
Selamat membaca.
Bab 4 (REVISI)
Bab 4✅
ADA yang berubah di rumah ini. Yaitu Ibu yang menjadi pendiam dan muram. Namun jangan tanya tentang Ayah dan Kakek. Mereka bersikap seperti biasa. Menjaga jarak dan hanya berbicara “tentang urusan laki-laki” serta menganggap para wanita adalah kasta kedua yang tidak berhak tahu urusan mereka.
Bila Syifa mengatasi perubahan ini dengan bersikap lebih manis kepada Nenek dan Ibu, sebaliknyaNafisa memilih menghindar serta lebih banyak menghabiskan waktu di luar. Baginya, mengikuti drama pasangan Pak Andra dan Bu Medina jauh lebih seru daripada menghadapi para orangtua yang susah dia pahami apa maunya.
Untuk gadis seusianya, apa salahnya berencana menunda pernikahan sampai lima tahun ke depan? Cara Ibu menganalogikan jodoh seperti ajal sangatlah mengerikan dan belum masuk dalam pemahamannya. Memang sih, kalau ajal menjemput, manusia mana yang sanggup melawan? Tapi kalau jodoh, apa benar harus begitu? Ajal kan hubungannya manusia dengan Allah, melalui perantara malaikat. Kalau jodoh, kan melibatkan dua orang. Kalau salah satu enggak mau, apa benar tetap menjadi kewajiban?
“Kayaknya dulu Ibu diatur dengan cara begitu,” kata Nafisa saat berada di kantin bersama Rosi dan Mimi. “Jadi beliau mendoktrin kami dengan pemahaman yang sama. Jadi kalau udah ada yang ngelamar, wajib diterima karena itu adalah jodoh. Kalau nolak, selain dosa, juga durhaka ke orangtua. Horor kan?”
“Kalau menurut aku, malah sebenernya jodohmu udah ada, Sa,” kata Rosi sambil cekikikan. “Udah disiapin maksudnya.”
“Iya, bener juga sih,” Mimi mendukung Rosi. “Ortu kamu kan, antik.”
“Idih!” seru Nafisa tak terima. “Kalian ini, ya, bikin aku parno aja.”
“Emang nggak ada sinyal atau apa gitu, Sa? Atau penampakan cowok yang tiba-tiba seliweran di rumahmu? Atau—”
“Ada tuh, Kak Haikal-nya Syifa.” Nafisa tiba-tiba teringat Om – ralat: Kak – Haikal.
“Ha? Gimana, gimana? Kok bisa kamu nggak cerita soal ini?” tuntut Rosi tak terima.
“Hayo, bilang!” seru Mimi tiba-tiba penuh semangat.
“Halah! Nggak ada yang istimewa, kok. Dia anaknya teman ayahku. Nggak ada omongan apa pun. Kalaupun ada agenda macem-macem, Syifa tuh yang punya jatah!”
“Gimana ceritanya kalian kakak adik bagi jatah?”
“Syifa yang suka sama orangnya. Syifa yang ngebet pengin dijodohin. Kalau aku, kan, kalian tahu sendiri mauku gimana?”
“Emang cowoknya gimana? Cakep, enggak?”
“Tinggi. Jangkung banget sampai sundul pintu depan rumahku. Menurut pendapat Syifa, gantengnyakayak aktor Korea.”
“Yaelah, Syifa jadi kambing hitam,” cibir Mimi. “Menurutmu?”
“Ya emang ganteng. Tapi aku nggak bisa mengasosiasikannya sama siapa pun. Kan, kalian tahu aku bukan tipe yang suka halu sama aktor atau apa gitu. Dan apa pernah kualitas fisik bikin aku tertarik?”
“Lebih tepatnya, Nafisa nggak pernah halu sama laki-laki,” kata Rosi sambil tertawa. “Makanya bikin penasaran, kan, gimana dia ntar kalau falling hard for someone!”
Rosi dan Mimi tergelak-gelak.
“Pesona Pak Andra aja nggak nyampe ke dia,” kata Mimi.
“Hei, kalian! Nggak sopan, tahu? Pak Andra udah taken. Dan jangan sekali-sekali ngomongin bullshitmacam ‘sebelum janur kuning melengkung bla-bla-bla-bla’ itu di depanku. Aku nih yang hampir tiap hari jadi saksi betapa kerasnya beliau dan Bu Medina berusaha mempertahankan hubungan, meskipun jelas-jelas keduanya nggak bisa akur satu sama lain!”
Sebenarnya Pak Andra dosen yang oke, dan bekerja membantu project beliau sangat menyenangkan. Tetapi ada hal lain yang membuat Nafisa kurang nyaman berada di dekat pria itu. Yaitu terlibat secara tak langsung dalam drama romansa dengan Bu Medina.
Nafisa hampir bisa melihat semuanya. Bagaimana interaksi mereka berdua yang ketika sudah berbeda pendapat menjadi sebrutal itu ributnya. Dan terjadi berkali-kali. Mereka juga sudah tak peduli meskipun jadi tontonan orang banyak. Membuat Nafisa jadi nggak enak hati.
Hari Senin, setelah makan siang bersama teman-temannya, Nafisa memasuki ruangan Pak Andra dengan cemas. Berharap suasana hati pria itu cukup baik untuk menerimanya berkonsultasi. Karena tadi dia bertemu Bu Medina, dan wanita itu terlihat galau serta mengabaikan sapaannya. Nafisa sudah hapal dengan pola pertengkaran mereka yang sering terjadi di awal pekan. sebagai efek kencan rutin di akhir pekan yang berantakan.
“Sa,kamu ketemu Medina nggak?” tanya Pak Andra begitu Nafisa duduk di hadapannya, siap laporan progres penelitian.
“Iya, Pak. Barusan ketemu di kantin.”
“Syukurlah kalau dia masih ingat makan.” Pak Andra tertawa kecut. “Semakin saya pikir, saya semakin yakin kalau kondisi hubungan kami makin memburuk. Dan pertengkaran-pertengkaran kecil itu sebenarnya hanya kamuflase dari masalah besar yang sudah sama-sama kami ketahui.”
Nafisa penasaran tentang apa itu “masalah besar”, tetapi takut bertanya. Bisa-bisa jurnal setebal bantal yang ada di atas meja berpindah tempat ke atas kepalanya. Jadi dia diam saja.
“Karena kali ini saya benar-benar nggak ngerti maunya Medina apa.”
Bukannya Pak Andra emang nggak pernah ngerti, ya? Pikiran itu muncul begitu saja di kepala Nafisa. Sebagai sesama cewek, Nafisa bisa lebih berempati dengan perasaan Bu Medina.
“Warna baju pula yang dipermasalahin. Kayak nggak ada urusan lain yang lebih urgen aja,” Pak Andra menghela napas panjang.
“Minggu lalu dia memang bilang kalau mau pakai baju warna merah untuk menghadiri pesta pernikahan teman. Tapi saya pikir itu hanya semacam pemberitahuan aja, kalau dia habis beli baju lagi. Mana saya paham kalau itu semacam kode agar saya menyesuaikan dengan warna busana dia dengan alasan couple goals?”
Ya Tuhan! Keluarkan aku dari keabsurdan pasangan ini! Nafisa berdoa sepenuh hati. “Ehm … Pak, apa Pak Andra tidak bertanya sebelumnya? Kenapa nggak diomongin saja secara terus terang?” Nafisa tidak tahubagaimana menanggapi pasangan yang lagi ribut begini.
“Udah, dong. Dan dia marah-marah. Dibilang saya kurang peka. Kan, jadi bingung saya.”
“Ehm … Pak, mungkin kodenya bukan urusan baju kali. Kodenya ke urusan lain.”
“Urusan lain apa lagi? Jelas-jelas dia bilang soal couple goals yang entahlah apa maksudnya.”
Seorang dosen ahli komunikasi publik pun ternyata bego dalam urusan berkomunikasi dengan pasangan. “Mungkin saja ini semacam kode yang berhubungan dengan pesta pernikahan—”
“Medina nggak nyaman di pesta itu, maksudmu?” potong Pak Andra dengan gaya sok tahu yang menyebalkan.
Ingin sekali Nafisa berteriak: tanyain apa Bu Medina minta pernikahannya segera dipestain, Bapak! Tapi sayang, nyalinya Nafisa tidak sekuat itu.
“Ehm … maaf, Pak. Saya tidak paham. Saya belum pernah pacaran,” kata Nafisa akhirnya.
Sorenya, ketika Pak Andra sedang mengajar dan Nafisa baru selesai berdiskusi dengan beberapa asdos lain di kantor jurusan, Bu Medina muncul.
“Sendiri, Sa?” tanya dosen cantik itu sambil menghampiri gadis yang sedang duduk untuk memeriksa tugas para mahasiswa itu.
“Yang lain baru bubar, Bu. Para asdos maksud saya.”
“Oh. Tadi bosmu nggak ngomong apa-apa?” tanya Bu Medina menyelidik.
Ini bagian paling berbahaya. Menghadapi interogasi semacam ini, kalau nggak hati-hati berbicara, Nafisa bisa tertuduh sebagai provokator. “Masalah kostum minggu lalu, Bu.”
“Itulah!” Bu Medina menyambar kesempatan untuk meluapkan emosinya. “Bosmu itu, benar-benar nggak peka!”
Dan kenapa sekarang jadi selalu dibilang “bosmu” dan bukan “pacarku” sih?
“Heran saya. Kenapa hal sederhana seperti menyesuaikan warna baju biar pantas aja dia nggak nyambung juga. Masa iya, nggak punya perhatian sedikit pun?” Bu Medina terlihat kesal sekali.
Aduh, udah deh. Nafisa kayaknya harus minta tambahan insentif sebagai ganti biaya ke dokter THT. Telinganya berisiko kena masalah kalau terlalu sering menjadi pendengar curahan hati pasangan ini.
“Ibu sudah bicara terus terang sama Pak Andra?” pertanyaan yang sama dia ucapkan lagi pada orang yang berbeda.
“Kayak gitu nggak usahlah diomongin! Kita tuh pacaran udah lama, udah sejak tahun terakhir SMA. Masa iya masih nggak peka juga? Apa sih, maksudnya dengan selalu bikin orang sakit hati? Nyesek, tahu?”
O ... ow ….
“Kalau emang udah bosen, dan mau putus, bilang dong secara gentleman. Ngadep kek sama orangtua, ngomong baik-baik buat mutusin semua hubungan. Kalau hubungan ini nggak berjalan selama itu, rasanya udah pengin bubar aja. Tapi sayang sama waktu yang sudah terbuang bertahun-tahun.”
“Ehm … Bu ….”
“Tapi Andra tuh, gitu deh. Selalu saja gampangin urusan. Tenyata emang hubungan jangka panjang nggak menjamin awareness dia ter-develop dengan semestinya.”
Ya ampun. Bu Medina menyamakan pacarnya dengan sebuah brand! Tahu sih, beliau terbiasa dengan berurusan dengan campaign brand macam gini. Tapi ya nggak ke urusan pacar juga, kali!
Dan setelah Bu Medina meninggalkan ruangan dengan langkah mengentak, Pak Andra muncul dari ambang pintu sambil memberi isyarat menggerakkan tangan seperti sedang memotong lehernya dengan ekspresi konyol.
“Kenapa sih, Pak, nggak diluruskan aja masalahnya?” tanya Nafisa setelah duduk berhadapan untuk membahas pekerjaan dengan Pak Andra. “Bu Medina maunya apa, Pak Andra maunya apa. Kalau sama-sama tahu kan, lebih enak.”
“Itu sama aja dengan menabuh genderang perang, Sa. Nggak akan menyelesaikan masalah. Justru keadaan akan semakin memburuk. Percayalah! Saat ini saya adalah orang yang paling dibenci Medina.”
Udah dari lama kali! Dan Nafisa heran, ini mereka berdua berantem melulu kapan mesra-mesranya, ya?
“Tapi kan, yang seperti ini bikin tertekan, Pak,” kata Nafisa yang tak bisa mengabaikan betapa stresnya Bu Medina.
“Mau bagaimana lagi? Pilihan yang ada cuma dua. Bertahan atau meninggalkan. Kalau pilih bertahan, risikonya harus siap dengan gesekan kayak gini. Kalau bubar, aduh! Rasanya sayang sama hubungan yang udah lama banget ini.”
Nafisa membahas kisruhnya hubungan Bu Medina dan Pak Andra bersama kedua temannya. “Kayaknya mereka berdua sama-sama terjebak dalam hubungan yang udah kelamaan. Padahal apa susahnya sih, mutusin pisah kalau udah sama-sama nggak cocok?”
“Ya emang nggak semudah itu juga,” kata Rosi. Di antara mereka bertiga memang baru dia seorang yang punya pengalaman dengan pacaran.
“Zaman sekarang itu orang berpasangan semakin dipersulit oleh rumitnya pikiran dan komentar orang. Kalau pacaran cuma bentar trus nikah, dikatain udah hamil duluanlah, belum matenglah, cerobohlah, terburu-buru, dan entah apa lagi. Tapi kalau pacaran yang lama, dibilang kalau lagi dibegoin sama pasangan. Sebab terlalu lama nggak diresmiin, katanya hanya indikasi kalau emang nggak niat buat diseriusin. Salah satu masih cari-cari pandangan lain dan siap cabut kalau nemu yang lebih baik.”
“Ini kamu lagi curcol, Ros?” tanya Nafisa.
“Gitu, deh!” Rosi mencebik. “Nah, sekarang, aku nanya sama kamu, Sa, yang nggak pacaran dan bercita-cita menunda menikah. Menurut kamu, pacaran itu gimana?”
“Ya, nggak gimana-gimana,” kata Nafisa santai sambil menyeruput minumannya. “Bebas aja, semua balikin ke orang masing-masing. Mau nikah muda, silakan. Mau nikah ntar juga terserah. Aku aja nggak resek meskipun Syifa nggak mau kuliah dan pengin dijodohin. Kupikir kalau itu cocok buat dia, ya nggak ada masalah, kan?”
“Kalau urusan Pak Andra?” tanya Mimi kepo.
“Masalahnya bikin capek. Kayak stuck gitu. Kalau dipikir-pikir, ngapain ya, siksa[N1] diri terjebak dalam hubungan yang udah nggak jelas bentuknya. Yang satu membesar-besarkan masalah. Yang satu nggak peduli. Ini sama aja kayak udah sama-sama nggak niat, tapi nggak tau gimana caranya mengakhiri. Sama-sama nggak bahagia. Jadi pendapatku, mending putus atau pisah dulu deh. Kelihatan kok kalau mereka sulit menemukan titik temu.”
Teka-teki hubungan dosen yang menjadi buah bibir fakultas itu terpecahkan dua bulan kemudian.
Suatu petang, setelah salat di mesjid kampus, Nafisa memutuskan mampir ke perpustakaan yang buka sampai malam. Dia ingin mengedit beberapa bagian dari skripsinya yang sudah sampai ke bab lima. Sejauh ini semua berjalan lancar. Tetapi Nafisa tetap berharap semua bisa diselesaikan lebih cepat. Apalagi projectbersama Pak Andra resmi berakhir bulan depan.
Sekarang Pak Andra disibukkan dengan aktivitas lain. Salah satunya adalah menjadi perwakilan kampus untuk melakukan sejumlah kunjungan ke beberapa universitas yang ada di Malaysia. Bahkan sudah lebih dua minggu ibeliau tidak muncul.
Terlalu asyik di depan laptop, Nafisa tidak menyadari kalau azan Isya sudah berkumandang. Dia bahkan tidak menaruh perhatian pada keadaan di sekelilingnya. Sampai terdengar seseorang memanggil namanya.
“Sa, kamu masih di sini?”
Pak Andra.
“Bapak? Kapan pulang?” tanyanya terkejut. Baru saja dipikirkan, tahu-tahu muncul saja dia.
“Siang tadi. Langsung menghadap ke Pak Warek I –wakil rektor I. Ini, baru kelar pertemuannya,” kata pria itu sambil mengempaskan tubuh di kursi yang berada di seberang meja Nafisa.
Nafisa menatapnya dengan kagum. Untuk ukuran orang yang baru pulang dari perjalanan jauh, dan lanjut rapat, Pak Andra sungguh memiliki energi luar biasa karena mampir ke perpustakaan di waktu selarut ini.
“Kamu sendiri, kenapa belum pulang? Ini udah malam, lho.”
“Dikit lagi, Pak. Nanggung.”
“Nanggung apanya? Kerjaannya, apa pulangnya?” tanya Pak Andra bercanda. “Apa kabar, Sa? Gimana skripsimu? Apa revisi yang tempo hari saya kirim lewat email itu—”
“Ini sedang saya selesaikan, Pak,” kata Nafisa cepat.
Nafisa akan merasa tidak enak kalau sampai dosen ini berpendapat dirinya tidak serius. Karena dalam perjalanan dinas pun Pak Andra masih menyempatkan diri memberinya bimbingan secara online. Effort sebesar itu hanya bisa dia balas dengan keseriusan yang sama.
“Semangatmu untuk cepat lulus memang luar biasa, Sa.”
Nafisa tersenyum. “Iya, Pak. Biar satu urusan cepat kelar.”
“Dan lanjut ke urusan lain, ya? Cari pacar?” goda Pak Andra. “Udah ada calon, Sa?”
“Ah, belum kepikir itu, Pak,” sahut Nafisa jengah. “Pak Andra sendiri, baik-baik saja, kan? Bu Medina juga?” Nafisa dengan lihai membelokkan obrolan agar memantul kembali kepada dosen itu dan masalah pribadinya dengan sang pacar legendaris.
“Sepertinya Medina baik-baik saja, Sa. Jauh lebih baik sekarang,” kata Pak Andra kalem.
“Eh? Maaf, kalau salah bertanya,” kata Nafisa yang terkejut oleh reaksi Pak Andra yang tidak biasa ini.
“Hei, nggak apa-apa, kok. Kami sudah putus sekarang. Terjadi tepat sebelum saya berangkat ke Malaysia.”
“Oh, ini putus nyambung yang keberapa ya, Pak?” tanya Nafisa.
Pak Andra tertawa lebar. “Yang terakhir, Sa. Dan nggak bakal nyambung lagi. Karena Medina akhirnya memutuskan untuk menjalani hubungan serius dengan pria lain. Kabarnya mereka akan bertunangan minggu depan.”
Kali ini Nafisa benar-benar bungkam.
“Ini beneran udah malam lho, Sa. Kamu udah makan?”
Nafisa menggeleng. “Makan di rumah aja habis—”
“Kalau gitu, yuk, temenin saya makan malam.”
Ini pertama kali terjadi bagi mereka berdua. Makanya Nafisa terkejut. “Ehm –”
“Sekarang udah nyantai aja, Sa. Nggak ada lagi yang bakal marah-marah nggak jelas untuk satu kegiatan senormal makan malam bersama di saat perut benar-benar kelaparan,” kata Pak Andra yang seperti memahami kebimbangan Nafisa.
Even with this reason.
“Gimana kalau sambil saya bantu ngecek skripsi yang baru kamu revisi? Di resto seberang jalan, depan kampus, dan di sana bakal ketemu banyak orang yang akan menjamin pertemuan kita sepenuhnya bersifat terbuka tanpa maksud apa-apa?”
Dan bagaimana mungkin Nafisa menolak permintaan seperti ini? Akhirnya Nafisa mengangguk. “Saya ambil motor dulu, ya.”
“Saya nebeng motor kamu, boleh? Saya nggak bawa mobil. Nggak keberatan kan, boncengin saya? Atau gimana kalau saya yang bonceng kamu?”
Entah bagaimana caranya, tetapi Nafisa tahu kalau sebenarnya ada hal lain yang akan terjadi di antara mereka berdua kali ini. Makan malam ini mungkin hanya akan jadi kamuflase. Dan dia menyadari rentetan risiko yang akan dia hadapi saat menerima ajakan Pak Andra.
Entah dari mana juga datangnya satu pemikiran untuk membandingkan Pak Andra dengan Haikal. Jelas Haikal adalah mantu idaman ayahnya. Dan Syifa akan menerima perjodohan itu dengan senang hati. Lalu bagaimana dengan Nafisa? Andai lima tahun mendatang dan jodohnya adalah laki-laki seperti dosennya ini, akan seperti apa reaksi Ayah?
Mereka bahkan berasal dari circle yang berbeda.
[N1]nyiksa
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
