Crazy Of You (21+) - BAB 13 - BAB 15

16
0
Deskripsi

Warning!! 21+  

(Cerita ini mengandung unsur adegan dewasa, kekerasan, dan kata-kata yang tidak diperuntukkan untuk anak di bawah umur. Harap kebijakannya dalam membaca. Sadar diri, sadar umur.)

*****

Semua orang mengira hidup seorang Alexa Neandro sangatlah sempurna. Paras cantik, sukses, mandiri, dan digilai oleh para pria. Namun, bukan itu yang diharapkan sang ayah, Pappy. 

Sejak kecil, Alexa berambisi untuk memiliki perusahaan keluarga, Neandro's Record. Masalahnya, Pappy memberi syarat yang menghalangi...

BAB 13

“Felix, apa sebenarnya hubungan yang sedang kita jalani saat ini?”

Alexa berbaring sambil memeluk tubuh Felix yang telanjang. Penasaran dengan sikap diam Felix, Alexa mengangkat wajahnya agar bisa menatap raut pria itu dengan jelas. Namun, selama beberapa detik yang terasa lama, Felix tetap tidak menjawab pertanyaannya. Pria itu hanya diam sambil terus membelai lembut rambut Alexa. 

Perasaan Alexa mulai galau. Ia mempererat pelukannya, lalu kembali merebahkan kepala di dada bidang itu. Ia bisa mendengar debar jantung Felix yang tenang dan teratur bagaikan ritme yang begitu menenangkan. 

“Felix, apa kamu tahu bagaimana perasaanku yang sebenarnya padamu?” tanya Alexa dengan suara kecil hampir seperti bisikan.

“Aku tahu,” jawab Felix tenang, masih terus membelai rambut Alexa. 

Terkejut, ia langsung mengangkat dan menopang tubuhnya dengan tangan kiri, lalu menatap pria itu. Dengan rona merah muda menghiasi wajah dan sorot malu, Alexa memberanikan diri menatap mata itu dalam-dalam. Anehnya, Felix sama sekali tidak menggubris respons Alexa, malah terus membelai rambutnya sambil sesekali melirik tubuh telanjang Alexa di bawah selimut.

“Lalu ... kenapa kamu ... maksudku, sejak kapan kamu tahu?” tanya Alexa gelagapan dan gugup.

“Sejak kita masih sekolah,” jawab Felix tetap tenang dengan senyum kecil yang selalu membuat Alexa terpesona. Ia mengikuti arah pandangan Felix. Pria itu menatap payudaranya yang terbuka bebas seakan menantang untuk disentuh.

“Lalu, kenapa kamu bersikap … maksudku, kenapa kamu tidak—“

“Kamu tidak pernah mengatakannya padaku, Alexa,” potong Felix. 

Tangan pria itu beranjak perlahan dari rambut menuju leher Alexa, kemudian bergerak semakin ke bawah dan berhenti tepat di pundaknya. Dengan gerakan lembut sarat godaan, tangan Felix membelai pundak Alexa hingga bulu kuduknya meremang merespons setiap belaian itu.

“Kamu sudah tahu seperti apa perasaanku padamu, Felix. Lalu ... bolehkah aku bertanya sesuatu?” tanya Alexa pelan karena malu.

“Hmm?” sahut Felix tenang.

“A-apa yang kita ... maksudku, hubungan apa yang sebenarnya sedang kita jalani saat ini, Felix?” tanya Alexa, memberanikan diri menuntut penjelasan. Lagi, Felix tidak menjawab pertanyaan Alexa. Pria itu malah menggerakkan tangan menelusuri bahu, lengan, lalu naik lagi ke bahu sebelum perlahan bergerak menuju payudaranya. 

“Felix,” panggil Alexa dari balik barisan giginya yang terkatup rapat, menahan sensasi nikmat ketika tangan itu meremas lembut payudaranya.

“Jawab pertanyaanku, Felix. Apa yang

Pertanyaan itu terhenti seketika saat Felix mengerahkan seluruh tenaga untuk merebahkan tubuh Alexa secepat mungkin hingga tergeletak pasrah di bawah tubuh telanjang pria itu.

“Aku menyayangimu, Alexa. I care about you, a lot. Isn’t that enough??” tanya Felix sebelum menghujaninya dengan ciuman dalam, liar, dan panas. Ciuman yang selalu berhasil membuat Alexa tergeletak pasrah tak berdaya di bawah kuasa Felix, di bawah kuasa gairah yang membuat Alexa begitu lemah dan tenggelam dalam nikmatnya percintaan yang ia rasakan saat itu. Percintaan yang membuat dirinya menyesal dan terluka.

 

*****

 

Alexa membuka mata, lalu terduduk di tempat tidur dengan napas terengah-engah. Jantung Alexa berdebar sangat cepat dipenuhi rasa takut, sementara kekecewaan dan rasa sakit memburunya bak sebuah peringatan. 

Mimpi itu begitu nyata. Alexa seolah terlempar kembali ke tujuh tahun silam—ke momen ketika ia menanyakan kejelasan hubungannya dengan Felix, yang seharusnya ia tanyakan sejak pertama kali tenggelam dalam pelukan pria itu. 

Melalui mimpi itu, Alexa seolah diingatkan kembali akan betapa polos, bodoh, dan naifnya ia ketika cinta sudah mendominasi perasaan. Bahkan, mimpi itu jugalah yang menyadarkan Alexa akan ketidakmampuannya membedakan mana cinta, mana gairah. 

Bertahun-tahun lalu, ia begitu mudah terlena akan sosok pria yang ia anggap sempurna. Bodohnya, Alexa menganggap jalinan kasih yang mereka miliki adalah sebuah perasaan cinta yang kuat, besar, dan tulus. Sebelum akhirnya, cinta itu melukai dan menghancurkannya berkeping-keping.

Alexa menekuk dan memeluk kedua kakinya, membenamkan wajah di antara lutut yang tertekuk, sementara tangan kanan mencengkeram rambut, frustrasi dan marah pada dirinya sendiri. Ia tidak tahu kapan ia bisa melupakan Felix—atau lebih tepatnya, berapa lama lagi pria itu mengisi hati dan pikirannya. 

Dengan air mata yang mulai menggenang, Alexa mengangkat wajah, menatap cahaya matahari yang mulai menyelinap memasuki kamar melalui tirai jendela. Sejenak, ia meratapi kesedihan yang bersarang di dada setiap kali mengingat perbuatan Felix di masa lalu. Semua rasa sakit, kekecewaan, dan air mata yang tertumpah, kembali merongrong ketegaran Alexa. Berkali-kali ia mencoba mengubur semua luka itu, tapi dengan mudahnya mereka mencuat ke permukaan. 

Berusaha tegar, Alexa beranjak dari tempat tidur sambil menghela napas sedih, lalu berjalan menuju kamar mandi dengan langkah lemah. Hingga detik ini, Alexa mengakui kalau ia masih mencintai Felix meskipun pria itu sudah menyakitinya. Alexa pun tahu, seharusnya ia sudah melupakan Felix dan berusaha melangkah maju. Masalahnya, tidak semudah itu.

Di matanya, Felix selalu terlihat sempurna dan baik, bahkan menyayangi Alexa selama mereka menjalin hubungan. Meski kenyataannya Alexa harus menerima bahwa semua momen indah itu hancur dengan cara yang sangat menyakitkan, tapi tetap saja ia tak bisa menghapus setiap kenangan indah yang mereka lalui bersama. Kenangan yang begitu berbekas hingga selalu menimbulkan perih di ulu hatinya. 

Felix adalah cinta pertamanya. Pria yang telah memiliki hati, jiwa, serta pikiran Alexa. Pria yang ia benci sekaligus ia cintai dengan sepenuh hati. Pria pertama yang menyadarkan Alexa bahwa cinta butuh pengorbanan. Sebuah pengorbanan yang akhirnya membuat Alexa tampak seperti wanita bodoh dan murahan.

Sembari berusaha keras menghapus bayangan Felix dari pikiran, Alexa mencoba memupuk kembali kekuatan serta semangatnya untuk menjalani hari ini. Banyak kegiatan yang harus ia lakukan, dan semuanya itu membutuhkan konsentrasi penuh agar bisa berjalan lancar. Hari ini, mereka akan melakukan rekaman instrumen untuk lagu kedua di album terbaru Dave. Jika semua berjalan lancar, Dave bisa masuk ruang rekaman esok hari untuk pengambilan suara.

Sejenak, Alexa berdiri di depan cermin wastafel. Matanya menangkap beberapa cupang yang Wade tinggalkan di leher dan payudara. Ia menyapu lembut setiap cupang itu seraya mengingat kembali betapa panas dan liarnya percintaan mereka semalam.

Sesaat kemudian, ia pun teringat akan kepergian Wade setelah puas berhubungan seks dengannya. Kening Alexa mengerut kecewa, sementara rasa kesal langsung menyergap seluruh perasaannya.

Alexa sadar, seharusnya ia tidak boleh protes apalagi kecewa dengan kepergian Wade karena mereka berdua adalah dua orang dewasa yang sama-sama memiliki kebutuhan berahi, yang saat itu juga sama-sama menuntut pelepasan. Alexa juga tahu kalau Wade hanya bersenang-senang dengannya, sama seperti dirinya yang sesuka hati menggunakan tubuh pria itu untuk memuaskan gairahnya.

Seharusnya, Alexa mampu menganggap Wade hanya sebagai pemuas nafsu, sama seperti yang ia lakukan terhadap pria-pria yang pernah tidur dengannya. Namun, entah mengapa hatinya menolak keras dan melarang dirinya memosisikan Wade setara dengan pria-pria itu.

Tidak ingin tenggelam dalam pusaran kekesalan, Alexa pun memejam, menarik napas panjang sembari berharap bayangan Wade pergi dari pikiran. Sialnya, setiap kali memejam, seketika itu pula bayangan akan pergerakan dan sentuhan yang Wade berikan pada tubuhnya menimbulkan gelenyar panas sarat gairah yang berhasil mencekik rongga pernapasan Alexa hingga tarikan napasnya makin pendek dan jantungnya berdebar tidak keruan.

Wade memang berbeda. Wade mampu memuaskannya dengan cara yang begitu menyenangkan. Bahkan, memperbolehkan Alexa menggila sesuka hati tanpa berusaha mengendalikannya. Namun yang paling penting, Wade berhasil membawanya melayang nikmat, dan Alexa kecanduan akan perasaan itu.

Sembari menghela panjang, Alexa berbalik, kemudian melangkah ke bawah pancuran. Selama beberapa saat lamanya, ia berdiri diam di bawah kucuran air dingin yang membasahi kepala dan seluruh tubuh, berharap kesegaran mampu menghalau gelenyar panas yang tercipta karena bayangan Wade. Namun, semakin ia berusaha menghalau gelora itu, pikirannya malah semakin sering memutar ulang setiap detik percintaan liar yang ia lalui semalam. 

Alexa juga mengingat jelas setiap percakapan yang Wade bangun demi meruntuhkan tembok ketegangannya hingga ia merasa tenang, santai, dan terbuka, sebelum akhirnya pria itu mendaratkan ciuman di saat ia lengah. Ciuman Wade begitu memabukkan. Setiap permainan lidah yang luar biasa lihai seakan ingin menegaskan bahwa pria itu sanggup menandingi liarnya Alexa saat bercinta. Nyatanya, Wade memang lebih gila dari yang ia bayangkan. Ya, Wade benar-benar gila.

Tak disangka, senyum kecil pun tersungging di ujung bibir Alexa saat mengingat momen liar ketika Wade menggendongnya ke kamar dalam keadaan telanjang. Oh, God! I must be crazy! 

Alexa mengembuskan napas gelisah seraya menyisirkan jemari di rambutnya yang basah. Alexa tidak menyukai kegelisahan yang melanda hatinya saat ini. Bukan karena dirinya tidak senang berhubungan seks dengan Wade. Bukan! 

Bercinta dengan Wade terasa begitu menyenangkan, ringan, dan liar. Hanya saja, Alexa tidak menyukai kenyataan bahwa kehadiran Wade perlahan-lahan mulai memanipulasi pikirannya. Alexa hanya takut rasa nyaman yang ia miliki terhadap Wade malah berubah menjadi sebuah perasaan yang lebih menuntut. Sebuah perasaan yang bisa berubah menjadi … cinta.

Tidak! Alexa tidak menyukai hal itu. Ia tidak mau jatuh cinta, bahkan tidak ingin merasakannya lagi. Jatuh cinta itu menyakitkan dan menyiksa, serta dapat mengubah Alexa kembali menjadi wanita bodoh.

Tak ingin semakin larut dalam kebimbangan, Alexa mandi secepat mungkin, lalu mengeringkan tubuh dan mengenakan pakaian kerja. Ia mengenakan rok bahan berwarna biru tua dengan kemeja putih lengan pendek. Lalu, ia melingkarkan syal biru tua di leher, dan membiarkan rambutnya tergerai bebas.

Setelah mempercantik wajah dan menutupi cupang dengan riasan sempurna, Alexa mengenakan sepatu heels putih, kemudian bergegas menuju ruang kerja. Sesampainya di sana, Alexa mengambil tas kerja, memasukkan berkas dan naskah yang harus ia berikan pada Dave, lalu bergegas turun ke ruang makan.

Sarapan sudah tersaji di meja makan. Alexa menyantap sarapan sembari sesekali memerhatikan jarum jam di dinding yang bergerak sangat cepat. Waktu sangatlah berharga. Alexa selalu menanamkan hal tersebut dalam setiap kegiatan demi menunjang profesionalitasnya dalam bekerja.

Setelah selesai sarapan, ia memeriksa kembali barang bawaannya, lalu bergegas ke halaman parkir. Melihat kehadirannya, sopir segera membukakan pintu, lalu menutupnya kembali ketika Alexa sudah berada di dalam mobil.

Bunyi bip di ponsel segera mengalihkan perhatian Alexa yang sedang memeriksa barisan kegiatan yang ia tulis di notes kecilnya, sementara mobil melaju menuju studio rekaman. Ia segera mengeluarkan ponsel dari tas kerja dan melihat sebuah pesan masuk. Perutnya melilit gugup dan tangannya dingin seketika saat melihat nama Wade tertera di layar ponsel.

 

Thank you for last night. It was so nice.

 

Alis Alexa mengerut hingga hampir menyatu, matanya pun menyipit tak percaya. Nice? Just, nice? Really? batin Alexa tak terima. Ia tidak membalas pesan itu dan langsung memasukkan ponsel ke dalam tas kerja sambil bersusah payah meredam percikan amarah dan kekecewaan di dada.

 

*****

 

Setelah pulang dari rumah Alexa, Wade merasa sangat lelah. Bercinta dengan wanita itu benar-benar menguras tenaga, tapi Wade merasakan semangat yang baru setiap kali selesai bercinta dengan Alexa. Ia pun terlelap hingga terbangun pukul 04.00 karena memimpikan Tania. Mimpi akan detik-detik kepergian Tania membuat Wade sulit untuk kembali terlelap. Mimpi itu bukan hanya menguras perasaan, tapi juga emosinya.

Coba bayangkan satu kejadian terindah, atau yang terkelam, atau … bisa juga pengalaman termanis yang pernah kamu lalui dalam hidupmu.

Tiba-tiba, ucapan Alexa terlintas di benaknya. Kalimat itu bak pemacu semangat. Seketika itu pula, Wade mengeluarkan notes dari laci meja nakas yang ada di samping tempat tidur, lalu bergegas keluar kamar dan duduk di salah satu kursi balkon. Sambil mengingat masa-masa indahnya bersama Tania, Wade mulai mencoba merangkai kata demi kata. Debur ombak yang terdengar lembut di telinga, menemaninya bak sahabat setia.

Sesekali Wade berhenti menulis demi mengingat kembali momen pertemuan pertamanya dengan Tania. Senyum pun terukir ketika mengingat besarnya keberanian yang ia miliki saat mengajak wanita itu makan malam. Semua itu sangat berbekas di hati dan benaknya. 

Kemudian, Wade kembali menulis beberapa bait kata hingga terangkailah sebuah lirik lagu yang utuh. Ia membacanya beberapa kali sembari menentukan nada-nada yang sesuai untuk mengisi setiap katanya. Senyum pun mengembang di wajah Wade, puas dengan karyanya sendiri. 

Tanpa terasa, waktu cepat berlalu. Cahaya matahari mulai menyinari balkon dan memberikan kehangatan saat sinar itu menyentuh tubuhnya. Sesaat kemudian, Wade beranjak dari kursi balkon, berniat untuk mandi. Hari ini, jadwalnya tidak terlalu padat, hanya perlu menghadiri dua pertemuan penting. Setelah itu, ia bebas melakukan hal lain.

Setelah mandi, ia mengeluarkan jaket kulit hitam, kemeja biru lengan panjang, serta celana jeans hitam. Sesudah berpakaian dan merapikan penampilan, Wade langsung menuju dapur dan menyiapkan sarapan yang hanya berupa segelas kopi dan tiga lembar roti panggang dengan selai cokelat. 

Selagi mengunyah roti, ia teringat akan janjinya pada Alexa. Tak ingin melakukan kesalahan lagi, Wade segera mengeluarkan ponsel dari saku celana, mencari nama Alexa dan mengetik pesan singkat.

 

Thank you for last night. It was so nice.

 

Tanpa pikir panjang, Wade segera mengirim pesan tersebut. Sambil terus menikmati sarapannya, ia menunggu balasan dari Alexa, tapi tak satu pun pesan masuk ke ponselnya. Sudah lebih dari sepuluh menit ia menunggu, tetap saja tidak ada balasan. Mungkin dia masih tidur, pikir Wade yang langsung melihat arlojinya yang menunjukkan pukul 07.00. 

Setelah menyelesaikan sarapan dan merapikan semua, Wade mengambil ponsel di meja, berharap Alexa sudah membalas pesannya. Namun, tetap saja tidak ada balasan. Penasaran, ia membaca lagi pesan yang ia kirim. Detik itu juga, Wade mengutuki kebodohannya yang teramat sangat besar, dan untuk kedua kalinya, ia kembali membuat kesalahan fatal.

Ohh!! Kau bodoh, Wade! Sangat-sangat bodoh! Nice? Semalam itu jauh dari kata ‘nice’, maki Wade dalam hati. Ia berniat mengirim pesan yang lebih baik lagi, tapi urung. Wade berpikir sebaiknya ia menghampiri Alexa dan berbicara secara langsung.

Sembari melangkah menuju pintu kondominium, Wade teringat raut wajah Alexa ketika ia meninggalkan wanita itu setelah bercinta. Alexa tampak kebingungan dengan kepergiannya, bahkan terkesan seperti kecewa dan terluka. Jujur, semalam Wade berniat menginap agar dapat memeluk tubuh Alexa lebih lama lagi. Namun, entah mengapa sesuatu di dalam dirinya memaksa ia untuk pergi, memaksanya berpikir bahwa Alexa pasti menganggap seks yang mereka lakukan hanya sekedar one night stand yang menyenangkan. 

One night stand itu hanya satu kali berhubungan seks dengan satu wanita, tapi ini? Ini yang kedua kalinya dan ... ah, sial! Aku tahu kalau aku menginginkannya lagi, bahkan lebih. Tapi ... apakah Alexa merasakan hal yang sama seperti yang kurasakan? batin Wade bingung sembari mengunci pintu.

Selama berjalan menuju lift, ia tak henti-hentinya memikirkan Alexa. Semalam merupakan sebuah kemajuan pesat baginya. Setidaknya, ia bisa melihat sosok baru Alexa yang ternyata memiliki sifat berbeda dari yang selama ini ia ketahui. Alexa begitu terbuka, ceria, hangat, bahkan sangat dewasa. Hal itu terlihat dari betapa wanita itu begitu bertanggung jawab terhadap perusahaan yang dibangun dengan kerja keras.

Bukan hanya itu yang membuat Wade kagum. Cara Alexa menikmati hubungan seks dengannya sangat jauh berbeda jika dibandingkan dengan wanita-wanita lain. Berhubungan seks dengan Alexa tidak pernah membosankan, malah terasa begitu menyenangkan dan memabukkan. Wanita itu tahu bagaimana menggunakan tubuhnya dengan lihai dan mengerti cara menghipnotis Wade sampai tergila-gila hingga ia ingin merasakan tubuh itu lagi dan lagi.

Sial, sial, sial! Semuanya berantakan karena pesan sialan itu. Aku harus segera menemui Alexa dan memperbaiki semuanya. Aku tidak mau dia menutup diri lagi. Aku tidak mau dia membenciku. Oh, Tuhan. Bantu aku! Aku tidak ingin kehilangan Alexa, batin Wade seraya memasuki lift ketika pintunya terbuka. 

Ya. Wade benar-benar tidak ingin kehilangan Alexa. Bukan hanya karena seksnya yang menakjubkan, tapi Alexa berhasil membangkitkan kembali semangat Wade dalam menjalani hidup. Awan gelap yang selama ini mengitari kepalanya, lenyap begitu saja setiap kali ia memikirkan wanita itu. Alexa juga mengembalikan gelora gairah yang sudah lama tidak ia rasakan sejak kepergian Tania. 

Pintu lift kembali terbuka saat ia tiba di lantai dasar. Wade segera melangkah menuju mobil yang terparkir tak jauh dari pintu lift. Baru saja ia ingin membuka pintu mobil, ponselnya tiba-tiba berdering keras. 

Wade langsung mengeluarkan ponsel dari saku celana, berharap Alexa yang menghubungi. Namun, saat melihat nama Becca, rasa kesal seketika mengerubungi dada Wade. Ingin rasanya ia menolak panggilan itu, tapi tidak bisa. Terpaksa, Wade menjawab meski sudah lelah menghadapi Becca.

“Apa lagi?” tanya Wade sinis, tanpa basa basi.

Bisa kamu datang ke sini, Wade? Ada yang ingin kubicarakan.”

Sejenak, Wade terdiam seraya mengerut curiga, mengingat kejadian tidak menyenangkan yang menimpanya terakhir kali ketika mengunjungi wanita itu. “Bicara saja sekarang. Aku sibuk, ada pertemuan penting yang harus kuhadiri.”

Aku harap aku bisa membicarakannya lewat telepon, tapi ini benar-benar penting, dan kamu harus datang ke sini. Ini mengenai Tania.”

Tubuh Wade langsung menegang kaku. “Tania?”

Datanglah ke sini agar kita bisa membicarakannya dengan tenang,” bujuk Becca sedikit lebih lembut. Wade menimbang sekali lagi sebelum akhirnya mengembuskan napas pasrah.

“Baiklah, aku ke sana.” 

Wade memutuskan panggilan disertai geraman kesal, kemudian memasukkan ponsel ke saku. Ada apa lagi sekarang?

 

*****


BAB 14

 

“Ada apa?”

Pertanyaan itu meluncur tegas dari bibir Wade saat melangkah memasuki ruang kerja yang dulu pernah digunakan Tania. Becca—yang duduk di kursi kerja—langsung mengangkat pandangan dari beberapa lembar kertas di meja, menatapnya dengan tatapan memuja serta penuh kehangatan yang tak pernah ia harapkan. 

Sesungguhnya, Wade enggan menginjakkan kaki ke ruangan ini. Terlalu banyak kenangan indah yang ia lalui bersama Tania di sini, dan hal itu menimbulkan perih yang begitu menyiksa di ulu hatinya. 

Dulu, Wade dan Tania sering menghabiskan waktu berdua di ruangan ini untuk menyelesaikan beberapa masalah yang dialami perusahaan atau sekedar membahas berita terkini. Bahkan, mereka cukup sering bercinta di sofa cokelat yang berada di samping akuarium besar itu—posisinya masih sama seperti dulu. Ketika Wade mengetahui bahwa Becca dengan egois menggunakan ruang kerja ini demi menunjukkan posisinya, kebencian Wade pada Becca pun semakin menjadi-jadi. Wade tidak tahu apa yang Becca pikirkan, tapi setidaknya ia paham setiap niat busuk yang berusaha wanita itu lakukan agar dapat memiliki dirinya kembali.

“Silakan duduk, Wade.”

Sikap tenang terkendali yang berusaha Becca tunjukkan malah membuat Wade mengerut curiga. Muak menerima kehangatan yang wanita itu pancarkan melalui senyum dan sorot yang tertuju ke arahnya, Wade tak segan mendengus sinis. “Jika ini benar-benar tentang Tania, cepat bicara!”

“Ini memang tentang Tania.”

Senyum licik menghiasi wajah Becca ketika membuka laci meja kerja, dan mengeluarkan sebuah kotak merah. Wade berdiri di dekat salah satu kursi yang ada di depan meja kerja, sementara matanya memerhatikan kotak itu tanpa kecurigaan sedikit pun. Yang ia curigai hanyalah niat Becca terhadap dirinya kali ini.

“Silakan duduk, Wade,” pinta Becca dengan suara mendayu lembut, sementara mata itu meneliti liar penampilan Wade. 

Tak berniat membuang-buang waktu dengan melontarkan penolakan, Wade segera duduk di kursi seraya mendengus kesal tanpa berniat memperhalus dengusannya. Sebisa mungkin ia tidak menggubris senyum licik yang menghiasi wajah Becca. Namun, Wade tetap mempersiapkan diri menghadapi setiap rencana busuk yang ia yakini akan diterimanya dalam hitungan beberapa menit saja.

“Oh, iya. Bagaimana untuk pengganti Ethan? Apa kamu sudah mengurusnya? Soalnya, aku belum mendengar kabar sama sekali darimu, Wade.” Pertanyaan sarat sindiran itu meluncur tenang dari bibir Becca ketika mengeluarkan secarik kertas dari kotak merah itu. 

Seketika, pertanyaan itu mengalihkan pikiran Wade kepada Alexa dan niatnya untuk menemui wanita itu lagi. Kilasan akan panas dan dahsyatnya percintaan mereka semalam semakin menggoda Wade untuk segera angkat kaki dari tempat ini. Wade kemudian berdeham kecil, menekan gairah yang mulai memenuhi tenggorokan.

“Aku sudah mengurus semuanya. Kau tidak perlu khawatir. Kujamin kita tidak akan merugi kali ini. Jangan mengulur-ulur waktu, apa sebenarnya yang ingin kau bicarakan mengenai Tania?” tanya Wade sambil menghalau kesedihan yang muncul setiap kali mengucapkan nama mendiang istrinya.

“Boleh aku bertanya sesuatu padamu, Wade?” Dengan tenang seraya bersandar di kursi kerja, Becca memegang secarik kertas. Wade mengedikkan salah satu alis saat menangkap keangkuhan di balik senyum licik yang menghiasi wajah wanita itu.

“Apa?” Tak sedikit pun Wade merasa bersalah karena sudah bersikap dingin dan sinis pada Becca. Wanita itu berada dalam daftar ‘orang yang paling dibenci’, dan sudah pasti menempati peringkat nomor satu.

“Kenapa akhir-akhir ini kamu selalu menolak untuk bertemu denganku, Wade?” Nada bicara Becca berubah lembut dalam se per sekian detik. Wade menggeleng geli mendengar pertanyaan yang seharusnya tidak perlu dipertanyakan karena sesungguhnya wanita itu sudah tahu alasan di balik keputusan Wade menjaga jarak. Ia benar-benar muak menghadapi sikap manipulatif Becca.

“Aku banyak pekerjaan. Seandainya kau lupa, aku adalah drummer D’Aphrodite. Aku juga punya tanggung jawab di sana. Kuharap kau bisa menekan egomu demi kelancaran pekerjaan kita masing-masing,” jelas Wade menunjukkan posisinya seraya menegaskan bahwa wanita itu tidak berhak mengatur ataupun ingin tahu segala tindak tanduknya.

Wade bisa melihat kilat amarah di mata itu. Ia tidak takut pada Becca, bahkan ia berniat menegaskan kembali posisinya. Wade lelah dengan sikap Becca yang merasa memiliki dirinya dan berhak mengatur semua kegiatannya. 

“Tapi, aku membutuhkanmu, Wade. Apa kamu lupa akan janjimu padanya?”  Secepat kilat, sorot amarah itu berubah menjadi binar kesedihan yang mendalam. Kening Wade kembali mengerut curiga saat pertanyaan tersebut meluncur dari bibir Becca. Selama beberapa detik, ia mulai menebak ke mana arah pembicaraan ini. Karena, sepandai-pandainya Becca bersandiwara, Wade tahu pasti ke mana percakapan ini berakhir. 

“Tidak. Memangnya kenapa?”

“Karena sepertinya kamu mulai melupakan janjimu itu.”

Jawaban itu membuat Wade geram. Becca memasang raut terluka palsu yang memancing amarahnya dalam sekejap. Sungguh, Wade teramat sangat membenci Becca hingga rasanya ingin sekali ia membunuh wanita itu agar tidak ada lagi yang mengganggu kehidupannya.

“Aku tidak pernah melupakan janjiku. Aku selalu menepati setiap janjiku pada Tania, yaitu menjaga dan membantumu menangani perusahaannya. Bisa kupastikan, hingga detik ini aku sama sekali tidak pernah melanggarnya!” 

Ketegasan yang terkandung dalam setiap kata menunjukkan betapa ia muak dengan tuntutan Becca. Gigi Wade menggemeretak. Ia berusaha menahan diri agar tidak menyakiti wanita itu, walaupun ia tahu betapa Becca tak pantas menerima secuil kesabarannya.

“Tapi, kamu selalu menghindariku akhir-akhir ini, Wade,” keluh Becca. Wade seketika beranjak dari kursi, lalu mengepal kedua tangan erat-erat di samping tubuhnya.

“Akhir-akhir ini? Are you kidding me? Kau baru sadar kalau aku menjauh akhir-akhir ini?” tanya Wade yang disusul tawa sinis, “aku sudah menjauhimu sejak kepergian Tania, dan kurasa kau tahu alasanku menjaga jarak. Lalu, kenapa kau baru mengeluh sekarang?”

“Aku tidak mau kamu menjauh dariku, Wade. I need you! Aku tidak bisa mengurus perusahaan Tania sendirian. Kamu tidak tahu bagaimana aku mengatasi setiap masalah yang menghampiri perusahaan ini sebisaku. Kamu terlalu sibuk dengan duniamu. Kamu juga tidak peduli sama sekali dengan apa yang terjadi padaku. Kamu tidak peduli, Wade!” 

Amarah semakin menyelimuti dada Wade. Akal sehatnya pun tak sanggup lagi menerima sandiwara manja yang Becca tampilkan dengan akting terburuk yang pernah ia lihat sepanjang masa. Wanita itu berbicara seolah Wade lepas tangan dan tidak pernah turut andil dalam setiap masalah perusahaan. Wanita itu menuduhnya seakan Wade tak bertanggung jawab atas wasiat Tania. Becca benar-benar bak ular berbisa yang selalu mencoba berbagai macam cara agar dapat menancapkan racun ke dalam tubuh Wade demi satu tujuan. Memanipulasi kehidupannya.

“Sungguh? Kau memintaku datang dan menyia-nyiakan waktuku yang berharga hanya untuk membicarakan ini? It’s done, Becca. I’m leaving!” 

Tatapan penuh kebencian yang Wade tujukan pada Becca, tak sedikit pun membuat wanita itu merasa bersalah. Malah, raut memelas disertai sorot kesedihan yang memuakkan semakin mewarnai wajah wanita itu.

“Duduklah, Wade. Kumohon, dengarkan aku sebentar. Ada sesuatu yang seharusnya kuberikan padamu sejak dulu,” pinta Becca begitu lembut namun sarat kelicikan yang sangat kentara. Wade tidak sanggup lagi. Ia pun berbalik, berniat pergi.

“Duduk, Wade!”

Ketegasan yang terkandung dalam nada bicara Becca, langsung menghentikan langkah Wade. Ia segera berbalik dan menatap geram Becca yang masih duduk tenang di kursi kerja itu. Dulu, Tania yang mengendalikan dan menjalankan seluruh kegiatan perusahaan dari balik meja kerja itu. Sekarang, hanya ada penyihir berhati busuk yang duduk di sana dan berusaha memonopoli dunianya.

“Katakan apa maumu. Ingat siapa dirimu, Becca. Kau tidak berhak memerintahku!” tegas Wade, berusaha menyadarkan Becca akan posisinya.

“Tania pasti sangat terluka melihat sikapmu begitu padaku,” ucap Becca seraya menyeringai sinis. 

Wade murka, amarahnya memuncak menanggapi akal bulus Becca yang begitu pintar mempermainkan perasaannya. Darah Wade pun mendidih seketika mendengar betapa mudahnya Becca menyebut nama Tania, sementara wanita itu tak tahu betapa besar arti Tania di dalam kehidupannya. Becca tidak pernah menganggap keberadaan Tania. Tidak pernah!

“Tania! Tania! Tania! Kau tidak pantas menyebut namanya seperti itu! Dia ibumu!” teriak Wade, penuh amarah. Kepalan tangannya semakin erat hingga buku-buku jarinya memutih, sekuat mungkin menahan emosinya agar tidak meledak lebih besar lagi. Becca memang tersentak kaget mendengar luapan amarah Wade, tapi hanya sesaat, sebelum akhirnya menatap marah Wade seolah dirinyalah yang bersalah di sini.

Wade tidak peduli akan semarah apa wanita itu padanya. Becca bukanlah anak kecil yang membutuhkan perhatian berlebih. Becca adalah wanita dewasa yang mampu hidup dan berdiri sendiri tanpa dirinya.

“Ya! Dia memang ibuku, tapi dia membuangku. Jangan lupa itu, Wade. Dia membuangku!” jawab Becca geram, kemudian melempar kertas yang sedari tadi dipegang. Kertas itu melayang rendah, lalu tergeletak begitu saja di atas meja. Wade bisa melihat tulisan tangan Tania di sana.

“Itu adalah surat terakhir Tania—ibuku—yang dia berikan sebelum meninggal. Surat itu sebenarnya untukmu. Jadi, bacalah! Supaya kamu sadar kalau kamu adalah milikku,” ujar Becca sembari menggeram marah ketika mengucapkan kata ‘ibuku’. Wade berdecak sinis menanggapi luapan amarah Becca, lalu mengangkat kertas tersebut. 

“Milikmu? Kau memang gila.” Wade tersenyum miring, sarat hinaan.

“Bacalah! Setelah itu, katakan siapa sebenarnya yang gila,” tukas Becca ketus. Wade mendengus kesal seraya menunjukkan raut tak peduli pada Becca. Muak menatap wanita itu, Wade pun segera mengalihkan pandangan ke kertas yang kini berada di hadapannya.

‘My dearest husband, Wade.

Apa kabarmu sekarang, My love? 
Apa kamu masih merindukanku di setiap tidurmu? 
Apa kamu masih mengharapkan kehadiranku di sisimu? 
Apakah rasa cinta yang kamu rasakan padaku masih sama meskipun aku tak ada di sisimu sekarang?

Jika jawabanmu ‘tidak’, aku sangat senang mendengarnya, My love. 
Karena, setidaknya kamu sudah bisa melangkah, menjalani hidup, dan menemukan pendamping hidup yang baru.
Tapi, jika jawabanmu ‘masih’, aku sangat sedih mendengarnya.

Wade, aku sudah tiada. Aku sudah pergi meninggalkanmu. Aku sudah bahagia di alamku. Aku juga tidak merasakan sakit lagi. Itulah kenapa aku ingin kamu melanjutkan hidupmu, My love.

Find your happiness, Wade. Cari wanita yang dapat menggantikan posisiku di hatimu. Cari wanita yang benar-benar bisa membuatmu tersenyum, tertawa bahagia, dan penuh gairah.

Tapi ... jika sampai saat ini kamu belum bisa menemukan wanita itu, bolehkah aku meminta sesuatu padamu?

Mungkin ini adalah permintaan terakhir dan tersulit, tapi kuharap kamu bisa mengabulkannya.

Menikahlah dengan Becca.

Aku tahu ini sangat tidak masuk akal karena dia adalah anakku. Tapi, hanya ini caraku untuk menebus kesalahanku padanya di masa lalu. Aku harus merelakanmu menikahinya. 

Aku tahu seberapa besar rasa cintanya padamu. Kurasa, sudah cukup bagiku untuk terus menyakiti perasaannya. Kamu ingat? Aku pernah menelantarkannya saat aku berusia enam belas tahun. Kamu juga pasti ingat bagaimana usahaku agar bisa menemukannya lagi. 

My love, kamu memang pernah memiliki masa lalu dengannya sebelum kita menikah. Jadi, kurasa tak sulit bagimu untuk menumbuhkan perasaan itu lagi terhadap dirinya. Sungguh, aku tidak ingin memaksamu, My love. Tapi, hanya ini yang dapat kulakukan untuk menebus kesalahanku di masa lalu pada Becca. 

Aku hanya ingin kamu hidup bahagia, My love, dan kuharap kalian bisa bersatu menjaga setiap warisan yang kutinggalkan untuk kalian berdua.

Menikahlah dengan Becca dan jagalah dia untukku.
Jaga dia untukku, My love.

Istrimu yang selalu mencintaimu,
Tania.’

Wade membaca sebanyak dua kali sebelum ia menjauhkan surat itu dari hadapannya. Dada Wade terasa sesak. Bukan karena apa yang baru saja ia baca, tapi karena ia harus membaca tulisan tangan wanita yang sangat ia cintai. Napasnya pun tercekat menahan rasa perih yang hinggap di ulu hati. 

Sejenak, ia kembali teringat detik-detik saat Tania mengembuskan napas terakhir tepat dalam pelukannya. Geram sekaligus sedih, Wade meremas surat itu, menahan kesedihan yang begitu menyiksa akibat besarnya rindu yang menyelimuti saat ini.

“Sejak kapan kau memiliki surat ini?” tanya Wade tanpa menatap Becca sama sekali.

“Sudah lama. Dia sendiri yang memberikannya padaku,” jawab Becca dingin dan tak acuh, tidak peduli betapa pentingnya arti surat itu bagi Wade. Setelah mendengar jawaban itu, Wade langsung mengangkat pandangan dan menatap Becca dengan sorot tajam penuh amarah.

“Lalu, kenapa kau menunjukkan surat ini padaku sekarang?”

“Karena hanya surat itu yang bisa menyadarkanmu kalau kamu adalah milikku, Wade!” jawab Becca seraya memukul meja, melampiaskan kekesalan yang tampaknya sudah wanita itu tahan dari tadi. Muak, Wade melempar kertas itu ke hadapan Becca.

“Aku bukan milikmu, Becca. Aku bukan barang dan aku berhak menentukan apa yang ingin aku lakukan!”

“Tapi, ibuku memintamu untuk menikahiku, Wade. Ibuku memintamu untuk menikahiku dan menjagaku. Kamu sudah berjanji padanya dan kamu mengatakan padaku kalau kamu selalu menepati janjimu!” 

Protes itu meluncur cepat bak sambaran petir yang memecut akal sehat Wade. Seketika itu pula, tawa geli bercampur kesinisan melesat saat menyadari betapa konyol situasi yang ia alami sekarang.

“Ibumu? Sekarang kau baru mengakuinya sebagai ibumu? Don’t make me laugh, Becca. Kau membencinya seumur hidupmu, kenapa kau baru mengakuinya sekarang? Kenapa? Apa karena surat itu? Apa karena dia memintaku untuk menikahimu? Itukah maksudmu?” cecar Wade sebelum kembali terkekeh sinis.

“Dia adalah ibuku, dan ya, dia memintamu untuk menikahiku,” ulang Becca tegas seolah Wade tidak bisa menangkap jelas isi surat itu. 

Wade berhenti terkekeh. Ia mencoba mengatur tarikan napas yang sempat tidak keruan karena perpaduan amarah dan rasa geli, sebelum akhirnya menopang tubuh dengan meletakkan salah satu tangan di atas meja. Sementara itu, mata Wade mengunci Becca yang kepercayaan dirinya tampak mulai surut.

“Kau benar, aku memang berjanji padanya untuk menjagamu. Tapi, menikahimu? Cih! Jangan bermimpi terlalu tinggi, Becca.” 

“Tapi … tapi, kamu selalu menepati setiap permintaan Tania. Kamu selalu melakukan apa yang dia minta. Dia memintamu untuk menikahiku!” 

Tampak jelas usaha keras Becca menggunakan nama Tania untuk memaksa Wade agar mau tunduk dan melaksanakan semua yang tertera dalam surat itu. Lelah meladeni kegilaan Becca, Wade pun mendengus geli, lalu berbalik dan beranjak dari hadapan wanita itu. Aku sudah cukup dengan omong kosong ini, geram Wade seraya melangkah menjauh.

“Wade! Kamu harus melaksanakan semua permintaan Tania. Kamu harus ingat siapa dirimu! Semua warisan yang kamu miliki adalah milik Tania!” teriak Becca berang sambil memukul meja. Seketika, Wade berhenti melangkah, lalu berbalik seraya melemparkan tatapan penuh kebencian pada Becca.

“Ya, aku tahu siapa diriku. Aku juga masih ingat dengan jelas kalau Tania memberi lima puluh persen dari seluruh kekayaannya kepadaku termasuk perusahaan-perusahaannya. Kurasa … akulah yang seharusnya menyegarkan ingatanmu. Tania memang sudah tiada. Tapi kau jangan lupa, aku adalah ayah tirimu. Kau harus sadar posisimu, Anakku!” balas Wade dingin dan tegas seraya menyunggingkan senyum sinis.

“Tapi—“

“Percakapan ini sudah selesai, dan aku tidak ingin membahas omong kosong ini lagi,” potong Wade cepat, kemudian berbalik dan melangkah menuju pintu ruangan.

You’re mine, Wade. Mine!” 

Wade menekan tuas pintu, lalu menoleh dan menatap Becca. Secercah rasa kasian muncul ketika menangkap keputusasaan di wajah wanita itu. Wade menarik napas panjang, mencoba bersikap sedikit lebih tenang tanpa mengurangi ketegasan di wajahnya.

You don’t own me, Becca. You never do.”

 

*****

 

Wade mengentak kuat pintu ruang kerjanya hingga terbuka lebar dan membentur dinding. Debuman keras terdengar sebelum pintu itu bergerak kembali menutup, sementara Wade melangkah dengan derap kesal menuju meja kerja. Amarah masih bergejolak di dada. Ia pun melampiaskannya dengan melempar jaket kulitnya begitu saja di kursi. 

Sejenak, Wade menatap lurus ke luar melalui dinding kaca yang berada tepat di belakang meja. Matahari bersinar cerah dan cukup terik, tapi tak sedikit pun menyurutkan hiruk pikuk penghuni kota yang tampak jelas di jalanan. Wade terdiam selama beberapa saat, berharap kesunyian ruangan mampu meredam kekesalannya. 

Seolah tak memperbolehkannya tenang sejenak, ketukan di pintu seketika memecah keheningan. Wade menyuruh orang di balik pintu untuk masuk. Namun, tak sedikit pun ia mengalihkan pandangan.

“Siang, Sir. Rapat dengan pihak televisi akan dimulai setengah jam lagi. Dan setelah makan siang, ada pertemuan dengan bagian periklanan,” jelas sekretarisnya dengan formal dan datar. Wade mengangguk seraya bergumam singkat pertanda ia mendengar informasi itu. Wanita yang sudah bekerja dengannya lebih dari tiga tahun itu pun tidak menggubris sikap dingin Wade.

“Tadi ada telepon dari Mr. McClean, Sir. Dia bertanya mengenai pemeran utama yang akan menggantikan Ethan,” lapor wanita itu sedatar dan setenang mungkin.

“Katakan kalau saya sudah menemukan penggantinya,” balas Wade datar tanpa menoleh sedikit pun.

“Baik, Sir. Saya permisi dulu.” 

Wanita itu segera keluar dari ruangan. Berselang beberapa detik kemudian, terdengar pintu tertutup di belakangnya. Kesunyian kembali melingkupi Wade dan pikirannya kembali tertuju pada surat Tania. Tak dipungkiri, keraguan masih menggelayuti perasaan Wade terkait keabsahan surat itu.

Sembari menghela napas berat, Wade berbalik melangkah menuju lemari kaca yang berada di sisi lain ruangan. Barisan gelas kaca dan beberapa botol minuman keras mengisi lemari itu. Berharap dapat meredakan sedikit saja kegelisahannya, Wade mengeluarkan botol brendi dan menuangkannya ke gelas kaca. 

Tanpa menyesap ataupun menghirup aromanya, Wade segera menandaskan minuman itu dalam satu tegukan, lalu mengisinya kembali, dan meneguknya lagi hingga tandas. Gelenyar panas perlahan-lahan merambat ke sekujur tubuh, sementara napas Wade terengah-engah akibat luapan amarah yang masih mendiami dada.

Memang, Becca adalah manusia terbusuk yang pernah ia temui. Ia juga sangat yakin kalau wanita itu tidak akan berhenti sampai benar-benar memiliki dirinya. 

Tidak! Wade berjanji pada dirinya sendiri kalau ia tidak akan memberikan kepuasan pada Becca dengan tunduk semudah itu pada surat Tania. Lagi pula, ia masih meragukan keabsahan surat itu. Meski tulisan itu benar-benar seperti goresan tangan Tania, tapi Wade tidak akan percaya begitu saja.

Tidak mungkin Tania tega menyuruhku untuk menikahi Becca. Kalaupun surat itu benar-benar dari Tania, aku tidak akan mau menuruti permintaan yang tidak masuk akal itu. Aku mencintai Tania, tapi ini adalah hidupku. Aku yang menentukan siapa yang pantas untuk menjadi pendampingku. Bukan Tania, bukan juga Becca. Aku! Hanya aku yang berhak! batin Wade geram sebelum mengisi kembali gelas kaca itu dan meneguk isinya dengan cepat.

Sembari membawa botol dan gelas kaca dalam genggaman, Wade menghampiri sofa panjang yang berada tak jauh dari meja kerja. Setelah meletakkan gelas dan botol kaca di meja sofa berbentuk bundar, Wade mengembuskan napas lelah, lalu menghempaskan tubuh di sofa, kemudian memejam.

Kesunyian yang melingkupi membawa Wade kembali ke masa-masa indahnya bersama Tania. Hanya itu yang mampu menenangkan Wade setiap kali merasa kesal. Namun, momen pertemuan pertamanya dengan Tania malah menimbulkan perasaan bersalah yang sama sekali tak ia harapkan.

Memang, Wade lebih dahulu mengenal dan menjalin hubungan dengan Becca selama beberapa bulan, sebelum akhirnya ia pindah ke pelukan wanita lain. Setelah dua tahun tidak berhubungan dengan Becca, Wade akhirnya bertemu Tania di salah satu fashion show tempat ia melakukan satu-satunya pekerjaan yang ia miliki saat itu—menjadi seorang peragawan.

Wade dan Tania saling berkenalan di pesta penutupan acara. Saat itu, Wade seolah mendapatkan pencerahan. Ia menatap Tania dan entah mengapa merasa yakin bahwa wanita itu tepat menjadi pendamping hidupnya. Wade jatuh cinta pada pandangan pertama—benar-benar jatuh cinta pada Tania.

Lima bulan setelah berkenalan, mereka pun memutuskan untuk menikah. Betapa terkejutnya Wade saat Tania memperkenalkan Becca padanya tepat sebulan sebelum acara pernikahan dilangsungkan. Namun, ia lebih terkejut ketika Tania mengatakan kalau Becca adalah anak kandung yang pernah wanita itu telantarkan saat berusia enam belas tahun.

Tania menceritakan perjuangan yang dilakukan demi mencari Becca. Tania berusaha keras membuat Wade memahami perasaan bersalah yang menggerogoti hati wanita itu. Akhirnya, Wade terpaksa untuk mengerti, tapi ia tidak akan pernah menerima kehadiran Becca dengan tangan terbuka karena ia tahu keburukan wanita itu.

Wade berusaha menutupi hubungan yang pernah ia jalin dengan Becca dari Tania. Namun, lama kelamaan rasa bersalah itu membuatnya gelisah. Rasa cintanya yang begitu besar pada Tania akhirnya memaksa Wade untuk jujur. Beruntung, Tania mau menerima masa lalu itu dan memaafkannya. Pernikahan mereka pun tetap dilangsungkan.

Setelah lima tahun pernikahan, Tania tiba-tiba jatuh sakit. Mengetahui bahwa Tania mengidap kanker payudara stadium akhir, semua kebahagiaan Wade hancur berkeping-keping. Malangnya, hanya berjarak beberapa bulan dari hasil diagnosa, Tania pun meninggal. Seluruh kekayaan wanita itu diwariskan kepada Wade dan Becca, masing-masing lima puluh persen.

Hancur, terluka, dan terpuruk. Wade tak mampu membendung kesedihan dan luka kekecewaan yang begitu besar setelah ditinggal wanita yang begitu ia cintai. Beberapa bulan setelah kematian Tania, kedua orangtua Wade meninggal karena kecelakaan mobil. Wade semakin terpuruk. Bahkan, ia melakukan segala cara agar dapat menyusul Tania.

Dua kali Wade mencoba bunuh diri, tapi selalu gagal. Akhirnya, ia memutuskan untuk menghibur diri dengan barisan wanita yang bersedia menghangatkan tempat tidurnya. Ia kira, kehadiran para wanita mampu mengusir kekosongan yang bersarang di dadanya. Namun, kehampaan, kesendirian, bahkan kesedihan itu tak pernah meninggalkan dirinya.

Keterpurukan Wade pun diperparah oleh sikap Becca yang mulai mengatur dan mengekangnya. Beruntung, Wade memiliki D’Aphrodite yang berhasil menjauhkannya dari jangkauan Becca. Ia jadi lebih sering melakukan konser di dalam dan luar negeri, serta menikmati setiap kehangatan tubuh para wanita yang siap menghiburnya.

Tahun berganti tahun, Becca mulai menunjukkan keinginan terdalam yang sesungguhnya sudah Wade ketahui sejak kematian Tania. Wade sadar, ia seharusnya menjalin hubungan baik dengan Becca demi menjaga dan mengembangkan perusahaan yang Tania miliki. Seluruh harta yang ia miliki pun sebagian besar merupakan warisan dari Tania. Namun, memintanya untuk menikahi Becca benar-benar sudah di ambang batas toleransi Wade.

“Ini salah, Tania. Ini salah!” Wade bergumam sambil terus memejam. Napasnya sesak karena menahan amarah semampu yang dapat ia lakukan. Rasa perih pun kembali menyayat hati Wade setiap kali mengingat permintaan Tania sebelum mengembuskan napas terakhir.

Jaga dia untukku, Wade.

Satu pesan terakhir itulah yang membuatnya terpaksa bersabar menghadapi segala tindak tanduk Becca yang luar biasa menyebalkan. Wade ingin sekali melanggar janji itu, tapi setiap kali membayangkan raut sedih Tania, ia pun langsung mengurungkan niatnya.

Find your happiness, Wade. Cari wanita yang dapat menggantikan posisiku di hatimu. Cari wanita yang benar-benar bisa membuatmu tersenyum, tertawa bahagia, dan penuh gairah.

Wade seketika membuka mata setelah mengingat kembali bagian dari isi surat itu. Tak dipungkiri, ia merasakan kelegaan yang begitu besar hingga wajahnya tersenyum lebar. Kalimat-kalimat itu adalah kunci dan senjata baginya untuk mematahkan keinginan busuk Becca. Sembari menghela napas lega, Wade akhirnya paham inti dari surat itu. Tania berharap aku melanjutkan hidup dan mencari kebahagiaanku sendiri. Kurasa, aku sudah menemukannya.

Pikirannya langsung tertuju pada Alexa. Benar sekali! Wanita itulah jawaban dari semua kekacauan ini. Hanya Alexa yang mampu menyelamatkannya dari rencana busuk Becca. 

Sekejap, seringai nakal mulai menghiasi wajah Wade ketika ide-ide liar mengisi kepalanya. Seolah baru saja disetrum listrik bertegangan tinggi, Wade langsung berdiri dan melangkah menuju pintu ruang kerjanya. Antusias yang terkandung dalam tiap sel darahnya membuat jantung Wade berdebar cepat. 

Hari ini, ia akan menghadiri pertemuan-pertemuan pentingnya, lalu menemui Alexa meski wanita itu memberi berjuta alasan untuk menghindar. Sebelumnya, Wade tak memungkiri bahwa ia berniat memiliki Alexa karena hanya wanita itu yang dapat membuatnya kembali bergairah, bersemangat, dan gembira. Namun kali ini, Wade memiliki alasan lain. Selain gairah dan seks yang liar, hanya sosok dan kepribadian Alexa-lah yang pantas berada di sisinya. 

Aku akan mengejar kebahagiaanku. Tak ada seorang pun yang dapat menghentikan langkahku untuk mendapatkan Alexa. Tidak ada!

 

*****


BAB 15

Alexa duduk di belakang meja monitor bersama Gerald dan dua kru rekaman. Mereka sedang mendengarkan dengan saksama setiap nada yang dimainkan oleh keyboardis kepercayaannya ketika seseorang tergesa-gesa membuka pintu ruang rekaman. Alexa segera melemparkan tatapan sinis sarat teguran diiringi kening mengerut ke arah pintu, kesal karena ada yang mengusik konsentrasinya. 

Rasa kesalnya pun makin bertambah saat melihat Dave yang datang terlambat. Pria itu berjanji akan tiba di studio tepat pukul 08.00. Nyatanya, saat jarum jam menunjukkan pukul 10.15, Dave baru muncul ketika sesi rekaman instrumen sudah hampir selesai.

Mengerti arti tatapan sinisnya, Dave bergegas menutup pintu, lalu berjalan mengendap-endap sambil tersenyum malu diiringi raut penyesalan. Pria itu berhenti di belakang kursinya dan bersandar di dinding, sementara Alexa kembali memusatkan perhatian pada keyboardis. 

Setelah ini, ia masih memiliki dua janji temu dengan pihak radio serta menghadiri acara TV di mana Dave akan menjalani bincang-bincang singkat disusul dengan menyanyikan satu lagu sebagai penutup acara. Bukan hanya itu saja. Alexa masih harus menemui beberapa kandidat asisten yang sudah memiliki janji temu dengannya. 

Alexa benar-benar harus mempekerjakan seorang asisten untuk membantu mengurus segala keperluan Dave, terlebih lagi karena selama seminggu ke depan pria itu akan menjalani pelatihan peran. Alexa memang memiliki dua orang kepercayaan, Gerald di bagian produksi rekaman, dan Linda khusus menangani penyaringan para penyanyi baru. Sedangkan Alexa berkonsentrasi mengawasi jalannya perusahaan. Meski setiap hasil produksi rekaman dan penerimaan para penyanyi tetap harus melewati persetujuannya, setidaknya Alexa merasa sangat terbantu dengan kehadiran Gerald dan Linda. 

Alexa akui, kehadiran Dave sungguh menyita sebagian besar waktunya. Sejak awal, ia memang berniat meningkatkan karir pria itu dengan tangannya sendiri. Namun tak dipungkiri, semakin besar nama perusahaan, semakin banyak pula pekerjaannya. 

Selain itu, Alexa juga masih harus menjalin kerja sama dengan beberapa promotor untuk mendanai konser Dave yang akan dilaksanakan beberapa bulan ke depan. Ia mulai kewalahan, bahkan hampir menggila. Kehadiran seorang asisten terpercaya adalah jalan keluar terbaik baginya. Oh, Tuhan. Semoga hari ini aku bisa mendapatkan asisten.

Akhirnya, rekaman selesai sebelum jam makan siang. Alexa berbincang sejenak dengan Gerald mengenai penyatuan seluruh instrumen agar esok hari Dave bisa segera menjalani rekaman. Setelah berbicara dengan Gerald, Alexa beranjak dari kursi dan mengangkat tas kerja yang ia letakkan di lantai, lalu meletakkannya di kursi kemudian mengeluarkan berkas yang ia terima dari Wade semalam.

“Tanda tangani kontrak kerja sama ini,” pinta Alexa cepat, masih dengan tatapan sinis seperti sebelumnya. Ia menyodorkan berkas tersebut beserta pulpen pada Dave yang sedari tadi berdiri di belakangnya. Patuh, pria itu bergerak mendekat dan menerima berkas tersebut sambil menunjukkan raut bersalah, tapi Alexa sama sekali tidak peduli. 

Tanpa banyak bertanya, Dave langsung menandatangani berkas itu, lalu mengembalikannya kepada Alexa. Masih menunjukkan sikap kesal karena Dave membuang-buang waktu dengan datang terlambat, Alexa memasukkan kembali kontrak kerja sama itu ke tas, lalu mengeluarkan naskah dan menyodorkannya pada Dave yang segera menerima dengan raut bingung.

“Itu naskah yang harus kamu pelajari. Kuharap kamu bisa menghafalnya sebelum latihan hari Jumat.” Alexa berbicara cepat serta penuh penekanan sembari bersiap-siap untuk menghadiri janji makan siang dengan salah satu pimpinan radio ternama.

“Jumat? Kamu bercanda, Alexa? Aku hanya punya waktu dua hari untuk menghafal ini semua?”

“Tiga hari, kalau kamu mulai menghafalnya hari ini,” timpal Alexa datar sambil menyunggingkan senyum palsu sekilas, lalu menenteng tas kerja dan beranjak dari hadapan Dave. 

“Alexa, tunggu dulu!” Dave menarik pergelangan tangan Alexa, menahan kepergiannya. Tahu bahwa percakapan ini berpotensi menyita waktunya, ia pun menghela napas panjang, mencoba bersabar menghadapi sikap manja Dave yang kemungkinan akan merajuk. Alexa juga mulai menyusun kalimat ampuh untuk menyadarkan Dave akan batasan di antara mereka.

“Ada apa, Dave?”

Pertanyaan itu meluncur tipis dari bibir Alexa bak selongsong peluru yang melesat cepat menembus sasaran. Raut datar tanpa ekspresi dan sikap tenang yang menunjukkan pengendalian diri yang sempurna, menggambarkan betapa lihai Alexa menyembunyikan perasaannya.

“Jangan marah padaku, Alexa. Kumohon. Aku lupa menyalakan weker, makanya aku bangun kesiangan.” 

Raut penyesalan serta sorot memelas Dave sama sekali tak mampu meredam rasa kesal Alexa saat ini. Namun, demi mempersingkat waktu, Alexa urung meluapkan amarah dan berusaha bijaksana sambil tetap menjunjung tinggi profesionalitasnya.

“Kamu harus bisa profesional, Dave. Aku masih banyak kerjaan. Kuharap kamu bisa menjalani tanggung jawabmu yang sudah kujadwalkan hari ini,” sahut Alexa tenang tanpa menghilangkan sedikit pun ketegasan dalam tiap katanya. Kening Dave mengerut sedih dan menyesal, tapi Alexa tetap menatap tanpa ekspresi sama sekali.

I know. I know. Maafkan aku, ini adalah yang pertama dan yang terakhir. Kumohon, Alexa. Maukah kamu memaafkan aku?”

“Baiklah,” jawab Alexa cepat demi mempersingkat percakapan penuh drama ini sembari berharap Dave berhenti merengek agar ia bisa segera pergi menghadiri pertemuan penting lainnya.

“Kalau begitu, apakah kita tidak bisa makan siang bersama hari ini?” tanya Dave hati-hati sambil menatap Alexa penuh harap. Sadar bahwa penolakannya akan berujung pada bujuk rayu kekanak-kanakan yang dapat semakin membuang-buang waktu, Alexa pun mengembuskan napas pasrah, lalu berbicara dengan sikap setenang mungkin. 

“Aku ada janji makan siang dengan salah satu pihak pimpinan radio. Kamu boleh ikut, tapi setelah itu kamu harus kembali ke apartemen, menghafal naskah itu, lalu bersiap-siap untuk penampilanmu jam tujuh malam nanti.”

Senyum mengembang secepat kilat di wajah Dave yang sebelumnya menunjukkan raut bersalah. Pria itu pun mengangguk kegirangan seperti anak kecil yang baru saja dipenuhi kemauannya. Akhirnya, mereka beranjak dari ruangan itu. 

Tanpa sungkan, Dave menggenggam tangan Alexa. Ia tidak berusaha melepaskan genggaman itu hanya demi menjaga perasaan Dave. Alexa tidak mau masalah sepele seperti menggenggam tangan dapat merusak suasana hati Dave. Pria itu harus tampil sempurna malam ini.

Melihat kedatangan mereka, sopir pribadi Alexa langsung membukakan pintu dan mereka pun segera masuk ke mobil. Baru saja mobil membawa mereka beberapa meter jauhnya dari gedung rekaman, ponsel Alexa tiba-tiba bergetar. Ia segera mengeluarkan ponsel dari dalam tas dan menemukan satu pesan masuk dari Wade.

‘Aku ingin bertemu denganmu. Ini tentang pekerjaan.’

Refleks, Alexa menaikkan salah satu alisnya, curiga.

Pekerjaan? Really?

Setelah mengirim pesan balasan, Alexa menunggu beberapa detik hingga Wade kembali menjawabnya.

Ya. Pekerjaan. Sore ini di kondominiumku.

Mata Alexa refleks terbelalak membaca kata ‘kondominium’. Seketika itu pula, ia tahu apa yang Wade inginkan. Alexa memang berniat mengembalikan kontrak kerja sama yang sudah ditandatangani, tapi ia tak berniat berkunjung ke kediaman Wade setelah kejadian semalam—lebih tepatnya, setelah Wade menilai bahwa yang mereka lakukan semalam itu hanya sekedar ‘nice’.

Kegiatanku sangat padat hari ini. 
Aku akan meluangkan sedikit waktu untukmu besok siang.

Alexa mengirim pesan itu, lalu menunggu sesaat, tapi Wade sama sekali tidak membalasnya. Berusaha bersikap tenang meski kesal karena pria itu tak membalas pesannya, Alexa memasukkan ponsel kembali ke tas dan mencoba untuk tidak memikirkan Wade. Namun, yang terjadi malah sebaliknya. Bayangan wajah Wade yang liar dan menggoda saat bergerak memuaskan nafsu berahi mereka berdua, serta ekspresi puas ketika pria itu mencapai orgasme malah memenuhi hampir sebagian besar benaknya.

“Siapa itu?” tanya Dave penasaran, diam-diam memerhatikan Alexa.

“Bukan siapa-siapa.”

“Lalu, kenapa wajahmu merona?”

“Mungkin karena cahaya matahari.” 

Senyum palsu nan kaku mengembang di wajah Alexa saat menjawab pertanyaan itu. Tak ingin membangun percakapan, Alexa segera menatap keluar jendela sembari mengutuki dirinya yang begitu mudahnya merona hanya karena membayangkan wajah Wade. 

Aku mulai aneh. Ya, aku mulai aneh.

 

*****

 

“Baiklah. Kau bisa ikut denganku sekarang. Kita akan ke stasiun TV. Malam ini Dave akan tampil,” jelas Alexa pada Darla, seorang wanita yang setidaknya memenuhi syarat untuk menjadi asistennya. Cantik, muda, sorot matanya memancarkan semangat serta kegigihan tinggi, dan memiliki cukup banyak relasi yang berkaitan erat dengan dunia hiburan.

Setelah Darla menandatangani kontrak kerja, mereka pun keluar dari ruang kerja Alexa, lalu bergegas menuju mobilnya yang sudah siap mengantar mereka ke stasiun TV. Saat mobil melaju meninggalkan halaman parkir, Alexa mengeluarkan ponsel dari dalam tas, mencoba menghubungi Dave. Cukup lama ia mendengar nada dering yang membosankan itu hingga akhirnya Dave pun menjawab.

Alexa?”

Ia mengerut curiga saat mendengar sapaan Dave yang terkesan kaget saat menerima panggilannya. Berusaha tetap tenang meski kesal, Alexa langsung ke pokok pembicaraan. “Kamu sudah siap? Satu setengah jam lagi acara akan dimulai. Di mana kamu sekarang?”

Aku … aku di … sebentar, Alexa. Begini … aku … aku dalam perjalanan ke sana,” jawab Dave gelagapan yang terdengar aneh di telinga Alexa. Pria itu seperti sedang menahan erangan nikmat penuh gairah dengan napas sedikit terengah-engah.

Dave … come on … Dave, stop! Aku … who’s that? Kenapa bisa-bisanya kamu—

Terdengar suara wanita yang cukup dekat di telinga Alexa. Desahan sesekali melesat dari bibir wanita itu, merepresentasikan kegiatan liar yang sedang dilakukan Dave di balik ponsel. Alexa mengernyit jijik dan mendengus kesal, terlebih ketika mendengar betapa Dave berusaha keras menahan desahan nikmat yang akhirnya gagal.

Wait a second,” pinta Dave cepat sebelum Alexa mendengar bunyi ponsel yang jatuh. Alexa tidak mengerti apa yang Dave pikirkan. Pria itu benar-benar tak bisa mengatur waktu, bahkan sempat-sempatnya berhubungan seks sebelum tampil di TV.

Alexa terdiam, lalu menjauhkan ponsel dari telinga tepat ketika desahan liar itu terdengar makin kuat. Ia tidak peduli siapa wanita yang sedang bersama Dave dan apa yang mereka lakukan. Alexa hanya berharap Dave bisa hadir tepat waktu dan tidak mengacaukan penampilannya malam ini. Alexa juga tidak pernah peduli dengan siapa Dave menjalin hubungan, tapi ia tidak suka jika wanita itu menjadi pengaruh buruk yang dapat menghancurkan karir Dave yang sudah ia bangun dengan susah payah.

Aku akan tiba sebentar lagi. Sampai ketemu di sana,” ucap Dave beberapa detik kemudian sebelum memutuskan panggilan begitu saja. Alexa kembali menjauhkan ponsel dari telinga dan menatap kesal layarnya.

“Dia adalah bayi besar yang haus akan perhatian dan sangat sulit diatur. Jadi, kuharap kau bisa mempersiapkan mentalmu untuk menghadapinya,” pesan Alexa pada Darla yang mengangguk penuh percaya diri. Ia memasukkan ponsel kembali ke dalam tas sambil terus berharap agar Dave bisa tiba di lokasi tepat waktu.

 

*****

 

Penampilan Dave berhasil memukau ratusan mata yang hadir. Tepuk tangan dan histeria penonton, serta kemunculan beberapa penggemar yang mencoba menerobos barisan penjaga keamanan agar dapat berfoto dengan Dave, membuktikan betapa pesona pria itu berhasil menghipnotis banyak orang. Sejak awal, Alexa sudah mengingatkan Dave agar selalu rendah hati dan ramah kepada penggemar. Oleh karena itu, Alexa terus mengamati dari kejauhan ketika Dave menerima kehadiran para penggemarnya dengan tangan terbuka 

Setelah selesai berfoto, Alexa dan Dave segera beranjak dari belakang panggung menuju ruang make up artis. Pria itu segera berganti pakaian, lalu membersihkan wajah dari riasan, sementara Alexa menunggu sambil berbincang dengan beberapa artis yang hadir di tempat itu. Tak lama kemudian, Dave menghampiri Alexa, dan mereka bergegas keluar dari gedung stasiun TV.

“Dave, aku ingin memperkenalkanmu pada seseorang,” kata Alexa saat melangkah menuju lahan parkir.

“Siapa?” tanya Dave penasaran.

Alexa tak menjawab dan terus melangkah menuju mobilnya yang berada tidak jauh dari pintu keluar gedung. Ia memang sengaja menyuruh Darla menunggu di dalam mobil bersama sopir, sementara ia masuk ke gedung dan menemani Dave. Ia ingin memperkenalkan Darla ketika Dave sudah dalam keadaan tenang dan jauh dari keramaian. Sambil terus berjalan, Alexa melihat Darla keluar dari mobil dengan senyum lebar memesona.

“Dave, ini Darla. Dia adalah asistenku sekarang. Mulai besok, dia yang bertugas mengurus semua keperluan dan jadwal kegiatanmu setiap hari,” jelas Alexa memperkenalkan. Suaranya dalam dengan sedikit penekanan.

“Darla, ini Dave. Kau pasti sudah tahu siapa dia. Mulai besok, kau sudah bisa melakukan tugasmu sesuai dengan penjelasanku sebelumnya,” lanjut Alexa, tenang dan terkendali. 

Berusaha ramah, Darla mengulurkan tangan kepada Dave. Namun, pria itu terdiam selama beberapa detik seraya menatap ragu wanita bertubuh mungil yang ada di depannya. Meski terkesan terpaksa, akhirnya Dave membalas jabatan tangan Darla, lalu melepaskannya secepat kilat. Kemudian, pria itu menatap Alexa dengan raut kesal sekaligus kecewa.

“Bisa kita bicara sebentar?” Dave langsung menarik Alexa menjauh dari mobil. Ia bisa menangkap penolakan yang sangat jelas dari gestur tubuh Dave terhadap kehadiran Darla.

“Ada apa, Dave?”

“Apa maksudnya ini?” 

Dave melontarkan pertanyaan menuntut disertai raut marah. Mengerti kekecewaan yang tergambar jelas di wajah Dave, Alexa melepaskan cengkeraman pria itu dari lengannya, lalu melipat kedua tangan di depan dada, berusaha menghadapi luapan emosi Dave dengan tenang.

“Kenapa secepat ini kamu menemukan asisten untukku? Aku belum membutuhkannya!” ungkap Dave kesal, lalu menggeram dan menggemeretakkan gigi, berusaha menahan luapan amarah.

“Aku yang membutuhkan dia. Kita sudah pernah membahas ini, Dave, dan kurasa aku tidak butuh persetujuanmu.” Alexa mencoba bersikap setenang dan sedewasa mungkin agar tidak tercipta keributan yang dapat memancing perhatian banyak orang. Namun, Dave tidak sepakat dengan Alexa. Wajah pria itu merah padam di bawah salah satu sinar lampu jalanan yang menyinari lapangan parkir.

“Apa kamu tidak sadar kalau kehadirannya malah bisa memberi jarak di antara kita? Lalu, bagaimana dengan hubungan kita?” cecar Dave marah sekaligus sedih, meluapkan perasaan yang tampaknya sudah pria itu pendam cukup lama. 

Alexa mengerut kesal. Ia tidak suka dengan pertanyaan itu. “Hubungan? Hubungan apa maksudmu?” 

Nada bicara Alexa mulai sedikit lebih tinggi. Ia tidak menyukai pertanyaan itu, terlebih karena mereka tidak pernah menjalin hubungan resmi layaknya sepasang kekasih.

“Hubungan yang kita jalin sejak pertama kali aku setuju untuk menjadi salah satu artismu. Asal kamu tahu, aku menerima semua pekerjaan ini karena kamu, karena aku ingin terus berada di dekatmu. Aku membutuhkanmu, Alexa!” Dave memuntahkan kekesalannya dengan nada keras, tak peduli apakah ada yang mendengar atau tidak. 

“Oh, sungguh? Apakah kamu lupa kalau kita sama sekali tidak memiliki hubungan khusus? Kamu ingin berada di dekatku? Silakan. Tapi, menjalin hubungan lebih? Jangan terlalu berekspektasi tinggi, Dave. Kita hanyalah partner kerja. Kita memang pernah beberapa kali berhubungan seks, tapi bukan berarti kita memiliki hubungan spesial. Please, Dave. Kita sudah sama-sama dewasa. Kita berhubungan seks karena kita menginginkannya. That’s it! Lagi pula, kita sudah membahas ini sejak awal. Apa kamu lupa?” sanggah Alexa terkandung teguran serta ketegasan.

Dave terdiam bahkan terkesan kaget dengan kalimat pembelaan Alexa yang meluncur cepat tanpa memberikan sedikit pun ruang bagi pria itu untuk menyanggah, apalagi menyalahkan dirinya. Dave terluka dan sedih. Perasaan itu terpancar jelas di wajah dan sorot mata Dave, tapi Alexa tidak peduli. Mereka memang tidak memiliki hubungan spesial, jadi tidak seharusnya Dave menuntut Alexa lebih dari sekedar seks.

“Apakah kamu lupa kalau aku setuju ikut syuting film itu karena kamu, Alexa? Karena aku mencintaimu,” ungkap Dave lemah disertai tatapan memelas yang selalu menjadi senjata pria itu setiap kali Alexa menolak kemauannya. Mengerti bahwa sikap tegas dan keras bukanlah cara yang tepat untuk menghentikan rajukan Dave, Alexa menurunkan kedua tangan dari depan dada dan membiarkannya menggantung ringan di samping tubuh. Ia bahkan mengepal kedua tangan demi menekan luapan emosinya.

“Aku tahu. Aku berjanji sebisa mungkin menyisihkan waktu untuk mendampingimu saat syuting nanti, Dave. Tapi, kamu juga harus mengerti kalau masih banyak pekerjaan yang harus kuurus. Itulah kenapa aku membutuhkan Darla. Dia sangat ahli dalam pekerjaannya, dan kamu juga pasti membutuhkannya untuk memenuhi semua keperluanmu saat syuting nanti.” 

Alexa merasa nada bicaranya sudah cukup lembut untuk membujuk Dave yang mulai mengeluarkan sifat kekanak-kanakan. Mata mereka saling mengunci, sementara tak ada kata-kata terucap selama beberapa saat yang cukup kaku. Akhirnya, Dave menghela pasrah, lalu menggenggam kedua tangan Alexa, sementara raut pria itu masih terlihat kecewa meski tak semurung sebelumnya.

“Berjanjilah untuk tetap hadir di lokasi syuting meski hanya sebentar. Berjanjilah padaku, Alexa.” Genggaman itu terasa makin erat, tapi Alexa bisa menangkap besarnya harapan yang terpancar di mata Dave. Raut memelas itu pun menumbuhkan sedikit rasa iba pada Dave—sedikit, hanya sedikit.

“Iya, Dave. Aku janji.” 

“Berjanjilah kalau dia ada hanya untuk membantu meringankan pekerjaanmu. Hanya kamu yang boleh menangani perkembangan karirku, Alexa. Hanya kamu.”

Ingin rasanya Alexa melontarkan protes atas banyaknya tuntutan yang Dave minta darinya. Namun, waktu terus berjalan dan tubuhnya sudah mulai merongrong kelelahan. Memberikan jawaban yang Dave inginkan adalah jalan terbaik untuk mengakhiri percakapan ini.

“Ya, baiklah. Aku janji.”

Akhirnya, Dave tersenyum meski hanya senyum lemah. Alexa mengembuskan napas lega, lalu membalas senyum itu. Tanpa permisi, Dave menarik Alexa dan memeluknya. Kali ini, Alexa membalas pelukan Dave demi menjaga perasaan pria itu. Selama beberapa detik lamanya mereka berpelukan, sampai akhirnya Dave melepaskan pelukan terlebih dahulu.

“Aku akan mengantar Darla pulang. Kamu mau ikut?”

“Aku bawa motor,” jawab Dave lemah, tak bersemangat. Alexa membelai sekilas pipi Dave, mengunci tatapannya, dan mendaratkan kecupan singkat di pipi itu.

“Baiklah, aku pulang dulu. Sampai ketemu besok di studio rekaman jam sembilan. Jangan lupa, besok sesi rekamanmu.” Alexa mengingatkan, dan langsung mendapat anggukan kecil dari Dave.

Tak sabar ingin segera merasakan kenyamanan tempat tidur, Alexa bergegas kembali ke mobil. Setelah ia dan Darla sudah berada di dalam mobil, sopir segera membawa mereka pergi meninggalkan Dave yang masih berdiri memandangi kepergian mereka.

 

*****

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Crazy Of You
Selanjutnya Crazy Of You (21+) - BAB 16 - BAB 18
21
0
Warning 21+!!  (Cerita ini mengandung unsur adegan dewasa, kekerasan, dan kata-kata yang tidak diperuntukkan untuk anak di bawah umur. Harap kebijakannya dalam membaca. Sadar diri, sadar umur.)*****Semua orang mengira hidup seorang Alexa Neandro sangatlah sempurna. Paras cantik, sukses, mandiri, dan digilai oleh para pria. Namun, bukan itu yang diharapkan sang ayah, Pappy. Sejak kecil, Alexa berambisi untuk memiliki perusahaan keluarga, Neandro's Record. Masalahnya, Pappy memberi syarat yang menghalangi Alexa untuk menggapai ambisinya, yaitu kembali menerima cinta dan menikah. Sebagai seseorang yang pernah hancur karena cinta, tentu saja syarat tersebut menjadi hambatan terbesar. Alexa pun putus asa dan merasa peluangnya untuk memiliki Neandro's Record sudah pupus. Namun, harapan Alexa tumbuh kembali saat seorang pria yang sudah lama ia kenal, mulai masuk dan menguncang dunianya. Seorang pria tampan yang terkenal liar saat bercinta. Seorang pria yang kembali mengingatkan Alexa akan kebodohannya di masa lalu. Kebodohan yang membuatnya tidak bisa membedakan antara cinta dan nafsu. Wade Maverick. Romance Adult 21+*****
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan