihan. Mungkin ini cara sang Nyonya Diaz untuk mempertahankan bodi langsing dengan wajah tirusnya itu.

“Yaelah, Cha! Kayak gitu ditanyain. Dikira kami para suami paham kali, istri diet apaan!” komentar Fahri sebelum Diaz menjawab. “Lagian para istri juga aneh. Ngaku diet, ribut kalau berat badan naik, tapi jajan jalan terus!”

“Itu istri kamu, kali! Bukan istri Pak Diaz tentunya,” bantah Icha. Lalu dia menoleh kembali pada Diaz. “Kemarin ketika kami bertemu, Lusi bilang dia ingin belajar banyak hal pada ibu saya, Pak.”

“Mungkin saja dia minat,” kata Diaz tak acuh. “Kamu akrab banget ya, sama Fahri?” tanya Diaz mengalihhkan topik bahasan dengan sengaja.

Icha membelalak ke arah Fahri yang juga sedang memelototkan mata. “Ya…, nggak akrab banget juga sih. Lebih tepatnya kami terpaksa jadi akrab gini karena sejak dulu sering kerja bareng,” Icha menghindar dengan sengaja, ingin memancing komentar Fahri.. 

“Yaelah, Cha, kamu gengsi amat sih mengakui kalau kita pernah dekat! Kalau kamu nggak ke Jakarta juga mungkin kita sudah menikah, dan tiga Fahri junior itu akan lahir dari rahim kamu!” kelakar Fahri.

“Ih! Sembarangan! Kalau istrimu dengar, bisa-bisa kamu disuruh tidur di trotoar!” omel Icha.

Fahri tertawa. Tetapi begitu melihat melihat ekspresi terkejut yang tak dibuat-buat di mata Diaz, pria tiga puluh tahun itu buru-buru menambahkan, “becanda, Pak! Kami berteman baik aja kok. Icha mah, gitu deh!”

“Ih, Fahri sok misterius banget,” balas Icha. “Kami masuk ke Elite hampir bareng, Pak. Cuma sekarang Fahri udah memimpin proyek, saya malah terjun bebas jadi bawahan Melvin,” Icha nyengir.

“Icha tuh, jabatan boleh rendah, Pak. Tapi sejak dulu dia jadi andalan. Kerjaan Pak Sidik aja dulu banyak dihendel dia! Dia dulu sering diledekin, gaji asisten standar kerja ala bos. Kurang kerjaan banget kan?” Fahri terbahak-bahak.

“Fahri, lebay deh kamu. Di Jakarta ternyata nggak ada tempat untuk orang kayak aku,” lanjutnya sambil tertawa ringan. Dia tidak mau dikasihani, tetapi tanpa sadar hal itu nyeplos begitu saja. Saya tidak maksud mengeluh, Tuhan!

“Ya udah, kamu di sini aja, Cha. Semoga awet ya. Tulus lho, aku doain kamu,” Fahri mengedipkan sebelah mata dengan jenaka.

Diaz tersenyum melihat interaksi Icha dan Fahri. Tetapi kemudian dahinya sedikit berkerut melihat bagaimana dengan luwesnya Icha membereskan sisa-sisa aktivitas makan mereka, membantu sang pramusaji tanpa diminta. Dan sengan senyum ramah membalas ucapan terima kasih pegawai restoran ini.

Icha? Tuan putri sombong dan angkuh itu? Jangan harap dia mau dekat pada orang yang dianggap nggak sederajat sama dia! 

Seseorang dulu pernah berkata begini pada Diaz.

***

Setelah berkali-kali rapat dilakukan di lantai dua, tempat Fahri bermarkas, kali ini Diaz meminta mereka hadir ke ruangannya untuk memberi laporan. Di sana memang ada meja rapat berukuran sedang yang di letakkan di sebelah ruang pribadi bos muda ini.

Bukan perkara rapat di lantai tiga yang membuat Icha enggan. Melainkan karena Diaz menggunakan kantor yang dulu digunakan Pak Sidik. Meskipun pria itu sudah mengubah penataan interior secara total, ruangan di ujung lorong dengan pintu abu-abu menghadap ke balkon yang langsung menyajikan pemandangan jalanan asri di wilayah komplek perumahan tempat kantor ini berada, selalu membangkitkan kenangan yang tidak semua menyenangkan bagi Icha.

Andai saat itu aku lebih peka, mungkin aku tidak akan menyia-nyiakan waktu selama ini untuk belajar bahwa hidup tidak selamanya adil. Bahwa nasib bisa sangat berbeda sekuat apa pun aku berusaha menjadi yang terbaik.

“Cha?” Diaz bertanya heran.

Icha terkejut. Rupanya dia terlalu banyak melamun, membuatnya tidak sadar kalau Fahri dan tim lainnya sudah meninggalkan ruangan. Sekarang dia hanya tinggal berdua bersama Diaz. 

“Oh, maaf, Pak! Rupanya saya nggak sengaja melamun,” katanya sambil buru-buru bangkit dari tempat duduknya.

“Kenapa, Cha?” Diaz tidak membiarkannya lolos begitu saja.

“Oh… eh… tidak, Pak. Hanya saja ruangan ini mengingatkan saya pada Pak Sidik. Konyol sekali saya ini. Padahal sudah lama sekali berlalu,” kata Icha berusaha menghindar dengan wajah memerah. Sayangnya dia tidak bisa segera pergi karena Diaz tidak ada tanda-tanda mau melepasnya begitu saja. 

“Apakah kamu masih berhubungan dengan Pak Sidik?” tanya Diaz.

Icha terkejut. “Tidak, Pak. Terakhir saya bertemu beliau ketika mau keluar dari sini. Tujuh tahun yang lalu.”

“Bukannya kamu pindah ke Jakarta atas bantuan Pak Sidik? Beliau kan yang membantumu sampai diterima di kantor pusat Elite Architect?”

Icha gelagapan. Lalu mengangguk lemah. “Iya, Pak. Benar.”

Memang benar, begitulah kenyataannya. Pak Sidik yang menawarinya kesempatan masuk ke kantor pusat di Jakarta. Dan Icha yang baru berusia 23 tahun, sedang di puncak semangat berkarier, menerimanya dengan sangat antusias.

“Oke, silakan pergi,” kata Diaz dengan ekspresi yang tiba-tiba dingin.

Tanpa menunggu diperintah dua kali Icha pun bergegas pergi.

Icha itu gayanya aja yang sok alim sok priyayi. Begitu pandai berpura-pura, sehingga hanya beberapa orang saja yang tahu sifat aslinya. Juga kenyataan kalau dia sebenarnya adalah simpanan Pak Sidik. Makanya biarpun dia sudah melakukan kesalahan fatal, tetap dilindungi oleh sugar daddy-nya. Icha sengaja dikirim ke Jakarta biar nggak kena kasus penyelewengan keuangan di sini

Diaz menatap tajam pada pintu yang telah ditutup oleh Icha. Kenapa semua begitu kontradiktif, Cha.


 

07- Kakak Senior!

Meskipun sudah menjadi atasan, kelakuan Melvin masih sama persis dengan yang diingatnya tujuh tahun lalu. Sering menunda pekerjaan dan menghilang saat dibutuhkan. 

“Emang kamu sekarang lagi di mana, Vin? Aku harus kelarin laporan progress Fahri habis makan siang ini! Aku nunggu hasil verifikasi dari kamu, tahu?”

“Aku berada di satu tempat, Cha. Dan aku nggak wajib lapor kamu kalau mau pergi ke mana. Kecuali kamu mau jadi pacarnya brondong kayak aku!”

Betapa ingin Icha menimpuk kepala cowok geblek itu dengan bundel dokumen setebal 400 halaman yang ada di atas meja kerjanya. “Vin, terus gimana? Aku nggak bisa laporan kalau gini caranya,” keluh Icha dengan menahan kekesalan yang pelan-pelan mulai muncul.

“Kan sesuai antrean, Cha. Nggak bisa cepat lah. Kerjaanku kan nggak ngurusin kamu doang!” balas Melvin nyebelin. 

Widih! Sok penting banget. “Kalau urusannya cuma sama aku, nggak masalah, Vin. Mau kamu tunda berbulan-bulan juga aku nggak protes. Enak malah. Tinggal leha-leha nungguin aja. Tetapi ini urusannya sama bos kita. Yang tahu prioritas itu kamu, dan yang bisa mengomunikasikan ke para bos, juga cuma kamu. Kamu dong yang harus bilang ke Pak Diaz! Biar bawahan kayak aku nggak jadi tumpuan kesalahan!”

“Cha, my job my rule!”

“Dan kita lihat, rule konyol kamu itu akan bertahan sampai kapan!”

“Udah tujuh tahun bertahan dan aku aman, Cha! Mau bukti apa lagi?” ejek Melvin. 

Melvin tahu sekali kalau hal ini menampar Icha dengan sangat keras dan menjatuhkan harga dirinya dengan telak. Tahan, Cha! Tahan! Meskipun dia kamu anggap nggak kompeten, Melvin tetap atasanmu! Demi tetap menerima transfer gaji setiap bulan, abaikan ucapan Melvin. Karena kamu Icha, bukan Lusi yang sudah punya suami berpenghasilan besar yang bisa menjamin pasokan dana di rekening tetap terjaga! 

“Lalu aku harus jawab apa kalau nanti Pak Diaz nanyain, Vin?” tanya Icha sok bego.

“Kamu harus bisa kasih alasan yang bagus, dong. Tugas kamu itu!”

“Ya udah, aku bilang aja laporannya masih di meja kepala finance dan belum diperiksa,” kali ini Icha memanfaatkan kesempatan untuk membalas Melvin.

“Cha, sialan! Itu sama aja kamu ngumpanin aku!” 

“Aku cuma bawahan. Mau bagaimana lagi? Yang jadi bos itu kamu, Vin. Tugasku cuma setor. Tugas kamu yang verifikasi. Clear?” dengan kalimat itu Icha memutus sambungan telepon. 

Melvin boleh jadi memang atasannya. Tetapi secara psikologis dia masih bisa memosisikan diri sebagai traineer yang dulu mengajari pria itu dalam berbagai hal. Dan Melvin tahu sekali hal ini. Terlihat dari beberapa kali dia menjadi tidak percaya diri dan goyah saat Icha mengklarifikasi hasil pemeriksaannya. Padahal yang Icha lakukan hanya bertanya, “masa gitu sih, Vin? Yakin udah bener?” Dan Melvin akan menutupi kegugupannya dengan menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan memeriksa lagi dari awal. 

Sebentuk senyum penuh kemenangan terukir di sudut bibir Icha. Lalu dia kembali memeriksa laporan yang dia buat untuk Fahri. Di atas mejanya juga tertumpuk beberapa map dengan label nama proyek yang berbeda. Belum juga sebulan Icha di kantor cabang ini, dia sudah harus mengurus empat proyek sekaligus. Dan harus bersedia melayani konsultasi dari beberapa orang yang ada di bagian finance sepertinya.

***

Icha mengembuskan napas dengan lega ketika mengetahui bahwa Pak Sidik belum meninggalkan kantornya. Dengan penuh semangat dia mengetuk pintu ruangan di ujung lorong lantai tiga itu.

“Hm… ada apa? Kamu anak baru itu kan?” tanya pria itu.

“Iya, Pak. Saya Alisya, atau biasa dipanggil Icha. Tadi saya disuruh mengecek beberapa laporan transaksi oleh Mbak Saras,” kata Icha dengan jantung berdebar. Keuangan memang dipegang oleh Saras. Baik itu akunting mau pun finance. Tetapi karena Saras lebih berkonsentrasi pada akunting, sehingga untuk segala hal yang berurusan dengan finance, Icha disuruh berkomunikasi secara langsung dengan arsitek bersangkutan, atau ke Pak Sidik yang membawahi keuangan.

“Tadi saya sedang mengecek beberapa nota pembelian dari proyek yang dipegang Arya,” kata Icha.

“Lalu?”

“Ehm, ada beberapa pembelian yang setelah saya teliti ternyata tidak masuk dalam kontrak, Pak..”

Pak Sidik yang duduk bersandar di kursi besar yang ada di belakang mejanya, menegakkan tubuh dan melepas kacamatanya. “Sudah konfirmasi sama Arya?” tanyanya, dengan ekspresi tidak suka. “Kalau saya harus menerima laporan remeh tentang nota begini, habis waktu saya. Nggak bisa mengurusi perusahaan, nggak dapet proyek lagi. Mau digaji pakai apa kamu?”

Icha terkejut dan tanpa sadar mundur satu langkah. “Maaf ….”

“Apa kata Arya?” tanya Pak Sidik setengah membentak.

“Maaf, tadi karena saya lihat keterangan pada nota-nota tersebut atas nama Pak Sidik, dan Arya juga sudah pergi, jadi saya ke ….”

“Lancang kamu! Belajar kerja yang bener!” bentak Pak Sidik.

Icha mengangguk dengan wajah pucat ketakutan. “Baik, Pak.”

“Mana nota yang kamu maksud?” tanya pria itu tanpa keramahan sama sekali.

Icha maju dengan ragu-ragu dan menyerahkan bundel dokumen yang dibawanya. “Nilainya besar, Pak. Bahkan beberapa nota memiliki nilai pembayaran lebih dari 50 juta rupiah. Saya pikir ada kekeliruan. Mungkin ini nota pribadi Pak Sidik yang secara tak sengaja terselip di laporan itu. Karena supplier-nya sama, Pak.”

“Arya nggak tahu?” kali ini Pak Sidik menatap Icha dengan tajam.

Icha menggeleng dengan takut. “Maaf, Pak. Saya belum bertemu Arya sejak pagi. Tadi saya hanya bertanya ke Mbak Saras tentang dugaan itu ….”

“Saras? Bodoh kamu!” bentak pria senior itu. Dan Icha terkejut sekali ketika tiba-tiba Pak Sidik berdiri dengan kasar. “Besok pagi, bawa nota sialan itu menghadap saya lagi. Juga bawa laporanmu. Saya tunggu jam delapan pagi! Awas, jangan terlambat dan jangan sampai lupa!”

Ingatan tentang pertemuan pertamanya dengan Pak Sidik memang sudah kabur. Tetapi suasana ruangan Diaz membuat Icha lagi-lagi seperti melihat kembali sosok Pak Sidik hadir di sini. Karena meskipun hampir semua furnitur sudah diganti, Diaz tetap mempertahankan meja dari kayu jati berwarna coklat gelap yang dulu merupakan singgasana Pak Sidik.

“Ntar urusan yang belum fixed, langsung kamu konfirmasi sama kepala proyek masih-masing, ya Cha. Mereka yang lebih tahu kebutuhan di lapangan. Harus cepat ini. Akunting sudah nagih-nagih terus karena nggak mau terlambat mengirim laporan pajaknya,” kata Diaz. 

Icha akhirnya menyampaikan laporan yang belum diverifikasi oleh Melvin. Untung Pak Diaz mau menerimanya. 

“Kalau saya pribadi, sudah oke banget sama hasil kerjamu ini. Ntar saya yang akan menghubungi Melvin langsung dan memintanya untuk segera verifikasi.”

Privilese potong kompas begini hal yang tidak Icha sukai. Apa yang dia ucapkan pada cowok tadi hanyalah gertak sambal belaka. Tak mungkin Icha menurunkan profesionalismenya dengan mengadukan rekan sendiri. “Soal Melvin, saya rasa bukan salah dia, Pak. Sistemnya memang begitu, kan?” Icha menyampaikan argumennya dengan sopan.

“Kenapa, Cha? Takut dibilang pengadu?” Diaz tersenyum.

Icha menggeleng. “Tidak. Urusan evaluasi sistem tidak ada hubungannya dengan rasa takut dan pengaduan.”

Diaz tertawa. “Bener. Mungkin kalau kita lebih akrab, kamu bakal geblek-geblekin saya seperti kamu memprotes Fahri,” katanya ringan. “Tetapi hal-hal seperti ketidakefisienan di kantor ini pastilah sudah saya notice, Cha. Hanya perlu katalisator untuk menggulirkan isu ini kepada dua rekanan yang lain. Dan kamu adalah katalisator itu.”

“Atas dasar apa, kalau saya boleh tahu?”

“Empat proyek kamu pegang sekaligus itu pasti sesuatu banget, Cha. Melvin pasti menghibahkan pekerjaan itu begitu saja dan melakukannya tanpa sadar. Dia hanya berpikir bisa mengandalkanmu dan merasa aman karena sang guru telah kembali,” Diaz menaikkan alis. “Correct? Sekali senior, tetap senior.”

Icha mengeluh. “Padahal saya hanya lebih tua sebulan dari Melvin, Pak.”

“Oh ya?” Diaz melipat tangannya di dada. Tetapi bibirnya menyunggingkan senyum geli. “Bagaimana kalau dibandingkan dengan Lusi?”

Demi apa pria ini menggunakan istrinya untuk perbandingan! “Ehm, nggak sampai setahun juga. Kami bisa dikatakan sebaya.” Dan awas saja kalau aku disebut bermuka boros, sehingga terlihat seperti sangat senior dibanding Melvin dan Lusi!

“Oke, Cha, saya akan bahas tentang efisiensi di finance ini bersama Pak Arif dan Pak Tjandra. Kamu tunggu hasilnya saja, ya,” katanya ringan, sambil menutup dokumen serta mengembalikannya kepada Icha. Tanda pertemuan telah selesai.

Ketika seorang bos mengatakan hal seperti itu, berdasarkan pengalaman, artinya tidak usah terlalu berharap. Bos orang sibuk. Urusannya banyak. Soal ketidaknyamanan karyawan, biarlah mereka berusaha semampunya untuk bertahan dan menyesuaikan diri. Performance terbaik muncul karena persaingan bukan? Pikir Icha dengan sinis. Makanya dia sangat terkejut ketika suatu pagi tiba-tiba saja Diaz muncul di depan mejanya dengan wajah berseri.

“Cha, aku sudah berdiskusi dengan Pak Tjandra dan Pak Arif. Urusan verifikasi ini sudah dapat solusi. Tinggal difinalkan dalam rapat tertutup nanti. Siap-siap terima kejutan, ya, setelah ini!” katanya penuh semangat.

“Eh?” Icha menanggapi dengan kaget.

“Jangan bengong, Cha! Nggak pantes kamu melongo begitu. Semangat dong, Cha! Semangat!”

“Saya cuma nggak nyangka kalau beneran bakal dibahas.”

Count, me, Cha!” dengan senyum lebar Diaz meninggalkan Icha. Tetapi begitu tiba di ambang pintu, Diaz berhenti. “Oh ya, Cha, aku belum sempat bilang, bahwa di antara Lusi dan Melvin, kamu tetap terlihat paling muda kok. Jangan khawatir!” seringainya iseng.

Hei! Gimana? Dia bilang apa? Sialan! Dia tadi bilang ‘aku’? Demi apa!

***

Begitu mudah Icha melebur dalam rutinitas lama. Seolah waktu tujuh tahun kepergiannya itu tidak pernah terjadi. Seolah setiap hari dia bekerja di sini tanpa pernah meninggalkan kota ini. 

“Iya, Bu. Aku tadi kan, sudah bawa bekal dari rumah. Jadi tidak jajan sembarangan. Ini mau makan kok, sebentar lagi. Hanya sedang mencocokkan beberapa faktur saja,” kata Icha. “Iya, nggak. Nggak ngoyo. Biasa saja.”

Setelah berhasil meyakinkan pada ibunya bahwa dia baik-baik saja, Icha menutup ponselnya. Sejak kepulangannya, kebutuhan ibu untuk mengobrol dengannya seolah sulit dicukupkan. Wanita itu selalu mencari cara agar mereka tetap berkomunikasi dan mengatur agar keduanya selalu terlibat satu sama lain. Ya, nggak apa-apa juga, sih. Namanya juga ibu dan anak. Icha senang sekali malah. Karena sekarang satu-satunya sandaran yang dia punya hanya Ibu. Dan setelah berpisah sekian lama, dia butuh kedekatan ini untuk membantunya pelan-pelan kembali ke dirinya yang dulu. 

Tetapi ketika notifikasi ponselnya berbunyi lagi, Icha mengerutkan kening. Ada apa lagi sih, Bu? pikirnya geli sambil mengambil HP yang sudah dia letakkan di atas meja. Eh, ternyata bukan dari Ibu! Icha membuka pesan dari satu nomor tak dikenal itu dengan penasaran.

Selamat siang, Mbak Icha. Ini Lusi. Maaf, ternyata tempo hari aku lupa nggak save nomor HP Mbak Icha. Untung aku dapet dari suamiku. Tolong disimpan nomorku ini ya, Mbak.

Icha sampai dua kali mengulang apa yang dibacanya ini karena merasakan keanehan yang sulit diabaikan. Kok bisa sih Diaz kasih nomor HP-nya ke Lusi? Bukannya Diaz juga nggak tahu nomor pribadi Icha? Mereka baru bertemu beberapa kali saja. Belum sampai pada tahap tim kerja yang intens sampai harus saling simpan nomor HP. Lagian seorang bos seperti Diaz, kalau butuh sesuatu yang melibatkan anak buah juga tinggal nyuruh anak buah yang lain buat manggilin. Ada asisten, ada intercom juga. Kok aneh, ya!

08 - Pulang[oo1] 

Jantung Icha hampir copot ketika tahu-tahu intercom di mejanya berbunyi. 

Sialan! Lagi dipikirin juga itu intercom berbunyi dengan semena-mena! Dan ternyata dari Lastri, asisten Diaz. Tuh, kan? Nongol deh.

“Cha, habis makan siang ke kantor Pak Diaz ya. Bisa cepet, kan?” suara Lastri terdengar kenes seperti biasa.

Kalau dipikir-pikir, hampir semua yang ada di kantor ini adalah wajah-wajah lama. Lastri dulu asisten Saras di akunting yang sekarang jadi asisten Diaz. “Iya, beres! Aku bisa cepet kok. Aku nggak ke mana-mana, makan siang di kantor ini.”

“Kamu bawa bekal, Cha?” tanya Lastri antusias.

“Iya. Kenapa?”

“Akhirnya! Teman kencan makan bekal demi pengiritanku kembali ke habitat semula!” Lastri terkekeh. “Bentar, tungguin. Barengan, yah. Aku juga bawa bekal ini. Biar hemat, buat beli susu anak!”

Icha tertawa. Dulu Lastri kerap membawa bekal dengan alasan penghematan biar bisa beli skincare dan bayar iuran gym di pusat kebugaran. Sekarang setelah menjadi ibu dari seorang anak berusia satu tahun, ganti lagi alasannya. Padahal sih aslinya karena mereka senang membawa bekal. Tidak jauh beda dengan Icha, Astri dan suami masih tinggal di rumah ibunya, dan punya pembantu yang bisa masak enak. Tak perlu menunggu waktu lama, wanita yang setahun lebih tua dari Icha itu sudah muncul sambil menenteng tas bekal Lock n Lock.

“Ciye… nggak tupperware lagi,” ledek Icha.

“Ciye… sesama emak-emak gabut, yang dibahas merek kotak bekal,” balas Lastri mencibir.

“Kamu kali yang emak-emak,” Icha protes dan pura-pura tersinggung.

“Kamu juga bisa jadi emak-emak kalau mau lahirin anak,” celetuk Lastri tak mau kalah.

Berbalas kelakar receh bareng Lastri memang seolah tidak akan ada selesainya. Sambil tertawa-tawa ribut mereka menggelar makan siang di atas meja Icha. 

Icha dan Lastri berteman dengan baik, berbagi kegemaran pada makanan-makanan sehat dan bergosip sekitar orang-orang di kantor. Tetapi dalam level ringan. Karena Icha memang sebenarnya bisa berteman dengan siapa saja, tetapi hanya bisa membagi sedikit saja dari kehidupan pribadinya. “Halah, hidupku mah gitu-gitu aja, nggak usah kepo, lah!” begitu dia selalu mengelak. 

“Ngapain beli makanan kaki lima kalau bisa bawa bekal level premium yang didapat dengan gratis,” kembali Lastri nyeletuk. Ini adalah obrolan lama, yang ternyata masih diingat dengan baik oleh mereka berdua. Olok-olok bercanda hanya untuk bahan tertawa.

“Jangan sombong! Makanan premium ini hasil minta ke orangtua juga,” ledek Icha. “Mereka yang berjuang antre di warung tuh bayar pake duit sendiri, lho! Nggak nebeng gratisan kayak kita! Kalau dipikir-pikir, kasta mereka lebih tinggi!”

Lalu mereka tertawa terbahak-bahak sambil saling mencicipi menu untuk beradu kepandaian memasak pembantu rumah tangga masing-masing. 

“Eh, tadi kamu kasih nomor HP-ku ke istri Pak Diaz nggak, Tri?” tanya Icha begitu ingat.

“Nggak. Aku belum save nomor HP kamu yang sekarang,” kata Lastri.

“Oh, iya…ya… Aku juga belum save nomor-nomor kalian lagi,” Icha nyengir. Lupa dengan statusnya sebagai orang baru.

“Eh, lagian ngapain Pak Diaz kasih nomor kamu ke istrinya? Ini kita bahas tentang si Lusi kan?” tanya Lastri memastikan.

“Emangnya Pak Diaz punya istri mana lagi selain Lusi?” balas Icha.

“Eh, emang ada?” Lastri terkejut.

“Bego, ah! Aku kan, nanya!” Icha sebal sendiri.

Keduanya terbahak-bahak seperti orang tolol.

 “Eh, tapi kayaknya Pak Diaz melarang istrinya untuk gaul sama orang-orang kantor ini deh. Nggak tahu kenapa.”

“Masa?” tanya Icha heran. “Tapi tempo hari Lusi…” Icha tidak melanjutkan ucapannya.

Dia teringat Lusi yang menunggunya di lobi, bukannya langsung masuk menghampirinya di ruangan. Padahal kalau dipikir lagi, ini kan, kantor suaminya? Dia bisa leluasa masuk tanpa ada yang berani larang. Dan Lusi sendiri juga sebagai mantan karyawan harusnya masih akrab dengan teman-teman yang ada di sini, kan?

“Kenapa, Cha? Tanya Lastri heran.

“Oh, nggak kok,” Icha menggeleng. 

Tanpa bisa dicegah, Icha mulai merangkai beberapa hal yang dia ketahui. Dimulai dari Diaz yang memintanya untuk menemani Lusi. Memberi kesan seakan-akan Lusi tidak akan berteman dengan orang tanpa persetujuan suaminya. Icha memang tahu ada beberapa istri yang bersikap begitu. Segala hal harus pamit dulu pada suami. Mungkin rumah tangga Lusi dan Diaz juga memakai aturan serupa. Lalu perkataan Lusi yang mengaku tidak pernah mengganggu suaminya saat bekerja. Make sense, sih. Apakah Diaz sengaja menjaga dengat ketat batas pekerjaannya dengan seprofesional itu? 

“Kamu sekarang akrab sama Lusi, Tri?” tanya Icha. “Maksudku, karena kamu asisten Pak Diaz, dan Lusi kan mantan karyawan di sini. Mungkin kamu sering harus berhubungan dengan Lusi untuk keperluan-keperluan pribadi Pak Diaz.”

Lastri menggeleng. “Beda dengan ketika jadi asisten Mbak Saras, Cha. Yang sampai aku kenal dekat sama suami plus pembantu dia juga,” Lastri terkekeh. “Jadi asisten Pak Diaz nggak kayak gitu. Aku malah sama sekali nggak pernah kontak sama Lusi lho.”

Icha mengerutkan kening. “Masa sih?”

“Dibilangin kok nggak percaya,” kata Lastri. “Dan off the record ya, selama menjadi asisten si Bapak Ganteng itu, nggak pernah sekalipun lho istrinya telepon ke kantor.”

“Sok tahu kamu, Tri! Paling juga mereka teleponan pas kamu nggak tahu. Ada HP juga, yang bisa saling kirim pesan dengan lebih asoy. Perhatiin aja. Kalau Pak Diaz diam-diam senyum-senyum mesum sambil baca HP, mungkin sedang chatt porno sama bini.”

“Geblek kamu, Cha!”

Makan siang yang menyenangkan. Otot-otot wajah Icha rasanya menjadi jauh lebih rileks setelah tertawa begitu banyak dan begitu lepas bersama Lastri. Ya Tuhan, berkali-kali Kau tunjukkan kebodohan dari keputusanku dulu, yang terbuai iming-iming Pak Sidik dengan janji karier cemerlang di Jakarta. Padahal bekerja di sini rasanya bagai surga, bersama orang-orang baik ini!

***

Icha dengan enggan mendatangi ruangan Diaz. 

“Kok bisa sih Pak Diaz terima-terima aja laporan kamu yang belum aku verifikasi?” protes Melvin barusan.

“Beliau cuma memantau progres, Vin. Aku hanya bilang kalau laporannya belum final karena masih kamu verifikasi. Jadi beliau cuma cek acak,” bantah Icha. “Emang kenapa, Vin?”

“Pak Diaz mengirim pesan ke aku disuruh segera tanda tangan aja laporan kamu. Udah dinyatakan beres,” kata Melvin dengan ekspresi tersinggung. “Itu sama aja dengan mengatakan kalau aku nggak dianggep, Cha.”

Duh, laki-laki dan egonya! “Lalu aku harus gimana, Vin? Di antara Pak Diaz dan kamu, siapa kira-kira yang harus lebih aku patuhi?” tantang Icha.

Melvin mengembuskan napas dengan kesal.

“Kalau kamu mau Pak Diaz nggak potong kompas dengan ngelewatin kamu langsung ke finance kayak aku, Henry, dan lain-lain, berarti kamu perlu evaluasi hasil pekerjaan kamu. Kalau ada masalah, segera konsultasikan ke atasan untuk meminta solusi. Jangan diam saja.”

“Cha….”

“Itu nasihat profesionalku. Aku bagi gratis sama kamu!” dengan kata-kata itu Icha meraup setumpuk dokumen dan membawanya pergi.

Sekarang dia duduk di depan Diaz, menunggu pria itu selesai memeriksa pekerjaannya. Daripada bengong, Icha mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Membaca beberapa schedule yang ditulis Diaz pada white board yang terpasang di dinding dekat meja rapat, juga beberapa foto proyek yang dia tangani. Lalu pada rak berisi ordner dengan nama proyek ditulis besar-besar di punggungnya. Satu nama proyek membuat Icha terkejut. 

Stone Miles Resort – SGA

Eh? Icha sampai membaca berulang-ulang tulisan itu hingga dia yakin tidak salah baca.

“Oke, Cha. Setelah ini kamu tinggal balik ke Fahri, dan menghubungi Pak Eros, ya. Koordinasi langsung dengan orang komersial.”

Icha yang masih terkejut melihat keberadaan laporan Stones Miles Resort yang bertempat di Singapura itu buru-buru mengalihkan pandangan dari lemari dokumen dan kembali menatap Diaz dengan gugup. “Baik, Pak.”

“Kenapa, Cha? Ada yang aneh?” tanya Diaz sambil mengerutkan kening.

“Oh … ehm … itu. Heran saja melihat laporan dari proyek Stone Miles Resort.”

Diaz tersenyum. “Oh itu. Kenapa? Laporannya baru kelar. Heran itu kantor pusat kenapa lambat gitu kerjanya. Baru juga hari ini aku dapetin hard copy-nya itu. Dikirim ekspedisi.”

“Eh?” Icha terbelalak. “Pak Diaz terlibat di sana?”

“Iya,” Diaz menatap Icha tajam. “Kebetulan aku menjadi design advisor-nya. Dan ini untuk pertama kali lho ada kantor cabang yang meminta dilibatkan dalam pekerjaan kantor pusat, dan dikabulkan.”

“Oh.” Icha tertegun. 

“Satu tim dengan Arman dan Seno. Kamu pasti kenal mereka, Cha,” kata Diaz yang menatap Icha penuh arti.

Membuat Icha terkejut. Tiba-tiba dia curiga, apakah Diaz tahu pelecehan seksual yang dilakukan oleh Seno dan Arman kepadanya? Apakah Diaz menyalahkannya seperti orang-orang lain? “Iya, saya kenal mereka,” jawabnya pelan sambil mengangguk. 

Icha berusaha keras menyembunyikan rasa tidak nyaman yang selalu timbul setiap kali nama kedua pria itu disebut. Stone Miles Resort adalah mega proyek kebanggaan Arman dan Seno. Tetapi neraka bagi Icha. Jadi ketika namanya dicoret dari daftar anggota tim yang akan bertolak ke Singapura, tak henti-henti Icha melakukan sujud syukur. Karena dia tidak akan sudi berada dalam satu tim dengan dua pria yang sudah mengakibatkan mimpi buruk dalam hidupnya itu. 

Dan keberuntungan lagi-lagi menghampiri Icha ketika sebelum Arman dan Sena kembali ke Jakarta, satu email telah lebih dulu mampir ke kotak suratnya. Dari Diaz, menawarkan satu posisi untuk Icha di kantor cabang yang berada di kota kelahirannya. Email dari Diaz, yang secara tak sengaja telah menyelamatkan hidupnya.

“Aku jadi paham kenapa Pak Sidik merekomendasikan kamu untuk bekerja di Jakarta. Karena kemampuanmu memang bagus, Cha,” puji Diaz tulus. Lalu pria itu meletakkan dokumen di meja dan memandang Icha dengan tajam. “Boleh aku berkomentar?”

“Tentang apa, Pak?” tiba-tiba Icha jadi berdebar.

“Menurutku memang sayang banget kalau kemampuanmu tersia-sia jadi bawahan Melvin. Kamu nggak ada niat untuk bekerja di tempat lain yang lebih bonafide? Sebab di tempat yang tepat, kamu bisa jadi finance yang andal.”

Tujuh tahun Icha berusaha melakukannya. Membuat lamaran ke mana pun ada lowongan yang cocok dengan kemampuannya. Dan tujuh tahun pula dia tidak berhasil mendapatkan pekerjaan lain. “Iya, Pak. Saya tahu itu. Tetapi kadang nasib dan kemampuan itu tidak selalu berjalan linier. Sampai saat ini sumber rezeki saya masih dari perusahaan ini.”

“Begitu?” Diaz masih menatapnya dengan tajam. 

Tiba-tiba Icha menarik satu kesimpulan. “Apakah… ehm… apakah kantor cabang ini sebenarnya tidak membutuhkan tenaga saya lagi? Kalau memang begitu, saya tidak perlu direkomendasikan untuk pindah ke mana-mana lagi, Pak. Cukup dijelaskan saja dan saya akan mengundurkan diri dan keluar dengan cara yang baik.”

Karena Icha sudah tidak mau lagi diperlakukan seperti cara Pak Sidik memperlakukannya. Diusir secara halus itu ternyata sangat menyakitkan.

“Ups! Sorry!” Diaz mengangkat tangannya, menyadari kekeliruannya. “Sepertinya kamu salah menangkap maksud perkataanku. Aku sama sekali nggak bermaksud untuk ngeluarin kamu dari sini kok, Cha.”

Icha mengangguk dan menarik napas dengan lega. 

“Sebelum mengirim email itu, aku sudah berdiskusi dengan Pak Arif dan Pak Tjandra yang sudah lebih dulu mengenalmu. Mereka memberimu credit point yang bagus, Cha. Dan aku selalu percaya dengan penilaian profesional mereka.”

Lagi-lagi Icha mengangguk. Tidak tahu harus bicara apa lagi dengan Diaz. Icha juga heran kenapa menghadapi pria ini seolah ada sesuatu yang mengeblok pikirannya dan membuatnya sangat tidak nyaman. Ayolah, Diaz bukan satu-satunya pria beristri yang dikenalnya. Karena Icha bisa menghadapi Fahri dan teman-teman arsiteknya dengan santai tanpa grogi atau sungkan. Mereka kan, pria-pria beristri juga. Malah Icha sama sekali tidak kesulitan berteman dengan ibu-ibu dharma wanita para arsitek ini!

“Oh ya, Pak, tadi Lusi mengirim pesan pada saya,” kata Icha. 

Dan Icha terkejut menyadari dirinya keceplosan bicara begini. Ya ampun, apa pentingnya bahas ginian dengan bos seperti Diaz, Cha! Bego!  Diaz sampai melongo sebagai reaksi atas ucapan Icha yang nggak jelas mutunya ini.

“Ehm… maaf,” Icha jadi gagu. “Lusi tadi bilang kalau dapetin nomor HP saya dari Pak Diaz. Sebab tempo hari kami memang lupa saling save nomor,” lanjutnya. Icha yang karena kepalang gengsi tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini untuk mengobati kekepoannya. Urusan nomor HP memang remeh, tetapi dia penasaran.

“Lusi bilang begitu?” Diaz malah terlihat heran. “Aku malah nggak punya nomor kamu, Cha.”

Nah lho? Ini jadi bumerang malah buat Icha. Rasain kamu, Cha! Sekarang malah Diaz yang mengira kamu mengada-ada. Icha mengomeli dirinya sendiri. Dih!

 “Hm, nggak tau juga sih, Pak, yang bener yang mana. Kalau saya ngotot dengan menunjukkan isi pesan istri Pak Diaz, kesannya kok norak dan lebai ya, nggak penting juga dia dapat nomor saya dari mana. Bisa jadi dia nanya ke resepsionis, atau entahlah. Maaf, saya menyinggungnya tanpa sengaja,” kata Icha dan berharap agar topik ini di-take down seketika. Sialan, dia merasa seperti jadi provokator!

“Melvin mungkin?” tebak Diaz.

Yah! Dibahas! “Maaf, Pak. Nggak usah dibahas aja,” kata Icha risih sendiri.

“Oh ya? Padahal aku lagi pengen bahas,” Diaz nyengir. 

Aduh, Pak! Jangan nyengir! 

Orang ganteng berbahaya banget kalau nyengir begini deh. Membuat Icha teringat pada Takeru Satoh. Karena bentuk wajah, mata, dan senyum Diaz sekilas mirip aktor Jepang itu. Khawatir pikirannya semakin ngelantur nggak keruan, lagi pula apa pentingnya bagi Icha mendebat soal Lusi dengan suaminya, karena biar bagaimana juga sebagai suaminya, Diaz lebih paham kelakuan istrinya, akhirnya Icha memutuskan undur diri. Tanpa menunggu isyarat diusir.

Tetapi ketika sampai di ambang pintu, Icha teringat sesuatu dan menoleh kepada Diaz yang berdiri menatapnya dari belakang meja kerjanya.

“Pak Diaz, saya memang nggak tahu apa alasan Bapak untuk menawari saya posisi ini kembali. Saya juga nggak tahu apa yang sudah saya lakukan di perjumpaan pertama kita dulu yang memang tidak sanggup saya ingat. Tetapi terima kasih, Pak, atas kesempatan bekerja di sini. Terima kasih karena membuat saya bisa pulang kembali.”

Tanpa menunggu jawaban, Icha melangkah keluar ruangan.


 

09 – Karena Makan Siang adalah Sebuah Keputusan

Icha keluar dari ruangan rapat dikawal dengan ketat oleh Saras sang akunting, yang berjalan tepat di belakangnya.

“Selamat datang kembali, Cha. Lega rasanya mengetahui kamu balik ke kantor ini,” kata wanita itu dengan suara setengah berbisik.

“Ah, Mbak Saras ada-ada aja. Posisiku sekarang hanya bawahan, Mbak. Nggak bakalan bisa membuat banyak perubahan,” Icha mengelak.

“Aku malah nggak berpikir begitu, Cha. Justru karena kamu kembali ini, maka para atasan berani membuat keputusan ekstrem seperti tadi.”

Reformasi aturan baru saja diputuskan pada rapat terbatas yang melibatkan semua bagian keuangan, arsitek senior, beserta tiga pimpinan perusahaan. Verifikasi laporan satu pintu pada finance yang biasanya di bawah tanggung jawab Melvin secara resmi ditiadakan. Sebagai gantinya, finance bisa langsung berkoordinasi dengan salah satu bos penanggung jawab proyek, setelah mendapat persetujuan dari kepala proyek. Dengan adanya peraturan baru ini, yang diusulkan oleh Diaz dan mendapat persetujuan secara aklamasi dari Pak Tjandra maupun Pak Arif, secara tidak langsung telah menurunkan wewenang Melvin menjadi setara dengan finance biasa. 

“Waktu Pak Sidik turun dan digantikan Pak Diaz, aku sudah mulai optimis perusahaan ini akan membaik, Cha. Sayangnya kamu udah keburu pergi. Jadi seperti ada mata rantai yang lepas karena kamu tahu sendiri lah, Melvin seperti apa. Arogan iya, tapi kerjanya nggak maksimal karena dia terlalu perhitungan dan menilai diri terlalu tinggi. Tetapi dengan adanya kamu kembali di sini, aku yakin, pekerjaan akan lebih cepat terselesaikan. Dan kesombongan Melvin yang selama ini lebih banyak merugikan bisa diminimalisir.”

Ucapan tulus dari seorang senior seperti Saras, sungguh merupakan pujian tak terhingga bagi Icha. “Terima kasih atas kepercayaannya, Mbak.”

Mereka pun berpisah saat memasuki ruangan masing-masing.

“Cha, kamu gitu deh!” Melvin tahu-tahu memasuk dengan langkah menghentak dan tampang terlihat sangat kesal. “Ini namanya nikung teman, Cha!” tuduhnya.

“Kok bisa? Siapa nikung siapa, Vin?” protes Icha tidak terima.

“Coba kalau kasus kemarin nggak kamu blow up?” Melvin ngegas.

“Idih! Siapa yang blow up? Vin, sini aku ulang lagi kronologinya biar kamu inget. Pertama, laporanku belum kamu verifikasi. Kedua, Pak Diaz keburu meminta laporan itu. Ketiga, aku sudah menjelaskan kenapa belum diverifikasi, tetapi sebagai bos, Pak Diaz punya wewenang untuk mengecek laporan meskipun belum final prosesnya di kamu. Dan keempat, Pak Diaz sebagai bos menyimpulkan ada masalah yang membuat proses verifikasi jadi lama. Dan kalau sudah begitu, salah siapa?” Icha berkacak pinggang.

Melvin diam.

“Jawab! Salah siapa? Siapa nikung siapa? Sini ngomong, aku siapin rekamannya buat bukti. Ayo, kalau berani!” tantang Icha. “Vin, kamu ingat nggak apa yang aku bilang dulu banget, saat kamu baru masuk kerja? Masalah ringan jangan dibikin ruwet!”

“Tapi, Cha …,” Melvin seperti kehilangan semua powernya kalau menghadapi Icha.

“Sekarang aku nanya lagi, dengan sistem baru ini, kerjaanmu jadi lebih ringan apa lebih berat?”

“Lebih ringan sih ….”

“Lalu gaji dan tunjangan kamu tetap apa turun?”

“Tetap lah. Nggak ada omongan soal turun jabatan.”

“Ya udah! Kenapa protes?” cibir Icha. “Kamu kalau ribut ntar HRD nongol, digorok gajimu sekian persen. Mau? Terserah sih kalau mau. Kalau kataku ya, namanya bego.” 

Melvin tertegun. Berpikir sejenak, lalu menyeringai lebar. “Bener juga. Ah, emang Mbak Icha tersayang ini selalu bisa diandalkan! Membuat masalah pelik jadi gampang! Andai boleh, pengen deh aku kasih hadiah ciuman di bibirmu, Cha! Dan kita bisa resmi pacaran.”

Icha melemparkan tinjunya ke udara, ke arah Melvin. “Jaga mulut!”

“Cha … serius, nih! Aku nembak ini, Cha. Mau ya jadi pacarku. Ya? Ya?” 

“Kamu becanda kelewatan, Vin,” Icha tersinggung berat.

“Jangan marah, Cha …,” Melvin menyeringai. “Satu ciuman? Satu aja, Cha ….”

Namun sebelum Icha sempat membalas, terdengar satu dehaman dari arah pintu ruangan. Keduanya menoleh dengan terkejut melihat Diaz sudah berdiri di sana. 

“Pak Diaz …,” Icha tiba-tiba jadi gugup. 

“Cha ….”

Mendengar nama Icha disebut, diterjemahkan oleh Melvin sebagai tanda dia tidak dibutuhkan dalam percakapan dan memanfaatkan kesempatan ini untuk segera kabur. 

“Sorry, ganggu,” kata Diaz tanpa menunjukkan penyesalan sama sekali. “Aku cuma mau minta nomor HP kamu, Cha!”

Allah Gusti! Suami istri pemburu nomor HP! Keluh Icha dalam hati. Dan keduanya bertukar nomor tanpa banyak basa-basi.

***

Lusi memegang ponsel erat-erat sambil menatap nama Icha yang tertera pada daftar phone book-nya. Teringat apa yang harus dia lakukan untuk bisa kembali bertemu mantan seniornya tersebut. Karena meminta izin pada Diaz sungguh bukan perkara mudah.

“Ngapain kamu mau ketemu Icha?” tanya Diaz sinis ketika mereka dalam perjalanan pulang dari pesta perusahaan, kali pertama Lusi bertemu Icha kembali.

“Aku akan merasa sungkan kalau tidak menemui Mbak Icha. Minimal kami bisa makan siang bersama sesekali. Bagaimana pun juga dia dulu mantan atasanku,” Lusi beralasan.

“Bukannya kamu nggak suka sama dia?” balas Diaz.

“Aku nggak pernah bilang begitu,” Lusi menundukkan kepala.

“Aku simpulkan begitu,” komentar Diaz datar.

Dan Lusi pun bungkam, tahu dia tidak akan bisa mengubah pendirian suaminya kecuali pria itu sendiri yang memutuskan untuk berubah.

“Baiklah, aku akan mengatakan pada Icha kalau kamu mau ketemu. Hari Senin besok datanglah ke kantor dan temui resepsionis agar dia saja yang memanggil Icha dari ruangannya,” kata Diaz akhirnya ketika Lusi bersiap turun dari mobil.

Dan Lusi merasa kunjungannya ke kantor Elite Architect menemui Icha tak sia-sia. Dia jadi tahu suasana kantor terbaru, dan tahu kalau resepsionisnya juga baru. Membuatnya merasa bebas karena tidak dikenal. Resepsionis itu pula yang memberinya nomor HP Icha ketika dia bergerilya mencari informasi. Dengan bersenjatakan identitas sebagai istri Diaz Winadi Sentosa.

Banyak hal yang terjadi tidak sesuai dengan ekspektasinya ketika memutuskan untuk meminta Diaz menikahinya. Tetapi menjadi Lusiana Indarti Sentosa masih memberinya banyak keuntungan. Salah satunya adalah rumah yang dia huni ini. Juga kenyamanan yang bisa dia beli karena setiap bulan ada yang mengisi rekeningnya tanpa dia susah-susah bekerja. Dan setiap dia menatap cermin, tak henti-hentinya Lusi mengagumi diri sendiri. Dengan perawatan mahal dan busana yang tepat, Lusi mengakui kalau dirinya kini terlihat sangat menarik. Untuk ukuranmu, lumayan kok Lus, pencapaianmu selama ini.

Lusi tersenyum berpuas diri.

Tapi sampai kapan, Lus, kamu bisa menikmati semua ini? Icha sudah kembali. Sudah saatnya kamu mengembalikan sesuatu yang kamu curi, kan?

Lusi menepis jauh-jauh pikiran yang semakin kerap menghinggapi kepalanya ini. Tak mau dihantui perasaan bersalah yang harusnya tidak dia pedulikan, Lusi memencet tombol panggilan. Tidak ada jawaban. Mungkin Icha masih sibuk. Dicobanya sekali lagi. Masih belum ada jawaban juga. Kali ketiga pun sama. Akhirnya Lusi meletakkan ponselnya. Melirik kesal pada tas tangan yang tergeletak di sebelahnya. Juga pada pakaian yang telah dengan sangat cermat dipilihnya. Karena tahu bahwa dia tidak bisa tampil sembarangan kalau akan bertemu Icha. Tetapi sekarang dia kecewa karena rencana yang telah dia susun siang ini terancam gagal.

***

Setelah menghabiskan waktu di lantai dua bersama Fahri beserta timnya, Icha menyempatkan diri ke lantai tiga untuk mampir ke meja Lastri.

“Cha, makan siang bareng?” perempuan itu menawari.

“Boleh. Di mana, nih?” tanya Icha.

“Di sini dong. Masa iya aku yang nyamperin kamu terus? Sekali-sekali yang muda sowan ke yang tua.”

Icha terbahak. “Idih! Sowan! Bentar ya, aku ke kantor dulu ambil bekal.”

“Eh, nggak apa-apa tuh naik turun gitu?” tanya Lastri khawatir.

“Nggak lah. Targetku jalan 10.000 langkah sehari,” Icha menunjukkan smart watch pemantau langkah kaki yang dipakainya.

“Ciyee … centil amat warna pink,” ledek Lastri.”Ada-ada saja kamu ini, Cha!”

“Lagi rajin!” sahut Icha sambil tertawa lepas dan bergegas menuruni tangga, kembali ke ruangannya. Ketika mengambil ponsel dari laci meja, dia menemukan notifikasi panggilan tak terjawab dari Lusi. Tiga kali. Ada apa ya? Tanpa pikir dua kali Icha menghubungi istri Diaz.

“Siang, Mbak Icha. Mimpi apa aku ditelepon kamu,” kata Lusi.

Lebay! “Kamu sampai tiga kali call. Ada apa, Lus?” tanya Icha to the point. “Mungkin kamu masih ingat kebiasaanku. Aku jarang buka HP kalau sedang kerja.”

“Oh, iya, Mbak, maaf,” balas Lusi. “Ehm … tadi sebenarnya aku ingin mengajak Mbak Icha makan siang. Tapi kayaknya Mbak Icha sibuk. Jadi aku nggak berani ganggu.”

Ini yang istri bos siapa, sih? Apa karena Icha mantan seniornya? Tapi kan itu sudah lama banget kejadiannya? Bahkan setelah perjumpaan kedua, saat makan siang dulu, Icha belum bisa mengobrol lepas bersama Lusi.

“Aku diet, Lus. Jadi nggak sembarangan makan di luar,” kata Icha beralasan. “Lain kali kalau mau ada rencana makan bareng, kabari sehari sebelumnya, ya. Biar aku nggak bawa bekal.”

“Oh, gitu. Baik, Mbak, akan aku ingat. Tapi misal kapan-kapan aku menghubungi Mbak Icha, boleh kan?”

“Tentu boleh, dong. Kenapa nggak?”

Setelah berbasa-basi sejenak, Icha memutus obrolan. 

Haduh! Ngobrol sama Lusi benar-benar perjuangan tersendiri. Nggak nyambungnya itu kadang membuat Icha bingung harus ngomong apa lagi! Juga kebiasaannya yang penuh basa-basi dan sungkan-sungkan melulu menguras habis kesabaran Icha. Duh, melas banget sih kamu, Lus? Nggak dulu nggak sekarang, masih belum berubah juga. Dulu kerja salah melulu, jadi sering diomelin. Sekarang sudah jadi istri seorang bos, ternyata yang ter-upgrade sebatas penampilan luar doang. Kebayang ketika Lusi ngobrol dengan istri para bos lain. Apa nggak kesulitan dia? Cuma jadi people pleaser doang? Atau tim hore-hore tanpa punya pendapat sendiri?

Acara makan bersama Lastri ternyata berlanjut dengan kejutan tak terduga. Temannya itu mengajak Icha membuka bekal di meja yang ada di ujung lorong. Berada tepat di sebelah balkon.

“Biar aku tahu kalau ada tamu yang datang di saat yang nggak pas begini,” katanya beralasan, sambil menunjuk ke pintu ruangan Diaz.

“Tamu?” tanya Icha heran.

“Jaga-jaga aja, sih. Kadang ada aja orang yang nggak kenal aturan main nongol sembarangan di jam orang lagi makan.”

“Emang Pak Diaz nggak makan di luar?” tanya Icha lagi. Sebab tadi dia bertemu dengan Pak Tjandra serta Pak Arif dan gerombolan staf mereka yang bergegas menuju lift untuk meninggalkan lantai tiga.

“Ih, jarang banget! Kalau nggak ada acara makan siang bareng kolega, seringnya beliau suruh OB beliin makan siang dari luar!”

Di saat bersamaan Diaz keluar dari ruangannya, dan di ujung lorong pula OB yang dimaksud muncul dengan membawa pesanan yang dimaksud. Lastri melirik Icha penuh arti, yang dibalas Icha dengan kerutan dahi tak mengerti.

“Lho, ada ibu-ibu sedang arisan di sini,” komentar Diaz yang tahu-tahu mendekati meja mereka.

Lastri tersenyum sopan. Icha mengangguk. 

“Cha? Sejak kapan….”

“Mengulang masa lalu, Pak. Dari dulu kami sering makan bareng.”

I see,” Diaz menatap keduanya bergantian. “Boleh gabung?”

Awkward moment terjadi. Ketika Diaz memutuskan untuk mengambil kursi satu lagi, dengan Lastri yang bagai induk ayam memerintah OB untuk menyiapkan segala piring dan gelas demi si bos bisa makan dengan nyaman. Dan Icha yang memandang keduanya dengan heran. Diaz ternyata memesan makanan Korea dengan porsi yang lumayan. Icha berusaha menahan rasa tertarik dengan menjaga ekspresinya tetap cool saat Lastri membantu atasannya mengeluarkan kimbab, dakkochi, serta odeng dari boksnya dan memindahkannya ke atas piring.

“Kamu nggak sama Melvin, Cha?” tanya Diaz lempeng. “Kasihan lho, dia ngarep banget jadi pacarmu, Cha!”

Icha langsung bad mood. “Bapak, Melvin mah cuma becanda!” bantahnya.

Diaz tertawa. “Porsi pesananku banyak nih. Kalian boleh ambil mana yang kalian suka! selama nggak mengganggu acara diet kalian.”

Lastri tertawa. “Diet bisa ditunda sampai besok, Pak. Kami mah, penganut prinsip pantang menolak makanan gratis, Pak!” katanya sambil mencomot odeng –sate ikan yang bentuknya seperti sate usus—tanpa malu-malu.

Icha mengikuti jejaknya, mengambil satu dakkochi –sate ayam ala Korea—dan meletakkannya di atas salad sayuran yang dia bawa. Ketika Diaz menawarkan kimbab, dengan sopan Icha menolak.

“Kalau kalian rutin bawa bekal begini, aku nggak nolak lho dibagi satu porsi. Kali aja kalian minat buka jasa katering,” seloroh Diaz. “Makanan rumahan pasti lebih sehat.”

Woy, Pak! Minta istrimu sendiri yang siapin! Meskipun ingin berteriak begitu, yang berani Icha lakukan cuma tertawa. “Yaelah, pakai buka jasa katering segala. Saya sama Lastri ini bekal juga cuma modal minta jatah ke orangtua, Pak,” selorohnya.

“Ya kali….” Diaz tertawa renyah. 

Saat ketiganya menikmati makan siang yang terjadi di luar rencana ini, diam-diam Icha mengamati Diaz yang terlihat santai. Pria ini mengobrol dengan ringan, menceritakan hal-hal umum secara acak yang berkaitan dengan beberapa pekerjaan mereka. Diaz pria yang menyenangkan. Teman bicara yang bisa menyesuaikan bahan obrolan dengan orang yang dihadapinya saat ini. Berbeda dengan Lusi, Diaz tidak membosankan.

Tiba-tiba Icha merasa berdosa pada Lusi. Dari nada suaranya di telepon tadi, lagi-lagi Icha menangkap kesan kalau wanita itu sangat kesepian. Maaf ya, Lus, bukan maksud kami sengaja pinjem suami kamu, ya! Saat sudah kembali ke belakang meja kerjanya, Icha segera menghubungi Lusi.

“Lus, kamu suka olah raga, nggak? Hari Sabtu, ibuku dan teman-temannya mau datengin instruktur cardio dance ke rumah. Aku sih sebenarnya ogah, bareng ibu-ibu gitu. Tapi kalau kamu minat, dan lagi nganggur, datang aja. Ntar kita bisa olah raga yang lain bareng-bareng. Gimana?” tanya Icha menawarkan undangan ke rumahnya.

“Serius ini, Mbak, aku boleh datang? Aku mau banget lho, Mbak!” jawab Lusi penuh semangat.

Saat sosok Diaz berjalan melintas di depan ruangannya, Icha hanya bisa membatin: Pak Diaz, please deh. Perlakukan istrimu dengan baik. Kalau kamu hanya melihatnya sebagai boneka cantik pemuas nafsu, aku akan kehilangan seluruh respekku ke kamu, Pak!

Lalu Icha tersadar akan sesuatu. Tempo hari Melvin. Sekarang Lusi. Ya Tuhan! Akankah aku kembali menjadi ‘Mbak-Mbak’ yang momong juniornya?

10 – Hujan dan Taksi

Akhirnya Lusi diundang juga ke rumah Icha.

Wanita itu turun dari taksi online yang membawanya ke depan rumah megah di komplek perumahan kelas menengah ini. Rumah milik orangtua Icha. Yang pastinya akan menjadi milik gadis itu suatu saat nanti karena dia anak tunggal. Iri? Pasti. Bahkan sejak pertama bertemu, Lusi sudah merasa iri pada setiap keberuntungan yang Icha miliki. 

Orangtua Icha memang bukan dari golongan kaya raya, tetapi berkecukupan sehingga tidak kesulitan untuk memenuhi kebutuhan dasar putri semata wayangnya. Membuat Icha yang memang memiliki paras menarik meskipun tidak terlalu cantik itu bisa selalu tampil dengan pantas. Baju-bajunya bagus meskipun tidak berlebihan. Wajah dan tubuhnya juga terawat meskipun Icha bukan jenis perempuan dengan riasan tebal. Icha pintar dan memiliki pembawaan elegan serta tegas. Hasil didikan berkualitas sejak kecil memang tidak bohong dalam membentuk karakter seseorang.

Sabtu pagi itu, senyum Icha terkembang menyambut kedatangan Lusi. “Nggak kesulitan kan, nyari alamatnya?” tanya Icha dengan senyum ceria.

Lusi menggeleng. “Alamatnya sangat jelas. Di aplikasi juga dengan mudah muncul sehingga driver-nya nggak nanya-nanya lagi.”

“Oke. Sebab sejak tadi aku nunggu kalau-kalau kamu telepon. Kali aja nyasar gitu. Ternyata udah nongol aja di sini,” Icha mempersilakan Lusi masuk. “Yuk!”

Lusi membatin, Icha pasti tidak menduga kalau rumah Diaz, rumah orangtua pria itu lebih tepatnya, berada tidak jauh dari sini!

***

“Ha? Lusi? Yang ketemu kita di Lai Lai dulu itu?” tanya ibunya dengan heran ketika Icha menjelaskan kalau dia mengundang seorang teman. “Yakin kamu, Cha?”

“Nggak apa-apa, Bu. Meskipun dia sudah jadi istri bos, dia masih seperti junior yang dulu aku kenal,” sahut Icha santai.

“Tapi Ibu kok merasa agak nggak sreg sama dia, Cha. Matanya itu bukan mata perempuan baik-baik.”

“Ih, Ibu kok fitnah, sih? Dia gadis baik-baik kok, Bu. Dulu, seingatku, latar belakang keluarganya memang kurang beruntung. Jadi dia juga kuliahnya perlu waktu lama karena disambi kerja.”

“Bukan perkara itu, Cha. Tapi Ibu lihat matanya itu bukan mata orang yang jujur,” ibunya mengerutkan kening. “Tapi, ya sudahlah, nggak apa-apa. Kamu yang lebih kenal sama dia. Ibu kan cuma sekali ketemu.”

“Yakin lah, Bu. Dia orang baik, kok!”

Icha tahu ibunya hanya khawatir secara berlebihan. Melepas dirinya hidup sendiri di Jakarta telah menjadi salah satu fase paling berat bagi orangtuanya. Sekarang, setelah berbagai peristiwa yang terjadi, ibunya tanpa sadar menjadi over protective.

Keberadaan Lusi membuat Icha memiliki alasan untuk menghindar dari kewajiban bergabung dengan teman-teman ibunya. Hal itu karena Bu Ridwan yang heboh ingin mengenalkan Icha dengan keponakannya. 

“Ganteng kok, Cha. Dia duda tanpa anak. Bercerai karena mantan istrinya memilih kuliah di luar negeri dan bekerja di sana. Usia 32 tahun. Sudah mapan, jadi pegawai di instansi pajak.”

Kalau ganteng, duda tanpa anak, dan mapan, emang kenapa, gitu?

“Nggak ada salahnya mencoba kenalan, Cha. Orangnya agak tertutup memang. Tapi Tante sudah kasih foto kamu dan kelihatannya dia tertarik. Nanti Tante kasih kamu nomor HP-nya ya. Kamu bisa pura-pura kenalan.”

Idih! Mentang-mentang dia dianggap perawan tua jadi harus nawar-nawarin diri, gitu? Lagian kalau dibilang ‘kelihatannya dia tertarik’ ya harusnya si cowok dong yang ngajak kenalan! Icha sebel sendiri.

“Biasalah, Lus. Nasib perawan tua. Semua orang pengen nyeburin ke kolam perjodohan, dan semua orang kayak tiba-tiba merasa berkewajiban menjadi mak comblang,” keluh Icha. Mereka berdua akhirnya memilih bermalas-malasan di balkon rumah, menikmati cuaca cerah di bawah bayang-bayang kanopi, ditemani seteko teh lemon segar dan puding buah buatan Bu Nah, pembantu keluarga Icha.

Lusi merenung sambil mengawasi Icha yang sedang memindahkan beberapa pot bunga, memutar posisinya agar tumbuhan hias itu mendapat sinar matahari lebih banyak. Icha terlihat begitu muda dan penuh semangat. Hari ini dia mengenakan celana pendek jeans belel dan tshirt putih yang sederhana. Wajahnya juga polos tanpa riasan dengan rambut diekor kuda yang sedikit berantakan. Icha memang tidak sempurna. Tetapi dia terlihat begitu segar dan bahagia. Dua hal milik Icha yang Lusi sadari mustahil untuk dibeli. Bahkan setelah dia menikah dengan Diaz sekalipun. 

Segar? Alih-alih segar, entah sejak kapan Lusi kehilangan keluguannya, yang membuatnya memandang hidup dengan sedih dan masam. Muram dan tidak indah. Hidup yang dia jalani hanya berisi serangkaian transaksi jual beli, juga pinjaman dan jaminan.

Bahagia? Iya, kadang Lusi merasa bahagia. Ketika mendapati perempuan lain iri dengan apa yang dia miliki, dan apa yang bisa dia beli. Tetapi bahagia itu hanya sesaat. Karena begitu dia sendiri lagi, bahagia itu juga ikut pergi.

“Mbak Icha belum punya calon sama sekali?” tanya Lusi waswas.

Icha menggeleng.

“Dan Mbak Icha nggak nyari?”

“Heh? Nyari?” Icha tertawa. “Aku masih belum paham, Lus, apa yang dimaksud dengan mencari calon suami itu. Aku sudah pernah melakukan beberapa hal, dan setelah tidak berhasil, aku jadi ragu, apa benar memang begitu caranya mencari. Jadi sekarang aku memilih santai saja menikmati apa yang ada. Nggak keburu-buru. Masanya juga sudah hampir lewat. Karena sebentar lagi, setelah usiaku lebih dari tiga puluh tahun, dengan sendirinya orang akan berhenti menjodoh-jodohkan aku. Karena mereka akan mencari target yang lebih muda untuk diganggu!” Icha nyengir lebar.

Apakah sebenarnya Icha memang setenang itu? Lusi tidak percaya. Karena dia bercermin dari diri sendiri. Orang lain melihatnya sebagai si cantik yang lemah, lugu, dan bodoh. Karena begitulah yang ingin dia tampilkan di hadapan orang lain. Sebab berperan menjadi orang bodoh itu baginya menguntungkan, untuk beberapa kondisi.

***

Diaz mengecek jam tangannya. Sudah pukul tiga sore. Tetapi tak satu pun dari para mahasiswa yang menjadi tanggung jawabnya ini menyelesaikan tugas mereka.

Cowok itu mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru studio gambar jurusan arsitek di universitas tempatnya magang sebagai asisten dosen. Usianya sudah 24 tahun. Lulus dua tahun lalu dan selama itu pula dia bertahan di kampus ini. Bekerja dengan gaji yang terlalu kecil meskipun sebenarnya dengan predikat arsitek yang disandangnya dia bisa bisa bekerja di tempat lain. Di kota besar, di perusahaan-perusahaan besar.

Sambil menunggu, cowok itu duduk lagi dan melanjutkan kegiatan mencoret-coret di buku sketsa, untuk memberi sentuhan akhir pada serangkaian gambar furniture yang dibuatnya. Sambil berpikir kapan dia akan memiliki waktu luang untuk menjalankan hobinya, bermain-main dengan kayu untuk membuat perabotan.

Setelah beberapa lama, dia melirik kembali pada jam tangannya. Lalu menutup buku sketsa itu, memasukkan ke dalam tas tenteng miliknya yang sudah butut, dan berdiri. “Saya tunggu lima menit lagi, ya,” katanya dengan tegas.

Terdengar gumaman pelan dari setiap penjuru ruangan. Lalu dari baris bangku paling depan, seorang gadis berwajah imut mendongakkan kepala dan menatap penuh harap kepadanya. Dia satu-satunya orang yang pekerjaannya jauh dari kata selesai. 

Diaz pun lalu mendekatinya. “Baiklah, kamu bisa bawa pulang tugasmu dan selesaikan di rumah. Besok pukul sebelas saya tunggu di kantor Pak Tunjung. Oke?”

Gadis itu mengangguk dengan mata berbinar. Suaranya lembut saat mengucapkan terima kasih.

Ah, lucu sekali kamu, Dek! Sayang aku sedang tidak dalam kondisi bisa mengencani gadis-gadis dengan bebas. Karena ada kewajiban lain yang menuntut konsentrasiku. Coba kalau situasinya berbeda. Sudah pasti akan kudekati kamu. Siapa tahu setelah kamu lulus nanti kita bisa punya masa depan bersama.

Diaz tersenyum miris. 

“Lima menit habis!” teriaknya.

Seperti biasa kelas pun bubar dengan ribut oleh suara langkah kaki dan meja kursi yang berderit saat digeser oleh sosok-sosok manusia berusia awal dua puluhan yang sedang penuh vitalitas hidup itu. Diaz menunggu hingga mahasiswa terakhir meninggalkan studio. Lalu melangkah gontai menuju kantor rekording untuk menyimpan tugas mereka sekaligus melapor kepada petugas yang ada di sana.

Tetapi baru saja Diaz meninggalkan rekording, sebuah panggilan dari suster pribadi yang merawat ibunya muncul di layar HP-nya.

“Mas Diaz, Ibu ngedrop tiba-tiba. Jadi sekarang saya dalam perjalanan menuju rumah sakit!” kata wanita senior itu.

“Oke, saya langsung menuju ke sana!” sahut Diaz.

Cowok itu bergegas meninggalkan gedung jurusan dan berlari menuju gerbang tengah yang berada tepat di titik pertemuan jalan MT. Haryono, Panjaitan, dan Sukarno Hatta. Tetapi baru beberapa langkah, hujan turun tanpa permisi.

***

Icha menatap gedung jurusan akuntansi untuk terakhir kali. Sampai jumpa lagi, terima kasih sudah memberiku banyak kenangan di sini! 

Senyum terukir di bibirnya. Setelah melambai kepada beberapa temannya, gadis itu melangkah meninggalkan kampus yang selama empat tahun telah menjadi bagian paling besar dalam hidupnya. Ini hari terakhirnya, karena semua kewajiban sudah dia jalankan. Wisuda, setor skripsi, menyelesaikan urusan buku perpustakaan, dan segala hal remeh lainnya. Sekarang dia sudah bebas. Siap untuk memasuki tahap hidup selanjutnya. 

Sambil menenteng tas plastik berisi salinan skripsi yang sudah mendapat pengesahan akhir dari kampus, dia melangkah ringan menyusuri trotoar. Icha sengaja tidak membawa kendaraan karena ingin menikmati saat seperti ini untuk terakhir kali. Tetapi langit yang mulai gelap membuatnya khawatir. Gerbang tengah masih beberapa puluh meter lagi. Dia harus bergegas kalau tidak ingin terkena hujan yang sepertinya akan turun sebentar lagi.

Dengan cepat Icha mengambil ponsel dari saku celananya untuk mencari nomor layanan taksi yang biasa menjadi langganannya. Tepat saat dia sudah membuat janji dengan customer service armada yang bersangkutan, hujan turun mengguyur bumi. Dan Icha pun berlari tanpa pikir-pikir lagi.

Dalam deraian air hujan yang semakin deras, dia melihat mobil berwarna biru yang berhenti tepat di depan portal yang terpasang di tengah gerbang. Alhmadulillah taksiku sudah sampai! Soraknya dalam hati sambil berlari mendekat.

Dalam kalutnya pikiran akan kondisi ibunya yang dalam beberapa hari ini semakin memburuk, Diaz berlari menembus hujan dan tak lagi peduli pada tubuhnya yang basah kuyup. Jarak seratus meter menuju pintu gerbang seolah begitu jauh baginya. Bu, bertahanlah! Tunggu aku!

Pemuda itu sudah tiba gerbang dan melompati portal besi begitu saja ketika melihat sebuah mobil berwarna biru mendekat ke tepi trotoar dan berhenti di sana. Tetapi tiba-tiba saja dia melihat sosok seorang gadis sudah berlari cepat di depannya dengan tangan terulur siap membuka pintu taksi itu. Tanpa pikir panjang Diaz berlari mengejarnya.

“Dek!” panggilnya.

Gadis itu menoleh. Sama seperti Diaz, dia juga basah kuyup.

“Boleh saya pakai taksinya dulu? Minta tolong ya, Dek. Ibu saya sedang kritis di rumah sakit,” pintanya dengan memohon.

Gadis itu tertegun sejenak. Lalu mengangguk. “Silakan, Mas,” katanya sambil mundur beberapa langkah.

Ha? Semudah ini? Diaz tertegun. 

“Cepetan, Mas! Hujan! Kalau ibunya sedang kritis, lebih baik bergegas!”

Suaranya begitu empuk dan lembut. Membuat Diaz terpaku menatap sosok yang berdiri di dekatnya ini. Kondisinya yang basah kuyup tidak menutupi kecantikannya yang klasik. Dan perhatian Diaz terpaku pada kalung unik yang melingkar di lehernya, dengan liontin dari batu berbentuk unik. Mahasiswi di kampus ini, pasti.

“Mas ….”

Diaz tersentak dan mengangguk. “Makasih banget, Dek,” katanya sambil membuka pintu taksi. Diaz menoleh sekali lagi. “Suatu saat aku akan membalas kebaikan ini, entah bagaimana caranya” katanya dengan bersungguh-sungguh.

Lalu Diaz meloncat masuk ke dalam taksi. “Rumah Sakit Lavallete, Pak!” serunya kepada sang pengemudi.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Bab 11 - Bab 15 Segitiga Patah Kaki
51
8
  Bagi yang sudah pernah membaca di Storial, tidak usah membaca lagi, ya. Bagi yang kemarin udah beli koin utk storial tapi terkendala membukanya, silakan hubungi aku. Thank you
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan