Can I Trust You? (21+) - BAB 36 - BAB 40

8
0
Deskripsi

WARNING 21++ !!
(Cerita ini mengandung unsur adegan dewasa, kekerasan, dan kata-kata yang tidak diperuntukkan untuk anak di bawah umur. Harap kebijakannya dalam membaca. Sadar diri, sadar umur.)

*****

Berdarah dingin. Kejam. Menyukai darah. Pecinta warna hitam. Suka menghabisi nyawa mangsanya dengan sangat lembut namun menyiksa. Tapi, semua itu ia tutupi dengan tameng sempurna.

Jas mahal dan pekerjaan sebagai pengacara handal, merupakan kamuflase terbaik yang ia miliki.
Tertutup. Cliff selalu menjauhkan...

BAB 36

 

Menunggu, menunggu, dan menunggu.

Tiga jam sudah berlalu, tapi tak ada kabar sedikit pun dari Cliff. Rasa bosan mulai menghampiri Molly. Entah sudah berapa kali ia melirik jam yang tergantung di dinding ruangan. Bahkan, sudah lebih dari lima kali ia berniat menghubungi Cliff untuk menanyakan sampai kapan ia harus menunggu, tapi dengan cepat Molly mengurungkan niatnya karena ia tidak ingin mengganggu pekerjaan pria itu.

Demi membunuh rasa bosan, Molly pun bangkit dari posisi berbaring dan meletakkan novelnya begitu saja di meja. Ia membawa ponsel dalam genggaman sembari melangkah menuju dinding kaca. Cahaya matahari sudah tidak seterik sebelumnya. Namun, ramainya kendaraan yang lalu lalang tidak berkurang sedikit pun.

Tiba-tiba, pikirannya tertuju pada Kevin dan percakapan rahasia antara pria itu dengan Cliff. Molly segera mengalihkan perhatian ke ponsel, menekan nama Kevin di layar, kemudian menempelkannya di telinga. Nada sambung yang monoton dan membosankan, mengisi pendengaran Molly selama beberapa saat. Dengan sabar, ia menunggu hingga Kevin menjawab, tapi tak lama kemudian panggilannya malah dialihkan ke kotak suara.

Molly mencoba menghubungi lagi, namun tetap berakhir sama. Tiga kali ia mencoba, tetapi Kevin tetap tidak menjawab panggilannya. Molly menghela kesal, lalu beranjak dari sisi dinding kaca. Ia kembali ke sofa dan duduk sejenak di sana.

Suasana ruangan yang sepi membuat rasa jenuhnya semakin meningkat. Molly pun mencoba mengurangi kejenuhannya dengan membuka sosial media dan membaca beberapa info menarik di sana. Lebih dari 30 menit ia berkutat dengan ponsel, dan rasa jenuh pun kembali menghampiri. Bahkan, matanya mulai terasa berat karena kebanyakan membaca dan menatap layar ponsel.

Akhirnya, Molly memutuskan untuk mengirim pesan pada Cliff.

 

Apa kamu masih lama?

Aku mulai mengantuk dan lapar.

Aku ke kafe, ya.’

 

Namun, baru saja ia ingin mengirim pesan tersebut, jemarinya kembali menghapus semua kata-kata yang telah ia ketik, dan memutuskan untuk menunggu 15 menit lagi. Namun, setelah 15 menit berlalu, Cliff belum juga muncul.

Dengan rasa jenuh yang sudah memuncak, Molly akhirnya beranjak dari sofa dan memutuskan untuk menemui Kevin di kafe. Setidaknya ia tidak akan merasa bosan di sana. Setelah memasukkan novel ke dalam tas, Molly langsung menyampirkan tali tas di pundak sembari melangkah menuju pintu. Sambil terus mencoba menghubungi Kevin, Molly menekan tuas pintu dan membukanya.

“Mau ke mana?”

Pertanyaan itu membuat Molly terkejut bukan main. Ia tak menyangka akan menemukan Cliff di balik pintu, sementara Martin berdiri di belakang sembari menatap dirinya dengan saksama.

“A-aku mau beli kopi,” jawab Molly gugup yang langsung mematikan panggilannya, lalu bergerak mundur saat kedua pria itu melangkah masuk ke dalam ruangan.

“Kopi lagi?” tanya Cliff datar, tak terlihat sedikit pun rasa kesal atau geram di wajah tampannya.

“Iya. Karena ternyata ..., menunggu itu membuatku mengantuk,” balas Molly cepat. Ia berdiri di samping Martin yang baru saja menutup pintu ruangan. Cliff terus melangkah menuju meja kerja, tampak tidak memedulikan jawabannya yang sarat dengan keluhan. Cliff mengeluarkan sebuah map hitam dari dalam laci meja, lalu menguncinya sebelum beranjak dari belakang meja.

“Usahakan mencari celah baru dari kasus ini. Saya tunggu paling lambat dua hari dari sekarang,” perintah Cliff saat memberikan map tersebut pada Martin yang langsung mengangguk patuh. Setelah pamit, Martin pun keluar dari ruangan, meninggalkan mereka berdua.

“Apa kamu tidak sadar kalau nyawamu sedang terancam, atau kamu memang tidak peduli?” tanya Cliff tegas disertai tatapan tajam yang mengintimidasi, membuat Molly merasa bak pelaku kejahatan. Kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana dan ketegasan raut wajah Cliff, menunjukkan bahwa pria itu tidak menyukai sikap gegabah Molly yang mencoba melanggar perintah Cliff sebelumnya.

“A-aku tahu. Tapi ..., aku hanya mau beli kopi. A-aku kira kamu masih lama,” jawab Molly mencoba menjelaskan dengan sejujurnya.

“Aku berusaha menjaga keselamatan dan keamananmu. Usahakan patuhi setiap perintahku!” tegas Cliff yang membuat Molly langsung tertunduk, merasa bersalah.

“M-maafkan aku,” sesal Molly pelan, “aku tidak akan mengulanginya lagi.”

Dengan cepat, Cliff menarik tubuh Molly hingga tubuh mereka saling menempel. Tangan kanan Cliff menengadahkan wajah Molly, sementara mata tajam itu menatapnya dalam-dalam.

“Jangan gegabah! Jangan lakukan ini lagi!” tegas Cliff sedikit lebih lembut. Molly langsung mengangguk patuh. Sedetik kemudian, Cliff mendaratkan kecupan singkat di bibirnya, lalu menjauhkan tangan itu dari wajah Molly dan berpindah ke pinggangnya.

“Kita pulang sekarang,” ucap Cliff datar seraya melepaskan pelukan, lalu membukakan pintu untuknya. Mereka segera keluar dari ruangan dan berjalan di lorong putih tanpa bicara sedikit pun.

Perasaan hangat menyelimuti Molly seketika. Sikap tegas, dingin, serta ucapan penuh penekanan sarat perintah itu membuat Molly menyadari bahwa sesungguhnya Cliff sangat mengkhawatirkan dirinya. Itulah yang membuat rasa cintanya pada Cliff semakin lama semakin besar.

 

*****

 

Molly segera melangkah menuju pintu rumah. Cliff yang baru saja menutup pintu garasi, langsung menyusul dirinya. Martha, yang mengetahui kedatangan mereka, segera membukakan pintu dan mempersilakan masuk.

“Martha, siapkan makan malam dan kopi,” perintah Cliff datar.

“Baik, Sir,” sahut Martha patuh sembari menutup pintu di belakang mereka. Cliff kembali melingkarkan tangan di pinggang Molly, lalu menggiringnya menuju anak tangga. Mereka menapaki tiap-tiap anak tangga dalam diam hingga tiba di lantai dua.

Molly bertanya-tanya, apakah setelah percintaan mereka di kantor, Cliff akan memintanya untuk tidur sekamar atau tidak? Tentu saja Molly sudah siap jika seandainya Cliff meminta hal tersebut, karena hanya itu harapan satu-satunya agar ia bisa mengenal Cliff lebih dalam lagi. Namun saat Cliff mengarahkan langkah mereka menuju kamarnya, seketika itu pula harapan Molly sirna. 

Setibanya di depan pintu kamar, Cliff memutar tubuh Molly dan menatapnya lekat-lekat. Kedua tangan yang diletakkan di pundak Molly, membuat Cliff tampak seperti seorang ayah yang sedang menasehati anaknya.

“Istirahatlah. Aku akan menemuimu nanti saat makan malam,” ucap Cliff sebelum mendaratkan kecupan singkat di kening Molly. Cliff pun beranjak dari sisinya, lalu menghilang dari pandangan Molly saat pria itu berbelok ke sisi lain rumah. Molly mengerut bingung. Sikap Cliff benar-benar sulit dimengerti.

Akhirnya, ia pun hanya bisa menghela napas pasrah lalu berbalik dan memutuskan untuk masuk ke dalam kamar. Molly menutup pintu di belakangnya, kemudian melangkah menuju tempat tidur sambil mengeluarkan ponsel dari tas. Ia mencoba menghubungi Kevin sekali lagi, tapi pria itu tetap saja tidak menjawab panggilannya.

Molly mendengus kesal. Ia benar-benar penasaran apa sebenarnya yang Cliff dan Kevin bicarakan sampai mereka berdua bersekongkol untuk menyembunyikan pembicaraan itu darinya. Tubuh Molly terasa lelah dan gerah. Ia pun memutuskan untuk mandi. Ya, setidaknya mandi mampu mengembalikan tenaga dan kesegaran tubuhnya.

Molly mandi dengan cepat, lalu mengenakan short pants berbahan katun dan kaos longgar yang nyaman. Setelah mengeringkan rambut dan mengoleskan pelembab baik di wajah dan tubuh, Molly bergegas keluar kamar sambil membawa sebuah novel baru dan ponsel. Dengan langkah ringan dan perasaan segar, ia melangkah menuju barisan anak tangga. Namun, langkahnya terhenti seketika saat mendengar suara Cliff yang sedang berbicara dengan seseorang di balik pintu kamar.

Penasaran, Molly memutuskan untuk mendekat, lalu meletakkan telinganya di daun pintu. Suara Cliff yang dalam dan tegas, terdengar begitu penuh amarah. Ia tidak tahu dengan siapa Cliff berbicara saat ini, karena tak terdengar sedikit pun suara orang lain di dalam sana. Namun tampaknya telah terjadi perbedaan pendapat yang membuat Cliff sangat murka.

“Diam! Aku selalu berusaha menetukan mana yang terbaik untuk kita. Untukku! Dan sekarang, hanya ini keputusan terbaik yang bisa kuambil. Kau tidak berada di posisiku. Jadi ..., diam dan ikuti saja setiap keputusanku!” tegas Cliff sebelum terdengar bunyi dentuman keras, yang menandakan bahwa pria itu baru saja masuk ke kamar mandi.

Molly terperanjat, lalu menjauhkan kepalanya dari pintu. Rasa ingin tahu yang cukup besar, membuat Molly ingin sekali mengetuk pintu itu dan menanyakan apa sebenarnya yang terjadi. Tapi, sedetik kemudian Molly mengurungkan niatnya.

Mereka memang sudah berhubungan intim. Cliff juga sudah mengatakan bahwa semua yang terjadi di antara mereka adalah hal baru bagi pria itu. Dan, Molly bersyukur karena Cliff mau beradaptasi dengan keinginannya. Tapi rasanya terlalu cepat baginya untuk mengurusi masalah pribadi Cliff. 

Ia tidak ingin membuat Cliff merasa terganggu dengan sikap ingin tahunya yang berlebihan. Lebih parah lagi, Molly tidak ingin pria itu berpikir bahwa ia adalah tipe wanita yang suka mencampuri urusan orang lain. Akhirnya, Molly pun memutuskan untuk beranjak dari depan pintu kamar Cliff, lalu menuruni anak tangga sambil berusaha menekan rasa penasarannya. 

Martha tampak sibuk di dapur. Ingin rasanya ia membantu wanita itu seperti saat dirinya membantu mama memasak di dapur. Namun, lirikan dingin yang wanita itu berikan, membuat Molly memutuskan untuk membiarkan Martha sibuk dengan kegiatannya.

Pandangan Molly tertuju pada teko kaca berisi kopi yang sudah dihidangkan bersamaan dengan gula, susu, dan krim. Ia menuangkan secangkir kopi hangat, lalu mencampurnya dengan sesendok krim dan gula. Ia mengaduk kopi sesaat sebelum mengangkat cangkir tersebut, mencicipi rasanya, lalu membawa cangkir menuju halaman belakang.

Molly duduk di salah satu kursi yang tersedia di sana, lalu meletakkan kopi serta ponselnya di meja kecil. Ia menghirup aroma kopi yang menenangkan sebelum membuka novel dan membacanya. Suasana yang tenang, begitu mendukung Molly agar semakin tenggelam dalam bacaannya.

Waktu pun berlalu, dan ia tak menyadari bahwa cahaya matahari sudah berganti menjadi sinar rembulan. Molly bahkan tak menyadari bahwa selama beberapa saat Cliff memperhatikan dirinya dari balik sudut dinding kaca.

“Apa kamu kenyang hanya dengan membaca?” tanya Cliff tiba-tiba yang membuat Molly terkejut.

“Astaga! Kamu membuatku kaget,” keluh Molly yang langsung menutup buku.

“Makan malam sudah siap,” ucap Cliff datar yang segera berbalik masuk ke ruang makan. Molly beranjak dari kursi, mengepit novel di ketiak, lalu membawa cangkir kopi yang kosong di tangan kanan dan ponsel di tangan kiri. 

Cliff terlihat segar di balik kaos lengan panjang hitam dengan corak garis putih dan celana pendek berwarna hitam. Martha, yang baru saja selesai menyajikan tiga jenis makanan berbeda di meja, segera berbalik menuju dapur. Molly meletakkan cangkir dan ponselnya di meja makan, begitu juga dengan novelnya sebelum duduk dengan tenang. 

Cliff, yang memilih untuk duduk di seberangnya, membuat Molly mengerut kesal karena sejujurnya ia berharap pria itu duduk di sampingnya. Ia pun berusaha menekan rasa kesalnya itu dan mengalihkan perhatian ke hidangan yang tersaji di hadapan mereka. Makanan itu terlihat lezat dan menggugah selera. Berbeda dengan Molly yang begitu bersemangat untuk menikmati makan malam itu, Cliff malah memasang raut datar seakan hidangan tersebut hanyalah sekedar pengisi perut yang tidak terlalu penting.

Molly menoleh ke arah Martha yang bergegas ingin meninggalkan mereka agar bisa makan malam berdua. Namun kali ini, Molly berniat mengajak wanita itu untuk makan bersama. Bukan hanya demi membangun hubungan yang baik dengan Martha, tapi agar Cliff dapat menunjukkan rasa terima kasihnya pada Martha karena sudah menyajikan hidangan lezat malam ini.

“Martha,” panggil Molly yang langsung menghentikan langkah Martha yang baru saja melangkah meninggalkan meja dapur. Cliff segera mengangkat pandangan dan menatapnya curiga dan penuh tanya.

“Maukah kamu makan bersama kami?” tawar Molly tenang, yang langsung mendapat kerutan protes dari Cliff. Molly bisa menangkap penolakan di wajah Cliff akan keramahan yang ia berikan pada Martha. Namun, hanya ini caranya agar Martha bisa bersikap lebih bersahabat kepadanya.

“Maaf. Saya masih kenyang,” tolak Martha kaku.

Tidak terima dengan penolakan itu, Molly segera menendang pelan kaki Cliff yang semakin mempertegas kerutan di kening pria itu. Tampak jelas bahwa Cliff benar-benar tidak menyukai idenya. Molly memasang raut memelas yang langsung mengubah raut protes Cliff menjadi raut pasrah.

“Makanlah bersama kami, Martha,” perintah Cliff datar tanpa menoleh sedikit pun.

Tampak terkejut dengan perintah itu, Martha sempat terdiam selama beberapa detik sebelum akhirnya beranjak dari tempatnya berdiri. Martha memilih duduk di salah satu kursi yang ada di samping Molly, meskipun tetap menyisakan satu kursi kosong di antara mereka. Mereka pun mulai menikmati makan malam dalam suasana hening yang tampaknya sudah menjadi kebiasaan di rumah ini.

“Besok aku akan pergi pagi-pagi sekali,” ucap Cliff tiba-tiba, yang langsung mematahkan penilaian Molly.

“Ke mana?” tanya Molly singkat dengan raut penasaran.

“Ada pekerjaan yang harus kuurus,” jawab Cliff datar tanpa menatapnya sedikit pun.

“Pagi-pagi? Pekerjaan apa yang mengharuskanmu pergi pagi-pagi sekali?” tanya Molly tanpa berusaha menyembunyikan rasa curiganya.

“Itulah pekerjaanku,” jawab Cliff tenang, “saat mengurus masalahmu pun aku selalu siap kapan saja, bahkan jam tiga subuh sekali pun.”

Jawaban itu membuat Molly menghentikan makannya sejenak. Rasa penasaran yang bercampur dengan kecemburuan yang tinggi membuat raut wajah Molly berubah menjadi murung.

“Yang pasti pekerjaan ini tidak berhubungan dengan wanita,” lanjut Cliff cepat seakan tahu isi pikirannya. Senyum kecil langsung menghiasi wajah Molly yang memutuskan untuk kembali melanjutkan makannya. Sesekali Molly melirik ke arah Martha yang tampak diam, seakan berusaha untuk tidak terlihat sedikit pun.

“Makanan ini sangat enak. Terima kasih, Martha,” puji Molly, berusaha bersikap ramah.

“Terima kasih kembali,” sahut Martha datar tanpa menoleh sedikit pun. Keheningan kembali melingkupi mereka. Karena terbiasa saling bertukar cerita dengan mama setiap kali makan bersama, Molly tidak terlalu menyukai suasana kaku dan sepi seperti ini. 

“Oh, iya. Bagaimana dengan masalah CCTV? Aku besok masuk shift ke dua, sedangkan kamu ada pekerjaan yang harus kamu urus,” tanya Molly berusaha membangun kembali percakapan di tengah keheningan.

“Biar aku yang mengurus masalah CCTV. Kamu kerja saja dan jangan keluar dari kafe sebelum aku tiba di sana,” perintah Cliff tegas sebelum memasukkan makanan ke mulut.

“Baiklah,” balas Molly tenang. Keadaan pun kembali hening, hanya berisi dentingan alat makan. Tak lama kemudian, mereka pun selesai makan. Dengan sikap kaku, Martha beranjak dari kursi dan mulai mengumpulkan piring yang kotor.

“Aku mau istirahat dulu. Kamu jangan tidur kemalaman,” ucap Cliff sebelum beranjak dari hadapannya. Molly, yang tak menyangka bahwa Cliff akan memutuskan untuk segera kembali ke kamar, hanya bisa menatap kepergian pria itu dengan helaan napas pasrah. Demi menekan rasa kecewanya, Molly pun berniat mengisi waktu untuk mendekatkan diri dengan Martha.

Molly segera mengangkat wadah yang masih berisi sisa makanan, lalu membawanya ke dapur. Martha, yang sedang sibuk mengatur peralatan memasak ke dalam lemari, langsung menghampirinya.

“Hentikan! Apa yang Anda lakukan?” tegur Martha cepat seraya berusaha menghentikan dirinya yang sedang mencuci piring kotor.

“Tidak apa-apa, Martha. Aku sudah terbiasa melakukan ini di apartemen,” ucap Molly tenang, “lagi pula, kenapa kamu masih bersikap formal seperti itu denganku?”

“Maafkan saya,” sahut Martha singkat, tapi masih berdiri di samping Molly. Wanita itu terus mengamati Molly dengan raut sedikit mengerut, heran sekaligus tidak suka.

“Kamu tahu, Martha? Dulu, aku sering melakukan kegiatan ini bersama Mama. Kami selalu mengusahakan untuk memasak dan makan bersama meskipun hanya sehari sekali,” ucap Molly sembari mencuci peralatan makan, sementara Martha terus berdiri di sampingnya dengan sikap diam memperhatikan.

“Kami selalu bertukar cerita. Mama selalu mempunyai cerita menarik yang membuatku selalu penasaran apa saja yang akan Mama ceritakan padaku setiap kali kami makan bersama. Aku sangat merindukan masa-masa itu, Martha. Bahkan saat melihatmu menyiapkan makan malam, aku jadi teringat akan keceriaan Mama yang bersemangat setiap kali memasak,” cerita Molly sambil membilas peralatan makan yang sudah ia cuci. Air mata menggenang seketika, dan rasa perih bersarang di dada Molly saat mengingat masa-masa kebersamaannya dengan mama.

“Ini adalah kegiatan yang paling aku sukai, karena aku bisa menghabiskan waktu lebih bersama Mama sebelum Mama memutuskan untuk kembali bekerja. Aku sangat merindukannya. Melihatmu bekerja sendirian di dapur langsung mengingatkanku pada Mama,” ungkap Molly lembut. Ia tak segan mengutarakan isi hatinya, karena hanya ini caranya untuk mengurangi kerinduannya pada mama.

Sejenak, Molly seolah ditarik kembali ke masa-masa indah itu.  Namun berselang beberapa detik kemudian, Molly menarik dirinya balik ke masa sekarang. Masa di mana ia harus kuat dan tegar untuk menemukan pembunuh mama.

Setelah selesai mencuci peralatan makan, Molly segera mengeringkan tangan dengan serbet yang tergantung di dekat tempat cuci piring. Tak disangka, Martha menepuk pundak Molly dengan lembut, membuatnya menoleh dan menatap wanita itu. Terdapat kehangatan baru yang terpancar di wajah Martha. Kehangatan yang ditujukan tepat kepada Molly.

“Terima kasih sudah mengajakku makan malam bersama,” ucap Martha tulus disertai senyum kecil nan hangat.

“Sama-sama, Martha,” sahut Molly lembut. Rasa lega menghampiri Molly saat menerima senyum bersahabat yang Martha tunjukkan padanya. Ternyata, mengubah sikap Martha tak sesulit yang ia pikirkan. Masih dengan senyum kecil menghiasi wajah, Molly beranjak dari hadapan Martha, lalu mengambil ponsel dan novel yang ia letakkan di meja makan.

“Selamat malam, Martha,” pamit Molly sebelum melangkah melewati meja dapur.

“Molly,” panggil Martha tiba-tiba saat ia baru saja mau menapaki anak tangga. Molly segera berbalik, lalu menatap Martha yang memasang raut serius.

“Maafkan aku jika terdengar lancang. Aku tidak tahu seperti apa sebenarnya hubunganmu dengan Cliff. Tapi ..., aku bisa melihat kalau kehadiranmu mulai memberikan perubahan positif dalam dirinya,” ungkap Martha yang ternyata menaruh perhatian lebih terhadap mereka berdua. Wanita itu terdengar sedikit ragu, namun tampak enggan untuk berhenti berbicara. Molly pun memilih untuk tetap diam dan mendengarkan ungkapan hati wanita itu.

“Dia anak yang baik. Hanya saja ...., masa lalunya yang kelam membentuknya menjadi pribadi yang dingin dan menutup diri dari siapa pun. Kuharap ..., kedekatan yang kalian miliki saat ini mampu mengubah Cliff menjadi lebih baik lagi,” lanjut Martha penuh harap. Molly sangat tersentuh dengan kejujuran Martha. Bahkan, mendengar besarnya harapan dan perhatian yang wanita itu miliki, membuktikan bahwa Martha sangat menyayangi Cliff seperti anaknya sendiri.

“Bersabarlah. Sikapnya yang keras, tegas, dan dingin itu hanyalah tampilan luarnya saja. Dia tidak sekuat yang terlihat. Dia ..., terluka,” ungkap Martha sedih, lalu tertunduk dan terdiam sejenak. 

Mendengar ungkapan itu, Molly pun penasaran dengan masa lalu Cliff. Hingga saat ini, Molly memang tidak mengetahui siapa Cliff yang sebenarnya selain yang ia tahu selama ini. Seorang pengacara yang terkenal. Ia bahkan tidak tahu siapa orangtua Cliff dan seperti apa masa lalu pria itu. 

Molly pun kembali teringat akan luka sayatan yang tampak jelas di kedua tangan Cliff. Dan ketika Martha mengungkapkan bahwa masa lalu itulah yang membentuk sosok Cliff yang sekarang, saat itu pula Molly bertekad untuk mencari tahu apa sebenarnya yang terjadi.

“Jangan membencinya, Molly. Setiap kata-kata tegas yang dia ucapkan hanyalah tameng yang dia bangun demi menyembunyikan karakter aslinya. Karena, Cliff yang aku kenal adalah anak yang baik, lembut, penyayang, dan penuh perhatian,” lanjut Martha setelah terdiam beberapa saat. Molly mengangguk pelan disertai senyum kecil, tanda mengerti.

“Terima kasih atas perhatian dan keterbukaanmu, Martha,” balas Molly tenang, “aku akan selalu mengingat nasihatmu. Sejujurnya, aku terlalu mencintai Cliff, sampai rasanya mustahil bagiku untuk bisa membencinya.”

Molly bisa menangkap raut terkejut Martha saat mendengar ungkapan hatinya. Meskipun sempat menunjukkan raut tak percaya, lambat laun Martha menyambut kejujuran Molly dengan senyum lebar diiringi embusan napas lega. Martha sangat menyayangi Cliff, dan Molly tahu kalau Martha mengharapkan yang terbaik bagi pria itu. Molly pun berjanji dalam hatinya bahwa ia akan selalu berusaha menjadi yang terbaik bagi Cliff.

*****

 

BAB 37

 

Suasana begitu sunyi dan sepi. Sudah tiga hari Molly menginap di rumah ini, namun tak sedikit pun Cliff memberikan kesempatan bagi Mors untuk hadir secara langsung di hadapan wanita itu. Cliff selalu mengatakan bahwa ini adalah dunianya, pilihannya, dan keputusannya. Tapi Cliff tidak boleh lupa satu hal, Mors-lah yang membentuk dirinya seperti sekarang.

Mereka adalah satu, baik jiwa, perasaan, maupun pikiran. Mereka sama dan setara, baik dalam kedudukan, keputusan, maupun pilihan. Cliff sadar, seharusnya ia tidak boleh memutuskan secara sepihak kapan Mors boleh muncul di depan wanita itu, karena Mors adalah kekuatannya. Ucapan dan sikap tegas yang ia berikan sebelumnya pada Mors, malah membuat pria itu geram dan kecewa.

Cliff menyadari kesalahannya. Ia tahu, tanpa Mors dirinya bukanlah siapa-siapa. Akhirnya, setelah selesai makan malam, Cliff berusaha merundingkan kembali masalah ini dengan Mors. Mereka mencoba menentukan cara terbaik untuk mengungkapkan semua ini pada Molly. 

Setelah mencapai kata sepakat, Mors meminta untuk dipertemukan langsung dengan Molly. Cliff menolak keras dan beralasan kalau sekarang sudah tengah malam. Namun, Mors mengatakan bahwa hanya itu yang bisa membuat Mors gembira dan percaya bahwa Cliff mampu menjalani kesepakatan mereka. 

Akhirnya, Cliff pun setuju. Dan, di sinilah mereka. Berdiri di dekat pintu kamar, bersembunyi di bawah sudut gelap yang membuat mereka tak terlihat.

Dengan keahlian Mors dalam membuka kunci, mereka pun berhasil masuk ke kamar Molly tanpa diketahui oleh si pemilik ruangan. Entah sudah berapa lama mereka berdiri sembari menatap Molly yang sedang tertidur pulas. Namun Cliff tahu, sesungguhnya Mors menginginkan lebih dari sekedar memandangi Molly dari kejauhan. 

Mors menginginkan pengakuan. Rasa ingin memiliki yang Mors tunjukkan pun membuat Cliff benar-benar cemburu. Sialnya lagi, ia cemburu terhadap pribadi yang jelas-jelas selalu ada di saat-saat terburuknya. Di saat orang-orang melukai batin serta fisiknya. Di saat tak ada seorang pun membantunya bangkit atau melindunginya dari orang-orang yang menghancurkan kepribadian serta kewarasannya.

Mata mereka yang terus tertuju pada Molly, menunjukkan bahwa wanita itu adalah orang yang paling berharga di dunia ini bagi mereka berdua. Molly sangat cantik, Cliff tidak menampik kenyataan itu. Cliff pun tak menutupi bahwa tanpa dorongan Mors, ia tidak akan pernah bisa memiliki Molly. Namun, keinginan Mors yang ingin memiliki Molly bersama-sama malah membuat Cliff serba salah.

Mors selalu mengatakan hanya Molly yang pantas menjadi miliki mereka berdua. Hanya Molly yang pantas masuk ke dalam dunia mereka yang hitam dan kelam. Bukan hanya karena paras cantiknya yang mampu menenangkan gejolak liar mereka, dan tatapan hangat yang dengan mudahnya meluluhkan hati mereka yang beku, tapi juga karena Mors tahu kalau Molly adalah wanita yang kuat.

Cliff berusaha menepis kenyataan itu karena ia tidak ingin mengakui bahwa sesungguhnya wanita itu sudah merebut hati dan perhatiannya sejak pertama kali muncul di hadapannya. Namun Mors mampu menilai Molly lebih baik dari dirinya. Mors bahkan mengatakan bahwa Molly adalah wanita yang tangguh, dilihat dari bagaimana bersikerasnya Molly untuk selalu hadir di kehidupan Cliff.

Maka dari itu, Mors sangat murka ketika Cliff memutuskan untuk menutupi jati diri mereka dari Molly. Menutupi siapa mereka sebenarnya. Mors marah—sangat marah—karena pria itulah yang pertama kali memaksa Cliff untuk menerima Molly. Namun ketika ia sudah merasa nyaman berada di dekat Molly, bahkan takut kehilangan wanita itu, ia malah berusaha mengesampingkan Mors. Itu adalah keegoisan terbesarnya, dan Cliff mengakui hal tersebut.

Akhirnya, demi memuaskan rasa penasaran Mors dan membungkam gerutuan yang selalu mengisi telinganya, Cliff pun terpaksa menuruti kemauan Mors kali ini. Cliff memilih untuk tetap berdiri di dekat pintu kamar, memberi jarak yang cukup jauh sehingga Mors tidak bisa menyentuh Molly. Tapi, Cliff bisa merasakan besarnya keinginan Mors untuk berada lebih dekat lagi dengan Molly.

“Jangan berpikir macam-macam!” ancam Cliff yang bisa membaca niat Mors.

“Dia adalah milik kita, Cliff. Kenapa kau selalu melarangku?” geram Mors kesal.

“Karena—“

“Kau mencintainya!” tegas Mors, melanjutkan kalimat Cliff.

Cliff langsung terdiam saat mendengar kalimat itu meluncur dari bibir Mors. Matanya terus mengunci keberadaan Molly sembari berusaha menjaga agar Mors tidak bersikap gegabah. Cliff tahu kalau Mors bisa membaca pikirannya, bahkan mampu merasakan apa yang ia rasakan saat ini. Cliff menyadari betapa lemah dirinya setiap berada di dekat Molly, dan Mors tidak suka saat ia kembali menjadi sosok yang lemah.

Sejak dulu, Mors selalu ada untuk membuat Cliff terlindungi dari segala rasa sakit. Kehadiran Mors membuat Cliff mampu berdiri tegap tanpa harus dihantui masa lalunya yang kelam dan menyakitkan. Bagi Cliff, keberadaan Mors layaknya pendukung dan penguatnya dalam menghadapi setiap tantangan. 

Saat menyadari keberadaan Molly di hatinya, Mors mengatakan bahwa wanita itu hadir untuk membuat Cliff semakin kuat. Namun saat mengetahui bahwa kehadiran Molly malah membuat Cliff lemah, Mors pun murka. Mors tidak ingin setiap keteguhan dan kekuatan yang sudah mereka bangun bersama-sama, hancur seketika hanya karena cinta.

“Jangan lemah karena cinta, Cliff!” tegur Mors geram, “cinta yang kau rasakan sepatutnya kau gunakan untuk memperkuat jati dirimu. Bukan malah membuatmu lemah seperti pria bodoh!”

Cliff tidak berusaha membalas ucapan itu. Ia hanya berharap agar mereka segera pergi dari kamar Molly, karena ia tidak tahu seberapa kuat dirinya menahan Mors agar tidak melakukan sesuatu yang akan ia sesali di kemudian hari.

“Kau mencintainya, begitu juga denganku,” ungkap Mors tipis, “jangan lemah, Cliff! Rasa memilikimu membuat kita lemah. Dia ada untuk membuat kita kuat. Jangan tenggelam dalam fatamorgana yang muncul karena rasa cintamu! Dia milik kita. Dia kekuatan kita.”

Cliff berusaha menepis rasa sesak dalam dadanya setiap kali Mors mengatakan bahwa Molly milik mereka bersama. Ia tidak ingin Molly dimiliki oleh Mors. Molly hanya miliknya seorang. Hanya miliknya!

Bersikeras menolak larangan Cliff, Mors pun melangkah menghampiri Molly. Meskipun Cliff berusaha menahan, tetap saja Mors melanjutkan langkah kakinya dan berhenti tepat di samping tempat tidur wanita itu. Cliff berharap agar Mors tidak menyakiti Molly. Cliff tidak ingin Molly menghadapi mereka berdua sekaligus, seperti yang sudah pernah mereka lakukan pada korban mereka terdahulu. Rasa cinta dan memiliki yang begitu kuat, membuat Cliff hampir gila. Ia tidak ingin Mors memiliki Molly. Tidak sama sekali!

Mata Cliff terus menatap Molly yang terlelap, begitu cantik dan tenang. Kulitnya yang mulus nan menggoda untuk disentuh, terpampang jelas di hadapan mereka saat ini. Dalam kesunyian yang begitu menyelimuti, Mors mulai menggerakkan tangannya, lalu membelai paha Molly dengan perlahan-lahan. Tatapan liar yang Mors tunjukkan, merefleksikan apa yang ada dipikirannya. 

Cliff menggemeretakkan gigi sambil terus berharap agar Mors tidak mewujudkan pikiran liar tersebut. Tangan Mors mulai bergerak naik ke rambut Molly, lalu mengelusnya sejenak sebelum memutuskan untuk duduk di pinggir tempat tidur. Selama beberapa saat yang hening dan menyesakkan, Mors terus memperhatikan Molly sembari mengusap rambut yang tergerai di atas bantal. 

Tiba-tiba, Mors mulai membungkukkan tubuh, berniat mencium bibir Molly. Dengan cepat, Cliff menahannya. Namun, penolakan yang Mors tunjukkan membuat Cliff hanya bisa menggeram kesal. Akhirnya, Mors mencium Molly, dan hal itu membuat tubuh Cliff terasa seperti terbakar. 

Ia bisa merasakan bagaimana Mors menikmati bibir Molly yang lembut dan manis, bahkan perlahan-lahan ciuman itu pun semakin dalam dan liar. Mors menjentikkan lidah di bibir Molly sebelum menarik dan mengisapnya. Tak berhenti di situ saja, tangan Mors mulai menjamah tubuh Molly dengan lihai, sementara bibir mereka saling bertautan. Perlahan namun pasti, tangan itu pun mulai bergerak naik ke atas. 

“Hentikan!” tegas Cliff sembari menjauhkan tangan Mors dari Molly. Tangan itu sudah bergerak melewati batas, dan Cliff tidak bisa menolerir hal tersebut.

“Rasa cemburu itulah yang membuatmu lemah! Hilangkan perasaan itu, dan kembalilah seperti Cliff yang dulu. Cliff yang kuat dan tak tergoyahkan oleh kecantikan wanita sekali pun,” tegur Mors sinis seraya beranjak dari pinggir tempat tidur, lalu melangkah menjauh dari Molly.

“Kau salah, Mors. Cliff yang dulu adalah Cliff yang lemah dan pengecut,” sahut Cliff tipis seraya melangkah menuju pintu kamar.

“Kalau begitu ..., kembalilah menjadi Cliff yang sudah kubentuk!” tegas Mors sambil menutup dan mengunci pintu itu kembali.

 

*****

 

Molly beranjak keluar dari kamar mandi. Tubuhnya terasa segar dan perasaannya pun terasa ringan. Setelah menikmati sarapan bersama Martha dan membantu membersihkan dapur, Molly pun segera mandi. Keramahan dan sikap terbuka yang Martha tunjukkan pagi ini membuat Molly semakin nyaman tinggal di rumah Cliff.

Hari ini, ia akan kembali bekerja. Molly bergegas mengenakan seragam, menguncir kuda rambutnya, dan memoleskan riasan ringan di wajah. Setelah memasukkan ponsel dan dompet ke dalam tas, begitu juga dengan novel sebagai penghilang rasa suntuk saat di perjalanan, Molly pun langsung mengenakan sweater kesayangannya.

Ia menyampirkan tas di pundak, lalu melangkah keluar dari kamar. Cliff, yang sudah pergi demi mengurus pekerjaannya sejak pukul 05.00, tak menitip pesan apa pun pada Martha. Bahkan pria itu tak mengabarinya via ponsel. Cliff memang belum pernah menjalin hubungan romantis dengan seseorang. Jadi, Molly berusaha memaklumi jika seandainya Cliff belum paham bahwa mengabari pasangan adalah salah satu cara untuk membangun komunikasi menjadi lebih dekat.

Molly menuruni anak tangga dengan langkah ringan, lalu berpamitan pada Martha sebelum meninggalkan rumah. Beruntung jarak antara rumah Cliff ke Stasiun Epping tidaklah terlalu jauh, meskipun ia harus berjalan kaki ke halte bus terdekat. 

Semalam, Molly sudah mempertimbangkan untuk memilih menggunakan taksi online atau transportasi umum. Akhirnya, ia memutuskan bahwa bepergian dengan kendaraan umum yang ramai terasa lebih aman daripada harus berduaan saja dengan sopir taksi online. Meskipun perjalan menggunakan kereta terhitung lebih lama daripada menggunakan taksi, tetapi tetap saja berada di tengah banyak orang di tempat terbuka akan terasa lebih aman daripada harus berada di mobil orang yang tidak ia kenal.

Jaga keselamatan dan jangan gegabah.’

Kalimat itu bak alarm yang terus berdengung dalam benaknya setiap kali ingin mengambil keputusan. Ketegasan yang Cliff tunjukkan kemarin saat ia berniat melanggar perintah pria itu, membuat Molly berpikir dua kali untuk bersikap gegabah.

Setibanya di halte yang cukup ramai, ia menunggu kedatangan bus sembari mendengarkan lagu dari headset. Tak lama kemudian, bus pun berhenti di depan halte. Mereka semua masuk dan bergegas memilih kursi yang masih kosong. 

Molly memilih duduk di dekat pintu masuk. Setidaknya, itu adalah posisi teraman baginya. Tiba-tiba, ponselnya berdering. Alunan lagu di telinganya pun terhenti begitu saja. Molly pun segera menjawab panggilan tersebut saat melihat nama Cliff terpampang di layar ponsel. 

Kamu naik apa?” tanya Cliff datar dan cepat tanpa mengucapkan kalimat sapaan sama sekali.

“Ini lagi di bus, mau ke stasiun,” jawab Molly tenang.

Kenapa naik bus? Apa kamu tidak tahu kalau ada taksi online?” cecar Cliff yang terdengar tidak suka dengan keputusannya.

“Tahu,” jawab Molly singkat.

Lalu?” tanya Cliff tak kalah singkat, namun penuh penekanan.

“Aku merasa lebih aman di tengah banyak orang daripada harus berduaan dengan pria yang tidak kukenal,” jawab Molly pelan, tidak ingin percakapannya terdengar oleh orang lain. Cliff terdiam sejenak, sebelum akhirnya berdeham kecil.

Kabari aku kalau sudah tiba di kafe,” perintah Cliff datar.

“OK,” jawab Molly patuh, dan panggilan itu terputus begitu saja, tanpa ada kata-kata pemanis yang setidaknya menunjukkan bahwa mereka memiliki hubungan romantis. 

Namun panggilan tersebut setidaknya mematahkan penilaian Molly yang menyatakan bahwa Cliff tidak terlalu memikirkan dirinya. Meskipun dengan nada tegas dan menginterogasi, Molly tahu kalau pria itu mengkhawatirkan dirinya. Alunan musik yang kembali mengisi indra pendengarannya, menambah keceriaan yang menyelimuti hatinya saat ini.

Beberapa menit kemudian, bus pun berhenti tepat di halte Stasiun Epping. Molly bergegas turun bersama beberapa orang sambil menggenggam tali tasnya erat-erat. Dengan langkah ringan, ia melenggang masuk ke stasiun dan berjalan tenang menunju area menunggu kereta yang mengarah ke Townhall.

Saat ia melewati sebuah kursi tunggu, tiba-tiba bulu kuduknya meremang. Dengan cepat Molly menoleh ke belakang, lalu mencari sumber dari rasa takut yang tiba-tiba menyerangnya. Ia mencoba menangkap sosok yang mungkin terlihat mencurigakan, tapi setelah beberapa saat melayangkan pandangan ke sekeliling, Molly tidak menemukan siapa-siapa. Ia hanya melihat orang-orang yang sibuk dengan ponsel, bercengkerama dengan sesama kerabat, bahkan kegiatan ringan lainnya yang biasa orang lakukan selagi menunggu kereta tiba.

Jantung Molly yang berdebar dengan cepat menunjukkan bahwa rasa takut itu membuat dirinya semakin waspada. Molly pun mulai mengangkat ponsel ke hadapannya, lalu mengetik nama Cliff di daftar panggil. Ia bisa merasakan dengan sangat jelas bahwa ada tatapan tajam yang sedang mengamati dan memperhatikannya.

Ini salah! Seharusnya, Molly merasa aman di tengah kerumunan orang banyak. Seharusnya, Molly tidak perlu takut karena seandainya pun orang itu berniat jahat padanya pasti orang-orang di sekitarnya akan siap melindunginya. Namun, rasa takut yang begitu besar itu membuat Molly makin gugup dan panik.

Molly berniat menghubungi Cliff. Namun setelah tiga kali melemparkan pandangan ke sekeliling dan tak menemukan sumber dari rasa takutnya, ia pun memutuskan untuk memasukkan kembali ponsel ke tas sambil terus menenangkan dirinya. Ia masih belum bisa tenang. Sesekali, Molly menoleh ke kanan dan kiri, berharap bisa menemukan sosok yang saat ini ia yakini sedang mengamati dirinya saat ini. Namun, tetap saja nihil.

Akhirnya, kereta menuju Townhall pun berhenti di depannya. Beberapa orang melangkah keluar dari kereta saat pintu bergerak terbuka. Setelah barisan orang yang keluar itu sudah selesai, ia pun melangkah masuk dan memilih duduk di kursi yang kosong.

Sekali lagi, rasa takut itu kembali menyerangnya. Bulu kuduknya meremang seketika, tangannya terasa dingin, jantungnya berdebar cepat, dan perutnya tegang karena takut. Tak ingin tenggelam oleh rasa takut yang tak beralasan, Molly segera mengeluarkan novel, lalu membacanya sambil mendengarkan lagu. 

Molly berusaha untuk tetap tenang, meskipun sesungguhnya ia tidak tahu bahwa sosok yang membangkitkan rasa takutnya itu memang benar-benar ada. Bahkan saat ini, pria itu sedang mengamati Molly dengan jantung berdebar cepat karena antusias. Pria itu duduk beberapa meter jauhnya dari tempat Molly. Seorang pria yang sudah memastikan bahwa rencananya akan berjalan lancar.

Tidak lama lagi! Dalam waktu kurang dari 24 jam, kau akan berada dalam kuasaku! batin Henry dengan senyum miring sambil terus mengamati Molly.

 

*****

 

Aku sudah di kafe,” lapor Molly pada Cliff dari balik ponsel.

“Baiklah. Ingat pesanku, jangan keluar kafe sebelum aku tiba di sana!” ingat Cliff tegas.

OK,” jawab Molly tenang, seakan tak memedulikan betapa besar rasa khawatir yang sedari tadi menyelimuti Cliff setelah Martha mengabari bahwa Molly memutuskan untuk menaiki bus. 

Setidaknya, saat ini perasaan Cliff sudah sedikit lebih tenang. Kekhawatirannya yang berlebihan terhadap Molly, akhirnya sirna setelah mengetahui kalau wanita itu tiba di kafe dengan selamat. Cliff pun semakin tenang karena ia tahu ada Kevin yang siap menjaga Molly selama dirinya tidak ada.

Panggilan itu pun terputus dan Cliff kembali memusatkan perhatiannya pada kasus yang sedang ia tangani. Atau lebih tepatnya, kepada korban yang sudah mereka intai selama beberapa hari ini. Cliff memasukkan ponsel ke saku celana, lalu menyalakan mesin mobil.

Ia dan Mors baru selesai mengintai Howie, pria tua berotak kotor dan kejam. Mors sudah tidak sabar ingin segera menarik Howie dan membawanya ke tempat rahasia mereka. Cliff juga sudah membayar seorang penjaga penginapan tempat Howie tinggal. Bahkan Cliff sudah mengatur sedemikian rupa agar Howie berhasil masuk perangkapnya.

“Bersihkan kepalamu dari Molly untuk sejenak agar malam ini bisa berjalan lancar seperti biasa!” tegur Mors yang membuat Cliff menoleh geram, lalu kembali menatap lurus ke arah jalanan.

“Kepalaku sebersih biasanya. Jangan khawatirkan itu!” kilah Cliff tipis, lalu menginjak gas, membawa mobilnya keluar dari tempat tersembunyi yang sudah ia perhitungkan dengan matang agar tidak tertangkap CCTV jalanan.

“Aku tahu seperti apa dirimu, Cliff,” tegur Mors geram, “kau tidak pernah bersikap seaneh ini.”

“Seaneh apa?” sahut Cliff cepat tanpa menoleh sedikit pun.

“Kau tidak mampu mengendalikan perasaanmu. Pikiranmu bercabang. Bahkan ..., aku bisa melihat keenggan yang terlihat jelas di matamu. Kau tidak akan bisa lepas dari semua ini, Cliff! Ini adalah dunia kita, dan kau tidak bisa berpura-pura bahwa semua ini tidak pernah ada!” tegas Mors yang membuat Cliff tertampar dengan kata-kata itu.

“Aku tidak berpura-pura! Ini duniaku. Dunia kita. Jangan berbicara seakan kau tahu apa yang kurasakan, Mors!” tegur Cliff, berusaha membela diri.

“Ya, aku tahu. Dan bodohnya lagi, kau terus mengelak!” ucap Mors yang membuat Cliff menggemeretakkan gigi. Ia memutuskan untuk tidak menjawab ucapan sinis Mors dan terus melajukan mobilnya.

 

*****

 

BAB 38

 

Cliff keluar dari mobil seraya menenteng tas kerja, lalu mengunci pintunya. Sekarang pukul 12.45. Mata Cliff seketika memicing akibat terik matahari yang begitu menyilaukan saat menatap bangunan yang beberapa hari ini sering ia kunjungi. Kantor polisi Hornsby. 

Setelah kembali ke rumah untuk mandi dan mengganti pakaian, Cliff langsung bergegas ke tempat ini. Ia tidak ingin memberikan keleluasaan bagi Brad untuk bernapas. Ia pun sudah tak sabar ingin melihat betapa ketar-ketirnya pria itu setiap kali mendapat tekanan darinya.

Cliff melangkah menuju gedung kepolisian sembari mengingat setiap komentar dan protes Mors mengenai perubahan sikapnya. Cliff berusaha menjaga pikirannya agar tetap jernih, terlebih lagi karena saat ini ia harus menyelesaikan masalah yang sedang merongrong kehidupan Molly. 

Ia menyadari, kesepakatannya dengan Mors layaknya buah simalakama. Tapi hanya itu yang bisa Cliff lakukan demi membungkam kekecewaan Mors. Menolak keinginan serta keberadaan Mors, sama saja seperti tidak menghargai setiap perjuangan yang mereka lalui bersama hingga mereka berada di titik sekarang ini. Namun, menerima permintaan Mors sama saja mengancam keselamatan dan keamanan Molly.

Berat rasanya membagi Molly dengan Mors. Namun saat Mors mengetahui besarnya perasaan yang Cliff miliki terhadap Molly, Mors pun cemburu dan tidak terima. Mors selalu ingin menjadi yang pertama dan utama dalam setiap keputusan yang Cliff ambil. Mors selalu menunjukkan bahwa pria itulah yang paling kuat dan berkuasa dalam dunia Cliff. Dan yang lebih parah, Mors selalu ingin menjadi prioritas di kehidupan Cliff. Namun sialnya, Cliff tidak bisa mengelak bahwa sesungguhnya posisi Mors perlahan-lahan mulai tergantikan oleh kehadiran Molly, baik dalam kesehariannya, maupun dalam hati dan jiwanya.

Hingga saat ini, Cliff belum bisa melupakan detik-detik ketika Mors memberanikan diri untuk mencium Molly. Cliff tahu niat terliar yang berusaha Mors wujudkan semalam. Namun, Cliff hanya bisa menelan penolakan yang berusaha ia lontarkan demi menjaga perasaan Mors, dan membiarkan pria itu mencium liar serta menjamah Molly yang tertidur pulas.

Cliff bak terkungkung oleh keputusan yang sudah ia ambil. Namun sekuat apa pun Cliff menahan diri, tetap saja ia tidak bisa menutupi bahwa dirinya tak siap membagi Molly dengan Mors. Cliff cemburu, dan Mors tidak menyukai perasaan itu. Gelenyar panas yang merambat dan membara dalam dada ketika melihat Mors mencium Molly, terasa bak pecutan keras nan menyiksa yang berusaha menyadarkan Cliff bahwa dirinya telah mengambil sebuah keputusan yang salah. 

Ini gila! Cliff tahu, perasaan yang ia miliki terhadap Molly lambat laun pasti akan menghancurkan hubungannya dengan Mors. Tapi entah mengapa sisi lembut dalam dirinya seakan mendukung hal tersebut. Perasaannya yang begitu kuat pada Molly pun selalu memaksa Cliff untuk berani bersikap tegas dan menentukan jalan terbaik demi masa depannya.

Masa depan? Apakah aku masih memiliki masa depan yang cerah? Apakah Molly siap menjalani masa depan yang kelam bersamaku? Atau ..., apakah Molly akan bertahan hingga akhir jika dia mengetahui sudah berapa banyak darah yang membasahi tangan dan wajahku? batin Cliff gelisah seraya menapaki tiap-tiap anak tangga. 

Sebisa mungkin Cliff kembali memusatkan perhatiannya pada masalah Molly yang akan ia tangani saat ini. Ketika ia membuka pintu bangunan tersebut, Cliff menemukan keberadaan Brad yang sedang berbicara dengan salah seorang petugas kepolisian bertubuh tinggi dan tegap. Brad langsung menoleh ketika teman bicaranya memberi isyarat dengan melemparkan tatapan ke arah Cliff.

Wajah Brad yang sedang tersenyum, seketika berubah menjadi kaku dan tegang. Tatapan mata pria itu pun menunjukkan dengan jelas betapa tidak sukanya Brad akan kehadiran Cliff.

“Saya ingin melihat hasil CCTV itu sekarang,” ucap Cliff datar tanpa basa-basi sedikit pun ketika berhenti di depan Brad.

“Pihak penyidik sedang memeriksanya. Saya akan memanggil Anda jika semuanya sudah siap,” balas Brad tipis sembari menunjukkan tatapan sinis padanya.

“Apakah aku bertanya? Tidak, ‘kan? I wanna see it. Now!” balas Cliff tenang disertai penekanan yang menunjukkan bahwa ia tidak akan menerima perintah dari siapa pun.

“Tapi—“

“Sekarang!” potong Cliff cepat tanpa memberikan kesempatan bagi Brad untuk melontarkan alasan yang dapat membuang-buang waktunya. Dengan geraman kesal dan kepalan erat di kedua tangan, Brad pun menyerah dan menuruti permintaan Cliff.

“Tolong antar dia ke ruangan yang biasa,” pinta Brad pada petugas polisi yang tadi berbicaran pria itu. Dengan anggukan patuh, petugas itu segera melangkah menjauh dari Brad. Cliff mengikuti dari belakang, lalu melewati Brad tanpa menoleh sedikit pun. 

Cliff memasang raut datar, tak peduli dengan tatapan penuh amarah dan raut geram yang Brad tujukan padanya. Tujuan Cliff ke tempat ini hanyalah untuk melaksanakan pekerjaannya dengan sempurna. Bukan untuk meladeni luapan amarah seseorang.

Dengan langkah mantap dan tenang, Cliff berjalan melewati beberapa baris meja sebelum berbelok menuju ruang interogasi yang biasanya ia dan Molly datangi. Petugas polisi membukakan pintu, lalu mempersilakannya masuk. Cliff segera masuk dan memilih salah satu kursi, kemudian meletakkan tas kerja di kursi kosong yang ada di sampingnya.

Hanya berselang beberapa menit saja, pintu ruangan kembali terbuka. Brad muncul sembari membawa laptop dan map berwarna kuning dalam pelukan. Raut kesal masih terlihat jelas di wajah Brad, tapi Cliff berusaha tidak menggubris hal tersebut. 

Disertai dengusan kecil, Brad duduk di hadapan Cliff, lalu membuka laptop dan menyalakannya. Cliff menunggu hingga akhirnya video rekaman CCTV hotel muncul di layar. Matanya terus mengikuti setiap menit dan detik yang berlalu hingga akhirnya si peneror muncul dari salah satu kamar yang berada tak jauh dari kamar Molly. Lebih dari tiga kali pria itu mengetuk pintu kamar Molly sebelum akhirnya meletakkan amplop berisi ancaman. Tidak ingin berlama-lama, Cliff segera mengalihkan pandangan dari layar ke Brad, meminta penjelasan tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

“Kami sudah meminta data orang yang menginap di kamar tersebut. Berikut tanda pengenalnya,” ucap Brad datar, mengerti arti dari tatapan yang Cliff berikan. 

Brad mengeluarkan selembar fotokopi tanda pengenal seorang pria dari map. Di sana terpampang wajah pria berusia tiga puluhan dengan data diri yang Cliff yakini palsu. Cliff berusaha mengingat-ingat kembali apakah ia pernah melihat wajah pria itu, tapi sama sekali tidak berhasil.

“Kami sudah memeriksa datanya, tapi tanda pengenal ini palsu,” lanjut Brad datar.

“Kapan dia tiba di hotel?” tanya Cliff cepat.

“Sama seperti kalian,” jawab Brad tipis. Cliff menangkap betapa enggannya Brad menjawab pertanyaan yang ia lontarkan. 

“Apa kalian juga mengambil CCTV baik di lahan parkir maupun lobi hotel pada saat kami tiba?” tanya Cliff langsung. Brad mengangguk kaku, lalu mengalihkan rekaman CCTV ke saat di mana mereka baru saja tiba di hotel. 

Cliff terus memperhatikan gelagat si peneror yang muncul tak lama setelah mereka tiba di hotel. Mata Cliff terasa panas, sama seperti aliran darahnya yang saat ini berdesir cepat dan meletup kuat seakan mendidih ketika melihat rekaman CCTV itu. Si peneror berdiri begitu dekat dengan Molly. Dan, Cliff pun langsung mengutuki kelalaiannya. Tanpa ia sadari, keputusan untuk meninggalkan Molly sendirian di hotel saat itu adalah sebuah kelalaian terbesarnya.

“Area parkir?” tanya Cliff cepat, “apa kalian sudah memeriksa CCTV-nya?”

“Sudah,” jawab Brad singkat, “kami juga sudah memeriksa plat nomor kendaraannya. Tapi masalahnya, plat nomornya juga palsu.”

“Saya rasa cara keluar terbaik saat ini hanyalah mencari tahu ke mana mobil itu pergi setelah keluar dari hotel. Banyak CCTV di jalanan yang kemungkinan besar menangkap keberadaan mobil itu. Kalian bisa melanjutkan penyelidikan dari sana, dan menyusuri satu per satu CCTV agar menemukan ke arah mana sebenarnya si peneror pergi,” jelas Cliff, berusaha memberikan saran terbaik untuk memperkecil kemungkinan terburuk mereka, yaitu kehilangan keberadaan si peneror.

“Bisa saja,” sahut Brad cepat namun terdengar seperti tidak menyukai sarannya, “tapi hal itu akan memakan waktu lama, mengingat banyaknya CCTV yang harus kami telusuri. Jika Anda berkenan, kami akan mengabari Anda setelah menemukan titik terangnya, karena kami juga masih berusaha mencari pembunuh Nora.”

“Saya rasa saya sudah mengatakannya berulang kali. Saya. Tidak. Menerima. Perintah! Tanpa harus menjadi seorang penyidik pun saya bisa mengambil kesimpulan, bahwa kemungkinan besar peneror ini adalah pembunuh Nora. Hal itu bisa dilihat dari ancaman yang klien saya terima dari si peneror. Ancaman yang menunjukkan bahwa klien saya adalah korban selanjutnya.

“Seandainya pun dia bukan si pembunuh, setidaknya kalian bisa menggali informasi mengenai siapa dalang di balik semua ini dari si peneror itu. Karena, pembunuhan Nora dan ancaman yang klien saya terima memiliki sangkut paut yang sangat kuat. Jika kalian berhasil menemukan otak di balik semua kejadian ini, maka kalian akan lebih mudah untuk menangkap si pembunuh, begitu pun sebaliknya. Jadi, lakukan saja apa yang saya katakan agar masalah ini cepat selesai,” ujar Cliff tegas sebelum memutuskan untuk beranjak dari kursi, lalu menenteng tas kerjanya.

“Saya tunggu paling lama besok sore,” lanjut Cliff sebelum melangkah keluar dari ruangan itu, meninggalkan Brad yang berniat memberikan alasan, namun memutuskan untuk diam, menggeram kesal, dan terpaksa menerima setiap perintah yang keluar dari bibirnya. 

Senyum tipis menghiasi wajah Cliff saat membayangkan Brad yang tak berkutik setiap kali menghadapi dirinya. Cliff terus melangkah hingga menuju pintu keluar bangunan itu. Tugasnya hari ini sudah selesai. Sekarang, ia akan kembali ke kantor, mengerjakan beberapa kasus yang baru diletakkan di mejanya, lalu menunggu Molly hingga wanita itu selesai bekerja. Setidaknya, Molly akan aman di rumahnya bersama Martha, sehingga ia bisa tenang menjalankan pembunuhan malam ini bersama Mors.

 

*****

 

“Aku tidak bisa melakukan ini lagi!” ungkap Brad frustrasi sambil terus mengatur napasnya yang terengah-engah. Ia mengempaskan bokongnya yang besar di kursi kerja, lalu menyisirkan jemarinya yang gemuk ke rambut. Kedatangan Cliff dan setiap detail yang pria itu ucapkan membuat dirinya semakin terpojok.

“Aku sudah mengatakan padamu kalau batas waktuku hanya sampai hari Kamis ini untuk menemukan pembunuh Nora. Dan asal kau tahu, kemungkinan besar sebelum hari Kamis pembunuh bayaranmu itu akan tertangkap akibat kecerobohannya yang berani muncul di CCTV hotel!” geram Brad yang tak menyangka bahwa pembunuh bayaran itu akan bertindak segegabah ini.

Tenanglah,” sahut pria itu tenang seakan posisi Brad yang sudah berada di ujung tanduk hanyalah sebuah lelucon, “dia akan menyelesaikan tugasnya sebentar lagi. Aku sudah memastikan bahwa dia sudah merencanakan semuanya dengan baik. Tinggal menunggu pelaksanaannya saja. Kurasa paling lambat besok pagi kau akan menerima kabar baik dariku.

Brad tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Dipecat dari pekerjaan merupakan hal terburuk kedua setelah perceraiannya. Ia tidak sanggup melepaskan pekerjaan yang merupakan mata pencaharian utamanya itu. Jika mantan istrinya tahu kalau dirinya adalah seorang pengangguran, maka kesempatannya untuk bertemu anak-anak pun akan semakin sulit.

“Tidak! Aku tidak ingin berurusan dengan masalah ini lagi. Kau sama sekali tidak peduli akan apa yang menimpaku di kemudian hari jika saja Cliff berhasil mengungkapkan semuanya. Mengungkapkan kalau aku memiliki andil di balik semua masalah ini! Dia bahkan mengatakan bahwa ada seseorang yang mengendalikan si peneror, yang artinya kau pun akan terseret jika seandainya Cliff berhasil memaksa kami untuk menemukan pembunuh bayaranmu yang bodoh itu!” jelas Brad tegas penuh amarah dan takut.

Mata Brad tertuju pada foto anak-anaknya yang selalu ia letakkan di atas meja kerja. Wajah cantik dan memesona yang mampu meluluhkan hatinya dalam sekejap, membuat hati Brad terasa perih. Ini salah. Brad tahu, yang ia lakukan sekarang ini adalah sebuah kesalahan. Tapi ia tidak memiliki pilihan selain tunduk pada uang. Pada kekuasaan. Karena hanya dengan semua itulah ia bisa bertemu dengan anak-anaknya.

Berapa yang kau butuhkan untuk membuatmu kembali tenang?” tanya pria itu seakan tahu bahwa hanya uanglah yang bisa membuatnya tenang.

“Tidak, aku tidak butuh uangmu! Aku hanya ingin lepas dari semua ini. Aku muak!” tolak Brad cepat penuh amarah.

5.000 Dollar. Apa itu cukup untuk menenangkan amarahmu itu?” tanya pria itu lagi, masih dengan sikap tenang yang begitu memuakkan.

“Kau dengar aku? Aku tidak mau lagi!” tolak Brad lagi seraya mengepal tangan erat-erat.

20.000?” lanjut pria itu, tak menghiraukan penolakannya.

“Apa kau tidak mende—“

25.000 Dollar, dan menghilanglah selama beberapa hari! Usahakan agar kau bawa semua bukti CCTV itu. Aku akan mengirim uangnya ke rekeningmu sekarang. Kau mengerti?” tegas pria itu seraya menghentikan penolakan Brad. Ia pun terpaku mendengar perintah itu. Menghilang selama beberapa hari. 

Ia tidak mengerti lagi harus mengutarakan alasan apa lagi demi menolak perintah pria itu. Namun pikirannya langsung berputar cepat, mencari tempat teraman untuk menghilang selama beberapa hari. 25.000 Dollar. Jumlah itu bisa membawanya keliling dunia selama dua minggu penuh.

Embusan napas pasrah disertai rasa frustrasi akhirnya meluncur dari bibir Brad. Ia sudah tidak bisa lari dari semua ini. Namun berdiam diri di sini sama saja mempertaruhkan semua yang sudah ia capai. Kematian Nora memang merupakan tanggung jawabnya, tapi ia tidak akan membiarkan kasus itu merebut pekerjaannya. Tidak akan!

“Baiklah. Aku akan pergi,” balas Brad pasrah.

Jangan kembali ke kantormu sampai aku memberi perintah!” tegas pria itu sebelum memutuskan panggilannya. Brad meletakkan ponsel di meja begitu saja. Matanya tertuju pada laptop, sementara pikirannya memutar kembali perintah yang Cliff lontarkan sebelumnya.

Dengan cepat, Brad segera beranjak dari kursi, lalu membawa laptop serta berkas Molly dan Nora. Ia akan mengamati sendiri ke mana mobil si peneror itu berada setelah pergi dari hotel. Dan setelah mengetahui semuanya, ia akan membawa barang bukti dan CCTV ke tempat yang sangat jauh sampai akhirnya si pemberi perintah menyuruhnya untuk kembali ke sini.

Saat perjalanan menuju mobil, sebuah pesan masuk menghentikan langkahnya sejenak. Bukti transfer uang sebesar 25.000 Dollar ke rekeningnya tertera jelas di layar ponsel. Sembari melanjutkan langkahnya, Brad membaca pesan dari si pemberi perintah.

Lekas pergi!

 

*****

 

Hari ini, kafe seramai biasanya. Molly bekerja dengan stamina penuh, bahkan kenyataan bahwa Cliff akan menunggunya pulang kerja nanti, seakan memberikan stimulan khusus yang membuat dirinya bekerja tak kenal lelah. Kevin, yang selalu memperhatikan gerak-gerik setiap pelanggan yang ia layani, membuat Molly sesekali mengerutkan kening, bingung dan curiga.

Hingga saat ini, Kevin masih belum mau terbuka tentang percakapan rahasia antara pria itu dengan Cliff. Tapi Molly tidak akan menyerah. Ia akan terus berusaha sampai akhirnya Kevin menyerah dan bercerita padanya.

Waktu istirahatnya pun tiba. Dengan raut serius serta tatapan penuh selidik, Kevin segera menghampiri Molly yang baru saja masuk ke ruang dapur. 

“Kamu mau ke mana, Ly?” tanya Kevin cepat yang langsung menghentikan langkah Molly sejenak. Raut khawatir yang tergambar jelas di wajah Kevin, membuat Molly mengerut curiga sebelum ia kembali melangkah menuju pintu keluar dapur dan membuka pintu karyawan.

“Aku mau beli makanan. Kenapa, Kev?” tanya Molly tenang. Ia membuka lokernya, lalu mengeluarkan dompet dari tas.

“Mau beli makan di mana? Soalnya ..., kamu ingat pesan Cliff, ‘kan?” ucap Kevin seraya menekan nada bicaranya agar tak ada yang mendengar percakapan mereka. Sementara setahu Molly, mereka hanya berduaan saja di ruangan ini.

“Seperti biasa. Aku mau beli makanan di restoran sebelah,” jawab Molly tenang.

“Tapi, Cliff melarangmu untuk keluar kafe,” ingat Kevin seakan dirinya lupa akan perintah itu.

“Aku tahu. Makanya, aku mau mengajakmu untuk menemaniku membeli makanan,” sahut Molly tenang disertai senyum lebar, tahu bahwa Kevin tidak akan menolak permintaannya.

“Itulah masalahnya,” balas Kevin cepat yang langsung memasang raut bersalah, “aku baru saja di panggil sama manajer kafe. Dia ingin membicarakan sesuatu denganku tentang kinerja beberapa pramusaji yang baru.”

“Hmmm, kalau begitu, aku pergi sendiri saja. Lagi pula, aku hanya ke restoran sebelah, Kev. Ini masih jam setengah 4 sore. Tidak mungkin ada orang jahat yang mau menyakitiku di tempat umum,” ujar Molly tenang, mencoba membuktikan bahwa dirinya bisa menjaga diri. Tiba-tiba, pintu ruang karyawan terbuka dan Lukas muncul dari balik pintu.

“Hai!” sapa Lukas ringan seraya melangkah menuju loker pribadi. Mereka berdua mengamati Lukas yang sedang membuka seragam koki, lalu menggantungnya di gantungan baju. Senandung riang yang mengalun dari bibir Lukas, menunjukkan bahwa perasaan pria itu sangat gembira hari ini.

“Kau mau ke mana?” tanya Kevin ingin tahu.

“Oh, aku mau beli makanan,” jawab Lukas seraya mengunci loker, lalu memasukkan dompet ke saku belakang celana.

“Mau beli makan di mana?” tanya Molly cepat. Kevin, yang seolah mampu membaca isi pikiran Molly, segera melebarkan mata ke arahnya dan mengerutkan kening tanda tidak setuju.

“Di restoran sebelah,” jawab Lukas santai sembari melangkah menghampiri mereka berdua, “aku lihat sepertinya mereka punya menu baru yang sangat menarik. Kenapa?”

“Boleh aku ikut denganmu?” tanya Molly ringan.

Are you sure, Ly?” tanya Kevin cepat seraya menekankan kata-kata yang keluar dari bibirnya. Molly mengangguk yakin, sementara kening Kevin mengerut protes, menegaskan bahwa Molly telah mengambil keputusan yang salah.

Mereka berdua tahu—bahkan hampir seluruh pekerja di kafe tahu—kalau Lukas pernah melamarnya. Kevin juga tahu kalau Molly sudah menolak lamaran itu baik-baik. Namun saat ini Molly bingung mengapa Kevin begitu tidak menyukai Lukas. Padahal, setelah penolakan yang ia berikan, sifat Lukas sama sekali tidak berubah. Tetap baik dan ramah seperti biasa.

“Boleh saja. Aku tunggu di luar, ya,” sahut Lukas ramah sebelum melangkah menjauh dan keluar dari ruangan itu. Tampaknya Lukas tidak memedulikan raut penolakan Kevin. Masih dengan sikap tenang karena menganggap Lukas tak mungkin berbuat jahat padanya, Molly segera mengunci pintu loker, lalu mengenakan sweater-nya.

“Molly, kurasa ini bukan ide bagus,” ungkap Kevin khawatir, berniat mencegah kepergiannya. Molly menghela napas panjang, lalu tersenyum kecil seraya menatap Kevin yang tak berusaha menutupi kekhawatiran serta raut takut itu dari wajahnya.

“Bagaimana caranya supaya kamu memperbolehkanku pergi beli makanan?” tanya Molly, berniat untuk membuat perasaan Kevin sedikit lebih tenang.

“Jangan pergi berduaan saja dengannya. Aku ..., aku rasa itu bukan ide bagus,” jawab Kevin jujur.

“Baiklah. Aku akan meminta Laura untuk menemaniku. Bagaimana?” usul Molly tenang.

“Kurasa lebih baik begitu. Biar aku yang memanggilnya,” sahut Kevin setuju. Mereka pun keluar dari ruang karyawan. Lukas, yang berdiri di dekat pintu karyawan, terlihat sedang sibuk dengan ponselnya.

“Tunggu di sini!” perintah Kevin cepat sebelum pria itu menghilang di balik pintu dapur. Molly berdiri di dekat Lukas yang terlihat begitu bahagia. Senyum yang mengembang di wajah pria itu, membuat Molly mampu merasakan kebahagiaan yang Lukas rasakan.

“Kamu sudah siap?” tanya Lukas saat memasukkan ponsel ke saku celana.

“Tunggu sebentar, Lukas. Laura juga mau ikut,” jawab Molly tenang. Lukas mengangguk pelan, dan mereka pun menunggu berduaan saja di depan pintu karyawan.

 

*****

 

BAB 39

 

“Kau berhutang cerita padaku!” bisik Laura saat mereka berdiri mengikuti barisan antrian.

Sejak Molly tiba di kafe tadi siang, ia sudah bisa merasakan luapan antusias Laura untuk menggali informasi tentang kedekatannya dengan Cliff. Bahkan setiap kali Laura memiliki kesempatan berbicara dengannya, Molly pasti langsung mencari kesibukan demi mengalihkan pikiran Laura dari pertanyaan yang tampaknya sudah wanita itu siapkan dari kemarin.

Tapi sekarang, saat mereka hanya bertiga saja di luar kafe, Molly tidak bisa mengelak lagi. Laura pun mulai melancarkan pertanyaannya, sementara Lukas—yang berdiri tepat di belakang mereka—terlihat sibuk dengan ponsel meskipun sesekali mengangkat wajah dan memperhatikan percakapan mereka sekilas.

Laura tahu tentang pembunuhan mama dan pembobolan apartemennya. Siapa yang tidak tahu? Hampir semua karyawan kafe yang sudah lama bekerja bersama Molly pasti tahu tentang kejadian yang menimpa dirinya. Itulah mengapa kehadiran dan sikap protektif yang Cliff tunjukkan di depan umum terhadap dirinya benar-benar menyita perhatian seluruh para pekerja kafe yang bekerja kemarin. 

Keberadaan Cliff yang terkenal dingin dan tak pernah menunjukkan ketertarikan kepada siapa pun di kafe, kecuali kopi dan seporsi beef lasagna, nyatanya membuat para pekerja cukup terkejut. Meskipun sebagian besar dari kerabat kerjanya memilih untuk tidak menumpahkan rasa penasarannya secara langsung pada Molly, tapi tidak bagi Laura. Terkenal dengan sifatnya yang cerewet dan berusaha selalu menjadi yang paling up to date tentang semua gosip di kafe, membuat Laura tak pernah malu untuk bertanya langsung pada si sumber informasi. Dan kali ini, dirinya adalah target empuk Laura.

“Dia hanya pengacaraku, La,” jawab Molly seadanya.

“Sungguh? Kurasa sikapnya kemarin menunjukkan sesuatu yang lebih dari sekedar pengacara dan klien,” tebak Laura cepat sembari memasang raut tak percaya. Molly menyunggingkan senyum masam, lalu menggeleng lemah saat menerima penilaian Laura.

“Dia hanya menjagaku. Itu saja,” jelas Molly berusaha mencari jawaban yang tepat untuk menghentikan rasa penasaran Laura.

“Bukan karena dia memiliki perasaan lebih padamu?” tanya Laura lagi masih dengan raut penasaran.

“Kurasa bukan,” jawab Molly pelan. Lukas, yang mendengarkan percakapan mereka, langsung mengangkat wajah, lalu menggeleng kecil sembari menyunggingkan senyum tipis.

“Kurasa kalian memang memiliki hubungan yang lebih dari sekedar pengacara dan klien,” celetuk Lukas yang langsung mengalihkan pandangannya kembali ke layar ponsel.

“Nah, benar, ‘kan! Lukas saja bisa menilai seperti itu,” timpal Laura cepat.

“Serius, La. A-aku sama sekali tidak ..., maksudku, kami tidak memiliki hubungan spesial,” sahut Molly gugup, masih terus berusaha menolak penilaian kedua kerabatnya itu.

It’s OK, Molly. Kurasa tidak ada salahnya kamu mengakui kedekatan kalian. Lagi pula, aku sebagai seorang pria bisa melihat bagaimana sikap posesifnya itu muncul saat kita bertemu beberapa hari yang lalu di apartemen,” sahut Lukas santai.

“Lalu, apakah kau cemburu, Lukas?” celetuk Laura cepat disertai senyum geli.

“C-cemburu? Tentu saja tidak,” jawab Lukas gugup sebelum kembali berkutat dengan ponselnya. Tentu saja Laura tahu mengenai penolakan Molly atas lamaran Lukas. Bahkan hal itu sudah menjadi buah bibir di kafe selama beberapa minggu sebelum akhirnya cerita itu menguap begitu saja. Dan, Molly pun bersyukur karena Lukas sama sekali tidak marah ataupun kecewa padanya.

Sejujurnya, dada Molly terasa sesak dan perih mendengar penilaian Lukas dan Laura. Bahkan, mungkin semua orang akan memiliki pemikiran yang sama dengan kedua kerabatnya itu, tapi Molly tidak ingin mengumbar sesuatu yang tidak nyata. Sesuatu yang dirinya sendiri belum tahu pasti seperti apa sebenarnya hubungan yang ia jalani dengan Cliff.

Mereka memang sudah bercinta, tapi bukan berarti Cliff adalah kekasihnya, begitu pun sebaliknya. Bahkan hingga detik ini, Molly berusaha menghargai keputusan Cliff yang masih mau mencoba untuk menjalani kedekatan mereka saat ini. Tapi ..., kedekatan apa? Hubungan apa yang kami jalani? Apa? batin Molly sembari menekan rasa perih di ulu hatinya. Molly hanya bisa berharap agar Cliff segera menetapkan jenis hubungan apa yang mereka jalani saat ini. 

Oh, come on, Ly! Sikapnya kemarin benar-benar menunjukkan bahwa dia memiliki perasaan lebih padamu. Bahkan saat berbicara dengan Kevin pun, aku bisa menangkap keposesifannya saat menyebut namamu,” ungkap Laura, masih mencoba membujuk Molly untuk mengakui kedekatannya dengan Cliff. Tapi perhatian Molly malah terpusat pada ucapan Laura yang mengatakan bahwa wanita itu mengamati saat Cliff berbicara dengan Kevin.

“Jadi, kamu mendengar apa yang mereka bicarakan?” tanya Molly langsung.

“Tidak terlalu. Aku hanya mendengar dia menyebut namamu sesekali saat berbicara dengan Kevin,” jawab Laura singkat, yang langsung membuat Molly menghela pasrah.

“Lalu, bagaimana kau bisa menilai seperti itu,” tanya Molly bingung, yang malah membuat Laura tersenyum geli.

“Dengarkan aku, Ly,” ucap Laura santai, “aku sudah menjalani hubungan lebih dari 10 pria sejak pertama kali aku mengenal kata cinta. Jadi, aku bisa membaca gelagatnya dengan mudah.”

“Tapi ..., bagaimana bisa?” tanya Molly lagi.

“Itu namanya pengalaman, Babe,” jawab Laura santai.

Berselang beberapa menit kemudian, mereka pun tiba di depan meja kasir. Mereka bertiga mulai memesan makanan. Namun tiba-tiba, ponsel Molly berdering keras saat ia menyerahkan uang untuk membayar pesanannya. Nama Cliff terpampang di layar ponsel. Molly pun memutuskan untuk sedikit menjauh dari meja kasir, sementara Laura dan Lukas bergerak menuju meja tempat penggambilan pesanan.

Kamu di mana?” tanya Cliff datar tanpa sapaan hangat, lagi.

“A-aku lagi beli makanan di restoran sebelah kafe bersama Laura,” jawab Molly cepat.

Dan, Lukas,” lanjut Cliff datar, terdengar tidak menyukai keberadaan pria itu. Molly mengerut bingung, tak menyangka kalau Cliff mengetahui dengan siapa dirinya saat ini.

“Oh, iya. Dia juga ikut. Bagaimana kamu tahu? Apa Kevin yang memberitahumu?” tanya Molly cepat dengan nada sedikit menuduh.

Kenapa kamu sulit sekali mengikuti perintahku?” tegur Cliff tegas, tidak menjawab pertanyaannya.

“Tapi, ini ..., ini ‘kan ..., restorannya tepat di sebelah kafe, Cliff,” sahut Molly beralasan, “lagi pula aku tidak sendirian.”

Dan bersama Lukas,” ulang Cliff lagi seakan pergi bersama Lukas adalah sebuah kesalahan terbesarnya.

“Ada Laura juga. Kurasa aku sudah mengatakannya tadi,” balas Molly cepat, lalu menggeleng dan mendengus kesal.

Kenapa kamu malah menggeleng kesal?” tanya Cliff bernada protes, yang langsung membuat tubuh Molly membeku.

Seharusnya kamu kembali ke kafe sekarang, bukannya berdiri diam mematung seperti itu!” lanjut Cliff lagi, masih dengan nada tegas. Dengan cepat Molly melayangkan pandangannya ke depan, namun tak menemukan keberadaan Cliff di sana.

“B-bagaimana kamu bisa tahu? K-kamu di mana?” tanya Molly bingung, sementara matanya masih terus mencari keberadaan Cliff di antara kumpulan orang yang sedang berbaris maupun barisan meja makan yang tersedia di sana.

Di belakangmu,” jawab Cliff singkat yang membuat Molly terkejut bukan main bahkan hampir melompat. Molly segera berbalik dan menemukan Cliff yang saat ini berdiri tepat di hadapannya dengan raut geram penuh amarah.

“Astaga! Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Molly dengan napas tercekat. Ia segera menjauhkan ponsel dari telinga, kemudian mematikan panggilan tersebut.

“Harusnya aku yang tanya, apa yang kamu lakukan di sini?” geram Cliff, terlihat begitu tidak menyukai keputusannya.

“B-beli makanan,” jawab Molly jujur.

“Aku melarangmu keluar kafe. Apa kamu tidak mendengarnya atau memang kamu tipe wanita yang suka mencari bahaya?” tegur Cliff seraya memasukkan ponsel ke saku celana.

“A-aku ..., pergi bersama Laura dan Lukas. Mereka menjagaku. Lagi pula ..., tidak mungkin ada orang jahat yang berani melakukan kejahatan padaku di tengah keramaian seperti ini, Cliff,” jelas Molly berusaha menghapus raut geram pria itu. Namun ternyata, jawabannya itu malah membuat rahang Cliff semakin kaku.

“Seorang penjahat tidak pernah memilih kapan dan di mana waktu yang tepat untuk melakukan aksinya. Selama ada kesempatan, maka saat itu pula mereka akan beraksi. Dan dalam kasusmu, si peneror itu sudah siap membunuhmu kapan pun dan di mana pun, yang penting tugasnya terlaksana dengan baik,” jelas Cliff lancar, terdengar penuh ancaman.

Molly tertegun mendengar ketegasan yang terkandung dalam setiap kata yang keluar dari bibir Cliff. Ia pun tak mampu berkata-kata lagi. Cliff memang paling pintar membuat lawan bicaranya tak berkutik.

“K-kurasa kamu sudah bisa kembali ke kantor sekarang,” ucap Molly pelan setelah terdiam selama beberapa saat, “kamu tidak perlu mengkhawatirkanku. Aku bersama temanku, jadi ..., aku sudah pasti aman.”

“Tidak,” sahut Cliff tipis.

“Lalu, untuk apa kamu di sini?” tanya Molly.

“Menjagamu,” jawab Cliff singkat. 

Mendengar jawaban itu, Molly merasa diperlakukan seperti anak kecil yang lemah dan tak bisa menjaga diri sendiri. Dengan embusan napas pasrah, Molly hanya bisa menggeleng lemah menanggapi sikap protektif Cliff. Ia pun langsung berbalik, berniat menghampiri Laura dan Lukas.

Cliff melingkarkan tangan kiri di pinggang Molly, seakan ingin menegaskan kepemilikannya. Ingin rasanya Molly menepis tangan itu agar Lukas dan Laura tidak menarik kesimpulan yang salah, sekaligus menunjukkan pada Cliff bahwa setidaknya mereka harus menjaga sikap di depan umum. Tapi Molly tidak bisa. Tubuhnya seakan tunduk pada setiap sentuhan Cliff.

“Hai! Ini makananmu. Kukira kau sudah pergi,” ucap Laura riang seraya mengangkat nampan, lalu menyerahkannya pada Molly. Tanpa banyak bicara, Cliff segera mengambil nampan tersebut dari tangan Laura.

Laura menyunggingkan senyum miring seraya menaikkan salah satu alis dan melemparkan tatapan penuh arti ke arah Molly. Sementara itu, Lukas berdiri di samping Laura dengan raut datar dan memberikan tatapan sinis pada Cliff sebelum mengalihkan pandangan ke arah lain.

“Ayo, ke sana! Kurasa aku melihat ada satu meja kosong tadi,” ajak Lukas datar. Molly mengangkat wajah, lalu menatap Cliff yang langsung mengangguk pelan seakan tahu apa yang ada di pikirannya. 

Mereka pun berjalan di belakang Laura dan Lukas menuju sebuah meja yang berada di sisi trotoar. Restoran yang memiliki konsep ruang terbuka, membuat para pengunjungnya leluasa menikmati hidangan sembari memandangi hiruk pikuk jalanan. Akhirnya, mereka pun mulai menikmati makan siang mereka yang terlambat, sementara Cliff duduk di samping Molly tanpa bicara sepatah kata pun.

*****

 

Henry memperhatikan Molly dari kejauhan. Matanya tertuju pada lingkaran tangan Cliff di pinggang Molly. Sejak awal, ia menyadari bahwa ada yang aneh dengan kedekatan mereka berdua, yang membuat Henry semakin gerah. 

Di sela-sela pengintaian, getaran ponsel dalam saku mengalihkan perhatiannya sejenak. Nama si pemberi perintah muncul di layar. Dengan cepat, ia pun menjawabnya.

Kau di mana?” tanya pria itu lantang, terdengar kesal.

“Aku sedang mengamati Molly di sekitar lokasi kerjanya,” jawab Henry datar, lalu kembali memperhatikan Molly yang duduk bersama dengan Lukas, Cliff, dan seorang wanita.

Pastikan kau melakukannya dengan bersih dan jangan gegabah!” tegas pria itu cepat.

“Aku tidak pernah gegabah!” balas Henry kesal, tidak terima dengan teguran itu.

Ya, kau sangat gegabah! Wajahmu terekam jelas di CCTV hotel. Cliff bisa menemukanmu dengan mudah. Beruntung aku punya tangan kanan di kepolisian, kalau tidak kau pasti sudah tertangkap,” cecar pria itu yang terdengar begitu kesal dengan kelalaiannya. Henry mengakui bahwa saat di hotel ia memang bersikap sedikit ceroboh. Namun, ia tidak menyangka bahwa Cliff akan memeriksa sampai ke CCTV hotel.

“Aku sudah mengusahakan sebersih mungkin,” sahut Henry tenang.

Tidak! Kau benar-benar ceroboh! Jangan menganggapnya remeh. Aku sudah memberitahumu berulang kali, dia pengacara ternama dan kau akan tertangkap dengan mudah jika terus melakukan kecerobohan seperti itu,” tegur pria itu penuh amarah. Henry tidak berusaha melawan karena ia sadar akan kesalahannya. Ia pun menatap Cliff dengan penuh amarah dari kejauhan. Ingin rasanya ia menghabisi nyawa pria itu karena sudah membuatnya tampak seperti orang bodoh.

Aku tunggu kabar kematiannya paling lambat besok pagi. Jangan lupa bukti pembunuhannya. Dan, lakukan dengan bersih!” perintah pria itu lagi, kali ini benar-benar penuh penekanan.

“Tenang saja. Aku akan menyelesaikannya dengan cepat,” jawab Henry patuh. Pembunuhan itu akan berlangsung dalam hitungan jam, namun kali ini ia tidak hanya membunuh Molly. Ia juga akan membunuh Cliff. Dengan begitu, tak ada lagi halangan bagi Henry untuk kembali melakukan pekerjaannya.

Aku tunggu kau besok jam 7 pagi di tempat kemarin. Jangan lupa bawa bukti pekerjaanmu!” ucap pria itu tegas.

“Baik,” sahut Henry tenang, dan panggilan itu pun terputus begitu saja. Akhirnya, Henry memutuskan bahwa pengintaiannya cukup sampai di sini. Ia harus memastikan rencananya kali ini berjalan bersih dan lancar. Ia pun berniat memeriksa kembali setiap kemungkinan buruk dan memastikan jalan keluarnya dengan sempurna agar bisa melarikan diri dengan cepat setelah melakukan pekerjaannya.

Sebuah pesan masuk membuat Henry kembali menatap layar ponselnya. Pesan itu dari Lukas, dan ia sudah tahu apa yang akan pria cengeng itu tanyakan. Setelah membaca pesan masuk dari Lukas, ia pun segera membalasnya.

Tunggu kabar baik dariku besok, jam 5 pagi!

 

*****

 

Hari sudah gelap saat mereka keluar dari kafe. Setelah meminta Martin untuk melakukan sebuah tugas khusus yang berkaitan dengan kasus Nora, Cliff memutuskan untuk terus menunggu Molly semenjak wanita itu selesai makan siang bersama Laura dan Lukas. 

Selama makan, Cliff diam-diam memperhatikan gelagat Lukas yang begitu mencurigakan. Ia bahkan menemukan bahwa lebih dari sepuluh kali Lukas mencuri-curi pandang ke arah Molly, dan hal itu membuatnya kesal bukan kepalang. Cliff mencoba menahan diri dan berniat membicarakan hal ini dengan Molly setelah wanita itu selesai bekerja.

Saat ini mereka sedang berjalan menuju gedung perkantoran tempat kantornya berada. Molly berjalan di sampingnya tanpa berbicara sepatah kata pun. Tanpa permisi, Cliff melingkarkan tangan di pinggang Molly saat mereka berjalan di trotoar sampai akhirnya masuk ke gedung perkantoran. Anehnya, tubuh Molly tidak menegang kaku merespons pelukannya seperti biasa. Dan, seketika itu pula Cliff mengerut bingung.

Cliff segera menggiring Molly menuju lift yang terlihat sepi. Mereka menunggu sejenak sebelum akhirnya pintu lift terbuka dan bergegas masuk. Cliff menekan tombol menuju basement, lalu kembali melingkarkan tangan di pinggang Molly.

“Aku tidak suka dengan Lukas,” ungkap Cliff jujur saat pintu lift bergerak menutup. Ia tidak berusaha merangkai kata-katanya agar terdengar lebih halus, karena itu bukanlah dirinya. Matanya tertuju pada pintu lift, sambil terus menekan rasa kesalnya terhadap Lukas.

“Aku tahu,” jawab Molly tenang. Cliff langsung menoleh dan menatap Molly dengan raut bingung bercampur kesal. Ia tidak menyangka Molly bisa bersikap setenang ini menanggapi ungkapan perasaannya, seakan hal itu tidaklah penting bagi Molly.

“Lalu, kenapa kamu masih memutuskan untuk pergi makan siang dengannya?” tanya Cliff tipis seraya mempererat lingkaran tangannya di pinggang wanita itu.

“Karena aku sudah pernah mengatakannya padamu kalau aku sama sekali tidak memiliki perasaan apa-apa padanya,” jawab Molly lancar tanpa menoleh sedikit pun ke arahnya.

“Tapi dia pernah melamarmu,” protes Cliff tegas.

“Lalu?” tanya Molly singkat sembari menoleh dan menatapnya dengan raut bingung, bahkan terkesan menantang.

“Kamu harus bisa menjaga jarak dan lebih waspada terhadap semua orang, mengingat saat ini ada orang yang berniat jahat padamu. Semuanya bisa menjadi tersangka, bahkan Lukas sekali pun,” ingat Cliff berusaha memberikan pengertian pada Molly yang entah mengapa selalu berpikiran positif terhadap setiap orang.

“Dia baik padaku, Cliff. Meskipun aku pernah menolaknya, tapi dia sama sekali tidak membenciku,” ucap Molly lembut, seakan berusaha mengubah penilaian Cliff terhadap Lukas. 

Gelenyar panas semakin membakar tubuh Cliff saat mendengar pembelaan Molly terhadap Lukas. Sepertinya Molly selalu menilai bahwa setiap orang yang bersikap baik dan sopan tidak akan mungkin memiliki niat buruk terhadap dirinya. Molly salah! Karena Cliff tahu bahwa tak semua yang terlihat baik di luar akan baik pula di dalamnya. 

Akhirnya, pintu lift pun terbuka saat tiba di lantai basement. Mereka segera keluar dari lift, lalu berjalan menuju tempat ia memarkirkan mobilnya.

“Pokoknya, aku tidak mau melihatmu berdekatan dengannya lagi! Ada sesuatu yang mencurigakan darinya,” tegas Cliff saat mereka berjalan menuju mobil.

“Kami bekerja di tempat yang sama. Tidak mungkin aku tidak berdekatan dengannya,” balas Molly santai, masih berusaha menentang perintahnya. Cliff membukakan pintu mobil, berharap wanita itu segera masuk. Namun nyatanya, Molly memilih untuk berdiri di samping mobil, lalu berbalik menghadap Cliff sembari melemparkan tatapan menyelidik seakan ada sesuatu yang salah dengan dirinya.

“Apakah aku juga tidak boleh berdekatan dengan pria lain, atau hanya Lukas saja? Bagaimana dengan Kevin? Dia juga pria. Apa aku tidak boleh berdekatan juga dengannya?” tanya Molly yang mulai memprotes larangannya.

“Aku tidak masalah dengan Kevin,” jawab Cliff cepat. Tangan Cliff yang berada di daun pintu, mulai mencengkeram pinggiran pintu demi menahan amarah dalam dirinya.

“Kenapa? Apa karena dia sudah punya Cindy, makanya kamu tidak mencurigainya?” tanya Molly sinis, yang malah terdengar seperti menantang.

“Karena aku tahu Kevin seperti apa. Pokoknya kamu tidak boleh lagi berdekatan dengan Lukas!” tegas Cliff cepat. Cengkeramannya di daun pintu pun semakin erat disertai gemeretak gigi yang menandakan dirinya mulai tak sanggup menahan amarahnya lagi. 

Ia tidak menyangka kalau Molly akan menolak larangannya. Cliff tidak membutuhkan percakapan ini. Cliff hanya butuh kepatuhan Molly. Ia tidak ingin sikap Molly yang terus melawan malah menghantui pikirannya dan membuat dirinya tidak tenang dalam melaksanakan pembunuhan malam ini.

“Kamu tahu? Sikapmu itu seperti seorang kekasih yang pecemburu. Apa aku kekasihmu? Bukan. Lalu, kenapa sikapmu seperti itu?” cecar Molly seraya melipat kedua tangan di depan dada.

Cliff menatap mata Molly dalam-dalam, tampak jelas bahwa wanita itu membutuhkan pengakuan darinya. Membutuhkan kejelasan hubungan di antara mereka yang sangat sulit untuk Cliff ucapkan. Cliff tahu, suatu saat Molly pasti akan menuntut kejelasan darinya. Tapi, ia tidak menyangka kalau sekaranglah saatnya.

“Karena aku berusaha menjaga keselamatanmu!” tegas Cliff, masih belum berani memberikan kepastian hubungan bagi Molly.

“Kalau begitu, aku bisa meminta Kevin dan Lukas untuk menjagaku,” sahut Molly lantang.

“Tidak!” balas Cliff cepat, “pokoknya jangan Lukas. Aku tidak menyukainya. Aku tidak suka caranya menatapmu.”

“Kenapa kamu tidak suka? Alasanmu benar-benar tidak masuk akal!” jawab Molly yang mulai tampak kesal.

Geram, Cliff langsung menarik pinggang Molly, memeluk tubuh wanita itu erat-erat, lalu mendaratkan ciuman yang tegas dan kuat. Seketika itu pula, Cliff bisa merasakan kelegaan yang begitu besar saat bibirnya mencium bibir Molly. 

Ia tahu, ia membutuhkan Molly demi meredam gelora panas yang menyelimuti dirinya sejak tadi pagi. Cliff juga tahu, hanya Molly yang mampu menghapus kegundahan yang menghantuinya. Tapi, entah mengapa sulit sekali ia mengungkapkan perasaannya pada wanita itu.

Setelah merasakan ketenangan yang ia harapkan, akhirnya Cliff melepaskan ciumannya dan menatap mata Molly dalam-dalam. Mata indah itu memancarkan besarnya cinta yang Molly miliki terhadap dirinya. Cinta yang seharusnya tidak pernah Cliff harapkan hadir dalam kehidupannya. 

Sisi lembut dalam dirinya memaksa Cliff untuk menyerah. Memaksa Cliff untuk mengakui perasaannya. Sisi lembut dalam dirinya seakan menegaskan bahwa ia tidak bisa hidup tanpa cinta Molly. Ia tidak bisa melangkah di jalan yang benar tanpa keberadaan Molly di sisinya. Dan seketika itu pula, Cliff merasakan jeruji yang menahan dirinya untuk berkata jujur, runtuh dengan sendirinya.

“Karena kamu adalah milikku,” ucap Cliff serak dan dalam.

Molly tersentak mendengar ucapannya. Ia bisa melihat mata indah itu terbelalak tak percaya dengan pengakuannya. Sejenak, Molly tampak berusaha mencari sedikit saja kebohongan di raut wajahnya. Tapi Cliff yakin kalau Molly tidak akan menemukannya, karena saat ini ia layaknya buku yang terbuka. Cliff berharap dengan pengakuannya ini, Molly akan berpikir lagi untuk berdekatan dengan Lukas, atau dengan pria mana pun yang kemungkinan besar berpotensi besar bisa melukai wanita itu.

“Tidak ada yang boleh menjagamu selain aku,” lanjut Cliff sambil mencari kata-kata lain dalam kepalanya untuk menegaskan kepemilikannya atas diri wanita itu. 

“Tidak ada yang boleh menyentuhmu, menciummu, bahkan memilikimu selain aku,” tegas Cliff tanpa melepaskan sedikit pun tatapannya dari mata Molly. Wanita itu terdiam selama beberapa saat dalam pelukannya, sementara mata indah itu menatap Cliff seolah dirinya adalah sebuah keajaiban dunia yang patut untuk dikagumi.

“Kamu adalah milikku, Baby. Milikku,” ucap Cliff lagi, kali ini dengan penekanan yang menunjukkan bahwa ia bersungguh-sungguh dengan setiap ucapannya. Cliff kembali mendaratkan ciumannya di bibir Molly. Kali ini, ia memberikan ciuman yang lembut dan penuh cinta. Cliff berusaha menunjukkan betapa besar perasaannya melalui setiap kecupan, ciuman, bahkan sentuhan yang ia berikan pada wanita itu.

“Terima kasih, Cliff,” balas Molly setelah ia melepaskan ciumannya. Senyuman hangat yang mengembang di wajah Molly, memberikan kelegaan yang tiada tara bagi Cliff. Napas mereka yang terengah-engah pun menunjukkan betapa besar gairah yang mereka miliki saat ini. Tapi, sekuat tenaga Cliff menekan gairah dalam dirinya. Ia harus menyimpan seluruh tenaganya demi pembunuhan malam ini.

Cliff mendaratkan kecupan singkat di bibir Molly sebelum melepaskan wanita itu dari pelukannya. Setelah Molly masuk ke dalam mobil, Cliff segera menutup pintu, lalu berjalan mengitari mobil, kemudian masuk dan duduk di belakang kemudi. Ia segera menyalakan mesin kendaraannya, lalu membawa mereka keluar dari gedung perkantoran itu. Setidaknya saat ini, perasaannya benar-benar ringan, dan ia yakin semua akan berjalan lancar malam ini.

 

*****

 

BAB 40

 

Malam ini terasa begitu indah bagi Molly setelah ia mendapat pengakuan dari Cliff. Molly benar-benar tak menduga bahwa ucapan sesederhana itu mampu membuatnya meleleh dan melayang. 

Kamu adalah milikku.

Kalimat itu terus terngiang dalam benaknya, membuat senyum kecil tak berhenti menghiasi wajah Molly. Ia mengingat kembali betapa dalamnya tatapan Cliff saat menegaskan setiap kata yang terucap. Ciuman yang dalam, lembut, dan hangat pun mempertegas ungkapan perasaan Cliff terhadap dirinya.

Perjalanan mereka menuju rumah Cliff pun tak terasa sama sekali karena rasa bahagia yang menyelimuti dirinya. Molly merasa begitu gembira. Seandainya mama masih ada, ia pasti akan langsung membagikan kebahagiaan ini pada mama. Tiba-tiba, ia pun teringat akan rencana pertemuan Cliff dengan Brad hari ini.

“Cliff,” panggil Molly lembut, memecah keheningan di dalam mobil.

“Hmmm,” sahut Cliff datar tanpa menoleh sedikit pun.

“Bagaimana dengan pertemuanmu dengan Brad tadi siang?” tanya Molly tenang.

“Lancar,” jawab Cliff singkat.

“Apa kamu sudah melihat siapa penerornya?” tanya Molly penasaran, tapi tampaknya Cliff tidak menyukai percakapan ini.

“Sudah,” jawab Cliff cepat.

“Lalu?” tanya Molly tak kalah cepat.

“Aku sudah meminta Brad untuk mencari tahu identitas si peneror. Rencananya besok sore aku akan ke sana untuk mengetahui hasil penyelidikan mereka,” jawab Cliff datar.

“Syukurlah. Setidaknya perlahan-lahan kasus ini mulai menunjukkan titik terangnya,” balas Molly yang disusul embusan napas lega. Ia pun kembali menoleh ke luar jendela, menatap ramainya kondisi jalanan malam ini. Keadaan di dalam mobil kembali hening seperti biasa sampai akhirnya mereka berada di daerah Epping.

“Ada yang harus kulakukan malam ini,” ucap Cliff tiba-tiba saat mobil berbelok ke arah perumahan.

“Ke mana?” tanya Molly cepat. Raut Cliff tetap datar seperti biasa, tak menunjukkan ekspresi berlebih sehingga Molly tak pernah berhasil menangkap apa yang sebenarnya pria itu pikirkan.

“Ada pekerjaan yang harus kutangani. Tenang saja, klienku seorang pria tua,” jelas Cliff tenang sembari menambahkan detail yang mampu menenangkan perasaannya, seakan pria itu benar-benar mengerti isi kepala Molly. Ia pun hanya bisa tersenyum kecil menanggapi penjelasan Cliff, lalu menarik napas lega.

Sesampainya di halaman rumah, Cliff langsung memasukkan mobil ke garasi. Setelah mematikan mesinnya, mereka berdua segera keluar dari mobil. Cliff membiarkan garasi tetap terbuka, lalu melingkarkan tangan di pinggang Molly, menggiringnya menuju pintu rumah. 

Dengan sikap tenang seperti biasa, Cliff menekan tuas pintu, lalu mempersilakannya masuk. Martha menyambut kedatangan mereka dengan senyum hangat yang semakin menyempurnakan harinya. Tanpa memedulikan lirikan penuh arti yang Martha berikan pada mereka, Cliff malah menjauhkan tangannya dari pinggang Molly, lalu menggenggam tangannya erat-erat sebelum mereka berbelok ke barisan anak tangga.

Jantung Molly berdebar cepat merasakan kehangatan yang berasal dari genggaman itu. Tak ada kata yang terucap saat mereka menaiki tiap-tiap anak tangga, yang membuat suasanya terasa begitu sunyi sarat keintiman. Molly sudah bisa membayangkan liarnya percintaan yang akan mereka lalui malam ini, terlebih lagi setelah pengungkapan yang Cliff lontarkan. Namun sesampainya di lantai dua, Cliff malah membawa langkah mereka menuju kamar Molly. Kebahagiaan yang ia rasakan sebelumnya pun perlahan-lahan mulai surut. 

Sejujurnya, Molly berharap agar Cliff mau menyisakan waktu sejenak untuk berduaan dengannya sebelum pergi mengurus pekerjaan. Tapi yang terjadi saat ini, benar-benar bertolak belakang dengan harapannya. Molly pun hanya bisa tertunduk kecewa sampai akhirnya mereka berhenti tepat di depan pintu kamarnya.

Cliff memutar tubuh Molly agar bisa berhadapan langsung dengannya. Tangan kanan Cliff menengadahkan wajah Molly, lalu mengusap rahangnya dengan lembut. Cliff menatap matanya dalam-dalam, sementara Molly berharap Cliff mampu menangkap betapa besar keinginannya untuk bisa berduaan dengan pria itu malam ini.

“Istirahatlah. Jangan tunggu aku,” ucap Cliff pelan. 

Ibu jari Cliff mulai mengusap bibir Molly dengan lembut, seakan-akan bibirnya adalah benda yang rapuh dan mudah hancur. Harapannya benar-benar pupus, dan Molly terpaksa mengangguk lemah. Mata Cliff terus mengunci mata Molly sebelum akhirnya pandangan pria itu beralih ke bibirnya. Molly bisa melihat bagaimana mata indah itu mulai menggelap karena gairah disertai gemeretak gigi gemas.

“Cliff,” panggil Molly lembut dengan sedikit nada memohon. Seakan mengerti isi pikirannya, Cliff mulai mendekatkan wajah, lalu mendaratkan ciuman di bibir Molly. Seketika itu pula, Molly merasakan kelegaan yang tiada tara. 

Bibir Cliff mulai melumat bibirnya dengan lembut selama beberapa saat sebelum akhirnya berubah menjadi rakus dan penuh gairah. Kedua tangan Cliff yang mulai melingkar di pinggang Molly, membuat tubuh mereka menempel dengan tepat. Seakan sudah terprogram dengan sempurna, Molly melingkarkan tangannya di leher Cliff yang kekar, membuat ciuman itu semakin dalam dan penuh gairah.

Di sela-sela ciuman itu, terdengar suara pintu yang terbuka di sampingnya. Ternyata, Cliff menyempatkan diri membuka pintu di tengah ciuman mereka yang liar. Mereka pun bergegas masuk tanpa melepaskan tautan bibir yang semakin lama semakin liar. 

Erangan yang melesat dari bibir Molly pun mulai mengiringi setiap gigitan yang Cliff berikan di bibirnya. Akibat diselimuti gairah, Cliff membanting pintu kamar hingga tertutup tanpa melepaskan tautan bibir mereka, sementara Molly terus melangkah mundur hingga kakinya menyentuh sisi tempat tidur.

Cliff segera merebahkan tubuh Molly dengan mudah. Beberapa saat kemudian, Cliff mulai melepaskan tautan bibir mereka, lalu mencumbu leher Molly dengan isapan keras dan gigitan gemas yang membuat erangan Molly semakin liar. Pasrah, ia pun mulai memejamkan mata, menikmati setiap isapan liar dan permainan bibir Cliff baik di leher maupun tengkuknya. 

Tangan Cliff yang menarik kemeja seragam Molly hingga lepas dari lingkaran celana, membuat jantung Molly berdebar semakin cepat. Ia sudah tidak sabar ingin menyatukan tubuh mereka. Tak ada yang tahu seberapa besar rasa rindunya Molly akan keberadaan Cliff yang mampu memenuhi dirinya dengan sempurna. 

Dengan leluasa, tangan Cliff pun mulai melesat masuk ke balik kemeja Molly. Ia bisa merasakan cengkeraman erat Cliff di lekukan perutnya selama beberapa saat sebelum akhirnya bergerak ke atas dan berhenti tepat di lingkaran tali bra. Tanpa diperintah, Molly segera melengkungkan tubuhnya, memberikan keleluasaan bagi Cliff untuk melepas pengait bra

Tangan Cliff pun mulai menyelinap ke belakang punggung Molly, lalu menjentikkan pengait bra dengan mudah. Bibir Cliff kembali mengulum bibirnya, sementara tangan pria itu mulai meremas payudara Molly dari balik bra. Erangan nikmat melesat begitu saja dari bibir Molly saat ibu jari Cliff menyentuh puncak payudaranya. 

Molly mulai menjalankan tangannya ke bawah, berniat melepaskan kemeja yang pria itu kenakan. Namun setelah ia menarik ujung kemeja itu, tangan kiri Cliff langsung menangkap pergelangan tangan Molly, lalu membawanya ke atas kepala, dan menahannya di sana. Sekarang, Molly tampak seperti seorang tahanan yang pasrah akan setiap tuntutan gairah yang akan pria itu berikan padanya.

Posisi Cliff yang berada tepat di antara kedua kakinya yang terbuka, membuat Molly menginginkan lebih dari sekedar cumbuan. Gelombang gairah mulai menenggelamkan kewarasannya, dan menggantikannya dengan letupan liar yang mengisi setiap desir darah dalam tubuhnya. 

Molly bisa merasakan bukti gairah Cliff yang mengeras saat pria itu menekan kewanitaannya dengan tepat. Refleks, Molly melingkarkan salah satu kakinya di pinggang Cliff, membuat kejantanan yang masih berada di balik celana bahan itu terasa semakin menekan kewanitaannya. 

Baru saja Molly menikmati gesekan liar yang Cliff berikan, tiba-tiba Cliff menghentikan cumbuannya, lalu mengangkat wajah dan menatap matanya dalam-dalam. Kekecewaan terpancar jelas di mata Molly. Namun kekecewaan itu terasa semakin kuat saat Cliff menarik keluar tangannya dari balik kemeja Molly. Tangan kiri Cliff masih menahan tangannya di atas, sementara tangan kanan pria itu mulai membelai bibir Molly dengan sedikit penekanan.

“Maafkan aku,” ucap Cliff serak dengan napas terengah-engah.

“Cliff,” desah Molly frustrasi.

“Aku harus ..., pergi,” lanjut Cliff datar sebelum mendaratkan kecupan singkat di bibir Molly. Ia hanya bisa mengerutkan kening menanggapi hebatnya pengendalian diri yang Cliff miliki, sementara mereka berdua tahu bahwa saat ini mereka benar-benar sudah diselimuti gairah.

“Cliff,” mohon Molly dengan raut memelas, berharap agar pria itu melanjutkan apa yang sudah mereka mulai. Namun, Cliff hanya menatap bibir Molly sejenak sebelum bangkit dari posisinya, lalu menarik tubuh Molly hingga mereka sama-sama duduk di tempat tidur.

“Istirahatlah,” ucap Cliff lembut sambil mengusap pipi Molly dengan raut datar, tak menunjukkan rasa menyesal sedikit pun karena sudah membuat dirinya terangsang bahkan hampir menggila.

Cliff kembali mendaratkan kecupan di bibir Molly, sementara dirinya hanya bisa tercengang menanggapi keputusan pria itu. Akhirnya, Cliff beranjak dari tempat tidur, lalu melangkah menuju pintu kamar. Molly menunggu dan menunggu, berharap pria itu berbalik dan kembali mencumbunya. Tapi, tidak. Cliff malah melangkah keluar dari kamar, lalu berbalik dan menatapnya dari kejauhan.

“Jangan kunci pintumu. Aku akan tidur denganmu setelah pekerjaanku selesai,” pesan Cliff datar sebelum menutup pintu kamarnya.

Mendengar pesan itu, rasa lega pun segera menyergap Molly. Setidaknya, Cliff berniat untuk tidur bersamanya malam ini. Meskipun terpaksa harus meredam gairahnya saat ini, tapi perasaan bahagia itu kembali menyelimutinya. Molly mengempaskan tubuh kembali ke tempat tidur, lalu menghela napas lega.

 

*****

 

Henry berdiri di balik pohon yang besar, tepat di seberang rumah besar itu. Rumah tempat pertama kali ia menemukan Molly pernah tertunduk dan menangis di depan pintu. 

Setelah Lukas mengabari dirinya bahwa Molly sudah dalam perjalanan pulang, ia pun memutuskan untuk segera mendatangi kediaman Cliff. Sudah lebih dari dua jam ia memantau rumah itu sejak pertama kali Molly dan Cliff tiba. Beruntung suasana lingkungan perumahan sudah sepi, sehingga ia leluasa untuk menunggu dalam kegelapan malam.

Ia sudah merencanakan malam ini dengan sempurna. Ia akan menunggu hingga semua penghuni rumah itu tertidur, dan saat itulah ia akan mulai melakukan aksinya. 

Saat ini waktu menunjukkan pukul 22.30. Tiba-tiba, Henry menangkap pergerakan dari pintu rumah. Seseorang melangkah keluar dari rumah. Henry memperhatikan orang tersebut dengan saksama, berharap bisa menemukan siapa sosok di balik tudung jaket hitam yang saat ini sedang menutup pintu dengan perlahan. 

Henry benar-benar penasaran. Selama pengintainya, ia tidak melihat keberadaan orang lain yang keluar masuk kediaman itu selain Molly, Cliff, dan si pelayan tua. Henry terus mengamati pria yang mulai masuk ke dalam mobil, lalu menyalakan mesin, dan mengeluarkan kendaraan dari garasi. 

Entah mengapa, Henry merasakan ada sesuatu yang ganjil dari pria itu. Sesuatu yang membuat bulu kuduknya meremang ketakutan. Ini benar-benar aneh, karena seumur hidupnya Henry tidak pernah merasakan takut sebesar ini. Ia pun berusaha menepis rasa takut itu setelah mobil tersebut menghilang dari arah pandangannya. 

Henry kembali menatap ke arah jendela kamar Molly. Lampu di kamar itu sudah padam, hanya disinari cahaya lampu tidur yang temaram. Henry pun mengalihkan pandangan ke kamar Cliff yang tampak gelap. Artinya, saat ini kemungkinan besar para penghuni rumah sudah mulai tertidur. 

Tidak. Ia tidak akan langsung beraksi. Ia akan menunggu kurang lebih dua jam agar para penghuni rumah benar-benar terlelap dan tak menyadari kedatangannya. Dengan begitu, ia akan leluasa untuk bergerak dan membunuh mereka satu per satu.

Jantung Henry berdebar sangat cepat. Antusias yang menyelimuti menunjukkan betapa tak sabarnya Henry untuk menyelesaikan pekerjaan dengan segera. Ia sudah menyusun rencana untuk berlibur selama beberapa waktu lamanya, sebelum memutuskan untuk menerima pekerjaan yang baru. 

Namun, baru saja ia menghela napas senang, lampu di kamar Molly tiba-tiba menyala. Sial! Kenapa wanita itu malah bangun? batin Henry kesal. Terpaksa, ia pun memutuskan untuk kembali menunggu dengan perasaan geram karena Molly terlihat seperti mempermainkan dirinya.

 

*****

 

Molly tidak bisa tidur. Tentu saja! Bagaimana mungkin ia bisa tidur, sementara pikirannya dipenuhi oleh bayang-bayang Cliff? 

Tak ada yang tahu bagaimana gelisah dirinya saat ini. Ia sudah tidak sabar menanti kedatangan Cliff di kamarnya. Ingin rasanya ia mengirim pesan pada Cliff, menanyakan kapan pria itu pulang. Tapi mengingat bagaimana geramnya Cliff setiap kali ia melanggar perintah pria itu, Molly pun segera mengurungkan niatnya.

Saat Cliff memutuskan untuk pergi, Molly berpura-pura tertidur dengan mematikan lampu kamarnya agar pria itu berpikir dirinya sudah terlelap. Tapi beberapa saat setelah Cliff pergi, Molly kembali menyalakan lampu dan melanjutkan bacaannya. Ia berharap dengan membaca, matanya akan terasa lelah.

Sekarang waktu menunjukkan pukul 01.30, tapi Cliff belum juga pulang. Molly pun memutuskan untuk mematikan lampu kamar dan kembali menyalakan lampu tidur. Ia mencoba memejamkan mata, berharap bisa segera terlelap. Namun menit demi menit berlalu, tetap saja ia masih terjaga. Padahal biasanya, jika ia membaca novel selama tiga jam berturut-turut matanya pasti akan lelah dan mengantuk.

Molly mengambil ponsel yang ia letakkan di bawah bantal. Ia membuka sosial media, membaca beberapa informasi menarik di sana sambil terus berharap agar matanya lelah dan mengantuk. Ia tidak ingin Cliff mengetahui dirinya masih terjaga saat pria itu tiba di kamar, yang berpotensi membuat Cliff marah padanya.

Sebuah informasi tentang percintaan dan teknik bercinta yang terpampang di layar ponsel, membuat Molly kembali membayangkan indahnya percintaan yang mereka lakukan di kantor Cliff. Gambar-gambar yang begitu menggoda pikiran serta matanya, membuat Molly malah semakin sulit tidur. Napasnya yang pendek serta gelenyar hangat yang merambat di punggung pun menunjukkan bahwa informasi yang terpampang mulai membangkitkan gairah dalam dirinya. Molly berusaha mengalihkan informasi tersebut ke berita para artis ternama sembari menenangkan gejolak gairah dalam dadanya. 

Waktu pun berlalu begitu saja hingga jarum jam menunjukkan pukul 02.45. Dahaga mulai menyerang, dan ia pun memutuskan untuk beranjak dari tempat tidur. Setelah meletakkan ponsel di meja kecil, Molly bergegas menuju pintu, lalu keluar dari kamar. 

Dengan langkah tenang, Molly melangkah di koridor yang temaram karena beberapa lampu sudah dimatikan. Ia pun berbelok menuju anak tangga dan mulai menuruninya dengan perlahan. Ia tidak ingin membuat keributan yang dapat membangunkan Martha.

Setibanya di lantai bawah, Molly berusaha mengadaptasikan penglihatan dengan kegelapan yang melingkupinya. Sinar lampu yang berasal dari halaman belakang setidaknya memberikan sedikit cahaya yang dapat membantu Molly melangkah menuju dapur. 

Saat tiba di dapur, Molly segera mencari sakelar lampu untuk menyalakan lampu-lampu kecil yang biasanya menyinari kabinet dapur. Setelah menemukan sakelar lampu, ia pun menekannya dengan cepat. Barisan lampu kecil di bawah kabinet mulai menerangi pandangannya. Setidaknya cahaya tersebut memudahkan dirinya untuk mengambil gelas. 

Molly segera membuka kabinet atas, tempat di mana gelas biasanya diletakkan. Ia mengambil gelas panjang, lalu menutup kabinet tersebut, kemudian mengisi gelasnya dengan air. Dengan segera, Molly meneguk minumannya hingga tandas sebelum mengisi kembali dan menghambiskannya untuk kedua kali. Dahaga pun lenyap seketika. Rasa segar menyertai kepergian dahaga yang sebelumnya menyerang tenggorokannya. 

Tiba-tiba, bulu kuduk Molly meremang, merespons sesuatu yang bergerak di belakangnya. Ini kedua kalinya ia merasakan takut tanpa melihat sosok yang berniat mengancam dirinya. Refleks, Molly segera berbalik dan menatap ruang makan yang kosong. Tak ada siapa pun di sana, hanya keberadaan meja makan yang terkena terpaan sedikit cahaya lampu dari halaman belakang.

Sesaat, dalam keheningan yang mencekap, Molly melayangkan pandangan ke sudut-sudut ruangan yang gelap dan tidak terkena cahaya lampu. Jantungnya berdebar semakin cepat. Kali ini, Molly benar-benar yakin kalau ada seseorang di belakangnya tadi. 

Dengan hati-hati, Molly meletakkan gelasnya yang kosong, lalu melangkah perlahan menuju laci yang berisi sekumpulan pisau. Berusaha agar tidak menimbulkan suara, Molly membuka laci perlahan-lahan tanpa mengalihkan pandangannya dari ruang makan yang berada tepat di hadapannya. Beruntung ruang makan dan dapur tidak memiliki sekat, hanya dipisahkan oleh meja dapur berukuran panjang, sehingga memudahkan dirinya untuk tetap waspada. 

Mata Molly terus mengamati kegelapan yang mencekam dari tempatnya berdiri, sementara tangannya berusaha mencari keberadaan pisau. Saat ujung jarinya menyentuh gagang pisau, Molly segera mengeluarkan benda tersebut dari laci, lalu menutupnya dengan perlahan.

“K-keluarlah! J-jangan sembunyi ..., h-hadapi aku s-secara langsung!” tantang Molly gugup bercampur rasa takut yang begitu besar. Saat ini, Molly menyesali keputusannya karena sudah meninggalkan ponsel di kamar. Seandainya ia membawa ponsel, ia pasti langsung menghubungi Cliff. 

Molly menggenggam gagang pisau erat-erat, mengangkat benda tersebut ke hadapannya. Tangannya mulai gemetar karena takut. Namun, Molly berusaha menunjukkan kepada siapa pun di dalam kegelapan itu, bahwa dirinya memiliki senjata dan siap memberikan perlawanan.

Dengan rasa takut yang begitu besar dan debaran jantung yang sangat cepat, Molly memutuskan untuk menempelkan pinggangnya hingga menyentuh lemari kabinet dapur. Tangan kanannya terus mengangkat pisau, sementara tangan kirinya mencengkeram pinggiran meja kabinet sembari perlahan-lahan bergerak ke samping.

Matanya terus menyusuri ruang makan itu, sementara kakinya terus melangkah dengan rambatan pelan ke samping sambil terus berharap agar Cliff segera tiba di rumah. Molly terus menggeser langkahnya hingga akhirnya ia tiba di ujung meja kabinet. 

Molly berniat untuk berbalik dan bergegas menuju ke lantai atas. Namun entah mengapa, kakinya membeku seketika karena rasa takut yang begitu besar. Ia bisa merasakan genggaman tangannya mulai berkeringat dan tubuhnya bergetar ketakutan. 

Selama beberapa detik, Molly berdiri di ujung kabinet sembari terus melayangkan pandangannya ke ruang makan. Tak sengaja, ia menangkap pergerakan di salah satu sudut gelap di dekat pintu belakang.

“S-siapa di s-sana?” tanya Molly dengan suara bergetar karena takut.

Ia berharap Martha terbangun karena mendengar suaranya. Tapi mengingat bahwa sekarang hampir pukul 3.00, kemungkinan besar saat ini Martha sedang tenggelam dalam mimpi indah. Hanya satu harapannya, Cliff pulang dan menyelamatkannya.

Ingin rasanya ia berteriak, tapi entah mengapa tenggorokannya terasa kering dan napasnya tercekat. Molly terus menggenggam pisau sekuat mungkin sambil terus mengangkat benda tersebut ke depan tubuhnya. 

Matanya kembali menangkap pergerakan, bahkan ia bisa melihat siluet seseorang yang mulai bergerak mendekat. Dengan sekuat tenaga, Molly memaksakan tubuhnya untuk bergerak dan mengerahkan seluruh keberaniannya, lalu berbalik cepat menuju anak tangga. Seolah dikejar hantu, ia bisa merasakan pergerakan seseorang yang begitu cepat di belakangnya. Molly pun bergegas berlari, berharap ia bisa menimbulkan keributan yang dapat membangunkan Martha. 

Namun semua terjadi begitu cepat. Saat ia baru saja ingin menapakkan kaki di anak tangga pertama, sebuah tarikan kuat dan kasar di tangan Molly menahan pergerakannya. Orang itu berhasil menarik dan mengempaskan tubuhnya dengan kuat. 

Molly terjerembab di lantai dan pinggulnya membentur keras pinggiran kabinet dapur. Pisau yang ia pegang pun terlepas begitu saja dari genggamannya yang basah karena keringat.

Sembari meringis kesakitan, Molly mengangkat wajahnya dan menatap sosok yang sedari tadi bersembunyi dalam gelap. Cahaya lampu di kabinet dapur mulai menampakkan sosok seorang pria bertubuh tinggi dengan penutup wajah dan pisau tajam di tangan.

“Sekarang waktumu untuk menyusulnya ke neraka!” ucap pria itu kejam dengan sorot mata tajam yang membuat Molly bergidik ketakutan.

 

*****

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Can I Trust You? (21+) - BAB 41 - BAB 45
10
2
WARNING 21++ !! (Cerita ini mengandung unsur adegan dewasa, kekerasan, dan kata-kata yang tidak diperuntukkan untuk anak di bawah umur. Harap kebijakannya dalam membaca. Sadar diri, sadar umur.)*****Berdarah dingin. Kejam. Menyukai darah. Pecinta warna hitam. Suka menghabisi nyawa mangsanya dengan sangat lembut namun menyiksa. Tapi, semua itu ia tutupi dengan tameng sempurna.Jas mahal dan pekerjaan sebagai pengacara handal, merupakan kamuflase terbaik yang ia miliki. Tertutup. Cliff selalu menjauhkan kehidupan pribadinya dari khalayak umum.Wanita? Tidak. Cliff tidak mau berhubungan dengan sosok lembut dan lemah itu. Bukan karena ia tidak ingin merasakan cinta, tapi karena ia tahu ... he doesn't deserve it!Hingga akhirnya ia bertemu dengan Molly, wanita yang mengubah dunianya. Atau lebih tepatnya, menghancurkan semua yang ia bentuk dalam kotak kehidupannya selama ini. Seorang wanita yang membuatnya tak berkutik dan lemah. Seorang wanita yang seharusnya ia jauhi sejak awal. Seorang wanita yang seharusnya menjadi ... korban berikutnya!*****
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan