Pacar Halal Presiden Mahasiswa - Bab 4

1
0
Deskripsi

Kamu satu-satunya yang kumiliki

Dandero akhirnya menemukan sifat manusiawinya kembali. Dilepaskannya pangutannya dari bibir Ilfa, memberikan jarak di antara wajah mereka. Apalagi ketika melihat bibir Ilfa bengkak—satu-satunya luka fisik yang Dandero berikan pada gadis itu.

Jempol Dandero mengusap lembut bibir Ilfa. Mencoba menghilangkan perih yang gadis itu rasakan dengan sentuhan kecilnya.

Ilfa hampir berpikir Dandero akhirnya sadar apa yang selama ini lelaki itu lakukan menyakitinya—matanya membelalak ketika melihat senyum mengejek Dandero, dan lelaki itu tertawa. Seakan tangis Ilfa tidak memengaruhinya samasekali.

Why you crying?” tanya lelaki itu, pura-pura heran.

Di lubuk hatinya sesungguhnya Dandero merasa bersalah. Hanya saja dia bingung bagaimana harus bersikap di saat-saat seperti ini. Sebelumnya tidak pernah terjebak di situasi seseorang meneteskan air mata di depannya, dan dia tidak nyaman dengan air mata itu.

Biasanya, tangis seseorang tidak pernah membuatnya gelisah. Ilfa selalu membawa perubahan-perubahan yang terus ditolak keras oleh dirinya sendiri.

“Apa saya terlalu ganas? I don’t think so. Atau—”

Ilfa memalingkan muka ketika Dandero hendak menyeka air matanya yang terus menetes. Dandero terdiam, dadanya semakin sempit melihat Ilfa menatapnya kecewa.

Gadis itu pikir Dandero terlalu menyepelekannya. Dan itu jauh lebih menyakitinya, dari semua keegoisan lelaki itu selama ini.

Sunyi tercipta di antara mereka setelah itu. Ilfa enggan bicara samasekali. Hanya menatap kosong jendela bus, seakan Dandero tidak ada di depannya lagi. Pemberontakan pertama yang dia lakukan selama setahun ini.

Hembusan napas Dandero terdengar kasar. Diperdalamnya sandaran punggungnya di kursi bus. Menanti Ilfa bicara duluan, atau setidaknya memandang ke arahnya. 

Sayangnya, yang dia harapkan tidak kunjung terjadi.

It's time to lower your ego, Sir.
 

***

Ilfa tahu Dandero mengikutinya dari belakang sejak turun dari bus, namun dia bersikap sebaliknya.

Dandero juga tidak berkata apapun—walau sebenarnya dia ingin sekali mengatakan sesuatu! Terus dipandanginya punggung mungil Ilfa, hingga sampai di gerbang sekolah. Dimana murid sebaya mereka banyak berlalu-lalang.

Is she really ignoring me?” Dandero berdecak kesal. Rasanya mau marah, tapi memangnya dia bisa memarahi Ilfa?

Sadar dia tidak akan bisa memarahi Ilfa seperti dia memarahi orang-orang lain—Dandero makin merasa kesal. Selama ini dia memang tidak pernah bersungguh-sungguh memarahi Ilfa—walau Ilfa berpikir sebaliknya. Hanya orang terdekat Dandero saja yang bisa membedakan kapan Dandero benar-benar marah atau sebaliknya “pura-pura”.

“Ngapain, bro?” Fandi mengejar langkah Dandero dan berjalan bersisihan di sebelahnya.

Dandero mengabaikannya, masih mengikuti langkah Ilfa di koridor sekolah, padahal kelasnya sudah lewat.

“Mau gue panggilin?” tanya Fandi, mengerling ke punggung Ilfa. Mengira Ilfa mungkin tidak tahu Dandero di belakangnya.

She knows i'm following her.

“Kok?” Fandi bingung sendiri. Seingatnya, Ilfa tidak akan berani bersikap seperti itu.

Dandero menghembus napas kasar. Diam-diam merindukan masa dahulu. Ketika Ilfa selalu mengikutinya kemana-mana dengan inisiatifnya sendiri, karena membutuhkan perlindungan.

Sekarang, situasinya berbanding terbalik.

Ilfa tahu Dandero terus mengikutinya sampai ke kelas ketika melihat murid-murid dikelasnya senyap dalam hitungan detik. Dia lanjut ke bangku seolah tidak terjadi apa-apa. Meletakkan tas ke atas meja, duduk seraya mengeluarkan isinya.

“Sejak kapan Ilfa berani ngambek?” celetuk Fandi. Dia satu-satunya teman Dandero yang paling berani dari yang lain.

Dandero mengabaikan temannya. Disandarkannya lengan ke kusen pintu kelas Ilfa. Memandang Ilfa dari sana.

“Ilfa,” panggil Dandero. Akhirnya tidak tahan. Dia ingin Ilfa bicara padanya, atau setidaknya menoleh padanya.

“Ilfa Amanda. Kamu tidak tuli ‘kan?” tanyanya karena Ilfa tetap tidak menengok.

Ilfa sebenarnya takut mendiami lelaki itu, kakinya di bawah meja bergetar. Seharusnya dia melupakan apa yang sudah terjadi. Sayangnya, hati Ilfa menolak melakukannya. Gadis itu lanjut pura-pura menulis.

Lama-kelamaan, Dandero jadi geram sendiri. Satu kelas ikut cemas dibuatnya. Bagaimana jika emosi lelaki itu tiba-tiba lepas dan mengamuk di kelas ini? 

Tidak ada yang mau itu terjadi, termasuk Ilfa sendiri.

Apa dia akan memukulku? Atau dia akan meminta Raquel kembali menghajarku? Apa aku akan kembali ke kehidupanku dahulu? Pikiran Ilfa berkecamuk.

Ketakutan-ketakutannya itulah yang membuatnya selama ini tidak berani menolak Dandero, protes ataupun bersikap kurangajar.

Dandero mengacak-ngacak rambutnya sendiri. Setelah itu pergi ke kelasnya dengan raut wajah jengkel.

***

Biasanya lelaki itu sangat kurangajar dan hanya mementingkan diri sendiri. Kali ini rasa bersalah yang mendalam membuat Dandero menahan dirinya sendiri untuk menyentuh Ilfa, bahkan hanya sekedar untuk mendekatinya.

Dandero juga heran mengapa dia harus menyiksa dirinya seperti ini?

Itu hanya ciuman.

What’s wrong with the kiss? 

Bukannya itu sama saja seperti sebelum-sebelumnya yang sudah mereka lakukan?

The girl is his. He can touch her whenever he wants.

Namun sebanyak apapun pembelaan diri yang dia lakukan, dada Dandero tetap terasa tidak nyaman. Air mata Ilfa yang dia saksikan secara langsung terus terbayang sampai sekarang. Padahal beberapa hari sudah berlalu. Seharusnya dia sudah lupa, dan berhenti sok punya hati untuk merasa bersalah.

Seharusnya.

Pada akhirnya, Dandero tetap tahu diri untuk tidak mendekat. Dia hanya bisa memandangi dari kejauhan, bersikap layaknya penguntit dan Ilfa … tetap bersikap seolah-olah dia tidak ada. Dandero tidak menyangka, Ilfa ternyata sangat lihai membuatnya menderita.

“Mau sampai kapan dia bersikap seperti itu?” Dandero menyandar lelah di dinding kantin, melirik ke Ilfa yang duduk sendirian di salahsatu meja. Lelaki itu meringis melihat pentol yang dia titipkan untuk Ilfa melalui salahsatu adik kelas, tidak disentuh gadis itu samasekali.

Ilfa cukup bersyukur Dandero tidak menganggunya seminggu ini. Jujur, dia tidak menyangka. Apa karena lelaki itu merasa bersalah melihatnya menangis?

Entahlah. Mengingat lelaki itu arogan dan selfish, Ilfa rasa cukup mustahil. Tapi di sisi lain, tidak ada Dandero, Ilfa merasa sendirian. Walau kesendirian itu jauh lebih baik daripada apa yang Dandero lakukan padanya.

Dia tidak memiliki teman, dan siswa-siswi lain cukup enggan untuk berurusan dengannya. Bukan karena Ilfa gadis pendiam, atau membosankan. Ilfa tidak seperti ini dulu.

Awal masuk SMA, dia memiliki dua sahabat dan berteman dengan semua orang. Namun semua berubah setelah sempat berurusan dengan Raquel. Kedua sahabatnya menjauh, dan hampir tidak ada yang berani bicara dengannya lagi. Itu kebawa sampai sekarang meski Ilfa sudah tidak berurusan dengan Raquel lagi. Karena orang yang berurusan dengan Ilfa sekarang, jauh lebih seram dari pria pengecut itu.

Ilfa paham, mereka hanya tidak mau kena imbasnya. Tapi, rasanya tetap menyakitkan. Ternyata, tidak ada yang benar-benar dia miliki di dunia ini. Bahkan hanya sekedar seorang teman.

“Hai.” Sapaan seorang gadis membuat Ilfa berhenti mengunyah makan siangnya yang terasa hambar.

“Lo apa kabar, Ilfa?” Dia Putri, gadis yang pernah sangat Ilfa sayangi sebagai sahabat. Dulu, mereka bersahabat sejak SMP.

“Gue duduk di sini, ya.” Tanpa menanyakan izin Ilfa terlebih dahulu, gadis itu menarik kursi dan duduk.

Ilfa tidak berkomentar apapun, lanjut menyuap makanannya sebelum jam istirahat makan siang habis. Biasanya dia ramah-tamah kepada orang lain hanya untuk basa-basi, sayangnya dia tidak bisa melakukan hal yang sama untuk gadis di depannya.

“Udah lama ya kita nggak makan bareng. Gue kangen ama lo.” Putri terus sok akrab. Membuat Ilfa kehilangan selera makannya, padahal makanannya sudah tidak enak sedari awal karena suasana hatinya yang tidak baik.

“Yang duluan nggak mau lagi satu meja sama aku siapa?” Ilfa menatap serius Putri, membuat gadis itu hening.

“Yang numpahin kuah bakso ke wajahku biar aku nggak dekat-dekat kalian lagi, siapa?” Ilfa terus mengejar, membuat Putri terdiam dengan mata berkaca-kaca.

“Kalian ‘kan?” Ilfa menatap terluka Putri.

“I-Ilfa, g-gue ….”

“Kalian bilang, akan selalu ada buat aku. Tapi apa?” Ilfa tercekat. “Kalian ingkar janji. Hanya karena takut mengalami apa yang aku alami.”

“Ilfa—”

“Selama ini, aku berusaha memahami ketakutan kalian, dan akhirnya aku paham. Karena memang sesakit itu yang aku rasain selama ini. Nggak ada orang waras yang mau ngerasain itu semua, mau itu sahabat yang sangat menyayangiku sekalipun.”

“Maafin gue, Ilfa … maafin gue.” Putri meninggalkan bangkunya, makin mendekati Ilfa untuk memeluknya. Ilfa menghindar sebelum Putri sempat menyentuhnya.

“Aku udah lama maafin kalian, kok. Tapi, aku hanya menyayangkan.” Ilfa tersenyum miris. Tidak perduli mereka kini menjadi pusat perhatian. Termasuk oleh Dandero yang tidak kunjung pergi dari tempatnya berdiri.

“Padahal kita bisa backstreet loh di belakang Raquel kalau kalian memang setakut itu dekat-dekat aku dan ngalamin apa yang aku alamin. Tapi, kalian malah … ah sudahlah, ngapain dibahas.” Ilfa masih ingat jelas makian-makian Putri dan tamparan menyengat gadis itu.

“Ilfa ….” Ilfa melirik ke wajah Putri yang berderai air mata. Dia tidak luluh samasekali. Lalu pergi begitu saja, tidak perduli dengan panggilan-panggilan serak Putri.

***

“Beberapa hari ini Anda makin murung, Nona.” 

Ferdi mencoba mengajak bicara di dalam mobil. Dua minggu belakang, Ilfa terlihat lebih “berwarna” karena tidak “diganggu” Dandero—walau sebaliknya mereka harus lebih was-was karena Dandero bisa mengamuk kapan saja saking kesalnya tidak bisa dekat-dekat Ilfa, padahal lelaki itu bisa melakukannya jika dia mau.

Berbeda untuk empat hari belakang. Sesuatu yang menyakitkan seolah baru saja terjadi. Karena Ferdi dan Boy sudah ditugaskan mengawal gadis itu selama setahun ini, cepat bagi mereka untuk menyadarinya.

“Tuan Dero bahkan selalu menitipkan cokelat pada kami seolah menyadari Anda memang sedang sedih.”

Ngambeknya awet, batin Ferdi.

Mereka memang masih didiami sampai sekarang. Mengejutkannya, Dandero bahkan bernasib lebih buruk dari mereka. Setidaknya, Ilfa masih menganggap mereka ada. Berbeda dengan Dandero, seolah lelaki itu tembus pandang.

“Terimakasih atas tumpangannya.” Ilfa turun dengan begitu formal. Hati Ferdi seolah diremas mendengar itu.

“Kami yang harus berterimakasih karena tidak lagi dilempari kerikil, Nona.”

“Aku bisa mengulanginya lagi nanti. Mungkin dengan batu yang lebih besar.” Ferdi tersenyum tipis.

“Jika itu bisa menembus keegoisan kami, lakukan, Nona.”

“Ilfa, Ilfa sayang.” Panggilan lembut yang sudah lama Ilfa rindukan menyambut kedatangannya yang baru saja masuk ke gerbang setelah Ferdi pergi.

“Mama?” sahut Ilfa dengan mata berkaca-kaca. Setahun lebih dia tidak lagi melihat ibunya itu, bahkan mendengar suaranya. Ketika ibunya kabur dari rumah, wanita itu hilang bak ditelan bumi. Tapi ayahnya terus menuduh mereka berkomunikasi diam-diam. 

Ilfa langsung membalas pelukan erat ibunya. Mereka tersedu-sedu saking rindunya.

“Dimana adik kamu?” Wanita yang masih cantik di usainya itu menangkup pipi Ilfa.

“Dyah … hampir nggak pulang ke rumah samasekali, Ma. Katanya, dia nginap di rumah temannya selama ini.” Ilfa benar-benar sendiri di rumah itu. Sehingga itulah dia merasa sendirian.

“Kamu coba telpon Dyah, ya.” Sang Mama mengusap sayang pipi putrinya. “Yang penting sekarang kamu ikut Mama dulu.”

“Kita mau kemana, Ma?”

“Kita pergi yang jauh dari papamu itu. Mama nggak bisa tanpa kalian. Mama janji akan membiayai semua kebutuhan kalian. Kalian nggak akan kekurangan apapun bersama Mama.”

“Mama dan Papa bakalan cerai?”

Wanita itu mengangguk pelan. “Kamu mau ikut Mama ‘kan?”

Mengingat semua keburukan ayahnya selama ini, Ilfa balas mengangguk, membuat ibunya makin menangis haru.

“Mau kamu bawa kemana putriku, perempuan sialan!?” Papa Ilfa tiba-tiba datang ketika mereka baru saja hendak masuk mobil. Padahal selama ini pria itu hampir tidak pernah pulang.

“Ilfa bilang dia mau ikut aku, kamu nggak berhak menghalangi,” balas Mama Ilfa dengan lantang, walau ketakutan terlihat jelas di matanya. Suaminya adalah pria dominan yang susah untuk dilawan sejak dulu.

Harka melirik kecewa pada putrinya mendengar itu. Ternyata benar dugaannya selama ini, pikirnya. Padahal, andai Harka tetap memperlakukan putrinya dengan baik, memilih salahsatu dari orangtuanya adalah hal yang tak mungkin bagi Ilfa.

“Bisa apa kamu membesarkan mereka tanpa aku, hah!?” Harka makin menghardik. “Kamu itu tidak punya apapun untuk diberi, istriku. Membawa anak-anakku bersamamu, hanya akan membuat mereka kelaparan, tidak berpendidikan, dan menderita.”

“Jangan meremehkanku!”

“Kamu memang pantas diremehkan.”

“Kamu benar-benar pria paling brengsek yang aku tahu!”

“Aku tidak akan membiarkan anakku ikut denganmu.” Harka berniat mengambil kembali Ilfa.

“Kamu tidak berhak untuk itu, Harka!”

“Aku berhak, aku ayah mereka. Aku yang membesarkan mereka selama ini. Aku yang memberi mereka kehidupan yang layak, pendidikan yang layak, kemewahan dan semua yang aku miliki! Kamu hanya mengandung, dan melahirkan.”

“Kamu melebih-lebihkan!" Mata perempuan itu membelalak. "Kamu pikir melahirkan seorang anak semudah itu?! Aku mempertaruhkan nyawa untuk mereka. Aku menyusui mereka, aku juga mendidik mereka, menjaga mereka, membesarkan mereka, memberikan sepenuhnya cintaku pada mereka.”

“Aku tetap tidak akan membiarkanmu mengambil salahsatu putriku. Mari bertarung di pengadilan, dan aku yakin aku pasti menang karena kamu berselingkuh. Aku yakin kamu sepercaya diri itu hendak membawa mereka karena selingkuhanmu itu berjanji akan membantumu membesarkan keponakan-keponakannya ‘kan?” Harka menarik pergelangan tangan Ilfa dengan kuat.

“Pa, lepas!” mohon Ilfa dengan suara melengking.

“Aku tidak selingkuh—lepaskan tanganmu dari putriku!”

“Kamu tidak mau tidak melihat anak-anak kita seumur hidupmu ‘kan?” Harka tersenyum smirk, menatap rendah istrinya yang berderai air mata.

“Tanpa pengaman, tanpa pil, temui aku di hotel langganan kita malam nanti. Maka, aku akan memaafkanmu. Dan kamu tidak akan terpisah dengan anak-anak seperti yang kamu takutkan,” tandasnya.

“Ayo, Ilfa. Masuk!” paksa Harka pada Ilfa ketika istrinya bergeming.

Mama Ilfa tidak lagi mengejar ataupun berteriak ketika Ilfa dibawa masuk ke dalam rumah. Wanita itu hanya menangis, terlihat bingung harus bagaimana. Walau hari ini berhasil membawa kabur kedua putrinya. Harka pasti mendapatkan mereka kembali.

“Apa selama ini Papa ada salah?” Harka bertanya setelah di dalam rumah. “Apa selama ini Papa kurang memberikan kasihsayang dan materi padamu? Apa ada keinginanmu yang tak Papa penuhi? Kenapa kamu lebih ingin ikut mamamu yang berkhianat, daripada Papa?”

Nada suara lelaki itu dingin sejak hampir dua tahun ini.

Ilfa sudah berulangkali menjelaskan, dia tidak ingin memilih salahsatu. Dia menyayangi semuanya. Harka tetap tidak percaya. Perilaku lelaki itu malah buruk. Hal yang wajar jika pada akhirnya Ilfa ingin ikut ibunya.

“Papa masih tidak paham, Ilfa. Padahal kamu putri kesayangan Papa.” Harka terlihat getir.

“Papa lebih menyayangimu daripada kakak lelakimu dan adik perempuanmu. Karena kamu putri Papa yang paling menghargai istri Papa dibanding dua saudaramu yang lain—kamu tidak pernah menyusahkannya, kamu tidak pernah meneriakinya sejak kamu kecil, kamu tidak pernah menganggapnya “pembantu” yang wajib menyiapkan kebutuhanmu tepat waktu hanya karena dia ibumu, kamu selalu berkata lembut padanya seakan kamu tahu mamamu sebenarnya memiliki hati yang rapuh, kamu selalu membelanya ketika ada yang menyakitinya—kamu anak baik, kamu juga sangat mirip dengannya. Tapi, mengapa? Mengapa kalian berdua tidak menginginkan Papa?” Harka tertawa terluka.

“Tapi sekarang itu bukan lagi masalah,” tambahnya. “Kamu tidak perlu lagi memilih salahsatu. Perceraian kami tidak akan pernah terjadi. Kita akan serumah lagi, kita akan seharmonis dulu lagi. Mungkin ada personel baru lagi nanti. Papa akan melupakan semua hal buruk, dan hidup bahagia seperti sebelumnya.”

Harka menghapus air mata putrinya. Senyum lembut yang telah lama tak terlihat, kembali timbul di bibir pria itu.

***

Ayahnya pergi usai makan malam pertama mereka setelah lebih dari satu tahun.

Pria itu pergi tanpa sneli dan peralatan kerjanya. Berarti, ibunya menyetujui syarat dari papanya. Mereka pasti di hotel sekarang.

Keluarga mereka mungkin akan kembali seperti semula keesokan harinya—Harka kembali baik, ibunya tidak lagi kabur dari rumah, Dyah berhenti menginap di rumah temannya, dan mungkin benar-benar akan ada personel baru seperti yang Harka bilang.

Entah mengapa, Ilfa tidak bahagia membayangkannya. Setelah semua yang terjadi, semuanya memang tidak akan pernah sama lagi. Sosok ayah yang sempurna telah hirna permanen di kepalanya, begitu pula ibu dan saudaranya yang lain.

Kedua mata Ilfa urung terpejam ketika mendengar deru mesin mobil memasuki halaman rumahnya. Dilihatnya jam di dinding. Sudah pukul duabelas malam.

Apa ayahnya sudah kembali?

Rasanya tidak mungkin. Jika transaksi ayah dan ibunya berhasil, minimal mereka kembali besok.

Ilfa menghampiri jendela untuk memastikan secara langsung. Raut wajahnya langsung berubah ketika mengenali wajah Dandero. Pria itu turun dari mobil hitam besar, menuju teras rumahnya.

“Kenapa dia kemari?”

Ilfa panik, debar jantungnya berpacu.

Tidak mau lelaki itu masuk dan hal yang tak diinginkan terjadi—mungkin lelaki itu ingin menghukumnya yang sudah mendiaminya selama dua minggu?—Ilfa langsung berlari ke pintu utama.

Sudah dia duga, pintu itu juga tidak terkunci. Dia lupa mengunci semuanya setelah ayahnya pergi. Larut dalam lamunan yang ternyata menggiringnya dalam bahaya.

Belum sempat lengan besar Dandero semakin membukanya untuk masuk, Ilfa berusaha menutupnya kembali dengan sisa-sisa tenaga yang dia miliki. “Jangan masuk! Atau tidak kulapor polisi!”

Pria di balik pintu tidak berkata apapun, mundur satu langkah ke belakang. Ilfa langsung memutar kunci. Setelah berhasil, terduduk ke lantai karena kakinya begitu lemas. Hampir tidak sanggup menopang tubuhnya lagi.

“Pergilah,” pinta Ilfa dengan serak. “Kumohon pergilah. Orangtuaku ada di rumah.” Ilfa sengaja berbohong agar lelaki di baliknya tidak nekat.

Tidak ada suara. Namun Ilfa tetap tidak yakin, Dandero sudah pergi. Deru mobilnya tidak terdengar untuk keduakalinya. Lelaki itu tidak mungkin pergi tanpa mobilnya ‘kan?

Ilfa merangkak menuju jendela dekat pintu untuk mengintip—kakinya masih terasa sangat lembut untuk menuju jendela. Ternyata Dandero masih berdiri di depan pintu utama rumahnya, dengan wajah tak berekspresi dan kemeja putih yang terdapat banyak noda darah yang baru Ilfa sadari.

Darah?

Ilfa seketika cemas, mengira Dandero terluka. Bodohnya, dia membuka pintu. Melihat dengan jelas Dandero yang begitu putus apa, dan pakaian formalnya yang terdapat banyak percikan darah.

“Kamu kenapa, R-Ro? Darah itu dari tubuhmu?”

Ilfa tidak menyangka apa yang terjadi selanjutnya. Dandero tiba-tiba jatuh berlutut di depan kakinya. Dengan tubuh bergetar, meraih pergelangan kaki Ilfa, dan memeluknya erat.

Untuk pertamakalinya Ilfa mendengar pria itu menangis. Benar-benar untuk pertamakalinya. Ilfa kira lelaki itu manusia tak berperasaan, yang selamanya tidak akan pernah merasa sedih.

Tak sampai hati, Ilfa merunduk, lalu memeluk kepala lelaki itu.

Melihat sisi lemah Dandero untuk pertamakalinya membuat Ilfa sadar akan sesuatu. 

Dia tidak benar-benar sendirian seperti yang selama ini dia pikirkan.

Dia masih punya Dandero.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Pacar Halal Presiden Mahasiswa - Bab 5
0
0
Lelaki-lelaki tak percaya Tuhan
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan