
Selamat membaca.
Bab 3 - edisi revisi yang sudah dirapikan
Bab 3✅
SUATU senja, Nafisa pulang dari kampus dengan mengendarai motor kesayangannya, ketika melihat Range Rover warna gelap terparkir di depan rumahnya.
Kayak pernah kenal.
Tanpa curiga gadis itu ngeloyor santai melewati gerbang menuju ke depan garasi. Turun dari motor, dia terkejut melihat seorang pria sedang duduk sendiri di teras rumahnya. Dahinya berkerut. Ha? Itu kan, om-om yang dulu itu? Haikal? Nafisa mengawasi sekeliling rumah untuk memastikan kalau sang tamu benar-benar telantar sendirian, sebelum berjalan mendekat.
“Assalamualaikum, Om,” sapa Nafisa sopan. Karena tak mungkin dia pura-pura tidak tahu pada orang asing di depan rumahnya.
“Waalaikum salam,” jawab Haikal sambil memandangi Nafisa dengan saksama. “Oh, kamu lagi.”
Kamu lagi? Pertanyaan apa itu, woy? Dia yang tamu, dia yang arogan. Luar biasa.
Nafisa menatap sengit pada sosok pria yang memiliki anatomi tubuh serba panjang ini. Ya kakinya, juga badannya. Bahkan hidungnya pun bukan hanya sekadar mancung, tapi beneran panjang dan terpasang di wajahnya yang juga panjang.
Pria itu membalas tatapan Nafisa dengan cara yang membuat gadis itu merasa dihakimi. Persis cara Nenek memandangnya tadi pagi, sebelum mengatakan kalau penampilannya hari ini terlalu seksi.
Memang dia nekat memakai celana jeans ketat yang mengekspose bentuk kakinya. Tapi dia terpaksa karena hanya ini satu-satunya celana yang match dengan atasannya, sweter rajut yang warnanya kontras manis dengan kerudung voal motif abstrak yang tertata cantik menutupi kepalanya.
“Lagi nunggu Ayah, Om?” tanya Nafisa berbasa-basi, mengabaikan kecanggungan yang ada.
Haikal menggeleng. “Nggak juga.”
Dih! Nih orang beneran nggak jelas deh. Kalau dia duduk di rumah tetangga sih Nafisa bodo amat. Ini jelas-jelas duduk di teras rumahnya. Nggak mungkin kan dia cuek aja?
“Oh, ya udah kalau gitu,” kata Nafisa kesal sambil berjalan memasuki rumah. Merasa nggak guna dia berbasa-basi pada tamu tak tahu diri ini.
“Nafisa, itu ada anaknya Pak Bahtiar, kok dibiarin aja?” tegur ibunya yang muncul tiba-tiba saat Nafisa masuk dari pintu samping.
“Lah, tamu nggak jelas gitu. Ngapain?“
“Tapi dia tamu. Lebih baik kamu suguhi minuman dulu sambil—“
“Emang Mbak Mia ke mana, Bu? Kalau beneran tamu, kan udah dibikinin minum dari tadi,” bantah Nafisa.
Dia memang paling malas kalau harus menyuguhkan minuman kepada tamu ayah atau kakeknya. Bukannya apa, para tamu itu berdatangan seolah tak ada habisnya.
“Mbak Mia sibuk di belakang. Ayo, sana cepat. Bikinin minuman! Teh hangat pasti cocok buat sore-sore begini.”
Begitu ibunya menghilang ke dalam rumah, Nafisa segera menuju ke lemari pendingin besar yang ada di ruang tengah. Tanpa mau repot-repot, gadis itu meraih sebotol teh kemasan yang dingin berembun. Teh hangat sore-sore gini? Emangnya ini restoran atau kafe? Hih!
Laki-laki itu masih menunduk menatap layar ponselnya. Tetap bergeming meskipun Nafisa sudah berada di dekatnya. Jadi Nafisa mengentakkan kaki sedikit lebih keras untuk memberitakan kedatangannya.
“Silakan diminum, Om,” katanya sesopan yang dia bisa.
Barulah Haikal mengangkat kepala dan mengangguk singkat. “Soft drink?” tanyanya dengan dahi berkerut. Mengomentari minuman yang tersaji di atas meja.
“Bukan. Ini cuma teh kemasan, bukan soda.“
“Teh kemasan hm ….”
Nafisa mengangguk. “Iya, seger Om. Baru dari kulkas.”
Haikal mengangguk tanpa senyum. Apa lagi mengucapkan terima kasih. “Tapi saya nggak minum barang ginian. Nggak bagus untuk kesehatan.”
“Oh, diabet ya, Om?” tanya Nafisa terus terang.
“Bukan,” bantah Haikal cepat.
“Atau gagal ginjal?” tebak Nafisa lagi. Nggak kapok juga meskipun pria di depannya menanggapi dengan sengak.
Nafisa teringat ketika Pak Andra menegur kebiasaan Mas Reyhan yang hobi mengkonsumsi minuman kekinian berkadar gula tinggi seperti boba atau kopi dengan krim melimpah ruah. Karena salah satu kakaknya memiliki riwayat gagal ginjal dan harus diet gula.
“Kamu aneh-aneh aja,” komentar Haikal. “Emang salah kalau jaga kesehatan dengan menghindari konsumsi kayak gini?” alisnya yang tebal bertaut saat menatap Nafisa tajam.
Aih, kena juga si Om, pikir Nafisa geli. “Emang Om udah berapa lama nggak minum teh kemasan?” tanyanya Nafisa lagi.
“Udah lama. Jadi nggak biasa. Hampir nggak pernah juga.”
Kali ini Nafisa menanggapi dengan tawa lebar. “Kalau begitu, Om aman minum teh kemasan ini sekarang. Nyobain sekali-sekali nggak bikin mati kok, Om. Ayolah!”
Haikal menatap Nafisa dengan tajam. Gadis itu bereaksi dengan menunjuk ke botol minuman dengan anggukan provokasi. “Yuk, Om. Diminum.”
Akhirnya Haikal menurut. Meraih botol, membuka dan meminumnya dalam satu gerakan luwes.
“Om lemes banget pegang botolnya. Kayak mau syuting iklan.” Nafisa dengan pintar membungkus pujiannya atas ketampanan Haikal dalam bentuk canda. Nggak rela banget dia memuji secara langsung untuk orang yang dalam dua kali pertemuan bersikap menyebalkan.
Haikal mendengkus. Dipuji tampan mungkin sudah jadi menu hariannya.
“Nah, udah saya minum. Apa lagi?”
Nafisa tertawa puas. “Cukup, Om. Makasih. Dengan begini saya bebas dari kewajiban bikinin teh hangat buat Om seperti permintaan Ibu.”
Haikal tertegun. Lalu matap Nafisa tajam sambil melipat lengan di dadanya. “Jadi tawaran tadi hanya karena kamu ogah bikin minuman?”
Nafisa mengangguk sambil nyengir.
“Hm … kewajiban, ya?”
Nafisa mengangguk lagi. Tertawa pelan untuk menyembunyikan sekelumit perasaan bersalah karena melanggar permintaan Ibu. “Menjamu tamu kan hukumnya wajib, Om.”
Haikal menatap Nafisa, tepat di mata. “Kamu pantang menyerah ya, orangnya?”
Nafisa mengangguk. “Temen-temen saya sih, bilang begitu.”
“Teman kuliah? Semester berapa sekarang?”
Melihat tanda-tanda pria itu mulai bersikap wajar, akhirnya Nafisa duduk di kursi yang ada di sebelah kiri. Teras ini berfungsi sebagai ruang tunggu tidak resmi. Dilengkapi dua kursi yang dipisahkan satu meja pendek. Posisinya yang menghadap ke jalan membuat nyaman karena tidak harus berhadapan secara langsung dengan orang asing.
“Bulan Februari nanti masuk semester delapan,” jawab Nafisa.
“Wah, sudah semester akhir, ya.”
“Iya, hampir kelar. Tinggal skripsi aja. Semua beban studi udah saya tuntasin.”
“Bagus, dong. Kamu masih muda banget padahal.”
Nafisa menggeleng. “Saya udah 21 tahun Desember kemarin, Om. Sudah waktunya lulus. Emang Om usia berapa, kok bisa ngatain saya masih muda?”
“Tiga puluh.”
“Menuju tiga puluh, apa lewat tiga puluh?”
Tawa Haikal mengejutkan Nafisa. Karena dia tidak menyangka pria yang sejak pertemuan pertama ini tidak menunjukkan keramahan sama sekali, ternyata memiliki tawa empuk dengan suara yang dalam.
“Pertengahan Oktober kemarin udah tiga puluh. So, what do you say? Over thirty?”
Nafisa mengangguk. “Saya mengerti.”
“Jadi kamu pasti ngerti juga, kalau saya nggak cocok dipanggil ‘Om’ dan lebih pas dipanggil ‘Kak’.”
Nafisa tertegun. Lalu terbahak-bahak. “Yaelah, ini maksudnya,” katanya geli. “Anti banget dipanggil ‘Om’!”
“Sama dengan trik kamu menyuruh saya minum teh kemasan ini.”
Nafisa semakin tergelak. “Oke, kita impas,” katanya akhirnya, setelah lebih tenang.
Banyak yang bilang kalau Nafisa memiliki keahlian menjalin obrolan dengan siapa pun, dan bisa mencairkan suasana kaku tanpa kesulitan. Nafisa memercayai kemampuan khususnya dengan melihat bagaimana Haikal berhasil dia buat kesal, dan berlanjut dengan tertawa begini. Lumayanlah untuk standar pertemuan antar orang asing.
Sayang waktu untuk menemani Haikal terbatas. Nafisa melirik jam tangannya dan mencari cara meninggalkan pria ini tanpa kelihatan tidak sopan. “Om, emang lagi ngapain sih, kok sampai telantar sendirian di sini? Beneran nggak lagi nunggu Ayah?”
Lagi-lagi Haikal memamerkan tawa. “Tadi antar ayah saya ketemu ayah kamu. Sekarang mereka pergi melihat aset. Sama kakek kamu juga. Jadi saya nunggu di sini,” katanya menjelaskan. “Kenapa? Mau pergi? Enggak apa-apa kok, tinggalin aja saya di sini.”
Sialan! Dikata Nafisa seneng apa nemenin orang ini? “Ehm … iya sih. Ada janji ketemuan sama temen di kampus.”
“Cowok? Pacarmu?”
“Idih! Enggak, ya!” bantah Nafisa seketika. “Bisa digoreng sama Ayah kalau sampai saya nekat punya cowok.”
Kali ini Haikal tertawa lepas. “Kok bisa? Seusia kamu harusnya puas-puasin main dong, termasuk ganti-ganti pacar gitu. Mumpung masih muda dan bebas.”
“Ya nggaklah, Om. Di sini aturannya ketat. Mau kuliah apa pacaran? Kalau pacaran, nggak boleh kuliah. Dan saya pilih nggak pacaran.”
“Serius? Kenapa?”
“Karena saya mau kuliah, Om. Mau lulus jadi sarjana. Masih nanya!”
Nafisa meninggalkan Haikal diiringi tawa merdu pria itu. Meskipun kesannya remeh, obrolannya bersama Haikal telah membuatnya semakin sadar kalau waktunya di kampus tinggal sebentar lagi. Nafisa tidak boleh menyia-nyiakan begitu saja.
Bukannya tanpa alasan kalau Nafisa menjadi maniak organisasi, aktif di berbagai perkumpulan, dan suka berbaur dengan keramaian. Karena jauh di dalam hatinya, Nafisa merasa kesempatannya untuk menikmati kebebasan itidak lama. Perpaduan kultur keluarga serta sifat orangtuanya membuat segala kemungkinan bisa terjadi. Termasuk kebebasannya yang bisa sewaktu-waktu dirampas darinya.
Saat hal itu terjadi, Nafisa tidak ingin menyesali kesempatan yang terbuang percuma.
Semester delapan berlalu dengan kecepatan yang tak pernah Nafisa bayangkan sebelumnya. Meskipun secara resmi hanya mengambil satu mata kuliah, skripsi, bukan berarti waktu luangnya banyak. Kesibukan Nafisa di kampus justru semakin meningkat.Kepada orangtuanya, Nafisa hanya menjelaskan secara sederhana kalau dia butuh riset. Tanpa menyebut kegiatannya sebagai asisten dosen maupun bergabung dengan project Pak Andra.
Bukan sekali ini saja Nafisa mengambil job sebagai asdos. Dan semua dia lakukan tanpa meminta izin khusus pada orangtuanya. Menurutnya, selama linier dengan statusnya sebagai mahasiswa, menjadi asdos atau menjabat posisi di BEM adalah urusan satu paket. Lagian setelah sekian lama menjalani, Nafisa bisa menyimpulkan sendiri kalau orangtuanya nggak butuh dipahamkan pada semua detail kegiatannya. Hal ini efektif sekali dalam meminimalisir risiko yang mungkin terjadi. Kalau dilarang dengan alasan dia nggak boleh mencari tambahan penghasilan, berabe kan?
Di kantor jurusan Ilmu Komunikasi, alih-alih satu ruangan dengan Pak Andra, Nafisa justru menempati ruangan luas yang dipakai bersama beberapa staf yang lain.
“Maaf ya, Sa. Kamu harus saya tempatin di luar gini. Meskipun sebenernya bisa aja sih, kamu gabung di dalam. Masalahnya saya juga harus menjaga perasaan Medina—”
“Saya paham banget kok, Pak,” potong Nafisa cepat. Untung aku nggak baperan, jadi yang kayak gini gampang diabaikan. “Saya juga nggak mau jadi sasaran kecemburuan wanita lain. Kan, saya juga nggak ngapa-ngapain.”
Pak Andra tertawa. “Kamu pasti tahu, urusannya sama Medina kan, dia cemburu pada semua perempuan,” katanya geli.
Semula, memang itu dugaan Nafisa. Namun setelah satu bulan terlibat dengan pasangan ini dan mulai lebih dekat dengan mereka, sedikit-sedikit dia mulai paham dengan apa yang terjadi. Karena baik Pak Andra maupun Bu Medina secara tak sengaja curcol di depannya.
Pak Andra mengeluh karena merasa selalu dituntut melakukan banyak hal tanpa paham apa tujuannya. Sedangkan Bu Medina mengeluh karena merasa Pak Andra tidak memiliki perhatian yang cukup kepadanya. Haduh!
Hei, apakah kalian sudah resmi menjadi warga negara yang mengalami kebosanan karena hubungan yang terlalu lama?
“Udah keputusan paling bener tuh, Fa, nggak usah pacaran,” kata Nafisa suatu ketika pada Syifa saat bersantai di depan televisi. “Ribet, tahu nggak? Bikin pusing.”
Syifa yang duduk di karpet dan menguasai remote televisi mencibir. “Itu karena Kak Nafisa nggak bisa pacaran aja, makanya ngomong gitu. Atau belum ketemu laki-laki yang tepat, yang bikin Kak Nafisa menyerah dan memilih tidak kuliah demi pria itu.”
“Halah! Sok tahu kamu, bocil!” ejek Nafisa.
“Coba deh, kalau cowoknya kayak Kak Haikal. Dijamin takluk. Ya nggak, sih?”
Nafisa terkejut. “Kak Haikal? Yang mana?”
“Ih, Kakak pura-pura nggak kenal. Yang tempo hari ngobrol di teras itu, Kakak sama Kak Haikal, kan? Yang ganteng dan tinggi kayak aktor Korea itu.”
“Ha? Kok kamu panggil ‘Kak’? Itu Om Haikal!”kata Nafisa.
“Idih, Kakak Nafisa tega. Kak Haikal masih muda banget, tahu, Kak?” Syifa tak terima. “Ganteng banget lagi.”
Nafisa mendelik pada Syifa yang memandangnya dengan tersipu. “Fa, jangan bilang kamu suka—”
Syifa mengangguk malu-malu. Membuat Nafisa tidak tega untuk menertawakannya.
“Kali aja Ayah sama Kakek mau besanan sama keluarga Bahtiar Affandi. Kalau dijodohin sama Kak Haikal, aku mau banget, Kak.”
Nafisa akhirnya tidak tahan untuk tidak menertawakan adiknya yang semakin tersipu. Begitu kerasnya dia tertawa, sampai-sampai ibunya merasa perlu untuk mendatangi keduanya.
“Syifa, Bu, lucu!” kata Nafisa beralasan sambil terbahak-bahak.
Syifa adalah gadis yang paling cocok untuk merepresentasikan keluarga Jauhari. Dia persis seperti Ibu, yang terlihat cukup puas hanya dengan berada di rumah, dan nyaman dengan kondisi itu. Seolah tidak ingin menikmati masa muda sebagaimana Nafisa. Padahal usia keduanya hanya terpaut dua tahun.
Mereka bertolak belakang dalam banyak hal. Misalnya, alih-alih mengejar ambisi akademik seperti Nafisa, Syifa malah tidak tertarik dengan urusan sekolah. Karena begitu lulus SMA, si bungsu memilih tidak kuliah dengan alasan gap year. Sekarang 2 tahun sudah berlalu dan Syifa tidak ada tanda-tanda berminat melanjutkan pendidikan formalnya. Sebaliknya, dia terlihat baik-baik saja.
Predikat anak rumahan juga cocok buat Syifa. Dia terlihat nyaman di sekitar Ibu dan Nenek. Jugapaling rajin mengikuti aktivitas keluarga besar mereka. Berbeda dengan Nafisa yang cuek dan sering menghindari acara kumpul-kumpul, Syifa rajin ngider buat bantu para saudara. Kalau ada sepupu yang memerlukan tenaga sementara untuk menjaga anak-anak, dijamin adik Nafisa ini maju duluan menawarkan bantuan.
Selama ini Nafisa merasa ada hal yang jauh lebih besar sedang menunggunya di luar sana. Kehidupan baru yang sama sekali berbeda dengan apa yang dijalaninya saat ini. Dan menjadi istri seorang pria tidak pernah masuk dalam agendanya. Namun Syifa berbeda. Dengan pernyataan si bungsu barusan, tidak sulit bagi Nafisa untuk menyimpulkan kalau adiknya tidak akan keberatan kalau sewaktu-waktu Ayah menjodohkannya dengan seorang pria.
“Ini artinya kamu mau dijodohin, Fa?” tanya Nafisa menegaskan kembali karena penasaran dengan pendapat adiknya yang menurutnya one in a million ini. Hari gini, gitu. Masih ada domestic girl yang super antik dan unik begini.
“Iya, lah, Kak. Jadi nggak ribet dan nggak usah repot nyari. Mana aku nggak sering ke mana-mana, jarang kenal orang juga,” kata Syifa woles.
“Eh?” Nafisa membelalak antara heran dan ngeri. “Serius? Ini buat pasanganmu, lho! Nggak bisa sembarangan dengan orang yang nggak dikenal. Kalau nggak cocok, gimana?”
Nafisa tak habis pikir. Untuk urusan beli sepatu atau sandal saja, dia harus ke tokonya, mencoba dulu untuk mengetahui nyaman apa tidak di kakinya. Nafisa jarang sekali beli alas kaki secara online, kecuali dia sudah familier dengan mereknya, jadi tahu ciri khas cutting produknya. Ini soal pasangan, mau aja pasrah gitu, Syifa.
“Ya, tinggal menyesuaikan diri aja, sih. Lagian yakin deh, Ayah sama Kakek nggak bakal sembarangan cari menantu buat anak-anak gadisnya ini,” kata Syifa beralasan. “Bu, dulu dijodohin nggak masalah, kan?” tanyanya.
Ibu memandang pada Syifa. Lalu mengangguk. “Iya. Buktinya Ibu punya kalian sampai sebesar ini. Sebentar lagi juga bakal punya cucu,” ibunya tertawa.
Nafisa segera memalingkan wajah. Haduh, susah deh kalau standar hidup Ibu dipaksakan kepadanya!
“Berarti Syifa tuh, Bu, yang cocok untuk mewakili keluarga kalau ada agenda jodoh-jodohan,” kata Nafisa akhirnya. Tidak enak kalau harus menyampaikan pendapat yang berbeda.
Syifa tertawa lebar.
“Nafisa—”
“Tuh, Bu! Lihat sendiri, tuh. Anaknya udah ngarep gitu. Jadi, kalau ntar Om Haikal cari istri dan keluarga Bahtiar Affandi mau besanan sama keluarga Jauhari, Syifa udah siap jadi duta keluarga!”
“Hush! Nafisa!” tegur Ibu keras. Membuat Syifa dan Nafisa terdiam karena terkejut.“Jangan ngomong sembarangan kamu!. Aturannya itu anak sulung yang menikah duluan,” kata Ibu tegas dengan ekspresi serius.
“Tapi aku belum pengin nikah, Bu,” bantah Nafisa. “Bahkan mungkin nggak usah nikah sekalian aja.”
Kali ini baik Ibu maupun Syifa yang terkejut mendengar pernyataan si sulung.
“Iya, Bu. Kalaupun nikah, paling cepat 5 tahun lagi. Aku masih 21,” katanya menandaskan.
“Siapa yang ngajarin kamu ber pikiran sesat seperti itu?” tanya ibunya penuh kemarahan, dengan wajah merah padam.
Allahuakbar! Ini kenapa sih? Apa yang salah dari pernyataannya yang membuat ibunya murka?
“Menikah adalah kewajiban setiap muslim. Karena jodoh itu derajatnya seperti rezeki dan mati. Sudah diatur oleh Allah. Datangnya jodoh itu seperti datangnya waktu salat, harus disegerakan untuk dijalankan. Karena begitu jodoh datang, hukumnya wajib dilaksanakan. Seperti juga ketika ajal datang. Dan kamu akan dosa besar bila tidak meyakini hal ini,” lanjut Ibu berapi-api.
Suasana tegang seketika. Meskipun banyak hal yang ingin Nafisa bantah, karena tahu ibunya orang seperti apa, gadis itu memilih bungkam.
“Dan jangan sampai ayah atau kakekmu dengar ucapan sesatmu!” Dengan kata-kata itu Ibumeninggalkan Nafisa dan Syifa yang masih terdiam karena syok.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
