Crazy Of You (21+) - BAB 1 - BAB 3

316
5
Deskripsi

Warning!! 21+  (Cerita ini mengandung unsur adegan dewasa, kekerasan, dan kata-kata yang tidak diperuntukkan untuk anak di bawah umur. Harap kebijakannya dalam membaca. Sadar diri, sadar umur.)


*****

Semua orang mengira hidup seorang Alexa Neandro sangatlah sempurna. Paras cantik, sukses, mandiri, dan digilai oleh para pria. Namun, bukan itu yang diharapkan sang ayah, Pappy. 

Sejak kecil, Alexa berambisi untuk memiliki perusahaan keluarga, Neandro's Record. Masalahnya, Pappy memberi syarat yang menghalangi...

BAB 1

‘Find a good and responsible man first before you have a baby.

Itulah sebaris kalimat yang pernah Nico ucapkan tiga tahun lalu, tepat saat kelahiran Angelo, keponakannya. Kalimat yang terus menghantui dan membebani Alexa, terlebih ketika ia memasuki usia tiga puluh tahun. 

Ingin rasanya Alexa mengabaikan kalimat itu, tapi tidak bisa. Kerabat terdekat, kolega, bahkan sahabatnya—Kayla dan Devina—selalu memberi tatapan yang mengatakan ‘time is running out!’. Bahkan, mereka tak segan melontarkan pertanyaan keramat yang membuat kata-kata Nico terus terngiang di kepalanya.

Kapan punya pacar? Kapan tunangan? Kapan menikah?

Ughh! Alexa lelah mendengar rentetan pertanyaan itu. Ia tak mengerti mengapa orang-orang ingin sekali mencampuri setiap keputusan yang ia ambil dalam kehidupannya. Yeah, mungkin mereka pikir itu adalah cara yang lumrah untuk menunjukkan besarnya kepedulian serta perhatian mereka. Tidak! Mereka sama sekali tidak peduli. Mereka hanya ingin mencampuri kehidupanku, tukas Alexa kesal.

Semua orang tahu, Alexa bukanlah wanita yang suka dikendalikan. Ia adalah wanita yang bebas. Ini adalah kehidupannya. Tak seorang pun berhak mengatur apa yang ia inginkan dan bagaimana cara menjalaninya. Ini adalah dunianya. Dirinyalah yang bertanggung jawab sepenuhnya atas setiap keputusan yang ia ambil di kemudian hari, bukan orang lain! 

Semua orang juga tahu bagaimana ambisiusnya Alexa. Ia menyukai tantangan, terlebih yang mampu membakar semangat dan gairahnya. Ia tak akan membiarkan satu pun halangan berusaha menghambat kesuksesan yang akan ia raih. Bahkan, Alexa tak ambil pusing dengan status single yang ia sandang dan tetap fokus mengembangkan perusahaan rekaman yang dirintisnya dua tahun yang lalu. Cadence Records.

Kerja keras dan tak mengandalkan bantuan dari siapa pun, itulah prinsip Alexa. Selama merintis Cadence Records, ia selalu mengandalkan ketajaman telinga serta instingnya akan warna-warna dalam musik. Ia juga terus mengasah kelihaian serta ketangkasannya dalam mencari bibit-bibit unggul yang tak pernah dilirik oleh siapa pun, lalu membentuknya menjadi bintang terkenal. 

Dua tahun berlalu, Alexa akhirnya berhasil membawa Cadence Records melesat menembus persaingan ketat dunia permusikan. Bahkan, menelurkan beberapa penyanyi berbakat yang patut diperhitungkan di kancah dunia hiburan. Bisa dikatakan, Alexa hampir mencapai puncak tangga kesuksesan. Sayangnya, julukan ‘wanita es’ masih terus melekat pada dirinya. 

Bagaimana tidak? Alexa dikenal suka menolak lamaran pria-pria yang berusaha menikahinya, bahkan mengempaskan mereka begitu saja setelah menjalin hubungan selama beberapa bulan dan sama sekali tak peduli dengan perasaan para pria itu. Alexa tidak ingin terikat, tidak ingin jatuh cinta. Alexa hanya ingin menjalani hidup sesuai keinginannya. That’s it!

Lagi pula, kenapa aku tidak boleh mengambil keputusan demi kebahagiaanku sendiri? Kenapa orang harus mengomentari pilihan hidupku? Apakah setiap keputusan yang kuambil harus mendapat persetujuan dari mereka? Kenapa aku tidak boleh menjalani hidup seperti yang kuinginkan? Dan, kenapa setiap wanita terus dihantui oleh pertambahan usia seakan hidup kami akan berakhir besok? Kenapa?

Alexa adalah wanita yang mandiri. Ia tidak suka menggantungkan hidupnya pada siapa pun. Siapa pun! Terlebih kepada pria. Lalu, kenapa aku harus memiliki pria di sisiku kalau aku bisa melakukan semuanya sendiri? pikir Alexa setiap kali orang menyuruhnya untuk mencari pasangan. 

“Apa kau tidak menginginkan seorang anak?” tanya Devina beberapa bulan lalu ketika mereka sedang asyik minum kopi di kafe langganan. 

Oh, tentu saja Alexa menginginkan seorang anak lahir dari rahimnya. Namun, bukan berarti ia harus terpaksa menikah dan memiliki suami. Alexa sudah bertekad untuk tidak memiliki pasangan yang berusaha mengendalikan setiap kegiatan dan tindakannya. 

Alexa pernah menjadi wanita lemah, dan ia tak ingin kembali menjadi sosok itu. Ia tidak mau bergantung pada pria seolah hanya mereka satu-satunya kekuatan di dunia ini. Alexa sudah pernah berada di posisi itu, dan ia tak ingin hal itu terulang.

Baginya, pria hadir untuk menjajah kehidupan dan kebebasan wanita. Pria juga selalu melukai dan menghancurleburkan harapan serta perasaan seorang wanita, dan Alexa benci jika hal itu menimpanya. 

Cukup satu kali! Ya, cukup sekali ia terluka, dan Alexa bersumpah tidak ingin merasakan rasa sakit itu lagi.

I don’t need a husband. I just need their dick to make a baby,” jawab Alexa lantang ketika Nico mengingatkannya untuk segera mencari pasangan hidup. Jawaban serupa juga ia lontarkan demi menjawab pertanyaan kedua sahabatnya.

Alexa tak butuh pasangan hidup. Alexa tak butuh cinta. Juga, tak butuh perhatian berlebih penuh kepalsuan yang malah membuatnya muak. Tidak! Ia tak butuh semua itu demi mendapatkan seorang anak. 

Ia hanya butuh kejantanan dan sperma dari seorang pria yang menurutnya tepat untuk menanamkan benih di rahimnya. Masalahnya, pilihannya itu malah melukai hati seorang pria yang tidak akan pernah menyakitinya. Pappy.

Setelah kelahiran Angelo, Pappy mengungkapkan keinginannya untuk segera menggendong cucu dari Alexa. Layaknya gayung bersambut dengan nasihat Nico, Pappy pun meminta Alexa untuk segera membangun sebuah keluarga. Bahkan, mengingatkan ia akan kodrat utamanya sebagai wanita.

Parahnya lagi, dua bulan terakhir ini Pappy selalu menanyakan hal serupa setiap kali ia melakukan kunjungan mingguannya di hari Sabtu. Jujur, Alexa mulai lelah dengan tuntutan Pappy. 

Namun, cintanya yang begitu besar pada Pappy membuat Alexa tidak sanggup melawan ataupun menolak. Dan sekarang, di Sabtu pagi yang cerah, ketika Alexa baru saja memarkirkan mobil di halaman parkir rumah Pappy, ia kembali dihantui oleh tuntutan pernikahan itu. 

Sejenak, matanya memandangi bangunan kokoh berlantai tiga yang dikelilingi tembok pagar seputih pasir. Dua per empat bagian dari bangunan merupakan barisan jendela-jendela kaca nan tinggi yang menghadap langsung ke hamparan Samudera Pasifik yang memesona—salah satu alasan mengapa Pappy sangat mencintai rumah ini.

Hari ini langit tampak cukup cerah dengan gumpalan-gumpalan awan putih. Angin bertiup lembut menyentuh dedaunan pohon-pohon yang berbaris menghiasi sisi tembok rumah. Deru ombak yang menyentuh bibir pantai serta kicauan burung yang riang pun berhasil menciptakan sensasi menyenangkan di telinganya.

Setelah beberapa menit berdiam di dalam mobil demi memupuk keberanian, Alexa akhirnya keluar dari mobil sambil berharap agar kunjungannya kali ini dapat berjalan lancar tanpa meninggalkan kekecewaan di wajah Pappy. Mengenakan kaos longgar u-can see di balik jaket kulit berwarna cokelat tua yang dipadupadankan dengan skinny jeans hitam yang membalut sempurna kaki jenjangnya, Alexa tampil bak model papan atas yang mampu menaklukkan hati para pejantan tangguh. 

Namun, entah mengapa kepercayaan diri yang biasa terkandung dalam tiap sel darahnya, lenyap tak bersisa. Keraguan pun muncul seolah menegaskan bahwa ia akan kembali mengukir kekecewaan di wajah Pappy jika terus bersikeras dengan pendiriannya.

Sejenak, Alexa membiarkan angin bertiup lembut menerpa wajah serta rambut merah kecokelatannya yang tergerai bebas. Seraya menarik napas dalam-dalam, ia memupuk kembali kepercayaan dirinya. 

Terlatih bangkit secepat kilat dari kegagalan, akhirnya Alexa berhasil menenggelamkan kerisauan yang sempat melanda. Mata cokelat almonnya pun mulai memancarkan semangat yang menyala-nyala di bawah sinar matahari yang tidak terlalu terik. Dengan langkah mantap, Alexa mulai berjalan menuju pintu rumah. 

“Di mana Pappy?” tanya Alexa pada Laura, kepala pelayan yang selalu tahu jadwal kunjungannya. Wanita berusia lima puluhan dan bertubuh gempal itu menyambut kedatangannya dengan senyum hangat.

“Mr. Neandro ada di ruang kerjanya, Nona Alexa.” 

Sorot mata Laura memancarkan kehangatan dan kasih sayang khas seorang ibu. Alexa tersenyum ringan, lalu menepuk hangat pundak Laura sembari melangkah masuk. Ia bergegas ke barisan anak tangga, kemudian menaikinya satu per satu menuju lantai dua. 

Alexa berhenti sejenak di tengah tangga. Melalui jendela kaca yang menjulang tinggi, matanya mengagumi keindahan pantai Tamarama yang diramaikan oleh para pengunjung, baik dari penduduk setempat ataupun pelancong. 

Puas menikmati, Alexa kembali melangkah. Ketika tiba di lantai dua, ia langsung berbelok ke kanan, melintasi koridor panjang yang dindingnya didominasi warna putih bersih. Pintu kayu di ujung koridorlah yang menjadi tujuannya. Sebelum menekan tuas pintu, Alexa menarik napas panjang, lalu mengembus perlahan demi membuang rasa gugup yang tiba-tiba kembali menghampiri.

“Halo, Pap.” Alexa menyapa ringan dan ceria seperti biasa sembari memasuki ruangan. Pappy, yang sedang duduk di belakang meja kerja, langsung mengangkat wajah, dan sorot lembut penuh kasih sayang sarat kerinduan itu pun menyapa kehadiran Alexa.

“Halo, Alexa,” sambut Pappy parau diiringi senyum hangat. Terlalu bersemangat menyambut kehadirannya, Pappy memaksakan diri beranjak dari kursi kerja, mengambil tongkat jalan yang disandarkan di meja, kemudian melangkah mengitari meja. 

Alexa tahu, Pappy berusaha terlihat bugar meski kondisi kesehatannya makin menurun. Tak tega membiarkan Pappy bersusah payah menghampiri, Alexa mempercepat langkah demi membantu dan menuntun Pappy menuju sofa panjang berwarna hitam yang berada tak jauh dari meja kerja.

“Bagaimana kondisi kesehatanmu, Pap? Apakah dokter sudah datang memeriksa?” tanya Alexa seraya membantu Pappy duduk.

“Sudah. Dokter sudah datang tadi pagi-pagi sekali.” 

Alexa melirik curiga seraya duduk di samping Pappy yang dengan telaten menyandarkan tongkat di meja persegi yang ada di hadapan mereka.

“Lalu? Bagaimana hasil pemeriksaannya?” Alexa menatap wajah Pappy yang masih memancarkan karisma kuat di usianya yang sudah lanjut.

“Seperti biasa,” jawab Pappy singkat yang malah membuat Alexa khawatir. Tak berusaha menutupi ketidaksukaannya akan sikap Pappy yang selalu bersikeras terlihat sehat di hadapannya, Alexa refleks mengerutkan kening seraya memasang raut curiga.

“’Seperti biasa’ apa maksudnya, Pap? Katakan padaku, apa sebenarnya yang dokter katakan?” tuntut Alexa sedikit mempertegas nada bicaranya. 

Sembari mengibaskan rambut ke belakang, Alexa terus menatap tajam Pappy, tatapan yang selalu ia gunakan untuk menunjukkan betapa tidak puasnya ia akan sesuatu. Sungguh, Alexa tidak pernah suka jika Pappy merahasiakan sesuatu, terlebih mengenai kesehatannya.

“Pappy sehat, Alexa,” ujar Pappy serak, lalu berdeham cukup keras disusul batuk yang membuat Alexa semakin tidak tenang.

“Sehat? Are you sure, Pap?” Alexa mengusap punggung Pappy, berharap batuknya segera menghilang. “Sehat seperti apa yang harus kudengar sekarang? Come on, Pap! Aku harus tahu bagaimana perkembangan kesehatan Pappy. Aku tidak mau sesuatu yang buruk terjadi padamu, Pap. Aku—“

“Alexa,” potong Pappy cepat, lalu berdeham keras, memaksa agar batuk itu tenggelam dalam deheman. Alexa bergegas mengambil segelas air putih yang selalu tersedia di meja, lalu memberikannya pada Pappy yang langsung meneguk minuman itu hingga tandas.

“Pappy baik-baik saja, Alexa.” 

Tak percaya dengan informasi tersebut, Alexa meletakkan kembali gelas ke meja, kemudian melemparkan tatapan protes pada Pappy. 

“Tekanan darah Pappy memang agak tinggi, tapi semuanya masih dalam kondisi normal.”

“Normal?” ulang Alexa tak percaya seraya duduk di samping Pappy. Ia tidak akan menelan informasi bulat-bulat. Ia pasti akan menggali sedalam mungkin hingga informasi yang ia terima dapat dipertanggungjawabkan. 

“Apanya yang normal? Kenapa tekanan darah Pappy bisa naik? Apa ada masalah dengan perusahaan?”

Bukannya langsung menjawab pertanyaan beruntunnya, Pappy malah tersenyum, lalu meletakkan tangan kiri di atas tangan kanan Alexa, dan meremasnya erat. Masih dengan raut curiga bercampur khawatir, Alexa menatap iris yang berwarna senada dengannya, cokelat almon.

Dengan penuh kehangatan, mata itu menatapnya seolah memohon agar dirinya tenang sejenak. Masalahnya, Alexa tidak mungkin bisa tenang. Hanya Pappy yang ia miliki saat ini setelah Mommy meninggal beberapa tahun lalu. Ia begitu mencintai Pappy dan tak ingin kehilangan satu-satunya cinta yang tulus dalam dunianya. 

“Alexa, kamu tahu … dua minggu lagi adalah peringatan hari ulang tahun pernikahan Pappy dan Mommy, sedangkan ….” Pappy langsung berhenti berbicara, sementara air mata mulai menggenang. 

Sekarang, Alexa tahu penyebab naiknya tekanan darah Pappy. Masih berusaha menunjukkan ketegarannya saat air mata menetes, Pappy secepat mungkin mengusap air mata itu seraya menyunggingkan senyum lemah. Senyum yang menunjukkan besarnya rindu Pappy pada Mommy. 

Tak sanggup melihat Pappy bersedih, Alexa segera bersimpuh di depan kaki Pappy. Kemudian, dengan lembut ia menyeka air mata yang tak kunjung berhenti mengalir. 

Please, don’t cry, Pap. Look at me, please. Look at me and smile like you did before,” bujuk Alexa sedih sambil terus mengunci mata Pappy yang menatapnya dengan penuh kasih sayang. Lekukan kecil di ujung bibir menandakan betapa Pappy berusaha tersenyum meski air mata terus menetes. Pappy mengangkat tangan, lalu mengusap lembut pipi Alexa.

“Kamu mengingatkan Pappy pada Mommy, Alexa. Sifatmu, wajah dan suaramu … kamu benar-benar mirip Mommy. Setiap kali melihatmu, Pappy seperti melihat kembali sosok Mommy yang ceria dan penuh kehangatan. Pappy hanya ….”

“Merindukan Mommy,” lanjut Alexa lembut seraya mengusap air mata Pappy. Dengan anggukan lemah, Pappy kembali menunjukkan senyum kecil di ujung bibirnya. 

Inilah cinta yang sebenarnya. Seperti inilah cinta seharusnya bertahan. Cinta yang tak pernah pudar, tak pernah berkurang, dan akan tetap ada meski orang yang dicintai telah tiada. Ya, cinta seperti inilah yang Alexa inginkan. 

Sayangnya, ia belum pernah sekali pun menemukan seorang pria yang mampu menunjukkan cinta sebesar yang Pappy miliki terhadap Mommy. Belum. Atau mungkin … Alexa tak akan pernah menemukan pria seperti Pappy karena ia sudah bertekad menutup rapat-rapat hatinya dari romansa cinta yang menyakitkan.

“Pappy merindukannya, Alexa. Pappy rindu senyumannya, suaranya … Pappy ingin memeluknya lagi. Pappy ingin kembali merasakan kehangatannya dalam pelukan Pappy dan menatap cahaya cinta yang selalu Mommy tunjukkan setiap kali menatap Pappy. I miss her so much, Sugar. So so much.” 

Tetesan air mata Pappy mengalir semakin deras. Kesedihan sarat kerinduan tidak hanya tergambar dari setiap kata yang Pappy ucapkan, tapi juga dari sorot mata, raut wajah, dan isak tangis yang tertahankan.

“Aku tahu, Pap. Aku tahu.” 

Alexa memahami sekaligus merasakan kerinduan yang sama besarnya seperti yang Pappy rasakan. Ia menjauhkan tangannya dari wajah Pappy, lalu memeluk pinggang seraya merebahkan kepala di atas pangkuan Pappy layaknya gadis kecil yang manja.

I love you, Pap,” ungkap Alexa lembut, sementara perih di dadanya terasa makin menyiksa.

I love you more, Sugar,” balas Pappy lemah seraya mengusap lembut rambut Alexa dengan penuh kasih sayang. Alexa tahu betapa Pappy berusaha menahan tangis selama beberapa detik sebelum akhirnya pecah dan mengisi ruangan dengan isak kerinduan yang begitu menyayat hati.

Tak kuasa menahan kesedihan yang makin besar tiap kali melihat Pappy bersedih, Alexa memejam dan mempererat pelukannya di pinggang Pappy. Ia tidak mau kehilangan Pappy. Penyakit jantung serta darah tinggi yang Pappy derita memang sudah lama terdeteksi, bahkan sebelum Mommy meninggal. Namun, akhir-akhir ini kondisi kesehatannya semakin menurun.

Semenjak Nico menikah dan memutuskan menetap di Jakarta, hanya Alexa yang dapat memonitor langsung kondisi Pappy. Ia juga berkewajiban melapor pada Nico. Meskipun kakak laki-lakinya itu sesekali menghubungi Pappy, tapi Nico tidak percaya begitu saja pada Pappy yang selalu mengatakan kalau kondisi kesehatannya baik-baik saja, padahal tidak.

Tiga bulan belakangan, Laura mengabarkan kalau Pappy sering termenung. Pappy juga suka memutar video pernikahan. Setelah selesai menonton, kondisi kesehatannya pasti langsung menurun. 

Alexa tahu, Pappy sangat merindukan Mommy, tapi ia tidak tahu harus berbuat apa agar bisa mengalihkan pikiran Pappy. Cinta mereka terlalu besar, semua tahu itu.

Selama beberapa saat, mereka terdiam, tenggelam dalam kesedihan masing-masing. Alexa menunggu hingga Pappy mampu menenangkan diri, dan setidaknya kembali tersenyum meski hanya sedikit. 

Berselang beberapa saat kemudian, helaan napas sedih memecah kesunyian. Alexa mengangkat wajah, menatap Pappy dengan penuh kasih sayang. Memahami kerisauannya, Pappy mulai membelai lembut rambut Alexa. Senyum kecil itu akhirnya kembali terukir.

Are you OK now, Pap?” tanya Alexa, khawatir berbalut sedih.

I’m OK, Alexa.”

Pappy tersenyum lemah sebelum kembali mengembus napas panjang. Alexa membalas senyuman itu, lalu mengecup punggung tangan Pappy sebelum bangkit dan kembali duduk di sampingnya.

“Bagaimana kehidupanmu selama seminggu ini, Alexa? Apakah semua berjalan lancar?” Pappy akhirnya mengalihkan topik percakapan. Meski berusaha terdengar tenang di balik suara parau sehabis menangis, Alexa mengerti bahwa kerinduan terhadap Mommy tak berkurang secuil pun. 

Menanggapi pertanyaan yang Pappy lontarkan, Alexa tersenyum ringan dan berharap pertanyaan itu tak mengarah ke topik sensitif yang berusaha ia singkirkan dari benaknya. Namun, ketika menangkap sedikit semangat di mata Pappy, Alexa pun tak mampu menolak pertanyaan itu.

“Lancar, Pap,” jawab Alexa singkat, tapi ia sudah siap mengalihkan topik percakapan itu ke hal yang lebih menarik untuk dibahas. 

“Dan, aku juga membawa kabar gembira untuk Pappy.”

Senyum hangat langsung mengembang di wajah Pappy. Alexa dapat menangkap rasa ingin tahu yang terpancar jelas di mata itu.

“Kabar gembira? Apa itu, Alexa? Sudah adakah pria yang berhasil membuatmu jatuh cinta? Apakah dia melamarmu?” tanya Pappy penuh harap. Bibir Alexa mengerucut malas ketika pertanyaan itu meluncur bak peluru yang melesat cepat tepat mengenai sasaran. 

“Kenapa Pappy selalu menanyakan hal yang sama berulang-ulang?” keluh Alexa manja seraya melipat kedua tangan di depan dada bak gadis kecil yang merajuk pada ayahnya.

“Karena Pappy ingin menimang cucu darimu, Alexa.” Pappy tersenyum hangat dan penuh kasih sayang. Sementara itu, Alexa sekuat tenaga menepis rasa menggelitik di dada setelah mendengar keinginan Pappy.

“Aku tidak harus jatuh cinta dan menikah untuk bisa memiliki seorang anak, Pap. I won’t trust them! Lagi pula, tidak ada pria di dunia ini yang sepertimu. Mereka semua pembohong ulung. Tak ada yang benar-benar bisa menunjukkan ketulusan cintanya kepadaku sebesar yang Pappy rasakan kepada Mommy,” jelas Alexa yang lebih terdengar seperti gerutuan manja. 

“Hmm, Pappy sudah hafal dengan jawabanmu.”

Yeah, begitu juga aku, Pap. You always asked me the same question,” timpal Alexa sedikit ketus yang malah membuat Pappy tersenyum geli. 

Pasrah karena tahu Pappy akan terus menerornya dengan topik yang sama, Alexa segera mengalihkan pembicaraan secepat mungkin. Ia sudah tidak sabar menceritakan perkembangan perusahaan yang ia rintis sendiri.

“Pap.” Alexa secepat kilat menghapus raut merajuk dari wajah, lalu menggantinya dengan raut antusias dan gembira. 

“Kurasa Pappy sudah mendengar kabar mengenai kesuksesan Cadence Records tahun ini. Kami berhasil mengorbitkan beberapa penyanyi ternama, Pap. Bahkan, salah satu penyanyiku mampu mencuri perhatian para pecinta musik. Penjualan albumnya pun sangat menakjubkan, bahkan melebihi ekspektasiku, Pap!” 

Alexa tak berusaha menutupi kegembiraannya, bahkan tak menyangka suaranya terdengar begitu lantang dan riang. Kedua tangan yang sebelumnya terlipat di depan dada, mulai bergerak penuh semangat saat Alexa menceritakan keberhasilannya. Ya, begitulah Alexa. Ia tak pernah bisa menutupi perasaannya dari Pappy.

“Pappy bahagia mendengar keberhasilanmu, Alexa. Kamu tahu kalau Pappy selalu memantau perkembanganmu,” sahut Pappy sambil tersenyum bangga seraya menepuk-nepuk lengan Alexa dengan penuh kasih sayang. Seketika itu pula, Alexa mencoba mengingatkan Pappy akan janji peralihan Neandro’s Records padanya.

“Pap, boleh aku menanyakan hal penting yang pernah kita bicarakan beberapa tahun yang lalu?” tanya Alexa, memberanikan diri.

“Hal penting apa, Sugar?” tanya Pappy lembut.

“Emm, tentang … Neandro’s Records.” Alexa berhenti sesaat sambil mencoba membaca perubahan raut wajah Pappy. Tak melihat perubahan signifikan di wajah Pappy, Alexa pun kembali berbicara. 

“Pappy serius mau memberikan Neandro’s Records padaku, kan? Melihat keberhasilan Cadence Records yang kucapai selama ini, kurasa aku sudah pantas menerima tanggung jawab itu sekarang, Pap.” 

Alexa tak berusaha menutupi sedikit pun antusias serta semangatnya yang berapi-api. Rasa percaya diri yang tinggi membuat senyum Alexa mengembang dan raut wajahnya berseri-seri. 

Ia yakin, Pappy pasti akan menyerahkan Neandro’s Records padanya karena ia telah berhasil melewati tantangan yang Pappy berikan dua tahun lalu. Tantangan yang menuntut pembuktian bahwa ia layak menerima dan mengambil alih Neandro’s Records.

Namun, kepercayaan diri Alexa lenyap seketika saat perubahan raut Pappy tidak sesuai dengan yang ia harapkan. Raut itu menunjukkan penyesalan yang begitu mendalam. Lidah Alexa kelu seketika. Ingin rasanya ia bersabar dengan sikap diam Pappy, tapi sesuatu dalam dirinya—yang terbiasa bertindak dan berpikir cepat—memaksanya untuk segera bertanya.

“Ada apa, Pap? Apa ada yang salah dengan ucapanku?” tanya Alexa, tidak bisa menunggu lebih lama lagi. 

Tarikan napas panjang serta embusan rasa bersalah menandakan betapa berat keputusan yang harus Pappy ambil. “Tidak ada yang salah dengan ucapanmu, Sugar. Hanya saja … masih ada hal kecil yang membuat Pappy ragu memberikan Neandro’s Records padamu.”

Jawaban itu bak hujaman keras di ulu hati Alexa. Tingkat kepercayaan diri yang begitu tinggi membuat Alexa jatuh terempas begitu keras hingga menghantam kuat harapan yang sudah ia pupuk dua tahun belakangan ini. Kekecewaan yang begitu dalam pun membuatnya sempat membeku selama beberapa detik dengan mata terbelalak dan bibir sedikit terbuka.

Alexa benar-benar kecewa. Bukan pada Pappy, tapi pada dirinya sendiri karena ternyata keberhasilan yang telah ia capai tak sesuai dengan tolak ukur Pappy. Kekecewaan itu pun terasa semakin menohok karena impiannya untuk memiliki Neandro’s Records lenyap bak debu tertiup angin.

Pappy tahu betapa Alexa begitu menginginkan perusahaan rekaman itu. Bukan karena menginginkan warisan melimpah, tapi karena Neandro’s Records memiliki nilai sentimental tersendiri bagi Alexa.

Neandro’s Records adalah simbol kekuatan cinta Pappy dan Mommy. Kalimat itu terucap langsung dari bibir Pappy ketika Alexa berusia belasan. Meski ia tidak tahu sejarah di balik berdirinya perusahaan itu, tapi kalimat itulah yang membuat Alexa terobsesi untuk memiliki Neandro’s Records.

“Hal kecil? Aku sudah membuktikan keberhasilan serta tanggung jawabku atas Cadence Records. Apa semua itu masih kurang, Pap?” tanya Alexa terkandung protes. Dahinya mengerut tidak terima, sementara hatinya hancur berkeping-keping karena kekecewaan yang begitu mendalam.

Sugar, Pappy memang berniat memberikan Neandro’s Records padamu. Pappy juga sangat bangga karena kamu bisa berhasil tanpa bantuan Pappy,” jelas Pappy dengan sikap tenang yang mengandung banyak arti.

“Tapi?”

Ia tahu, pasti ada kata ‘tapi’ di antara sejuta pujian yang akan Pappy ucapkan. Bukannya langsung bicara, Pappy malah memilih diam selama beberapa detik, tampak berpikir dan menyusun kata-kata yang tepat agar tidak melukai perasaan Alexa.

“Tapi ada sesuatu yang membuat Pappy menimbang kembali keputusan untuk memberikan Neandro’s Records padamu, Alexa.” 

“A-apa itu, Pap?” tanya Alexa lirih dan lemas. 

Pappy mempertahankan sikap tenang serta berwibawanya, sementara tatapan mereka saling mengunci. Alexa bisa merasakan betapa besar rasa sayang yang Pappy miliki untuknya. Bahkan, Pappy rela memberikan seisi dunia demi membahagiakannya. Namun, tatapan hangat itu tidak sesuai dengan keengganan Pappy memberikan Neandro’s Records padanya. 

“Alexa, apa kamu tahu sejarah di balik kesuksesan Neandro’s Records?” tanya Pappy tenang dan terkendali. Alexa menggeleng cepat tanpa sedikit pun menghapus raut kecewanya, tapi Pappy malah tersenyum kecil seolah kesedihan yang ia rasakan hanyalah sebuah masalah sepele.

“Pappy mendirikan Neandro’s Records untuk Mommy. Pappy tahu betapa besar kecintaan Mommy pada musik dan lagu, Alexa. Mommy-mu memiliki jiwa seni yang kuat, yang ternyata menurun pada kalian berdua, and I’m so glad for it.” 

Meski terlihat tenang ketika berbicara, tapi Alexa bisa menangkap kerinduan yang begitu besar di mata itu. “Pappy ingin Mommy menyalurkan bakatnya. Pappy tahu, diam-diam Mommy suka menciptakan lagu. Karena Pappy tidak mau bakatnya tenggelam begitu saja, jadi Pappy bekerja keras membangun Neandro’s Records.

“Awalnya, Pappy ingin Mommy mengeluarkan album, tapi dia menolak keras untuk menyanyi. Akhirnya, Pappy mencari penyanyi bertalenta serta orang-orang yang ahli mengaransemen lagu agar lirik-lirik ciptaan Mommy bisa diperdengarkan ke khalayak umum,” lanjut Pappy sebelum berhenti untuk menghela napas panjang. Sejenak, Pappy mengalihkan pandangan dari Alexa dan menatap foto Mommy yang terpajang di ruangan itu.

“Pappy ingin membuat Mommy bahagia. Hanya itu tujuan hidup Pappy, membuatnya bahagia,” ungkap Pappy disusul senyum kecil serta tatapan sayu penuh cinta pada foto Mommy.

“Mommy-mu adalah wanita yang hebat, Alexa. Meskipun pada akhirnya dia memutuskan untuk berhenti menciptakan lagu dan memilih fokus membantu Pappy mengorbitkan penyanyi-penyanyi bertalenta yang mampu menyanyikan setiap lagu dengan penuh cinta serta penghayatan, tapi kesibukan itu tidak menghentikan kecintaannya pada musik. 

“Sesekali, dia masih menciptakan lirik lagu walau tidak seperti dulu. Dia jugalah yang menentukan penyanyi mana saja yang pantas untuk diorbitkan. Setiap lagu yang penyanyi nyanyikan pun setidaknya harus diperdengarkan dan dipilih oleh Mommy,” terang Pappy bangga.

Senyum kecil yang terus mengukir wajah Pappy menandakan kalau saat ini pria itu sedang tenggelam dalam manisnya kenangan yang dilalui berdua dengan Mommy. Sementara itu, Alexa hanya bisa diam seraya tersentuh akan sorot penuh cinta di mata Pappy ketika pandangannya tertuju pada foto. Cinta itu masih sama besarnya seperti yang Alexa kenal meski saat ini Mommy telah tiada.

“Mommy-mu adalah jiwa dari Neandro’s Records, Alexa,” lanjut Pappy setelah terdiam selama beberapa saat. “Dia memiliki cita rasa yang sangat bagus dalam musik. Pappy sangat bersyukur bisa memiliki Mommy-mu. Dia selalu setia di sisi Pappy, bahkan dalam keadaan tersulit sekalipun. 

“Keberhasilan Neandro’s Records hingga bisa bertahan di tengah-tengah persaingan perusahaan rekaman yang mulai bermunculan, semua itu pun tak lepas dari campur tangannya. Mommy-mu. Semua karena dia, Alexa. Itulah mengapa Pappy berpikir ulang untuk memberikan Neandro’s Records padamu. Pappy ingin kamu mempunyai apa yang kami miliki ketika pertama kali merintis Neandro’s Records.”

“Yang Pappy dan Mommy miliki?” ulang Alexa dengan sedikit penekanan seraya mengerut bingung. Pappy kembali menatapnya dengan penuh kasih sayang, kemudian tersenyum lembut.

“Cinta.”

Seketika itu pula, Alexa terdiam membeku. Ia tertampar oleh satu kata sakral yang selalu terdengar menakutkan di telinganya. Namun, tatapan Pappy yang begitu dalam dan hangat mencoba menegaskan arti di balik percakapan ini. 

Alexa berharap Pappy tidak serius dengan permintaan tak terucap yang terpancar jelas di matanya. Sayangnya, senyum yang menghiasi wajah Pappy tak sedikit pun mengaburkan keseriusan pria itu akan kata-katanya. Keheningan yang menyesakkan melingkupi Alexa selama sesaat, sementara ia masih berusaha mengendalikan keterkejutannya.

Alexa benar-benar tak menyangka kalau Pappy akan menceritakan masa lalu Neandro’s Records tepat di saat ia sudah siap menerima tanggung jawab itu. Bukannya tidak menyukai kilas balik penuh romantisme dan masa lalu manis antara Pappy dan Mommy, tapi syarat yang mengikuti cerita itulah yang membuat Alexa merasa terjebak.

Cinta, satu kata yang selalu ia hindari. Sialnya, malah itu yang menjadi tolak ukur keputusan Pappy.

“Apakah ini artinya Pappy tak akan memberikan Neandro’s Records padaku?” tanya Alexa setelah berhasil mengendalikan keterkejutannya. 

Namun, ia tidak bisa menutupi kekecewaan yang terkandung dalam setiap katanya. Berusaha menenangkan, Pappy meremas tangan Alexa sejenak, lalu mengangkat dan mengecup punggung tangannya dengan kasih sayang yang tak terkira.

“Bukan hanya tanggung jawab yang Pappy butuhkan darimu, Alexa,” ungkap Pappy, lembut. 

“Lalu apa, Pap?” 

“Tanggung jawab tanpa cinta, sama saja seperti tubuh tanpa jiwa,” jelas Pappy bijaksana, “tunjukkan pada Pappy kalau kamu memiliki cinta yang kuat. Cinta yang mampu membuatmu menjadi pribadi yang sempurna, Sugar.”

“Aku mencintai Pappy. Cinta yang kumiliki dan yang kuterima dari Pappy membuatku jadi anak yang kuat dan sempurna. Apakah itu kurang, Pap?” sahut Alexa cepat, berusaha membela diri. Alexa tahu ke mana arah percakapan ini, dan ia sangat tidak menyukainya.

“Cinta Pappy padamu memang membuatmu menjadi anak yang kuat dan sempurna, tapi bukan wanita yang sempurna,” terang Pappy dengan sedikit penekanan yang membuat Alexa tak berkutik. “Temukan cintamu, Alexa. Isilah hati dan dirimu dengan cinta yang sebenarnya. Ketika cinta sudah benar-benar memenuhi duniamu, saat itulah kamu siap menerima Neandro’s Record yang sudah Pappy bangun dengan penuh cinta untuk Mommy-mu.”

Tubuh Alexa seketika lemas. Seluruh energinya seolah lenyap tidak bersisa karena kekecewaan yang ia alami akibat permintaan Pappy yang tak akan pernah bisa ia penuhi.

Menemukan cinta? Cintaku sudah hilang tujuh tahun lalu, dan aku tidak ingin rasa sakit itu kembali menyiksaku. Bagaimana aku bisa menemukan cinta, sementara aku sudah menutup hatiku rapat-rapat? Masih sanggupkah aku menerima kehadiran cinta dalam hatiku?

Ia menghela napas cepat, pasrah sekaligus putus asa akan keputusan Pappy. “Kurasa aku tak akan pernah memiliki perusahaan itu.”

“Pappy yakin kamu pasti bisa menemukan cintamu, Sugar,” bujuk Pappy seraya menyemangati Alexa. 

“Semoga.” 

Alexa tak serius dengan ucapannya, bahkan tak berani menaruh harapan tinggi akan hadirnya cinta baru dalam kehidupannya. Ingin rasanya Alexa melontarkan penolakan dan memohon agar Pappy mengubah syarat itu. Namun, senyum hangat yang mengukir wajah Pappy membuat Alexa tak mampu melawan.

“Mau ke pantai sekarang?” tanya Alexa cepat, mengalihkan topik percakapan yang berhasil menguras emosi serta semangatnya. Ia pun mencoba membangkitkan kembali semangat di dalam dirinya, meski sulit. 

“Tentu saja mau. Pappy sudah menunggu ajakan itu dari tadi,” jawab Pappy bersemangat. Dengan penuh kasih sayang, Pappy mengecup kening Alexa sebelum ia membantu Pappy beranjak dari sofa. Layaknya gadis kecil yang manja, Alexa menggandeng tangan Pappy ketika mereka berjalan menuju pintu.

 

*****

 

BAB 2

Alexa mengangkat cangkir ke hadapannya, lalu menghirup dalam-dalam aroma kopi yang khas, kemudian menyeruput cairan hitam itu sebanyak dua kali dengan harapan kafein mampu memperbaiki suasana hatinya. Setelah meneguk rasa pahit yang khas, ia meletakkan cangkir kembali ke piring tatakan, lalu menghela napas panjang. 

Percakapannya dengan Pappy tadi pagi sungguh menguras hati dan pikiran. Butuh melampiaskan kekecewaan serta frustrasinya, ia pun segera menghubungi Kayla dan Devina agar menemuinya di kafe langganan— tempat di mana mereka biasa berkumpul di sela-sela sibuknya dunia kerja yang mereka jalani. Setelah pulang ke rumah dan berganti pakaian, Alexa bergegas ke kafe.

Sekarang, di sinilah ia, duduk sendirian di salah satu kafe ternama yang berlokasi di tengah-tengah kota Sidney. Dengan pandangan tertuju ke langit malam yang tampak cerah dari balik jendela tinggi kafe, Alexa menatap datar Bulan yang bersinar terang dengan bintang-bintang yang bertaburan menghiasi kelamnya langit malam. 

Dengan sabar, ia menunggu kedatangan kedua sahabatnya. Meski terlihat tenang dan santai, tapi tak ada yang tahu betapa kacau perasaan Alexa saat ini. Alexa benar-benar harus bertukar pikiran dengan Kayla dan Devina. Jika tidak, dapat dipastikan suasana hatinya akan buruk sepanjang minggu.

Neandro’s Records. Meski tahu kalau syarat yang Pappy berikan adalah tantangan tersulit yang harus ia hadapi, tapi Alexa bertekad memiliki perusahaan itu, bagaimana pun caranya.

Siapa bilang Alexa tidak pernah menjalin hubungan setelah kejadian menyakitkan itu? Tentu saja pernah. Selama tiga tahun belakang ini, ia sempat menjalin hubungan dekat dengan beberapa pria. Walaupun semua tidak pernah berlangsung lebih dari tiga bulan, tapi setidaknya kehidupan seks Alexa berjalan lancar. 

Alexa bukannya antipati terhadap pria. Hanya saja, ia enggan meningkatkan hubungan yang telah terjalin ke tingkat yang lebih serius. Bahkan, setiap kali mereka mulai menunjukkan tanda-tanda ingin melamar atau mengucapkan kata cinta, Alexa pasti langsung memutuskan hubungan. 

Takut terikat? Mungkin saja. Lagi pula, Alexa termasuk wanita yang mudah bosan. Ia pasti langsung menjaga jarak ketika para pria itu mulai kekanak-kanakan dan menuntut perhatian lebih darinya. Alexa juga bosan dengan sikap posesif dan cemburu yang berlebihan, yang membuatnya tidak bisa bergerak bebas.

Namun, di balik semua alasan itu, yang membuat Alexa enggan menjalin hubungan serius adalah karena ia tak ingin merasakan kekecewaan dan sakit hati lagi. Sayangnya, tak satu pun dari para pria itu mengerti bahwa Alexa tidak tertarik—belum, lebih tepatnya—untuk menikah.

Sejak awal menjalin hubungan, Alexa sudah mengutarakan prinsipnya tersebut. Bukannya menyerah dan mundur perlahan-lahan, mereka malah berlomba-lomba menaklukkan Alexa seolah ia adalah piala dari permainan yang menantang. Alexa lelah. Benar-benar lelah.

Lalu, apakah ia tidak akan memperbolehkan cinta untuk hadir kembali dalam hati dan kehidupannya? Alexa juga tidak tahu. Di matanya—terlebih di zaman sekarang ini—tidak ada lagi pria yang mampu mencintai seorang wanita dengan tulus. Para pria mencintai wanita hanya karena apa yang wanita itu miliki. Harta, kekayaan, kecantikan, dan tubuh yang menggoda.

Alexa menginginkan cinta seperti yang Pappy miliki terhadap Mommy. Pappy mencintai Mommy bukan karena kekayaan, harta, atau kecantikan. Mommy bukan berasal dari kalangan atas, parasnya memang tidak terlalu cantik namun manis dan tidak membosankan, gaya hidupnya sederhana, bahkan tidak suka dandan berlebihan. Namun, Mommy memiliki hati yang tulus, lemah lembut, penyabar, serta kehangatan yang mampu meruntuhkan sikap dingin Pappy.

Sambil menekan kekecewaan karena gagal memiliki Neandro’s Records, Alexa mencoba mengalihkan pikirannya sejenak dengan memerhatikan suasana kafe yang selalu ramai terlebih di Sabtu malam. 

Tawa ringan mengiringi denting gelas yang sesekali terdengar mengisi ruangan berlangit-langit tinggi dengan dinding bercat putih. Lampu-lampu yang memancarkan cahaya kuning hangat pun menambah kenyamanan yang sejak awal ditawarkan tempat itu. Band kafe yang membawakan deretan lagu jazz ternama mendapat perhatian khusus dari pengunjung. Beberapa pasangan kekasih pun terlihat mengisi malam minggu mereka dengan duduk berduaan ditemani beberapa gelas minuman.

Setelah menghela napas bosan untuk yang ke sekian kali, Alexa melirik arlojinya. Waktu menunjukkan pukul 20.30, tapi tak ada satu pun tanda-tanda kedatangan dari kedua sahabatnya. 

Tak sabar lagi, Alexa mengeluarkan ponsel dari tas tangan, lalu menghubungi Kayla. Nada dering yang membosankan malah membuat Alexa semakin kesal. Kayla tidak menjawab. Bahkan setelah percobaan ketiga, wanita itu tetap tidak menanggapi panggilannya. Akhirnya, Alexa mencari nama Devina, lalu menghubunginya.

I’m so sorry, Alexa!” seru Devina cepat sebelum Alexa sempat bicara. “Ada rapat dengan pimpinan tadi. Tapi, aku sebentar lagi sampai. Tunggu, ya.

Panggilan terputus begitu saja, bahkan Alexa tak sempat meluncurkan protes. Sembari menggeleng dan menghela kesal, ia meletakkan ponsel di meja, lalu mengangkat cangkir kopi dan menyeruputnya meski sudah tidak terlalu panas.

Alexa tahu, kesibukan masing-masing membuat mereka semakin sulit untuk bertemu, bahkan sebulan sekali pun belum tentu. Namun, saat ini ia butuh tempat bertukar pikiran, dan bertemu sahabat adalah obat terbaik untuk menyembuhkan kekecewaannya.

Berselang beberapa menit kemudian, Devina muncul dari balik pintu kaca yang terbuka lebar. Wanita itu memasuki kafe diikuti beberapa orang yang berniat menghabiskan waktu di tempat itu. Dengan mantel mahal, rambut pirang panjang terurai, dan riasan yang masih menghiasi wajah cantiknya, Devina menghampiri Alexa setelah ia melambaikan tangan, memberi tahu keberadaannya.

“Alexa, aku benar-benar minta maaf. Besok ada program baru yang harus aku bawakan. Ini benar-benar dadakan, dan aku pun baru tahu tak lama setelah selesai siaran tadi. Jadi, aku harus ikut rapat dulu,” terang Devina secepat mungkin seraya melepaskan mantel, menyampirkannya di sandaran kursi, kemudian meletakkan tas tangan di meja, lalu duduk di samping Alexa setelah mengecup pipi kiri dan kanannya. 

Semua itu Devina lakukan dalam satu gerakan cepat dan tertata, yang membuat Alexa hanya bisa mengunci pergerakan Devina sambil menyerap setiap informasi yang diucapkan. Raut penyesalan yang Devina tunjukkan tak mengurangi sedikit pun kecantikan dan keanggunan yang wanita itu miliki.

“Hampir satu jam, Vin,” protes Alexa ketika Devina berhasil mengatur tarikan napas yang terengah-engah demi bisa tiba secepat mungkin. “Makin lama, aku makin tua hanya karena menunggu kalian. Lihat! Kerutan di mata dan keningku mulai menunjukkan taringnya.”

“Oh, Darling. Kau selalu tampil memesona. Percayalah, kerutan itu malah membuatmu terlihat lebih dewasa,” ujar Devina bercanda seraya memasang raut bijaksana palsu diiringi senyum menawan.

Wait! Jadi, kau mau bilang kalau wajahku memang sudah berkerut?” sahut Alexa cepat menanggapi candaan Devina.

“Kau tetap cantik, Alexa. Tenang saja,” tandas Devina santai, dan Alexa hanya bisa menggeleng kecil dan tersenyum. “Kayla belum datang?”

“Aku sudah mencoba menghubunginya, tapi tidak ada jawaban.” Alexa kembali meneguk kopinya, sementara kening Devina mengerut penasaran merespons kata-katanya.

Let me try.” 

Devina mengeluarkan ponsel dari tas tangan. Setelah meletakkan kembali cangkirnya, Alexa melayangkan perhatian ke band kafe dan menikmati alunan musik, sementara Devina berusaha menghubungi Kayla. Berselang beberapa detik kemudian, Devina mengerut kesal, lalu menjauhkan ponsel dari telinga.

“Apa sih yang dia lakukan? Kenapa dia tidak menjawabku?” 

“Sudahlah, Vin. Mungkin dia lagi sibuk menghadiri rapat-rapat pentingnya. Seingatku, dia pernah bilang kalau dia berniat membuka cabang perusahaan di Amerika. Mungkin dia sedang sibuk-sibuknya sekarang,” jelas Alexa santai sembari diam-diam menertawai pertanyaan serupa yang sempat terlintas di benaknya. 

“Kau mau pesan apa?”

Espresso. Aku benar-benar harus on malam ini. Ada beberapa hal yang harus kupelajari untuk siaran besok.” 

Devina mengibaskan rambut ke belakang dengan anggun, kemudian memasukkan kembali ponsel ke tas. Anting mutiara yang menggelantung manis di kedua telinga wanita itu, berayun kecil mengikuti setiap pergerakan Devina. Alexa memanggil salah satu pelayan kafe, memesan kopi serta segelas anggur putih kesukaannya.

“Katakan padaku.” Devina membuka percakapan dengan nada sedikit mendesak ketika pelayan meninggalkan meja mereka. “Apa yang membuatmu memaksaku untuk datang ke sini? Kau terdengar panik dan … gelisah.”

I need some opinion.”

Alexa menyandarkan punggungnya di sandaran kursi, lalu melipat kedua tangan di depan dada. Kening Devina mengerut curiga sekaligus tak percaya mendengar jawabannya.

“Hmm, seorang Alexa tak pernah meminta pendapat dari orang lain. Kau pasti sedang menghadapi sebuah masalah yang berat, ya?” tebak Devina tenang, lalu melipat kedua tangan di atas meja, memajukan tubuhnya seraya menatap Alexa lekat-lekat.

“Masalah? Ini bencana!” seru Alexa mendramatisasi seraya memasang raut frustrasi. “Pappy berubah pikiran, Vin!”

“Berubah pikiran apa?” balas Devina, bingung. 

“Neandro’s Records. Kau tahu kan kalau Pappy sudah lama ingin memberikan perusahaan itu padaku?” ujar Alexa, mengingatkan. Devina mengangguk cepat karena informasi itu sudah Alexa gaungkan jauh sebelum ia mendirikan Cadence Records.

“Tiba-tiba, Pappy berubah pikiran, Vin. Dia bilang, dia tidak akan memberikan Neandro’s Records sampai aku memiliki pasangan—lebih tepatnya, Pappy memintaku untuk kembali jatuh cinta, menikah, dan memiliki anak. Gila, kan?” papar Alexa putus asa, sementara kekecewaannya bertambah semakin besar setiap kali mengingat tuntutan itu. 

Alexa menyayangi Pappy, tentu saja. Namun, syarat yang Pappy berikan benar-benar tidak masuk akal!

“Lalu, apa masalahnya?” Tanggapan santai Devina malah menambah kepanikan nyata yang menghinggapi Alexa sejak tadi pagi. “Kau tinggal mencari pria yang tepat, menikah, dan punya anak. Selesai. Apa yang harus kau pusingkan?” 

Alexa mengusap wajah dengan telapak tangan, frustrasi. Ia tak mengira Devina akan berbicara sesantai itu seolah masalah yang Alexa hadapi dapat diselesaikan semudah membalikkan telapak tangan.

“Menikah? Kau kira Pappy akan percaya begitu saja kalau aku tiba-tiba menikah dengan sembarang pria? Jangan gila, Vin! Pappy adalah pendeteksi kebohongan, apalagi jika berhubungan dengan cinta dan pernikahan. Bukannya mendapatkan Neandro’s Records, bisa-bisa aku tidak dianggap anak jika ketahuan mempermainkan sebuah pernikahan,” jelas Alexa penuh penekanan.

“Jangan menertawakanku, Vin!” tegur Alexa, kesal terhadap respons Devina yang malah menggeleng dan tertawa kecil seolah kepanikannya adalah lelucon. “Kau kan tahu kenapa ini sulit bagiku. Mustahil aku bisa jatuh cinta lagi.”

“Tidak ada yang sulit, Alexa. Memang itulah yang seharusnya kau lakukan. Jatuh cinta. As simple as that,” sahut Devina ringan. 

Alexa ingin melontarkan argumen, tapi percakapan mereka terhenti sejenak saat pelayan kafe meletakkan kopi dan anggur putih di meja. Dengan sikap tenang, Devina menyandarkan punggung di sandaran kursi, sementara pelayan kafe meninggalkan meja mereka.

“Kau salah, Vin. Ini tidak sesimpel yang kau pikirkan,” ujar Alexa setelah menyesap anggurnya, lalu menatap kembali Devina yang sedang mengusap-usap pinggiran cangkir kopi dengan jari telunjuk. “You know that I can’t falling in love again. I won’t!

Why?” tanya Devina santai diiringi senyum bersahabat yang membuat wajahnya berseri. Alexa mendengus malas mendengar pertanyaan itu, lalu memutar bola mata.

“Hmm, jangan bilang kalau semua itu karena Felix.” Devina menebak tepat sasaran, tapi Alexa berusaha tidak bereaksi. Namun, sebagai sahabat yang sudah mengenal Alexa cukup lama, Devina bisa membaca perubahan raut wajah Alexa meski hanya secuil.

Gosh! Dia sudah menghilang sejak … coba kuhitung, hmm … tujuh tahun yang lalu. Are you lost your mind? Tujuh tahun adalah waktu yang lama untuk tetap terpaku pada seorang bajingan, Alexa,” tegur Devina, menohok dan mencemooh kebodohannya. Sayangnya, Devina tak tahu betapa keras entakkan menghantam dada Alexa ketika nama itu diucapkan dengan lantang dan santai—nama pria yang berusaha ia kubur dalam-dalam di alam bawah sadarnya.

“Haruskah kau menyebut namanya?” keluh Alexa tipis.

Hello! Di mana sosok Alexa yang kuat dan tegar yang kukenal selama ini? Please … jangan karena mendengar namanya, kau kembali menjadi Alexa yang bodoh dan lemah. Come on, Alexa! Dia sudah pergi. Lenyap!

“Apa yang kau harapkan? Menunggunya kembali supaya bisa menyakitimu lagi? Apa itu yang kau bilang cinta? Bukan! Itu bukan cinta, tapi obsesi dan kebodohan. Asal kau tahu, ya, obsesi tidak baik untuk kesehatan,” tegur Devina tegas dengan sorot geram sekaligus tak percaya.

Alexa tak mampu berkata-kata. Setiap kali mendengar nama Felix, seketika itu pula bayangannya muncul dan mengisi kepala Alexa. Anehnya lagi, ia langsung berubah menjadi Alexa yang naif, bodoh, dan lemah selama beberapa saat. Ia pun dengan mudahnya terseret arus masa lalu yang deras dan menyakitkan.

 Bodoh? Ya, aku tahu. Itulah kenapa aku sangat membenci cinta. Cinta membuatku bodoh dan lemah, batin Alexa geram dan kesal pada dirinya sendiri.

Damn it, Alexa! Jangan bilang kau masih mencintainya,” tebak Devina ketika menangkap raut sedih Alexa.

“Tidak!” kilah Alexa ragu, “kata ‘cinta’ sudah lama hilang dari kamusku.”

Well, honestly, I can still see that sprinkle in your eyes every time I say his name,” ujar Devina sarat ejekan, seolah mampu membaca isi hati Alexa.

“Kurasa kau salah.” Alexa masih mengelak, lalu mengalihkan pandangan dari Devina. Ia enggan melanjutkan percakapan mengenai masa lalunya.

“Felix, Felix, Felix, Felix,” sebut Devina berulang-ulang. 

Refleks, Alexa menutup telinga. Ia tidak ingin mendengar nama itu lagi. Nama itu bak mantra yang mampu melumpuhkan seluruh kekuatan dan ketegaran Alexa, dan ia tak menyukai hal itu.

See! Kau bahkan tidak sanggup mendengar namanya. Kau masih mencintainya, Alexa, dan itu benar-benar konyol!” ejek Devina ketus. 

Alexa tidak marah. Ia malah bersyukur memiliki sahabat seperti Devina yang selalu berterus terang padanya. Devina tak segan-segan mengutarakan pendapatnya, tak peduli apakah orang tersebut akan tersinggung atau tidak. Setidaknya, kejujuran Devina bak cambuk yang dapat menyadarkan Alexa bahwa semuanya memang sudah berakhir.

“Itulah kenapa aku sangat membenci cinta dan tak berniat merasakannya lagi,” aku Alexa jujur, lalu menghela napas kalah. Tarikan napas yang terasa berat menandakan bahwa perih akan luka masa lalu itu kembali muncul dan mendiami hatinya. 

Berusaha menguatkan diri, Alexa mengangkat gelas kaca berisi anggur, lalu meneguknya hingga tandas. Devina terus menelitinya dengan tatapan menyelidik, tapi Alexa bersikeras tidak menggubris tatapan itu. Ia kemudian mengalihkan pandangan ke arah lain, memanggil pelayan dan meminta wanita itu mengisi kembali gelasnya.

“Lalu, bagaimana kau bisa menikah dan memiliki anak kalau kau tidak mencintai pria tersebut?” tanya Devina yang terdengar sedikit lebih tenang dari sebelumnya. Sembari mengangkat cangkir kopi, tatapan Devina terus mengunci Alexa yang sesekali menyesap anggur dalam gelas.

“Tidak ada pria di dunia ini yang mau menjadi ayah dari seorang anak yang dilahirkan oleh wanita yang tidak dia cintai. Tidak ada pria yang segila itu, Alexa,” ujar Devina setelah menyeruput kopi dan meletakkan kembali cangkirnya. Alexa tetap bergeming, membiarkan Devina mengutarakan pandangannya.

Tiba-tiba, mata Devina terbelalak. Raut wanita itu pun berubah panik sekaligus tak percaya. Alexa tetap diam. Ia bisa menebak barisan teguran yang siap Devina muntahkan. Sejurus kemudian, jari telunjuk yang lentik dan terawat itu terarah lurus ke wajah Alexa. 

My God! Jangan bilang kalau kau mau melakukan inseminasi! Please, jangan gila, Alexa! Kuharap ide itu tak terbersit di kepalamu yang dungu itu.” 

To be honest, ide itu sempat terbersit,” jawab Alexa jujur, berusaha menanggapi keterkejutan Devina sesantai mungkin meski bayangan Felix masih sulit ia hapus dari benaknya.

“Tapi …,” lanjut Alexa cepat, menghentikan protes yang hendak Devina lontarkan. “Aku ingin hamil dengan cara yang benar. Berhubungan badan. Aku tidak ingin ada campur tangan alat-alat kedokteran. Kau tahu sendiri, aku paling takut sama jarum suntik.”

Well, kalau begitu, jangan bermimpi bisa punya anak,” tandas Devina ketus. “Tidak ada satu pun pria di dunia ini yang rela menghamilimu begitu saja tanpa rasa takut akan tuntutan menjadi seorang ayah. Tidak akan ada, Alexa. Kecuali, pria itu memang sudah gila dan tidak punya perasaan sepertimu.”

“Kenapa harus takut?” tanya Alexa, menanggapi pendapat itu dengan cepat sekaligus penasaran. Ia berusaha menggali semua ketidakmungkinan dari rencananya dan mencari cara agar semuanya menjadi mungkin.

“Karena mereka pasti berpikir kalau kau—mungkin suatu saat nanti—akan menuntut biaya serta tanggung jawab atas anak itu. Mereka juga pasti berpikir kalau anak itu akan menjadi beban di kemudian hari, atau bahkan merongrong kehidupan mereka ketika mereka sudah berkeluarga. Tak ada pria yang mau berhadapan dengan kemungkinan-kemungkinan menakutkan itu, Alexa. Tidak. Akan. Ada!” terang Devina tegas seraya memberi penekanan pada kalimat terakhir demi menegaskan maksudnya.

“Aku tidak akan menuntut apa-apa!” balas Alexa kesal seraya mengerutkan kening, tak menyukai pemikiran bahwa ia akan mengemis pada pria demi menafkahi anak yang ia lahirkan nanti.

“Aku adalah wanita mandiri. Aku memiliki kekayaan yang cukup untuk membesarkan seorang anak hingga dewasa, bahkan aku akan mewariskan seluruh hartaku untuknya. Jadi, mereka tidak perlu khawatir. Tak ada tuntutan sepeser pun dariku atau anak itu nanti.”

“Tetap saja, uang dan kekayaan tidak akan bisa menghentikan keingintahuan si anak untuk mencari identitas ayah kandungnya,” balas Devina yang kemudian berdecak geli sekaligus menggeleng heran dengan jalan pikiran Alexa. 

“Oh, ayolah, Alexa. Jangan egois! Kau melahirkan seorang anak ke dunia ini, bukannya robot yang bisa dihapus ingatannya dan kau atur memori apa saja yang ingin kau tanamkan ke dalam pikirannya. Anak itu adalah manusia, dan kau tidak boleh mempermainkan jalan hidup seseorang hanya karena keegoisanmu.”

Tertampar oleh teguran Devina, Alexa pun terdiam. Ia sama sekali tidak berpikir sampai sejauh itu. Namun, saat ini ego Alexa lebih besar dari akal sehatnya, dan namanya bukan Alexa jika pendirian serta keputusannya mudah goyah hanya karena rentetan nasihat itu. Alexa ingin memiliki seorang anak. Ia pun percaya bahwa cinta murni seorang ibu kepada anaknya pasti dapat mengubah keputusan Pappy. 

Cinta memiliki banyak arti. Bukan hanya cinta antara dua orang yang berbeda menjadi satu, tapi bisa juga cinta murni dan penuh kasih sayang antara ibu dengan anak-anaknya. Ya. Alexa yakin, tujuan utamanya saat ini adalah memiliki anak dari rahimnya sendiri.

“Bagaimana kalau aku bisa menemukan pria yang mau menghamiliku?” 

Pertanyaan itu meluncur cepat dari bibir Alexa hingga membuat Devina hampir tersedak ketika sedang menyeruput kopi. Devina berdeham sekilas, kemudian meletakkan cangkir kopi dengan sikap setenang mungkin.

“Semua pria pasti mau bercinta denganmu, Alexa. Tapi, untuk menghamili? Itu beda cerita. Mereka—para pria itu—memang tidak akan bisa menolak pesonamu. Tapi, ketika kau meminta mereka untuk menghamilimu, yang ada di pikiran mereka hanya satu. Menikahimu,” papar Devina, tak kalah berani.

“Bagaimana kalau aku bisa menemukan pria yang tidak akan menuntut untuk menikahiku?” tantang Alexa lagi, kali ini dengan sungguh-sungguh. Devina terkekeh geli mendengar pertanyaan dan kegigihan Alexa yang berusaha mempertahankan keputusannya.

“Kalau kau sudah memutuskan apa yang mau kau lakukan, lalu untuk apa kau memintaku kemari, Darling?” tanya Devina seraya tersenyum geli sebelum kembali meneguk kopi hingga tandas. Melihat lirikan Devina yang seolah mengatakan bahwa keputusannya adalah sebuah lelucon, Alexa pun berdecak kesal.

“Aku tidak tahu,” ujar Alexa ketus seraya mengedikkan bahu, “mungkin sebenarnya aku butuh dukungan dari seorang sahabat yang bisa membuatku sedikit lebih tenang. Kau sahabatku, kan?”

“Ya, aku memang sahabatmu. Tapi, aku tidak akan pernah menyetujui rencana gilamu itu. Aku menjunjung tinggi sakralnya sebuah pernikahan dan tidak akan pernah menyetujui nasib seorang anak dipermainkan hanya demi sebuah keegoisan. Tidak akan pernah!” papar Devina tegas.

Yeah, siapa tahu kau berubah pikiran setelah mendengar penjelasanku,” ujar Alexa pelan, masih bersikeras dengan egonya.

“Tidak. Akan. Pernah. Do you hear me? Aku tidak akan pernah setuju!” 

“Iya, iya. Aku mengerti,” sahut Alexa, pasrah.

Dering ponsel Devina menyela sekaligus menghentikan perdebatan mereka. Dengan gerakan cepat, Devina mengeluarkan ponselnya, lalu menjawab panggilan tersebut. Berusaha mendengar ucapan seseorang di balik ponsel, Devina menutup telinga yang lain sembari terus mendengar dengan saksama. Tampaknya seseorang di seberang sana sedang membicarakan sesuatu yang sangat penting. 

Selama beberapa saat menunggu, ponsel Alexa pun tiba-tiba berdering keras. Perhatian Alexa langsung teralihkan dari Devina ke ponsel yang sedari tadi diletakkan di meja. Nama Kayla tertera di layar ponsel.

Where the hell are you? Kenapa kau tidak menjawab panggilanku?” tanya Alexa kesal tanpa menunggu sapaan dari seberang sana.

Take it easy, Darling. Aku sibuk tadi, biasalah. Nah, bagaimana kalau kalian berdua datang ke sini sekarang?” ajak Kayla riang sedikit berteriak, berusaha menyaingi dentuman musik di belakangnya.

“Kau di mana? Apa yang kau lakukan?” tanya Alexa cepat, sementara matanya mengunci Devina yang baru saja menyelesaikan panggilan. Devina menatap Alexa dengan raut ingin tahu. Alexa segera mengangkat jari telunjuk, memberi isyarat agar Devina menunggu, sementara ia berbicara dengan Kayla.

Queeny’s. Hurry up! Kami menunggu kalian,” jawab Kayla sebelum memutuskan panggilan begitu saja. Sembari menggeleng kecil, Alexa menjauhkan ponsel dari telinga, sementara Devina menunggu dengan raut bingung dan tak sabaran.

“Kenapa?” tanya Devina cepat.

“Dia mengajak kita ke Queeny’s. Sekarang.” 

“Untuk apa? Sekarang hampir setengah sepuluh malam.”

I don’t know. Kenapa kau tidak tanya sendiri padanya?”

“Hah! Anak manja yang satu itu benar-benar menyebalkan! Dia tidak menjawab panggilanku, tidak datang ke sini, dan dengan santainya menyuruh kita datang ke Queeny’s,” gerutu Devina seraya beranjak dari kursi, kemudian mengenakan mantel mahalnya dengan gerakan cepat.

“Apa yang kau lakukan? Kenapa kau malah diam saja?” tanya Devina bingung karena Alexa masih duduk di kursi. 

Meski enggan untuk beranjak, Alexa mulai mengeluarkan beberapa lembar uang dari tas tangan dan meletakkannya begitu saja di atas meja. Tanpa banyak bicara, Alexa menyambar jaket denim yang disampirkan di kursi, lalu menyusul Devina yang melangkah cepat melewati beberapa meja. Mobil Devina masih terparkir di luar, dan sopir segera membukakan pintu saat melihat kehadiran wanita itu. 

“Ke Queeny’s,” perintah Devina ketika sopir baru saja duduk di belakang kemudi. Alexa langsung menyuruh pulang sopir pribadinya, tahu akan menghabiskan malam dengan bersenang-senang dan menenggak minuman keras sebanyak-banyaknya. Ya, mungkin itu yang ia butuhkan saat ini.

 

*****

 

Dentuman musik yang membakar semangat mengisi pendengaran Alexa dan Devina saat memasuki Queeny’s. Cahaya lampu bergerak indah mengiringi para pengunjung yang menari melampiaskan seluruh perasaan dan melepaskan seluruh beban kehidupan di lantai dansa. Sulit mencari keberadaan Kayla di tengah keramaian dan cahaya yang cukup menyilaukan mata, Devina pun berinisiatif menghubungi sahabatnya itu.

“Di mana?” teriak Devina, berusaha menyaingi dentuman musik seraya menutup salah satu telinga. Karena baru masuk, telinga mereka pun masih beradaptasi dengan dentuman musik selama beberapa menit kemudian. 

Tak sengaja, Alexa melihat sosok wanita yang ia kenal sedang berdiri sambil melayangkan pandangan, mencari keberadaan mereka. Refleks, Alexa menarik mantel Devina dan menunjuk ke arah Kayla. Devina segera memutuskan panggilan. Mereka pun mulai melangkah melewati beberapa orang yang sibuk dengan kesenangan mereka masing-masing.

Sesampainya mereka di sebuah meja bundar dan sofa berbentuk setengah lingkaran, Alexa melihat tiga pria, yang berparas menarik dan berusia kisaran pertengahan dua puluhan, sedang bercengkerama dengan Kayla. Seketika itu pula, Alexa mengerti apa yang akan terjadi selanjutnya.

Finaly!” sambut Kayla ceria yang selalu menjadi ciri khasnya. “Guys, ini dia sahabat-sahabatku. Devina dan Alexa.”

Kayla memperkenalkan mereka berdua kepada ketiga pria yang langsung berdiri dari sofa. Mereka saling berjabat tangan. Ketiga pria itu tak ragu melemparkan senyum menggoda dan menawan. Tentu saja, Alexa sudah bisa menebak isi pikiran mereka, jadi ia hanya merespons dengan senyum tipis dan dingin seperti biasa.

“Ada apa ini, Kay?” tanya Devina curiga ketika mereka duduk di sofa.

“Ini ucapan selamat untuk si judes Alexa,” seru Kayla gembira. Alexa menangkap lirikan nakal yang Kayla tujukan padanya, lalu mengarahkan lirikkan itu kepada ketiga pria yang duduk tenang menikmati minumannya.

“Ucapan selamat? What is going on right now?” Devina semakin mengerut bingung, lalu menatap Alexa dengan sorot tanda tanya.

“Kau bekerja di dunia hiburan, tapi kau tidak tahu beritanya? Oh, kau memang sahabat terburuk yang pernah ada, Vin,” gerutu Kayla, manja. 

Refleks, Devina mengerucutkan bibir, tanda tidak terima. “Aku sibuk, tapi bukan berarti aku adalah sahabat yang buruk,” sanggah Devina cepat, membela diri.

Well, asal kau tahu. Si judes yang satu ini baru saja berhasil mengorbitkan seorang penyanyi yang sangat-sangat bertalenta dan juga tampan tentunya,” ujar Kayla, berusaha menjelaskan, lalu menggandeng tangan Alexa dan memeluk lengannya. “Suaranya, wajahnya, bahkan lagu-lagu yang dia nyanyikan mampu membuat setiap wanita bertekuk lutut!”

“Yang mana, sih?” Devina semakin penasaran.

“Dave Mckenzie. Apa kau tidak pernah mendengar namanya?” jawab Kayla cepat sembari melempar tatapan kesal pada Devina.

“Dia? God! Tentu saja aku tahu. Jadi, dia adalah salah satu orbitanmu?” Devina terbelalak, tak percaya. Alexa mengangguk tenang sembari tersenyum kecil.

Oh, My God! Benarkah? Aku tidak tahu. Aku kira ... maksudku, orang-orang di tempat kerjaku sering kali membicarakannya. Aku memang belum pernah bertemu secara langsung, tapi suaranya benar-benar bening. Ya ampun, Alexa! Maafkan aku karena tidak mengikuti perkembangan karirmu,” ungkap Devina dengan penuh rasa bersalah.

It’s OK, Vin. Like you said, you’re too busy, right?” sahut Alexa santai.

Oh, please! Jangan buat aku semakin merasa bersalah. I’m so sorry, AlexaTapi, jujur. Kau memang hebat, Darling. Selamat untuk keberhasilanmu kali ini, ya!” Devina menyelamati Alexa walaupun dengan wajah memelas sarat penyesalan.

“Terima kasih, Vin. Sebenarnya, aku berencana mengajak kalian untuk datang ke private party yang akan kuadakan minggu depan,” ungkap Alexa ringan dan hangat, berusaha mengusir rasa bersalah yang saat ini hinggap di wajah Devina.

“Sungguh? Apa aku boleh mengajak beberapa teman kerjaku? Mereka begitu tergila-gila pada Dave,” pinta Devina cepat.

“Tentu saja. Semakin ramai, semakin menyenangkan,” jawab Alexa diiringi senyum lebar.

“OK. Hentikan basa-basi ini. Sekarang waktunya bersenang-senang. Jadi, nikmati minuman kesukaanmu sepuasnya. Oh, kau juga bisa membawa salah satu dari mereka untuk memuaskanmu malam ini, Alexa,” ucap Kayla riang yang kemudian mendekat dan membisikkan kalimat terakhir itu.

Alexa hanya bisa menggeleng geli saat mendengar ucapan Kayla. Malam ini, ia ingin bersenang-senang dan mencoba mengusir beban berat yang ada di pundaknya. Alexa mengangkat gelas tinggi berisi anggur putih kesukaannya yang sudah tersedia di meja, lalu meneguknya hingga tandas. 

Let’s have fun!” teriak Alexa yang langsung menarik kedua sahabatnya ke lantai dansa.

 

*****


BAB 3

Alexa luar biasa gembira malam ini. Kayla memang paling tahu cara  terbaik menghilangkan penat. Lahir sebagai anak tunggal dari seorang pengusaha retail ternama, Kayla tumbuh menjadi gadis manja dan suka berpesta. 

Kayla adalah ratu pesta di universitas. Tampaknya, gelar tersebut akan tetap melekat pada wanita itu. Sejak dulu, Kayla tak pernah sungkan mengajak mereka berdua bersenang-senang terutama ketika ia atau Devina sedang murung.

Alexa sangat menyayangi Kayla. Wanita itu bahkan memiliki sifat yang hampir sama dengannya—bebas, penggila anggur putih, pintar, berpikiran terbuka, tapi begitu mudah jatuh cinta dan bisa menjadi sangat bodoh hanya karena cinta. Perbedaannya, Alexa lebih memilih menutup hatinya dari semua romantisme cinta akibat pengalaman pahit di masa lalu, sedangkan Kayla tidak pernah jera jatuh cinta meski telah berkali-kali tersakiti. 

Hingga saat ini, Alexa masih belum mengetahui bagaimana cara Kayla melupakan semua rasa sakit akibat patah hati itu dengan mudah. Ia tidak tahu apakah Kayla benar-benar jatuh cinta atau hanya mengalami ‘sindrom buta perasaan’—sindrom yang mereka ciptakan bersama. Sebuah sindrom di mana kita tidak tahu apakah perasaan itu benar-benar cinta atau hanya sekedar rasa suka yang begitu besar, atau bahkan hanya rasa haus akan romantisme dan perhatian. Ya, sindrom buta perasaan.

Cukup lama Alexa bersenang-senang di lantai dansa. Berniat mengistirahatkan kaki sejenak, Alexa mulai melangkah menjauh dari lantai dansa. Jantungnya masih berdegup cepat dipenuhi kegembiraan, sama seperti dentuman musik yang keras dan penuh semangat. Napas yang terengah-engah tak sedikit pun menghapus senyum ceria di wajah cantiknya, pertanda bahwa suasana hati Alexa sudah membaik. 

Alexa sengaja melupakan tuntutan Pappy untuk sesaat. Ia akan memikirkannya kembali jika sudah mendapatkan jalan keluar terbaik bagi semuanya. Namun malam ini, Alexa bertekad melepaskan semua beban di pundaknya dan menghabiskan waktu dengan bersenang-senang.

Kelelahan, tapi gembira. Alexa duduk di sofa dengan senyum puas dan embusan napas lega. Sambil sesekali menatap Kayla dan Devina, Alexa menyambar botol anggur di meja bundar, lalu menuangkannya ke gelas tinggi. Seraya menikmati rasa manis yang tersisa di lidah, Alexa tersenyum kecil melihat Kayla yang menari centil dan menggoda sambil menempelkan tubuh pada salah satu pria.

Setelah mengisi anggur kembali ke gelas dan menenggaknya untuk yang kedua kali, ponsel Alexa tiba-tiba berdering keras. Tak penasaran dengan si penelepon, Alexa mengeluarkan ponsel dengan santai. 

“Halo!” sapa Alexa sedikit keras, berusaha menyaingi dentuman musik.

Di mana kau sekarang?” tanya Nico, kakaknya yang tercinta dan terposesif. Nada bicaranya datar seperti biasa, tapi sarat interogasi.

“Queeny’s,” jawab Alexa santai sambil mengisi kembali gelasnya, lalu membawa benda itu ketika bersandar di sofa. “Ada apa, Nico?”

Hanya ingin mengucapkan selamat. Congratulation.” 

Ucapan selamat itu terdengar begitu datar dan tanpa ekspresi. Ciri khas Nico yang tak pernah berubah. Namun, minat Alexa tertuju pada keriangan diiringi rengekan manja yang terdengar jelas di belakang Nico.

Give it to me, give it to me. Oh, come on, Nico! Give it to me,” pinta Maira yang terdengar bersemangat, gembira, dan tidak sabaran. Alexa tersenyum kecil mendengar perdebatan kecil nan menggemaskan antara Nico dan kakak ipar kesayangannya, Maira. Nico memang bisa berubah menjadi kekanak-kanakan jika berhadapan dengan Maira.

Alexa! SELAMAT, YA!” teriak Maira, semangat dan gembira.

Sweety, jangan keras-keras. Kalau Angelo bangun, kita jadi tidak bisa bercinta lagi,” gerutu Nico manja, membuat Alexa menggeleng geli.

Iya, iya, iya,” sahut Maira sesabar mungkin. Alexa kembali tersenyum membayangkan wajah Nico yang menggerutu karena Maira lebih memilih berbicara dengan dirinya daripada meladeni gairah besar kakaknya itu.

Tiba-tiba, sebagian dari dirinya merasakan kehampaan saat mendengar kemesraan Nico dan Maira. Meski enggan, Alexa pun mengakui bahwa sesekali ia merasa dunianya hampa dan kesepian beberapa tahun terakhir ini. Namun, ia berusaha memendam rasa itu karena enggan jatuh cinta. 

Alexa, kamu benar-benar hebat! Aku bangga padamu,” seru Maira, ceria dan hangat seperti biasa.

“Terima kasih, Maira. Aku senang menerima ucapan selamat dari kalian,” balas Alexa jujur diiringi senyum mengembang. 

Kamu tahu? Aku juga memberitahu Desi dan Sasha mengenai kabar gembira ini. Mereka menitipkan ucapan selamat dan mengatakan betapa mereka juga bangga padamu,” puji Maira tulus. Alexa merona bahagia atas curahan kasih sayang dan rasa bangga Maira padanya.

“Kalian terlalu melebih-lebihkan. Ini hanya pencapaian kecil yang tak sengaja menaikkan pamor perusahaanku. Itu saja, Maira.” 

Alexa berusaha merendah, tapi Maira tidak menyukai jawabannya. “Kami tidak melebih-lebihkan, Alexa. Kami semua memang bangga padamu,” ulang Maira tulus, kali ini dengan sedikit penekanan. 

Gelenyar hangat menyelimuti hati Alexa saat menerima kasih sayang yang begitu meluap-luap dari Maira. Ia jadi tidak sabar ingin bertemu lagi dengan Maira, Nico, dan terutama Angelo.

I miss Angelo, Maira. Can’t wait to see him,” ungkap Alexa jujur.

He miss you, too, Alexa. Kita akan segera bertemu. Tidak lama lagi,” balas Maira lembut, penuh kehangatan khas seorang ibu.

Kalian sudah selesai?” sela Nico dari kejauhan.

Baiklah, Alexa. Aku rasa si bayi besar ini sudah tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Astaga, Nico! Pakai celanamu ... ya, ampun! Maafkan aku, Alexa. Nico! Astaga, jangan telanjang! Bagaimana kalau ada yang lihat?

Panggilan itu terputus begitu saja. Sambil tersenyum geli membayangkan keisengan Nico pada Maira, Alexa menjauhkan ponsel dari telinga, lalu memasukkannya kembali ke tas tangan. 

Berusaha mempertahankan kegembiraan yang ia rasakan setelah mendapat ucapan selamat dari Nico dan Maira, Alexa meneguk minuman hingga tandas, lalu mengisi kembali dan menenggaknya hingga gelas itu kembali kosong. Namun, entah mengapa perasaan getir itu tak henti-henti menggerayangi dada Alexa ketika membayangkan kemesraan Nico dan Maira.

Alexa memejam. Ia kembali teringat akan kemesraan semu yang pernah menghampiri dunianya. Kilasan akan tubuh Felix yang bergerak liar ketika mengisinya dengan tepat, seketika membakar amarah sekaligus gairahnya. 

Setiap kecupan, ciuman, sentuhan, bahkan erangan nikmat yang melesat dari bibir Felix selalu berhasil membuat Alexa gila secepat jentikan jari. Jujur, Alexa belum bisa melupakan dahsyatnya gelora gairah yang melahap tubuhnya setiap kali Felix menyentuh dan menjamahnya.

Parahnya, sosok Felix menjadi standar pembanding Alexa terhadap tiap pria yang mencoba menjalin hubungan dengannya, baik dari segi kesempurnaan tubuh, ketampanan, bahkan keahlian di atas ranjang. Sayangnya, tak ada satu pun dari mereka yang mampu menyaingi Felix.

Napas Alexa seketika terasa sesak oleh rasa sakit akibat kenangan demi kenangannya bersama Felix yang mulai muncul ke permukaan. Beruntung, amarah penuh kepahitan itu berhasil mengeluarkan Alexa dari fatamorgana singkat yang sempat membutakan matanya. 

Tak ingin kembali tenggelam dalam rasa sakit, Alexa membuka mata. Tatapannya langsung tertuju pada botol anggur yang hampir kosong. Ia menyambar dan menenggak isi botol hingga tandas dengan harapan kadar alkohol dapat menghapus bayangan Felix dari kepalanya. 

Geram pada kenaifan dirinya yang tak mampu lepas dari kabut masa lalu, Alexa meletakkan botol kosong dengan entakkan kasar, lalu kembali bersandar dan memejam lagi. Wake up, Alexa! Dia sudah melupakanmu. Kamu berhak dapat yang lebih baik darinya! tegur Alexa pada dirinya sendiri seraya mengendalikan perasaannya yang mulai bergejolak tidak keruan.

“Holla, Alexa.”

Alexa tersentak kaget. Refleks, ia membuka mata, menegakkan tubuh, lalu menoleh secepat kilat ke arah datangnya suara. Matanya menyipit, menghalau silau lampu yang menghalangi pandangan. 

Mengenali sosok pria yang menyapa, mata Alexa seketika terbelalak dan tubuhnya menegang. Ia benar-benar tak menyangka akan bertemu dengan salah satu pria yang terkenal akan kelihaiannya dalam menaklukkan wanita. Pria yang dulu sempat mencuri perhatian Alexa saat pertama kali Nico mengenalkan pria itu padanya.

“Wade?” 

Suara Alexa tercekat ketika berusaha menguasai keterkejutannya. Pria itu berdiri di samping sofa dengan segelas wiski dalam genggaman sambil menyunggingkan senyum nakal yang sudah lama ia kenal. Gestur tubuhnya santai, tapi tetap memancarkan aura liar nan menggoda. 

Alexa sudah mengenal Wade, jauh sebelum pria itu dikenal sebagai drummer D’Aphrodite. Wade adalah sahabat Nico. Itulah mengapa ia sebisa mungkin menjaga jarak demi kebaikan bersama. Namun, tanpa bisa dicegah, diam-diam Alexa meneliti penampilan Wade. 

Jeans biru gelap yang Wade kenakan, membalut sempurna paha kencang dan atletis pria itu—yang juga membentuk lekukan menggoda di area kejantanannya. Kaos putih yang dipadupadankan dengan jaket kulit hitam, mempertegas bentuk bahu serta dada bidang Wade. Rambut hitam bergaya undercut yang sedikit berantakan malah membuat Wade terlihat liar dan nakal. Rahang yang tegas pun terlihat bersih tanpa bulu-bulu halus yang biasanya menghiasi.

Alexa akui, Wade memang memiliki pesona serta daya tarik yang kuat. Semua orang juga mengakui hal itu. Bahkan di kalangan wanita, Wade bak Cassanova yang mampu menjerat hati semudah menjentikkan jari hanya dengan senyum miringnya. Ya, senyum yang saat ini menghiasi wajah pria itu ketika menatap Alexa.

“Sendirian?” tanya Wade santai seraya bergerak mendekat, lalu duduk di samping Alexa tanpa permisi.

 Tak ingin terlihat seperti gadis remaja kikuk yang baru pertama kali berkenalan dengan lelaki tampan, Alexa kembali ke sosok wanita dewasa yang mampu bersikap tenang dan santai. Walaupun sejujurnya, ia sulit mengendalikan matanya yang entah mengapa menatap Wade bak hidangan lezat nan menggoda.

 “Tidak. Aku bersama sahabatku,” jawab Alexa tenang dan berusaha terdengar sedatar mungkin, seraya menunjuk ke arah kedua sahabatnya yang sedang bersenang-senang dengan para pria.

Alexa menarik napas panjang sekali lagi sebelum bersandar di sofa. Ia bisa merasakan tatapan Wade yang diam-diam menelitinya, atau lebih tepatnya menjalar menjelajahi tubuhnya. Alexa kembali menarik napas dalam-dalam, berusaha tak menggubris tatapan itu.

“Tapi kenapa kamu terlihat seperti wanita kesepian?” goda Wade sambil melemparkan kedipan nakal pada Alexa yang menoleh sekilas. Senyum simpul penuh selubung yang menghiasi wajah Wade membuat bulu kuduk Alexa meremang seketika. Beruntung kilau cahaya lampu mampu menyamarkannya.

“Oh, really?” sahut Alexa sinis seraya melirik tajam dan menyunggingkan senyum masam. Wade terkekeh geli, lalu meneguk minuman hingga tandas. 

“Lalu, bagaimana denganmu? Kamu sendirian?” tanya Alexa basa-basi.

“Yap.”

“Karena itukah kamu menghampiriku?” tebak Alexa sarat ledekan saat Wade meletakkan gelas kosong di meja.

“Tentu saja tidak. Kupikir kamu sedang sendirian dan merana, Alexa, makanya aku menghampirimu.” 

Wade tak sungkan melebarkan senyum miringnya ketika bergerak mendekati Alexa sehingga lutut mereka mulai bersentuhan. Gelenyar liar seketika merambati tulang belakang Alexa bak aliran listrik statis akibat sentuhan tak sengaja itu. Berusaha tak terusik oleh kedekatan mereka, Alexa menggeleng kecil seraya tersenyum tipis menanggapi perhatian sarat godaan yang Wade ucapkan, kemudian mengalihkan pandangan ke lantai dansa.

Sungguh, berada di dekat Wade merupakan tantangan yang menggiurkan untuk diterima sekaligus godaan terberat yang harus ia jauhi. Masalahnya, semakin Alexa mencoba bersikap tenang, jantungnya malah berdebar semakin cepat. Bukan karena adrenalin sehabis menari tadi, tapi karena keberadaan Wade yang cukup dekatlah yang membuatnya gelisah.

Tidak! Alexa tidak memiliki perasaan khusus kepada Wade. Hanya saja, getaran yang dulu pernah menghampiri Alexa saat pertama kali berkenalan dengan pria itu, sengaja muncul kembali di waktu yang tidak tepat seolah ingin mempermainkan perasaan Alexa. 

Bukan hanya kedekatan mereka saja yang mengusik Alexa. Tangan kiri Wade yang direntangkan di sandaran sofa ketika memiringkan tubuh agar dapat langsung menatapnya pun membuat debar jantung Alexa makin tidak keruan.

“Apa yang kamu lakukan sendirian di sini, Wade?” tanya Alexa santai, membangun percakapan ringan seraya mencoba mengusir kegelisahan yang menghampiri dirinya. 

“Biasalah.”

“Mencari mangsa?” tebak Alexa cepat, lalu menatap Wade yang tak mengalihkan pandangan darinya sedikit pun. 

Sesaat—benar-benar dalam hitungan kurang dari tiga detik—Alexa terhipnotis oleh sorot nakal dan senyum miring sarat godaan yang menghiasi wajah Wade. Bahkan, napas Alexa sempat tercekat dan jantungnya mulai berdegup dengan debaran yang sangat menyebalkan. 

Layaknya aktris profesional, Alexa berhasil menutupi gejolak perasaan itu agar tidak terpancar jelas di raut wajahnya. Pencahayaan klub malam yang cukup remang juga memiliki andil cukup besar untuk menyembunyikan letupan gairah dalam setiap sel darahnya yang ia yakini telah menciptakan rona merah muda di pipinya.

What? Of course not,” sanggah Wade ringan disusul raut kecewa palsu. “Seburuk itukah aku di matamu, Alexa? Apakah Nico selalu menjelek-jelekkanku di depanmu?”

Oh, please. Don’t be such a drama queen, Wade,” ledek Alexa diiringi senyum miring, “Nico tidak pernah membicarakan apa pun tentang kalian padaku. I knew who you are, Wade. Track record-mu dengan para wanita setidaknya menjadi dasar penilaian pribadiku.”

Senyum nakal yang sebelumnya menghiasi wajah Wade seketika berubah menjadi senyum kecut, pertanda bahwa pria itu malas menanggapi ucapan Alexa, tapi tidak berusaha membantahnya. Ekspresi Wade bahkan terkesan tidak peduli dan bosan dengan penilaian negatif tersebut. 

Diam-diam, Alexa menyesali ucapannya, terlebih ketika Wade mengubah posisi duduk menghadap ke lantai dansa dan bersandar di sofa. Selama beberapa menit yang cukup kaku dan canggung, tubuh Alexa mulai gerah akan rasa bersalah yang menyelimutinya.

Seperti yang diketahui, di mata semua wanita, Wade merupakan salah satu pria yang sangat digandrungi. Rumor mengenai kekuatan serta liarnya Wade ketika bercintalah yang membuat para wanita semakin penasaran. Mereka ingin mengetahui sensasi liar ketika tangan pria itu menyentuh tubuh mereka. Bahkan, kedua sahabatnya tak malu mengakui kalau mereka pernah bermimpi liar tentang Wade. Benar-benar gila!

Mencoba menghapus cerita nakal yang pernah Kayla ucapkan tentang mimpi liarnya dengan Wade, Alexa memanggil salah satu pramusaji wanita yang berada tak jauh dari meja mereka. Wanita yang mengenakan atasan kaos body fit berwarna putih dan rok pendek hitam, mencatat pesanan Alexa—sebotol anggur putih terbaik yang dimiliki oleh klub malam tersebut.

Oh, Alexa benar-benar butuh banyak asupan alkohol. Bukan hanya untuk menghapus bayangan Felix, tapi juga demi menghalau gelenyar aneh di tubuhnya karena kehadiran Wade di sisinya. Alexa memang butuh sesuatu untuk mengalihkan pikirannya dari bayang-bayang Felix, tapi ia tidak berencana menghabiskan malamnya dengan sahabat Nico.

Sebelum pergi, pramusaji itu melirik Wade. Tentu saja, Wade tak pernah membuang secuil kesempatan untuk melemparkan senyum miring memikat serta kedipan nakalnya kepada wanita itu. Alexa memutar bola mata, menggeleng malas dan tersenyum sinis menanggapi sikap Wade yang selalu tebar pesona. Masih belum berminat membangun percakapan, Alexa memilih diam sembari berpura-pura memerhatikan Kayla dan Devina yang masih bersenang-senang di lantai dansa. 

Di tengah menikmati alunan musik dan suasana klub, Alexa menangkap pergerakan Wade di sudut matanya. Pria itu mengeluarkan ponsel dari saku jaket kulit, kemudian menatap layar ponsel sementara jemarinya mengetik sesuatu. Rautnya terlihat cukup serius untuk ukuran seorang Wade yang selama ini Alexa kenal tidak pernah serius.

“Apa sebenarnya yang kamu lakukan di sini sendirian, Wade?”

Alexa akhirnya membuka percakapan ketika Wade memasukkan ponsel ke saku jaket. Alexa berusaha melontarkan pertanyaan dengan nada yang lebih bersahabat demi mencairkan suasana yang sempat canggung karena ucapan sebelumnya.

“Mencari inspirasi.” Wade menjawab singkat, tapi raut wajahnya masih terlihat sama, datar dan misterius.

“Inspirasi? Maksudmu?” Alexa refleks menatap Wade dengan kening mengerut bingung.

“Kakakmu yang dingin itu meminta kami menciptakan minimal masing-masing satu lagu untuk memberi warna baru di album kami yang akan rilis tahun depan,” jelas Wade dengan nada bicara yang terdengar jauh lebih santai dari sebelumnya.

“Hmm, good idea,” puji Alexa seraya mengangguk kecil, “tapi, kurasa klub malam bukanlah tempat yang cocok untuk mencari inspirasi.”

Yeah, I know. Tapi, aku sudah tidak tahu harus ke mana lagi. Dia menuntutku menyelesaikan minimal satu lagu. Kamu tahu seperti apa Nico kalau sudah menginginkan sesuatu, kan? Dia begitu—“

“Pemaksa dan menyebalkan,” sambung Alexa cepat.

Damn, you’re right!” timpal Wade setuju diiringi senyum geli. Alexa pun ikut senang melihat senyum itu kembali mengukir wajah Wade.

Percakapan mereka sempat terhenti sejenak saat pramusaji datang menyajikan pesanan di atas meja. Wanita berusia dua puluhan itu bergegas pergi meninggalkan mereka setelah melempar senyum manis pada Wade untuk yang kedua kali. Alexa berusaha tidak menggubris hal itu. Ia hanya ingin menikmati anggur dan mengisi sisa malamnya dengan bersenang-senang.

Baru saja Alexa memajukan tubuh, berniat mengeluarkan botol anggur dari ember aluminium, ternyata Wade bergerak sedetik lebih cepat darinya. Alexa sempat tersentak kaget oleh cepatnya pergerakan pria itu, tapi ia tak mengucapkan protes sepatah kata pun. Alexa kembali bersandar di sofa, sementara matanya memerhatikan Wade yang mulai mengangkat botol dari ember, kemudian membuka penutupnya dengan mudah.

“Kuakui,” ucap Wade seraya menuang anggur ke dua gelas tinggi yang tersaji di samping ember, “tempat ini adalah pilihan terakhirku. Aku benar-benar berharap bisa menemukan inspirasi di sini, meski hanya secuil.”

“Kurasa, kamu akhirnya sadar kalau kamu berkunjung ke tempat yang salah, kan,” tebak Alexa santai ketika menerima gelas yang Wade sodorkan. Tak sengaja, jemari mereka bersentuhan. 

Napas Alexa tercekat. Tubuhnya bahkan sempat menegang selama se per sekian detik. Sentuhan tak disengaja itu berhasil menciptakan sensasi kejutan listrik yang seketika merambat liar ke sekujur tubuh. Darahnya pun berdesir cepat seolah mendapat setruman adrenalin baru yang terasa asing di tubuhnya. Asing, tapi menyenangkan.

Alexa kemudian berdeham. Dengan sikap tenang palsu, ia meletakkan gelas tersebut di pangkuan. Sementara, ia berusaha mengusir gelenyar liar yang mencoba menguasai tiap saraf di tubuhnya.

“Entahlah.” Wade mengedikkan bahu, lalu duduk di dekat Alexa. “Aku masih belum yakin apakah aku berkunjung ke tempat yang salah atau tidak.” 

Keberadaan Wade yang terlalu dekat membuat lutut mereka kembali bersentuhan. Refleks, Alexa menegakkan posisi duduknya ketika pria itu merentangkan tangan kiri di sandaran sofa, tepat di belakang lehernya. Seolah kedekatan intens tersebut belum cukup mengusik ketenangan Alexa—untuk yang kedua kalinya—Wade memiringkan posisi duduknya agar leluasa menatap Alexa.

“Tapi, setelah kupikir-pikir, kurasa aku cukup beruntung datang ke sini. Setidaknya, aku bisa bertemu denganmu. Benar, kan?” lanjut Wade mencoba optimis.

“Hmm, tentu saja,” balas Alexa sesantai mungkin seraya tersenyum kecil, lalu menoleh dan memerhatikan raut Wade yang segera memalingkan wajah darinya dan kembali terlihat murung. Entah mengapa, suara kecil dalam hati mendorong Alexa untuk segera menghibur Wade.

Tetap mempertahankan sikap tenang, Alexa meneguk minuman, lalu menghela napas panjang. Kecemasan yang sempat melandanya pun perlahan-lahan mulai lenyap. 

“Tidak berniat mencari wanita untuk menemanimu malam ini?”  

Alexa melontarkan candaan ringan, berharap dapat menghapus awan kelabu yang menaungi raut wajah Wade. Setidaknya, ia tahu kalau seks merupakan salah satu cara yang paling ampuh untuk memperbaiki suasana hati. Namun, tampaknya Wade salah mengartikan pertanyaan Alexa.

“Apa pendengaranku yang salah atau kamu terdengar seperti sedang menawarkan diri padaku?”

Wade menatapnya dengan sorot nakal diiringi seringai liar penuh arti seraya memajukan tubuh hingga jarak mereka hanya beberapa senti saja. Kedekatan itu bukan hanya membuat napas Alexa sesak seolah oksigen di sekitarnya lenyap tak bersisa, tapi juga membuat darahnya mendidih.

“Maaf jika aku membuatmu kecewa, Wade, tapi aku sedang tidak ingin berhubungan dengan pria saat ini,” ungkap Alexa jujur seraya tersenyum kaku, kemudian meneguk kembali minumannya hingga tandas. 

Berusaha tak terusik oleh sorot penasaran yang Wade berikan, Alexa segera menukar gelas kosongnya dengan botol anggur yang ada di dalam ember, lalu kembali bersandar. Bulu kuduk Alexa meremang seketika saat tangan Wade tak sengaja menyentuh tengkuknya. Namun, kali ini ia berusaha tak menggubris respons tubuhnya akan sentuhan itu.

Wait a minute! Apa maksudmu sekarang kamu jadi penyuka sesama jenis?” tanya Wade cepat, masih tak percaya dengan jawabannya.

“Astaga! Tentu saja tidak!” sanggah Alexa spontan, lalu tersenyum geli melihat kening Wade mengerut bingung. Wajah tampan itu tampak menggemaskan. Anehnya, Alexa tidak mengira sensasi menyenangkan serta rasa nyaman dapat muncul begitu saja ketika menatap wajah Wade, dan ketegangan akibat sentuhan tak sengaja di tengkuknya pun lenyap seketika.

“Lalu?” Wade menatap penasaran ketika Alexa menenggak anggur langsung dari botol. Ia tak peduli sudah berapa banyak alkohol yang masuk ke dalam tubuhnya malam ini, yang ia pedulikan hanyalah rasa nyaman, ringan, dan rileks.

“Aku lelah dengan pria. Itu saja.” Alexa menjilati sisa anggur di bibirnya dan mengembuskan napas lega.

“Kenapa? Apa karena mereka masih berlomba-lomba mencoba menaklukkanmu?” tebak Wade, penasaran. 

Alexa menatap Wade sekilas. Perhatian serta sorot hangat yang pria itu tujukan padanya adalah sesuatu yang baru bagi Alexa. Baru, karena selama ini Wade selalu menatapnya dengan sorot jahil dan penuh canda. 

Hah, mungkin alkoholnya mulai bekerja. Pria yang terkenal memiliki tipu daya untuk menaklukan sejuta wanita, tak mungkin menatapku sehangat itu, pikir Alexa acuh tak acuh.

“Itu hanya salah satu dari sekian banyak alasan yang ada di kepalaku,” jawab Alexa santai sebelum menenggak anggur lagi.

“Sungguh? Seberapa banyak?” Pertanyaan sarat penasaran yang Wade lontarkan seolah menunjukkan betapa tertariknya pria itu akan kehidupan pribadi Alexa.

“Hmm, cukup banyak. Setidaknya, semua alasan itu berhasil membuatku bertahan untuk melajang saat ini.” Sedetik kemudian, Alexa menatap tajam pria itu, mengangkat angkuh wajahnya dan tersenyum miring, hendak menyela kata-kata yang akan Wade ucapkan. “Oh, tapi jangan salah sangka. Aku bahagia menjalani kehidupanku.”

Wade tersenyum kecil, lalu meneguk anggur dalam gelasnya. Namun, entah mengapa mata itu terus mengunci Alexa seolah dirinya merupakan sosok yang begitu menarik. Alexa berdeham, mencoba mengusir gelenyar gairah yang tiba-tiba muncul dan membuat kerongkongannya kering.

“Apakah cinta adalah salah satu alasannya?” 

Alexa pikir topik percakapan mengenai dirinya telah berakhir. Namun, tampaknya Wade berniat mengorek informasi tentang dirinya lebih dalam lagi. Mencoba menanggapi dengan santai, Alexa mengedikkan bahu, kemudian mengembuskan napas panjang.

“Aku lelah dengan semua romantisme cinta. Lebih tepatnya, aku muak.”

“Kenapa?” Tatapan Wade semakin intens, bahkan terkesan dalam dan sarat gairah, tapi rasa penasarannya tak sedikit pun berkurang.

“Ceritanya panjang, Wade, dan kurasa aku sedang tidak ingin membicarakannya malam ini,” jawab Alexa sedikit murung karena bayangan Felix kembali muncul dalam benaknya.

“Hmm, baiklah.” 

Wade menghargai keputusan Alexa. Pria itu kemudian bersandar santai, lalu meneguk minuman dengan tenang. Mereka terdiam selama beberapa saat hingga akhirnya Wade menoleh dan menatap Alexa dengan sorot dalam penuh arti.

“Kamu tahu kenapa aku tidak berniat mencari wanita malam ini?” tanya Wade, masih berusaha membangun percakapan.

“Kenapa?” Alexa menjawab acuh tak acuh karena sesungguhnya ia tak tertarik lagi dengan topik pembicaraan ini. Pandangannya masih tertuju ke lantai dansa, sementara sebagian pendengarannya terpusat pada Wade.

“Sama sepertimu. Aku lelah dengan romantisme cinta. Aku lelah karena mereka semakin sulit disuruh menjauh. Lama kelamaan, mereka jadi maniak dan selalu meminta lebih dariku.” 

Jawaban Wade membuat Alexa menoleh cepat. Matanya terbelalak, tak menyangka bahwa seorang Wade yang terkenal begitu mudah menaklukan wanita, nyatanya bisa jenuh dan lelah juga akan romantisme cinta.

“Memangnya apa yang mereka minta?” tanya Alexa penasaran meski masih mempertahankan sikap tenangnya.

“Cinta dan menikah,” jawab Wade singkat, lalu menyesap anggur sambil menatap kembali ke lantai dansa. “Mereka selalu memberikan isyarat agar aku segera menyatakan cinta dan melamar.”

“Semua wanita ingin menikah, Wade.” Alexa tersentak oleh kata-kata yang tak diduga akan ia ucapkan dengan santainya.

But, you don’t.” Wade menatap Alexa dengan raut tak terbaca.

“Aku berbeda. Ada alasan mengapa aku memilih untuk tetap melajang,” aku Alexa jujur. Getir dalam dadanya semakin menguat setiap kali mengingat betapa dirinya pernah terluka dan hancur karena cinta. 

Alexa segera mengalihkan pandangan dari Wade, berharap agar percakapan ini tidak berlanjut. Ia tidak ingin mengungkit dan membuka luka lama yang sampai detik ini masih sulit dihapus dari ingatannya.

“Kurasa kamu bukan berbeda, Alexa. Kamu hanya pernah terluka oleh cinta. Sayangnya, luka itu terlalu menyakitkan sampai kamu tak ingin mencobanya lagi,” tebak Wade tepat. Tak ingin mengakui kebenaran kata-kata Wade, Alexa memejam seraya menekan kesedihan yang mulai membuncah di dada. 

“Kamu hanya takut dan tidak mau kecewa untuk yang kedua kali,” lanjut Wade lembut. Mata Alexa terbuka seketika, lalu menatap pria itu dengan sorot tajam dan penuh luka.

“Aku tahu, tidak ada satu orang pun di dunia ini yang ingin terluka karena cinta. Semuanya pasti ingin bahagia,” jelas Wade santai seakan luka yang Alexa rasakan adalah hal yang biasa terjadi, “tapi, tahukah kamu apa yang lebih menyakitkan?”

Wade berhenti sejenak, tampak tenggelam dalam benaknya sendiri. Alexa juga bisa melihat tatapan Wade yang sempat kosong seperti sedang melawan rasa sakit yang hanya dimengerti oleh pria itu. 

“Yang lebih menyakitkan adalah ketika kita kehilangan seseorang yang sangat kita cintai.” Wade melanjutkan penjelasannya yang terpotong, tapi kali ini nada bicaranya terdengar murung sarat kesedihan. “Tak ada yang dapat menandingi luka yang ditimbulkan karena kehilangan itu, Alexa. Lukanya akan terus terbuka dan sangat menyiksa. Bahkan, tak ada yang dapat menghapus rasa sakit yang begitu dalam itu kecuali waktu.”

Alexa mengerutkan kening, bingung sekaligus tak percaya. Kata-kata itu seolah menggambarkan kalau Wade pernah terluka karena kehilangan orang yang sangat dicintai. 

Sesaat kemudian, Wade menghela napas panjang, lalu menyunggingkan senyum kecil sebelum berkata, “Aku rasa, untuk saat ini aku juga tidak ingin merasakannya lagi.”

Kehilangan? Terluka? Apakah Wade benar-benar pernah kehilangan wanita yang dia cintai? Nico tidak pernah mengatakan apa-apa tentang Wade. Aku tahu kalau Wade pernah menikah satu kali, tapi aku tidak tahu apakah dia benar-benar mencintai wanita itu atau hanya karena harta— mengingat pamor mendiang istrinya yang terkenal dan jauhnya perbedaan umur di antara mereka. Aku benar-benar tidak tahu. Apakah selama ini aku salah menilai Wade? Atau, ucapan itu hanya sekedar pancingan agar aku mau terbuka padanya? 

Alexa terdiam, sementara matanya terus menatap Wade, mencoba mencari secuil kebohongan di wajah itu. Namun, kesedihan yang terpancar di raut Wade memaksa Alexa memercayai bahwa luka yang tersirat di setiap kata adalah sebuah kebenaran.

“Kamu berbicara seolah kamu pernah jatuh cinta dan tahu bagaimana sakitnya kehilangan seseorang yang kamu cintai,” ujar Alexa mengutarakan pendapatnya, tapi terkandung rasa penasaran. Ia kembali meneguk anggur dari botol, lalu menghela napas lega seakan minuman itu berhasil melancarkan saluran pernapasannya.

“Tentu saja aku pernah merasakan cinta. Aku manusia biasa, Alexa. Tapi, hanya orang-orang terdekat saja yang tahu bagaimana aku sebenarnya.” Wade menyunggingkan senyum lemah. Tak disangka, jawaban itu berhasil menciptakan kekaguman baru Alexa akan Wade. Ia menatap pria itu selama beberapa detik lamanya sambil mengira-ngira seperti apa sosok wanita spesial yang berhasil menaklukkan hati seorang Wade. 

Sesaat kemudian, Alexa segera menenggelamkan rasa penasarannya dan memutuskan untuk tidak menggali masa lalu Wade lebih dalam lagi. Selain karena mereka berdua tidak memiliki hubungan khusus, Alexa juga tidak mau menambah beban pikirannya. Saat ini yang Alexa inginkan hanyalah bersenang-senang demi menghilangkan kepenatan. Ia tidak mau masa lalu Wade malah menambah kepenatannya. Tidak, itu sama sekali tidak penting baginya.

“Boleh aku bertanya balik padamu?” tanya Wade ketika Alexa menghela puas sehabis menenggak minumannya beberapa kali.

“Silakan,” sahut Alexa sambil lalu.

“Apa sebenarnya yang membawamu ke sini? Apa kamu sedang ada masalah? Soalnya, cara minummu seperti orang yang sedang frustrasi,” tanya Wade dengan senyum kecil, terkandung ejekan.

“Frustrasi? Kamu salah, Wade.” Alexa berkilah seraya tersenyum ringan, “Sebenarnya, aku sedang bersenang-senang bersama sahabatku untuk merayakan keberhasilanku. Seandainya pun aku berubah pikiran dan berniat menghabiskan malam ini dengan seks, mungkin aku akan pergi dengan salah satu pria yang Kayla bawa.” 

Alexa tidak memedulikan penilaian negatif Wade akan dirinya setelah mendengar jawaban liar yang ia ucapkan. Yang ia pedulikan saat ini hanyalah dirinya sendiri. Ia ingin bersenang-senang tanpa beban sedikit pun.

“Keberhasilan? Keberhasilan apa?” tanya Wade penasaran.

“Hah, sudahlah. None of your business.” 

Alexa mendekatkan kembali botol tersebut ke mulut, tapi secepat kilat Wade mencengkeram pergelangan tangan Alexa agar tidak menenggak minuman itu lagi. Raut Wade menunjukkan kekhawatiran. Jujur, Alexa tidak menyukai sorot hangat penuh perhatian yang pria itu tunjukkan saat ini.

Gelenyar panas yang berasal dari cengkeraman erat itu mulai menjalar ke sekujur tubuh Alexa. Dengan cepat, ia mengentak cengkeraman Wade, lalu menenggak minumannya banyak-banyak seolah ingin menunjukkan bahwa ia adalah wanita dewasa, bukan gadis kecil yang butuh perlindungan.

“Kamu sama sekali tidak terlihat seperti sedang bersenang-senang. Kamu lebih seperti wanita yang putus asa,” ujar Wade jujur tanpa sedikit pun menghapus raut khawatir di wajahnya. Alexa menghela lega setelah menjauhkan botol dari bibirnya, lalu menatap Wade sembari tersenyum kecut.

“Aku sedang bersenang-senang sekarang, Wade.” 

Tak memedulikan ucapan Wade, Alexa kembali menenggak minuman. Tak tega membiarkan Alexa menyiksa diri sendiri, Wade segera menandaskan anggur dalam gelas panjangnya, lalu meletakkan gelas kosong itu di meja, kemudian merampas botol anggur dari tangan Alexa ketika ia baru saja selesai meneguknya.

“Wade!” protes Alexa sambil merengut, kesal. Matanya mengikuti pergerakan botol yang Wade letakkan di meja, kemudian kembali menatap pria itu tanpa berniat menghapus raut protes di wajahnya.

“Kamu mau bersenang-senang?” Wade beranjak dari sofa, lalu menjulurkan tangan ke hadapan Alexa. “Akan kutunjukkan bagaimana cara bersenang-senang yang benar.”

Selama beberapa detik, Alexa menatap sinis tangan itu. Raut Alexa yang sebelumnya mengerut kesal, langsung berubah menjadi penuh curiga. Berniat menolak, Alexa mengangkat pandangannya dan menatap Wade lekat-lekat. Namun, senyum miring menggoda serta tatapan hangat nan memikat itu malah membuat napas Alexa tercekat. Gelenyar gairah pun menyulut kewarasan Alexa yang mulai menipis. 

Dia sahabat Nico, Alexa. Dia sahabat Nico! batin Alexa saat kilat liar menghiasi mata Wade yang menguncinya penuh arti. Oh, ingin rasanya ia menolak ajakan itu, tapi entah mengapa seluruh saraf di tubuhnya menuntut untuk menyambut uluran tangan Wade.

“Ayolah, Alexa. Aku berjanji tidak akan mengecewakanmu,” bujuk Wade ringan. Senyum nakal yang menghiasi wajah pria itu langsung memacu degup jantung Alexa. Meski ragu, akhirnya Alexa menerima uluran tangan Wade dan beranjak dari sofa. Genggaman Wade begitu erat. Alexa bahkan bisa merasakan kehangatan pria itu mulai menjalar ke sekujur tubuhnya.

“Wade,” panggil Alexa, berniat menghentikan langkahnya.

You wanna have fun? Just shut up and dance with me, Alexa.

*****

FYI

Selain terbit di sini, bab terkunci dari Crazy Of You juga bisa baca di website nihbuatjajan.com 
Di sana, kalian tidak perlu beli/isi koin dulu. Jadi, langsung bayar saja seperti sistem KaryaKarsa yg lama.

Untuk harga, tentu saja akan lebih murah daripada di KaryaKarsa.

Tapi, nihbuatjajan.com tidak ada dalam bentuk aplikasi ya. Hanya ada dalam bentuk web.

Bagi teman-teman yang merasa keberatan isi Kakoin karena harganya mahal, maka kalian bisa baca di nihbuatjajan.com

Kalian cari saja akunku : Oktaviana_vivi https://www.nihbuatjajan.com/oktaviana_vivi

Atau, klik link ini untuk baca :

CRAZY OF YOU :
https://www.nihbuatjajan.com/oktaviana_vivi/karya?folder=66b77aca723ee40073aaf55e

post-image-66bb33b313357.jpg

Jadi, aku akan ada di 2 tempat yaa… teman-teman bebas mau pilih baca di sini atau di nihbuatjajan.com

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Crazy Of You
Selanjutnya Crazy Of You (21+) - BAB 4 - BAB 6
78
34
FYI…Selain terbit di sini, bab terkunci ini juga bisa baca di website Lynk.id Di sana, kalian tidak perlu beli koin dulu. Jadi, langsung bayar saja seperti sistem KaryaKarsa yg lama.Untuk harga, tentu saja akan lebih murah daripada di KaryaKarsa.Tapi, Lynk.id tidak ada dalam bentuk aplikasi ya. Hanya ada dalam bentuk web.Kalau teman-teman keberatan/males isi Kakoin yang harganya mulai mahal, maka kalian bisa baca di Lynk.idKlik link ini untuk langsung ke akunku : Oktaviana_vivi https://lynk.id/oktaviana_viviAtau, klik link ini untuk baca :CRAZY OF YOU (21+) - BAB 4, 5, 6: https://lynk.id/oktaviana_vivi/9LgNmdA  Jadi, aku akan ada di 2 tempat yaa… teman-teman bebas mau pilih baca di sini atau di Lynk.id*****Warning!! 21+  (Cerita ini mengandung unsur adegan dewasa, kekerasan, dan kata-kata yang tidak diperuntukkan untuk anak di bawah umur. Harap kebijakannya dalam membaca. Sadar diri, sadar umur.) *****Semua orang mengira hidup seorang Alexa Neandro sangatlah sempurna. Paras cantik, sukses, mandiri, dan digilai oleh para pria. Namun, bukan itu yang diharapkan sang ayah, Pappy. Sejak kecil, Alexa berambisi untuk memiliki perusahaan keluarga, Neandro's Record. Masalahnya, Pappy memberi syarat yang menghalangi Alexa untuk menggapai ambisinya, yaitu kembali menerima cinta dan menikah. Sebagai seseorang yang pernah hancur karena cinta, tentu saja syarat tersebut menjadi hambatan terbesar. Alexa pun putus asa dan merasa peluangnya untuk memiliki Neandro's Record sudah pupus. Namun, harapan Alexa tumbuh kembali saat seorang pria yang sudah lama ia kenal, mulai masuk dan menguncang dunianya. Seorang pria tampan yang terkenal liar saat bercinta. Seorang pria yang kembali mengingatkan Alexa akan kebodohannya di masa lalu. Kebodohan yang membuatnya tidak bisa membedakan antara cinta dan nafsu. Wade Maverick, drummer D'Aphrodite.Romance Adult 21+*****
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan