Beautiful Madness (21+) - BAB 1 - BAB 2

92
1
Deskripsi

WARNING 21+!! 

(Cerita ini mengandung unsur adegan dewasa, kekerasan, dan kata-kata yang tidak diperuntukkan untuk anak di bawah umur. Harap kebijakannya dalam membaca.)

*****

Clara Athalita akhirnya berhasil bekerja di perusahaan yang sudah ia incar sejak lama, Golden Enterprise. Gaji yang besar, itulah tujuannya. Namun, gaji besar sebanding dengan tantangan yang harus ia hadapi. Clara harus rela bekerja pada seorang CEO yang sangat menyebalkan, dingin, otoriter, dan ... gila seks!

Terpaksa. Jika bukan...

BAB 1

“Semangat, cerdas, cekatan, loyalitas.”

Clara mengulang kata-kata itu di depan cermin layaknya barisan mantra sembari memerhatikan penampilannya. Tank top putih yang ditutupi blazer biru dengan rok mini hitam, membuat Clara terlihat sangat sempurna. Rambutnya yang hitam dibiarkan terurai dengan gelombang kecil di bagian bawah. 

Sebagai seorang sekretaris, barisan kata-kata itu layaknya pedoman hidup. Terutama untuk pagi ini, karena tepat pukul 10, ia akan bertemu dengan kepala HRD sebuah perusahaan yang sudah ia incar. Menurut rumor yang ia dengar, perusahaan itu berani memberikan gaji besar, bahkan mungkin tiga kali lipat dari yang ia terima di perusahaan lama.

Ya, memang itulah tujuannya. Gaji besar. Selama ini, Clara berusaha menabung dari gajinya yang kecil. Bahkan, ia harus kerja part time di malam hari sebagai seorang Sales Promotion Girls salah satu brand minuman keras ternama demi menambah tabungannya meskipun tidak seberapa.

Gila kerja? Bukan. Clara bukan orang yang gila kerja. Ia melakukan semua itu agar bisa merealisasikan janjinya pada almarhum ayah. Sebuah janji yang kemungkinan besar dapat mengubah jalan hidupnya. Sebuah janji yang membutuhkan biaya sangat besar. 

Lirikan sekilas ke jam dinding, membuat Clara bergegas duduk di pinggir tempat tidur, mengenakan heels hitam kesayangannya, lalu menyambar tas kerja yang sudah ia siapkan sejak semalam. Tingkat kepercayaan dirinya hari ini berada di level tertinggi. Clara yakin kalau ia bisa menjalani hari ini dengan lancar dan tiba tepat waktu. 

Dengan langkah pasti diiringi doa dalam hati, Clara keluar dari apartemen kecilnya dan berjalan menuju lift. Petugas keamanan apartemen menyapanya dengan senyum hangat saat ia keluar dari lift dan bergegas menuju pintu utama. Barisan taksi yang selalu tersedia di luar pagar apartemen, menjadi penyelamatnya setiap kali ia harus dikejar waktu, bahkan ketika ia terlambat bangun.

Kelemahan Clara yang pertama, tidak bisa on time jika tergesa-gesa. Ada saja yang membuatnya terlambat. Ia memang belum secekatan yang ia harapkan, tapi Clara selalu berusaha untuk terus memperbaiki diri. Meskipun sesekali—kelemahan Clara yang kedua—sikap cerobohnya muncul setiap kali terburu-buru, tapi untuk hari ini Clara sudah mengantisipasinya. Ia bangun jam 5 pagi, membereskan apartemennya yang tidak terlalu besar, lalu berangkat ke tempat wawancara pukul setengah sembilan pagi.

Clara membuka pintu penumpang, memberikan alamat kepada sopir taksi, dan mereka pun segera berangkat menuju kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Perjalanannya sangat lancar, tak ada kemacetan yang cukup berarti. Dewi Fortuna benar-benar sedang berpihak padanya. Tapi benar kata orang, tidak semua yang kita rencanakan selalu sesuai dengan apa yang kita inginkan. 

Rasa senang, senyum mengembang, dan percaya dirinya langsung berganti menjadi kegelisahan saat melihat barisan mobil yang berhenti tepat di depannya. Clara mencoba untuk bersabar dan menunggu, berharap kemacetan itu segera berakhir. Setengah jam berlalu, tapi taksi yang ia tumpangi hanya bergerak beberapa meter dari tempat terakhir kali mereka berhenti. Clara melirik sekilas ke jam tangan yang menunjukkan pukul sepuluh kurang tiga puluh menit, dan rasa panik langsung menyerangnya. 

Clara memutuskan untuk membayar taksi, turun di tengah jalan, lalu berdiri di tepi trotoar, dan berharap ada ojek yang sedang menganggur. Sekali lagi harapannya pupus. Semua ojek yang lewat di hadapannya sudah mengangkut penumpangnya masing-masing. Terbersit di pikirannya untuk berjalan kaki ke perusahaan tersebut. Clara mulai memperhitungkan jarak yang akan ia tempuh dalam waktu lima belas menit. 

Akhirnya, ia memutuskan untuk berjalan di bawah sinar matahari yang mulai menunjukkan kekuatannya. Clara mempercepat langkahnya meskipun kakinya terasa lelah dan keringat mulai mengucur di kening. Ia terus berjalan, tidak menghiraukan suara klakson mobil yang memekakkan telinga. Clara menoleh penasaran dan melihat kecelakaan yang menjadi sumber kemacetan. Karena terlalu serius memerhatikan, Clara tidak melihat sebuah lubang kecil yang langsung mematahkan tumit sepatunya. Shit!

Clara menggerutu kesal meratapi sepatu heels kesayangannya—satu-satunya sepatu mahal yang ia miliki—rusak akibat kecerobohannya sendiri. Ingin rasanya ia menangis dan mengurungkan niat untuk datang wawancara hari ini. Tapi, saat matanya menatap gedung perusahaan yang ia tuju, semangat dalam dirinya kembali bangkit meskipun hanya sedikit. 

Ia mulai mempercepat langkahnya dengan cara teraneh yang pernah ia lakukan. Setengah menyeret, setengah berjinjit. Dengan sisa semangat dalam dirinya, akhirnya Clara tiba di depan pos keamanan gedung. Clara mengatur napasnya yang terengah-engah, lalu tersenyum masam ke arah salah satu petugas keamanan yang menghampirinya.

Ternyata, Dewi Fortuna belum meninggalkannya. Clara menyeret langkahnya mengikuti petugas keamanan yang menawarkan bantuan padanya. Setelah merekatkan tumit sepatunya, pria itu menyuruh Clara untuk menunggu beberapa saat sampai lem benar-benar kering dan terekat sempurna. Tapi, waktu yang Clara miliki tinggal sedikit. Ia bergegas mengenakan sepatu dan pamit tanpa menghiraukan peringatan petugas.

Lima menit lagi wawancara akan dimulai dan ia akan mempertaruhkan apa pun supaya bisa tiba tepat waktu. Ini adalah penentuan masa depannya, dan Clara berjanji tidak akan mengacaukannya kali ini. Setelah menukarkan kartu identitas dengan kartu pengunjung, Clara berdiri di salah satu pintu lift yang berada di antara jejeran lima pintu lainnya di tembok kokoh berlapis marmer berwarna putih gading.

Setelah pintu lift terbuka, ia pun masuk, menekan angka 8, dan berdiri di pojokkan. Beberapa orang masuk dan memenuhi ruang kecil itu hingga Clara, yang tubuhnya tidak terlalu besar, jadi terimpit dan tersudutkan. Lift mulai bergerak cepat, sementara mata Clara tertuju pada layar angka. Dua kali pintu lift terbuka dan beberapa orang mulai keluar, membuat ruangan terasa lebih lega. Tak lama kemudian angka 8 muncul di layar, ia pun bergegas keluar.

Meja resepsionis berbentuk setengah lingkaran yang terbuat dari kayu jati dan terpelitur indah, memberikan kesan mengkilap dan mewah. ‘GOLDEN ENTERPRISE’Tulisan itu terpampang jelas di dinding. Logo ‘G’ keemasan menghiasi dinding dan seragam resepsionis. Dua wanita, yang duduk di belakang meja, terlihat sibuk dengan telepon yang menempel di telinga dan jemari yang menari di atas keyboard.

“Permisi,” sapa Clara, berusaha menyita perhatian para wanita itu, tapi sepertinya mereka tidak peduli. Clara tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Ia langsung menutup layar komputer yang sedang ditatap oleh salah satu resepsionis dengan tangannya. 

“Maaf, saya mau wawancara dengan Ibu Yona,” kata Clara sedikit tegas, berhasil mendapatkan perhatian si resepsionis yang menatapnya dengan ekspresi datar.

“Lorong sebelah kanan, pintu ke tiga. Langsung masuk saja, Mbak,” terang wanita itu formal seperti sebuah rekaman yang sudah sering kali diputar. Clara tersenyum, namun wanita itu segera mengalihkan pandangan ke layar komputer. Tanpa memedulikan sikap dingin itu, Clara berjalan sesuai petunjuk. Ia berjalan menuju lorong yang ada di sebelah kanannya, lalu berhenti di antara dua pintu. 

“Yang ini atau yang itu, ya?” tanya Clara pada dirinya sendiri.

Kelemahannya satu lagi, ia sangat pelupa. Itulah yang membuatnya selalu jadi bahan guyonan bagi teman-teman di kantornya dulu. Dengan rasa percaya diri tinggi, Clara memutuskan untuk membuka pintu yang ada di sebelah kirinya. Ia mengintip dari balik pintu dan menemukan sebuah ruangan berwarna salmon. Terdapat sebuah meja kosong dengan layar komputer di atasnya. Berharap memilih pintu yang benar, Clara pun melangkah masuk. 

“Orang tadi cuma bilang ‘masuk saja’, tapi kenapa di sini tidak ada siapa-siapa?” gumam Clara bingung. Ia menutup pintu dengan pandangan tertuju pada pintu lain yang berada di ruangan itu. Ia ragu, namun karena waktu wawancaranya sudah lewat beberapa menit akhirnya ia melangkah, lalu mengetuknya. 

Setelah tiga ketukan dan tak terdengar sahutan dari balik pintu, rasa ragu kembali muncul. Clara melangkah mundur satu langkah. Ia menatap gagang pintu dengan penuh pertimbangan. Diliriknya jam tangan yang sudah menunjukkan pukul sepuluh lewat sepuluh menit. Akhirnya, ia membuka pintu, melangkah masuk, dan tercengang melihat apa yang ada di hadapannya saat ini.

Seorang wanita berambut merah panjang membelakanginya sembari duduk di pangkuan seseorang. Sebuah tangan kekar memeluk tubuh wanita itu, sementara tangan yang lain mencengkeram pinggulnya, seakan membantu tubuh itu bergerak naik-turun. Desahan dan erangan nikmat mengisi ruangan. 

Inilah kelemahan Clara yang paling memalukan. Ia akan terdiam bak patung setiap kali terkejut setengah mati. Wanita itu bergerak liar dan sesekali mengibaskan rambut ke belakang. Ia tidak tahu apakah ia menikmati adegan tersebut. Yang pasti saat ini matanya terasa panas, jantungnya berdebar cepat, dan—percaya atau tidak—gairah liar yang tak pernah ia rasakan mulai membuat tubuhnya gerah.

Gerakan cepat diiringi desahan yang semakin lama semakin kuat disertai lenguhan si pria, membuat Clara terpaku, membisu, dan kaku bak patung. Dalam hitungan detik, si wanita menjerit nikmat, namun si pria masih terus menggerakkan tubuh pasangannya. Tak lama kemudian, si pria mengerang nikmat saat mencapai puncak orgasmenya. 

Clara merasakan kewanitaannya yang mulai basah dan lembap. Adegan liar itu benar-benar membuatnya terangsang, dan ia sama sekali belum pernah merasa jantungnya berpacu secepat ini. Mata Clara masih terpaku pada si wanita, yang sedang merapikan pakaian dan menggulung rambut panjangnya, lalu turun dari pangkuan si pria. 

“Aaa!!” jerit wanita itu ketika menyadari kehadiran Clara. Ia tersentak kaget dan menyadari kebodohannya.

“M-maaf ... a-aku bukan ... ini ... aku tidak—“

“Keluar!” bentak pria itu serak dan tegas. Clara langsung berbalik, keluar dari ruangan itu, lalu melintasi ruangan berwarna salmon sambil berjalan cepat, hingga akhirnya ia tiba di lorong, dan bergegas menutup pintu di belakangnya.

“Ya, ampun! Aku salah ruangan!” histeris Clara terengah-engah dengan debaran jantung yang sangat cepat. Clara mencoba menenangkan diri sembari berusaha melupakan adegan tadi, tapi tidak bisa. Ia pernah menonton film-film dewasa, tapi tidak pernah menyangka akan melihatnya secara langsung. This is crazy! Bahkan desahan dan erangan itu masih terngiang di telinganya.

Beberapa saat kemudian, debaran jantungnya sudah kembali normal. Ia pun siap untuk mengikuti wawancara, yang merupakan tujuan utamanya ke tempat ini. Namun, deritan kecil dari pintu di belakangnya membuat Clara menoleh cepat dan mundur dua langkah sebelum pria dengan setelan jas mahal muncul di hadapannya. 

You again,” ucap pria itu sinis saat melihat Clara yang berdiri diam terpaku. Wanita yang tadi melakukan seks kilat dengan pria itu, muncul dari belakang dan melewati mereka begitu saja. Tanpa banyak bicara, pria itu kembali menghilang di balik pintu. Clara mencoba untuk tidak memedulikan sikap arogan tersebut, lalu berjalan menuju pintu yang seharusnya. Ia mengetuk pintu beberapa kali hingga akhirnya seorang wanita muda berparas ayu dengan tubuh lebih pendek darinya, menyambut kedatangan Clara. 

“Saya mau wawancara dengan Ibu Yona,” ucap Clara langsung.

Great! Ibu Yona sudah menunggumu dari tadi,” sambut wanita itu mempersilakannya masuk. Clara mengikuti langkah wanita itu sambil memerhatikan lima meja kerja yang penuh dengan berkas dan orang-orang yang tenggelam dalam tumpukan pekerjaan.

“Silakan masuk,” kata wanita itu saat membukakan pintu untuknya. Di dalam ruangan itu terdapat seorang wanita cantik berusia empat puluhan, tampak serius membaca berkas dalam map kuning.

“Clara, kan?” tanya wanita itu meliriknya sekilas lalu kembali membaca berkas.

“I-iya. Saya Clara,” jawabnya gugup.

“Silakan duduk,” perintah wanita itu sembari mengangguk kecil ke arah kursi di depan meja. Clara segera duduk, sementara si wanita masih terus membaca. Clara membaca papan nama di hadapannya. Yona Sabrina, Head of Human Resources. 

“Saya sudah membaca CV-mu,” ucap Ibu Yona setelah meletakkan map di meja, membuat Clara mengalihkan pandangannya ke wanita itu. 

“Untuk mengisi posisi ini, kami memang membutuhkan wanita seperti kamu. Berambut hitam panjang, tinggi sekitar 165 sentimeter, usia di atas dua puluh lima tahun, berparas cantik, berkulit putih, dan tubuh proporsional,” lanjut Ibu Yona tenang. Clara hanya diam mendengarkan meskipun sebenarnya ia bingung mengapa harus sedetail itu untuk menempati posisi sebagai sekretaris.

“Apa kamu sudah tahu berapa kisaran gaji yang akan kamu terima?” tanya Ibu Yona dengan tatapan yang seakan mengatakan ‘aku akan membayar mahal untuk tubuhmu’ diiringi senyum kecil. Sejujurnya Clara merasa ada yang aneh dengan senyum itu, namun ia segera mengusir perasaan buruknya dan terus menatap Ibu Yona yang sedari tadi memerhatikan dirinya. 

“Di sini kamu akan mendapatkan gaji tiga kali lipat bahkan empat kali dari gaji lamamu,” jelas Ibu Yona bangga.

Clara tidak tahu apa yang wanita itu banggakan, entah karena besarnya gaji yang akan ia terima, atau karena hal lain. Tapi, Clara tidak memungkiri bahwa Ibu Yona sudah melemparkan umpan empuk padanya, hingga secepat kilat kecurigaan Clara menghilang dan senyum lebar pun mulai menghiasi wajahnya. Gaji yang besar, hanya itu yang ada di pikirannya.

“Tapi, ada beberapa syarat dan perjanjian kerja yang harus kamu tanda tangani sebelum kamu bekerja di sini,” lanjut Ibu Yona, dan seketika itu pula senyum di wajah Clara membeku seperti senyum di patung-patung. 

Wanita itu mengeluarkan map merah dari laci meja, lalu menyodorkannya ke hadapan Clara. Namanya tertera jelas di map itu, ‘Clara Athalita’. Ia menatap Ibu Yona yang mengangkat salah satu alis yang terukir indah, seakan memberi isyarat padanya untuk membuka map. Clara membaca sekilas surat perjanjian kerja khusus yang harus ia tanda tangani. 

“Gajimu sekitar lima belas juta per bulan,” ucap Ibu Yona cepat, mengalihkan perhatian Clara yang hendak membaca isi kontrak, “di luar tunjangan lain seperti transport, pulsa, bahkan biaya sewa tempat tinggal kalau lokasimu cukup jauh dari kantor.”

Lima belas juta? Ya, Tuhan! Itu uang yang sangat banyak, batin Clara terlena. Ia mulai menghitung berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menabung agar rencananya bisa segera terlaksana.

“Silakan tanda tangan di sini,” pinta Ibu Yona sambil menunjuk ke garis panjang yang tertera nama jelasnya dan sebuah materai. Meskipun ragu pada awalnya, akhirnya ia menandatangani tanpa membaca isinya lagi. Clara menutup dan mengembalikan map kepada Ibu Yona, yang langsung memasukkannya ke laci meja.

“Kapan kamu bisa mulai bekerja?” tanya Ibu Yona padanya.

“Kapan saja, Bu. Saya sudah resign minggu lalu,” jawab Clara jujur. Terlalu jujur lebih tepatnya, yang membuat Ibu Yona tersenyum lebar.

“OK,” sahut Ibu Yona tenang, “apa kamu bawa semua berkas aslimu?” Clara mengangguk cepat, lalu mengeluarkan ijazah, surat pengalaman kerja, KTP, dan beberapa berkas pendukung lainnya, kemudian memberikannya pada Ibu Yona. 

“Saya akan menyimpan ijazahmu sampai masa kontrak kerja berakhir. Setelah menjadi karyawan tetap, saya akan mengembalikannya. Kamu juga akan mendapatkan salinan kontrak ini sebelum pulang nanti,” jelas Ibu Yona sambil menyerahkan sisa berkas pada Clara.

“Baiklah,” ucap Ibu Yona seraya beranjak dari kursi, “kita akan ke ruang kerjamu dan bertemu dengan atasanmu.” Ibu Yona bergegas menuju pintu tanpa menunggu Clara yang masih sibuk memasukkan berkas ke dalam tas.

Clara melangkah melintasi ruangan menuju pintu masuk tadi. Ibu Yona berbelok ke arah pintu tempat di mana ia salah masuk sebelumnya. Langkah Clara terhenti seketika. Rasa takut dan gugup mulai menyerangnya.

“Mari, ikuti saya,” ajak Ibu Yona cepat, tampak bingung melihat Clara yang terdiam kaku dengan raut ketakutan. Ibu Yona menekan tuas pintu, lalu membukanya.

“Ini adalah ruanganmu,” jelas Ibu Yona sambil terus melangkah masuk. Clara berjalan di belakang Ibu Yona dengan rasa melilit di perutnya. Ibu Yona segera mengetuk pintu yang lain, sementara Clara hanya bisa diam dengan debaran jantung yang semakin cepat dan napas sesak.

“Masuk!” perintah dari dalam.

Ibu Yona membuka pintu, sementara Clara hanya bisa tertunduk malu dan berjalan mengekor sambil terus bersembunyi di belakang Ibu Yona. Dalam setiap langkah gugupnya, Clara berharap agar pria itu tidak mengusirnya karena ia sangat membutuhkan pekerjaan ini.        

“Ini sekretaris yang baru, Mr. Golden,” kata Ibu Yona memperkenalkannya, “Clara Athalita.” 

Ibu Yona menoleh, lalu bergerak ke samping sambil mengerut bingung melihat dirinya yang bersembunyi di belakang wanita itu. 

“Clara, kamu akan menjadi sekretaris sekaligus asisten pribadi Mr. Golden. Beliau adalah CEO perusahaan ini,” jelas Ibu Yona formal. Clara mengangkat wajah perlahan, merasakan rona merah muda yang mulai mewarnai pipinya. Ia memberanikan diri untuk menatap pria itu yang ternyata sedang menatapnya dengan tatapan tajam, dingin, dan mengancam. 

Waktu seakan berhenti berputar, napasnya tercekat saat melihat senyuman kecil tersungging di ujung bibir pria itu. Bukan senyum menggoda, melainkan senyum tipis dan mengancam. Senyuman yang membuat bulu kuduknya berdiri.

*****

 

BAB 2

Jack Zaferino Golden.

Semua karyawan memanggilnya Mr. Golden dan mereka tahu betapa tegas serta arogan sikapnya kepada karyawan. Terbukti dari beberapa mantan sekretarisnya yang selalu kabur begitu saja tanpa kabar, bahkan hanya mampu bertahan paling lama satu bulan.

Jack juga terkenal sebagai bujangan kaya dan sukses. Jack menuangkan semua perhatian dan keahliannya untuk mengembangkan perusahaan yang diberikan papa padanya. Ia ingin membuktikan pada semua orang bahwa ia pantas menjadi CEO dari salah satu perusahaan pertambangan terbesar dan terkuat.

Di usianya yang ke 35 tahun dengan status lajang terkaya, membuatnya menjadi pria idaman para wanita. Postur tubuhnya yang tinggi dan terbentuk sempurna bak patung Yunani, membuat sifat dominannya begitu menonjol. Mata cokelat tua dan wajah tampan ia peroleh dari sang ayah, yang berdarah Australia. Sementara rambut hitam pekat dan kulit sedikit kecokelatan ia peroleh dari sang ibu yang berdarah Indonesia.

Jack menyadari bahwa kehadirannya bukan hanya mampu menarik perhatian, tapi juga gairah setiap wanita yang ada di dekatnya. Bahkan tanpa sengaja, ia pernah mendengar beberapa karyawan wanita membicarakan dirinya di ruang pantry. Mereka menggunakannya sebagai pelampiasan nafsu dalam mimpi terliar mereka. Jack berusaha tidak menggubris dan menganggap pembicaraan itu hanya candaan liar antar wanita, sampai akhirnya satu kejadian gila menghampirinya. Kejadian yang menjadi titik awal seks kilatnya.

Kejadian itu terjadi tepat enam bulan yang lalu. Seorang karyawan wanita masuk ke ruangannya sekitar pukul 19.30. Ia sedang sibuk mempelajari beberapa berkas penting dan sebagian besar karyawan serta sekretarisnya sudah pulang. Tanpa malu, wanita itu mengajaknya bercinta.

Jack menolak dengan sikap dingin, tapi wanita itu terus menggoda dan mulai melucuti pakaian, sementara ia hanya memerhatikan dan menunggu. Tanpa banyak bicara, wanita itu langsung duduk pangkuannya, telanjang. Jack berusaha untuk tidak terpancing, namun wanita itu menangkupkan tangan di kejantanan Jack, lalu membelai dan meremasnya dengan lembut. Kejantanannya merespons cepat, menuntut untuk dipuaskan.

Menyadari gairah dalam dirinya mulai bangkit, wanita itu menarik turun resleting celana, lalu mengulum kejantanannya dengan lihai. Gairah perlahan-lahan mulai mengendalikan dirinya. He loves sex dan selalu bangga dengan kekuatannya. Akhirnya, Jack menyambut godaan liar itu dengan senang hati. Mana ada kucing yang menolak ikan segar, bukan?

Mereka pun bercinta di atas meja kerjanya. Jack tidak lupa untuk mengenakan pengaman. Ia tidak ingin memiliki anak dari hasil seks kilatnya dengan wanita murahan. Tapi keesokan harinya, Jack terpaksa memecat wanita itu karena berani menggodanya tepat saat ia sedang berbicara dengan salah satu kolega via telepon, bahkan menceritakan tentang kejadian semalam pada para karyawan. 

Akhirnya, ia menyuruh petugas keamanan untuk mengeluarkan wanita itu dan memecatnya. Ia juga menyuruh pihak HRD dan pengacara andalnya untuk mengurus wanita itu. Sejak saat itu, rumor tentang ‘Mr. Golden yang suka bercinta dengan karyawan’ mulai tersebar. Berita pemecatan itu sudah diketahui oleh seluruh karyawan, namun tetap saja tidak menyurutkan gairah para karyawan wanita lainnya.

Sebagai seorang pria penikmat seks, tentu saja ia tidak ingin melewatkan kesempatan itu. Jack mulai menyuruh pengacaranya untuk membuat sebuah surat perjanjian yang akan ia berikan pada para wanita yang bersedia memuaskan nafsunya. Bukan hanya di kantor, tapi di mana pun ia inginkan. Para wanita itu sangat berguna baginya di kala ia suntuk.

Hanya seks, bukan bercinta. Ia tidak akan pernah bercinta, karena hatinya tertutup dari kata ‘cinta’. Jack berusaha untuk tetap di jalur aman, menjaga agar setiap seks kilatnya berjalan lancar tanpa gangguan. Sampai akhirnya, seorang  wanita masuk ke ruangannya.

Entah sengaja atau tidak, dengan wajah polos dan raut merah padam karena gairah, wanita itu menontonnya melakukan seks kilat dengan salah satu karyawatinya. Ia langsung mengusirnya dengan penuh amarah. Tapi tak disangka, wanita itu kembali berdiri di hadapannya dengan mata hitam pekat dan rona merah muda di pipi.

Clara Athalita, sekretaris barunya. Jack meneliti Clara mulai dari baju kerja yang tampak biasa dan murah, rambut hitam panjang yang tergerai, hingga wajah cantik yang terlihat segar tanpa riasan tebal. Jack mengunci tatapan Clara yang tampak gelisah. Ia tahu apa yang wanita itu pikir dan rasakan. Bahkan, ia tahu kalau Clara ingin sekali keluar dari ruangan ini sekarang juga.

“Clara akan mulai bekerja hari ini, Sir,” jelas Ibu Yona.

Jack memerhatikan raut penolakan di wajah Clara yang langsung menoleh dan menatap wajah Ibu Yona dengan mata terbelalak. Clara terlihat ingin mengucapkan kalimat penolakan, tapi sedetik kemudian bibir itu kembali terkatup rapat. Tanpa disadari, Jack menyunggingkan senyum kecil di ujung bibirnya, terutama saat Clara akhirnya menundukkan kepala tanda menyerah dan pasrah.

“Kau tahu apa yang harus kau lakukan,” ucap Jack datar pada Ibu Yona, yang langsung mengangguk pelan.

“Permisi, Sir,” pamit Ibu Yona, lalu berbalik dan melangkah menuju pintu. Clara, yang terlihat kebingungan, memilih untuk diam hingga Ibu Yona menarik tangan wanita itu. Akhirnya, mereka menghilang di balik pintu, dan Jack memutuskan kembali berkutat dengan pekerjaannya.

*****

“Masuk,” sahut Jack saat ketukan di pintu memecahkan konsentrasinya yang sedang mempelajari beberapa masalah di lapangan. Ibu Yona muncul dari balik pintu, lalu melangkah masuk dengan wajah datar seperti biasa. 

Pandangan Jack tertuju pada Clara yang berjalan di belakang Ibu Yona, terlihat sepeti wanita lemah dan pemalu. Jack menggemeretakkan gigi, lalu berdeham kecil, berusaha menenangkan dirinya. Jack yakin sekali kalau Clara tidak akan bertahan lama di sini. Maksimal seminggu, batinnya.

Ibu Yona menarik Clara ke samping. Clara sudah mengenakan seragam yang memang ia pesankan khusus untuk sekretarisnya. Jack sangat menjunjung tinggi kecantikan, keindahan, dan kesempurnaan. Mungkin lebih tepatnya, ia sangat menjunjung sensualitas seorang wanita. Mata Jack menilai penampilan Clara dari ujung rambut hingga ujung kaki, dan tentu saja wanita itu terlihat lebih berkelas dibanding sebelumnya.

Rok mini hitam melekuk sempurna di tempat yang pas, menampilkan paha Clara yang putih, mulus, dan bersih. Blazer hitam lengan pendek, yang didesain khusus sesuai permintaannya, membuat si pemakai tidak perlu mengenakan tank top di baliknya. Potongan kerah blazer yang cukup rendah dengan ruang terbuka di bagian tengah, membuat payudara itu terlihat menyembul seperti ingin tumpah. Logo ‘G’ keemasan, tersulam sempurna di bagian dada sebelah kiri. Sepasang heels hitam tertutup serta rambut hitam yang tergerai indah, membuat penampilan Clara tampak sempurna dan menggoda.

“Kamu akan menggunakan pakaian ini saat jam kerja. Setelah selesai, kamu boleh kembali mengenakan pakaianmu,” jelas Ibu Yona pada Clara yang tampak tidak nyaman dengan seragamnya. Sebuah anggukan kecil membuat Jack mengerutkan dahi. Ia tahu, Clara tidak menyukai seragam itu dan berniat pergi dari tempat ini tadi. Tapi, kenapa dia memaksakan diri untuk tetap bekerja di sini? pikir Jack penasaran.

“Saya pamit, Sir,” izin Ibu Yona sebelum meninggalkan mereka berdua. Ruangan terasa sunyi dan sepi. Jack menunggu reaksi Clara atau apalah namanya yang bisa menunjukkan kalau wanita itu siap bekerja untuknya. Tapi ia tidak suka menunggu, dan akhirnya mendengus kencang sebelum memajukan posisi duduknya. Clara terus tertunduk takut, tak berani menatapnya.

“Maju!” perintah Jack singkat dan datar.

Clara mengangkat wajahnya, tapi tidak bergerak sedikit pun. Jack mulai kehilangan kesabaran. Ia beranjak dari kursi, lalu menghampiri Clara. Mata hitam pekat itu mengikuti setiap pergerakan Jack yang berjalan memutar dan berhenti tepat di depan meja kerjanya. 

“Maju!” perintah Jack untuk yang kedua kali sambil mengarahkan telunjuk ke lantai tepat di depannya. Mata Jack tertuju pada kaki Clara yang bergetar ketakutan, ragu untuk bergerak. Beberapa detik kemudian, Clara mulai mengangkat sedikit tumitnya seperti ingin melangkah, tapi sedetik kemudian kakinya kembali diletakkan, dan tidak bergerak sedikit pun. Kesabarannya sudah habis. Ia menghampiri dan menarik tangan wanita itu. 

“Di sini!” geram Jack tegas. Rasanya ia ingin menggigit wanita itu saking gemasnya. Clara kembali menundukkan kepala, benar-benar tidak berani menatapnya. 

You enjoy it?” tanya Jack, mencoba membuat percakapan.

“Kamu suka melihat adegan tadi?” tanya Jack lagi, berusaha memperjelas pertanyaannya. Clara mengangkat wajah, lalu menatap Jack dengan mata terbelalak. Jack bisa melihat rona merah mudah yang begitu kontras di kulit putih itu. Ia juga memerhatikan Clara mulai menggosok-gosokkan ibu jari ke jari telunjuk, tampak gelisah dan gugup.

“Sudah baca kontrak kerjamu?” tanya Jack datar, melipat kedua tangan di depan dada. Clara mengangguk lemah dan ragu sesaat. Jack berdecak sinis, lalu mendengus kesal. Ia yakin sekali kalau Clara menandatangani surat perjanjian kontrak kerja tanpa membaca seluruh isinya. Tapi ia tidak peduli, yang ia butuhkan saat ini hanyalah seorang sekretaris yang bisa bekerja dengan cepat dan pintar.

Jack beranjak dari hadapan Clara, yang masih berdiri kaku, lalu membuka laci meja paling bawah, dan mengeluarkan dua map hitam. Ia membawa map itu ke hadapan Clara dan menyodorkannya begitu saja. Jack bisa melihat tangan Clara yang bergetar saat menerima map darinya. 

“Kerjakan. Saya tunggu hasilnya tepat jam dua siang!” perintah Jack tegas. Dengan langkah cepat, Clara berbalik dan menghilang di balik pintu. Jack menggeleng sambil tersenyum kecil melihat tingkah laku sekretaris barunya yang tampak gugup, ketakutan, dan pemalu.

*****

Clara berusaha keras menenangkan diri sembari menyalakan layar komputer. Ia mulai membuka kedua map hitam itu dan berniat mengerjakan tugasnya dengan cepat. Meskipun Clara belum bisa menghapus senyum tipis penuh ancaman itu dari dalam pikirannya, ia mencoba untuk tetap fokus dan mulai mempelajari isi kedua map tersebut. Di map pertama terdapat beberapa jadwal penerbangan, pertemuan, dan pesta relasi yang harus Mr. Golden hadiri. Semuanya berantakan dan ia harus merapikannya dengan cepat.

Ia beralih ke map kedua dan melihat beberapa lembar berisi data, laporan kinerja, nomor-nomor telepon penting, serta tumpukan surat yang masih berada dalam amplop. Clara mulai mengerjakan pekerjaannya satu per satu, dimulai dari menyusun jadwal pertemuan Mr. Golden. Setengah jam kemudian, jadwal-jadwal itu sudah tersusun rapi.

Matanya masih tertuju pada layar komputer dan melihat sebuah per-temuan yang harus Mr. Golden hadiri setelah jam makan siang di sebuah restoran. Clara memeriksa untuk yang kedua kalinya, namun tidak tertera dengan siapa dan di mana pertemuan itu diadakan. Tapi tulisan ‘PENTING!’ di kertas menunjukkan bahwa pertemuan ini merupakan top priority.

Clara menatap telepon yang ada di samping layar komputer sembari menenangkan jantungnya yang berdebar cepat saat membayangkan bagaimana sensasi suara Mr. Golden akan mengalun di telinganya. Akhirnya, ia mengangkat gagang telepon, melihat daftar urutan nomor yang tersemat di atas tombol-tombolnya, lalu menekan nomor yang menuju langsung ke ruangan Mr. Golden. Hanya sekali deringan dan pria itu langsung mengangkat teleponnya.

“Siang, Mr. Golden. Hari ini ada pertemuan setelah makan siang,” lapor Clara formal dan teratur.

OK.”

Hanya itu jawaban Mr. Golden yang langsung memutuskan pembicaraan. Clara kaget mendengar telepon yang terputus begitu saja, tapi ia berusaha menanggapinya dengan tenang. 

Hari ini benar-benar berjalan di luar dugaannya. Ia tidak menyangka akan memergoki Mr. Golden melakukan seks kilat. Ia juga tidak menyangka harus mengenakan seragam seseksi ini. Namun, yang membuatnya tidak tenang adalah pesona Mr. Golden yang begitu kuat. Bahkan, membayangkan wajahnya saja bisa membuat jantung Clara berdebar tidak karuan. 

Ia menunduk dan memerhatikan payudaranya yang tampak menantang. Clara tidak tahu apakah atasannya adalah seorang maniak seks atau pria penggoda, tapi ia tidak bisa leluasa bekerja jika harus mengenakan seragam seperti ini. Clara terkejut bukan main saat mendengar dering ponselnya yang tidak terlalu keras. 

Clara bergegas mengeluarkan ponsel dari tas dan melihat nama Tamara, sahabat terbaiknya. Ia mengenal Tamara saat bekerja di perusahaan yang sebelumnya. Tamara adalah asisten kepala keuangan, sementara dirinya menjabat sebagai sekretaris direktur. Tamara merupakan pribadi yang ceria dan supel, tapi sahabatnya ini selalu mengincar pria kaya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tidak seperti Clara yang cukup pemalu, Tamara selalu berani memancarkan aura sensualnya.

Tamara sangat cantik, bahkan terkadang ia ingin seperti wanita itu. Cantik dan mudah menaklukkan pria. Meskipun begitu, Tamara selalu menolak pria yang berusaha untuk melamar. Entah kenapa, Clara tidak pernah mencari tahu. Ia mengusap layar ponsel dan menjawab panggilan itu.

Gimana? Lu kapan mulai kerja?” tanya Tamara langsung tanpa menunggu sapaan dari Clara.

“Ini gue lagi kerja, Tam,” jawab Clara setengah berbisik.

ReallyWaw! Cepat banget,” sahut Tamara kaget, “gimana bos lu?

“Ya gitu, deh,” jawab Clara malas-malasan.

Kenapa? Pasti bos lu yang sekarang udah tua, ya?” ledek Tamara, “bener kan kata gue. Bos kita di sini tuh udah paling ganteng, tapi lu malah resign. Si tampan merana tuh ditinggal sama lu.” 

Clara mendengus geli saat mendengar kata 'tua'. Ia penasaran dengan reaksi sahabatnya itu kalau tahu sebenarnya ia memiliki atasan tertampan yang mungkin pernah dilihat oleh Tamara. 

“Tam, nanti gue telepon balik, ya. Gue langsung dikasih kerjaan banyak, nih,” gerutu Clara seraya menghentikan ocehan Tamara yang sangat ia rindukan.

Oh, OK. OK. Jam berapa lu pulang? Gue jemput, ya,” jawab Tamara sembari menawarkan tumpangan.

“Gue nggak tahu. Entar gue kabarin lagi, OK,” jawab Clara terburu-buru.

OK. Kabarin gue, ya,” pesan Tamara sebelum memutuskan pembicaraan mereka. Tepat saat Clara memasukkan kembali ponsel ke tas, pintu ruangan Mr. Golden pun terbuka. Pria itu berjalan cepat melintasi ruangan, melewati Clara begitu saja seakan ia tidak ada. 

Ia tidak pernah menerima perlakuan sedingin ini. Atasan Clara yang sebelumnya begitu hangat pada semua karyawan, berbeda sekali dengan Mr. Golden. Ia hanya bisa duduk terpaku menatap kepergian atasannya yang tampan. Pintu ruangan berdebam cukup kencang saat Mr. Golden menutupnya. Clara mengembuskan napas panjang dan bersandar pasrah di sandaran kursi. 

“Atasan gue tukang es!” gerutu Clara sebelum kembali melanjutkan pekerjaannya.

*****

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Beautiful Madness (21+) - BAB 3 - BAB 4
52
7
WARNING 21++ !! (Cerita ini mengandung unsur adegan dewasa, kekerasan, dan kata-kata yang tidak diperuntukkan untuk anak di bawah umur. Harap kebijakannya dalam membaca. Sadar diri, sadar umur.)
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan