Drowning In Your Love (21+) - BAB 1, 2, 3, 4, 5

25
2
Deskripsi

WARNING 21++ !!
(Cerita ini mengandung unsur adegan dewasa, kekerasan, dan kata-kata yang tidak diperuntukkan untuk anak di bawah umur. Harap kebijakannya dalam membaca. Sadar diri, sadar umur.)

NOTE!
Rasa gemas, emosi membludak, dan geram karena sikap tokoh bukanlah tanggung jawab penulis.

*****

"Dijodohkan."

Terdengar klise, namun tak seorang pun tahu betapa menyebalkannya jika kita dijodohkan dengan orang yang tidak kita sukai.

Angelo tidak pernah menyukai Jennifer, begitu juga sebaliknya. Mereka bagaikan...

BAB 1

Matahari bersinar cerah menyinari kota Jakarta hari ini. Hiruk pikuk jalanan yang selalu macet, suara klakson yang memekakkan telinga, serta teriknya matahari, bagaikan santapan sehari-hari bagi warga Jakarta. Siang ini, Angelo memutuskan untuk berdiam diri di ruang kantornya yang berada di lantai 20. Sejuknya pendingin ruangan, membuat Angelo semakin menikmati ketenangan dan kesendirian yang sangat ia dambakan.

Ia pun tidak lupa meminta sekretaris untuk membatalkan pertemuan makan siangnya dengan salah satu kolega hanya karena enggan terjebak kemacetan di siang ini. Angelo kembali tenggelam dalam laporan pembangunan yang saat ini sedang ditangani oleh perusahaannya. Semuanya benar-benar tenang. Sangat tenang, hingga Angelo merasa tak ada hari seindah hari ini.

Namun, ketenangannya sirna seketika saat mama masuk ke ruang kerjanya. Tidak! Kalian jangan salah sangka. Angelo tidak membenci mama. Tapi, berita yang mama bawalah yang membuatnya kesal.

"Astaga, Ma! Kenapa harus aku?" keluh Angelo seraya meletakkan map laporan di meja, "dia kan bisa naik taksi. Lagi pula, aku banyak kerjaan." 

Angelo berdecak kesal, lalu menyisir frustrasi rambutnya dengan jemari. Mama duduk di sofa panjang yang ada di ruang kerjanya, tampak anggun dan cantik seperti biasa.

"Mama cuma minta kamu buat jemput dia, Elo. Kamu tidak boleh seperti itu. Sudah enam tahun lamanya kalian tidak bertemu," jelas mama dengan sikap tenang, membuat Angelo curiga.

"Tapi besok aku ada rapat penting, Ma," tolak Angelo cepat, berusaha melarikan diri dari permintaan mama. Ia beranjak dari kursi kerja, lalu menghampiri mama yang selalu tersenyum hangat bak malaikat.

"Kenapa bukan sopir Mama saja yang jemput dia?" usul Angelo sembari melangkah mendekat. Ia benar-benar tidak menyangka kalau kedatangan mama siang ini hanya untuk memintanya menjemput seseorang yang sangat tidak ia inginkan. Seseorang yang sangat ia benci. Seseorang yang ia harapkan tidak akan pernah muncul lagi dalam kehidupannya.

Jennifer.

"Mama maunya kamu yang jemput dia, Elo! Batalkan rapat itu. Mama tahu kamu bisa. You own this company, Dear," perintah mama dengan nada lembut yang khas. Lembut namun menuntut.

"Yeah, you right, Ma. Tapi, bukan berarti aku boleh semena-mena terhadap perusahaanku sendiri, kan? Lagi pula, ada angin apa dia kembali ke Jakarta? Bukannya dia yang memutuskan untuk kuliah dan menjalani hidup di Jepang?" tanya Angelo sedikit menggerutu, lalu berhenti di samping sofa yang mama duduki.

"Mama yang memintanya kembali, Elo," sahut mama tenang seraya menepuk bagian sofa yang kosong, menyuruhnya duduk. Angelo mengerutkan kening, tidak menyukai jawaban mama.

"Untuk apa?" tanya Angelo kesal sembari duduk di samping mama.

"Dia sudah lulus kuliah, dan sekarang sedang bekerja di salah satu perusahaan kecil di Jepang. Jadi, Mama pikir daripada dia bekerja di sana, lebih baik kerja di sini sebagai asisten pribadimu," jelas mama dengan senyum kecil penuh makna yang membuat Angelo menggeleng dan mengembuskan napas pasrah.

Mama tahu, ia tidak akan pernah bisa menolak permintaan mama. Tidak pernah. Mama selalu mampu membuatnya patuh. Mama adalah sosok wanita yang lembut, hangat, penuh cinta dan penyayang. Tak ada yang mampu menolak keinginan mama. Bahkan papa—yang terkenal memiliki sifat dingin dan ketus terhadap orang lain—selalu menurut pada mama.

"Aku tidak butuh asisten pribadi, Ma," balas Angelo sinis, "aku sudah punya sekretaris."

"Ya, kamu butuh, Elo," sahut mama tak kalah cepat sembari membelai lembut wajah Angelo, berusaha membujuk dengan senjata andalan mama. Belaian yang mampu menghipnotis siapa saja.

"Mama!" keluh Angelo memelas seraya menjauhkan belaian itu dari wajahnya.

"Kamu tidak boleh begitu, Elo. Kamu harus ingat apa status kalian berdua," tegur mama lembut, namun tegas. Inilah alasan mengapa Angelo tidak mau wanita itu kembali ke Jakarta. Mereka berdua sudah dijodohkan sejak ia berusia 17 tahun. Ia menolak, tentu saja. Tapi, mama selalu mampu membuatnya diam seribu bahasa dan menerima perjodohan itu dengan sangat terpaksa.

Bukan! Angelo bukanlah 'anak mama' seperti yang kalian pikirkan. Ia hanya begitu mencintai mama dan tak ingin mengecewakan wanita yang ia cintai dengan sepenuh hati. Baginya, mama adalah satu-satunya wanita tercantik, terhebat, dan teranggun di dunia ini.

Mother complex? Yeah, kalian semua pasti berpikir seperti itu. Tapi Angelo tidak peduli akan penilaian orang. Ia sangat memuja mama, dan tak ada seorang wanita pun yang mampu menggantikan mama di hatinya. Tidak ada.

Angelo hanya bisa mengembuskan napas frustrasi dan tertunduk menatap lantai ruangan dengan raut kesal. Kedatangan Jennifer seakan menunjukkan kalau ia benar-benar tidak memiliki kebebasan untuk memilih pasangan hidupnya sendiri. Atau lebih tepatnya, tidak memiliki kesempatan untuk jatuh cinta kepada wanita yang tepat. Dan bagi Angelo, Jennifer bukanlah wanita yang tepat baginya.

"Angelo," panggil mama seraya menengadahkan wajah dan mengunci tatapannya dalam-dalam, "Mama selalu memberikan yang terbaik untukmu. Kamu tahu itu, kan?"

"Tapi aku tidak mencintainya, Ma!" keluh Angelo jujur, "aku tidak menyukainya sama sekali. Kenapa harus dia? Apa tidak ada wanita lain?"

"Angelo, Mama tahu kamu itu seperti apa. Mama juga tahu wanita mana yang cocok buat kamu. Usiamu sudah 29 tahun, tapi kamu tidak pernah menjalin hubungan dengan seorang wanita. Mama tidak mau kamu jadi seperti—"

"Aku. Masih. Normal, Mama," potong Angelo cepat, menekan setiap kata yang keluar dari mulutnya. Ia tahu apa yang akan mama ucapkan. Ini bukan yang pertama kalinya mama menasihati dirinya.

"Ya, Mama tahu. Mama membesarkan seorang pria tampan yang memiliki pesona kuat. Bahkan, Mama tahu kalau kamu bisa dengan mudah menaklukkan wanita. Like father like son, right?" lanjut mama lembut, menjauhkan tangan dari wajah Angelo kemudian menggenggam erat tangannya.

"Tapi ... mau sampai kapan kamu seperti ini? Apa lagi yang kamu cari?" tanya mama lembut, tapi Angelo tidak tahu harus menjawab apa. Ia hanya bisa mengembuskan napas panjang, yang entah sudah berapa kali ia lakukan semenjak mendengar permintaan mama.

"Kamu sudah punya semuanya, Elo. Tapi kamu harus ingat, seorang pria hebat sekali pun tidak akan pernah sempurna tanpa kehadiran seorang wanita di sisinya," nasihat mama lagi.

Angelo melepaskan genggaman mama, lalu beranjak dan melangkah menuju dinding kaca yang menyajikan pemandangan kota Jakarta. Ia berkutat dengan pikirannya sendiri, lalu menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri. Sebuah pelukan hangat dari belakang, perlahan-lahan meredam kekesalan dalam hatinya.

"Baiklah, Ma. Aku akan menjemputnya besok," ucap Angelo pasrah, "tapi Mama harus tahu, aku melakukan ini bukan karena aku menginginkan kehadirannya. Aku melakukannya demi Mama."

"Thank you, My dear," sahut mama lembut, "belajarlah untuk menerima kehadirannya."

Mendengar kalimat terakhir itu, Angelo hanya bisa menghela napas pasrah. Ia tahu seperti apa sifat mama. Saat ia menuruti satu permintaan, maka akan ada permintaan-permintaan terselubung lainnya yang membuat ia semakin sulit bergerak. Angelo tahu itu. Tapi entah mengapa, ia tidak akan pernah bisa menolaknya.

*****

Terpaksa.

Itulah yang Angelo rasakan saat duduk di kursi penumpang belakang sembari memandang ke luar jendela mobil. Sopir mengendarai mobil di tengah-tengah keramaian kota Jakarta di sore hari, sungguh padat dan melelahkan. Getaran ponsel mengalihkan perhatiannya ke screen saver bergambar pegunungan yang asri.

Ya. Angelo sangat menyukai pegunungan, bahkan sesekali ia menginap di vila mewahnya yang ia beli beberapa tahun lalu demi menjauh dari para wanita yang berusaha mendekatinya. Sebuah vila tersembunyi dengan pemandangan indah, udara dingin dan sejuk, serta ketenangan yang mampu menenangkan pikirannya. Ketenangan yang mengisolasi dirinya dari hiruk pikuk keramaian kota Jakarta.

Ia menatap datar beberapa pesan masuk yang terus bertambah setiap detik. Angelo mengembuskan napasnya yang terasa berat, lalu mengalihkan pandangan kembali ke luar jendela. Pikirannya tertuju pada perjodohan yang mama dan papa buat secara sepihak antara dirinya dengan Jennifer.

Angelo tidak tahu apa yang mama lihat dari Jennifer sampai harus memaksakan perjodohan tersebut. Jennifer yang ia kenal adalah seorang wanita yang pendiam, bahkan mereka jarang berbicara meskipun berada dalam satu rumah. Pintar? Tentu saja.

Jennifer selalu menjadi juara kelas dan mendapatkan beasiswa ke Jepang, yang membuat wanita itu pergi selama hampir enam tahun lamanya. Enam tahun yang menyenangkan dan penuh ketenangan. Tapi, setelah mengetahui kalau mama meminta Jennifer kembali ke Jakarta, Angelo merasa bahwa masa-masa tenangnya akan segera berakhir.

Jennifer bukanlah wanita yang cantik. Penampilan Jennifer sangat buruk, bahkan ia bisa mengingat dengan jelas bagaimana kacamata bulat besar itu bertengger di hidungnya, mempertegas sosok kutu buku yang membosankan. Rambut Jennifer selalu dikepang dua, tampak bak wanita desa yang tidak menarik sama sekali di mata Angelo.

Bukan hanya dari segi penampilan saja yang membuat Angelo tidak menyukai Jennifer. Tapi, karena ia tahu dari mana asal usul wanita itu. Jennifer merupakan anak dari seorang babysitter yang pernah merawatnya. Anak dari hasil perselingkuhan dengan seorang pria beristri yang tidak pernah muncul di kehidupan mereka. Itulah yang membuat Angelo sangat yakin kalau Jennifer bukanlah wanita yang pantas untuknya, bahkan ia tidak tahu apakah ia mampu menerima wanita itu di sisinya.

Angelo mengembuskan napas frustrasi. Ia tahu, mama pasti akan memintanya untuk segera menikahi Jennifer. Menempatkan wanita itu sebagai asisten pribadi hanyalah cara mama untuk mendekatkan mereka. Ia tidak tahu apa saja rencana mama, atau sudah sejauh mana mama merencanakan untuk menyatukan mereka. Tapi setidaknya, ia harus tetap waspada menghadapi permintaan mama selanjutnya.

"Besok pagi kita jemput Jennifer di bandara Soekarno-Hatta. Setelah itu, antar saya ke kantor dan bawa wanita itu ke rumah Mama," perintah Angelo datar pada sopir.

"Baik, Pak," sahut sopir patuh.

Terpaksa. Ia tekankan sekali lagi kalau ia benar-benar terpaksa melakukan hal ini. Ia masih memiliki beberapa proyek pembangunan yang harus dibicarakan dengan para manajer esok hari untuk menentukan kontraktor mana yang akan memegang proyek tersebut. Tapi demi menyenangkan hati mama, Angelo terpaksa mengundur salah satu rapat pentingnya. Ponselnya tiba-tiba bergetar keras, ia melihat nama papa muncul di layar.

"Ya, Pa," sahut Angelo datar.

"Mama sudah ke kantor?" tanya Papa tak kalah datar.

"Hmm," jawab Angelo singkat.

"Angelo, Papa tahu apa yang kamu rasakan saat ini. Papa pernah berada di posisimu," ucap papa tenang, terdengar bijaksana.

"I know, Pa. Tapi ini berbeda," keluh Angelo, berharap papa mengerti apa yang ia rasakan.

"Apanya yang berbeda?" tanya papa cepat.

"Kami tumbuh besar bersama. Aku sudah menganggapnya seperti seorang adik, tidak lebih! Lagi pula, latar belakang dia—"

"Berhenti mempermasalahkan latar belakangnya, Elo!" potong papa cepat, menghentikan penilaian negatif yang selalu Angelo tujukan pada Jennifer.

"Tapi, Pa—"

"Tidak, Angelo! Kamu tidak boleh menilai seseorang dari latar belakang keluarganya atau masa lalu orang tersebut. Papa tidak pernah mendidikmu seperti itu. Kita semua sama, tidak ada yang berbeda. Dia hanya memiliki nasib yang kurang beruntung. Kamu tidak berhak menilai buruk dirinya. Kamu harus ingat itu!" tegur papa dalam dan tegas.

"Yes, Sir," sahut Angelo lemah. Ia kembali mengembuskan napas frustrasi. Angelo menyadari, saat ini tak seorang pun akan mendukung keputusannya untuk membatalkan perjodohan itu.

"Oh, iya. Mama titip pesan. Setelah menjemput Jennifer, bawa dia langsung ke rumahmu. Dia akan tinggal di sana," pesan papa yang membuat mata Angelo terbelalak lebar.

"What!!" sahut Angelo kaget, sedikit berteriak. Ia mendengus kesal, tidak menyangka kalau mama akan menjalankan rencananya secepat ini.

"Jangan membantah, Elo! Kamu tahu bagaimana Mama kalau sudah meminta sesuatu, kan?" ucap papa mengingatkan, "jangan sampai Mama mengeluarkan jurus andalannya."

Angelo berdecak kesal. Ia sudah menerima jurus andalan mama saat di kantor tadi. Jadi, Angelo tak perlu diingatkan kembali bagaimana tak berkutiknya ia saat itu.

"Astaga, Pa! Haruskah dia tinggal di rumahku?" keluh Angelo. Hanya itu yang bisa ia lakukan sekarang. Mengeluh.

"Haruskah Papa menjawabnya?" tanya papa balik, yang membuat Angelo mengusap wajah dengan tangan. Ia benar-benar tak berdaya sekarang.

"Hah ... baiklah, Pa," sahut Angelo lemah.

"OK. Good night, Son. Hope you have a nice dream," ucap papa sebelum memutuskan pembicaraan.

Nice dream? Hell, yeah! Bagaimana aku bisa mimpi indah kalau begini? keluh Angelo dalam hati. Angelo melempar ponsel begitu saja di bagian kursi yang kosong, berusaha melampiaskan kekesalannya. Ia memejamkan mata, berusaha mencari cara agar perjodohan itu dibatalkan. Ia terus berpikir, berpikir, dan berpikir hingga akhirnya sebuah ide muncul di kepalanya.

Angelo membuka mata beberapa saat kemudian. Ia tahu apa yang harus ia lakukan. Ia akan membuat Jennifer membencinya, dan membuat agar wanita itu sendiri yang membatalkan perjodohan mereka. Ya, itulah yang akan aku lakukan. Lagi pula, mana ada wanita yang rela menikah dengan pria yang dibenci? Tidak ada! batin Angelo licik seraya menyunggingkan senyum liarnya.

*****


BAB 2

Jennifer menatap keluar jendela pesawat. Ia kembali meratapi masa depannya yang sudah ditetapkan ketika ia masih remaja. Jennifer tidak bisa membayangkan seperti apa pertemuan pertamanya nanti dengan calon suaminya itu, setelah mereka terpisah selama enam tahun lamanya. Angelo Benedictus Neandro.

Sejujurnya, Angelo adalah alasan utama Jen mencari beasiswa ke Jepang. Ia ingin hidup tenang dan jauh dari si Alien menyebalkan. Ya, itulah julukan Jen untuk Angelo. Alien.

Bagaimana tidak? Angelo memiliki paras tampan bak model terkenal, dan mata cokelat almond yang mampu meluluhlantakkan hati seorang wanita dalam sekejap. Namun sifat dingin dan kaku Angelo, membuat pria itu terlihat bak alien di mata Jen.

Pria itu lebih memilih berdiam diri di kamar, sibuk dengan dunianya sendiri. Bahkan, Jen tak pernah melihat satu orang teman pun datang mengunjungi pria itu. Benar-benar seperti alien yang berusaha mengasingkan diri dari dunia luar. Pria itu tidak pernah bersikap hangat dan bersahabat. Di mata Jen, Angelo adalah seorang anti sosial akut yang pernah ia kenal.

Bukan itu saja alasan Jen tidak menyukai Angelo. Tatapan Angelo yang tajam dan sinis, menunjukkan betapa besar ketidaksukaan pria itu terhadap dirinya. Angelo juga memiliki mulut setajam pisau. Pria itu selalu menganggap Jen rendah, dan tak pernah berusaha untuk menghargai dirinya.

Mereka memang jarang berbicara meskipun tinggal dalam satu atap. Tapi sekalinya bicara, ucapan Angelo mampu melukai perasaan Jen. Hingga saat ini, ia tak bisa melupakan hinaan yang pria itu tujukan padanya.

'Aku tidak akan pernah menganggapmu! Jadi, jangan pernah berpikir untuk jatuh cinta padaku. Kamu. Bukan. Levelku!'

Hinaan itu terlontar tepat setelah mama dan papa menjodohkan mereka. Perasaannya hancur dan hatinya terluka. Harga dirinya pun seakan diinjak-injak setiap kali Angelo menatapnya dengan raut jijik dan sinis. Namun, Jen hanya bisa menangis di kamar, mencoba memendam kebencian yang teramat besar pada Angelo demi menjaga perasaan mama dan papa

Jatuh cinta sama alien? Hah! Tentu saja tidak! Tidak akan pernah! Aku membencinya. Sangat membencinya! batin Jen geram seraya mendengus kesal.

Dalam hitungan menit, pesawat akan mendarat. Ia bisa merasakan detik-detik kebebasannya lenyap bagaikan tertiup angin. Jen menarik napas panjang. Dadanya terasa sesak setiap kali mengingat bahwa ia harus menikah dengan Angelo. Kalau bukan karena permintaan mama Maira, Jen enggan kembali ke Jakarta, melepaskan pekerjaan di Jepang, dan meninggalkan pria yang ia cintai.

Menolak perjodohan? Jen tidak bisa—atau lebih tepatnya, tidak mau—karena ia tahu diri. Meskipun bukan anak kandung, tapi keluarga Neandro sudah merawat, membesarkan, dan menyayangi Jennifer layaknya anak mereka sendiri. Ia juga sudah menganggap mama Maira dan papa Nico sebagai orangtuanya.

Mama Maira sangat menyayanginya. Bahkan, selalu menghubungi Jen seminggu sekali hanya sekedar menanyakan keadaan dan kesehatannya. Mama pun mengunjunginya sesekali demi melepas rindu. Itulah yang membuat Jen semakin tidak sanggup menolak perjodohan itu.

Balas budi, itulah tujuan hidupnya. Bodoh? Bukan, Jen bukan bodoh. Ia tahu, ia berhak menentukan jalan hidupnya. Tapi Jen tidak mau egois dan mengecewakan orang-orang yang sudah membesarkannya dengan penuh cinta. Tidak! Jen tidak ingin melihat mama bersedih hanya karena keegoisannya.

Hampir 3 bulan lamanya Jen tidak bertemu dengan mama. Ia sangat merindukan pelukan hangat yang mampu mengusir rasa sepinya. Ia juga merindukan papa yang selalu melindunginya dari sikap dingin Angelo.

Suara pramugari yang memberikan informasi melalui pengeras suara, mengalihkan pikiran Jen dari wajah menyebalkan yang selalu menghantuinya. Perlahan-lahan, pesawat mulai bergerak turun hingga akhirnya mendarat dengan sempurna. Para penumpang mulai bersiap-siap untuk turun, tapi ia memutuskan untuk berlama-lama di pesawat.

Sempat terpikir olehnya untuk kembali ke Jepang dan menikmati kebebasannya. Namun, kerinduannya pada mama menghapus niat buruknya dalam sekejap. Matanya tertuju pada barisan penumpang yang berjalan menuju pintu keluar, meninggalkannya begitu saja. Akhirnya, Jen menghela napas pasrah sebelum beranjak dari kursi.

Semoga Mama yang menjemputku. Please, Tuhan. Jangan si Alien. Please, jangan si Alien! doa Jen sembari melangkah keluar dari pesawat. Ia pun berjalan menuju tempat pengambilan koper dan meletakkan barang bawaannya di troli. Hanya 2 koper besar dan 2 koper sedang, sementara barang-barang yang ia miliki di Jepang ia berikan pada teman sekamarnya. Jen hanya membawa pakaian, sepatu, dan beberapa barang penting.

Jen terus melangkah menuju pintu keluar dengan harapan bisa bertemu segera dengan mama. Matanya langsung tertuju pada sebuah papan nama bertuliskan namanya saat ia melangkah melewati pintu keluar. Jen melangkah cepat, menghampiri seorang pria berusia empat puluhan yang mengenakan seragam safari mahal.

"Mbak Jennifer?" tanya pria itu memastikan.

"Ya, Pak," sahut Jen cepat sambil tersenyum ramah.

"Sini saya bawa trolinya, Mbak," pinta pria itu sopan sebelum mengambil troli darinya. Pria itu berjalan menjauh dari kerumunan orang, dan Jen mengikuti dari belakang.

"Pak Neandro sudah menunggu di mobil, Mbak," jelas pria itu saat mereka melangkah menuju sebuah mobil SUV hitam. Mendengar informasi tersebut, Jen sangat senang karena sudah tidak sabar ingin segera bertemu dengan papa.

Langkah Jen terasa ringan. Senyum lebar di wajah tak mampu menutupi rasa bahagia yang menyelimutinya saat ini. Ia sangat merindukan papa dan mama hingga tak sanggup diungkapkan dengan kata-kata. Pria itu terus mendorong troli menuju bagasi mobil, lalu memasukkan koper-kopernya. Dengan cepat, Jen membuka pintu penumpang sembari memasang wajah gembira dan senyum lebar.

"Pa—"

Sapaannya terhenti dan senyum lebar di wajahnya menghilang seketika saat melihat pria yang duduk di kursi dengan pandangan tertuju pada layar ponsel sementara jemarinya bergerak lincah. Jen mendengus kesal dan mengerutkan kening.

"Rupanya kamu sudah tidak sabar bertemu denganku, ya?"

Suara datar dan berat itu bagaikan angin topan yang mengempaskan rasa bahagianya sejauh mungkin. Angelo, yang duduk santai di kursi penumpang, tak menoleh sedikit pun ke arahnya. Jen memerhatikan Angelo yang terlihat sangat jauh berbeda dari 6 tahun yang lalu. Pria itu terlihat lebih tampan, memesona, bahkan memiliki aura mengancam yang membuatnya bergidik ketakutan.

Setelan jas yang Angelo kenakan terlihat mahal dan dijahit mengikuti postur tubuh pria itu. Dengan rambut tersisir rapi bak pemimpin gangster dan janggut serta kumis halus yang terpangkas sempurna, membuat penampilan Angelo benar-benar memukau namun berbahaya. Ia benar-benar tidak menyangka perubahan si Alien menyebalkan bisa berubah begitu drastis. Sial!

"Kurasa kamu terlalu terpesona padaku sampai ...."

Angelo tidak menyelesaikan kalimatnya saat melihat Jen yang masih berdiri di luar mobil. Jen memerhatikan tatapan menyelidik Angelo yang menatapnya dari ujung rambut hingga kaki seakan-akan ia adalah barang yang hendak dijual.

"Ternyata ... sekali itik buruk rupa, tetaplah buruk rupa. Itik tidak akan pernah berubah menjadi angsa meskipun dilapisi pakaian mahal dan dihiasi riasan sempurna. Kamu harus menerima kenyataan itu!" sindir Angelo sinis dan tegas, lalu kembali berkutat dengan ponsel.

Jen ternganga mendengar hinaan itu. Tak ada seorang pun yang mampu menyakiti perasaannya dengan ucapan, kecuali Angelo. Ia tidak percaya Angelo lahir dari seorang wanita berhati lembut dan penuh kasih sayang seperti mama Maira. Angelo benar-benar seperti alien yang muncul di tengah pasangan suami istri yang sempurna.

"Pantas saja tak ada wanita yang mau denganmu sampai Mama harus menjodohkan kita berdua. Mulutmu melebihi mulut harimau!" balas Jen tegas dan kesal. Angelo menoleh cepat mendengar ucapannya, lalu mengerutkan kening seraya menatapnya geram.

"Oh, sekarang kamu sudah berani menjawabku, ya? Jangan besar kepala, Iper! Aku bisa mendapatkan wanita yang lebih baik darimu," balas Angelo tipis, menahan amarah.

Jen mendengus kesal. Ia tidak suka saat Angelo memanggilnya 'Iper'. Ibunya memberi nama yang indah. Jennifer. Tapi, Angelo memanggil namanya dengan sembarangan, membuatnya lebih terdengar seperti 'iler'.

Tanpa menunggu disuruh masuk, Jen langsung duduk di sebelah Angelo dan menutup pintu di sampingnya. Jen melipat kedua tangan di depan dada, membuang wajah ke samping, dan menatap keluar jendela.

Anggap dia tidak ada, Jen! Anggap dia tidak ada! ingat Jen pada dirinya sendiri. Ia masih bisa merasakan tatapan tajam Angelo, tapi ia berusaha kuat untuk tidak peduli. Pria berpakaian rapi tadi langsung menutup pintu bagasi, lalu duduk di belakang kemudi.

"Langsung ke rumah," perintah Angelo datar.

"Rumah Mama, Pak!" lanjut Jen cepat, lebih menyerupai permintaan.

"Tidak!" jawab Angelo tak kalah cepat, "rumahku."

Jen menoleh cepat dengan mata terbelalak. Mama tidak mengatakan kalau ia harus tinggal bersama Angelo. Mama hanya memintanya bekerja sebagai asisten pribadi Alien ini. Gawat! Ini adalah malapetaka. Aku bisa mati berdiri kalau harus serumah dengannya, batin Jen panik yang langsung mengeluarkan ponsel dari tas selempang.

Ia segera menghubungi mama. Tapi, mama tak menjawab panggilannya meskipun ia sudah menghubungi lebih dari tiga kali. Ia mencoba menghubungi papa, dan hasilnya pun sama.

"Tidak akan berhasil," celetuk Angelo.

"Maksudmu?" tanya Jen kesal.

"Mereka sudah merencanakan ini," jawab Angelo singkat. Jen kembali mengembuskan napas frustrasi, menggeram kesal, lalu memasukkan ponsel kembali ke tas.

"Seharusnya aku yang frustrasi karena harus menikahimu. Dasar, itik buruk rupa yang menyebalkan!" celetuk Angelo tipis, membuat Jen mengerut tersinggung. Ia tidak menyangka bahwa semakin bertambah umur ternyata tingkat ketajaman lidah pria itu pun semakin bertambah.

"Kamu kira aku mau menikah denganmu?" tantang Jen sinis, "aku melakukan ini karena Mama. Karena hutang budi, itu saja!"

"Benarkah?" tanya Angelo sambil berdecak sinis dan mengangkat salah satu alis, tampak meremehkannya.

"Tentu saja! Kamu kira aku mau punya suami jahat, ketus, sinis, dingin, tidak punya hati, dan menyebalkan seperti dirimu? Lebih baik aku perawan seumur hidup daripada harus menikah denganmu!" ungkap Jen lantang, tidak ingin tunduk lagi pada sikap kejam Angelo. Pria itu menatapnya tajam penuh amarah. Namun, perlahan-lahan raut amarah itu berubah menjadi senyum simpul sinis yang membuat Jen bergidik ketakutan.

"Glad to hear that! Kalau begitu terimalah tawaranku, dan kujamin kamu akan bahagia seumur hidup," ucap Angelo dalam dan misterius. Jen menatap curiga Angelo. Ia tidak tahu apa yang akan ditawarkan pria itu padanya, yang ia tahu Angelo pasti memiliki niat buruk padanya.

"Tawaran apa?" tanya Jen singkat.

"Bantu aku membatalkan perjodohan ini," jawab Angelo dengan seringai dan tatapan liar. Jen tersentak mendengar penawaran itu.

Membatalkan perjodohan ini? Bisakah? Bagaimana caranya? Apa boleh kami membatalkan perjodohan ini? Lalu ... bagaimana dengan mama? Astaga! Tawaran Angelo benar-benar menggoda. Aku bisa bebas menikah dengan pria pilihanku dan hidup bahagia. Tapi, apa mama akan bahagia?

Pertanyaan demi pertanyaan mengisi pikirannya saat ini. Tawaran itu membuatnya goyah. Tentu saja, ia ingin sekali perjodohan ini dibatalkan. Tapi, membayangkan raut kecewa mama sama saja seperti menghancurkan harapan yang selama ini mama gantungkan padanya.

Oh, tidak! Aku tidak ingin mengecewakan Mama. Tapi, aku juga tidak ingin menikah dengan Angelo. Bagaimana ini?

*****

 

BAB 3

Sinar matahari bersinar cukup terik saat mereka tiba rumah Angelo yang berada di salah satu perumahan elite daerah Jakarta Selatan. Bangunan tingkat dua dengan kolam renang pribadi di bagian belakang, merupakan alasan utama mengapa Angelo membeli rumah ini. Rumahnya memang tidak semegah dan sebesar milik papa. Tapi setidaknya, rumah bergaya Scandinavia ini adalah hasil jeri payahnya dari memenangkan salah satu tender pembangunan berskala internasional.

Tanpa berlama-lama, Angelo segera keluar setelah sopir memarkirkan mobil di halaman parkir. Ia pun bergegas menuju pintu masuk tanpa menunggu Jen keluar dari mobil. Angelo membuka pintu rumah yang langsung mengarah ke ruang tamu. Kolam renang, yang terlihat jelas dari dinding kaca yang memisahkan ruang tamu dengan ruang kolam, tampak begitu menggoda.

Berenang. Ya, mungkin ia butuh merasakan dinginnya air untuk meredam gelora panas yang  mulai menyelimutinya sejak di bandara. Angelo berhenti tepat di samping sofa panjang yang ada di ruang tamu, lalu melipat kedua tangan di depan dada sambil menunggu kedatangan Jen. Berselang beberapa detik kemudian, wanita itu dan sopir muncul di hadapannya.

"Letakkan itu di kamar atas," perintah Angelo datar pada sopir. Pria itu langsung bergerak cepat meninggalkan mereka berdua, membawa koper Jen ke kamar yang sudah disiapkan sebelumnya. Mata Angelo kembali tertuju pada Jen, dan menelitinya. Untuk kedua kalinya—ia benci mengakui hal ini—ia kembali terdiam menatap perubahan drastis Jen.

Kacamata bulat yang dulu selalu membingkai mata itu, sudah tidak ada. Membuat mata hitam pekat Jen terlihat lebih jelas dan indah. Rambut hitam yang dulu selalu dikuncir, sekarang dibiarkan tergerai indah dengan warna merah kecokelatan, yang membuat kulit putih Jen terlihat menonjol.

Tubuh yang dulu selalu mengenakan pakaian sederhana, sekarang terlihat sangat menggoda. Bahkan, Angelo tak bisa mengalihkan pandangannya dari lekukan payudara di balik tank top hitam yang wanita itu kenakan. Celana panjang skinny jeans melekuk mengikuti lekukan kaki jenjang Jen. Sementara jaket denim yang wanita itu kenakan, membuat penampilan Jen seperti wanita nakal yang siap menerima hukuman nikmat duniawi darinya.

Wajah yang dulu terlihat polos, kini dihiasi riasan sempurna yang membuat Jen terlihat begitu cantik dan menggoda. Tapi, sekali itik tetaplah itik. Dia tidak akan pernah pantas untukku! batin Angelo sinis seakan berusaha meyakinkan dirinya bahwa wanita itu tetaplah anak haram yang tidak akan pernah pantas menjadi pasangan.

"Ikuti aku," ucap Angelo datar pada Jen, lebih menyerupai perintah. Jen mengikuti langkahnya dari belakang dengan patuh hingga mereka tiba di ruang TV. Angelo menggeser pintu kaca yang langsung mengarah ke kolam renang. Ia melangkah menuju area kolam renang berukuran persegi panjang yang dihiasi tanaman merambat di dinding, yang memberi kesan sejuk dan indah.

"Kamu bebas melakukan apa yang kamu mau di sini. Tapi, jangan pernah masuk ke kamarku!" ingat Angelo saat Jen menatap kolam renang yang menggoda di siang hari yang terik. Jen menoleh dan menaikkan salah satu alis mata, seakan menganggap remeh peringatannya.

"Aku tidak akan ke kamarmu kecuali kamu pingsan, dan aku terpaksa harus menyeretmu dari atas ke bawah," balas Jen cepat dan ketus, tidak memedulikan sikap dingin dan sinis yang berusaha Angelo tunjukkan. Jen langsung mengalihkan pandangan darinya dan melangkah menjauh sembari memerhatikan sekitar.

Tanpa disadari, senyum kecil tersungging di wajah Angelo mendengar keketusan yang Jen tunjukkan. Tampaknya wanita itu tidak takut sedikit pun padanya, dan hal ini merupakan tantangan baru untuk Angelo. Ia tidak tahu mengapa Jen bisa berubah drastis dari seorang wanita yang pendiam, penurut, serta lugu menjadi wanita yang cerewet, menyebalkan, dan selalu membuatnya menggemeretakkan gigi. Ini benar-benar di luar ekspektasinya.

Angelo menyadari, kebencian yang Jen miliki terhadap dirinya adalah keuntungan yang dapat ia manfaatkan. Ia yakin Jen akan membantunya untuk membatalkan perjodohan itu. Lagi pula, tidak ada yang dirugikan jika perjodohan ini dibatalkan. Jen bisa kembali ke Jepang, dan ia bisa hidup dengan tenang di sini.

"Baiklah ... aku ingin membicarakan tentang tawaranku tadi," ucap Angelo tipis, membuat Jen berhenti melangkah dan berbalik menatapnya.

"Aku tidak mau!" tolak Jen lantang dan tegas.

Angelo tidak mengharapkan jawaban itu sama sekali. Namun, Jen terlihat sangat yakin dengan keputusannya dan tampak ingin mengendalikan keadaan. Sementara Angelo, yang memiliki sifat dominan dan keras kepala, tidak akan membiarkan siapa pun mengendalikan dirinya. Ia menarik napas panjang, berusaha mengendalikan dirinya agar tidak meledak.

"Kamu tidak tahu keuntungan apa yang akan kamu terima di balik tawaranku. Jangan sampai kamu menyesal karena sudah menolaknya," pancing Angelo, berusaha mengubah keputusan Jen.

"Aku akan lebih menyesal melihat Mama yang kecewa karena kita membatalkan perjodohan," sahut Jen tegas, tanpa ada keraguan sedikit pun.

Wanita itu mulai bergerak mendekat dengan sikap tenang. Tidak terlihat rasa takut ataupun gugup di wajah Jen. Wanita ini benar-benar berbeda dengan sosok Jen yang ia kenal. Dulu, Jen selalu berusaha menjaga jarak bahkan tidak ingin berada di satu ruangan dengannya. Tapi sekarang, Jen terlihat begitu berani bahkan tampak seperti menantangnya.

"Aku bisa memberikan keuntungan besar untukmu jika kamu mau membatalkan perjodohan ini. Kamu bahkan bisa mengunjungi tempat-tempat indah di dunia, yang mungkin hanya bisa kamu lihat di TV," tawar Angelo lagi, masih berusaha menggoyahkan Jen. Tapi tampaknya tak sedikit pun wanita itu tergoda. Jen malah menggeleng dan menatapnya dengan raut kecewa.

"Bisakah kamu mencoba untuk tidak egois sekarang?" tanya Jen tampak berusaha sabar menghadapi Angelo. Tapi, ia tidak butuh nasihat apa pun saat ini. Yang ia inginkan hanyalah membatalkan perjodohan. Itu saja.

"Tidak bisa!" jawab Angelo tegas dan menantang.

"Kamu tidak tahu bagaimana Mama selalu menaruh harapannya pada kita sejak dulu. Impian Mama sudah terpatri dalam pikiranku, dan aku tahu bagaimana hancurnya perasaan Mama jika kita membatalkan perjodohan ini," jelas Jen, berusaha memberi pengertian.

"Aku tahu seperti apa Mamaku," sahut Angelo ketus seraya menekan nada suaranya saat mengatakan 'mamaku'.

"Aku juga tahu bagaimana Mama jika menginginkan sesuatu. Kamu tidak perlu memikirkan apa yang Mama rasakan karena dia bukan Mamamu!" lanjut Angelo tegas yang membuat Jen tersentak kaget. Jen menggeleng dengan raut sedih, lalu terdiam sejenak. Jantung Angelo berdebar sedikit lebih cepat dan rasa panas dalam tubuhnya terasa semakin menggelora karena amarah mulai mengendalikan pikirannya.

"Aku tahu dia bukan Mamaku," ucap Jen lirih sembari mengunci tatapannya, "tapi dia sangat mencintai dan menyayangiku. Itulah mengapa aku tidak tega untuk mengecewakannya. Aku tahu aku tidak berhak menasihatimu, tapi aku berhak memilih perasaan siapa yang akan kujaga di sini."

"Kamu tidak akan mendapatkan keuntungan apa-apa dengan adanya perjodohan ini. Kamu akan menderita hidup bersamaku!" ancam Angelo, berusaha menakuti Jen.

"I don't care," sahut Jen cepat dengan sikap tenang, "asal kamu tahu, melihat Mama dan Papa bahagia melebihi semua keuntungan yang mungkin bisa kamu tawarkan untukku. Aku tidak ingin yang lain."

"Astaga! Jangan naif, Iper! Apa kamu tidak mau menikah dengan pria yang kamu cintai?" tanya Angelo kesal bercampur bingung dengan keputusan Jen. Ini benar-benar sangat tidak masuk akal.

"Aku tidak naif. Dan namaku Jennifer, bukan Iper!" sahut Jen kesal. Angelo memutar bola mata, muak dengan penolakan Jen.

"Kalau bukan naif, lalu apa namanya? Bodoh?" tanya Angelo geram. Jen menarik napas panjang dan mengembuskannya secara perlahan, tampak berusaha mengendalikan diri. Angelo tidak suka melihat sikap Jen. Sikap yang seakan menganggap dirinya bak anak kecil yang merajuk karena sesuatu hal yang sepele. Tidak! Ini tidak sepele. Ini masa depannya. Dan, tak ada yang sepele jika menyangkut masa depannya.

"Ini adalah hidupku. Keputusanku. Aku sudah memperoleh semua kebahagiaan yang tak tergantikan sejak keluargamu merawat dan membesarkanku dengan penuh cinta. Tak ada yang bisa menggantikan semua itu, bahkan kebahagiaan duniawi yang kamu tawarkan padaku sekali pun. Kuharap kamu mengerti, Angelo," jawab Jen tenang dan tulus.

"Dan kamu juga harus mengerti, ini adalah hidupku. Aku hanya ingin yang terbaik yang berhak masuk dalam kehidupanku, dan kamu ... bukanlah salah satunya!" ucap Angelo tegas dan dalam, seraya melemparkan tatapan tajam penuh kebencian pada Jen.

Raut Jen berubah menjadi kaku, sementara mulutnya ternganga mendengar ucapan Angelo. Ia tahu betapa kasar ucapannya. Ia juga tahu, betapa dalam luka yang ia torehkan saat ini. Tapi, ia tidak peduli. Ia hanya ingin Jen pergi dari kehidupannya. Jen tidak pantas menjadi pendamping hidupnya. Tidak akan pernah pantas!

Jen langsung berbalik dan melangkah masuk ke rumah tanpa memberikan perlawanan. Angelo tidak akan tinggal diam. Ia pun langsung menarik pergelangan tangan Jen, dan menghentikan langkah wanita itu. Dengan kasar, Jen melepas cengkeramannya, lalu melemparkan tatapan penuh amarah padanya.

"Sayangnya ... bagi Mama, akulah yang terbaik untukmu!" ucap Jen tipis dan tegas sebelum air mata jatuh membasahi pipi.

Angelo tertegun menatap kepergian Jen yang segera menaiki anak tangga menuju lantai atas. Selama mereka saling mengenal, Angelo sama sekali tidak pernah melihat wanita itu menangis. Tapi sekarang ... ia merasakan sesuatu yang aneh.

Ia berdiri mematung dengan rasa panas yang menjalar di sekujur tubuhnya. Tarikan napasnya terasa berat dan jantungnya berdebar sangat cepat. Ini seperti rasa bersalah yang teramat dalam hingga membuatnya ingin mengejar wanita itu dan meminta maaf. Namun dengan secepat kilat, Angelo menepisnya.

*****

Jen menangis, melampiaskan rasa kesal dan sakit hatinya. Jen meringkuk seperti bayi dalam kandungan sembari mengingat kembali ucapan Angelo. Ia tahu betapa tajam lidah Angelo setiap kali berbicara dengannya, tapi apa yang dikatakan Angelo tadi benar-benar melukai perasaannya.

Jen menyadari kalau pria itu selalu memandang rendah dan tak pernah menghargai keberadaannya. Tapi, seharusnya Angelo harus bisa menerima kehadirannya sekarang, walaupun hanya sedikit. Karena—mau atau tidak—ia adalah calon istri Angelo.

Dering ponsel mencoba menghentikan tangisnya. Jen terpaksa bangun dan mengambil ponsel yang ia letakkan di meja rias. Nama mama terpampang di layar. Ia tidak ingin menjawab panggilan itu, ia hanya butuh menyendiri dan menangis hingga puas.

Akhirnya, dering ponsel pun berhenti, tapi beberapa detik kemudian kembali berdering. Tampaknya mama tidak akan berhenti menelepon sampai ia mau menjawab. Akhirnya, Jen menarik napas panjang beberapa kali, berusaha menenangkan diri sebelum menjawab panggilan itu.

"Ya, Ma," sahut Jen lembut, berusaha keras menekan isak tangis yang ingin melesat keluar.

"Bagaimana Angelo? Apa dia bersikap baik padamu?" tanya mama antusias, tidak sabar mendengar kabar darinya.

"Baik, Ma," jawab Jen berbohong.

"Benarkah? Jangan bohong sama Mama, ya. Kalau dia bersikap tidak sopan atau menyakitimu, kasih tau Mama. Biar Mama tegur," pesan mama penuh perhatian.

Inilah yang membuat Jen tidak tega melukai perasaan mama. Perhatian, cinta kasih, dan kelemahlembutan yang mama berikan, membuat dunianya terasa lengkap. Ia tidak butuh yang lain. Ia hanya butuh mama. Air mata kembali menetes, rasa sedih semakin menyelimutinya.

"Jennifer," panggil mama lembut, menyadari sikap diamnya. Jen menarik napas panjang, berusaha keras mengendalikan dirinya.

"Iya, Ma," sahut Jen pelan.

"Mama tahu bagaimana Angelo. Maukah kamu bertahan dan menerima dia dengan segala keburukannya?" tanya mama lembut. Ingin rasanya ia menjawab 'tidak', tapi tentu saja jawaban itu akan melukai perasaan mama. Jen memejamkan mata dan mengingat kembali ucapan kasar Angelo sebelumnya.

"Mama selalu berikan yang terbaik untukku dan ... aku yakin kalau Angelo adalah yang terbaik," jawab Jen pasrah.

"Syukurlah kalau begitu. Mama senang mendengarnya," sahut mama cepat, "oh, iya. Mama akan ke kantor Angelo besok. Siangnya kita akan makan bersama. Papa sudah memesan tempat di salah satu restoran dekat kantor Angelo. Sampai ketemu besok, Sayang."

"Iya, Ma. Sampai ketemu besok," sahut Jen pelan, "I love you, Ma."

"Mama love you more, Jen," balas mama lembut. Jen meletakkan ponsel di meja rias dan termenung. Ia tahu ini adalah jalan terbaik meskipun ia tidak tahu apakah Angelo akan berubah suatu hari nanti. Tapi setidaknya ... ia akan berusaha membahagiakan mama dan papa.

*****

 

BAB 4

Deru mobil terdengar jelas saat kendaraan itu keluar dari halaman parkir. Jendela kamar Jen, yang menghadap langsung ke halaman depan rumah, memudahkannya untuk memerhatikan mobil Angelo pergi hingga menghilang dari pandangannya. Suara dan ucapan kasar Angelo masih terngiang jelas di telinganya. Namun bukan Jen namanya jika tidak bisa mengontrol perasaannya, meskipun masih ada sedikit rasa sakit dalam hatinya.

Jen menarik napas panjang sebelum berbalik menuju koper-kopernya yang diletakkan di depan lemari pakaian. Ia menarik koper merah besar, lalu mengangkatnya ke tempat tidur. Ia mengeluarkan sebuah kotak hitam kecil dari koper, lalu duduk di pinggir tempat tidur.

Jen mengeluarkan selembar foto pria berusia tiga puluhan dari kotak. Senyum ramah dan wajah berkarisma tampak seperti sedang menatapnya. Inilah alasan lain kepulangan Jen ke Jakarta.

Ia mengeluarkan sebuah amplop dari mendiang ibu kandungnya, yang mama berikan pada Jen saat ia berusia 12 tahun. Saat di mana ia mengetahui kebenaran tentang dirinya. Dibukanya amplop yang sudah tampak usang, lalu membaca surat yang sudah rapuh karena terlalu sering dibaca.

'Jangan cari ayahmu, Jennifer. Dia tidak berhak mengenalmu. Dia bukan ayah yang baik. Dia meninggalkan kita saat tahu ibu mengandungmu. Ibu mohon, jangan cari dia!'

Pesan itu seakan-akan sudah terpatri dalam ingatannya. Ia tahu, ia tidak boleh mencari pria itu. Tapi, ia ingin sekali mengenal ayah kandungnya. Beberapa tahun yang lalu, Jen sempat mencari keberadaan ayah via internet menggunakan nama yang ibu tuliskan di balik foto. Tapi secepat kilat Jen mengurungkan niatnya. Ia tidak berani, atau lebih tepatnya ia belum siap mengetahui kebenarannya.

Tapi itu dulu. Sekarang, di usianya yang mau memasuki 26 tahun, ia sudah siap dan bertekad untuk mengenal ayahnya sebelum menikah dengan Angelo. Jen tahu, mama dan mendiang ibu pasti tidak menyukai keputusannya. Tapi, ia harus menemukan ayah.

Selama ini, ia hanya tahu cerita tentang ayah dari mama dan surat yang ibu tulis. Semua tentang keburukan ayah dan bagaimana ayah memperlakukan ibu. Tapi, ada yang mengganjal di hati Jen setiap kali mengingat cerita-cerita itu.

Jen menyadari bahwa setiap cerita pasti memiliki dua sisi, dua sudut pandang. Ia ingin tahu seperti apa cerita versi ayah. Dulu, ia selalu menyalahkan ayah karena menelantarkan dirinya. Namun seiring bertambahnya usia, cara berpikirnya pun jadi lebih dewasa. Ia tidak lagi menyalahkan ibu atau ayah atas nasib yang ia alami. Ia juga menyadari bahwa kehamilan ibu pasti terjadi atas dasar cinta. Jadi, tidak adil rasanya jika semua kesalahan ditujukan pada ayah seorang.

"Maafkan aku, Ibu. Aku harus mencarinya. Aku harus tahu seperti apa cerita yang sebenarnya. Aku ingin mengenalnya," ucap Jen sedih sambil memeluk surat dan foto itu di dada.

Jen kembali memasukkan surat serta foto ke kotak, lalu beranjak dari tempat tidur dan menyimpannya di laci meja rias. Ia akan mencoba mencari keberadaan ayah secara diam-diam. Jen tidak ingin mama dan papa berpikiran lain atas keputusannya ini. Seandainya ia sudah mengenal ayah kandungnya, hal itu tidak akan menyurutkan sedikit pun rasa cinta dan sayangnya pada mama dan papa.

Jen melihat jam di pergelangan tangan, waktu menunjukkan pukul satu siang. Perutnya mulai bergemuruh lapar. Ia pun memutuskan untuk mandi dan membuat makan siangnya sendiri.

'Kamu bebas melakukan apa yang kamu mau di sini.'

Itulah yang Angelo katakan padanya, dan Jen berniat melakukan apa yang ia mau sejak saat ini. Ia juga akan tetap pada pendiriannya untuk melanjutkan perjodohan itu meskipun Angelo berniat buruk padanya.

"Aku tidak peduli! Masih banyak yang harus kulakukan daripada harus meladeni si alien egois kepala batu itu. Awas saja kalau dia berani bersikap kasar lagi padaku! Aku akan kasih tahu Mama," gumam Jen sedikit kesal seraya mengeluarkan pakaian dari koper.

Baru saja ia berjalan beberapa langkah menuju kamar mandi, suara pesan masuk membuatnya berbalik. Jen mengambil ponsel yang ia letakkan di meja kecil samping tempat tidur. Ia mengusap layar ponsel, dan senyum merekah di wajahnya saat melihat nama itu.

'Bagaimana penerbangannya?
Jangan lupa jaga kesehatan, ya.
Already miss you.'

Perasaan Jen berbunga-bunga membaca pesan dari Kenichi, pria yang dekat dengannya di Jepang. Sudah lama mereka berhubungan baik, bahkan bisa dikatakan lebih dari teman meskipun kata cinta belum pernah terucap. Tentu saja Jen menyukai Ken. Tapi, karena statusnya yang merupakan calon istri Angelo, Jen hanya bisa memendam perasaan itu.

Setidaknya aku tahu bagaimana rasanya jatuh cinta dan dicintai oleh seseorang, batin Jen gembira.

*****

Waktu menunjukkan pukul 16:00. Matanya tertuju pada foto seorang wanita yang tersenyum hangat di layar ponsel. Seorang wanita berparas cantik yang selalu membuatnya terpesona. Seorang wanita yang memiliki senyum terindah yang mampu mewarnai hari-harinya. Seorang wanita yang ia ketahui tak akan mampu ia miliki saat ini karena status perjodohan yang sudah ditetapkan.

Ken beranjak dari kursi kerjanya yang nyaman, lalu berbalik dan berdiri menatap keindahan kota Tokyo di sore hari melalui dinding kaca ruang kerjanya yang berada di lantai 10. Ia membuka pesan terakhir yang Jen kirim padanya. Untuk yang ke sekian kalinya, ia membaca pesan itu seperti anak kecil yang sedang belajar menghafal. Namun ia tak perlu menghafalnya, karena setiap kata dalam pesan itu tersimpan erat dalam ingatannya.

'I miss you too.'

Kalimat penutup yang akhirnya memaksa Ken untuk menghubungi Jen demi meredam kerinduan yang begitu menyesakkan dada.

"Halo, Ken," sapa Jen riang. ia bisa membayangkan bagaimana raut gembira dan senyum lebar yang wanita itu berikan setiap kali bertemu dengannya.

"Kurasa aku akan menyusulmu sekarang, Jen," ungkap Ken jujur.

Ya, itulah yang ia pikirkan semenjak Jen memutuskan kembali ke Jakarta. Menyusul Jen, membatalkan perjodohan itu, dan membawa wanita itu kembali ke Jepang agar bisa menikah dengannya.

"Untuk apa, Ken?" tanya Jen lembut, seakan ungkapan perasaannya hanyalah sebuah rengekan manja seorang anak kecil.

"Untuk bertemu denganmu. Aku benar-benar merindukanmu, Jen. Kupikir aku bisa bertahan selama beberapa hari ke depan, tapi aku salah. Aku bahkan tak sanggup melewati hari ini tanpa kehadiranmu," ujar Ken frustrasi.

"Astaga, Ken. Kumohon, jangan begitu," sahut Jen terharu dengan ungkapan kerinduan Ken.

"Kenapa?" tanya Ken cepat dan kecewa dengan jawaban wanita itu. Ia tidak tahu sudah berapa kali mereka membicarakan hal ini sebelum Jen benar-benar kembali ke Jakarta. Namun jauh di lubuk hatinya, Ken tidak pernah rela melepaskan dan membiarkan wanita yang ia cintai menikah dengan pria lain.

"Ini sudah keputusanku, Ken. Kita sudah sering membahasnya," ujar Jen lembut namun tegas, seakan berusaha menyadarkan bahwa sudah tak ada lagi peluang baginya untuk memiliki wanita itu. Tapi Ken tidak akan menyerah. Ia harus mendapatkan apa yang ia inginkan.

"Aku tahu, Jen. Tapi apa kamu tidak memperhitungkan perasaanku sedikit pun?" tuntut Ken memelas.

"Perasaan apa, Ken?" tanya Jen pelan.

"Aku mencin—"

"Stop, Ken!" bentak Jen lembut.

Ia mendengus kesal, lalu diam sejenak. Jen tidak tahu seberapa besar rasa rindunya saat ini, bahkan ia hampir gila membayangkan wanita itu berada dalam pelukan pria lain. Ken menggeleng kecil, lalu mengembuskan napas pasrah. Ia tahu, Jen sudah mengambil keputusan untuk tetap menjalani perjodohan itu. Tapi tetap saja, ia tidak rela.

"Aku tidak ingin kehilanganmu, Jen," ungkap Ken jujur.

Wanita itu tidak menjawab ungkapan hatinya. Ken menunggu dan menunggu hingga ingin rasanya ia memutuskan panggilan itu, memesan tiket, dan segera terbang ke Jakarta untuk merebut Jen dari pria yang sudah dijodohkan dengan wanita itu. Angelo Neandro.

"Bisakah kita tidak membicarakan hal ini, Ken?" mohon Jen lembut. Ken mengambil napas dalam-dalam, berusaha menenangkan gelora cemburu yang membakar hatinya. Ingin rasanya ia terus mengungkapkan isi hati dan kerinduannya, tapi mendengar Jen memohon seperti itu malah membuatnya merasa bersalah.

Ya, sebesar itulah rasa cinta Ken pada Jen. Budak cinta? Mungkin itu yang ada di benak kalian. Ken tidak menepis hal itu, bahkan ia rela melakukan apa saja demi membahagiakan wanita itu. Ken menarik napas panjang, entah untuk yang ke berapa kali.

"Ceritakan padaku apa yang terjadi di kantor hari ini. Apa semuanya lancar?" tanya Jen yang terdengar sedikit lebih tenang, mengalihkan pembicaraan ke arah yang lebih ringan.

"Seperti biasa. Kamu tahu bagaimana Mama. Dia selalu memonitorku," ucap Ken sabar, mencoba mengikuti kemauan wanita itu meskipun pikirannya masih mencari cara agar bisa memiliki Jen. Ken mulai menceritakan apa yang ia alami seharian ini. Mulai dari hal rutin yang ia lakukan setiap hari hingga ocehan mama yang menuntutnya untuk melebarkan sayap perusahaan.

Sejujurnya, ia memiliki sebuah tuntutan yang harus ia jalani, namun tak pernah ia ceritakan pada Jen. Bukan karena ia tidak percaya pada wanita itu, tapi karena ia tahu kalau tuntutan ini akan mematahkan segala usahanya demi mendapatkan Jen. Akhirnya, mereka terus berbicara di ponsel, menumpahkan rasa rindu yang tak tahu sampai kapan bisa ia tahan.

Tapi satu hal yang pasti. Aku akan tetap ke Jakarta meskipun Jen melarangku.

*****

Matahari mulai tenggelam. Rapat hari ini pun berjalan lancar. Ia sudah selesai mempelajari penawaran harga dari beberapa kontraktor dan sudah menentukan siapa yang akan bekerja sama dengan perusahaannya. Angelo bersandar lelah di kursi, lalu menarik napas panjang.

Pikirannya seketika tertuju pada Jen dan percakapan mereka yang berakhir menyebalkan. Angelo memilih meninggalkan Jen begitu saja di rumah dan pergi ke kantor. Ia berusaha untuk tidak peduli dengan perasaan Jen, dan berharap wanita itu pergi setelah pertengkaran kecil tadi. Namun, entah mengapa perasaan aneh itu kembali merongrongnya setiap kali mengingat air mata Jen.

OK. OK. Aku tahu mungkin ucapanku sedikit kasar. Sedikit. Tapi, aku mengatakan yang sebenarnya, hanya saja ... mungkin pemilihan kata-kataku yang salah, batin Angelo masih berusaha membela diri.

Ia mengembuskan napas frustrasi, lalu beranjak dari kursi kerja, dan memutuskan untuk pulang. Ia tidak menyukai perasaan ini. Perasaan di mana ia merasa seperti manusia paling kejam di dunia.

Angelo pun berniat untuk meminta maaf dan mengutarakan kembali penawaran itu, namun kali ini tanpa harus menyinggung perasaan Jen. Ya, mungkin itu yang harus kulakukan. Sedikit bersikap lembut dan membujuk Jen dengan benar. Mungkin Jen akan berubah pikiran, batin Angelo seraya melangkah keluar dari ruang kerja.

*****

Jakarta–macet. Kedua kata itu seperti sudah diciptakan untuk saling melengkapi, membuat Angelo tiba di rumah pukul 20:15. Ia pun keluar dari mobil saat sopir membukakan pintu. Angelo melangkah tegap sambil membawa sebuket kecil bunga mawar dan sekotak cokelat mahal yang terpaksa ia beli demi melancarkan rencananya.

Ia membuka pintu rumah dan menghirup aroma lezat yang membuat perutnya bergemuruh. Angelo terus berjalan melewati ruang tamu, lalu berbelok ke kiri beberapa langkah sebelum berbelok ke kanan, dan menemukan Jen di sofa panjang. Tampaknya wanita itu begitu asyik menonton TV sambil menikmati potongan buah mangga dalam mangkuk putih.

Jen langsung menoleh ke arah Angelo, seakan menyadari kehadirannya. Pandangan Jen tertuju pada buket bunga dan sekotak cokelat yang ia bawa. Namun, raut cuek yang Jen berikan sebelum mengalihkan pandangan kembali ke TV, membuat Angelo mengerut kesal. Wanita itu tampak tidak memedulikan sikap bersahabat yang berusaha ia tunjukkan. Dan, Angelo tidak suka diperlakukan seperti ini. Tapi, Angelo berusaha keras mungkin untuk tetap tenang dan terus melangkah hingga tiba di samping sofa.

"Aku sudah masak makan malam. Kalau mau makan, kamu bisa ambil sendiri," ucap Jen santai tanpa menoleh sedikit pun.

"Ini untukmu," kata Angelo cepat dan datar seraya menyodorkan buket bunga dan kotak cokelat.

"Untuk apa?" tanya Jen singkat, pandangannya tetap lurus ke TV.

"Permohonan maaf," jawab Angelo tak kalah singkat. Jen langsung menoleh, memicingkan mata, dan menatapnya curiga.

"Sikapmu tidak sesuai dengan niatmu. Lagi pula, aku tidak suka cokelat dan bunga. Aku suka kembang gula dan boneka," balas Jen ketus. Angelo menggemeretakkan gigi, menahan geram dan amarah.

Kalau bukan demi meminta kerja samanya, sudah kulempar buket ini ke tempat sampah! geram Angelo kesal. Ia pun menarik napas panjang, mencoba untuk tetap tenang meskipun rasa panas mulai menjalar perlahan ke sekujur tubuhnya.

"Baiklah, lain kali aku akan beli boneka dan kembang gula. Tapi kamu mau memaafkanku, kan?" tanya Angelo tipis, berusaha terdengar lembut meskipun kalimat itu keluar dari sela-sela giginya yang mengatup rapat.

"Aku sudah memaafkanmu sebelum kamu minta maaf," jawab Jen tenang, lalu kembali menonton TV dan memasukkan sepotong mangga ke mulut. Ah, sial! Lalu untuk apa barang menjijikkan ini? batin Angelo kesal.

"Kamu sudah makan?" tanya Angelo basa-basi.

"Sudah!" jawab Jen singkat sebelum kembali memasukkan sepotong mangga. Angelo masih berusaha menahan diri, sementara cengkeramannya di buket semakin erat. Amarahnya benar-benar memenuhi kepala dan sumpah serapah sudah ada di ujung lidahnya, entah berapa lama lagi ia mampu bertahan.

Angelo menarik napas panjang lagi sebelum duduk di samping Jen, yang melirik sekilas dan segera bergeser menjauh darinya. Angelo tidak akan menyerah sampai Jen setuju untuk membatalkan perjodohan mereka. Jen terus melahap potongan mangga hingga tak bersisa, lalu meletakkan mangkuk di meja sofa.

"Mau temani aku makan?" tanya Angelo pelan seraya meletakkan buket dan kotak cokelat di meja.

"Aku tahu kamu mencoba untuk membahas tentang perjodohan itu, Angelo," ucap Jen tanpa menoleh sedikit pun, "tapi keputusanku sudah bulat. Aku tidak akan mengecewakan Mama." 

Mendengar penolakan Jen untuk yang kedua kalinya, membuat Angelo refleks menarik kuat lengan Jen hingga tubuh wanita itu menempel di dadanya. Tanpa pikir panjang, Angelo melingkarkan salah satu tangannya di tubuh Jen, memenjara wanita itu hingga tak bisa bergerak.

"Tatap aku saat bicara denganku!" ucap Angelo tegas dan geram. Ia tidak bisa menahan emosinya lagi. Jen terbelalak dalam pelukannya dan bibirnya ternganga.

"Lepaskan aku!" bentak Jen kesal mencoba melepaskan cengkeraman dan pelukan Angelo, tapi ia malah semakin mempereratnya.

"Tidak! Kamu harus membatalkan perjodohan itu. Harus!" paksa Angelo tegas.

"Kenapa bukan kamu saja yang bilang ke Mama? Kenapa harus aku?" tanya Jen kesal, "lepaskan!"

"Mama tidak akan mendengarkanku!" jawab Angelo ketus.

"Mama juga tidak akan mendengarkanku," ungkap Jen geram, menatapnya tajam.

"Mama pasti mendengarkanmu!" paksa Angelo lagi.

"Kenapa?" tanya Jen bingung.

"Karena Mama lebih sayang padamu!" ungkap Angelo murka seraya melepas pelukan, lalu mengentak keras lengan Jen hingga terlepas dari cengkeramannya. Jen memeluk dirinya sendiri sambil meringis kesakitan.

Mereka terdiam sesaat. Angelo tidak mengerti mengapa kalimat itu terlontar dari mulutnya, tapi memang itulah yang ia pikir dan rasakan selama ini. Mama sangat menyayangi Jen, melebihi rasa sayang mama padanya. Bahkan, ia berpikir kalau perjodohan ini dibuat agar Jen bisa tetap berada dalam lingkaran keluarga Neandro karena mama takut kehilangan Jen.

Namun, melihat raut bingung Jen saat ini seakan menegaskan bahwa Jen sama sekali tidak menyadari perbedaan rasa sayang yang mama berikan pada mereka berdua. Jen beranjak dari sofa, melangkah menjauh darinya dengan wajah kesal.

"Kamu mau ke mana?" tanya Angelo cepat.

"Aku tidak mau berada di dekatmu kalau kamu sedang marah seperti itu," jawab Jen ketus, melangkah menuju tangga. Angelo bisa mendengar sedikit getaran di suara Jen. Apa dia akan menangis lagi? batin Angelo curiga.

Angelo segera beranjak dan menghampiri Jen yang terlihat seperti berusaha lari darinya. Angelo menarik pergelangan tangan Jen, membuat wanita itu berhenti melangkah dan berbalik menghadapnya.

"Kenapa kamu selalu menarikku tanganku? Aku bukan layangan!" protes Jen sambil mengentak cengkeramannya hingga terlepas.

"Kenapa kamu selalu pergi setiap kali berbicara denganku?" tanya Angelo balik.

"Memang apa lagi yang mau dibicarakan? Kamu sudah tahu jawabanku!" jawab Jen cepat dan tegas dengan tatapan sinis.

"Tapi, aku belum selesai bicara!" balas Angelo geram dengan nada sedikit keras.

"Apa lagi, Angelo? Apa lagi? Aku tidak akan membatalkan perjodohan itu. Aku tidak mau menyakiti perasaan Mama. Kamu benar-benar—"

Angelo langsung membungkam bibir Jen dengan ciuman yang dalam dan keras. Ia menarik dan menangkup geram wajah Jen dengan kedua tangannya. Geram. Ya, ia sangat geram dengan kekerasan hati Jen. Ia tak tahu harus melakukan apalagi untuk membuat wanita itu tunduk padanya.

Ciuman. Satu-satunya cara untuk membungkam penolakan wanita itu. Tapi, Angelo sama sekali tidak memperhitungkan getaran hebat dan sengatan kuat yang menyengatnya bak aliran listrik saat bibirnya menyentuh bibir Jen. Jantung Angelo berdebar cepat—sangat cepat, hingga membuatnya ingin meledak. Bibir Jen yang terasa hangat, lembut, dan manis disertai aroma mangga yang harum, membuat Angelo tak ingin melepaskan ciuman itu.

Jen segera mendorong tubuh Angelo sekuat tenaga hingga tautan bibir mereka terlepas. Napas mereka pun terengah-engah. Mata Angelo tertuju pada bibir Jen yang merekah menggoda dan—ia kembali membenci untuk mengakui—ia ingin merasakan bibir itu lagi. Gelombang gairah yang bercampur dengan amarah membuat tubuh Angelo terasa begitu panas. Jantungnya terus berdebar cepat, hingga membuat tubuhnya sedikit bergetar.

"K-kamu ... alien menyebalkan!" teriak Jen geram seraya melayangkan pukulan kuat ke pundak Angelo dengan kepalan tangan. Wanita itu berbalik, lalu berlari menaiki anak tangga, dan meninggalkan Angelo yang terperangah menatap Jen menghilang dari pandangannya.

Alien? Dia memanggilku alien?

****

 

BAB 5

Kesal! Jen masih belum bisa melupakan ciuman semalam. Sudah berkali-kali ia mencuci mulut dengan sabun, tapi tetap saja tidak bisa menghapus sensasi bibir Angelo di bibirnya. Ia bahkan bermimpi buruk karena ciuman itu, dan terbangun dengan rasa pening di kepala—yang membuatnya harus meneguk dua butir paracetamol pagi ini.

It was the worse kiss ever! batin Jen kesal. Jen tidak pernah menyangka kalau Angelo tega merebut ciuman pertamanya. Seharusnya, ciuman pertama menjadi kenangan terindah bagi setiap wanita. Tapi, dengan mudahnya Angelo menghancurkan harapan Jen akan ciuman pertamanya. Jen memang tidak mengharapkan perlakuan lembut dan romantis layaknya sepasang kekasih yang hendak menikah karena cinta. Tapi ia berharap, setidaknya Angelo bisa memperlakukannya dengan baik, mengingat dirinya adalah calon istri pria itu.

Menyandang status sebagai calon istri Angelo membuat Jen selalu menjaga dirinya. Jangankan berciuman, berpelukan dengan pria lain saja tidak pernah. Bukan karena ia tidak bisa melakukan hal gila di luar sana dengan pria lain, tapi karena ia tahu tubuhnya adalah milik Angelo. Ia memang membenci Angelo—sangat—tapi bukan berarti ia bisa semena-mena dengan jalan hidupnya. Karena, ia adalah calon istri Angelo, dan tak ada yang bisa mengubah kenyataan itu.

Jen mengerutkan kening selama perjalanan menuju kantor. Rasa peningnya tak kunjung menghilang. Keberadaan Angelo di dekatnya malah membuat jantung Jen berdebar lebih cepat dari yang seharusnya. Dan lebih parahnya lagi, indra penciumannya pagi ini tiba-tiba berubah menjadi setajam seekor anjing pengintai. Aroma segar dan maskulin Angelo menyeruak memenuhi indra penciumannya. 

Jen hanya bisa duduk kaku bak patung sambil menoleh ke luar jendela, sementara Angelo sibuk membalas pesan di ponsel. Ia ingin segera menjauh, atau setidaknya berada di ruangan yang berbeda dengan Angelo. Ia tidak ingin melihat wajah pria itu ataupun menghirup aroma maskulin yang malah membuat pikirannya memikirkan hal-hal seksi nan menggoda.

Tidak! Angelo tidak seksi. Dia bahkan tidak menggoda sama sekali. Dia alien terjelek, menyebalkan, dan paling buruk sedunia! geram Jen kesal sambil terus memandang ke luar jendela. Mereka tidak berbicara sama sekali selama perjalanan menuju ke kantor, bahkan kata maaf tak terucap sedikit pun dari bibir Angelo. Jen benar-benar kesal saat ini.

Tiba-tiba, ponsel Jen bergetar. Ia langsung mengeluarkan ponsel dari tas kecil, lalu melihat pesan Ken yang menyapanya pagi ini.

'Good morning, Jen.
Bagaimana pagimu?'

Senyum kecil langsung menghiasi wajah Jen. Setidaknya aku punya teman yang perhatian dan baik padaku, batin Jen semringah, merasakan kebahagiaan mulai menghangatkan tubuhnya secara perlahan.

post-image-62dfa5c7217c6.jpg

Wajah Jen merona seketika saat membaca pesan Ken.

post-image-62dfa602e713b.jpg
post-image-62dfa63123a13.jpg

Jen memasukkan ponsel ke tas. Pikirannya pun tertuju pada Ken dan hubungan yang sebenarnya sedang mereka jalani saat ini. Tidak! Jen tidak berpacaran dengan Ken. Bahkan, kata cinta tak pernah terucap dari bibir Jen. Namun perhatian, kasih sayang, dan kehangatan yang Ken berikan pada Jen layaknya kekasih yang sangat mencintai pasangannya.

Ken tahu status Jen, namun hal itu sama sekali tidak membuat Ken menjauh darinya. Jen menyayangi Ken, tentu saja. Bahkan jauh di dalam lubuk hatinya, Jen mencintai Ken. Bagaimana tidak, Ken selalu ada untuk Jen, layaknya seorang kesatria yang selalu siap membahagiakan Jen. 

Ken tak pernah memaksanya untuk membatalkan perjodohan itu, karena Ken tahu Jen sudah bertekad untuk menikah dengan Angelo. Meskipun sesekali Ken sulit menahan luapan perasaannya, tapi pada akhirnya Ken selalu meminta maaf dan berusaha menghargai keputusannya. Mereka hanya sebatas teman. Ya, hanya teman. Teman tapi mesra.

Akhirnya, setelah tenggelam dalam kemacetan kota Jakarta di pagi hari, mereka pun tiba di sebuah gedung perkantoran yang menjulang tinggi. Mobil berhenti di depan pintu masuk, lalu sopir membukakan pintu untuknya. Jen segera keluar, disusul Angelo dari belakang. Setelah itu, sopir segera membawa mobil ke basement.

Jen mengikuti langkah Angelo ke meja penerima tamu. Jen segera menukarkan KTP-nya dengan kartu tamu, namun Angelo langsung meninggalkan Jen begitu saja. Setelah menerima kartu tamu, Jen segera menghampiri Angelo, yang berjalan menuju barisan pintu lift, sembari menjepit kartu tamu di kantong kemeja biru mudanya.

Ia berdiri tepat di samping Angelo, melemparkan lirikan kesal pada pria itu. Tapi, Angelo tetap memasang raut datar seakan tidak menganggap keberadaannya. Jen berusaha keras untuk tetap bersabar, meskipun sejujurnya ia ingin sekali menjambak rambut Angelo dan mencakar wajahnya.

Mereka menunggu sejenak di depan lift bersama beberapa orang, hingga akhirnya pintu bergerak terbuka. Mereka pun bergegas masuk lift. Jen memerhatikan Angelo yang langsung menjaga jarak darinya setelah menekan tombol 20. Apa-apaan itu? Memangnya aku ini virus mematikan sampai harus menjaga jarak? batin Jen kesal sambil menggeleng kecil.

Lift bergerak cepat membawa mereka ke lantai 20, dan saat pintu terbuka, Angelo segera keluar lift. Jen mengikuti Angelo yang langsung melangkah menuju pintu kaca yang terbuka otomatis. Dua wanita cantik berseragam biru langit, yang duduk di belakang meja penerima tamu, segera beranjak menyambut kedatangan Angelo dengan senyum palsu yang terlihat jelas di mata Jen.

Tanpa membalas sapaan kedua resepsionis, Angelo segera berbelok menuju sebuah pintu kayu yang kokoh, yang langsung membawa mereka menuju ruang kerja karyawan. Ruangan itu cukup luas, diisi beberapa baris meja kerja yang tertata rapi dengan bilik pembatas antara meja yang satu dengan yang lain.

Jen memerhatikan para karyawan yang mulai terlihat sibuk saat menyadari kehadiran Angelo. Jen menaikkan salah satu alisnya, mencoba mengerti sikap kaku para karyawan itu. Dia pasti bos yang galak. Lihat saja! Mereka semua tak berani menatap Angelo, tebak Jen berusaha membaca suasana kantor.

Ia terus berjalan mengikuti Angelo menuju pintu kaca yang memisahkan ruang karyawan dengan sebuah koridor yang tidak terlalu panjang. Terdapat dua pintu di sebelah kanan dan kirinya, sementara mereka terus berjalan menuju pintu yang ada di ujung koridor. Angelo membuka pintu, lalu melangkah masuk ke sebuah ruangan berbentuk persegi dan tidak terlalu besar. Seorang wanita berusia empat puluhan segera beranjak dari kursi kerja, menyambut kedatangan mereka dengan senyum hangat dan tulus.

"Ibu Ria, ini Jennifer," ucap Angelo memperkenalkannya pada wanita berparas manis dengan senyum hangat keibuan. Mereka saling berjabat tangan, dan Jen bisa merasakan bagaimana wanita itu menerima kehadirannya dengan tangan terbuka.

"Mulai sekarang, dia bekerja sebagai asisten pribadi saya," lanjut Angelo datar, "minta OB untuk menyiapkan meja dan kursi untuknya. Siapkan juga laptop dan peralatan kantor lainnya agar bisa dia gunakan sekarang."

"Baik, Pak Neandro," sahut Ibu Ria yang langsung pamit dan meninggalkan mereka berdua di ruangan itu. Angelo segera melangkah menuju sebuah pintu yang berada tak jauh dari meja Ibu Ria.

"Angelo," panggil Jen cepat, menghentikan Angelo yang baru saja menekan tuas pintu. Pria itu pun berbalik dan melemparkan tatapan tajam padanya.

"Pak Neandro!" tegas Angelo seraya bergerak mendekat. Melihat sikap dingin dan mengancam itu, Jen refleks bergerak mundur hingga menabrak meja Ibu Ria. Angelo berdiri tepat di depannya, tampak begitu mengintimidasi. Jarak mereka begitu dekat hingga rasanya pria itu menyerap seluruh oksigen yang ada di sekitarnya.

"Ingat posisimu, Iper!" tegur Angelo tipis, "selama di kantor, aku adalah atasanmu."

Jen menatap mata cokelat almond yang terlihat menggelap dan begitu mengancam. Jantungnya berdebar cepat, dan semakin cepat saat wajah Angelo mulai bergerak mendekat, tampak seperti ingin menciumnya. Jen tidak takut, hanya saja tubuhnya tiba-tiba melemah karena aura mendominasi Angelo yang begitu kuat.

Mata Jen tertuju pada bibir Angelo, dan seketika itu pula ia kembali teringat akan kejadian semalam. Napasnya terasa sesak dan pikirannya mulai membayangkan hal yang gila. Oh, God! Apakah dia akan menciumku lagi? tanya Jen panik sembari menggigit bibirnya. Seakan bisa membaca isi kepalanya, Angelo menyunggingkan senyum kecil yang dingin namun menggoda.

"Berhenti berpikiran kotor, Iper! Ini kantor, bukan rumah," ucap Angelo tipis sebelum menjauh dan berbalik, meninggalkan Jen yang terpaku menatap Angelo yang menghilang di balik pintu.

*****

"Kamu baik-baik saja, Jen?" tanya Ibu Ria saat menangkap raut murung Jen.

"Aku baik-baik saja, Bu," jawab Jen berusaha terdengar ringan, "kurasa aku butuh kopi."

"Ke pantri saja, di sana ada kopi," usul Ibu Ria, "pintunya ada di sebelah kanan koridor."

Jen menanggapi usul tersebut dengan senyum lemah. Ia ingin sekali beranjak dari kursi kerjanya saat ini dan menghirup aroma kopi yang begitu menenangkan. Namun entah mengapa Jen merasa enggan untuk meninggalkan ruang kerjanya.

"Tenang saja, Jen. Dia nggak bakalan tahu. Lagi pula, dia kan lagi mengontrol pekerjaan di lapangan."

"Baik, Bu," sahut Jen setelah mengembuskan napas panjang. Ia pun beranjak dari kursi kerja, lalu melangkah ke luar ruangan. Jen berjalan menuju ruang pantri dan membuka pintunya. Tak ada seorang pun di ruangan itu, yang mana merupakan kondisi yang tepat untuk menenangkan dirinya.

Tanpa berlama-lama, Jen segera mencari keberadaan kopi serta cangkir. Setelah selesai menyeduh kopinya, Jen membawa cangkir dan duduk di salah satu kursi yang melingkar di meja makan. Ia memutar-mutar sendok kecil dalam cangkir sembari mengingat setiap ucapan dan perlakuan Angelo padanya.

Jen menghela napasnya yang terasa berat. Ia tidak tahu seberapa lama ia bisa bertahan dengan sikap Angelo sebelum akhirnya ia mengadu pada mama. Bisa saja ia menelepon mama dan menceritakan semua perlakuan buruk Angelo, tapi ia tidak ingin membuat mama sedih.

Janjinya untuk bertahan dan mau menerima segala keburukan Angelo bagaikan bumerang panas yang membuatnya sulit untuk mengeluh. Sikap Angelo yang seakan tidak menganggapnya ada, membuat Jen semakin kesal. Sebelum Angelo pergi, Jen berusaha mengingatkan pria itu tentang rencana makan siang dengan mama dan papa. Tapi, Angelo melesat pergi begitu saja tanpa memedulikan ucapannya.

Jen menghirup aroma kopi dalam-dalam sebelum menyeruputnya. Ia meletakkan kembali cangkirnya, lalu menatap hitamnya kopi sembari memikirkan apa yang terbaik untuk dirinya, Angelo, dan terlebih lagi untuk mama dan papa. Tawaran Angelo untuk membatalkan perjodohan memang sangat menggoda, tapi bukan itu yang ia inginkan.

Bagi Jen, ia tidak peduli apakah Angelo akan mencintainya suatu saat nanti atau tidak. Mungkin 'cinta' adalah sesuatu yang tidak mungkin tumbuh di antara mereka berdua. Mungkin, ia juga tidak bisa mendapatkan kehidupan rumah tangga yang penuh cinta seperti mama dan papa. Tapi setidaknya, ia ingin memperbaiki hubungannya dengan Angelo. Ia tidak mengharapkan cinta. Ia hanya ingin Angelo menerimanya sebagai teman hidup layaknya sahabat dan menjalani pernikahan dengan baik.

Jen kembali menarik napas dalam-dalam, lalu menyeruput kopi sebelum memutuskan untuk membawa cangkirnya ke ruang kerja. Jen membuka pintu ruang kerjanya dan menemukan dua wanita muda yang sedang berbicara dengan Ibu Ria. Melihat kedatangannya, dua wanita tersebut bergegas keluar ruangan sambil melemparkan lirikan sinis padanya. Jen berusaha untuk tidak menggubris lirikan tersebut, lalu duduk di kursi kerjanya. Ibu Ria beranjak dari kursi kerja, lalu mengambil dua map tebal dari lemari berkas yang ada di belakang kerja wanita itu, kemudian berjalan menghampiri mejanya.

"Pak Neandro baru telepon, Jen. Kamu diminta untuk memasukkan semua data-data ini dalam format excel, lalu kirim ke email-nya," jelas Ibu Ria tenang sembari meletakkan kedua map itu di mejanya. Jen membuka salah satu map dan membaca barisan kata-kata yang belum pernah ia lihat.

"Dia minta supaya kamu menyiapkan ruangan untuk rapat jam 3 nanti. Setelah itu, siapkan berkas-berkas perjanjian dengan kontraktor yang akan berakhir beberapa bulan lagi, lalu letakkan di mejanya," lanjut Ibu Ria sebelum kembali ke meja kerjanya.

"Kapan dia meminta ini dikirim, Bu?" tanya Jen tenang.

"2 jam dari sekarang. Kamu bisa, kan?" tanya ibu Ria dengan tatapan hangat.

"Bisa, Bu," jawab Jen menyanggupi.

"Syukurlah, karena Pak Neandro tidak suka kalau kita tidak bisa mengerjakan perintahnya tepat waktu. Dia bisa ngamuk kesetanan," jelas Ibu Ria yang membuat Jen berdecak kesal. Dia bukan kesetanan. Dia itu alien aneh! Geram Jen sebelum mulai bekerja.

*****

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Indomie Kari Ayam Penuh Kenangan #CeritadanRasaIndomie
15
12
Sepenggal kisah Clara yang mandiri dan sebatang kara saat menikmati kenikmatan Indomie Kari Ayam di waktu senggangnya.Karya ini dibuat untuk mengikuti lomba Indomie bersama KaryaKarsa.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan