
WARNING 21++ !!
(Cerita ini mengandung unsur adegan dewasa, kekerasan, dan kata-kata yang tidak diperuntukkan untuk anak di bawah umur. Harap kebijakannya dalam membaca. Sadar diri, sadar umur.)
*****
Berdarah dingin. Kejam. Menyukai darah. Pecinta warna hitam. Suka menghabisi nyawa mangsanya dengan sangat lembut namun menyiksa. Tapi, semua itu ia tutupi dengan tameng sempurna.
Jas mahal dan pekerjaan sebagai pengacara andal, merupakan kamuflase terbaik yang ia miliki.
Tertutup. Cliff selalu menjauhkan...
BAB 1
Malam itu langit sangat cerah dengan taburan bintang menghiasi angkasa. Cliff baru saja tenggelam dalam mimpi indah ketika suara letupan keras mengisi telinganya. Cliff mengerutkan kening, mengira bahwa letupan tersebut berasal dari luar rumah. Ia pun berusaha mengabaikan suara itu, dan mencoba kembali masuk ke alam mimpi. Namun, letupan demi letupan terdengar semakin keras dan dekat hingga menggema di telinganya.
Terpaksa, Cliff membuka matanya yang mengantuk, lalu menunggu sesaat sebelum akhirnya dentuman pintu kamar yang tiba-tiba terbuka lebar membuat dirinya kembali terjaga. Mama masuk ke kamar dengan tergesa-gesa, lalu menutup pintu dan menguncinya. Gaun tidur putih yang mama kenakan saat mengantar Cliff naik ke tempat tidur sebelumnya, masih terlihat sama indahnya seperti yang ia ingat. Namun, raut ketakutan yang menghiasi wajah mama kali ini membuat Cliff mengerut heran.
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun demi menghapus raut bingung di wajah Cliff, mama malah bersimpuh di samping tempat tidur, lalu menggenggam tangan Cliff erat-erat. Suara letupan itu kembali terdengar, dan raut ketakutan mama terlihat makin jelas. Takut terhadap apa? Cliff pun tidak tahu.
"Ma," panggil Cliff pelan, masih dalam keadaan berbaring. Namun, mama langsung menempelkan jari telunjuk ke bibirnya, menyuruh Cliff untuk diam. Melihat ketakutan yang terpancar jelas di wajah mama, Cliff pun mulai gelisah dan takut. Tangan mama yang selalu memberikan kehangatan setiap kali memeluknya, kali ini terasa dingin menyentuh tangannya. Air mata pun mulai berderai membasahi wajah mama saat mata indah itu menatap dirinya dengan raut bersalah.
"Mama kenapa?" tanya Cliff sambil berbisik, berniat menghapus kesedihan di wajah mama.
"K-kamu harus sembunyi, Sayang," pinta mama dengan suara kecil, "ayo, kamu harus cepat-cepat sembunyi!"
Masih dalam keadaan setengah mengantuk, Cliff mendengar samar-samar suara letupan pistol serta teriakan orang di luar sana. Mama langsung menutup telinga Cliff sambil terus memintanya beranjak dari tempat tidur. Akhirnya, Cliff bangun dari posisinya dan turun dari tempat tidur.
Dengan gerakan tergesa-gesa bercampur panik, mama membuka pintu lemari, lalu menyuruhnya duduk di dalam sana. Tidak lupa mama mengambil selimut dan memberikannya pada Cliff, kemudian memeluknya selama beberapa detik. Pelukan yang terasa begitu erat dan hangat itu membuat rasa takut Cliff perlahan-lahan mulai mereda.
"Mama mencintaimu, Cliff," bisik mama lembut di telinganya, "jadilah anak yang tangguh, pemberani, kuat, dan hebat. Kamu adalah ksatria Mama. Be brave, Cliff. Be brave."
Mama mulai melepaskan pelukannya, lalu mencium kening Cliff lekat-lekat. Mama menatapnya dalam-dalam selama beberapa saat. Namun, ketukan keras di pintu membuat mama menoleh cepat.
"Jangan keluar dan jangan bersuara sedikit pun!" pesan mama tegas, "tunggu sampai polisi datang menjemputmu. OK."
Cliff mengangguk patuh meskipun bingung. Ia terus menatap mama hingga akhirnya pintu lemari tertutup tepat di hadapannya. Penasaran, Cliff pun mencoba mengintip dari celah lemari, memperhatikan apa yang mama lakukan di kamarnya.
Dengan gerakan panik, mama mulai membuka jendela. Sedetik kemudian, mama sibuk mencari sesuatu di laci mainan Cliff, lalu membuangnya keluar. Setelah itu, mama bergegas sembunyi di bawah tempat tidur, sementara ketukan di pintu semakin intens dan keras. Seakan menyadari kalau dirinya sedang mengintip dari celah lemari, mama menoleh ke arahnya dan mengucapkan 'I love you' dengan gerakan mulut yang sangat jelas.
Tak lama kemudian, sebuah tendangan keras dan kuat membuat pintu kamar terbuka lebar. Suara berdebum yang sangat kuat, membuat Cliff terperanjat dan segera menutup telinga, sementara pandangannya terus tertuju pada mama. Cliff ketakutan. Jantungnya pun berdebar sangat cepat.
Dari bawah kolong tempat tidur, Mama memberikan isyarat padanya untuk tetap diam, dan untuk kedua kalinya Cliff hanya bisa mengangguk patuh. Rasa takut pun makin menyelimuti Cliff saat ia melihat sosok seorang pria bertubuh besar dan tinggi, melangkah masuk ke kamar dengan sebilah pisau di genggaman tangan kiri dan pistol di sebelah kanan. Pria itu berjalan perlahan-lahan, memeriksa kamarnya bak pengintai yang mencari mangsa untuk dibunuh.
"Tidak ada seorang pun yang bisa lepas dari Salazar," ancam pria itu saat melangkah melewati tempat tidurnya. Napas Cliff kembali tercekat. Ia bisa melihat bagaimana tatapan dingin serta seringai kejam menghiasi wajah pria itu ketika menyusuri kamar dengan langkah tenang namun penuh ancaman.
"Tidak ada seorang pun yang bisa lepas dari Salazar," ulang pria itu lagi sembari membuka satu per satu peti mainannya, kemudian menghamburkan isinya begitu saja ke lantai.
Mata Cliff terus mengikuti pergerakan Salazar dengan harapan agar pria itu segera pergi dari rumahnya. Kesunyian serta ketegangan menyelimuti Cliff yang duduk ketakutan di dalam lemari, sementara pandangannya tertuju kepada Salazar yang berjalan menuju ke jendela. Pria itu terdiam sejenak sembari mengamati sesuatu di luar sana. Namun beberapa detik kemudian, pria itu pun berbalik dan melemparkan pandangannya ke seluruh ruang kamar Cliff.
"Tidak ada seorang pun yang bisa lepas dari Salazar," ucap pria itu untuk yang ketiga kali. Sembari melangkah, pria itu kembali memeriksa area yang dapat dijadikan tempat persembunyian. Dan, ketika pria itu hendak membuka pintu lemari tempat Cliff bersembunyi, tiba-tiba mama berteriak keras.
"Tunggu! A-aku di sini ... aku di sini," ucap mama dengan suara bergetar, ketakutan. Cliff melihat mama yang merangkak keluar dari kolong tempat tidur dengan air mata berderai. Pria itu pun berbalik dan terkekeh geli saat melihat keberadaan mama.
Dengan senyum tipis khas pembunuh berdarah dingin serta tatapan tajam, Salazar mengarahkan pistol ke mama. Cliff ketakutan, tetapi ia terus merekam semua kejadian itu dalam pikirannya. Raut ketakutan itu terpancar jelas di wajah mama yang selalu terlihat cantik dan hangat. Tubuh mama pun bergetar hebat karena menangis. Bahkan, air mata yang terus membasahi pipi seolah menunjukkan betapa pasrahnya mama akan keadaan.
Cliff tahu, mama terpaksa keluar dari persembunyian hanya demi menyelamatkan dirinya dari incaran pria itu. Namun, Cliff tak berdaya. Tak ada yang bisa ia lakukan selain diam dan menuruti perintah mama. Rasa takut yang menyelimutinya membuat sekujur tubuh Cliff kaku, bahkan berbicara pun ia tak sanggup.
"Di mana anakmu?" tanya pria itu dengan suara serak, dalam, berat, dan mengancam.
"D-dia tidak a-ada di sini," jawab mama ketakutan.
"Pembohong!" tegas pria itu seraya bergerak mendekat.
"T-tidak! A-aku tidak bohong ... d-dia sedang pergi ke rumah neneknya," jawab mama, berusaha menyelamatkan nyawa Cliff. Nenek? Nenekku sudah meninggal dua tahun yang lalu, batin Cliff ketakutan.
Jantung Cliff berdebar makin kencang. Ia ketakutan setengah mati melihat apa yang saat ini sedang berlangsung di hadapannya. Meskipun ia baru berusia 10 tahun dan setengah tersadar karena terpaksa bangun dari tidurnya, tapi perlahan-lahan Cliff mulai mengerti apa yang terjadi.
Di ruang tidurnya, seorang pembunuh bayaran berniat menghabisi nyawa mereka semua. Cliff tidak tahu siapa saja yang sudah ditembak oleh pistol dalam genggaman pria itu. Namun saat ini, pistol itu mengarah tepat ke wajah mama yang menangis ketakutan.
Tak sanggup menahan rasa takutnya, air mata Cliff pun mulai menetes. Tubuhnya menggigil kedinginan dan gemetar karena takut. Sementara, ia tak melepaskan pandangannya sedikit pun dari mama yang berusaha keras melindunginya. Namun tampaknya si pembunuh bayaran tidak peduli dengan setiap kata yang mama ucapkan.
"Yeah, baguslah," sahut pria itu dengan cepat dan sinis, "lagi pula aku tidak membutuhkannya. Aku hanya diminta untuk menghabisi nyawa kalian. Itu saja sudah cukup."
"K-kumohon, jangan bunuh aku," pinta mama diiringi tangisan, "berapa yang mereka bayar? A-aku ... aku akan membayarmu sepuluh kali lipat."
"Too late," ucap pria itu singkat dan cepat sebelum menarik pelatuk pistol dan menembakkannya tepat menembus kening mama.
Cliff langsung menutup mulut, menahan agar pekikannya tidak melesat keluar. Air matanya pun semakin berderai, dan sekuat tenaga ia menahan agar isak tangisnya tidak terdengar oleh si pembunuh bayaran itu. Dengan napas sesak dan perih dalam dada yang begitu menyiksa, Cliff menatap tubuh mama tergeletak tak bernyawa tepat di samping tempat tidurnya.
Tubuh Cliff gemetar hebat akibat trauma dan rasa takut yang begitu besar. Ia bahkan menyalahkan dirinya sendiri karena tidak bisa melakukan sesuatu untuk menyelamatkan mama. Ia begitu lemah. Ia begitu ketakutan, sehingga yang bisa ia lakukan hanyalah diam, bersembunyi, dan menunggu hingga polisi datang untuk menyelamatkannya.
Tanpa rasa bersalah sedikit pun, pria itu mulai beranjak meninggalkan ruang tidur Cliff. Namun, Cliff masih belum berani keluar dari tempat persembunyian. Ia berusaha keras menahan keinginannya untuk membuka pintu dan menghampiri mama. Bukan hanya karena takut, tapi ia ingat pesan mama sebelum pembunuh itu mencabut nyawa mama.
Alhasil, Cliff hanya bisa menangis dan menangis tanpa mengalihkan pandangannya sedikit pun dari mama. Cliff terus menunggu hingga tak tahu sudah berapa lama ia berada di dalam lemari. Waktu yang berlalu pun terasa begitu menyiksa batin dan jiwa. Namun, ketika suasana terasa sangat sunyi, bahkan tak terdengar satu pun suara gonggongan anjing yang biasa terdengar setiap kali ada orang asing masuk ke rumahnya, akhirnya Cliff benar-benar yakin kalau pembunuh itu sudah pergi dari rumahnya.
Dengan tangan gemetar ketakutan dan air mata yang tak berhenti mengalir, Cliff memberanikan diri untuk mendorong pintu lemari hingga terbuka. Ia mencoba menggerakkan kakinya yang terasa kaku, lalu merangkak lemah menghampiri tubuh mama yang sudah tak bernyawa.
Akhirnya, isak tangis Cliff pun meledak. Cliff memeluk pinggang mama seerat mungkin, lalu menutup matanya. Ia berharap kalau semua ini hanyalah mimpi buruk, tapi tidak. Cliff bisa merasakan dinginnya tangan mama. Ia juga sudah tidak bisa merasakan debaran jantung mama.
Cliff tahu, ia hidup sebatang kara sekarang. Tanpa keluarga, bahkan sanak saudara. Terpaksa, Cliff melepaskan pelukannya dari tubuh mama. Dengan segenap sisa kekuatan yang ada di tubuhnya, Cliff mencoba untuk berdiri di atas kakinya yang lemah. Ia terus menatap mama dengan tatapan sedih, takut, kecewa, terluka, dan murka. Ia menyimpan semua kejadian ini di benaknya, dan membiarkan rasa dendam itu mulai bertumbuh dalam dirinya.
Cliff berjanji akan menangkap pria yang membunuh mama. Ia bahkan bersumpah akan membunuh pria itu dengan tangannya sendiri. Salazar. Ia tidak akan melupakan nama itu. Tidak akan!
"I'll be brave, Ma. I'll be brave."
*****
Cliff terbangun dari mimpi buruk yang selalu menghantuinya. Keringat membasahi pelipis, sementara air mata mengalir begitu saja di pipi. Tak ada isak tangis yang melesat dari bibirnya. Namun debar jantungnya yang begitu cepat, memacu adrenalin yang selalu muncul setiap kali ia ingin melampiaskan amarahnya.
Napasnya terengah-engah dan kepalan tangannya sekeras batu. Hingga detik ini, Cliff tidak bisa melupakan kejadian itu. Kejadian yang mengubah jalan hidup serta dunianya.
Cliff masih bisa mengingat setiap detail kejadian tersebut. Bahkan, suara letupan senjata saat pelatuk pistol ditarik dan merengut nyawa mama pun masih terngiang-ngiang jelas di telinganya. Dua puluh tiga tahun berlalu setelah kejadian naas itu merengut keluarganya. Dua puluh tiga tahun juga Cliff mencoba untuk melupakan semuanya, tapi tidak bisa. Tidak akan pernah bisa!
Kejadian itu sudah mengubah hidupnya, mengubah diri dan dunianya. Cliff bahkan harus menjalani kehidupan yang menyedihkan selama masa mudanya karena selalu dihantui oleh kilasan kejadian itu. Trauma itu begitu mendalam hingga membuatnya seperti orang gila.
Cliff sempat menjalani perawatan di salah satu rumah sakit khusus kejiwaan selama lima tahun demi menekan bayang-bayang menyeramkan itu. Atau lebih tepatnya, menekan amarah dan mengendalikan dendam yang sudah mengalir dalam setiap sel darahnya. Namun semakin bertambahnya usia, semakin lihai pula dirinya mengendalikan semua yang ada di dirinya.
Kejadian menyeramkan itu menjadikan Cliff pewaris tunggal atas seluruh kekayaan serta perusahaan milik orang tuanya. Namun, Cliff tidak bisa menikmati semua kenyamanan dan fasilitas tersebut sebelum menginjak usia dua puluh tahun. Selama lima tahun, ia menjalani kehidupan yang penuh penderitaan di rumah sakit. Dan setelah dinyatakan sehat, pihak pengacara orang tuanya memasukkan Cliff ke asrama sesuai dengan arahan yang tercantum dalam surat wasiat.
Ia menjalani hidup penuh siksaan selama tinggal di asrama. Semua temannya memperlakukan Cliff dengan tidak baik. Namun, sebisa mungkin ia berusaha bertahan dari semua hinaan, cacian, bahkan perlakuan kasar temannya.
'Be brave, Cliff. Be brave.'
Pesan mama selalu terngiang-ngiang di telinga Cliff setiap kali ia mulai menyerah dengan kehidupannya. Beruntung, Cliff memiliki Mors yang setia menemani. Ia selalu mencurahkan isi hati dan kesedihannya pada Mors. Hanya Mors yang mengerti rasa sakitnya. Hanya Mors yang tahu seberapa besar luka serta dendam yang ia miliki terhadap Salazar.
Sepuluh tahun. Ya, sepuluh tahun Cliff menjalani kehidupan yang penuh dengan penderitaan sebelum akhirnya ia menerima seluruh harta warisan dan mengambil alih perusahaan milik orang tuanya yang sudah dijaga oleh keluarga Neandro.
Keluarga Neandro merupakan satu-satunya kerabat orang tua Cliff. Satu-satunya orang yang dipercaya oleh orang tuanya. Dan, satu-satunya orang yang benar-benar menjaga seluruh kekayaan orang tua Cliff dengan baik tanpa meminta imbalan sedikit pun. Bahkan, keluarga Neandro juga yang membantunya untuk bangkit. Selain Mors, tentunya.
Keluarga Neandro mengetahui bagaimana tragis dan kejamnya pembunuh bayaran itu menghabisi nyawa keluarga Cliff. Namun, mereka tidak tahu siapa yang membunuh orang tuanya. Mereka tidak tahu sama sekali karena pembunuh bayaran itu melakukan kejahatannya dengan bersih. Ya, bersih menurut pria itu, tapi tidak menurut dirinya. Cliff tahu nama si pembunuh, dan tak akan pernah melupakan bagaimana dingin serta kejamnya pria itu saat menghabisi nyawa mama.
Setelah keluar dari asrama sekolah, Cliff melanjutkan kuliah sembari terus mencari informasi mengenai Salazar. Beruntung, Mors selalu mendukungnya. Mors tahu apa yang Cliff inginkan. Dan, hanya Mors yang tahu bahwa selama ini Cliff tidak sebaik dan sehebat yang orang kira.
Tidak! Cliff tidak sebaik dan sesempurna itu.
*****
BAB 2
Tepat pukul 23.57, kereta tiba di Stasiun Hornsby. Nora segera turun dari kereta dan bergegas menuju pintu keluar stasiun. Bekerja sebagai perawat di salah satu rumah sakit di daerah Neringah, mengharuskannya pulang larut malam ini.
Seharusnya Nora bisa pulang sore, tetapi hari ini ada dua perawat yang mendadak tidak bisa masuk. Dokter pun memintanya secara langsung untuk membantu menangani seorang pasien lansia yang entah mengapa kondisinya semakin menurun ketika menjelang sore hari. Beruntung kondisi pasien tersebut mulai membaik tiga jam kemudian setelah anak kesayangan si pasien datang.
Akhirnya, ia pun diperbolehkan untuk pulang. Dan saat ini, Nora sudah tidak sabar ingin berbaring di tempat tidur. Tubuhnya lelah, begitu pula dengan kakinya. Namun, ia tetap senang menjalani rutinitasnya setiap hari.
Nora memang sudah tidak muda lagi, usianya pun sudah menginjak kepala lima. Namun, tenaga dan semangat dalam dirinya bak gadis berusia dua puluhan. Ia mencintai pekerjaannya, sangat, tetapi ia lebih mencintai anak perempuan semata wayangnya.
Nora hanya hidup berdua dengan anak perempuannya, Molly, yang saat ini berusia 26 tahun. Molly bekerja sebagai seorang pramusaji di salah satu kafe kopi terkenal di Sydney. Jarak antara tempat kerja Molly dengan unit tempat tinggal mereka memang cukup jauh. Namun setidaknya, gaji yang diperoleh Molly cukup besar jika dibandingkan dengan tempat lain.
Mereka berdua harus bekerja keras demi membayar sisa cicilan bulanan tempat tinggal mereka. Nora juga menyisihkan penghasilan bulanannya demi membiayai rencana pendidikan Molly dua tahun ke depan. Anaknya itu ingin menjadi seorang sarjana. Meskipun usianya sudah hampir menyentuh kepala tiga, tetapi tidak pernah ada kata terlambat bagi Molly. Itulah mengapa Nora terus bekerja keras demi mencukupi kebutuhan hidup mereka dan masa depan anaknya.
Di bawah langit malam, Nora berjalan kaki dari stasiun menuju kediamannya yang berjarak empat blok jauhnya. Hanya memakan waktu 15 menit jika ia berjalan santai. Namun, malam ini Nora sedikit mempercepat langkahnya karena keadaan sekeliling sudah sunyi dan senyap.
Udara terasa cukup dingin malam ini. Nora merapatkan jaket yang ia kenakan sembari memasukkan tangan ke saku demi menjaga kehangatan tubuhnya. Sebuah mobil tiba-tiba muncul dari belakang, melaju di jalanan yang sepi dengan suara derum yang membuat Nora sedikit tersentak kaget.
Nora terus melangkah melewati dua blok perumahan sembari sesekali melirik ke sisi kanannya, berharap menemukan seseorang atau sekumpulan orang di sana. Namun, malam ini benar-benar sepi. Mungkin karena memasuki musim dingin dan suhu udara di luar semakin rendah, jadinya orang-orang pun lebih memilih untuk berdiam di dalam rumah dan menarik selimut hingga menutupi hidung.
Nora terus berjalan di trotoar di bawah barisan pohon rindang. Bunyi pesan masuk di ponselnya, mengejutkan Nora hingga napasnya tercekat. Ia pun bergegas mengeluarkan ponsel dari tas kecil.
‘Mama sudah di mana sekarang?
Kafe sudah mau tutup.
Aku sedang merapikan meja.
15 menit lagi aku pulang.
Kevin akan menemaniku.
Kabari aku, Ma.’
Senyum mengembang di wajah Nora saat membaca pesan itu. Nora sangat akrab dengan Molly. Mereka berdua layaknya sahabat karib.
Hari ini Molly mendapatkan shift terakhir yang membuatnya harus pulang tengah malam. Beruntung Molly bekerja bersama Kevin, tetangga yang tinggal di salah satu unit di gedung apartemen mereka. Kevin jugalah yang menawarkan pekerjaan tersebut pada Molly. Setidaknya, Nora merasa lebih tenang karena ada Kevin yang menjaga Molly jika anaknya itu harus pulang larut malam seperti ini.
‘Mama sudah di perjalanan pulang.
Sebentar lagi sampai.
Kabari Mama kalau sudah mau jalan pulang, ya.’
Setelah membalas pesan, ia memasukkan kembali ponsel ke tas, dan terus berjalan hingga melewati blok ketiga. Hatinya senang dan gembira meskipun tubuhnya lelah. Bukan karena dirinya terlalu baik bak malaikat, tetapi karena ia bahagia menjalani kehidupannya yang penuh cinta bersama Molly.
Nora memang hanya hidup berdua dengan Molly namun ia merasa semuanya sudah sangat lengkap dan sempurna. Suami? Nora tidak pernah memikirkan bagaimana atau apa yang dilakukan oleh suaminya sekarang—atau mantan suami lebih tepatnya. Pria itu meninggalkan dirinya begitu saja saat Molly berusia tiga tahun.
Ia sudah melupakan masa-masa menyedihkan itu dan bangkit secepat mungkin demi membesarkan Molly. Nora tidak mau tenggelam terlalu lama dalam kesedihan dan pusaran gelap yang mampu membuat dunianya berantakan. Sekarang, ia bahagia menjalani hidup bersama Molly, dan itu saja sudah cukup baginya.
Namun, Nora tidak menyadari satu hal. Kebahagiaan yang ia rasakan saat ini akan berubah dalam hitungan detik menjadi rasa perih yang menyakitkan disertai jerit ketakutan. Karena tanpa Nora sadari, seorang pria telah menunggu kedatangannya sedari tadi. Seorang pria yang sudah berdiri di balik batang pohon besar dan tinggi. Seorang pria yang sudah siap untuk mencabut nyawanya.
Pria itu sengaja memilih pohon yang tidak terkena cahaya lampu jalanan demi menyembunyikan keberadaannya di bawah gelapnya malam. Dengan sebilah pisau di tangan kanan dan kain di tangan kiri, pria itu sesekali mengintip dari balik pohon, menantikan kedatangan Nora yang sudah diintainya selama beberapa hari ini.
Setelah mencapai blok keempat, Nora berbelok ke kiri, dan terus berjalan di trotoar yang cukup lebar. Gedung berlantai tiga yang sudah mereka tempati selama sepuluh tahun, mulai terlihat dari kejauhan. Unit tempat tinggalnya berada di lantai dua. Tempat itu hanya terdiri dari dua kamar tidur, satu kamar mandi, serta dapur dan ruang TV. Tidak terlalu besar, tetapi nyaman untuk ditinggali.
Suasana daerah pemukiman itu sudah sangat sepi. Sesekali terdengar suara klakson mobil di kejauhan, tetapi tetap saja tidak mampu mengisi kesunyian malam itu. Salah satu lampu jalan yang tampak mulai redup, sesekali berkedip lemah sebelum akhirnya mati.
Dengan kemampuan matanya yang sudah tidak terlalu bagus, Nora terpaksa harus memperhatikan langkahnya di balik kacamata yang tebal. Ponselnya kembali bergetar. Ia pun segera mengeluarkan ponsel, lalu membaca pesan dari anaknya.
‘Aku dalam perjalanan pulang, Ma.’
Nora tersenyum kecil membaca pesan itu. Namun, senyum Nora hilang dalam sekejap saat pria itu muncul tepat di belakangnya. Tanpa suara, tanpa keributan yang mampu menarik perhatian, pria itu langsung membekap dan menekan pisau tajam ke leher Nora.
Gerakan pria itu sangat cepat, bahkan Nora tak sempat untuk memberontak ataupun berteriak. Bilah pisau yang tajam bergerak menyentuh kulitnya dalam hitungan detik. Dengan irisan yang sangat dalam, pisau itu bergerak halus dan mulus, membelah leher Nora dengan sempurna dan memutus urat nadinya.
Mata Nora terbelalak, jantungnya berdebar cepat, dan tubuhnya mengejang kesakitan, sementara darah mengucur deras dari leher. Pria itu terus membekap Nora, menahan pergerakannya hingga ia benar-benar tak lagi bernyawa. Ponsel dalam genggaman Nora terjatuh begitu saja di trotoar sebelum ia sempat menekan tanda ‘kirim pesan’ kepada anaknya.
Seketika itu pula, air mata Nora menetes, menyadari bahwa Molly akan menghadapi dunia kejam ini seorang diri. Namun, si pria itu tak peduli sama sekali. Bahkan setelah Nora tak lagi bernyawa, pria itu hanya meletakkannya begitu saja di pinggir trotoar dengan darah yang terus mengalir dari leher.
Tampak seperti sudah terbiasa melakukan tugasnya dengan baik, pria itu memasukkan kembali pisau ke dalam pembungkus dengan tenang, lalu menyelipkannya di belakang lipatan pinggang celana. Dengan tenang, pria itu mengeluarkan ponsel dari saku, lalu mengambil foto Nora beberapa kali. Setelah selesai, pria itu segera mengambil tas dan ponsel Nora, dan pergi menghilang tanpa jejak.
Tubuh kaku Nora dibiarkan begitu saja. Tidak peduli apakah akan ada yang menemukannya, atau tidak. Pria itu benar-benar tidak peduli. Baginya yang penting hanya satu, tugasnya sudah selesai.
*****
Molly berdiri di bawah pancuran air, sementara pikirannya tertuju pada mama. Hingga saat ini, ia tidak mengerti mengapa kejadian itu bisa menimpa dirinya. Tiga bulan sudah berlalu semenjak ia menerima berita tentang kematian mama malam itu. Namun hingga detik ini, Molly belum bisa merelakan semuanya.
Malam itu ia sedang dalam perjalanan pulang dari kafe bersama Kevin. Baru saja ia turun dari kereta, ponselnya tiba-tiba berdering keras. Saat itu, Molly mengira mama yang menelepon, tetapi nyatanya tidak. Ia malah mendapatkan berita yang tidak pernah ia harapkan. Bahkan hingga saat ini, Molly masih ingat bagaimana berat dan seraknya suara polisi yang menghubunginya malam itu. Beruntung Kevin berada di sampingnya saat ia mendapatkan berita tersebut. Bahkan, pria itu selalu menemani dan membantunya menenangkan diri selama kasus penyelidikan masih berlangsung.
Satu minggu berlalu, ia mendapatkan informasi bahwa sudah dipastikan kalau kematian mama adalah murni perampokan yang berujung pada pembunuhan. Molly tidak bisa menerima keputusan itu, dan berusaha memohon kepada pihak kepolisian untuk terus mencari pelaku pembunuhan tersebut. Namun, dengan tegas mereka menolak permohonannya.
Dari hasil CCTV, polisi bersikeras bahwa pria yang membunuh mama memang melakukan apa yang biasanya pencuri lakukan, mengambil ponsel dan tas mama. Dikarenakan si pencuri takut kalau mama melakukan perlawanan, maka si pencuri membunuh mama, lalu membiarkannya begitu saja di trotoar. Sudah lebih dari tiga kali ia melihat bukti rekaman CCTV, tetapi tak satu pun Molly menemukan gerak-gerik mama yang berniat ingin melakukan perlawanan.
Apa sebenarnya yang pencuri itu cari dari mama? Kehidupan mereka tidak kaya, bahkan cukup pas-pasan. Benarkah si pencuri hanya berniat mengambil ponsel dan isi tas mamanya? Tidak bisakah pencuri itu hanya mengambil harta benda mama tanpa harus membunuhnya? Pertanyaan-pertanyaan tersebut terus mengisi benak Molly.
Namun, semua pertanyaan Molly lenyap bak tertiup angin saat ditemukannya tas serta ponsel mama di salah satu tempat sampah perumahan di daerah Epping. Saat itulah Molly mulai menyadari kejanggalan atas kematian mama.
Sesungguhnya, ketika pihak kepolisian menyatakan bahwa si perampok menggunakan motor tanpa plat nomor, Molly masih mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa kematian mama adalah murni dilakukan oleh pencuri yang ketakutan. Namun, setelah mengetahui bahwa pelaku tidak mengambil ponsel ataupun uang dari dompet mama, Molly pun makin curiga dengan keputusan pihak kepolisian yang bersikeras tak berniat melanjutkan kasus itu. Molly juga tidak mengerti mengapa kasus tersebut dihentikan begitu saja, seolah-olah kematian mama tidak ada artinya bagi mereka.
Hingga saat ini, Molly masih terus menolak pernyataan polisi atas kematian mama. Ia masih tidak mengerti mengapa si pencuri meletakkan ponsel dan tas mama di daerah Epping, bahkan tak mengambil uangnya sepeser pun. Inilah yang membuat Molly semakin yakin kalau kematian mama bukanlah kasus pencurian biasa. Pertanyaan selanjutnya yang sampai saat ini hinggap dalam kepalanya adalah, apa sebenarnya tujuan utama si pembunuh?
Molly masih ingat bagaimana mama dibunuh. Bahkan, saat melihat jenazah mama di kamar mayat, Molly memperhatikan luka sayatan di leher mama yang tampak begitu sempurna. Luka yang sangat dalam tersebut dilakukan si pembunuh hanya dalam satu kali gerakan. Itulah yang membuat Molly percaya kalau semua kejadian ini pasti dilakukan oleh pembunuh profesional.
Sudah berkali-kali ia memohon kepada pihak penyidik untuk menindaklanjuti kasus kematian mama, tetapi mereka selalu bersikeras bahwa Molly tidak memiliki bukti yang cukup. Mereka mengatakan bahwa semua penilaian yang Molly berikan pada polisi hanyalah bukti bahwa dirinya masih belum bisa menerima kepergian mama. Ini gila! Mana ada seorang pun di dunia ini yang bisa terima kehilangan seorang mama terlebih jika dibunuh dengan cara yang sadis? Tidak ada!
Molly berdiri di bawah kucuran air sambil memikirkan cara lain agar kasus ini bisa ditindaklanjuti kembali. Namun setelah beberapa saat lamanya, ia masih belum menemukan apa-apa. Akhirnya, ia pun mendesah frustrasi sebelum mematikan keran pancuran, lalu melangkah keluar dan mengeringkan tubuh.
Hari ini Molly mendapatkan shift kedua. Sebelum menuju ke kafe, ia berniat untuk menemui salah seorang polisi kenalannya, yang juga merupakan penyidik yang menangani kasus kematian mama. Ia berharap bisa membujuk pria itu sekali lagi agar mau membuka kasus tersebut.
Molly bergegas mengenakan seragam kerja, lalu merapikan riasan serta menguncir kuda rambutnya. Tak lupa ia mengisi perut dengan segelas susu dan tiga lembar roti panggang. Sebelum beranjak keluar rumah, Molly memasukkan salah satu novel yang masih belum selesai ia baca, mengenakan sweater hitam kesayangannya, lalu mengantongi ponsel di saku celana. Setelah memeriksa jendela dan pintu balkon, Molly bergegas keluar dari apartemen, lalu menguncinya.
“Mau ke mana?”
Suara Kevin yang muncul tiba-tiba dari balik pintu apartemen, membuat Molly tersentak kaget. Unit tempat tinggal Kevin berada tiga pintu saja dari tempat tinggal Molly. Kevin tinggal seorang diri, sementara keluarganya berada di sisi lain Australia, Perth. Kevin memiliki masalah keluarga, yang hingga saat ini tak pernah pria itu ceritakan padanya.
“A-aku mau berangkat kerja,” jawab Molly gugup.
“Kerja? Kamu ‘kan dapat shift dua hari ini. Dan itu masih ... 2 jam lagi,” sahut Kevin setelah menatap jam dinding di ruang tamu. Sedetik kemudian, raut bingung Kevin pun berubah menjadi curiga saat melihat raut kaku Molly yang langsung mengalihkan pandangan ke arah lain.
Oh, ya, Molly paling sulit untuk berbohong. Bahkan, ia tidak bisa menyembunyikan ekspresinya sedikit pun. Kalau ia senang, senyum ceria dan mata berbinar-binar bahagia, serta rona merah muda di pipinya pasti langsung terlihat. Kalau ia sedih, maka sorot mata sendu, diiringi kerutan di kening serta raut murung pun tergambar jelas di wajahnya. Itulah yang membuat orang di sekeliling Molly bisa menebak suasana hatinya dengan mudah.
Molly tidak terlalu banyak bicara, bahkan tergolong pendiam. Dirinya pun bisa dikategorikan sebagai pribadi yang introvert. Meski Molly sangat tidak menyukai keramaian, tapi ia terpaksa harus bekerja di kafe terkenal yang selalu ramai demi membiayai kebutuhan hidupnya. Molly juga tidak terlalu senang berbincang dengan orang asing. Bahkan, ia lebih memilih duduk sendirian di belakang kafe sambil membaca novel demi menghabiskan waktu istirahatnya.
“Emm, ada yang ingin aku lakukan sebelum ke kafe,” ujar Molly berusaha terlihat santai.
“What? Kamu mau ke kantor polisi lagi?” tebak Kevin, seakan mampu membaca isi kepala Molly. Pria itu berdiri di depan pintu dengan raut heran yang membuat Molly tertunduk malu.
“A-aku mau ... maksudku ... mungkin tidak ada salahnya mencoba sekali lagi,” sahut Molly gugup.
“Sekali lagi? Kamu sudah mencoba lebih dari dua puluh kali kalau aku tidak salah menghitung,” tegur Kevin sembari melipat tangan di depan dada. Pria itu mengenakan kaos longgar berwarna putih. Tubuhnya yang tinggi membuat Molly tampak seperti anak kecil yang sedang dimarahi oleh kakak tertuanya.
“Aku masih belum bisa terima, Kev,” ungkap Molly berusaha membela diri. Ia menatap Kevin dengan penuh keteguhan, berharap pria itu mau mengerti.
“Aku tahu,” sahut Kevin mencoba mengerti, “tapi bukankah lebih baik kalau kamu merelakan semuanya dan mendoakan Mamamu seperti yang biasanya orang-orang lakukan? I’m worried about you, Molly. Kamu terlihat semakin kurus semenjak kejadian itu.”
“Mamaku dibunuh!” tegas Molly dengan kerutan kesal di kening. Ia tidak senang jika kematian mama disamakan dengan kematian yang orang lain alami.
“Lalu, apa lagi yang mau kita lakukan? Sudah ditetapkan kalau kematian mamamu adalah pembunuhan akibat perlawanan saat perampokan. Buktinya pun sudah jelas. Walaupun sampai sekarang si pelaku belum ditemukan, tapi kita tidak bisa melakukan apa-apa lagi, Molly. Kasus ini sudah ditutup!” ingat Kevin cepat, seolah Molly lupa bagaimana kesalnya pihak kepolisian setiap kali ia datang dan bersikeras bahwa mama meninggal karena dibunuh oleh pembunuh profesional.
“Bukan kita, tapi aku!” tukas Molly berusaha tegar, tetapi suaranya mengecil, “aku yang akan berusaha mencari cara agar mereka mau membuka kasus ini dan segera menemukan pembunuh mama.”
Dengan cepat, Molly pun berbalik, lalu melangkah menjauh dari Kevin disertai perasaan sedih yang semakin merajalela. Ia melangkah menapaki beberapa anak tangga menuju lantai dasar. Baru saja ia ingin berbelok ke tangga selanjutnya, sebuah cengkeraman erat di pergelangan tangan membuat Molly berbalik dengan cepat.
“Aku rasa aku tahu bagaimana caranya,” ucap Kevin sedikit terengah-engah sambil berusaha mengatur napasnya.
“Maksudmu?” tanya Molly bingung.
“Cara supaya kasus mamamu bisa dibuka kembali,” jawab Kevin yakin.
“Bagaimana?” tanya Molly cepat.
“Jawabannya ada di kafe,” ucap Kevin tak kalah cepat.
“Kafe?” ulang Molly seraya mengerut bingung.
“Aku akan memberitahumu nanti saat di kafe. Sekarang, tunggu aku di ruang tamu! Aku juga mau bersiap-siap untuk berangkat,” jelas Kevin serius, lalu melepaskan cengkeraman dari pergelangan Molly.
“Baiklah. Aku akan menunggumu bersiap-siap,” sahut Molly patuh. Kegembiraan dan kelegaan pun mulai hinggap di dadanya meski hanya sedikit. Akhirnya, Kevin akan membantu Molly untuk membuka kasus pembunuhan itu. Ya, Kevin memang selalu membantunya.
*****
BAB 3
Beberapa menit sebelum jarum panjang menyentuh pukul 12.00, Molly dan Kevin tiba di kafe, lalu mengisi absen harian mereka di mesin sidik jari yang berada tepat di samping pintu masuk khusus karyawan. Mereka pun segera menuju ruang karyawan bersamaan dengan beberapa pekerja kafe yang sedang mengambil jam istirahat.
Molly meletakkan tas dan sweater rajut hitam kebangsaannya di lemari loker karyawan, lalu mengeluarkan apron berwarna cokelat muda serta name tag-nya. Setelah merapikan riasan wajah yang tidak seberapa, Molly menyematkan name tag di kantong seragam, lalu menyemprotkan parfum di titik-titik tertentu. Ia pun segera mengunci loker, kemudian mengubah nada dering ponsel ke mode getar sebelum memasukkannya ke saku celana.
Kevin, yang sedang berbicara dengan salah seorang pramusaji berparas cantik, langsung menghentikan percakapan saat Molly menepuk pundak pria itu. Hampir tiga tahun lamanya ia bekerja di kafe ini, dan semua itu berkat bantuan Kevin. Ia sudah menganggap Kevin layaknya kakak yang selalu melindungi dirinya.
Pria itu memang sangat baik dan begitu perhatian pada Molly, bahkan sesekali berkunjung ke unitnya hanya untuk makan malam jika mama mengundang. Itulah yang membuat Cindy, kekasih Kevin, terkadang menaruh cemburu pada mereka berdua.
“Sekarang, kasih tahu aku bagaimana caranya?” tuntut Molly cepat saat mereka keluar dari ruang karyawan dan berjalan menuju ruang dapur.
“Take it easy, Ly,” balas Kevin tenang, “dia biasanya datang jam lima sore.”
“Dia? Maksudmu?” tanya Molly dengan raut bingung sembari mengikat apron di pinggangnya.
“Pokoknya tunggu saja. Kalau dia sudah datang, aku pasti memberitahumu,” jawab Kevin seraya menyematkan pulpen di saku kemeja seragam.
Molly tidak berusaha untuk bertanya lebih lanjut dan menekan sejenak rasa ingin tahunya yang begitu besar. Akhirnya, mereka berdua memasuki ruang utama kafe. Molly langsung mengambil daftar menu yang diletakkan di meja khusus, sementara Kevin menghampiri salah seorang kasir dan berbincang sejenak.
Siang ini kafe tampak ramai seperti biasa. Terlihat sekumpulan orang yang sedang berbincang di meja berbentuk persegi. Seperti biasa, kebanyakan dari mereka melakukan pertemuan ringan di kafe dengan para relasi sembari makan siang dan menikmati kopi. Molly pun segera melakukan tugasnya seperti biasa. Mengambil pesanan minuman dari meja bar, mencatat pesanan tamu, dan mengantarkan makan siang yang sudah disiapkan oleh koki andalan kafe untuk disajikan di meja tamu.
Waktu berlalu sangat cepat hari ini, bahkan tamu yang datang silih berganti memenuhi kafe membuat pikiran Molly sedikit teralihkan dari masalah yang sedang ia alami. Tak terasa waktu menunjukkan pukul 17.00, dan tepat di saat itu pula Kevin menepuk pundak Molly yang sedang berdiri di samping meja bar, menunggu pesanan pelanggannya yang sedang disiapkan oleh barista kafe. Molly menoleh dan menatap Kevin yang langsung melemparkan pandangan ke arah pintu.
“Itu dia,” ucap Kevin singkat.
Molly mengikuti arah pandang Kevin dan menemukan seorang pria bertubuh tinggi dengan penampilan yang sangat rapi. Pria itu mengenakan setelan jas berwarna hitam dengan kemeja hitam doff di baliknya. Dasi hitam bercorak garis tipis merah, melingkar sempurna di balik kerah kemejanya.
Rambut yang disisir rapi, menghiasi wajah tampan yang memiliki rahang tegas dengan janggut tercukur sempurna. Alis mata tebal dan tegas, membingkai tatapan tajam yang mampu mengintimidasi siapa pun. Bibir tipis dan terkatup rapat, yang tampaknya sulit untuk tersenyum, memperkuat aura mengancam yang terasa begitu jelas saat pria itu melangkah masuk melewati pintu kafe.
Molly terus memperhatikan saat pria itu melangkah melewati beberapa meja yang sudah dipenuhi oleh para penikmat kopi. Pria itu pun memilih kursi yang terletak di paling ujung ruang kafe. Sebuah kursi yang berada di sudut tersembunyi, yang seolah menandakan bahwa pria itu berusaha menjauh dari keramaian.
“Dia selalu datang tepat jam 5 sore, dan selalu keluar dari sini jam setengah 7 malam. Tapi hanya dari hari Senin sampai Jumat, soalnya hari Sabtu dan Minggu kantornya libur. Dia juga selalu duduk di sana, sendirian, dan tidak pernah berbicara selain untuk memesan makanan. Oh, dan satu lagi ..., dia selalu memesan kopi hitam dengan satu porsi beef lasagna,” jelas Kevin sambil terus menatap pria itu, sementara Molly menatap raut serius Kevin ketika berbicara.
“Sepertinya kamu sangat mengenalnya lebih dari yang kubayangkan. Memangnya siapa dia? Apa hubungannya dia sama kasus Mamaku?” tanya Molly pelan, lalu mengalihkan perhatiannya kembali ke pria itu.
Molly memang sudah sering melihat pria itu duduk di sana. Pria itu merupakan salah satu pelanggan tetap di kafe ini, tetapi Molly sama sekali tidak pernah berniat mencari tahu identitas setiap pelanggan. Ia hanya tahu kalau pria itu selalu datang seorang diri. Bahkan, selama ini Molly enggan melayani pria itu. Ada sesuatu di diri pria itu yang membuat Molly takut. Entah mengapa.
“Namanya Cliff Franklin. Dia adalah seorang pengacara ternama dan pemilik dari Franklin Law Firm yang ada di lantai 10 di gedung ini,” jawab Kevin lancar. Molly terbelalak kagum dengan informasi yang Kevin miliki.
“Waw! Informasi yang sangat rinci, Kev. Apa kamu mengetahui semua identitas pelanggan kita?” ledek Molly geli seraya menggeleng kecil, tak menyangka kalau Kevin bisa menjadi pusat informasi di tempat itu.
Denting cangkir yang diletakkan di meja saji membuat Molly menoleh, lalu mengambil minuman yang disiapkan oleh barista, kemudian menyajikannya ke meja pelanggan. Setelah itu, ia mencatat pesanan tambahan dari si pelanggan, lalu berbalik, memberikan pesanan pada koki, dan kembali menghampiri Kevin yang terlihat sudah tak sabar untuk berbicara dengannya.
“Dengarkan aku dulu, Molly! Kurasa hanya dia yang bisa membantumu,” ucap Kevin cepat saat ia meletakkan nampan bulatnya di meja bar.
“Kamu tahu dari mana kalau dia bisa membantuku?” tanya Molly cepat.
“Dia. Pengacara. Ternama,” ucap Kevin seraya menekan setiap kata yang keluar dari mulutnya sembari mengecilkan nada suaranya agar tidak terdengar oleh pelanggan, “dia pasti bisa mengusahakan agar pihak kepolisian mau melakukan penyelidikan lebih lanjut terhadap orang yang sudah membunuh Mamamu. Hanya dia satu-satunya jalan keluar buatmu, Ly.”
Molly menghela napas lelah setiap kali mengingat bagaimana pihak kepolisian menolak kehadirannya. Ia kembali menatap Kevin dan menemukan kobaran semangat serta antusias yang membara di mata itu. Semangat yang selalu Kevin tunjukkan setiap kali berniat membantunya memecahkan masalah pembunuhan ini.
“Dia pengacara ternama,” ulang Molly lemah. Kevin mengangguk cepat.
“Artinya, dia mahal,” lanjut Molly nelangsa, “menurutmu berapa tarifnya, Kev? Bagaimana aku bisa membayarnya nanti?”
“Aku akan membantumu, Ly. Tanyakan saja dulu berapa bayarannya, nanti kita bisa cari jalan keluar untuk membayar jasanya,” usul Kevin tanpa memedulikan betapa enggannya Molly untuk berbicara dan meminta tolong kepada orang asing.
“Tidak, Kev. Kamu sudah terlalu banyak membantuku. Aku tidak mau membebanimu lagi,” tolak Molly yang diakhiri dengan embusan napas berat dan pasrah sebelum meninggalkan Kevin untuk kedua kalinya karena koki sudah meletakkan pesanan pelanggannya di meja saji. Ia pun mengambil pesanan tersebut, lalu menyajikannya di meja pelanggan diiringi senyum simpul kecil andalannya. Setelah itu, Molly kembali ke Kevin yang tampaknya tak akan berhenti menceramahi dirinya sebelum ia setuju untuk menuruti kemauan pria itu.
“Ayolah, Molly. Tanyakan saja dulu berapa harganya, setelah itu kita bisa bicarakan masalah ini bersama-sama,” pinta Kevin, lebih mengarah memaksa dengan raut memelas.
“Ini masih jam kerja, Kevin,” tolak Molly lembut, “lagi pula, kenapa dari tadi aku tidak melihat seorang pun melayaninya?”
“Karena aku mau kamu yang melayaninya hari ini,” jawab Kevin jujur diiringi seringai penuh arti. Molly terbelalak kaget mendengar jawaban itu.
“Kamu semena-mena!” protes Molly tipis.
“Tentu saja. Itulah enaknya jadi supervisor,” sahut Kevin riang sebelum akhirnya berbalik dan meninggalkan Molly bergelut sendiri dengan rasa malunya dan kewajiban untuk melayani pelanggan.
*****
Cliff duduk sembari menunggu pramusaji yang entah mengapa belum menghampiri mejanya hingga detik ini. Ia pun mengeluarkan ponsel, lalu membaca beberapa berita online hari ini.
“S-selamat sore ... m-mau pesan apa, Sir?”
Cliff segera mengangkat wajahnya dan menatap seorang wanita berdiri di samping meja. Rona merah muda mewarnai wajah dan leher wanita itu. Cliff bisa mendengar dengan jelas betapa besar kegugupan yang wanita itu rasakan saat bertanya padanya. Ia mengamati wanita itu sejenak, dan membaca name tag yang tersemat di dada, Molly. Namun sedetik kemudian, ia mengalihkan pandangannya kembali ke layar ponsel.
“Kopi hitam, tanpa gula, tanpa krim. Dan satu porsi beef lasagna,” ucap Cliff datar tanpa menatap si pramusaji. Anehnya, wanita itu tidak langsung beranjak setelah selesai mencatat pesanannya. Cliff kembali mengangkat wajahnya, lalu memasang raut bingung dan kesal yang membuat wanita itu akhirnya pergi dengan langkah kaku.
Cliff memperhatikan kepergian Molly yang terlihat malu, gugup, bahkan lebih terkesan seperti ketakutan setelah menerima raut kesalnya. Tanpa sengaja, ia kembali meneliti Molly dari belakang. Dengan rambut dikuncir kuda dan celana bahan yang membentuk bokong Molly dengan sempurna, Cliff yakin sekali kalau para pria tak akan mudah mengalihkan perhatian dari wanita itu.
Namun, tidak dengan Cliff. Ia sama sekali tidak tertarik, bahkan perhatiannya tidak bermaksud untuk menikmati keindahan dan kecantikan wanita itu. Perhatiannya lebih tertuju pada rasa penasaran yang timbul saat mendengar nada gugup melesat dari bibir wanita itu.
Apakah dia takut padaku? Baguslah, karena memang sudah seharusnya dia takut padaku. Dengan begitu, dia tidak akan berpikir sedetik pun untuk memikirkan hal lain selain mengerjakan tugasnya sebagai pramusaji di tempat ini, batin Cliff sinis sebelum melanjutkan bacaannya di ponsel.
Cliff membaca sebuah kasus pembunuhan yang terjadi di luar negeri. Ia membaca dengan saksama dan meneliti kasus tersebut. Senyum kecil tersungging di wajahnya saat mengetahui bahwa pembunuhan tersebut dilakukan oleh seorang psikopat gadungan yang ternyata beraksi karena kecintaannya pada salah satu psikopat terkenal yang sudah meninggal.
Bodoh. Hanya itu yang terbersit di pikirannya. Seorang psikopat sejati tak mungkin meniru perbuatan orang lain. Seorang psikopat sejati memiliki ciri khasnya sendiri. Bahkan, memiliki mangsa tertentu yang hanya dimengerti oleh psikopat tersebut.
Cliff menutup berita tersebut, lalu beralih ke berita lain. Politik. Ranah yang sesungguhnya enggan Cliff sentuh namun terpaksa ia jalani karena tentu saja beberapa kliennya merupakan orang-orang yang berkecimpung di dunia politik. Cliff membaca sejenak berita tersebut, lalu menggeleng kecil saat mengetahui bahwa isinya bukan hanya membicarakan tentang politik, tetapi juga tentang perselingkuhan yang membuat karir si politikus berada di ujung kehancuran.
Tak lama kemudian, indra penciumannya menangkap aroma harum yang membuat Cliff mengalihkan pandangan dari ponsel ke arah si pemilik aroma. Molly datang dengan wajah gugup, masih diwarnai rona merah muda, sementara tangan itu terlihat sedikit gemetar ketika meletakkan kopi di hadapannya. Aroma wangi tubuh Molly tercium jelas memenuhi indra penciumannya, mengalahkan aroma nikmat kopi yang selalu mampu menenangkan jiwanya.
“Beef lasagna Anda akan siap sebentar lagi, Sir,” ucap Molly serak dan kaku sebelum berbalik menjauh dari mejanya. Sembari menatap kepergian Molly, Cliff mengangkat cangkir, lalu menghirup dalam-dalam aroma kopi hitam kesukaannya.
Ia tidak akan pernah menolak kopi hitam yang dibuat secara sempurna. Aroma wangi kopi yang khas dan rasa pahit yang menetap di lidah, memberikan kedamaian tersendiri bagi Cliff. Ia menyeruput kopi hitam, dan menikmati sensasi panas yang menyentuh lidahnya.
Sesaat kemudian, pandangan Cliff kembali tertuju pada Molly yang datang membawakan makanannya. Cliff meletakkan cangkir ke tempatnya, lalu menggeser ke samping, memberi ruang untuk beef lasagna kesukaannya. Masih dengan tangan yang bergetar karena gugup, Molly meletakkan piring di hadapannya, lalu berdiri sejenak di samping meja.
“A-apa ada lagi yang Anda butuhkan?” tanya Molly sopan.
Cliff menggeleng cepat tanpa menatap wanita itu sedikit pun, bahkan berusaha tidak menganggap keberadaannya. Tak ada yang bisa mengusik kedamaiannya ketika berhadapan dengan seporsi beef lasagna dan secangkir kopi hitam panas. Dua sajian yang seakan mencerminkan dirinya. Pahit dan penuh misteri di luar, tetapi lembut dan rapuh di dalamnya.
Ia mengangkat sendok, lalu menusukkannya ke lapisan lasagna. Namun, saat menyadari bahwa Molly masih berdiri di samping meja, Cliff pun mendengus kesal. Keberadaan Molly serta aroma tubuh itu sangatlah mengusik ketenangan jiwa Cliff. Terpaksa, ia kembali menoleh ke arah Molly dan menatap mata itu lekat-lekat.
“Apa ada masalah dengan makananku?” tanya Cliff sinis.
“Oh, maaf. S-saya tidak bermaksud ....” Tanpa melanjutkan kalimatnya, wanita itu pun pergi dari hadapan Cliff. Benar-benar wanita aneh.
*****
BAB 4
Molly terus memperhatikan Cliff yang sedang menikmati makanan dengan sikap tenang, bahkan tidak menoleh ke kanan maupun ke kiri. Pria itu tampak seperti berada di dunianya sendiri dan tak ada seorang pun yang dapat mengusik ketenangan yang melingkupinya. Molly kembali melakukan tugasnya sebagai pramusaji, meskipun Kevin terlihat geram dan bingung saat mengetahui dirinya lebih memilih melewatkan kesempatan besar untuk meminta bantuan pada Cliff begitu saja.
“Now what?” tanya Kevin yang langsung menghampiri saat Molly memberikan kertas pesanan pada barista.
“Apa lagi, Kev? Kamu tidak lihat bagaimana dia?” tanya Molly seraya memasang raut ketakutan.
“Kenapa?” tanya Kevin cepat, seperti menantang.
“Dia seperti vampir!” ujar Molly tanpa menyaring kata-katanya terlebih dahulu.
“Vampir? Are you crazy?” ulang Kevin histeris, mempertanyakan penilaiannya. Molly bisa melihat bagaimana sulitnya Kevin menekan volume suara agar tidak terdengar oleh orang lain setelah mendengar jawabannya.
“Lihat, Kev!” ujar Molly sambil memusatkan perhatian pada Cliff, “dia duduk sendirian, tidak bicara dengan siapa pun, bahkan terlihat tidak memedulikan sekitarnya. Dia seperti berada di dunia lain. Wajahnya juga sedikit pucat, dan entah mengapa aku merasakan aura menyeramkan saat berada di dekatnya. Dia benar-benar seperti vampir, Kev!”
Molly segera beranjak dari meja bar hanya untuk menyajikan kopi di meja pelanggan yang berada tak jauh dari meja Cliff. Molly melirik sekilas ke arah Cliff. Bahkan, saat makan pun pria itu tak mengeluarkan suara atau keributan yang berarti. Begitu pula saat meletakkan cangkir di atas piring tatakan, terkesan begitu halus hingga tidak menimbulkan dentingan sedikit pun. Pandangan Cliff hanya tertuju pada makanan dan kopi. That’s it!
“Tidak! Pokoknya aku tidak mau minta bantuan padanya. Aku takut,” tolak Molly saat melihat tatapan Kevin yang memaksanya untuk kembali ke meja Cliff dan berbicara dengan pria itu.
“Demi Mama, Molly. Kamu tidak akan bisa menemukan siapa pembunuh Mamamu kalau tidak ada bantuan dari orang berkuasa. Dia adalah pengacara terkenal, kurasa dia pasti bisa mengusahakan agar penyidik mau melanjutkan penyelidikan,” jelas Kevin, berusaha meyakinkan Molly.
“Aku takut, Kev,” ulang Molly untuk yang ke sekian kali, berharap Kevin tahu seberapa besar rasa takutnya saat ini. Tentu saja Kevin tahu, bahkan siapa pun yang menatap wajahnya sekarang pasti tahu kalau dirinya sedang ketakutan terhadap sesuatu yang tidak nyata.
“Demi mamamu, Ly,” ulang Kevin seakan kata-kata itu adalah mantra yang bisa membuatnya kuat.
“Tidak! Aku tidak berani,” tolak Molly dengan sedikit rasa menyesal sebelum melangkah ke balik pintu khusus karyawan dan memilih untuk mengambil jam istirahatnya.
*****
Molly keluar dari kafe pukul 20.15. Kevin masih terlihat kesal saat ia tetap memutuskan untuk menjauhi pria bernama Cliff dan memilih melayani pelanggan lain. Meskipun begitu, Molly diam-diam memperhatikan Cliff. Ia tidak menyangka kalau Cliff benar-benar meninggalkan kafe tepat pukul 18.30.
Saat melangkah menuju pintu kafe, Cliff tidak menoleh ataupun melirik ke arahnya padahal pria itu melangkah tepat di hadapan Molly. Sudah tak terhitung berapa kali Kevin menggerutu pada Molly semenjak Cliff keluar dari kafe. Dan ia pun yakin, esok hari Kevin akan memaksanya kembali untuk berbicara dengan Cliff.
Setelah jam kerjanya usai, Molly bergegas mengeluarkan tas serta sweater rajut dari loker, lalu menempelkan jari di mesin absen. Ia berniat mampir ke kantor polisi dan mencoba peruntungannya sekali lagi.
“Aku pulang dulu, Kev,” pamit Molly tenang seperti biasa. Namun, Kevin menatapnya seraya memasang raut mengerut kesal diiringi gelengan kepala heran.
“Kamu langsung pulang, ‘kan?” tanya Kevin curiga, seakan bisa membaca isi kepalanya.
“Tentu saja,” jawab Molly cepat, tetapi tak berani menatap Kevin.
“Bagus! Jangan ke kantor polisi atau melakukan apa pun yang bisa membuatmu menangis untuk yang ke sekian kalinya,” ingat Kevin sembari berkecak pinggang dan memasang raut tegas saat berdiri di depan pintu keluar, berharap Molly mau mengikuti nasihat tersebut. Namun, Molly masih ingin mencoba peruntungannya sekali lagi. Ia harus berbicara dengan kerabat mama sebelum memutuskan untuk mencari jalan lain.
Molly bergegas menuju Town Hall, lalu menaiki kereta seperti biasa. Malam ini penumpang kereta sama penuhnya seperti hari-hari biasa. Molly memilih duduk di dekat pintu masuk yang kebetulan kosong. Ia segera mengeluarkan novel, lalu melanjutkan bacaannya yang terpotong saat jam istirahatnya selesai.
Perjalanan yang memakan waktu satu jam lebih pun tak terasa karena Molly tenggelam dalam bacaannya. Saat kereta berhenti di Stasiun Hornsby, Molly segera memasukkan novel ke tas kecilnya, lalu beranjak keluar. Dengan langkah pasti diiringi harapan yang tak akan pernah mati, Molly keluar dari stasiun. Ia pun bergegas menuju kantor polisi yang jaraknya cukup dekat dengan stasiun sehingga dapat ditempuh dengan berjalan kaki.
“Astaga, Molly! Kau pasti mau ketemu dengan Brad, ‘kan?” ujar Sandra, salah seorang polisi yang sudah sering melihat keberadaannya di sana.
“Brad ada?” tanya Molly pelan, berusaha tidak menghiraukan raut kesal Sandra yang tampaknya sengaja berhenti di depan pintu demi mencegah dirinya untuk masuk.
“Kalau pun ada, kupastikan dia tidak ingin bertemu denganmu, Nak. Kapan kau berhenti melakukan semua ini? Brad sudah melakukan semuanya, tapi tetap saja tidak bisa mengubah apa pun,” jawab Sandra lugas, terdengar jelas bagaimana wanita itu berharap Molly segera berbalik dan mengurungkan keinginannya.
“Terima kasih untuk masukannya. Tapi ... aku tidak akan berhenti sampai kalian menemukan siapa pembunuh Mamaku!” tegas Molly dengan suara sedikit bergetar, karena sejujurnya ia tak pernah setegas ini pada siapa pun.
Akhirnya, Molly melangkah melewati Sandra yang menatapnya dengan raut kesal. Molly tidak peduli. Ia terus melangkah, membuka pintu dengan debaran jantung sedikit lebih cepat, lalu melewati meja petugas begitu saja. Suara berat dan kesal memanggil namanya berulang kali saat Molly mempercepat langkahnya menuju sebuah ruangan yang berada tak jauh dari pintu masuk. Baru saja ia menekan tuas pintu, cengkeraman keras menarik pergelangan tangannya hingga membuat Molly meringis kesakitan.
“Apa yang kau lakukan? Kau tidak bisa seenaknya masuk ke tempat ini!” tegur pria bertubuh besar dengan raut kesal.
“Aku mau bicara dengan Brad!” jawab Molly cepat seraya berusaha melepaskan cengkeraman erat itu.
“Dia tidak ada di sana,” ujar pria itu geram, tetapi Molly tak akan percaya begitu saja. Ia pun segera menekan tuas pintu, lalu mendorongnya sekuat tenaga hingga pintu terbuka lebar.
Seorang pria yang sedang duduk di belakang meja kerja dengan gagang telepon menempel di telinga, tampak terusik dengan keributan yang terjadi karena kehadiran Molly. Mata itu pun tertuju padanya. Sedetik kemudian, terdengar decakan kesal sebelum pria itu meletakkan gagang telepon kembali ke tempatnya.
“Lepaskan dia! Biarkan saja dia masuk,” perintah Brad geram, tampak sekali kalau pria itu sangat tidak mengharapkan kehadirannya. Akhirnya, pria bertubuh besar itu pun terpaksa menuruti perintah Brad, lalu melepaskan cengkeramannya. Molly menggenggam bekas cengkeraman yang menyisakan rasa panas dan kemerahan di pergelangan tangannya.
“Apa lagi yang kau inginkan? Aku tidak bisa melakukan apa-apa lagi, Molly!” keluh Brad sembari bersandar di sandaran kursi, lalu menggeleng frustrasi menghadapi kebulatan tekad Molly.
“Kau belum berusaha semaksimal mungkin Brad!” tolak Molly cepat, “Mamaku dibunuh. Apa kejadian itu tidak berarti bagimu?”
“Kumohon, Molly. Jangan ungkit lagi apa yang terjadi. Sudah saatnya kau merelakan hal itu,” sahut Brad seraya meletakkan tangan di atas perutnya yang besar dan bulat.
“Aku sudah merelakan kematian Mama, tapi aku tidak akan rela membiarkan pembunuhnya berkeliaran begitu saja di luar sana!” tegas Molly bercampur amarah yang terdengar jelas di setiap ucapannya. Brad terdiam sejenak, menatap Molly dengan raut yang tak terbaca.
Sekilas, Molly menangkap senyum simpul kecil terukir di wajah Brad saat mata itu menjalar liar mengamati tubuhnya. Molly mengerut kesal, lalu merapatkan sweater rajut, berusaha mengalihkan perhatian Brad dari tubuhnya.
“Kau tidak bisa, dan tidak akan pernah bisa menemukan pembunuhnya, kecuali kau menerima tawaran yang pernah kuberikan padamu beberapa waktu lalu,” ucap Brad tenang dan lembut.
Molly tidak akan pernah melupakan tawaran gila yang pernah Brad ajukan padanya. Brad mengatakan bahwa Molly harus bersedia mengeluarkan sejumlah uang untuk membayar pihak ‘dalam’ agar penyelidikan itu bisa segera dilakukan. Atau ... setidaknya Molly harus menemani Brad semalam saja dan pria itu berjanji akan menemukan pembunuhnya tanpa harus membawa serta institusi kepolisian ke dalam penyelidikan.
Tentu saja Molly menolak. Ia tidak memiliki banyak uang untuk membayar pihak ‘dalam’ seperti yang Brad minta. Ia juga tak akan pernah mau tidur dengan pria itu. Tidak akan pernah!
“Kau melupakan semua perbuatan baik Mama selama ini padamu, Brad. Kau benar-benar bajingan!” hina Molly geram dan penuh amarah. Air mata mulai menggenang setiap kali mengingat bagaimana mama menghormati Brad. Mama sesekali membuatkan kue untuk pria itu karena Brad merupakan kerabat terdekat dan sahabat baik mama. Bahkan, mama begitu memercayai Brad dan mengatakan bahwa Molly akan aman selama pria itu menjabat sebagai salah satu pimpinan tertinggi di kepolisian Hornsby.
Aman? Mama salah besar karena Brad menginginkan tubuhnya demi kesenangan semata. Molly menahan isak tangisnya. Kevin benar, seharusnya ia tidak datang ke sini, tetapi hanya ini yang bisa ia lakukan untuk menemukan siapa pembunuh mama. Hanya ini.
Air matanya pun menetes begitu saja setiap kali mengingat besarnya kerinduan yang ia rasakan pada mama. Kekecewaan yang begitu mendalam serta rasa frustrasi yang menyelimuti pun membuat Molly putus asa. Ia sudah tidak memiliki cara lain. Ia tidak akan pernah menemukan pembunuh mama. Kali ini, Molly benar-benar merasa gagal sebagai seorang anak. Ia sudah mengecewakan mama dan dirinya sendiri.
Tiba-tiba, ia kembali teringat pada Cliff. Dan, entah mengapa secercah harapan itu seolah memaksanya untuk yakin bahwa hanya Cliff jawaban untuk masalahnya.
“Aku akan menemukan siapa pembunuh Mamaku. Dan ... kupastikan kau dipermalukan karena sudah membuatku merasa terhina!” ancam Molly penuh amarah, lalu mengusap air matanya, kemudian berbalik dan keluar dari ruangan itu.
*****
Cliff tiba di rumahnya yang berada di Hillcrest Avenue, Epping, sekitar pukul 21.00. Pintu garasi bergerak menutup otomatis saat ia melangkah menuju pintu masuk rumah. Martha menyambut kedatangannya dengan senyum hangat yang selalu menyapa Cliff setiap kali ia tiba di rumah.
Martha merupakan seorang kepala pelayan berusia lima puluhan yang sudah tinggal di rumahnya semenjak ia keluar dari asrama. Tidak memiliki anak, tidak menginginkan sebuah keluarga, dan lebih memilih mengabdikan diri kepada keluarga Franklin semenjak kejadian buruk menimpanya.
Selama Cliff menjalani pengobatan dan hidup di asrama, Martha diminta oleh keluarga Neandro untuk tinggal dan menetap di sana. Setelah ia menerima semua harta warisan dan membeli rumah yang ia tempati sekarang, Martha pun memutuskan untuk kembali dan mengabdikan masa tuanya dengan bekerja pada Cliff. Oh, tentu saja Cliff memutuskan untuk membeli rumah baru. Ia tidak ingin tinggal di lokasi tempat di mana kedua orangtuanya di bunuh.
Cliff terus berjalan menuju ruang dapur yang menghadap langsung ke halaman belakang. Rumah yang didominasi warna putih dan berlantaikan kayu yang divernis sempurna seolah menjadi kamuflase sempurna demi menutupi jiwanya yang rusak dan gelap. Martha segera mengunci pintu rumah, lalu mengikuti langkahnya dari belakang.
“Bagaimana keadaan di kantor hari ini, Sir?” tanya Martha seraya membuka lemari minuman, lalu menuangkan segelas jus jeruk ke gelas tinggi, kemudian meletakkan gelas tersebut di meja marmer disertai segelas kecil berisi beberapa butir obat-obatan yang harus Cliff konsumsi sebelum tidur. Cliff berdiri di dekat dinding kaca yang menghadap langsung ke halaman belakang yang hanya dihiasi oleh hamparan rumput hijau dan lampu taman di kedua sudutnya.
“Seperti biasa,” jawab Cliff datar, “hanya menangani kasus ringan.”
“Air dalam bathtub sudah siap, Sir. Pakaian tidur juga sudah saya siapkan di tempat tidur,” jelas Martha dengan tenang dan lembut seperti biasanya.
“Baiklah. Kau bisa kembali ke kamarmu,” lanjut Cliff tenang. Martha pun berbalik, dan menghilang dari pandangannya. Cliff melangkah menuju meja marmer, lalu meneguk habis jus jeruknya.
Sejenak, ia menatap beberapa butir obat dalam gelas kecil. Cliff tidak bisa meminum obat itu sekarang. Ia dan Mors masih harus melakukan sesuatu yang penting. Akhirnya, ia pun melangkah mengitari meja marmer, mengeluarkan gelas dari lemari, lalu mengisinya dengan air putih.
Setelah itu, ia membawa gelas kecil berisi obat di tangan kanan dan gelas minuman di tangan kiri. Ia menaiki anak tangga yang berada tepat di seberang ruang dapur. Setibanya di lantai atas, Cliff berbelok ke kanan, lalu masuk ke kamar tidurnya. Dengan tenang, Cliff meletakkan kedua gelas tersebut di meja kecil di samping tempat tidur, lalu melepaskan jas yang sudah ia kenakan seharian.
“Welcome,” sambut suara dingin dan tegas yang sudah melekat di kepalanya selama 13 tahun.
“Kita akan melakukannya malam ini,” ucap Cliff pada Mors setelah meletakkan jas di tempat tidur. Cliff membuka laci meja kecil tersebut, lalu mengeluarkan ponsel dan menyalakannya.
“Semua sudah siap?” tanya Mors santai namun terdengar begitu mengancam.
“Seperti biasa,” sahut Cliff seraya berbalik dan menatap pria yang berdiri dengan senyum tipis khas pembunuh berdarah dingin yang selalu tersenyum padanya setiap kali mereka akan menjalankan tugas.
“Kau siap?” tanya Cliff datar.
“Ini adalah kesukaanku. Kau bercanda?” balas Mors dengan seringai lebar, menertawakan pertanyaan Cliff diiringi tatapan khas pembunuh berdarah dingin, sama seperti dirinya.
“Kesukaan kita,” timpal Cliff sebelum membaca pesan masuk di ponsel dengan seringai tipis, sama tipisnya seperti seringai Mors. Nama target mereka berikutnya sudah tertera di sana, tetapi ia dan Mors harus menentukan apakah akan menerima tugas tersebut atau tidak. Namun malam ini, mereka akan menyelesaikan apa yang sudah ia rencanakan sebelumnya.
Tugasnya sangat mudah. Hanya menghabisi nyawa target tanpa terdeteksi siapa pun. Bersih. Itulah keunggulannya. Sama seperti yang Salazar dulu lakukan sebelum ... mereka mencabut nyawa pria itu.
*****
BAB 5
Tepat pukul 23.00, Cliff memosisikan mobilnya di salah satu tempat yang sudah ia tentukan sebelumnya. Cliff dan Mors keluar dari mobil, lalu bersembunyi di salah satu sudut blok yang tak terkena cahaya lampu jalanan. Di saat seperti ini, suasana pertokoan sudah sangat sepi. Sudah satu minggu lebih ia mempelajari situasi tempat tersebut dan merekamnya dengan sempurna dalam kepala.
Bukan tanpa alasan. Dua minggu yang lalu, ia menerima arahan untuk membunuh seseorang. Pekerjaan sampingan yang membuatnya merasa hidup. Pekerjaan yang mampu memacu adrenalinnya. Setelah mempelajari kasus korbannya, mereka berdua pun memutuskan untuk menerima pekerjaan tersebut, kemudian memulai pengintaiannya.
Tidak banyak yang tahu seperti apa Cliff yang sebenarnya. Yang orang tahu—para pengguna jasanya—hanyalah betapa bersih dan cepatnya Mors saat melakukan aksinya. Namun, tidak dengan keluarga Neandro dan Martha. Mereka semua tahu bagaimana dirinya. Bagaimana gelap dan menyeramkan sifat aslinya. Bahkan karena hal itu, keluarga Neandro selalu menganggapnya bak malaikat pelindung yang selalu siap menjaga keamanan mereka.
Cliff sangat loyal pada keluarga Neandro, bahkan tidak pernah memperhitungkan sepeser pun jasanya setiap kali membantu keluarga itu. Mengapa? Karena yang keluarga Neandro lakukan padanya tak akan pernah bisa ia bayar dengan apa pun.
Keluarga Neandro telah bersusah payah menutupi pembunuhan pertama yang Cliff dan Mors lakukan. Pembunuhan yang mengawali semua kegiatan membunuh yang akhirnya menjadi salah satu hobi mereka. Pembunuhan pertama yang membuat jiwa Cliff merdeka meskipun belum sepenuhnya bisa merasa puas setelah melihat pria itu mati di tangannya. Pembunuhan yang ia lakukan tepat di usianya yang ke dua puluh. Membunuh Salazar.
Tidak ada yang tahu bagaimana sulitnya Cliff mencari tahu tentang keberadaan Salazar. Cliff sempat hampir putus asa dan gila karena tak ada satu pun akses yang ia miliki untuk dapat menemukan sosok Salazar. Lima tahun lamanya Cliff mencari keberadaan Salazar, tetapi tak ada satu pun yang tahu siapa pria itu, karena ternyata nama tersebut hanyalah nama samaran. Meskipun begitu, ia tidak akan pernah melupakan seperti apa wajah pria yang sudah membunuh mama.
Hingga akhirnya, Cliff tak sengaja melihat pria itu keluar dari salah satu pub, tampak sedang mengintai salah satu korbannya. Cliff pun memutuskan untuk mengikuti Salazar hingga pria itu masuk ke sebuah rumah yang berada di salah satu daerah terpencil di Duffys Forest. Lokasinya yang jauh dari keramaian, sepi, serta di kelilingi oleh hutan belantara, membuat rumah tersebut menjadi tempat persembunyian yang sempurna.
Cliff dan Mors mulai merencanakan bagaimana caranya agar mereka bisa merengut nyawa Salazar. Setelah satu bulan mengamati dan mempelajari rutinitas Salazar, akhirnya mereka menemukan titik lemah pria itu. Kelemahan seorang pembunuh bayaran yang juga menjadi salah satu kelemahan Cliff hingga saat ini.
Suatu malam di minggu ketiga bulan Februari, Cliff dan Mors tiba di sekitar kediaman Salazar. Tepat pukul 23.00, mereka pun keluar dari mobil yang diparkir cukup jauh dari rumah tersebut dan tersembunyi di antara barisan pohon yang tinggi serta rindang. Mereka mengamati dari kejauhan selama beberapa saat sampai Salazar selesai mengunci pintu dan masuk ke kamar tidur.
Setelah menunggu waktu yang tepat, mereka pun menghampiri rumah itu seraya mengendap-endap. Mereka berjongkok di bawah jendela kamar Salazar, lalu menunggu hingga pria itu meneguk beberapa butir obat tidur sebelum akhirnya terbaring di ranjang dan tenggelam ke dalam alam bawah sadar. Rutinitas setiap malam yang tak pernah Salazar lewati, yang juga merupakan titik lemah pria itu.
Mereka menunggu hingga pria itu benar-benar terlelap, sebelum akhirnya beranjak dari bawah jendela dan melangkah menuju pintu masuk. Memiliki keahlian dalam membuka segala jenis kunci, Mors membuka pintu tersebut dengan mudahnya. Mereka pun memasuki rumah berdinding kayu yang cukup besar meskipun hanya satu lantai.
Rumah tersebut hanya diisi beberapa perabotan biasa seperti sofa panjang di ruang tamu. Dapur yang tidak terlalu besar pun hanya terisi peralatan memasak seadanya. Tanpa berlama-lama, mereka segera menuju kamar Salazar. Mors membuka pintu tersebut dengan mudah, dan mereka pun menemukan pria itu sudah terlelap di atas kasur empuknya.
Ruangan itu cukup gelap, hanya disinari oleh lampu tidur kecil di sudut ruangan. Cliff berdiri di samping tempat tidur selama beberapa saat, menyimpan momen penting sebelum ia mencabut nyawa pria itu. Sejenak, ia menatap wajah pria yang sudah membunuh mama. Kilatan masa lalu mulai memenuhi kepalanya, dan amarah pun terasa semakin membara, membakar tubuhnya bak api yang menggelora.
Cliff menatap Salazar dengan penuh kebencian seraya mengepalkan tangan erat. Sesaat kemudian, dengan sebilah pisau di tangan kanan—salah satu senjata andalannya—Cliff mengangkat pisau tersebut tepat ke depan wajahnya. Matanya menatap cahaya kilat di sepanjang sisi bilah pisau yang terkena cahaya lampu sudut, menunjukkan betapa tajam pisau kesayangannya itu. Dengan senyum miring nan kejam serta tatapan tajam bak elang yang siap memangsa, Cliff langsung menekankan pisau di leher Salazar, lalu menyembelihnya dengan satu kali tarikan.
“Tidak ada seorang pun bisa lepas dari Cliff,” ucap Cliff sembari terus menatap tubuh Salazar yang menggelepar bak ikan yang kehabisan udara. Senyum tipis terukir di wajah mereka saat darah mengalir deras dari leher pria itu.
Salazar tidak membuka matanya sedikit pun. Pria itu benar-benar tak menyadari bahwa saat ini nyawanya berada di ujung tanduk. Cliff terus menatap wajah dan tubuh Salazar lekat-lekat, memastikan kalau pria itu tidak akan pernah keluar dari alam sadarnya.
“Tidak ada seorang pun bisa lepas dari Cliff,” ulang Cliff saat tubuh itu berhenti bergerak. Cliff menekankan tangannya di leher Salazar, lalu menghirup aroma darah di telapak tangannya. Aroma kemenangan karena sudah berhasil membunuh pria itu.
Ia merasakan kelegaan yang tak terkira saat melihat tubuh Salazar yang sudah tak bernyawa, begitu juga Mors. Mereka menyunggingkan seringai kejam yang sama dan tatapan tajam yang serupa sebelum terkekeh bahagia. Tawa menyeramkan mereka pun mengisi suasana sunyi yang melingkupi ruangan itu.
“Tidak ada seorang pun bisa lepas dari Cliff,” ucap Cliff terakhir kalinya saat darah di leher Salazar berhenti mengalir.
Setelah membunuh Salazar, Cliff dan Mors membawa jasad pria itu ke rumahnya dengan perasaan bangga. Di situlah Martha menyadari bahwa kejadian ini tidak akan berhenti di situ. Martha diam seribu bahasa, tetapi tidak berniat menyembunyikan sedikit pun kejadian ini pada Mr. Neandro.
Tanpa banyak bertanya ataupun mencecarnya dengan tuduhan yang menuntut, dengan mudahnya Mr. Neandro memaafkan apa yang telah Cliff perbuat. Pria itu bahkan meminta anak buahnya untuk membersihkan jejak Cliff dan Mors di kediaman Salazar. Dan yang paling membuat Cliff tercengang adalah ketika Mr. Neandro membeli rumah serta beberapa hektar tanah di sekitar kediaman Salazar, lalu memberikannya pada Cliff sebagai tanda pengingat bahwa dendamnya sudah terbalaskan.
Ya, memang benar. Dendamnya sudah terbalaskan, tetapi Cliff tidak bisa menghilangkan kecintaannya akan darah. Atau lebih tepatnya, kecanduannya untuk membunuh, menyaksikan korban menggelepar lemah di ujung hayatnya, dan merasakan setiap tetes darah itu menyentuh tangannya.
Sensasi puas dan bahagia itu membuat Cliff tak ingin berhenti membunuh. Setiap kali melihat korban menggelepar tak berdaya di hadapannya, seakan mengulang kembali detik-detik di mana Salazar meregang nyawa di bawah tangannya. Dan hal tersebut memberikan kepuasan tersendiri bagi Cliff dan Mors.
Semenjak kematian Salazar, Cliff diam-diam menerima panggilan untuk menjadi pembunuh bayaran, selain menangani beberapa orang yang mencoba mencari masalah dengan keluarga Neandro tentunya. Semua berawal dari perkenalan singkat Cliff dengan salah seorang politikus ternama yang juga merupakan klien di kantor hukumnya. Pria itu meminta pada Cliff untuk mencari seorang pembunuh bayaran. Tentu saja Cliff mengatakan bahwa ia mengenal Mors, pembunuh bayaran yang dapat melakukan setiap pekerjaannya dengan bersih.
Akhirnya, pria itu mulai menunjukkan siapa target yang harus dibunuh oleh Mors. Mereka pun berhasil melakukan tugas tersebut dengan sempurna dan bersih. Dan, sejak itulah mereka mulai mendapatkan panggilan tugas untuk membunuh dari berbagai kalangan.
Namun, Cliff dan Mors memiliki keistimewaan tersendiri selain dari cara kerja mereka yang bersih. Mereka berhak menentukan apakah mau menerima pekerjaan tersebut atau tidak. Meskipun Mors sama sekali tidak pernah pandang bulu terhadap para targetnya, tetapi Cliff hanya mau membunuh orang-orang yang menurutnya pantas untuk mati.
Sama seperti yang mereka lakukan saat ini. Target mereka merupakan seorang pria tua berusia enam puluhan, Gerard Sullivan. Kaya? Tentu saja. Masalahnya, Gerard suka memanfaatkan para wanita muda yang ingin masuk ke dunia perfilman. Busuknya, Gerard sengaja memberikan obat bius pada para wanita muda itu, lalu menidurinya hingga puas, kemudian mengambil foto serta video sebagai bukti kejahatannya. Bodohnya, Gerard berurusan dengan salah seorang pemilik retail yang sedang berkembang.
Gerard menjebak dan meniduri salah satu keponakan dari pemilik retail tersebut, lalu mengancam akan menyebarkan foto dan video wanita itu. Gerard memberikan waktu hingga esok hari kepada pemilik retail untuk mengumpulkan uang. Namun, daripada memberikan uang kepada si pemeras, pemilik retail tersebut memutuskan untuk menyewa Cliff dan Mors agar masalah yang menyerang mereka benar-benar selesai. Tentu saja Cliff menerimanya dengan gembira, karena pria seperti Gerard tidak pantas untuk hidup.
Saat ini, Gerard sedang melakukan persembunyian di suatu tempat. Cliff berdiri di balik tembok dengan pandangan tertuju ke arah pria tua yang berjalan sendirian di tengah malam yang sepi. Ia sudah mengintai daerah ini, dan untungnya tak ada satu pun CCTV yang dapat menangkap keberadaan mereka. Inilah keunggulan Cliff dan Mors. Mereka berusaha bermain sebersih mungkin, bahkan tak berniat tertangkap kamera CCTV sama sekali.
Setelah mengenakan topeng setengah wajah yang selalu mereka gunakan setiap kali menjalankan aksinya, mereka pun mulai berjalan dengan langkah tenang menghampiri Gerard yang berbelok ke lorong sepi, tempat di mana mereka memarkirkan kendaraan. Dengan gerakan cepat dan pelan, Cliff mengeluarkan sapu tangan yang sudah disemprot cairan bius, kemudian menyekap pria itu hingga tak sadarkan diri.
Mereka bergegas memasukkan Gerard ke mobil, lalu membawanya ke pondok tua tempat dulu Salazar tinggal. Sekarang, rumah itu menjadi tempat di mana mereka bebas melakukan setiap pembunuhan. Tempat itu pulalah yang mengawali semua barisan pembunuhan yang menjadi kegemaran mereka. Tempat itu adalah ... tempat rahasia mereka.
Cliff dan Mors meletakkan pria tua itu di atas meja operasi, lalu mengikat kedua tangan dan kaki di tempat yang seharusnya. Sebentar lagi, pria itu akan sadar. Tepat di saat itulah, Cliff dan Mors mulai melakukan kegemaran mereka.
Mereka menunggu dan menunggu tanpa jengah sedikit pun dalam keheningan yang mampu membuat manusia mana pun betah, hingga akhirnya mata Gerard mengerjap lemah. Pria itu berusaha menggerakkan kaki dan tangan. Namun, saat menyadari bahwa dirinya sudah terperangkap, pria itu pun langsung membuka matanya lebar-lebar dan terkejut menatap keberadaan Cliff.
“D-di mana aku? Lepaskan! Kau tidak tahu siapa aku!” teriak pria itu ketakutan sembari meronta, berusaha melepaskan diri dari ikatan. Namun itu tidaklah mungkin, karena ikatannya begitu kuat.
“Tentu saja kami tahu,” jawab Mors dengan seringai geli sembari menatap pria tua itu layaknya tontonan yang seru.
“Kalau begitu, lepaskan!” perintah Gerard tegas.
“Nope! Kau tak layak hidup. Kau akan jadi mainan kami,” sahut Mors santai sebelum tertawa cekikikan. Tawa yang membuat siapa pun akan bergidik ketakutan.
“J-jangan! L-lepaskan aku! Aku ... aku akan membayar sepuluh kali lipat dari yang mereka berikan,” ujar pria itu gelagapan, masih berusaha bernegosiasi. Akan tetapi, Cliff tidak butuh negosiasi.
Dengan gerakan cepat dan tepat, Cliff meremas rambut pria itu, lalu menekankan bilah tajam pisau ke leher yang terbuka bebas untuknya. Sayatan yang dalam dan sempurna, yang digerakkan dengan kekuatan dan tekanan yang tepat, memotong setiap saraf serta urat nadi pria itu dalam satu gerakan.
“Tidak ada seorang pun bisa lepas dari Cliff,” ucapnya tipis dan tegas seraya melepaskan cengkeraman dari rambut Gerard, lalu mengempaskan kepala itu bak benda yang tidak berharga. Mors tertawa kuat dan bahagia, sementara Cliff terus menatap korbannya dengan tarikan napas lega dan rasa puas yang menyenangkan.
Beberapa saat kemudian, tubuh yang menggelepar itu pun berhenti bergerak. Wajah pucat dengan mata terbelalak dan mulut terbuka lebar, menunjukkan bahwa pria itu sudah meninggal. Darah yang masih mengalir, mereka biarkan jatuh ke dalam wadah yang memang sudah Cliff siapkan sebelumnya. Dengan sabar, mereka menunggu dan menunggu hingga akhirnya darah itu berhenti menetes.
Cliff bergerak dan berlutut di dekat wadah berisi darah. Ia mencelupkan tangan ke dalam wadah, lalu menadah darah tersebut dalam tungkupan tangan, kemudian menghirup aromanya dalam-dalam. Aroma yang membawanya kembali ke saat di mana darah Salazar membasahi wajahnya. Aroma yang membuatnya melayang bahagia, gembira, dan puas. Setelah beberapa saat menikmati sensasi bahagia tersebut, Cliff berdiri dan menatap korbannya.
“Kau senang?” tanya Mors santai.
“Tentu saja,” jawab Cliff tenang, “kau?”
“Luar biasa senang,” sahut Mors dengan seringai sinis yang menakutkan. Cliff mulai melepaskan pengikat di tangan dan kaki pria tua itu, lalu memotong jari manis yang masih mengenakan cincin pernikahan sebagai bukti bahwa pria itu sudah mati, sesuai dengan permintaan si pelanggan.
Cliff memasukkan jari manis tersebut ke dalam plastik penyimpanan, lalu meletakkannya di kotak pendingin berisi balok-balok es kecil. Setelah itu, ia mengeluarkan ponsel, mengambil beberapa foto sebagai bukti, lalu memasukkan tubuh tak bernyawa itu ke dalam mesin resomasi yang sudah ia nyalakan sedari tadi.
Mudah, cepat, dan bersih. Resomasi adalah cara yang ia pilih untuk menghapus setiap jejak korbannya. Tubuh korbannya akan mencair bak larutan, lalu mengalir ke saluran pembuangan. Sementara itu, tulang-tulangnya akan berubah menjadi abu. Tidak ingin dipersulit dengan abu para korbannya, Cliff akan mencampurkan abu-abu tersebut dengan tanah, lalu meletakkannya begitu saja di pekarangan.
Tanpa membersihkan tangannya terlebih dahulu, Cliff mengusap wajahnya dengan darah. Cliff menginginkan aroma darah itu mengisi penciumannya selama yang ia inginkan. Ia berdiri menatap mesin resomasi dengan seringai gembira. Masa pelarutan tubuh itu bisa memakan waktu paling lama 3 jam tergantung kondisi tubuh si korban.
Mudah, cepat, dan bersih. Itulah keunggulan yang mereka miliki setiap kali melaksanakan pembunuhan. Keunggulan yang membuat Cliff dan Mors tak pernah tersentuh oleh para penegak hukum.
Demi mengisi waktu kosong, Cliff melangkah ke dapur untuk membuat kopi. Setelah itu, mereka duduk di sofa seraya menonton TV ditemani kopi hitam kesukaan mereka. Kopi hitam pekat yang melambangkan hitamnya jiwa mereka.
*****
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
