
WARNING 21++ !!
(Cerita ini mengandung unsur adegan dewasa, kekerasan, dan kata-kata yang tidak diperuntukkan untuk anak di bawah umur. Harap kebijakannya dalam membaca. Sadar diri, sadar umur.)
NOTE!
Rasa gemas, emosi membludak, dan geram karena sikap tokoh bukanlah tanggung jawab penulis.
"Dijodohkan."
Terdengar klise, namun tak seorang pun tahu betapa menyebalkannya jika kita dijodohkan dengan orang yang tidak kita sukai.
Angelo tidak pernah menyukai Jennifer, begitu juga sebaliknya. Mereka bagaikan...
BAB 1
Matahari bersinar cerah menyinari kota Jakarta hari ini. Hiruk pikuk jalanan yang selalu macet, suara klakson yang memekakkan telinga, serta teriknya matahari, bagaikan santapan sehari-hari bagi warga Jakarta. Siang ini, Angelo memutuskan untuk berdiam diri di ruang kantornya yang berada di lantai 20. Sejuknya pendingin ruangan, membuat Angelo semakin menikmati ketenangan dan kesendirian yang sangat ia dambakan.
Ia pun tidak lupa meminta sekretaris untuk membatalkan pertemuan makan siangnya dengan salah satu kolega hanya karena enggan terjebak kemacetan di siang ini. Angelo kembali tenggelam dalam laporan pembangunan yang saat ini sedang ditangani oleh perusahaannya. Semuanya benar-benar tenang. Sangat tenang, hingga Angelo merasa tak ada hari seindah hari ini.
Namun, ketenangannya sirna seketika saat mama masuk ke ruang kerjanya. Tidak! Kalian jangan salah sangka. Angelo tidak membenci mama. Tapi, berita yang mama bawalah yang membuatnya kesal.
"Astaga, Ma! Kenapa harus aku?" keluh Angelo seraya meletakkan map laporan di meja, "dia kan bisa naik taksi. Lagi pula, aku banyak kerjaan."
Angelo berdecak kesal, lalu menyisir frustrasi rambutnya dengan jemari. Mama duduk di sofa panjang yang ada di ruang kerjanya, tampak anggun dan cantik seperti biasa.
"Mama cuma minta kamu buat jemput dia, Elo. Kamu tidak boleh seperti itu. Sudah enam tahun lamanya kalian tidak bertemu," jelas mama dengan sikap tenang, membuat Angelo curiga.
"Tapi besok aku ada rapat penting, Ma," tolak Angelo cepat, berusaha melarikan diri dari permintaan mama. Ia beranjak dari kursi kerja, lalu menghampiri mama yang selalu tersenyum hangat bak malaikat.
"Kenapa bukan sopir Mama saja yang jemput dia?" usul Angelo sembari melangkah mendekat. Ia benar-benar tidak menyangka kalau kedatangan mama siang ini hanya untuk memintanya menjemput seseorang yang sangat tidak ia inginkan. Seseorang yang sangat ia benci. Seseorang yang ia harapkan tidak akan pernah muncul lagi dalam kehidupannya.
Jennifer.
"Mama maunya kamu yang jemput dia, Elo! Batalkan rapat itu. Mama tahu kamu bisa. You own this company, Dear," perintah mama dengan nada lembut yang khas. Lembut namun menuntut.
"Yeah, you right, Ma. Tapi, bukan berarti aku boleh semena-mena terhadap perusahaanku sendiri, kan? Lagi pula, ada angin apa dia kembali ke Jakarta? Bukannya dia yang memutuskan untuk kuliah dan menjalani hidup di Jepang?" tanya Angelo sedikit menggerutu, lalu berhenti di samping sofa yang mama duduki.
"Mama yang memintanya kembali, Elo," sahut mama tenang seraya menepuk bagian sofa yang kosong, menyuruhnya duduk. Angelo mengerutkan kening, tidak menyukai jawaban mama.
"Untuk apa?" tanya Angelo kesal sembari duduk di samping mama.
"Dia sudah lulus kuliah, dan sekarang sedang bekerja di salah satu perusahaan kecil di Jepang. Jadi, Mama pikir daripada dia bekerja di sana, lebih baik kerja di sini sebagai asisten pribadimu," jelas mama dengan senyum kecil penuh makna yang membuat Angelo menggeleng dan mengembuskan napas pasrah.
Mama tahu, ia tidak akan pernah bisa menolak permintaan mama. Tidak pernah. Mama selalu mampu membuatnya patuh. Mama adalah sosok wanita yang lembut, hangat, penuh cinta dan penyayang. Tak ada yang mampu menolak keinginan mama. Bahkan papa—yang terkenal memiliki sifat dingin dan ketus terhadap orang lain—selalu menurut pada mama.
"Aku tidak butuh asisten pribadi, Ma," balas Angelo sinis, "aku sudah punya sekretaris."
"Ya, kamu butuh, Elo," sahut mama tak kalah cepat sembari membelai lembut wajah Angelo, berusaha membujuk dengan senjata andalan mama. Belaian yang mampu menghipnotis siapa saja.
"Mama!" keluh Angelo memelas seraya menjauhkan belaian itu dari wajahnya.
"Kamu tidak boleh begitu, Elo. Kamu harus ingat apa status kalian berdua," tegur mama lembut, namun tegas. Inilah alasan mengapa Angelo tidak mau wanita itu kembali ke Jakarta. Mereka berdua sudah dijodohkan sejak ia berusia 17 tahun. Ia menolak, tentu saja. Tapi, mama selalu mampu membuatnya diam seribu bahasa dan menerima perjodohan itu dengan sangat terpaksa.
Bukan! Angelo bukanlah 'anak mama' seperti yang kalian pikirkan. Ia hanya begitu mencintai mama dan tak ingin mengecewakan wanita yang ia cintai dengan sepenuh hati. Baginya, mama adalah satu-satunya wanita tercantik, terhebat, dan teranggun di dunia ini.
Mother complex? Yeah, kalian semua pasti berpikir seperti itu. Tapi Angelo tidak peduli akan penilaian orang. Ia sangat memuja mama, dan tak ada seorang wanita pun yang mampu menggantikan mama di hatinya. Tidak ada.
Angelo hanya bisa mengembuskan napas frustrasi dan tertunduk menatap lantai ruangan dengan raut kesal. Kedatangan Jennifer seakan menunjukkan kalau ia benar-benar tidak memiliki kebebasan untuk memilih pasangan hidupnya sendiri. Atau lebih tepatnya, tidak memiliki kesempatan untuk jatuh cinta kepada wanita yang tepat. Dan bagi Angelo, Jennifer bukanlah wanita yang tepat baginya.
"Angelo," panggil mama seraya menengadahkan wajah dan mengunci tatapannya dalam-dalam, "Mama selalu memberikan yang terbaik untukmu. Kamu tahu itu, kan?"
"Tapi aku tidak mencintainya, Ma!" keluh Angelo jujur, "aku tidak menyukainya sama sekali. Kenapa harus dia? Apa tidak ada wanita lain?"
"Angelo, Mama tahu kamu itu seperti apa. Mama juga tahu wanita mana yang cocok buat kamu. Usiamu sudah 29 tahun, tapi kamu tidak pernah menjalin hubungan dengan seorang wanita. Mama tidak mau kamu jadi seperti—"
"Aku. Masih. Normal, Mama," potong Angelo cepat, menekan setiap kata yang keluar dari mulutnya. Ia tahu apa yang akan mama ucapkan. Ini bukan yang pertama kalinya mama menasihati dirinya.
"Ya, Mama tahu. Mama membesarkan seorang pria tampan yang memiliki pesona kuat. Bahkan, Mama tahu kalau kamu bisa dengan mudah menaklukkan wanita. Like father like son, right?" lanjut mama lembut, menjauhkan tangan dari wajah Angelo kemudian menggenggam erat tangannya.
"Tapi ... mau sampai kapan kamu seperti ini? Apa lagi yang kamu cari?" tanya mama lembut, tapi Angelo tidak tahu harus menjawab apa. Ia hanya bisa mengembuskan napas panjang, yang entah sudah berapa kali ia lakukan semenjak mendengar permintaan mama.
"Kamu sudah punya semuanya, Elo. Tapi kamu harus ingat, seorang pria hebat sekali pun tidak akan pernah sempurna tanpa kehadiran seorang wanita di sisinya," nasihat mama lagi.
Angelo melepaskan genggaman mama, lalu beranjak dan melangkah menuju dinding kaca yang menyajikan pemandangan kota Jakarta. Ia berkutat dengan pikirannya sendiri, lalu menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri. Sebuah pelukan hangat dari belakang, perlahan-lahan meredam kekesalan dalam hatinya.
"Baiklah, Ma. Aku akan menjemputnya besok," ucap Angelo pasrah, "tapi Mama harus tahu, aku melakukan ini bukan karena aku menginginkan kehadirannya. Aku melakukannya demi Mama."
"Thank you, My dear," sahut mama lembut, "belajarlah untuk menerima kehadirannya."
Mendengar kalimat terakhir itu, Angelo hanya bisa menghela napas pasrah. Ia tahu seperti apa sifat mama. Saat ia menuruti satu permintaan, maka akan ada permintaan-permintaan terselubung lainnya yang membuat ia semakin sulit bergerak. Angelo tahu itu. Tapi entah mengapa, ia tidak akan pernah bisa menolaknya.
*****
Terpaksa.
Itulah yang Angelo rasakan saat duduk di kursi penumpang belakang sembari memandang ke luar jendela mobil. Sopir mengendarai mobil di tengah-tengah keramaian kota Jakarta di sore hari, sungguh padat dan melelahkan. Getaran ponsel mengalihkan perhatiannya ke screen saver bergambar pegunungan yang asri.
Ya. Angelo sangat menyukai pegunungan, bahkan sesekali ia menginap di vila mewahnya yang ia beli beberapa tahun lalu demi menjauh dari para wanita yang berusaha mendekatinya. Sebuah vila tersembunyi dengan pemandangan indah, udara dingin dan sejuk, serta ketenangan yang mampu menenangkan pikirannya. Ketenangan yang mengisolasi dirinya dari hiruk pikuk keramaian kota Jakarta.
Ia menatap datar beberapa pesan masuk yang terus bertambah setiap detik. Angelo mengembuskan napasnya yang terasa berat, lalu mengalihkan pandangan kembali ke luar jendela. Pikirannya tertuju pada perjodohan yang mama dan papa buat secara sepihak antara dirinya dengan Jennifer.
Angelo tidak tahu apa yang mama lihat dari Jennifer sampai harus memaksakan perjodohan tersebut. Jennifer yang ia kenal adalah seorang wanita yang pendiam, bahkan mereka jarang berbicara meskipun berada dalam satu rumah. Pintar? Tentu saja.
Jennifer selalu menjadi juara kelas dan mendapatkan beasiswa ke Jepang, yang membuat wanita itu pergi selama hampir enam tahun lamanya. Enam tahun yang menyenangkan dan penuh ketenangan. Tapi, setelah mengetahui kalau mama meminta Jennifer kembali ke Jakarta, Angelo merasa bahwa masa-masa tenangnya akan segera berakhir.
Jennifer bukanlah wanita yang cantik. Penampilan Jennifer sangat buruk, bahkan ia bisa mengingat dengan jelas bagaimana kacamata bulat besar itu bertengger di hidungnya, mempertegas sosok kutu buku yang membosankan. Rambut Jennifer selalu dikepang dua, tampak bak wanita desa yang tidak menarik sama sekali di mata Angelo.
Bukan hanya dari segi penampilan saja yang membuat Angelo tidak menyukai Jennifer. Tapi, karena ia tahu dari mana asal usul wanita itu. Jennifer merupakan anak dari seorang babysitter yang pernah merawatnya. Anak dari hasil perselingkuhan dengan seorang pria beristri yang tidak pernah muncul di kehidupan mereka. Itulah yang membuat Angelo sangat yakin kalau Jennifer bukanlah wanita yang pantas untuknya, bahkan ia tidak tahu apakah ia mampu menerima wanita itu di sisinya.
Angelo mengembuskan napas frustrasi. Ia tahu, mama pasti akan memintanya untuk segera menikahi Jennifer. Menempatkan wanita itu sebagai asisten pribadi hanyalah cara mama untuk mendekatkan mereka. Ia tidak tahu apa saja rencana mama, atau sudah sejauh mana mama merencanakan untuk menyatukan mereka. Tapi setidaknya, ia harus tetap waspada menghadapi permintaan mama selanjutnya.
"Besok pagi kita jemput Jennifer di bandara Soekarno-Hatta. Setelah itu, antar saya ke kantor dan bawa wanita itu ke rumah Mama," perintah Angelo datar pada sopir.
"Baik, Pak," sahut sopir patuh.
Terpaksa. Ia tekankan sekali lagi kalau ia benar-benar terpaksa melakukan hal ini. Ia masih memiliki beberapa proyek pembangunan yang harus dibicarakan dengan para manajer esok hari untuk menentukan kontraktor mana yang akan memegang proyek tersebut. Tapi demi menyenangkan hati mama, Angelo terpaksa mengundur salah satu rapat pentingnya. Ponselnya tiba-tiba bergetar keras, ia melihat nama papa muncul di layar.
"Ya, Pa," sahut Angelo datar.
"Mama sudah ke kantor?" tanya Papa tak kalah datar.
"Hmm," jawab Angelo singkat.
"Angelo, Papa tahu apa yang kamu rasakan saat ini. Papa pernah berada di posisimu," ucap papa tenang, terdengar bijaksana.
"I know, Pa. Tapi ini berbeda," keluh Angelo, berharap papa mengerti apa yang ia rasakan.
"Apanya yang berbeda?" tanya papa cepat.
"Kami tumbuh besar bersama. Aku sudah menganggapnya seperti seorang adik, tidak lebih! Lagi pula, latar belakang dia—"
"Berhenti mempermasalahkan latar belakangnya, Elo!" potong papa cepat, menghentikan penilaian negatif yang selalu Angelo tujukan pada Jennifer.
"Tapi, Pa—"
"Tidak, Angelo! Kamu tidak boleh menilai seseorang dari latar belakang keluarganya atau masa lalu orang tersebut. Papa tidak pernah mendidikmu seperti itu. Kita semua sama, tidak ada yang berbeda. Dia hanya memiliki nasib yang kurang beruntung. Kamu tidak berhak menilai buruk dirinya. Kamu harus ingat itu!" tegur papa dalam dan tegas.
"Yes, Sir," sahut Angelo lemah. Ia kembali mengembuskan napas frustrasi. Angelo menyadari, saat ini tak seorang pun akan mendukung keputusannya untuk membatalkan perjodohan itu.
"Oh, iya. Mama titip pesan. Setelah menjemput Jennifer, bawa dia langsung ke rumahmu. Dia akan tinggal di sana," pesan papa yang membuat mata Angelo terbelalak lebar.
"What!!" sahut Angelo kaget, sedikit berteriak. Ia mendengus kesal, tidak menyangka kalau mama akan menjalankan rencananya secepat ini.
"Jangan membantah, Elo! Kamu tahu bagaimana Mama kalau sudah meminta sesuatu, kan?" ucap papa mengingatkan, "jangan sampai Mama mengeluarkan jurus andalannya."
Angelo berdecak kesal. Ia sudah menerima jurus andalan mama saat di kantor tadi. Jadi, Angelo tak perlu diingatkan kembali bagaimana tak berkutiknya ia saat itu.
"Astaga, Pa! Haruskah dia tinggal di rumahku?" keluh Angelo. Hanya itu yang bisa ia lakukan sekarang. Mengeluh.
"Haruskah Papa menjawabnya?" tanya papa balik, yang membuat Angelo mengusap wajah dengan tangan. Ia benar-benar tak berdaya sekarang.
"Hah ... baiklah, Pa," sahut Angelo lemah.
"OK. Good night, Son. Hope you have a nice dream," ucap papa sebelum memutuskan pembicaraan.
Nice dream? Hell, yeah! Bagaimana aku bisa mimpi indah kalau begini? keluh Angelo dalam hati. Angelo melempar ponsel begitu saja di bagian kursi yang kosong, berusaha melampiaskan kekesalannya. Ia memejamkan mata, berusaha mencari cara agar perjodohan itu dibatalkan. Ia terus berpikir, berpikir, dan berpikir hingga akhirnya sebuah ide muncul di kepalanya.
Angelo membuka mata beberapa saat kemudian. Ia tahu apa yang harus ia lakukan. Ia akan membuat Jennifer membencinya, dan membuat agar wanita itu sendiri yang membatalkan perjodohan mereka. Ya, itulah yang akan aku lakukan. Lagi pula, mana ada wanita yang rela menikah dengan pria yang dibenci? Tidak ada! batin Angelo licik seraya menyunggingkan senyum liarnya.
*****
BAB 2
Jennifer menatap keluar jendela pesawat. Ia kembali meratapi masa depannya yang sudah ditetapkan ketika ia masih remaja. Jennifer tidak bisa membayangkan seperti apa pertemuan pertamanya nanti dengan calon suaminya itu, setelah mereka terpisah selama enam tahun lamanya. Angelo Benedictus Neandro.
Sejujurnya, Angelo adalah alasan utama Jen mencari beasiswa ke Jepang. Ia ingin hidup tenang dan jauh dari si Alien menyebalkan. Ya, itulah julukan Jen untuk Angelo. Alien.
Bagaimana tidak? Angelo memiliki paras tampan bak model terkenal, dan mata cokelat almond yang mampu meluluhlantakkan hati seorang wanita dalam sekejap. Namun sifat dingin dan kaku Angelo, membuat pria itu terlihat bak alien di mata Jen.
Pria itu lebih memilih berdiam diri di kamar, sibuk dengan dunianya sendiri. Bahkan, Jen tak pernah melihat satu orang teman pun datang mengunjungi pria itu. Benar-benar seperti alien yang berusaha mengasingkan diri dari dunia luar. Pria itu tidak pernah bersikap hangat dan bersahabat. Di mata Jen, Angelo adalah seorang anti sosial akut yang pernah ia kenal.
Bukan itu saja alasan Jen tidak menyukai Angelo. Tatapan Angelo yang tajam dan sinis, menunjukkan betapa besar ketidaksukaan pria itu terhadap dirinya. Angelo juga memiliki mulut setajam pisau. Pria itu selalu menganggap Jen rendah, dan tak pernah berusaha untuk menghargai dirinya.
Mereka memang jarang berbicara meskipun tinggal dalam satu atap. Tapi sekalinya bicara, ucapan Angelo mampu melukai perasaan Jen. Hingga saat ini, ia tak bisa melupakan hinaan yang pria itu tujukan padanya.
'Aku tidak akan pernah menganggapmu! Jadi, jangan pernah berpikir untuk jatuh cinta padaku. Kamu. Bukan. Levelku!'
Hinaan itu terlontar tepat setelah mama dan papa menjodohkan mereka. Perasaannya hancur dan hatinya terluka. Harga dirinya pun seakan diinjak-injak setiap kali Angelo menatapnya dengan raut jijik dan sinis. Namun, Jen hanya bisa menangis di kamar, mencoba memendam kebencian yang teramat besar pada Angelo demi menjaga perasaan mama dan papa
Jatuh cinta sama alien? Hah! Tentu saja tidak! Tidak akan pernah! Aku membencinya. Sangat membencinya! batin Jen geram seraya mendengus kesal.
Dalam hitungan menit, pesawat akan mendarat. Ia bisa merasakan detik-detik kebebasannya lenyap bagaikan tertiup angin. Jen menarik napas panjang. Dadanya terasa sesak setiap kali mengingat bahwa ia harus menikah dengan Angelo. Kalau bukan karena permintaan mama Maira, Jen enggan kembali ke Jakarta, melepaskan pekerjaan di Jepang, dan meninggalkan pria yang ia cintai.
Menolak perjodohan? Jen tidak bisa—atau lebih tepatnya, tidak mau—karena ia tahu diri. Meskipun bukan anak kandung, tapi keluarga Neandro sudah merawat, membesarkan, dan menyayangi Jennifer layaknya anak mereka sendiri. Ia juga sudah menganggap mama Maira dan papa Nico sebagai orangtuanya.
Mama Maira sangat menyayanginya. Bahkan, selalu menghubungi Jen seminggu sekali hanya sekedar menanyakan keadaan dan kesehatannya. Mama pun mengunjunginya sesekali demi melepas rindu. Itulah yang membuat Jen semakin tidak sanggup menolak perjodohan itu.
Balas budi, itulah tujuan hidupnya. Bodoh? Bukan, Jen bukan bodoh. Ia tahu, ia berhak menentukan jalan hidupnya. Tapi Jen tidak mau egois dan mengecewakan orang-orang yang sudah membesarkannya dengan penuh cinta. Tidak! Jen tidak ingin melihat mama bersedih hanya karena keegoisannya.
Hampir 3 bulan lamanya Jen tidak bertemu dengan mama. Ia sangat merindukan pelukan hangat yang mampu mengusir rasa sepinya. Ia juga merindukan papa yang selalu melindunginya dari sikap dingin Angelo.
Suara pramugari yang memberikan informasi melalui pengeras suara, mengalihkan pikiran Jen dari wajah menyebalkan yang selalu menghantuinya. Perlahan-lahan, pesawat mulai bergerak turun hingga akhirnya mendarat dengan sempurna. Para penumpang mulai bersiap-siap untuk turun, tapi ia memutuskan untuk berlama-lama di pesawat.
Sempat terpikir olehnya untuk kembali ke Jepang dan menikmati kebebasannya. Namun, kerinduannya pada mama menghapus niat buruknya dalam sekejap. Matanya tertuju pada barisan penumpang yang berjalan menuju pintu keluar, meninggalkannya begitu saja. Akhirnya, Jen menghela napas pasrah sebelum beranjak dari kursi.
Semoga Mama yang menjemputku. Please, Tuhan. Jangan si Alien. Please, jangan si Alien! doa Jen sembari melangkah keluar dari pesawat. Ia pun berjalan menuju tempat pengambilan koper dan meletakkan barang bawaannya di troli. Hanya 2 koper besar dan 2 koper sedang, sementara barang-barang yang ia miliki di Jepang ia berikan pada teman sekamarnya. Jen hanya membawa pakaian, sepatu, dan beberapa barang penting.
Jen terus melangkah menuju pintu keluar dengan harapan bisa bertemu segera dengan mama. Matanya langsung tertuju pada sebuah papan nama bertuliskan namanya saat ia melangkah melewati pintu keluar. Jen melangkah cepat, menghampiri seorang pria berusia empat puluhan yang mengenakan seragam safari mahal.
"Mbak Jennifer?" tanya pria itu memastikan.
"Ya, Pak," sahut Jen cepat sambil tersenyum ramah.
"Sini saya bawa trolinya, Mbak," pinta pria itu sopan sebelum mengambil troli darinya. Pria itu berjalan menjauh dari kerumunan orang, dan Jen mengikuti dari belakang.
"Pak Neandro sudah menunggu di mobil, Mbak," jelas pria itu saat mereka melangkah menuju sebuah mobil SUV hitam. Mendengar informasi tersebut, Jen sangat senang karena sudah tidak sabar ingin segera bertemu dengan papa.
Langkah Jen terasa ringan. Senyum lebar di wajah tak mampu menutupi rasa bahagia yang menyelimutinya saat ini. Ia sangat merindukan papa dan mama hingga tak sanggup diungkapkan dengan kata-kata. Pria itu terus mendorong troli menuju bagasi mobil, lalu memasukkan koper-kopernya. Dengan cepat, Jen membuka pintu penumpang sembari memasang wajah gembira dan senyum lebar.
"Pa—"
Sapaannya terhenti dan senyum lebar di wajahnya menghilang seketika saat melihat pria yang duduk di kursi dengan pandangan tertuju pada layar ponsel sementara jemarinya bergerak lincah. Jen mendengus kesal dan mengerutkan kening.
"Rupanya kamu sudah tidak sabar bertemu denganku, ya?"
Suara datar dan berat itu bagaikan angin topan yang mengempaskan rasa bahagianya sejauh mungkin. Angelo, yang duduk santai di kursi penumpang, tak menoleh sedikit pun ke arahnya. Jen memerhatikan Angelo yang terlihat sangat jauh berbeda dari 6 tahun yang lalu. Pria itu terlihat lebih tampan, memesona, bahkan memiliki aura mengancam yang membuatnya bergidik ketakutan.
Setelan jas yang Angelo kenakan terlihat mahal dan dijahit mengikuti postur tubuh pria itu. Dengan rambut tersisir rapi bak pemimpin gangster dan janggut serta kumis halus yang terpangkas sempurna, membuat penampilan Angelo benar-benar memukau namun berbahaya. Ia benar-benar tidak menyangka perubahan si Alien menyebalkan bisa berubah begitu drastis. Sial!
"Kurasa kamu terlalu terpesona padaku sampai ...."
Angelo tidak menyelesaikan kalimatnya saat melihat Jen yang masih berdiri di luar mobil. Jen memerhatikan tatapan menyelidik Angelo yang menatapnya dari ujung rambut hingga kaki seakan-akan ia adalah barang yang hendak dijual.
"Ternyata ... sekali itik buruk rupa, tetaplah buruk rupa. Itik tidak akan pernah berubah menjadi angsa meskipun dilapisi pakaian mahal dan dihiasi riasan sempurna. Kamu harus menerima kenyataan itu!" sindir Angelo sinis dan tegas, lalu kembali berkutat dengan ponsel.
Jen ternganga mendengar hinaan itu. Tak ada seorang pun yang mampu menyakiti perasaannya dengan ucapan, kecuali Angelo. Ia tidak percaya Angelo lahir dari seorang wanita berhati lembut dan penuh kasih sayang seperti mama Maira. Angelo benar-benar seperti alien yang muncul di tengah pasangan suami istri yang sempurna.
"Pantas saja tak ada wanita yang mau denganmu sampai Mama harus menjodohkan kita berdua. Mulutmu melebihi mulut harimau!" balas Jen tegas dan kesal. Angelo menoleh cepat mendengar ucapannya, lalu mengerutkan kening seraya menatapnya geram.
"Oh, sekarang kamu sudah berani menjawabku, ya? Jangan besar kepala, Iper! Aku bisa mendapatkan wanita yang lebih baik darimu," balas Angelo tipis, menahan amarah.
Jen mendengus kesal. Ia tidak suka saat Angelo memanggilnya 'Iper'. Ibunya memberi nama yang indah. Jennifer. Tapi, Angelo memanggil namanya dengan sembarangan, membuatnya lebih terdengar seperti 'iler'.
Tanpa menunggu disuruh masuk, Jen langsung duduk di sebelah Angelo dan menutup pintu di sampingnya. Jen melipat kedua tangan di depan dada, membuang wajah ke samping, dan menatap keluar jendela.
Anggap dia tidak ada, Jen! Anggap dia tidak ada! ingat Jen pada dirinya sendiri. Ia masih bisa merasakan tatapan tajam Angelo, tapi ia berusaha kuat untuk tidak peduli. Pria berpakaian rapi tadi langsung menutup pintu bagasi, lalu duduk di belakang kemudi.
"Langsung ke rumah," perintah Angelo datar.
"Rumah Mama, Pak!" lanjut Jen cepat, lebih menyerupai permintaan.
"Tidak!" jawab Angelo tak kalah cepat, "rumahku."
Jen menoleh cepat dengan mata terbelalak. Mama tidak mengatakan kalau ia harus tinggal bersama Angelo. Mama hanya memintanya bekerja sebagai asisten pribadi Alien ini. Gawat! Ini adalah malapetaka. Aku bisa mati berdiri kalau harus serumah dengannya, batin Jen panik yang langsung mengeluarkan ponsel dari tas selempang.
Ia segera menghubungi mama. Tapi, mama tak menjawab panggilannya meskipun ia sudah menghubungi lebih dari tiga kali. Ia mencoba menghubungi papa, dan hasilnya pun sama.
"Tidak akan berhasil," celetuk Angelo.
"Maksudmu?" tanya Jen kesal.
"Mereka sudah merencanakan ini," jawab Angelo singkat. Jen kembali mengembuskan napas frustrasi, menggeram kesal, lalu memasukkan ponsel kembali ke tas.
"Seharusnya aku yang frustrasi karena harus menikahimu. Dasar, itik buruk rupa yang menyebalkan!" celetuk Angelo tipis, membuat Jen mengerut tersinggung. Ia tidak menyangka bahwa semakin bertambah umur ternyata tingkat ketajaman lidah pria itu pun semakin bertambah.
"Kamu kira aku mau menikah denganmu?" tantang Jen sinis, "aku melakukan ini karena Mama. Karena hutang budi, itu saja!"
"Benarkah?" tanya Angelo sambil berdecak sinis dan mengangkat salah satu alis, tampak meremehkannya.
"Tentu saja! Kamu kira aku mau punya suami jahat, ketus, sinis, dingin, tidak punya hati, dan menyebalkan seperti dirimu? Lebih baik aku perawan seumur hidup daripada harus menikah denganmu!" ungkap Jen lantang, tidak ingin tunduk lagi pada sikap kejam Angelo. Pria itu menatapnya tajam penuh amarah. Namun, perlahan-lahan raut amarah itu berubah menjadi senyum simpul sinis yang membuat Jen bergidik ketakutan.
"Glad to hear that! Kalau begitu terimalah tawaranku, dan kujamin kamu akan bahagia seumur hidup," ucap Angelo dalam dan misterius. Jen menatap curiga Angelo. Ia tidak tahu apa yang akan ditawarkan pria itu padanya, yang ia tahu Angelo pasti memiliki niat buruk padanya.
"Tawaran apa?" tanya Jen singkat.
"Bantu aku membatalkan perjodohan ini," jawab Angelo dengan seringai dan tatapan liar. Jen tersentak mendengar penawaran itu.
Membatalkan perjodohan ini? Bisakah? Bagaimana caranya? Apa boleh kami membatalkan perjodohan ini? Lalu ... bagaimana dengan mama? Astaga! Tawaran Angelo benar-benar menggoda. Aku bisa bebas menikah dengan pria pilihanku dan hidup bahagia. Tapi, apa mama akan bahagia?
Pertanyaan demi pertanyaan mengisi pikirannya saat ini. Tawaran itu membuatnya goyah. Tentu saja, ia ingin sekali perjodohan ini dibatalkan. Tapi, membayangkan raut kecewa mama sama saja seperti menghancurkan harapan yang selama ini mama gantungkan padanya.
Oh, tidak! Aku tidak ingin mengecewakan Mama. Tapi, aku juga tidak ingin menikah dengan Angelo. Bagaimana ini?
*****
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
