A Struggle Heart (BAB 1-BAB 10)

18
6
Deskripsi

WARNING 21++ !!
(Cerita ini mengandung unsur adegan dewasa, kekerasan, dan kata-kata yang tidak diperuntukkan untuk anak di bawah umur. Harap kebijakannya dalam membaca.)

*****

Maira, seorang wanita yang sudah menjatuhkan pilihan dan memberikan seluruh cintanya pada Ben. Seorang pria yang sebentar lagi akan menjadi suaminya, menjadi satu-satunya pria dalam hidupnya. Ben adalah cinta pertamanya, dan ia yakin Ben akan jadi pria terakhir dalam hidupnya.

Hingga sebuah masalah dan rahasia, yang selama ini...

BAB 1

Angin pantai bertiup lembut menerpa wajah Maria. Bulan bersinar terang dan bintang-bintang berkerlip menghiasi langit. Malam ini, Ben mengajak Maira candle light dinner di salah satu restoran favorit mereka yang berada di area Pantai Carnaval Ancol. Bangunan khas Bali dan alunan musik dari Rindik Bambu, membuat suasana kental dengan nuansa Bali.

Ben memilih salah satu meja yang berada di pinggir pantai. Seperti biasa, Maira sengaja melepas sepatu kerja demi menikmati butiran pasir halus menyusup di antara jemari kakinya. Ombak yang pecah saat menyentuh bibir pantai, menghasilkan deburan halus yang mengisi indra pendengarannya. Sementara, pohon-pohon palem yang daunnya berayun lembut saat diterpa angin, seperti sedang menari gemulai.

Pantai. Ya, Maira sangat menyukai pantai. Debur ombak, kicau burung merdu, aroma laut yang khas, dan embusan angin menyentuh lembut wajahnya, selalu memberikan ketenangan tersendiri bagi Maira. Sembari menutup mata, Maira menarik napas dalam-dalam, membiarkan aroma laut memenuhi paru-parunya. Debur ombak yang lembut kembali terdengar ketika ia membuka mata dan menatap hangat pria yang saat ini duduk dihadapannya.

Malam ini, Ben tampil rapi dengan kemeja lengan pendek berwarna biru muda dengan corak garis-garis putih vertikal, serta celana bahan hitam yang membungkus kedua kakinya. Rambut pendek berponi yang selalu tersisir rapi, mempermanis wajah panjang berbentuk diamond itu. Mata Ben yang tidak terlalu sipit dengan iris cokelat gelap, dibingkai sempurna oleh alis tebal dan lurus. Bibir tipis yang tersenyum hangat padanya hampir sepanjang hari ini, membuat Maira terpesona sekaligus tersipu malu.

Mereka baru saja selesai menikmati makan malam. Mejanya pun sudah bersih dari piring kotor, hanya menyisakan dua gelas jus jeruk. Genggaman Ben di tangan kiri Maira terasa makin erat saat arah tatapan pria itu tertuju ke belakangnya.

"Selamat ulang tahun, Sayang," ucap Ben diiringi senyum ceria ketika seorang pelayan pria yang mengenakan pakaian adat Bali, muncul sembari membawa sebuah kue ulang tahun berbentuk lingkaran. Ia menatap haru kue mungil nan indah yang diletakkan tepat di hadapannya.

Beberapa lilin kecil yang menyala, mendominasi hampir seluruh permukaan kue. Ucapan 'Happy Birthday', yang terukir di lembaran cokelat putih berbentuk persegi panjang, disematkan tepat di depan lilin berangka tiga puluh. Setelah meletakkan kue, si pelayan pamit, lalu meninggalkan mereka.

"Oh, Ben, ini cantik sekali!" seru Maira, haru dan bahagia. Tatapan cinta Maira tertuju kepada Ben, begitu juga sebaliknya.

"Make a wish, Sayang," ucap Ben lembut. Tanpa menunggu lama, Maira langsung menutup mata dan berdoa dalam hati.

'Tuhan, jaga selalu hubunganku dan Ben. Berkati setiap rencana kami. Jagalah selalu cinta di hati kami, supaya kami bisa melanjutkan hubungan ini ke arah yang lebih serius. Amin.'

Setelah selesai berdoa, Maira langsung meniup lilin-lilin di atas kue. Senyum yang menghiasi wajah manis Ben, kembali membuat Maira tersipu. Dengan sikap tenang, Ben memberikan pisau kecil kepadanya, dan ia pun segera mengarahkan benda tersebut ke kue.

Senyum bahagia yang menghiasi wajah Maira saat menekan pisau di permukaan kue, hilang  dalam sekejap ketika potongannya hampir menyentuh dasar. Ia merasakan sesuatu menahan pergerakan pisaunya. Dengan cepat, Maira mengangkat matanya yang terbelalak ke Ben, yang malah tersenyum penuh arti padanya.

Anggukan lembut yang Ben berikan, seolah-olah menjawab tatapan kaget Maira. Masih dalam keadaan terkejut, Maira kembali menatap kue ulang tahun sembari mencoba menenangkan jantungnya yang berdebar histeris karena gembira. Perut Maira bergejolak gugup saat ia memutuskan untuk menarik keluar pisau dari dalam kue, lalu meletakkannya di meja. Tanpa berlama-lama, Maira langsung menusukkan jari telunjuk ke tempat di mana benda itu berada.

Napas Maira tercekat saat ujung jarinya menyentuh benda logam berbentuk lingkaran. Ia kembali melemparkan tatapan tak percaya bercampur haru pada Ben. Seolah-olah mengerti isi pikiran Maira, pria itu hanya tersenyum kecil sembari memasang raut tenang, sebelum akhirnya mengangguk lembut untuk yang kedua kali.

Oh, Tuhan! Secepat inikah Engkau mengabulkan doaku? batin Maira, tercengang dengan keajaiban doa. Perlahan namun pasti, Maira menarik keluar benda itu, lalu meletakkannya di telapak tangan. Ia bisa merasakan tangannya bergetar lemah karena luapan bahagia yang begitu membuncah di dada. Air mata pun menggenang melihat benda mungil yang masih berlumuran krim putih.

Ben beranjak dari kursi, lalu mengambil cincin dari tangan Maira, kemudian membersihkannya dengan tisu. Maira terus mengunci pergerakan Ben seolah-olah pria itu adalah malaikat yang datang untuk mengabulkan doanya. Ben mengeluarkan kotak kecil hitam dari saku celana, kemudian menyematkan cincin di bantalannya, sebelum akhirnya berlutut seraya mengangkat kotak yang terbuka, memamerkan cincin indah bermahkotakan berlian.

Cahaya kuning hangat yang berasal dari lilin, membuat cincin berkilau indah. Tak terasa, air mata haru menetes membasahi pipi Maira. Ia sama sekali tak menyangka mimpinya akan terwujud hari ini.

"Maira, tiga tahun sudah kita menjalani hubungan dan saling mengenal. Kurasa, sudah saatnya kita melanjutkan hubungan ke arah yang lebih serius. Karena itu, tepat di hari ulang tahunmu ini, aku ingin memberikan kado terindah untuk kamu, Sayang," ungkap Ben lancar, disertai tatapan dalam dan penuh cinta. Maira, yang masih tersihir oleh sikap romantis Ben yang memabukkan, hanya bisa diam terharu sembari menyimpan setiap detik kejadian ini di benaknya.

"Maira Evangeline, maukah kamu menikah denganku? Menjadi istri dan satu-satunya wanita terakhir dalam hidupku?" lamar Ben sungguh-sungguh. Pertanyaan itu menyadarkan Maira dari sikap diamnya. Ia menatap dalam-dalam mata indah yang selalu menatapnya dengan penuh cinta. Jujur, Maira masih belum percaya kalau mimpi dan doanya akan terjawab tepat di ulang tahunnya kali ini.

"Ya, aku mau, Ben," jawab Maira, tanpa perlu berpikir panjang. Suaranya tercekat, menahan tangis. Rasa haru yang menyelimuti dada, membuat napas Maira sesak namun bahagia.

Ben menyematkan cincin di jari manis Maira, lalu mengecup lembut jemarinya. Setelah memasukkan kotak ke saku celana, Ben segera berdiri, lalu membungkuk untuk mendaratkan ciuman singkat nan hangat di bibir Maira. Debur ombak serta tepuk tangan beberapa orang yang sedari tadi memerhatikan mereka, memeriahkan lamaran romantis yang Ben berikan padanya malam ini. Maira dan Ben menoleh ke arah orang-orang yang bertepuk tangan seraya memberi selamat, lalu tersenyum hangat dan mengangguk lembut, tanda terima kasih.

"Terima kasih, Ben. Kamu adalah hadiah terindah untukku."

Kebahagiaan terpancar jelas di wajah Maira. Ben kembali menggenggam tangan Maira, lalu mengusap lembut cincin di jari manisnya. Mata mereka saling mengunci, memancarkan besarnya cinta yang mereka miliki satu sama lain.

"Tidak, Maira. Kamulah hadiah terindah dalam hidupku," balas Ben sebelum mendaratkan kecupan hangat di punggung tangan Maira. Ia pun terenyuh melihat kesungguhan Ben.

"Terima kasih, Ben," ucap Maira untuk yang kedua kali, tanpa mengurangi rasa syukurnya.

"I love you, Maira," ungkap Ben tulus.

"I love you, too, Ben," balas Maira, sama tulusnya.

 

∞∞∞∞∞

 

"Are you happy, Maira?" tanya Ben setelah mobil berhenti di depan gerbang rumah Maira. Malam makin larut dan rasa lelah mulai menyerang tubuhnya. Perasaan bahagia masih menyelimuti, bahkan Maira masih bisa mengingat detik-detik saat Ben melamarnya.

"Happy? I feel blessed, Ben. This is the best birthday ever!" seru Maira dengan binar mata bahagia. Maira mengusap lembut pipi Ben, sementara mata mereka saling mengunci. Ben menarik turun tangan Maira dari pipi hanya untuk membelai cincin indah yang melingkar di jari manisnya.

Tatapan cinta yang tak pernah hilang dari mata Maira, menunjukkan betapa besar rasa syukurnya. Ben mulai mengunci tatapan Maira, lalu menyunggingkan senyum kecil. Perlahan-lahan, raut pria itu berubah menjadi sedikit kaku, sementara tatapannya mulai menggelap. Maira tercekat menangkap kilat gairah liar yang terpancar jelas di mata Ben.

Wajah Ben mulai bergerak mendekat, lalu mendaratkan beberapa kecupan ringan di bibir Maira. Rasa kaget yang menyerangnya akibat sorot mata Ben yang penuh gairah, berangsur-angsur menghilang. Matanya pun terpejam, pasrah akan rasa cintanya pada Ben, dan mulai menikmati kecupan itu.

Lambat laun, kecupan Ben berubah jadi ciuman lembut nan hangat. Maira, yang makin tenggelam dalam ciuman penuh cinta yang Ben berikan, mulai menyambut dengan sebaik mungkin. Bulu kuduk Maira pun meremang seketika saat Ben membelai tengkuknya, sementara tangan yang lain mulai melingkar di pinggang Maira, dan menariknya mendekat.

Kedua tangan Maira mengusap dada Ben dengan lembut sembari terus menikmati ciuman lembut penuh cinta yang pria itu berikan padanya. Pelukan Ben yang makin erat, membuat tubuh mereka makin menempel. Namun tiba-tiba, ciuman itu berubah jadi penuh gairah. Bibir Ben yang begitu menuntut dan rakus, membuat Maira kesulitan bernapas. Bahkan, ia bisa merasakan cepatnya debaran jantung Ben di bawah telapak tangannya.

Maira menyambut ciuman Ben sembari mengerut bingung. Meskipun begitu, sebisa mungkin ia mencoba beradaptasi dengan gaya ciuman itu. Namun, saat lidah Ben mulai bergerak masuk dan menjelajahi bagian dalam mulutnya, seketika itu pula Maira melepaskan tautan bibir mereka, lalu mendorong dada Ben agar menjauh.

Napas mereka yang terengah-engah, mengisi suasana mobil yang sepi. Gaya ciuman yang baru dan penuh gairah itu bukannya terasa menyenangkan bagi Maira, tetapi malah membuatnya ketakutan. Maira yakin, Ben pasti bisa menangkap rasa takut yang terpancar jelas baik di wajah maupun matanya. Ia benar-benar  tidak tahu apa yang merasuki Ben hingga menciumnya seperti itu. Namun, sorot mata Ben menunjukkan betapa pria itu menyesali perbuatannya.

"Ben?" panggil Maira parau, berniat memprotes ciuman itu. Jantung yang berdebar cepat, memompa rasa takut Maira makin besar.

Sejujurnya, Maira tidak mengerti dengan perasaannya sendiri setelah menerima ciuman penuh gairah itu. Ia tahu, Ben akan menjadi suaminya. Ia juga sangat mencintai Ben dengan sepenuh hati. Namun, sesuatu dalam dirinya seakan-akan menolak gairah yang berusaha pria itu tunjukkan. Sesuatu ..., yang membuatnya ragu.

"Ada apa denganmu, Ben? K-kenapa kamu menciumku seperti itu?" tanya Maira, masih terengah-engah. Maira berusaha menekan keraguannya. Tarikan napas panjang serta embusan cepat, beberapa kali ia lakukan demi mengembalikan akal sehatnya.

"Maafkan aku, Sayang. A-aku terlalu terbawa suasana. Karena kamu menerima lamaranku, aku ..., aku jadi nggak bisa mengendalikan perasaan bahagiaku ini. Kumohon, maafkan aku, Maira," sesal Ben dengan raut panik dan ketakutan. Menyadari betapa besar penyesalan yang pria itu tunjukkan, keraguan yang sebelumnya sempat hinggap pun perlahan-lahan lenyap dari benak Maira.

Dengan raut memelas, Ben menggenggam kedua tangan Maira erat-erat. Sejenak, ia menatap wajah manis yang mampu meluluhkannya dalam sekejap. Dan akhirnya, senyum tulus pun menghiasi wajah Maira. Ia melepaskan salah satu tangan dari genggaman Ben, lalu mengusap lembut pipi pria itu, berniat menghapus raut bersalahnya.

"Aku juga sangat bahagia, Ben," balas Maira sebelum mengecup pipi Ben. Senyum kecil mulai menghiasi wajah Ben, dan kelegaan pun terpancar jelas di mata indahnya. Kali ini, Ben hanya mendaratkan kecupan ringan di bibir Maira sebelum ia turun dari mobil. Dengan senyum kecil, Maira memperhatikan mobil itu melesat pergi dari hadapannya, sebelum ia mengunci gerbang dan berbalik menuju pintu rumah.

Setibanya di kamar, Maira meletakkan tas kerja di meja rias. Ia berdiri sejenak di depan cermin, menatap pantulan dirinya sembari mengingat ciuman Ben yang rakus dan penuh gairah. Untuk kedua kalinya, rasa takut itu hinggap dan menyelimuti hingga napas Maira terasa berat dan sesak. Sensasi saat lidah Ben yang mulai berani menyelinap ke dalam mulutnya, kembali terasa dan menimbulkan keraguan besar yang membuat Maira bingung akan dirinya sendiri.

Maira menghela napas panjang sebelum berbalik dan duduk di pinggir tempat tidur. Pandangannya terpaku pada cincin indah yang melingkar di jari manis, dan demi menghilangkan keraguan itu, Maira mengulang detik-detik saat Ben berlutut dan melamar dengan tatapan penuh cinta. Seketika itu pula, keraguannya menghilang.

Terima kasih, Tuhan. Engkau sudah mengabulkan doa dan harapanku. Engkau membuat hidupku begitu indah dan bahagia. Teguhkanlah hatiku, ya, Tuhan. Ini akan menjadi langkah baru bagi hubungan kami. Sertailah selalu rencana yang kami susun ke depannya, Tuhan. Amin, doa syukur Maira dalam hati, lalu mengecup cincin itu dengan lembut, kemudian mengembuskan napas lega. Sesaat kemudian, senyum kecil menghiasi wajah Maira. Kebahagiaan dan kedamaian pun mulai melingkupi dirinya. Malam ini aku pasti mimpi indah.

 

∞∞∞∞∞

 

"Pagi semua!" sapa Maira riang ketika memasuki ruang kerja.

"Pagi, Ra!" sahut Desi.

"Pagi, Say!" balas Sasha.

Dengan wajah berseri-seri, Maira meletakkan tas di meja kerja, lalu mengeluarkan laptop dari tas, menyalakannya, kemudian duduk di kursi. Sembari menunggu laptopnya siap, Maira tenggelam sejenak dalam kilasan lamaran kemarin malam sehingga tak memperhatikan Desi dan Sasha yang berjalan ke arahnya sambil membawa kue ulang tahun serta beberapa piring kecil di tangan mereka masing-masing.

"SELAMAT ULANG TAHUN, MAIRA!" teriak Sasha dan Desi kencang disertai senyum ceria. Maira, yang terkejut bukan main, refleks menutup telinga akibat pekikan suara yang begitu memekakkan. Sasha meletakkan kue ulang tahun di hadapan Maira, yang segera menjauhkan tangan dari telinga disertai gelengan kecil dan senyum bahagia.

"Maaf, ya. Kami baru bisa kasih kue hari ini. Kemarin lu sibuk banget, sih," ujar Sasha santai.

"It's OK, Sha. 'Kan kemarin gue meeting sama Meganza Media," jelas Maira disertai senyum bahagia, "by the way, tahun ini mereka bakalan ngadain gathering besar-besaran."

"Sudah, sudah! Tiup lilin dulu, biar kita bisa makan kuenya. Gue lapar. Belum sarapan, nih!" sela Desi memotong pembicaraan itu, tampak tidak sabaran.

"Jangan lupa make a wish," lanjut Desi riang. Maira pun langsung meniup lilin setelah berdoa sejenak.

"SELAMAT ULANG TAHUN!" teriak Sasha dan Desi lagi dengan kegembiraan yang selalu meramaikan hari-harinya. Maira tersenyum melihat tingkah laku kedua sahabatnya, lalu mengambil pisau yang diletakkan tepat di samping kue, dan memotongnya. Secepat kilat, Desi menyambar piring pemberian Maira, lalu melahap kuenya.

"Ya, ampun, Des! Nggak segitunya juga kali," tegur Sasha disertai lirikan kesal, lalu mengambil sepiring kue dari Maira. Sasha tidak mau kalah aksi dengan Desi. Kedua sahabatnya bertingkah bak dua anak kecil yang sedang berlomba menghabiskan kue masing-masing. Sementara, Maira menyantap kue sambil tersenyum geli melihat tingkah mereka.

Desi dan Sasha adalah dua orang yang selalu mengisi hari-harinya selain Ben. Mereka adalah orang yang sangat penting dalam hidupnya. Mereka bertiga bertemu saat masih kuliah. Desi  merupakan sosok wanita  dewasa yang agak cuek, cerewet, dan mandiri, meskipun kadang bisa menjadi orang yang sangat pemalu. Sahabatnya ini sangat teliti dalam setiap pekerjaan dan senyuman Desi mampu membuat pria mana pun terpesona.

Sedangkan Sasha sangat berbeda dengan Desi. Sifat supel dan periangnya membuat wanita itu menjadi incaran setiap pria lajang di sekitarnya. Namun, bukan Sasha namanya jika dengan mudah tunduk pada seorang pria. Sasha memiliki moto yang selalu dipegang dalam hidupnya. NO TIME FOR A MAN.

Sasha tidak terlalu memikirkan hal yang berhubungan dengan pria. Baginya, hidup tanpa pria benar-benar tenang, tanpa beban, dan tidak menghambat dirinya untuk mengepakkan sayap lebar-lebar. Sedangkan Maira memiliki sifat yang sangat dewasa dan keibuan, sangat sabar dan selalu mengerti kedua sahabatnya dengan sangat baik.

Bagi Desi dan Sasha, Maira bagaikan kakak mereka. Maira sangat bahagia memiliki sahabat seperti Sasha dan Desi. Mereka bertiga memang memiliki sifat dan latar belakang yang berbeda-beda. Namun, perbedaan itu membuat mereka begitu dekat dan saling memiliki.

"Des! Lu tenang dong makannya," tegur Sasha kesal saat melihat Desi yang sudah menghabiskan kue dalam sekejap.

"Gue lapar!" ujar Desi cuek, lalu mengambil pisau yang tergeletak di meja, kemudian meletakkan kue yang sudah dipotong ke piring kosongnya.

"Tapi gue juga masih mau. Jangan banyak-banyak, dong!" protes Sasha yang langsung merebut pisau dari tangan Desi.

"Ya, ampun, Sha," seru Maira sambil menengahi kedua temannya itu, "sabar. Sini gue potongin."

"Rakus!" ledek Sasha sambil mengoleskan cokelat ke wajah Desi, yang terbelalak kaget dan langsung mengerut serta melemparkan tatapan kesal pada Sasha. Desi membalas keisengan Sasha, dan mereka berdua terus mengoleskan jari penuh cokelat ke wajah sahabatnya. Tawa bahagia mengisi ruangan ketika mereka bercanda dan menghabiskan kue yang sudah tidak berbentuk.

 

∞∞∞∞∞
 

 

BAB 2

Setelah membereskan kekacauan kue ulang tahun, mereka kembali berkutat dengan pekerjaan masing-masing. Belle Organizer adalah penyelenggara acara profesional yang mereka bangun bersama, yang baru berjalan enam tahun. Awalnya, mereka menyewa sebuah ruang kantor di salah satu ruko di daerah Jakarta Pusat. Mereka menyewa hanya satu lantai di ruko tersebut, dan biaya sewanya ditanggung bersama-sama. Akan tetapi, karena ada suatu masalah yang menimpa Desi, maka Maira dan Sasha memutuskan untuk memindahkan segala kegiatan pekerjaan ke rumah Desi.

Mereka lakukan semua itu demi menjaga dan membantu Desi agar bisa bangkit dari tragedi perselingkuhan mantan tunangannya, Steve. Desi begitu hancur dan terpuruk, tetapi lambat laun wanita itu mulai bangkit, dan usaha mereka pun makin sukses. Makin banyak yang mengenal Belle Organizer. Beberapa perusahaan, dari yang kecil sampai besar, mulai berdatangan dan memercayakan beberapa kegiatan gathering pada mereka.

Maira begitu beruntung memiliki dua sahabat yang selalu menemani, membantu, dan mendukungnya. Kehadiran Sasha dan Desi merupakan anugerah yang Tuhan berikan demi meramaikan serta menceriakan dunia Maira yang sepi, mengingat bahwa sesungguhnya ia adalah anak yatim piatu.

Orang tua kandungnya meninggal dalam kecelakaan mobil ketika ia berusia tiga tahun. Adik laki-laki ayah―yang sudah menikah, tetapi belum memiliki anak―mengadopsi dan membesarkan Maira seperti anak sendiri. Bahkan, mereka mencintai dan menyayanginya dengan sepenuh hati. Karena begitu besar kasih sayang yang mereka berikan padanya, Maira pun memutuskan untuk memanggil mereka dengan sebutan 'mama-papa' saat ia menginjak usia sepuluh tahun.

Seiring dengan berjalannya waktu, Maira kecil tumbuh menjadi wanita mandiri dan penuh cinta. Meski ia memiliki warisan dari mendiang orang tua dan kedua orang tua angkat, yang bersikeras memberi semua kekayaan padanya, bukan berarti Maira mau menerima semua kemudahan begitu saja. Ia tetap bekerja keras agar bisa berhasil, bahkan membiayai kuliahnya sendiri. Hanya satu yang tidak bisa ia tolak, yaitu sebuah rumah di salah satu perumahan daerah Jakarta Utara yang mama dan papa berikan tepat saat Maira lulus dari bangku perkuliahan.

Rumah satu lantai itu memiliki taman depan yang sederhana, tetapi tertata indah dengan tanaman pagar serta sebuah pohon mangga di sudut kiri dinding pagar. Halaman belakang yang ditata menggunakan konsep minimalis, membuat Maira betah berlama-lama di sana sambil membaca novel di akhir pekan ditemani segelas cappuccino favoritnya. Sebuah kolam ikan berukuran sedang pun menghiasi pekarangan kecilnya. Bunyi gemercik yang berasal dari air terjun kecil di kolam, menciptakan kesan nyaman dan tenang di balik riuhnya Kota Jakarta.

Kehidupan Maira bisa dikatakan berjalan sesuai dengan yang ia inginkan. Ia memiliki kekasih yang begitu mencintainya, dua sahabat yang selalu mendukung serta membuatnya bahagia, orang tua angkat yang tulus menyayanginya, dan pekerjaan yang sangat ia sukai. Semuanya benar-benar sempurna, dan Maira bersyukur akan semua itu.

Belle Organizer. Di sinilah Maira membangun kerajaan kecil bersama kedua sahabatnya. Kerajaan kecil yang mereka harapkan akan berkembang makin besar dan sukses.

"Bagaimana hasil meeting kemarin, Ra?" tanya Sasha, membuka pembicaraan.

"Lancar. Tapi, gue harus kerja ekstra kali ini," jawab Maira sambil menorehkan beberapa tulisan dalam buku catatannya.

"Gathering-nya besar banget, ya?" tanya Desi penasaran.

"Yeah, gitu deh," sahut Maira santai, "mereka minta acaranya diselenggarakan di pinggir pantai."

Sekejap, Maira membayangkan suasana pantai yang merupakan salah satu favoritnya di muka Bumi, selain cappuccino. Bahkan sekarang, ia bisa membayangkan bagaimana menenangkannya kondisi pantai di sore hari. Angin yang bertiup lembut, debur ombak yang menyentuh bibir pantai, serta kicau burung dan sensasi nikmat saat kakinya menginjak pasir putih nan halus, membuat perasaan Maira damai dan bahagia.

"Kapan?" tanya Sasha cepat, yang langsung mengeluarkan Maira dari dunia khayal. Sasha melemparkan pertanyaan dengan gaya santainya yang khas, sementara jemari indah itu sibuk dengan ponsel.

"Masih sekitar satu bulan lagi, kok. Acara utamanya nanti diadakan hari Minggu, di Bali," jawab Maira tenang, lalu kembali berkutat dengan catatan dan menulis setiap hal yang saat ini melintas di pikirannya.

"Bali?" seru Sasha, tak percaya.

"Iya. Permintaan owner-nya langsung, Sha," jawab Maira santai. Ia tak terlalu memperhatikan raut Sasha yang antusias akan kabar tersebut.

"Berapa lama lu di sana?" tanya Desi, menimpali.

"Tiga atau empat hari kayaknya. Soalnya, gue 'kan harus persiapan sebelum dan sesudah hari H," jelas Maira lancar.

"Lu sudah pesan hotel sama tiket pesawat?" tanya Desi lagi.

"Sudah. Pihak Meganza kasih akomodasi gratis," jawab Maira tenang.

"Acaranya di mana?" tanya Sasha, ingin tahu. Akhirnya, Maira mengalihkan perhatian dari catatan, lalu menatap Sasha dan Desi yang duduk di meja kerja masing-masing.

"Acara utamanya akan diselenggarakan di The Mulia, tapi gue nginap di Vouk Hotel, Nusa Dua," jelas Maira sesuai dengan informasi yang ia terima kemarin. Sasha dan Desi terkagum-kagum mendengar penjelasannya.

"Vouk? Terus, karyawannya nginap di sana juga?" tebak Sasha dengan raut takjub. Semangat yang tampak jelas di mata wanita itu, menunjukkan bahwa gathering kali ini sangat menarik perhatian Sasha.

"Iya, tapi jajaran manajer, direksi, dan owner nginap di The Mulia," jelas Maira, yang membuat Sasha menggeleng kagum.

"Mereka minta acaranya tetap diadain di The Mulia karena nanti bukan hanya sekedar gathering, tapi sekalian merayakan ulang tahun owner Meganza yang ke65," lanjut Maira yang langsung mendapat decak kagum dari kedua sahabatnya.

"OMG! Enak banget! Lu butuh bantuan nggak? Gue siap bantuin, kok," balas Sasha menawarkan diri sambil melempar kedipan centil pada Maira.

"Mau bantuin gue atau mau ikut ke Bali-nya, nih?" sindir Maira, mengerti arti dari kedipan itu.

"Yaah, sekalianlah, Ra," jawab Sasha, cengar-cengir.

"Sorry banget, Sha. Mereka cuma minta gue yang ke sana," jawab Maira, membalas cengiran tersebut dengan cengiran yang lebih lebar lagi.

"Huh, baiklah!" keluh Sasha pasrah. Maira dan Desi hanya bisa tersenyum menanggapi bibir Sasha yang mengerucut karena kecewa.

Akhirnya, mereka kembali berkutat dengan pekerjaan masing-masing. Maira berkonsentrasi pada detail persiapan gathering Meganza Media karena ini merupakan acara terbesar yang pernah mereka tangani. Bukan hanya karena lokasinya yang jauh, tetapi juga ada beberapa permintaan khusus yang benar-benar lain dari biasa.

Bahkan, Maira harus menandatangani sebuah kontrak perjanjian kerja yang menyatakan bahwa ia sanggup untuk memenuhi semua permintaan tersebut. Tentu saja Maira menandatanganinya tanpa ragu karena ia tak pernah gagal dalam melaksanakan tugas. Namun nyatanya, permintaan khusus tersebut sempat membuat Maira mati kutu, sebelum akhirnya bisa meyakinkan dirinya sendiri.

Saat meeting kemarin, Maira diminta memastikan agar owner mendapatkan kamar yang menghadap ke pantai saat di Bali. Sementara untuk di Jakarta, Maira harus mempersiapkan satu kamar hotel mewah yang harus menghadap langsung ke kolam renang. Kamar tersebut akan digunakan oleh owner Meganza Media yang akan datang pada hari Kamis bulan depan, tepat sebelum meeting terakhir diadakan.

Maira juga diminta mempersiapkan berbagai jenis kudapan yang harus selalu tersedia di kamar tersebut. Namun, ada satu permintaan yang sempat menjadi kendala bagi Maira, yaitu mempersiapkan seorang wanita cantik yang siap kapan saja, baik untuk di Jakarta dan Bali. Ini merupakan tugas terberat bagi Maira karena ia belum pernah menyediakan wanita penghibur untuk klien.

Akhirnya, setelah pulang dari rapat kemarin, Maira langsung menghubungi beberapa koleganya. Ia benar-benar putus asa karena tak ada satu pun dari mereka mengenal orang-orang yang memiliki hubungan dengan para penyedia wanita penghibur. Namun, sebuah panggilan dari kerabat salah satu koleganya, berhasil memberikan angin segar bagi Maira.

Pria itu memberikan nomor ponsel seseorang yang memang sudah biasa menyediakan wanita penghibur bagi para petinggi perusahaan. Tanpa berlama-lama, Maira segera menghubungi si pemilik jasa dan bertemu di salah satu kafe terdekat, sebelum akhirnya Ben menjemput dan mengajaknya ke Ancol. Akhirnya, ia mencapai kesepakatan dengan seorang wanita berparas ayu yang sudah memasuki usia kepala lima, tetapi tetap terlihat segar dan energik.

Wanita itu datang bersama seorang gadis berusia dua puluhan. Dalam sekejap, Maira langsung rendah diri karena penampilan mereka begitu terawat, cantik, dan mampu menarik perhatian para pria yang ada di kafe. Namun, betapa terkejutnya Maira saat mendengar harga yang diminta wanita itu untuk menemani owner Meganza. Dalam sehari saja, wanita itu meminta bayaran sebesar dua kali lipat dari penghasilan yang Maira peroleh dalam sebulan.

Akan tetapi, Maira sudah tidak punya pilihan lain. Tanpa pikir panjang, ia pun langsung menyetujui permintaan itu. Setidaknya, Maira sudah mendapatkan wanita yang siap sedia kapan pun ia hubungi.

Siang ini, Maira tinggal mempersiapkan hal-hal umum yang selalu ia lakukan setiap kali menangani sebuah acara. Maira mengangkat telepon di samping laptop, menekan tombol, dan menunggu seseorang menjawab di seberang sana. Hanya satu kali nada sambung, suara ringan di balik telepon langsung menyapanya ramah. Ia pun segera memesan kamar di The Mulia dengan beberapa permintaan khusus.

Setelah itu, ia menghubungi Vouk Hotel dan memesan kamar untuk para karyawan perusahaan Meganza Media. Tak lupa, ia memesan kamar di Hotel Maximus yang akan digunakan owner Meganza selama di Jakarta. Beberapa jam kemudian, semua hal yang berhubungan dengan acara tersebut—mulai dari susunan acara hingga hal-hal kecil yang mungkin terlupakan—sudah terkoordinasi dan tertata sempurna di buku catatannya.

Maira memeriksa sekali lagi dan memastikan bahwa semua keperluan yang dibutuhkan sudah sesuai dengan yang ia rencanakan. Matanya tertuju pada jam dinding berbentuk kepala Mickey Mouse yang menempel di dinding berwarna salem. Sekarang masih pukul 16.00, artinya Maira masih punya waktu untuk mencari informasi mengenai owner Meganza Media di internet.

Ricardo Neandro. Pria paruh baya bermata cokelat almond, rambut putih kecokelatan dengan senyum hangat, dan tubuh yang masih terlihat cukup bugar. Di usianya yang sudah menginjak kepala enam, Ricardo termasuk salah satu pria paruh baya tertampan yang pernah Maira lihat.

Ricardo merupakan pria berdarah Yunani-Australia yang menikahi seorang wanita berdarah Indonesia. Wanita anggun dan keibuan, yang memiliki senyum hangat, tatapan penuh cinta, mata hitam pekat, serta rambut panjang berwarna hitam yang tergerai indah. Dari pernikahan yang berjalan hampir 36 tahun itu, mereka dikaruniai seorang putra dan putri.

Foto Ricardo Neandro muda bersama istri dan kedua anak yang masih berusia remaja, terpampang jelas di layar laptop. Perasaan iri langsung menyelimuti dada Maira. Ingin rasanya ia memiliki foto keluarga dengan mendiang orang tua, tetapi itu hanyalah impian belaka. Maira segera menepis iri dalam dada, dan kembali membaca informasi tentang keluarga Neandro.

Satu tahun yang lalu, istri tercinta dari Ricardo Neandro meninggal dunia karena sebuah penyakit yang tidak pernah diungkapkan ke muka umum. Sejak itu, kesehatan Ricardo Neandro  pun berangsur-angsur menurun. Informasi tersebut langsung membuat Maira mengerut bingung.

Dengan kondisi kesehatan seperti itu, kenapa mereka memintaku menyediakan wanita muda untuk pria tua ini? Apa dia masih membutuhkan wanita untuk menghiburnya? Atau ..., jangan-jangan paras hangat dan setia itu tidak sesuai dengan realitasnya? batin Maira penasaran.

"Maira," panggil Desi tiba-tiba, yang langsung mengalihkan pikirannya dari Ricardo Neandro.

"Kenapa, Des?" tanya Maira seraya menatap Desi dengan santai.

"Kapan lu mau cerita tentang cincin itu?" tanya Desi sambil tersenyum nakal. Wajah Maira merona dan tersipu malu.

"Iya, betul, tuh! Kapan lu mau cerita?" timpal Sasha.

"He-he-he, ini ..., sebenarnya Ben yang kasih kemarin malam," jawab Maira, menyeringai malu. Desi dan Sasha beranjak dari meja kerja masing-masing, lalu menghampirinya dengan raut antusias, tak sabar mendengar cerita Maira.

"Ayo, cerita! Gue penasaran, nih," seru Desi cepat.

"Emm, sebenarnya ..., kemarin malam, Ben ngelamar gue," jawab Maira jujur dengan raut bahagia.

"Waah!! Selamat, ya, Ra!" teriak Desi dan Sasha serentak sembari berjingkat kegirangan. Karena raut bahagia yang kedua sahabatnya tunjukkan, Maira tak memedulikan pekikan keras yang membuat telinganya berdenging.

"Kapan pernikahannya? Lu sudah kasih tahu Mama dan Papa?" tanya Sasha cepat.

"Belum, Sha. Hari ini rencananya gue sama Ben mau ke sana," jawab Maira dengan senyum mengembang.

"Selamat, ya, Ra! Gue bahagia dengar kabar ini," ungkap Desi yang langsung memeluk Maira, begitu juga dengan Sasha.

"Terima kasih, Des, Sha," jawab Maira haru ketika berada di dalam pelukan kedua sahabatnya. Tak lama kemudian, mereka mulai melepaskan pelukan dan saling melemparkan tatapan bahagia.

"Jangan lupa bawa pasangan masing-masing nanti, ya," pesan Maira pada Sasha dan Desi.

"Kalau gue nggak janji, ya. Lu tahu sendiri 'kan kalau gue nggak punya pasangan," balas Sasha cuek.

"Makanya, jangan terlalu jual mahal, Sha! Si Gerald yang kemarin sepertinya lumayan, tuh," ledek Desi ringan.

"Nggak, ah! Gue nggak suka sama yang gampangan. Terlalu mudah ditebak," sahut Sasha dengan nada mencemooh.

"Tapi 'kan—"

"Sudahlah," potong Sasha santai, "kalau lu gimana? Sudah bisa move on dari Steve?"

Maira tahu, Sasha paling senang mengusili Desi. Saat mendengar nama mantan tunangan yang selalu membuat perasaan Desi kacau, wanita itu langsung terdiam, lalu memberikan tatapan kesal pada Sasha.

"Jahat, ih! Lu 'kan tahu gue lagi berusaha ngelupain dia," tegur Desi dengan raut murung.

"Makanya, ikutin saran gue. Lupain Steve, pergi berkelana seminggu ke tempat yang indah. Refreshing! Siapa tahu lu ketemu sama orang yang bisa ngilangin bayangan si bejat itu dari pikiran lu," jelas Sasha santai, "walaupun sebenarnya gue lebih senang lu bebas dan tanpa beban seperti sekarang. Tapi, gue lebih senang lagi kalau lu bahagia dengan orang yang benar-benar tulus dan cinta sama lu."

Desi terperangah mendengar kejujuran Sasha. Desi menatap Maira, dan mereka berdua pun saling bertukar tatapan, tak percaya mendengar ketulusan yang terkandung di tiap ucapan itu. Akhirnya, kedua sahabatnya kembali ke meja masing-masing, dan Maira lanjut membaca informasi mengenai Ricardo Neandro.

 

∞∞∞∞∞

 

"Gue duluan, ya," ucap Maira sambil mematikan laptop.

"OK," jawab Desi dan Sasha serentak.

"Lu ada rencana malam ini, Sha?" tanya Maira sambil memasukkan laptop ke tas kerja.

"Ada," jawab Sasha, singkat. Terkejut dengan jawaban itu, ia dan Desi saling bertukar tatap, penasaran.

"Beneran? Sama siapa??" tanya Desi, ingin tahu.

"Biasalah. Klien," jawab Sasha santai.

"Klien?" ulang Desi heran.

"Iya, klien ganjen yang mau PDKT, tapi modus ngajakin makan malam buat ngomongin kerjaan. Daripada gue bengong di rumah, jadi nggak ada ruginya 'kan gue makan gratis sama klien," jelas Sasha sambil mengusap layar ponsel, lalu menjawab pesan yang masuk. Maira dan Desi kembali bertukar pandang, kemudian tersenyum kecil sebelum akhirnya Sasha beranjak dari balik meja kerja.

"Yowes, deh. Gue berangkat duluan, ya. Ben sudah nunggu di luar," ucap Maira seraya memasukkan ponsel ke tas kerja.

"Gue juga," timpal Sasha, langsung berjalan menuju pintu ruangan.

"Des, jangan terlalu larut dengan masa lalumu, ya," goda Sasha sambil memasukkan ponsel ke tas.

"Iya, iya. Tenang saja. Have fun, ya," sahut Desi sambil lalu, tanpa mengalihkan pandangan dari layar laptop.

"You too, Des," jawab Maira dan Sasha bersamaan, lalu keluar dari ruang kerja dan bergegas menuju pintu rumah. Jantung Maira melonjak kegirangan saat melihat Ben yang berdiri di dekat mobil, menunggu di depan gerbang. Ben tidak melepas pandangan sedikit pun dari Maira sejak ia melangkah keluar rumah. Tampak jelas betapa pria itu sangat mengagumi dan mencintai Maira dengan tulus. Selama menjalin hubungan, Ben selalu menjemput dan mengantarnya pulang, bahkan tak pernah sekali pun absen di hari-harinya.

Setelah menyapa Ben dan melambaikan tangan pada mereka berdua, Sasha langsung menuju ke mobil sedan hitam yang diparkir di seberang rumah. Tak lama kemudian, mobil Sasha pun melesat cepat meninggalkan rumah Desi.

"Kamu sudah siap, Sayang?" tanya Ben lembut, yang langsung menarik Maira dan memeluknya.

"Kamu?" tanya Maira balik seraya menatap Ben dalam-dalam, lalu mendaratkan kecupan singkat di bibir itu.

"Sangat siap, Sayang," ucap Ben sebelum membalas kecupannya. Ben mulai melepas pelukan, dan mereka segera masuk mobil. Setelah duduk di belakang kemudi, Ben langsung membawa mobil menjauh dari rumah Desi.

Maira sudah tidak sabar ingin memberi tahu kabar bahagia ini pada mama dan papa. Ia memutuskan untuk mengirimkan pesan singkat pada mama dan mengatakan kalau mereka sedang dalam perjalanan ke rumah. Dengan cepat, mama membalas pesan Maira. Senyum kecil menghiasi wajahnya ketika membaca pesan mama yang bersemangat menanti kedatangan mereka.

Hampir dua minggu ia tidak berkunjung ke rumah orang tua angkatnya karena tumpukan pekerjaan yang begitu menyita waktu. Namun kali ini, ia datang ke rumah bukan sekadar berkunjung. Ia membawa kabar bahagia. Kabar mengenai lamaran Ben.

 

∞∞∞∞∞


BAB 3

Rumah tingkat dua yang didominasi warna putih dengan sentuhan warna hitam itu adalah tempat di mana Maira dibesarkan. Pekarangan di balik tembok kokoh bercat putih, dihiasi berbagai jenis bunga yang indah, segar, dan menyejukkan mata. Mama sangat pandai merawat tanaman. Setiap bunga yang dirawat selalu tumbuh subur, seakan-akan bahagia dan mendambakan sentuhan tangan mama. Rumput hijau yang selalu tampak segar dan terpangkas rapi pun tidak pernah luput dari sentuhan mama.

Di sudut tembok pekarangan, terdengar kicauan merdu dari beberapa pasang love birds yang berada dalam sangkar besar berwarna putih. Papa sangat menyukai segala jenis burung, terutama love birds. Menurut papa, burung berukuran kecil itu menggambarkan kepribadian papa yang selalu setia pada pasangan. 

Papa selalu menjunjung tinggi kesetiaan sebagai bukti besarnya cinta papa pada mama. Papa adalah panutan bagi Maira, dan ia berharap bisa mendapatkan seorang pria seperti papa. Beruntung, saat ini Maira memiliki Ben, yang ia yakin adalah jawaban dari doa-doanya.

Setelah memarkirkan mobil di depan gerbang rumah orang tua angkatnya, Maira dan Ben pun segera keluar. Sambil bergandengan tangan, mereka berhenti di depan gerbang tinggi dan kokoh berbahan dasar kayu berwarna cokelat tua. Maira langsung menekan bel rumah, dan tak lama kemudian terdengar derap kaki dari balik pagar.

“Neng Maira!” sambut Bi Ijah riang, saat melihat dirinya dari balik gerbang, “sudah lama nggak ke sini, Neng.”

“Iya, Bi. Kangen deh sama Bi Ijah,” sahut Maira ringan sambil tersenyum hangat. Setelah gerbang terbuka, ia langsung memeluk Bi Ijah yang sudah merawatnya dari kecil.

“Eh, Mas Ben juga datang,” ucap Bi Ijah dengan senyum ramah.

“Selamat malam, Bi,” balas Ben diiringi senyum hangat.

“Mama sama Papa lagi ngapain, Bi?” tanya Maira.

“Lagi nonton, Neng,” jawab Bi Ijah sambil menutup gerbang.

Mereka segera menapaki beberapa anak tangga menuju pintu kayu kokoh berwarna hitam, yang langsung membawa mereka ke ruang tamu. Sebuah meja bundar yang berada di tengah satu set sofa hitam, terlihat begitu kontras di ruangan berdinding putih bersih. Ruang tamu dan ruang TV dipisahkan oleh sebuah pemisah ruangan berbentuk rak cantik yang berisi berbagai macam pigura foto―kebanyakan berisi foto masa kecil Maira―dan patung-patung kecil yang terbuat dari keramik. Dari sela-sela rak, Maira bisa melihat kemesraan mama dan papa yang sedang asyik menonton TV.

“Mama, Papa,” panggil Maira ceria.

Mama, yang sudah tak sabar ingin bertemu dengan Maira, langsung beranjak dari sofa, lalu bergegas menghampiri dan memeluknya. Maira tenggelam sejenak dalam hangatnya pelukan mama. Ia sangat merindukan pelukan ini. Pelukan penuh cinta yang selalu membuat Maira tenang, yang langsung membawanya kembali ke masa kecil nan bahagia. 

Cukup lama mereka berpelukan, sampai akhirnya papa datang menghampiri dan membelai lembut rambut Maira. Dengan senyum hangat yang selalu menghiasi wajah, Mama mulai melepaskan pelukan dan memberi ruang bagi papa yang langsung memeluknya. Dengan tarikan napas panjang, Maira menghirup dalam-dalam aroma parfum papa yang khas. Seketika itu pula, kerinduan yang menyelimutinya beberapa hari ini, hilang dalam sekejap.

“Kamu baik-baik saja, Nak?” tanya papa tanpa melepas pelukan.

“Baik, Pa,” jawab Maira sambil tersenyum kecil di dalam pelukan, “bagaimana kabar Papa dan Mama?”

“Baik, Nak. Kami baik-baik saja,” jawab papa lembut sebelum mengecup ujung kepala Maira. Papa melonggarkan pelukan, lalu menatapnya sejenak dengan penuh kehangatan. Perlahan-lahan, Maira mulai melepas pelukan papa hanya untuk menatap Ben yang berdiri tepat di belakangnya, kemudian menggenggam tangan pria itu. Ben pun segera menjabat tangan papa dan mama yang menerima kehadirannya dengan tangan terbuka.

“Papa, Mama, ada yang ingin kami sampaikan,” ucap Maira sedikit gemetar karena antusias serta rasa gugup yang bercampur jadi satu.

Mama menatapnya sembari tersenyum kecil, seolah-olah tahu apa yang ada di benak Maira. Tatapan lembut dan senyum hangat yang selalu menghiasi, membuat mama terlihat makin cantik di usia yang sudah tidak muda lagi. Begitu juga dengan papa, wajah tampan dan aura karismatik yang begitu kuat, tetap melekat di usianya sekarang.

“Bagaimana kalau kita duduk dulu?” ajak papa ramah, dan mereka pun langsung menuju ruang tamu. 

Ben duduk di sofa single, sedangkan Maira duduk di antara mama dan papa di sofa panjang. Ben terlihat tenang, tak tampak sedikit pun kegugupan di wajahnya. Maira tak melepaskan pandangan dari Ben, sementara di dalam hati ia terus berdoa agar pria itu berhasil mendapatkan restu dari papa dan mama. 

“Apa sebenarnya yang ingin kalian bicarakan, Nak?” tanya papa mulai membuka pembicaraan. Sikap ramah, yang sebelumnya papa tunjukkan, sekarang berubah menjadi lebih serius. Tampaknya, papa tahu maksud dari kedatangan mereka malam ini. 

Jantung Maira berdebar lebih cepat saat mendengar nada protektif yang terkandung dalam setiap kata yang papa ucapkan. Refleks, Maira menggenggam erat tangan mama demi menekan kegugupan yang melanda saat ini. Menyadari betapa dingin genggaman Maira, mama mengusap punggung tangannya, mencoba menenangkan.

“Begini, Om, Tante. Kedatangan saya malam ini bermaksud untuk meminta izin sama Om dan Tante,” ucap Ben sopan, “saya dan Maira sudah cukup lama menjalin hubungan, dan kami berencana membawa hubungan ini ke jenjang yang lebih serius.”

Ben berhenti sejenak, memberi waktu pada orang tua Maira agar bisa menyerap informasi tersebut dengan baik. Sementara itu, Maira melirik sekilas ke wajah papa yang sedikit tegang saat merespons penjelasan Ben.

“Mungkin ..., saya lancang karena kemarin sudah melamar Maira secara pribadi. Tapi, saya bersungguh-sungguh ingin menikahi Maira, Om. Maka dari itu, saya datang untuk memohon izin serta restu langsung dari Om dan Tante,” jelas Ben lancar, tanpa gugup sedikit pun. 

Ben kembali berhenti berbicara. Kali ini, pria itu menunggu reaksi dari papa. Maira tidak berkutik. Ia hanya bisa menunggu dengan perut bergejolak dan debar jantung yang makin cepat. Matanya menatap papa, lalu kembali ke Ben. Dengan perasaan gelisah yang makin menjadi-jadi, Maira berusaha bersabar menunggu respons papa, tetapi hanya keheningan yang ia dapatkan. Terlihat jelas bahwa ini merupakan hal yang berat dan sangat sensitif bagi papa.

“Apa kamu bisa janji sama saya kalau kamu akan membahagiakan, menjaga, dan melindungi Maira seperti yang saya lakukan?” tanya papa tiba-tiba, terdengar tegas dan berat seperti ada yang mengganjal hatinya.

“Saya berjanji, dan akan menepatinya, Om,” jawab Ben percaya diri. Maira kembali menatap papa. Ia menangkap keraguan di wajah itu, yang membuatnya makin takut dan gugup.

Maira tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Namun, jika papa menolak, Maira akan berusaha meyakinkan papa untuk mau menerima lamaran Ben. Ia sangat mencintai Ben dan tidak ingin hidup tanpa pria itu. Hanya Ben satu-satunya pria yang ia inginkan menjadi suami dan pasangan yang akan menghabiskan sisa hidup bersamanya.

“Apa kamu bisa menjamin kesejahteraan anak saya? Apa kamu sudah benar-benar yakin dengan perasaanmu? Karena ....” 

Tiba-tiba, papa berhenti bertanya dan terdiam selama beberapa saat. Raut khawatir yang terlihat jelas, menunjukkan beratnya papa untuk menerima lamaran tersebut. Meskipun begitu, Ben tetap menunggu dengan sabar, sementara papa masih menimbang keputusan dalam keheningan.

“Saya ..., dan mendiang orang tua kandungnya ...,” lanjut papa ragu, sebelum kembali terdiam. Maira tidak mengerti apa yang membuat papa seberat ini menyambut niat baik Ben. Helaan napas panjang papa pun makin meyakinkan Maira bahwa sesungguhnya papa belum siap dengan kabar ini. Atau lebih tepatnya, masih ragu akan kesiapan Ben, baik mental maupun materi.

Maira menggenggam tangan papa, mencoba menghapus keraguan itu, meskipun sebenarnya ia sendiri gugup dan takut. Papa menoleh dan menatapnya dalam-dalam. Kegundahan dan pergumulan itu terlihat begitu jelas di mata papa. Seketika itu pula, Maira langsung memasang raut memelas, memohon agar papa tidak menolak lamaran Ben. Akhirnya, papa menghela napas panjang sekali lagi, lalu kembali menatap Ben.

“Saya tidak bisa melihat anak saya meneteskan air mata sedikit pun. Kalau saya melihat sedikit saja kesedihan di wajahnya, saya pastikan kamu tidak akan hidup tenang,” jelas papa dengan nada mengancam.

Mata Maira menatap papa lekat-lekat, haru sekaligus tak percaya. Sebegitu besarnya cinta dan kasih sayang papa pada Maira sampai papa harus mengancam Ben demi memastikan kebahagiaannya. Memang terkesan kejam dan sedikit berlebihan bagi Maira, tetapi ia mengerti alasan di balik ketegasan itu. Papa tidak ingin Ben melukai dan mengecewakannya. Itu saja. Tak terasa, air mata pun mulai menggenang dan mengaburkan pandangan Maira, tetapi ia menahannya sebisa mungkin.

“Saya berjanji, Om. Saya mungkin hanya pegawai swasta, tapi saya bisa memastikan kalau Maira akan hidup sejahtera dan bahagia,” jawab Ben sungguh-sungguh.

Papa menyerap ucapan Ben dengan sebaik mungkin, lalu menoleh dan menatap mama, seolah-olah sedang berbicara dengan bahasa kalbu. Maira mengikuti arah pandang papa, dan senyum kecil terukir di wajah mama, setuju dengan lamaran Ben. Namun, ketika kembali menatap papa, Maira tak menemukan sedikit pun ekspresi bahagia di sana. 

Ia tahu, sejak awal papa memang tidak terlalu menyukai Ben. Saat pertama kali Maira memperkenalkan Ben, hanya mama yang bisa menerima pria itu dengan tangan terbuka. Berbeda dengan papa yang jelas sekali tidak menyukai kehadiran Ben dalam hidupnya. Maira pun teringat akan percakapannya dengan papa, tiga tahun yang lalu, saat di mana ia baru saja menjalin hubungan dengan Steve. Sore itu, saat mereka asyik duduk-duduk di kursi taman belakang rumah, tiba-tiba papa membuka pembicaraan mengenai hubungannya dengan Ben.

“Maira, Papa mau tanya sesuatu sama kamu, Nak. Boleh, ‘kan?” tanya papa saat itu, sebelum menyeruput segelas kopi yang sangat harum.

“Ada apa, Pa? Apa ada masalah di perusahaan Papa?” tanya Maira lembut, sedikit khawatir. 

“Tidak, Nak. Perusahaan Papa baik-baik saja, bahkan tahun ini labanya meningkat,” jawab papa tenang, meskipun raut khawatir dan ragu masih menghiasi wajah. Maira mengangguk lega, lalu menunggu sejenak hingga papa kembali berbicara.

“Bagaimana hubunganmu dengan Ben?”

Pertanyaan itu langsung menghapus kelegaan di wajah Maira. Namun, ia berusaha menanggapi dengan tenang karena tahu suatu saat papa pasti bertanya mengenai hubungannya dengan Ben.

“Hubungan kami baik-baik saja. Kenapa, Pa? Apa ada sesuatu yang mengganggu pikiran Papa?” tanya Maira balik.

“Tidak, Nak. Papa hanya ingin tahu apakah kamu bahagia bersama Ben. Itu saja,” sahut papa tenang dengan tatapan hangat yang mengunci Maira dalam-dalam. Ia tahu papa sangat mencintai, menjaga dan menyayanginya. Itulah mengapa papa selalu memperhatikan setiap pria yang mendekatinya.

“Aku bahagia menjalin hubungan dengan Ben, Pa. Tapi, kami baru berhubungan kurang dari 3 bulan. Jadi, aku belum bisa mengatakan apakah akan menjalin hubungan yang lebih serius dengannya saat ini, Pa,” jelas Maira sebaik mungkin. Sekejap, raut papa mulai berubah menjadi lebih tenang.

“Ada apa, Pa? Apa ada yang salah dengan Ben?” tanya Maira lembut, tetapi penasaran.

“Tidak, Sayang. Papa hanya bertanya. Papa tidak mau dia menyakiti perasaanmu, Nak. Kamu tahu Papa begitu mencintai dan menyayangimu, Maira,” jelas papa, mencoba menutupi kerisauan yang terlihat jelas di wajahnya. Namun, Maira tidak bisa dibohongi.

“Aku juga sangat mencintai dan menyayangi Papa. Tapi aku mohon sama Papa, jelaskan padaku ada apa? Kenapa Papa tampak begitu khawatir?” tanya Maira. Ia segera beranjak dari kursi, lalu bersimpuh di bawah kaki papa.

“Katakan padaku, Pa. Aku tidak bisa melihat wajah Papa seperti ini. Jelaskan padaku,” bujuk Maira lembut. Papa membelai rambut panjang Maira yang terurai sambil menatapnya dengan pandangan memuja dan penuh kehangatan. Tatapan yang selalu membuatnya merasa seperti seorang putri kecil.

“Tidak apa-apa, Nak. Maafkan Papa karena sudah membuatmu khawatir,” ucap papa sebelum mencium kening Maira. Ia memeluk kedua kaki papa dengan manja, dan kehangatan pun mulai menyelimuti dirinya. 

Maira tidak suka melihat raut papa yang risau dan khawatir. Ia ingin papa terbuka padanya. Maira bukanlah tipe anak yang suka membantah. Ia sangat mencintai orang tua angkatnya, terutama papa.

Papa selalu memberikan apa pun yang ia inginkan. Tidak pernah sekali pun pria itu marah padanya, bahkan papa memperlakukannya bak putri raja. Itulah yang membuat Maira tidak bisa tenang ketika melihat kerisauan menyelimuti pikiran dan hati papa. Maira akan melakukan apa pun untuk menghilangkan kerisauan itu. Bahkan, ia rela melepas Ben demi membuat papa tenang.

Namun, itu dulu. Tiga tahun yang lalu. Sekarang ..., ketika Maira sudah yakin akan perasaannya, papa malah kembali memperlihatkan raut itu. Raut khawatir, ragu, dan risau—sama seperti di taman belakang waktu itu.

Apa Papa akan menolak lamaran Ben? Apa Papa tega melakukan hal itu padaku? Mungkin jika waktu itu Papa menyuruhku meninggalkan Ben, aku akan melakukannya tanpa pikir panjang. Tapi sekarang ..., saat aku benar-benar jatuh cinta dan tidak bisa hidup tanpa Ben, aku tidak mungkin melepaskan Ben begitu saja. Aku tidak bisa! batin Maira nelangsa.

Ingin rasanya Maira menangis dan memohon pada papa agar mau merestui dan menerima lamaran Ben. Papa menatap Maira dalam-dalam, terlihat jelas kalau papa ingin sekali menolak lamaran Ben. 

Please,” mohon Maira hanya dengan gerakan bibir tanpa suara. Akhirnya, Papa mengembuskan napas pasrah, lalu kembali menatap Ben. 

“Baiklah. Saya terima lamaranmu,” kata papa cepat. Air mata lega langsung membasahi pipi Maira. Ia mencoba menahan isak tangis, tetapi tidak bisa karena perasaan haru dan lega langsung menyelimutinya.

“Papa,” ucap Maira diiringi isakan tangis.

“Iya, Anakku. Papa merestui kalian,” jawab papa lembut. 

Maira langsung beranjak dari sofa dan bersimpuh di kaki papa. Ia memeluk erat kedua kaki itu dan tangisannya meledak seketika. Mama hanya bisa tersenyum bahagia seraya membelai rambut Maira penuh cinta.

“Terima kasih, Papa. Terima kasih, Mama,” ucap Maira, masih terus memeluk kaki papa layaknya gadis kecil yang manja.

“Semoga kalian bahagia, Nak. Doa kami selalu menyertai,” ucap papa, lalu menengadahkan wajah Maira, membantunya berdiri, dan memeluknya erat. Tangis bahagia bercampur haru, mengisi ruangan itu. Tak lama kemudian, Maira mencoba menghentikan tangisnya. Papa pun mulai melepaskan pelukan, lalu menyerahkan tangan Maira pada Ben.

“Jaga anak kesayangan saya ini. Jangan pernah kamu sakiti dia. Bahagiakanlah dia lebih dari yang pernah saya berikan padanya,” pesan papa pada Ben.

“Saya berjanji, Om,” janji Ben pada papa seraya menerima tangan Maira, lalu menjabat tangan papa dan mama.

Terima kasih, Papa.

 

∞∞∞∞∞

 

BAB 4

Maira masih merasakan kebahagiaan itu setiap kali mengingat kejadian dua hari lalu, ketika Ben melamarnya langsung di hadapan mama dan papa. Meskipun sempat terlihat keraguan di wajah papa, tetapi akhirnya papa menerima lamaran tersebut, dan semua pun tersenyum bahagia. Ben juga berencana membawa ibunya ke Jakarta untuk melamar Maira secara resmi. Saat ini, ibu Ben menetap di Bali dan dirawat oleh seorang perawat, sedangkan ayahnya sudah meninggal saat Ben berusia 25 tahun. 

Kemarin siang, Ben membeli tiket penerbangan dan tiba di Bali pukul 22.30. Pria itu langsung mengabari Maira saat mendarat di Bandara Internasional Ngurah Rai, Bali. Keputusan ini memang diambil secara mendadak oleh Ben karena tidak ingin mengulur-ulur waktu. Ketika Ben mengungkapkan keinginannya untuk melaksanakan pernikahan sesegera mungkin, Maira hanya bisa tersenyum bahagia dan mengusap pipi Ben dengan penuh cinta. Ia masih tak menyangka sebegitu besarnya antusias Ben akan rencana pernikahan ini.

Hari ini adalah waktu bagi Ben untuk bisa bersama dengan ibunya. Maira tidak ingin mengganggu mereka, jadi ia pun mulai mencari kesibukan untuk mengisi hari Sabtunya. Maira membuka kulkas dan menyadari isinya yang hampir kosong. Ia pun segera mandi, berniat mengisi waktu kosong dengan berjalan-jalan di mal dan membeli persediaan makanan untuk satu minggu ke depan.

Setelah selesai mengenakan baju, Maira menyisir dan mengucir kuda rambutnya. Ia mengenakan hotpants hitam dan kaus putih polos fit body serta sepatu kets putih, yang membuatnya tampil sporty dan santai. Ia menyemprotkan parfum, kemudian memasukkannya ke tas kecil bersamaan dengan dompet serta ponsel. Dengan perasaan bahagia, Maira menyelempangkan tas di pundak, lalu menatap pantulan dirinya di cermin sebelum keluar rumah dan mengunci pagar.

Hari ini, Maira memilih untuk berjalan kaki menuju salah satu halte busway yang tidak begitu jauh dari rumah, dan meninggalkan mobilnya di teras. Hanya sepuluh menit berjalan kaki, ia pun tiba di halte tersebut. Maira mendengarkan musik yang mengalun melalui earphone sambil menunggu bus. Beberapa menit kemudian, bus berhenti di tempat yang ditentukan. Dengan langkah hati-hati, Maira memasuki bus bersama beberapa orang yang sedari tadi menunggu di sana.

Maira mencari tempat duduk kosong, tetapi ternyata semua sudah terisi. Akhirnya, ia berdiri sambil berpegangan di salah satu pengait yang tergantung di atas kepala. Alunan syahdu dan suara merdu Adelle saat menyanyikan lagu All I Ask, membuat perjalanannya terasa tenang. 

Hari ini, cuaca sangat cerah. Kondisi lalu lintas pun tak seramai biasa. Tiba-tiba, sebuah panggilan masuk menghentikan alunan lagu di telinganya. Maira segera menekan tombol jawab di earphone setelah melihat nama Desi terpampang di layar.

“Halo,” jawab Maira ringan.

Ra, lu lagi di mana? Gue mau cerita sesuatu,” tanya Desi tanpa basa-basi.

“Gue lagi di bus, mau ke mal. Kenapa?” tanya Maira santai sambil berpegangan pada lingkaran pengait.

Oh, begitu ..., ya, sudah. Nanti sore gue telepon lagi, deh,” sahut Desi yang langsung terdengar lemah dan kecewa.

“Nggak apa-apa. Cerita saja, Des. Gue masih jauh, kok,” bujuk Maira. Desi terdiam selama beberapa detik, dan Maira tetap sabar menunggu hingga sahabatnya itu siap untuk bercerita.

Begini, Ra. Sebenarnya ..., ini tentang Steve,” ujar Desi sedih.

“Kenapa? Lu masih mikirin dia?” tanya Maira tenang, meskipun ia kesal karena Desi masih memikirkan pria itu. Ia tahu, Desi sangat mencintai Steve, tetapi pria itu sudah menyakiti dan meninggalkannya begitu saja.

Semalam gue mimpiin dia lagi, Ra,” jelas Desi lemah, lalu terdiam.

“Mimpi?” ulang Maira.

Iya, Ra. Gue mimpi kalau dia datang, terus ..., dia minta maaf sama gue,” jelas Desi. Maira bisa mendengar kesedihan yang begitu mendalam di setiap kata yang Desi ucapkan.

“Desi,” panggil Maira lembut, “begini, ya. Bukannya gue mau jelek-jelekin Steve, tapi lu harus sadar, Des. Dia sudah pergi begitu saja. Apa lu masih mau balik lagi sama dia? Coba deh lu pikir ulang.”

Sahabatnya yang satu ini memang masih belum bisa menerima kenyataan. Lepas dari bayang-bayang Steve adalah hal tersulit yang harus Desi lakukan, terlebih lagi setelah tahu kalau pria itu akan menikahi wanita yang merusak hubungan mereka. Desi pun makin terpuruk dan hancur.

Tapi ..., sampai sekarang gue nggak tahu apa alasan dia selingkuh dari gue, Ra,” balas Desi, masih mencoba membela diri.

“Lu masih butuh penjelasan? Serius? Terus, kalau dia jelasin semua, lu mau terima dia lagi? Begitu maksud lu?” tegur Maira lembut, mencoba menyadarkan Desi seraya menjaga intonasi suaranya di tengah keramaian bus.

Bukan begitu, Ra,” jawab Desi, serba salah.

“Lah, terus?” sahut Maira cepat, menuntut penjelasan. Desi terdiam, bergelut dengan pikirannya sendiri.

“Desi, gue nggak suka lihat lu menderita seperti ini. Coba deh lu pikir berulang kali, apa benar lu masih mau terima pria yang sudah nyakitin perasaan lu dan keluarga lu? Dia sudah selingkuh di belakang lu! Please, Des ..., pria di dunia ini bukan cuma dia. Masih banyak di luar sana yang lebih tampan dan lebih baik daripada Steve,” nasihat Maira, berharap Desi bisa membuka hati dan pikiran. Desi masih terdiam selama beberapa detik, sebelum akhirnya terdengar embusan napas berat di seberang sana.

Iya, Ra. Gue tahu. Tapi, ini berat banget, Ra,” jawab Desi putus asa.

“Gue ngerti, Des. Makanya, kalau ada yang ajak kenalan, lu terima dong. Siapa tahu bisa ngilangin dia dari pikiran lu,” saran Maira, tenang dan lembut.

Iya, Ra,” sahut Desi pelan dan mulai terdengar sedikit bersemangat, “terima kasih, ya, Ra. Lu sudah mau dengerin curhatan gue.

“Kita itu sahabat, Des. Lu ingat, ‘kan?” goda Maira seraya menyunggingkan senyum kecil.

Iya, Ra. Gue selalu ingat kok. Terima kasih, ya, Ra,” balas Desi.

“Sama-sama, Des. Have a nice day,” ucap Maira ringan.

Have a nice day, too, Ra,” balas Desi, dan percakapan mereka pun berakhir. Berselang beberapa menit kemudian, bus berhenti di halte yang berada tepat di depan mal. Maira pun segera beranjak keluar bersama beberapa orang. Ia berjalan di jembatan penyeberangan yang cukup panjang. Terdapat beberapa pedagang sedang menjajakan barang jualan mereka di sana. Matahari yang terasa makin terik, meningkatkan suhu udara siang itu. 

Kulit putihnya mulai terasa seperti terbakar. Ia pun mempercepat langkahnya agar segera tiba di dekat pintu masuk mal. Embusan angin dingin dan sejuk, langsung menyapa kedatangan Maira ketika pintu kaca terbuka otomatis di hadapannya. Seketika itu pula, ia melupakan panas dan terik di luar sana.

Maira mengamati setiap toko yang menjajakan barang di balik kaca etalase di kanan dan kirinya. Dengan langkah ringan, Maira menuju eskalator yang membawanya ke lantai basement, tempat pusat perbelanjaan yang ia tuju. Sesampainya di sana, ia langsung mengambil troli dan mendorongnya masuk ke pusat perbelanjaan. 

Rak-rak etalase tersusun rapi dengan berbagai jenis makanan dan minuman. Segala macam pemenuh kebutuhan hidup pun tersedia di sana. Maira segera menuju lorong sayur dan buah. Aroma segar yang berasal dari buah-buah serta berbagai macam sayuran, memberikan sensasi menyenangkan bagi indra penciumannya. 

Maira mengambil beberapa ikat sayur dan buah untuk persediaan selama seminggu. Tak lupa juga, ia mengambil beberapa bumbu dapur yang sudah terbungkus menjadi satu. Setelah itu, ia berjalan ke area daging.

Lemari pendingin yang berbaris rapi, menyimpan berbagai macam daging ayam, sapi, ikan, dan beberapa jenis daging lainnya. Ia mengambil dua pak daging ayam dan satu pak daging sapi potong. Maira juga mengambil sebungkus sosis, nugget, dan kentang potong, lalu memasukkannya ke troli.

Sesudah memeriksa daftar belanjaan, Maira melanjutkan perjalanan menuju lorong lain. Dengan langkah santai dan pandangan yang tertuju pada barisan barang-barang yang terpajang di kanan-kiri, Maira terus mendorong troli sambil mencari sesuatu yang mungkin ia butuhkan.

BRUKKK!!

Tiba-tiba, seseorang menabrak trolinya dengan sangat keras dari sebelah kiri. Maira tak mampu menghindar. Tabrakan itu membuat gagang troli membentur kuat perutnya, sedangkan roda besi melindas kaki kanannya. Maira mengernyit kesakitan. Meskipun ia mengenakan sepatu, tetapi tetap saja sakit. 

Tenaga orang yang menabrak trolinya sangatlah besar jika dibandingkan dengan tubuh mungil Maira, yang hanya berukuran 160 sentimeter dan berat 50 kilogram saja. Usahanya untuk menahan agar troli tidak terjungkir pun berakhir sia-sia karena pusat perhatian Maira tertuju pada rasa sakit di perut dan kaki. Trolinya yang tidak seimbang pun akhirnya terjatuh ke samping, begitu juga dengan Maira. Alhasil, gagang troli menimpa pergelangan tangannya dan earphone terempas lepas dari telinga.

“Aaww!!” rintih Maira kesakitan dan tersungkur di lantai. Untung sekali lorong itu tidak terlalu ramai, tetapi tetap saja memalukan bagi Maira. Seorang ibu dengan anak dalam gendongan, melihatnya dengan tatapan kaget bercampur kasihan, tetapi tak berdaya untuk menolong. Sementara itu, orang yang menabraknya langsung menghampiri dan membantu Maira berdiri.

“Maaf, aku benar-benar tidak sengaja. Maaf, maaf,” ucap pria yang memiliki aksen asing ketika membantunya berdiri. 

Maira tidak menggubris permintaan maaf itu karena rasa sakit masih mendominasi dirinya. Berusaha menahan luapan amarah, Maira menggeleng lemah sembari mengatur tarikan napasnya yang pendek akibat perpaduan rasa sakit dan kesal. Dan setelah berhasil meredam kekesalannya meski hanya sedikit, barulah Maira mendongak, menatap si penabrak.

“Maaf. Aku benar-benar minta maaf. Aku buru-buru,” ucap pria itu lagi sambil mendirikan troli Maira yang tergeletak di lantai, dan dengan cekatan memasukkan belanjaannya yang berserakan ke troli. Sementara, Maira memperhatikan si penabrak dengan saksama.

Pria itu bertubuh tinggi dan atletis. Kulit tangan yang sedikit kecokelatan serta logat bicara yang berbeda, menunjukkan bahwa pria itu kemungkinan besar adalah turis asing. Namun, yang membuat Maira bingung adalah penampilannya yang mengenakan masker, kupluk dari bahan rajutan, serta baju lengan panjang dan celana jeans biru dongker. Benar-benar tertutup dan misterius.

Mungkin dia lagi sakit. Tapi ..., dorongan yang kuat tidak menunjukkan kalau dia sedang sakit. Bahkan ..., penampilan itu seperti sedang berusaha menyembunyikan identitasnya. Atau, jangan-jangan ..., orang ini penjahat! pikir Maira, mulai berasumsi aneh-aneh.

“Maaf. Sekali lagi aku minta maaf, ya,” ucap pria itu, kali ini sambil menatap Maira.

“Iya, iya. Lain kali hati-hati, ya!” pesan Maira sedikit ketus sembari mengelus tangannya yang sakit karena tertimpa troli.

“Ada yang terluka?” tanya pria itu tampak peduli.

“Tidak. Tidak apa-apa,” jawab Maira cepat. Namun, ia tak bisa menyembunyikan kernyit di wajahnya ketika berusaha mendorong troli. Maira langsung melepaskan genggaman dari gagang troli, lalu memijit pelan pergelangan tangannya yang memerah.

“Kamu terluka. Don’t lie to me,” ucap pria itu khawatir, lalu mendekat dan memperhatikan Maira yang sibuk memijit tangan sembari menyembunyikan rasa sakitnya.

“Tidak apa-apa. Tidak masalah,” sahut Maira pelan, lalu mendengus tipis, mencoba menahan rasa kesal yang mulai timbul.

“Kamu yakin? Aku rasa tanganmu terluka dan perlu di—”

“Aku baik-baik saja!” potong Maira tegas, berharap pria itu menyerah dan pergi meninggalkannya sendiri.

“Maaf. Tapi kamu yakin tidak apa-apa?” tanya pria itu lagi, yang membuat Maira benar-benar kesal kali ini.

“Menurut kamu? Aku ditabrak sama orang yang tenaganya kayak buldoser gitu, apa aku masih baik-baik saja? Pakai nanya lagi!” cecar Maira, meluapkan kekesalannya seraya melempar tatapan sinis. 

“Perutku sakit, tanganku nyeri, kakiku nyut-nyutan. Puas?” lanjutnya geram. Ia tidak pernah semarah ini pada orang lain, tetapi rasa sakit di tubuhnya dan sikap sok perhatian yang sangat tidak ia butuhkan, merupakan kombinasi tepat yang mampu membangkitkan amarahnya dalam sekejap. Bukannya pergi, pria itu malah berinisiatif mendorong kedua troli dengan dua tangan kekar yang dimilikinya.

“Eh, eh! Kamu mau ke mana? Mau dibawa ke mana troliku?” tanya Maira bingung dan kesal. Ia melangkah terpincang-pincang, berniat mencegat, tetapi langkah pria itu lebih besar dan cepat darinya. Padahal, nyeri di kakinya belum juga hilang.

“Aku akan membayar semua belanjaanmu sebagai tanda permintaan maaf. Apa masih ada yang mau kamu beli?” ujar pria itu sambil mendorong troli menjauh dari lorong tempat kejadian. Mendengar ucapan pria itu, niat Maira untuk mencegat pun lenyap seketika.

“Dasar orang aneh!” gerutu Maira dengan suara kecil seperti berbisik saat berjalan di samping pria itu. Masih berusaha menekan nyeri di kaki, perut, dan tangannya, sesekali Maira melirik sinis dan mendengus kesal pada pria itu. Menyadari lirikannya, pria itu pun menoleh, dan secepat kilat Maira langsung mengalihkan pandangan ke arah lain. Sialnya, pria itu makin mempercepat langkah, sementara Maira berusaha keras menyamakan.

“Tunggu!” pinta Maira tiba-tiba. Pria itu pun berhenti dan menoleh ke arahnya. Dengan napas terengah-engah karena rasa lelah, sakit, dan kesal yang bercampur menjadi satu, Maira berusaha mengendalikan diri agar tidak memperkeruh kejadian ini.

“Masih mau beli sesuatu?” tanya pria itu datar. Maira terdiam sesaat. Apa benar dia mau bayarin semua belanjaanku? Kalau benar, aku jadi nggak enak sama dia. Tapi ..., ah, sudahlah! pikir Maira cepat.

“UHT. Aku mau beli susu UHT. Tunggu di sini!” jawab Maira, seperti memerintah. Ia berjalan menuju lorong susu sembari menarik napas dalam-dalam demi meredam nyeri di jari-jari kakinya yang terlindas troli. Setibanya di depan barisan susu UHT favoritnya, ia mengambil tiga kotak susu berukuran besar, memeluknya di depan dada, lalu kembali ke troli, dan meletakkan susu itu di dalam sana.

“Ada lagi?” tanya pria itu singkat.

Maira menggeleng cepat. Pria itu kembali mendorong troli mereka menuju meja kasir, lalu mengantre sembari menunggu dua orang yang ada di depan barisan. Perlahan-lahan, rasa sakit di jemari kakinya pun mulai hilang, tetapi tidak dengan tangan dan perutnya yang masih nyeri. Selama menunggu, Maira sama sekali tidak berbicara dengan pria itu, keadaan ini benar-benar canggung. 

Akhirnya, tibalah giliran mereka maju ke depan kasir. Pria itu dengan cekatan meletakkan semua belanjaan di meja pembayaran, sementara si kasir mulai melakukan tugasnya, dan seorang petugas yang lain memasukkan belanjaan ke beberapa plastik, lalu meletakkannya ke troli. Dengan sikap tenang, pria itu mengeluarkan dompet, lalu memberikan sebuah kartu pembayaran pada kasir. Setelah membayar, pria itu segera mendorong troli berisi seluruh belanjaan mereka menjauh dari meja kasir. Menyadari kalau pria itu berjalan begitu saja tanpa berniat menyudahi pertemuan yang tak disengaja ini, Maira pun segera bertindak.

“Hei, tunggu!” panggil Maira cepat, berniat mengakhiri pertemuan yang tidak menyenangkan ini. Pria itu langsung berhenti melangkah, lalu menoleh ke arah Maira.

“Apa?” tanya pria itu datar.

“Belanjaanku?” pinta Maira sambil mengulurkan tangan.

“Aku yang bawa, tanganmu masih sakit. Aku akan mengantar sampai ke mobilmu,” ucap pria itu, tipis dan tegas. Mata cokelat almond yang menatap tajam, membuat Maira merasakan serangan ketakutan yang begitu kuat. Perasaan kesal dan ketus yang coba ia tunjukkan pun sirna seketika karena tatapan itu.

“A-aku ..., aku naik bus ke sini. Aku masih bisa bawa belanjaan itu sendirian,” jawab Maira gugup. Loh, kenapa aku jadi salah tingkah begini? batin Maira bingung.

“OK. Kalau begitu, aku yang akan mengantarmu pulang,” balas pria itu cepat.

What!!” seru Maira kaget. 

Tidak memedulikan protesnya, pria itu malah kembali melanjutkan perjalanan. Tidak ingin tertinggal, Maira segera mengejar dan menyamakan langkah pria itu. 

“Berhenti!” perintah Maira sedikit berteriak, kali ini berusaha untuk berani. Maira tidak peduli seberapa tajam dan dalam mata itu menatapnya, tetapi ia harus bisa mengendalikan keadaan. Terpaksa, pria itu kembali berhenti, begitu juga dengan troli yang ada di hadapannya. Sembari melipat kedua tangan di depan dada bidangnya, pria itu pun berbalik dan menatap Maira dalam-dalam.

“Ini salah!” protes Maira tegas.

“Kenapa?” tanya pria itu cuek.

“Aku tidak mengenalmu. Siapa tahu kamu itu buronan atau psikopat. Tidak! Aku tidak sebodoh itu. Sini! Balikin belanjaanku!” ungkap Maira, benar-benar tegas. Pria itu tidak langsung menanggapinya. Namun, tatapan yang makin dalam dan tajam, serta wajah yang terlihat geram dan kesal dari balik masker, membuat Maira salah tingkah. 

“Aku bukan orang jahat, apalagi psikopat seperti yang kamu pikirkan. Lagi pula ....” 

Kalimat pria itu terhenti sesaat, sementara matanya meneliti Maira dari ujung kaki hingga kepala dengan pandangan menyelidik 

You’re not my type! Jadi, aku tidak akan melakukan hal yang aneh-aneh padamu!” lanjut pria itu tipis. Dengan tatapan dingin tak peduli, pria itu segera berbalik, lalu beranjak meninggalkan Maira yang masih terdiam di tempat karena kaget. 

What?? Kenapa jadi dia yang lebih ketus? batin Maira, tidak percaya. Akhirnya, Maira mengejar pria itu serta barang belanjaan yang berada cukup jauh darinya.

“Hei! Tunggu dulu!” teriak Maira kesal sambil mengejar pria itu, lalu menarik ujung kaosnya. Pria itu kembali berhenti, kemudian menoleh cepat, lalu menatapnya dengan sorot mata kesal bercampur malas.

“Apa lagi?” tanya pria itu geram dari balik masker yang menutupi hampir sebagian wajahnya. 

Loh, loh! Kenapa jadi dia yang lebih galak dariku? pikir Maira sambil mengatur napasnya yang tersengal-sengal.

“Aku ..., aku naik taksi saja,” kata Maira terengah-engah.

Pria itu memperhatikan, meneliti, dan mempelajarinya saksama. Seakan-akan mampu membaca isi pikiran Maira, pria itu memasang raut ragu dengan salah satu alis melengkung naik, sebelum akhirnya mengembuskan napas pasrah.

“OK, aku antar kamu ke pangkalan taksi,” balas pria itu cepat, lalu lanjut berjalan, meninggalkan Maira begitu saja.

Isshh! Apa sih maunya? geram Maira kesal di dalam hati sambil mengekor di belakang pria itu. 

Akhirnya, mereka tiba di pintu utama. Sialnya, tak ada satu pun taksi di sana. Setelah meminta Maira duduk di kursi tunggu, pria itu menunggu sejenak di pinggir halaman pintu utama. Berselang beberapa menit kemudian, pria itu melambaikan tangan saat melihat sebuah taksi yang langsung menghampiri dan berhenti tepat di depan mereka. Maira pun bergegas berdiri dan berjalan ke sisi mobil. Sopir taksi membukakan pintu untuknya, sedangkan pria itu memasukkan plastik belanjaan ke mobil. 

“Terima kasih,” ucap Maira singkat, tanpa menoleh sedikit pun.

Take care,” balas pria itu datar sebelum menutup pintu.

Maira tidak berniat menanyakan nama si penabrak karena tak berharap akan bertemu lagi dengan pria itu. Namun, saat mobil bergerak menjauh dari pangkalan taksi, Maira mencuri pandang melalui kaca spion. Pria itu masih berdiri memperhatikan taksi yang ia tumpangi, sampai akhirnya menghilang dari jarak pandangnya.

 

∞∞∞∞∞

BAB 5

Nyeri di perut dan tangan masih terasa saat Maira tiba di rumah. Beruntung, sopir taksi mau membantu mengangkat dan meletakkan plastik belanjaannya di meja makan. Setelah sopir taksi pergi, Maira langsung mengunci gerbang dan pintu rumah. Ia pun bergegas masuk ke kamar mandi, membuka baju, dan melihat memar yang makin terlihat jelas di perut serta tangan. Setelah mengamati sebentar memar tersebut, Maira melangkah ke bawah pancuran air, sementara tangannya membasuh tubuh dengan perlahan.

Sesudah mandi, Maira langsung mengenakan pakaian tidur, lalu menggulung rambutnya yang masih basah dengan handuk kecil. Setelah mengolesi lebamnya dengan salep pereda nyeri, Maira beranjak keluar dari kamar tidur. Secepat mungkin Ia merapikan barang belanjaan, kemudian menyiapkan makan malam untuk dirinya sendiri. 

Biasanya, ketika Ben masih di Jakarta, pria itu selalu makan malam di rumah bersama Maira. Malam ini, rasa sepi mulai menyerang dirinya. Ia meletakkan piring di meja makan, menyalakan televisi, lalu duduk di kursi sambil menikmati makan malam. Di sela-sela makannya, Maira mencoba menghubungi Ben karena hari ini pria itu sama sekali belum memberinya kabar. 

Halo, Sayang,” sapa Ben ringan saat menjawab panggilannya.

“Bagaimana keadaan di sana, Ben?” tanya Maira lalu memasukkan sesendok makanan ke mulutnya yang lapar.

Lancar, Sayang. Besok aku pulang, tapi ....” Tiba-tiba, Ben terdiam. Maira mulai merasa ada yang aneh dengan nada bicara Ben. Ia langsung meletakkan sendok dan menelan makanan dengan cepat. Seketika itu pula, rasa kenyang menghampirinya.

“Tapi apa, Ben?” tanya Maira, berusaha tenang meskipun kegelisahan mulai melanda.

Minggu depan aku harus kembali ke Bali. Ada proyek khusus yang harus aku kerjakan di sini,” jawab Ben terdengar gugup dan kaku. Maira mencoba mencerna informasi tersebut. Namun, entah mengapa keraguan langsung mengisi hatinya. 

“Berapa lama, Ben?” tanya Maira, masih berusaha tenang, sementara ia mencoba menebak alasan di balik tugas mendadak itu.

Maafkan aku, Sayang. Ini kesempatan untukku. Kalau proyeknya lancar dan sukses, aku bisa dipromosikan naik jabatan. Aku melakukan ini untuk kita, Sayang. Untuk masa depan kita,” jelas Ben lagi, mencoba memberi pengertian. Penjelasan itu bukannya membuat Maira tenang, malah makin memperbesar kecurigaannya.

“Aku tanya, berapa lama kamu di sana, Ben?” tanya Maira lagi, sambil menjaga intonasi suaranya.

Kurang lebih satu bulan, Sayang,” jawab Ben hati-hati. Maira tidak langsung menanggapi jawaban itu. Satu bulan? Kenapa lama sekali? Proyek apa sebenarnya yang dia urus? tanya Maira dalam hati sambil terus berpikir keras.

Maaf, Sayang. Ini perintah langsung dari atasanku, aku nggak mungkin menolaknya. Percayalah padaku, Sayang. Aku melakukan semua ini untuk masa depan kita,”jelas Ben dengan nada memohon.

Rasa bersalah serta kegugupan yang terkandung dalam setiap ucapan Ben, benar-benar membuat Maira curiga. Ia bahkan belum menunjukkan respons berlebih atas kabar tersebut, tetapi Ben sudah meminta maaf padanya. Seperti biasa, Maira lebih memilih diam sejenak dan menyerap kabar ini sebaik mungkin, meskipun dengan sikap tenang yang dipaksakan. Ia tidak ingin masalah ini merusak hubungan mereka dan menghancurkan rencana pernikahan. Walaupun rasa kesal dan kecewa mulai menghampiri, tetapi Maira mencoba menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan agar dapat berpikir dengan tenang dan terkendali. 

“Kapan kamu diberi tahu tentang tugas ini?” tanya Maira, tenang, datar, dan sedikit tegas.

Tadi siang, Sayang,” aku Ben pelan. 

Aku usahakan nggak sampai sebulan di sini, aku pasti segera kembali ke Jakarta,” lanjut Ben, masih berusaha membuat kabar ini terdengar menyenangkan bagi Maira. Tidak! Maira tidak senang sama sekali.

“Kenapa kamu baru kasih tahu aku sekarang?”

Maira menuntut penjelasan sambil berusaha menjaga intonasi bicara, meskipun sesungguhnya ia kecewa karena Ben tidak langsung mengabari. Padahal, Ben pasti sadar kalau kabar ini sangat memengaruhi hubungan serta rencana mereka.

Maafkan aku, Sayang. Aku bermaksud memberi tahumu saat tiba di Jakarta besok. Aku nggak mau kamu kecewa atau berpikiran buruk padaku,” jelas Ben, memohon maaf sekaligus membela diri.

“Lalu, bagaimana dengan lamaran keluargamu ke orang tuaku, Ben?” tuntut Maira. Ia tidak ingin lamaran ini diundur dan membuat dirinya malu di depan keluarga.

Aku sudah atur semuanya, Sayang. Aku sudah minta izin ke atasanku, dan dia memberiku izin satu minggu ini untuk membereskan semuanya. Besok, aku berangkat ke Jakarta sama Ibu. Aku nggak akan kecewain kamu, Maira. Nggak akan!” jelas Ben penuh tekad.

Jawaban Ben setidaknya memberi sedikit rasa tenang bagi Maira, meskipun kekecewaan itu masih ada. Kesungguhan dan keseriusan Ben, perlahan-lahan menghilangkan kerisauan dalam hatinya. Sementara, Maira masih terdiam sesaat sambil berpikir. 

Ini memang sangat mendadak, tapi mungkin Ben benar. Semua ini demi diriku. Demi masa depan kami. Aku tidak boleh egois. Jika ini adalah jalannya menuju kesuksesan, maka aku harus mendukung Ben. Sama seperti saat Ben mendukungku dalam bisnis yang aku bangun bersama kedua temanku, batin Maira.

Percayalah padaku, Sayang,” mohon Ben memelas, membuat Maira luluh.

“Kamu janji dulu sama aku,” tuntut Maira. Ia harus melakukan ini agar dirinya tenang selama pria itu berada jauh darinya.

Apa, Sayang?” tanya Ben cepat, terdengar sedikit antusias.

“Kamu harus ngabarin aku setiap saat. Di mana, sedang apa, sama siapa. Harus!” tuntut Maira lagi, “kamu nggak boleh lupa sama aku, nggak boleh lirik-lirik wanita lain. Setiap pagi, waktu mau makan siang, bahkan pas mau tidur, kamu harus ngabarin aku. Janji?”

Aku janji, Sayang,” jawab Ben tanpa ragu sedikit pun. Senyum kecil tersungging di wajah Maira ketika ia mengembuskan napasnya yang masih terasa berat.

Kamu nggak marah sama aku, ‘kan?” tanya Ben lembut. 

Ingin sekali Maira mengatakan kalau dirinya marah, kecewa, sedih, dan tidak mau berada jauh dari Ben. Namun, ia berusaha bersikap dewasa demi kebaikan bersama. Ini adalah pertama kalinya ia harus benar-benar jauh dari Ben dalam waktu yang cukup lama, dan Maira berharap dirinya mampu menjalani hubungan jarak jauh ini.

Ingin sekali ia menyuruh Ben menolak proyek itu, tetapi itu sangat egois dan kekanak-kanakan. Mereka berdua sudah dewasa. Jika ini yang terbaik untuk karier Ben, maka ia harus mendukung sepenuhnya.

“Sedikit. Tapi, selama kamu menepati janjimu, mungkin aku bisa memaafkan kesalahanmu karena nggak langsung ngabarin aku,” jawab Maira. Seyum lembut pun mulai menghiasi wajahnya.

Maafkan aku, Sayang. Aku janji ini adalah yang terakhir kali. Lain kali, aku pasti langsung kasih tahu kamu kalau ada informasi penting seperti ini. Kamu selalu jadi prioritas utamaku, Maira. Kamu tahu itu ‘kan, Sayang?” ungkap Ben, terdengar tulus. 

Kata-kata itu membuat kekecewaan dalam dadanya lenyap seketika. Inilah yang membuat Maira tidak bisa jauh dari Ben. Pria itu begitu memuja dan memanjakannya sehingga Maira tidak akan bisa berlama-lama marah pada Ben.

“Iya, Ben. Aku tahu. Kamu juga prioritas utamaku,” balas Maira sebelum melanjutkan makannya. Nafsu makan dan rasa lapar kembali menyerang perutnya. Hidangan di hadapannya pun kembali terlihat menggiurkan.

Aku tiba di Jakarta sekitar jam delapan pagi—

“Aku jemput, ya,” potong Maira cepat. Ia sudah tidak sabar ingin bertemu Ben dan calon mertuanya.

Kamu yakin?” tanya Ben, terdengar seperti ingin menolak.

“Iya, Ben. Kenapa?” tanya Maira balik.

Nggak apa-apa. Sampai ketemu besok, Sayang,” jawab Ben lembut.

I love you, Ben,” ucap Maira penuh cinta.

I love you, too, Maira,” balas Ben sebelum memutuskan pembicaraan. Maira meletakkan ponsel di meja makan, lalu kembali berkutat dengan makanan, dan menghabiskannya dengan segera.

 

∞∞∞∞∞

 

“Bagaimana, Ben?” tanya wanita itu dari belakang punggungnya.

“Masalah ini harus segera selesai. Semua ini harus kita akhiri. Aku nggak mau nyakitin Maira dan orang tua kita,” jelas Ben pada wanita itu, sambil memasukkan ponsel ke saku celana.

“Aku juga nggak mau ini semua terjadi, Ben. Lalu, apa yang harus kita lakukan?” tanya wanita itu sambil berjalan mendekat dan menatap Ben dalam-dalam. Ben merasakan sesuatu yang mengganjal di hatinya. Ia tahu, keputusannya kali ini pasti akan memengaruhi masa depannya.

“Aku akan mengatur semuanya. Kamu ikuti saja apa yang aku katakan,” ucap Ben sambil terus menggenggam kedua tangan wanita itu.

“Hanya kita yang boleh tahu rencana ini. Jangan beri tahu siapa pun, bahkan orang tua kita. Percayalah padaku, kamu akan memperoleh apa yang kamu inginkan, begitu juga denganku,” janji Ben sungguh-sungguh.

“Kamu yakin, Ben?” tanya wanita itu, ragu.

“Ya. Aku yakin,” jawab Ben cepat.

“Minggu depan aku akan kembali ke sini. Setelah itu, kita bisa menjalankan rencana selanjutnya,” jelas Ben sambil terus berusaha meyakinkan wanita itu, meskipun sesungguhnya ia sendiri tidak tahu apakah rencana ini akan berjalan lancar atau tidak. Akhirnya, wanita itu mengembuskan napas panjang. Kelegaan pun terlihat jelas di wajah cantiknya. Dengan penuh kasih sayang, Ben menarik tubuh itu, lalu memeluknya erat.

Sayang sekali, seandainya wanita ini bisa menyentuh hatiku terlebih dahulu sebelum Maira, mungkin kami akan bersama. Tapi, hatiku milik Maira, selamanya milik Maira. Dan wanita ini .... Hah, sudahlah! Yang penting aku harus membereskan masalah ini satu per satu dan menjalankan semuanya dengan baik. Semoga semua bisa berjalan sesuai rencanaku. Semoga.

 

∞∞∞∞∞

 

Maira tiba di bandara pukul 07.30. Ia sudah tidak sabar ingin bertemu dengan Ben, bahkan semalam ia tak bisa tidur nyenyak karena memikirkan pertemuan pertamanya dengan ibu Ben. Perasaan senang dan gelisah pun bercampur menjadi satu. 

Selama menjalin hubungan dengan Ben, ia belum pernah bertemu dengan calon mertuanya. Ben hanya bercerita kalau ibunya adalah seorang wanita berparas cantik, dengan hati secantik parasnya. Ben juga bercerita kalau ibunya pernah mengalami kecelakaan saat Ben berusia tujuh belas tahun yang mengakibatkan wanita itu harus duduk di kursi roda.

Sebuah kecelakaan mobil yang menimpa orang tua Ben, membuat ibunya lumpuh dan sempat kritis selama beberapa hari. Ketika ibu Ben siuman, dokter mengatakan ada beberapa saraf tulang belakang dan di kedua kaki yang rusak akibat kecelakaan itu. Hanya itu yang Maira tahu. 

Sebelum keluar dari mobil, Maira merapikan riasan wajah yang tidak terlalu tebal, menyisir rambut lurus yang tak terlihat berantakan sedikit pun, lalu menyemprotkan pewangi ke pakaian. Setelah itu, ia keluar dari mobil, kemudian menguncinya. Maira tampil cantik dengan atasan berwarna abu-abu, rok jingga terang yang berpotongan tepat di atas lutut, dan ikat pinggang kecil melingkar di pinggang.

Sambil menggenggam erat tali tas yang menyelempang di dada, Maira menyeberang menuju area pintu kedatangan. Hari ini suasana bandara cukup ramai. Banyak mobil yang lalu lalang dan beberapa bus besar berwarna biru berbaris rapi di halte. Beberapa orang terlihat sedang mendorong troli berisi koper-koper menuju tempat tertentu. Ada pula yang duduk di kursi tunggu, sibuk dengan kegiatan masing-masing. 

Demi mengisi waktu, Maira menuju salah satu restoran cepat saji. Ia pun memesan sebotol air mineral dan cheese burger untuk mengisi perutnya yang mulai keroncongan. Setelah menerima pesanan, Maira membawa nampan berisi makanan ke salah satu meja yang berada tak jauh dari meja kasir. Ia meletakkan nampan di meja, lalu duduk dan memulai ancang-ancang untuk menikmati sarapannya.

Maira membuka kertas pembungkus burger, lalu menghirup aromanya yang lezat dan begitu menggoda. Ia mengangkat roti paling atas, menaruh sedikit saus di atas daging, lalu meletakkan roti kembali, kemudian mengangkat burger ke depan mulutnya. Dengan rasa lapar yang tak terkira, Maira membuka mulut lebar-lebar, siap menikmati makanannya.

Baru saja ia ingin merasakan nikmat daging menyentuh lidahnya, tiba-tiba sebuah entakkan keras menyenggol tangan Maira. Bagaikan gerakan slow motion, ia menatap burger terempas dari tangannya dan jatuh berserakan di lantai. Dengan mata terbelalak dan mulut terbuka lebar, Maira meratapi kemalangan perut dan burger-nya. Seketika itu pula, rasa kaget bercampur perut kosong yang menuntut untuk diberi makan, membangkitkan amarah dalam diri Maira. 

“Maaf, aku tidak sengaja,” ucap pria itu tenang dan datar, tak merasa bersalah sama sekali. Tidak terima, Maira langsung menoleh ke arah si penabrak, lalu beranjak dari kursi, dan berdiri tepat di hadapan orang itu. 

“Maaf saja tidak bisa mengembalikan burger-ku, loh!” tegur Maira kesal, menuntut pertanggungjawaban, sambil menunjuk ke arah burger-nya yang berserakan.

“Kamu?” ujar pria itu tak percaya.

“Kenapa?” tanya Maira bingung sambil mengerutkan kening, lalu menatap tajam mata itu. Mata cokelat almond yang begitu khas. 

“Astaga! Kamu lagi!” seru Maira terkejut menyadari identitas orang yang menyenggolnya. Pria itu terdiam sejenak dengan tatapan yang terus mengunci Maira. Masih sama seperti saat pertama kali bertemu, pria itu mengenakan masker, menutupi kepala dengan kupluk, serta baju lengan panjang. Kupluk hitam pekat yang dikenakan mempertegas warna matanya. Sedangkan baju lengan panjang berbahan rajut, melekat tepat mengikuti lekukan tubuh yang terlihat cukup berotot. 

Terakhir kali mereka bertemu, Maira mencoba untuk bersabar dan menahan luapan emosinya, tetapi tidak untuk saat ini. Perut kosong yang memberontak membuat kendali dalam dirinya lepas begitu saja. 

“Jangan bilang kalau nabrak orang jadi hobby-mu sekarang!” tegur Maira kesal.

Sorry.” Hanya itu yang pria itu ucapkan.

“Ganti! Aku tidak mau tahu, pokoknya kamu harus ganti!” tuntut Maira tegas. Tanpa bertanya terlebih dahulu, pria itu langsung berbalik menuju meja kasir, memesan sesuatu, menunggu sesaat, menerima pesanan, lalu kembali ke meja Maira. 

“Ini,” kata pria itu datar seraya meletakkan plastik di meja dengan tangan kanan, sedangkan nampan berisi makanan berada di tangan yang lain. Maira langsung membuka plastik dan menemukan burger-nya.

“Terima kasih,” ucap Maira sambil mengeluarkan burger dari plastik dan meletakkannya di piring. Dengan sikap sedingin es, pria itu tak membalas ucapannya sedikit pun, bahkan berniat pergi begitu saja.

“Tunggu!” panggil Maira cepat, mencegat kepergian pria itu. Dengan tatapan tajam, pria itu pun menoleh dan menatapnya.

“Rasanya aneh kalau aku tidak tahu siapa namamu, sedangkan kita sudah dua kali bertemu,”ungkap Maira mencoba untuk sedikit bersikap hangat karena setidaknya pria itu selalu bertanggung jawab atas setiap perbuatannya.

“Nico,” jawab pria itu singkat, lalu menjauh dari Maira tanpa bertanya balik. Maira mengangkat bahu tidak peduli ketika Nico menjauh dan duduk di salah satu kursi yang berada di pojokkan. Maira kembali duduk di kursinya, lalu menatap sekilas burger yang berserakan di lantai. Ia berinisiatif memanggil salah seorang pelayan agar membersihkan kekacauan tersebut. Setelah lantai di bersihkan, barulah ia mulai membuka plastik pembungkus burger.

Hebat sekali! seru Maira takjub dalam hati saat melihat burger yang Nico pesan sama seperti yang ia beli sebelumnya. Ia menoleh sekilas ke arah Nico yang sedang sibuk mengetik sesuatu di ponsel. 

Tak ingin membuat perutnya makin keroncongan, Maira langsung melahap makanannya sembari sesekali melirik ke arah Nico. Akhirnya, Maira menghabiskan burger-nya dalam sekejap, lalu mengeluarkan ponsel dari tas, dan membaca pesan masuk dari Ben yang mengatakan bahwa pria itu sudah mendarat dan sedang menunggu koper keluar dari bagasi pesawat.

Maira bergegas memasukkan ponsel ke tas, lalu beranjak dari kursi, dan pergi dari restoran cepat saji itu. Ia melangkah melewati meja Nico yang masih belum menyentuh makanannya dan tampak serius berbicara dengan seseorang di balik ponsel. Maira terus berjalan makin menjauh, sementara ia bisa merasakan tatapan panas dan tajam yang mengikuti langkahnya dari belakang. Maira mencoba untuk tidak peduli dan tetap melangkah menuju pintu kedatangan.

Semoga aku nggak ketemu sama dia lagi.

 

∞∞∞∞∞

 

BAB 6

Maira berdiri di depan pagar pembatas pintu kedatangan. Debaran jantungnya begitu cepat, perpaduan rasa gugup dan senang. Tangan dan kakinya pun terasa dingin. Ia terus menggenggam tali tas makin erat demi menekan rasa gugupnya. Sementara, matanya tertuju ke salah satu sudut di mana makin banyak orang keluar dari balik tembok. 

Mata Maira berbinar bahagia ketika melihat pria yang begitu ia cintai, berjalan menuju pintu keluar sambil mendorong sebuah troli berisi beberapa koper. Seorang wanita berseragam perawat, mendorong kursi roda dan berjalan di samping Ben. Ibu Ben duduk diam di kursi roda dengan tatapan kosong, sedangkan Ben—yang melihat ke arah Maira—langsung tersenyum lebar dan mempercepat langkahnya.

“Ben.” Suara Maira bergetar ketika pria itu berdiri tepat di depannya. Ia berusaha keras menahan kerinduan yang mulai tak terbendung. Tak ada yang tahu betapa Maira sangat merindukan Ben. Baru saja sehari tak bertemu, perasaannya sudah gundah gulana. Bagaimana kalau satu bulan? batin Maira nelangsa.

Seolah-olah mampu merasakan kerisauannya, Ben langsung membelai lembut wajah Maira. Seketika itu pula, air matanya menetes. Saat ini, Maira tak mampu lagi menahan perasaannya. Ia merindukan Ben. Sangat!

“Aku pulang, Sayang,” ucap Ben lembut yang membuat air mata Maira makin berderai. Ia mencoba kuat, tetapi tidak bisa. Maira tidak bisa berbohong. Ia tahu kalau dirinya tidak akan bisa jauh dari Ben. 

Maira mengangguk lemah seraya mengusap air matanya. Tak ingin membuang waktu hanya dengan menangis, Maira mulai menarik napas dan mencoba menahan isak tangisnya. Senyum lembut yang menghiasi wajah Ben ketika menggenggam erat tangan Maira, memberikan kekuatan serta ketegaran yang sempat hilang dalam dirinya.

“Maira, ini Ibuku,” ucap Ben memperkenalkan. Ibu Ben tampak seperti berada di dunia lain, tatapannya begitu kosong meskipun saat ini wanita itu tersenyum lembut pada Maira.

“Bu, ini Maira, wanita yang kuceritakan kemarin,” lanjut Ben. Maira menjabat tangan wanita itu dengan senyum merekah. Ibu Ben terlihat lebih cantik dibandingkan dengan foto yang pernah Ben tunjukkan padanya. 

“Selamat datang, Tante,” sambut Maira ramah. Ibu Ben mengangguk tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, hanya tersenyum.

“Kamu parkir di mana, Sayang?” tanya Ben pada Maira.

“Tidak jauh dari sini,” jawab Maira sambil menunjukkan arah. Mereka pun mulai berjalan menuju tempat parkir mobil. Sesampainya di depan mobil Maira, Ben meminta kunci, berniat untuk menyetir. Dengan senang hati, Maira memberikan kunci mobil pada Ben.

Dengan cekatan, Ben memasukkan koper ke bagasi, lalu menggendong ibu masuk ke mobil. Sama pendiamnya dengan ibu Ben, si perawat bergegas duduk di samping wanita itu. Maira berusaha tidak memedulikan hal tersebut dan segera duduk di kursinya. Setelah semua duduk tenang di kursi masing-masing, Ben langsung mengendarai mobil menjauh dari bandara menuju salah satu hotel yang dekat dengan tempat tinggal pria itu.

Perjalanan mereka cukup lancar, sama seperti saat Maira datang ke bandara. Namun, selama perjalanan Ben tidak terlalu banyak bicara seperti biasa. Pria itu hanya menanyakan hal-hal ringan, seperti bagaimana kabarnya dan apakah ia sudah makan. Hanya itu. 

Biasanya, setiap kali mereka berada di mobil, Ben selalu bercerita tentang kegiatan selama di kantor atau kejadian-kejadian lucu yang dialaminya, tetapi tidak hari ini. Padahal, mereka tidak bertemu kemarin. Maira yakin pasti ada cerita lucu atau apa pun itu yang bisa Ben ceritakan. Namun, pria itu hanya diam dengan pandangan lurus ke depan. Mungkin Ben lelah, pikir Maira.

Ibu Ben juga tidak bersikap layaknya calon mertua yang senang menggali informasi dan kelemahan dari calon menantu. Sedikit banyak, Maira merasa bersyukur jika ia mendapatkan calon mertua yang tidak cerewet. Namun di sisi lain, ia merasa janggal dengan kesunyian ini.

Sikap Ben sangat pendiam, begitu juga ibunya. Biasanya setiap kali mengendarai mobil, Ben sesekali melirik dan tersenyum ke arahnya. Namun hari ini, pria itu hanya tersenyum padanya saat di gerbang kedatangan saja. Setelah itu, tidak ada sama sekali. Apa karena ada ibunya jadi Ben bersikap kaku seperti ini? pikir Maira mencoba mengerti.

Perjalanan singkat jadi terasa lama dan membosankan. Akhirnya, Maira inisiatif menyalakan radio demi mengisi kesunyian yang membuatnya mengantuk. Sebuah lagu lawas dari Air Supply yang berjudul Without You, mengalun indah dan memberi ketenangan di hati. Namun, Ben tiba-tiba mengganti saluran radio dan mengecilkan volume. 

Maira langsung menoleh dan melemparkan tatapan protes pada Ben. Ingin rasanya ia menanyakan tentang perubahan sikap itu, tetapi Maira tidak mau membuat calon mertuanya menilai bahwa dirinya adalah calon istri yang cerewet, suka melawan dan mengatur. Tidak! Maira tidak menginginkan hal itu.

Akhirnya, Maira membuang wajah ke samping dan memandangi jalan tol yang penuh kendaraan lalu lalang. Ingin rasanya Maira membuka percakapan, tetapi ia tidak tahu harus bertanya atau membicarakan apa. Tidak ingin kekakuan yang terasa begitu kental mengisi suasana mobil merusak suasana hatinya, Maira memutuskan untuk diam seribu bahasa sambil mendengar suara radio yang begitu pelan, bahkan hampir tak terdengar. 

Satu jam kemudian, mereka tiba di sebuah hotel. Tempat itu tidak terlalu mewah, tetapi juga tidak terlalu buruk. Ben memarkir mobil di lahan parkir yang berada tidak jauh dari pintu lobi. 

Masih dalam keadaan diam seribu bahasa, Ben segera keluar dari mobil dan langsung menuju pintu bagasi, lalu mengeluarkan kursi roda. Maira pun turun, menutup pintu, lalu menunggu sejenak sembari memperhatikan. Setelah menggendong dan menempatkan ibu di kursi roda dengan hati-hati, Ben langsung menurunkan dua koper berukuran besar. 

Maira menangkap besarnya perhatian dan rasa sayang Ben pada ibu. Ada sedikit rasa cemburu atas perhatian yang Ben berikan pada wanita itu, tetapi dengan cepat Maira menepisnya. Ia tidak ingin merasa tersaingi oleh satu-satunya wanita yang tak mungkin tergantikan di hidup Ben. Wanita itu yang melahirkan dan merawat Ben dari kecil hingga menjadi pria yang ia cintai saat ini.

Setelah memastikan barang bawaan ibunya tidak ada yang tertinggal, Ben langsung mengunci pintu, lalu melangkah menuju pintu lobi. Pria itu berjalan di samping kursi roda, masih tetap dalam kondisi diam seribu bahasa. Sementara, Maira masih berusaha sabar dengan keheningan yang begitu memuakkan, dan mengikuti langkah Ben dari belakang. 

Mereka masuk ke hotel dan menunggu di salah satu sofa besar dekat meja resepsionis selagi Ben melakukan reservasi. Beberapa menit kemudian, Ben menghampiri dan mengajak mereka―lebih tepatnya, hanya ibu dan si perawat saja―untuk masuk lift. Ben meminta Maira untuk menunggu di sofa, sementara pria itu mengantarkan ibu ke kamar hotel. 

Maira ingin menolak dan menawarkan diri untuk ikut. Namun, apalah dayanya? Maira hanyalah tunangan Ben dan belum menjadi istri. Akhirnya, ia pun pasrah dan menunggu di sofa sambil melihat mereka masuk lift.

Kenapa aku nggak boleh ikut? Apa Ibunya nggak suka sama aku?

 

∞∞∞∞∞

 

Hampir satu setengah jam Maira menunggu, tetapi Ben belum juga turun. Akhirnya, Maira mengeluarkan ponsel dari tas dan segera menghubungi Ben. Ia sudah tidak bisa bersabar lagi. Baginya, ini sudah tidak masuk akal. 

Mana ada seorang tunangan disuruh nunggu di bawah seperti orang asing, sedangkan pasangannya malah di kamar hotel bersama ibunya sampai lupa sama tunangannya sendiri? geram Maira dalam hati. Dua kali ia menghubungi Ben, tetapi tidak ada jawaban sama sekali. Maira mencoba untuk yang ketiga kali, dan akhirnya pria itu menjawab. 

Kenapa?” tanya Ben tipis. Napasnya terengah-engah seperti sedang tergesa-gesa.

“Kenapa?” ulang Maira kesal, tidak percaya dengan pertanyaan itu. Ingin rasanya Maira langsung memaki dan meninggalkan Ben.

Ada apa?” tanya Ben, merasa tidak bersalah sama sekali.

“Kamu turun sekarang, atau aku pulang naik taksi!” ancam Maira tegas. Ini sudah di luar batas sabarnya. Sikap Ben benar-benar aneh hari ini. Begitu dingin, tidak ada senyum hangat, dan menganggapnya tidak ada. Ini bukanlah Ben yang ia kenal. Maira langsung memutuskan panggilan tanpa berusaha memberi kesempatan pada Ben untuk menjelaskan. Beberapa menit kemudian, pintu lift pun terbuka dan Ben keluar sambil melangkah cepat. Masih dengan ekspresi tak terbaca, pria itu menghampiri Maira, yang langsung beranjak dari sofa.

“Maafkan aku, Sayang,” ucap Ben lembut, dan seketika itu rautnya berubah menjadi sosok pria yang Maira kenal. Sosok yang memiliki sinar wajah ramah serta tatapan hangat dan penuh cinta yang selalu tertuju padanya.

“Ben, apa ada masalah?” ucap Maira hati-hati. Ben terdiam sejenak. Tatapan hangat itu kembali menghilang dalam sekejap, bahkan Maira bisa melihat jelas betapa Ben berusaha bersikap tenang seperti biasa. 

“Oh, itu. Nggak ada apa-apa, Sayang. Semua baik-baik saja, kok,” jawab Ben gugup. Maira menatap Ben dalam-dalam, dan instingnya mengatakan kalau ada sesuatu yang berusaha disembunyikan darinya. 

“Maafkan aku karena membuatmu menunggu lama ya, Sayang,” ucap Ben lembut, lalu menarik tangan Maira, dan menggenggamnya erat. Sedangkan tangan yang lain, membelai wajah Maira penuh cinta, sementara mata Ben menatapnya dalam-dalam. Meskipun keraguan itu masih ada, tetapi dengan mudahnya Maira memaafkan Ben. Akhirnya, Maira menghela napas cepat dan senyum kecil pun mulai menghiasi wajahnya, sementara Ben mengembuskan napas lega. 

“Kamu cantik sekali hari ini. Apa aku sudah mengatakannya?” tanya Ben, mengalihkan pembicaraan. Maira menggeleng, mengerut kecewa seperti anak kecil yang sedang merajuk. Ben pun langsung memberi tatapan penuh penyesalan. 

“Maafkan aku, Sayang. Aku benar-benar sudah mengecewakanmu,” sesal Ben merasa bersalah.

“Nggak apa-apa, Ben. Aku mengerti, kok,” jawab Maira, ekstra sabar.

“Kamu sudah makan? Bagaimana kalau kita cari makan siang?” tanya Ben sambil menuntunnya keluar dari ruang tunggu. Maira melihat jam tangannya yang menunjukkan pukul 11.25.

“Kita makan di tempat biasa, yuk,” ajak Maira, mulai ceria. Ben tersenyum hangat, menyetujui usulnya. Ya. Senyum inilah yang ia tunggu dari tadi. Senyum hangat dan penuh cinta.

 

∞∞∞∞∞

 

Maira mengunyah makanan sambil memandang Ben yang menikmati sepiring iga bakar. Sesekali Ben tersenyum padanya, mencoba terlihat tenang dan santai. Namun, bukan Maira namanya kalau ia tidak bisa merasakan kejanggalan pada sikap Ben. Ia harus bertanya, atau ia akan melewati malam ini dengan penuh rasa curiga di pikirannya.

“Ben,” panggil Maira membuka pembicaraan.

“Ya, Sayang,” jawab Ben santai.

“Boleh aku tanya sesuatu?” tanya Maira sambil menatap wajah Ben yang berubah kaku seketika, seakan-akan mengetahui apa yang akan ia bicarakan.

“Kenapa, Sayang?” tanya Ben balik, sedangkan senyum kaku di wajah menunjukkan ada yang sedang ditutupi oleh pria itu.

“Apa ada masalah waktu kamu di Bali?” tanya Maira tenang.

Ben tidak langsung menjawab pertanyaannya. Pria itu malah mengangkat gelas, lalu meneguk es teh manis dengan gugup. Maira bisa mendengar bagaimana es-es di dalam gelas itu berdenting karena tangan Ben bergetar ketakutan. Maira menatap Ben, tetapi pria itu berusaha agar tidak bertatapan dengannya. Dan saat itu juga, Maira benar-benar yakin kalau Ben sedang menyembunyikan sesuatu.

“Ben, kamu nggak bisa menutupi apa pun dariku. Kamu tahu itu, ‘kan? Aku bisa lihat, hari ini kamu sangat berbeda, kamu—“

“Maafkan aku, Sayang. Nggak ada masalah sama sekali kok,” potong Ben cepat, membuat Maira terdiam sejenak. Jawaban itu terkesan dingin dan ketus, yang membuat Maira makin tidak tenang.

“Kamu bisa cerita padaku, Ben. Sikapmu kaku sekali, dan wajahmu ..., seperti sedang memikirkan sesuatu,” lanjut Maira, bertekad tak akan berhenti sampai Ben menceritakan yang sebenarnya.

“Aku hanya memikirkan pekerjaanku, Sayang. Ada beberapa hal yang harus aku selesaikan dalam waktu dekat ini,” jawab Ben kaku. Ingin sekali ia memercayai alasan tersebut, tetapi sikap dan cara bicara Ben yang kaku, membuktikan kalau ada hal lain yang berusaha disembunyikan darinya. 

Ben masih tidak berani menatap Maira saat berbicara, terlihat gugup, dan mencoba sibuk dengan makanannya. Ini bukan Ben yang ia kenal. Pria yang ada di hadapannya saat ini seperti dikendalikan oleh sesuatu. Seakan-akan, jiwa dan pikirannya pergi entah ke mana.

“Kamu yakin hanya itu, Ben?” tanya Maira. Ben langsung meletakkan sendok, mengangkat tangan ke wajah Maira, lalu membelainya lembut. Sangat lembut hingga membuatnya terbuai. Rasa penasarannya pun sedikit memudar.

“Iya, Sayang. Hanya itu. Maafkan aku kalau sudah buat kamu khawatir,” jelas Ben sambil mengusap ibu jarinya di pipi Maira dengan lembut. Maira menangkup tangan Ben, yang masih membelai wajahnya.

“Tapi, Ben ..., aku benar-benar merasa ada yang salah denganmu hari ini,” ungkap Maira yang belum puas akan jawaban Ben, “kamu begitu dingin padaku. Bahkan, kamu membiarkanku menunggu lama di hotel. Kamu nggak pernah begitu sama aku, Ben.”

Ben langsung menarik tangan, menjauh dari wajah Maira, atau lebih tepatnya mengempaskan tangan Maira seakan-akan jijik dengan sentuhannya. Ia pun tersentak kaget menerima sikap dingin itu.

“Aku sudah bilang kalau nggak ada apa-apa! Apa lagi yang kamu mau?” tanya Ben kesal. Sorot mata geram dan muak, tertuju langsung pada Maira. Seketika itu pula, rasa perih bersarang di dada Maira saat menerima perlakuan yang begitu dingin, kasar, dan sinis dari Ben.

“A-aku ..., aku cuma ....”

“Hentikan, Maira! Jangan tanya apa-apa lagi untuk saat ini. Bisa?” pinta Ben tegas dan penuh penekanan. Maira langsung terdiam dan mengurungkan niatnya untuk bertanya. Ya, aku yakin sekali kalau ada sesuatu yang Ben sembunyikan dariku. Entah apa itu, tetapi suatu saat aku pasti akan mencari tahu, batin Maira.

Ia mengangkat gelas, lalu menghabiskan es teh manisnya. Maira mencoba untuk tidak mengungkit masalah itu lagi dan memendam rasa sakit hatinya. Ben, yang kehilangan selera makan, langsung meneguk minuman hingga tandas, kemudian beranjak dari meja dan melangkah menuju kasir. 

Maira duduk terdiam, pikirannya terus berputar sambil menahan rasa kesal yang makin membuncah di dada. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya cepat. Berulang kali Maira melakukan hal itu, berharap bisa meredam rasa pedih dalam dada. Lambat laun, perasaannya mulai terasa lebih ringan, meskipun rasa curiga dan sedih itu masih ada. Beberapa menit kemudian, Ben kembali ke meja, lalu duduk di kursinya. 

“Maira,” panggil Ben datar. Maira menatap Ben dengan sikap tenang dan penuh kesabaran agar pria itu tidak marah dan kesal lagi padanya.

“Hari Selasa kita ada pertemuan dengan keluarga dari pihak ayahku yang ada di Jakarta. Usahakan supaya hari itu kamu tidak terlalu sibuk, ya,” pinta Ben, nadanya masih dingin dan kaku.

“Aku usahakan,” jawab Maira cepat, “di mana pertemuannya?”

“Bandar Djakarta. Jam enam sore,” jawab Ben singkat.

“Kamu jemput aku atau kita ketemuan di sana?” tanya Maira.

“Ketemuan di sana,” jawab Ben singkat. Jawaban itu sangat menohok dada Maira, yang langsung mengerut kecewa dengan sikap Ben. Sekali lagi, Maira menarik napas panjang, berusaha untuk tetap bersabar dan membiarkan sikap dingin Ben berlalu begitu saja. 

“Baiklah,” jawab Maira singkat. 

Akhirnya, mereka beranjak meninggalkan tempat itu dan berjalan menuju mobil yang terparkir di depan rumah makan. Maira masuk mobil, lalu menutup pintu yang ada di sampingnya, begitu juga dengan Ben. Pria itu langsung menyalakan mobil, mengeluarkannya dari tempat parkir, lalu melaju menuju tempat tinggal Ben.

 

∞∞∞∞∞

 

Hai, Ben,” sapa wanita di seberang sana.

“Hai,” jawab Ben ringan, sambil berbaring di tempat tidur. Ben senang karena wanita itu menghubungi tepat saat ia sedang memikirkannya. Aneh? Ya, tentu saja. Namun, itulah yang ia rasakan saat ini.

Bagaimana hari ini? Lancar?” tanya wanita di seberang sana, terdengar ringan dan riang.

“Lumayan. Bagaimana denganmu?” tanya Ben. Senyum terus menghiasi wajah Ben, sementara pikirannya membayangkan wajah wanita itu, yang saat ini mungkin sedang tersenyum sambil berbicara dengannya.

Nggak terlalu lancar, Ben,” keluh wanita itu, terdengar murung disertai tawa kecil yang terkesan dipaksakan.

“Ada apa?” tanya Ben cepat, lalu bangkit dan duduk di tempat tidur.

Orang tuaku mulai menanyakanmu, Ben. Dan ....” 

Wanita itu terdiam sejenak. Hanya terdengar embusan napas berat, menandakan kalau ada sesuatu yang mengusik pikirannya.

“Kenapa?” tanya Ben lembut, mulai khawatir.

Sepertinya, mereka sudah tahu kalau aku ..., aku sudah—

“Seminggu,” potong Ben cepat, “beri aku waktu seminggu. Aku akan kembali ke sana untuk memperbaiki semua ini.” 

Aku nggak tahu apa aku bisa meredam semua ini, Ben,” ungkapnya, menyerah.

“Aku yakin kamu bisa,” sahut Ben, mencoba menguatkan.

Kamu yakin, Ben?” tanya wanita itu ragu.

“Aku yakin,” ujar Ben lantang, “seminggu. Hanya seminggu.”

Baiklah, Ben,” jawab wanita itu pasrah. Kembali terdengar embusan napas berat yang membuat Ben makin khawatir dan tidak tenang.

Bagaimana keadaan Ibu? Apa Ibu senang ketemu sama Maira?” tanya wanita itu penuh perhatian seraya mengalihkan pembicaraan.

“Aku rasa begitu,” jawab Ben tak yakin.

Ada apa, Ben?” tanya wanita itu penasaran.

“Ibu terlalu dingin sama Maira. Dia juga nggak terlalu banyak bicara dan terlihat nggak tertarik sama Maira,” jawab Ben. Ia menyesali sikap ibu pada Maira. Ben tahu kalau Maira mampu merasakan sikap dingin ibu. Ben juga melihat bagaimana ibu terlihat seperti tidak peduli, bahkan tak menganggap keberadaan Maira. Ben benar-benar merasa begitu bersalah.

Sabar, Ben. Kamu tahu Ibu memang begitu. Terkadang, Ibu suka lupa di mana dia berada. Ibu juga bisa tiba-tiba sedih karena mengingat sesuatu,” jelas wanita itu, memberikan pengertian pada Ben.

“Ya. Aku tahu,” balas Ben lemah. 

Tentu saja, Ben tahu dan tidak berusaha menutupi hal itu dari siapa pun. Sejak kematian ayah, ibu memang suka berdiam diri, menyendiri, dan melamun. Bahkan, ibu terkadang suka melupakan hal-hal penting, kecuali ayah. Ibu begitu mencintai ayah. Semua hal yang berhubungan dengan ayah selalu melekat dalam pikiran ibu. Semuanya! Mulai dari parfum kesayangan, makanan dan minuman favorit, bahkan lagu yang selalu ayah nyanyikan pada ibu.

Lagu Without You dari Air Supply adalah salah satu lagu kesukaan ibu. Setiap kali ayah berada jauh dari ibu, ayah selalu menyanyikan lagu dari telepon. Makanya, saat radio tidak sengaja memutar lagu itu di mobil, Ben langsung mengganti ke siaran lain. Ia tidak ingin ibunya kembali bersedih.

Rasa cinta ibu pada ayah sangat besar, begitu juga sebaliknya. Ayah adalah pria yang sangat romantis dan mencintai ibu hingga akhir hayat, dan Ben berharap ia bisa seperti ayah. Mencintai Maira hingga akhir hayat.

Aku harap apa yang kamu lakukan di sana bisa berjalan lancar, Ben,” ujar wanita itu tulus.

“Terima kasih. Kabari aku kalau terjadi sesuatu,” pesan Ben hangat.

Baik, Ben,” jawab wanita itu patuh, dan mereka segera mengakhiri percakapan. Ben meletakkan ponsel begitu saja di tempat tidur dan merenung sejenak, mengingat serta menyusun semua rencananya agar bisa berjalan dengan baik sebelum ia kembali ke Bali.

Semoga semua berjalan lancar.

 

∞∞∞∞∞

 

BAB 7

Hari Selasa pun tiba, dan Maira merasa tidak semangat seperti biasa. Maira duduk di tempat tidur, mengusap kedua telapak tangan di wajahnya dengan beberapa usapan lemah, lalu bergeser ke tepi tempat tidur dan duduk di sana sejenak. Ia mengembuskan napas cepat, mencoba mengubur kegelisahan yang melingkupinya sejak kepulangan Ben dari Bali.

Pikirannya pun melayang, membayangkan apa yang akan ia lalui hari ini. Nanti sore, ia akan bertemu dengan keluarga Ben dari keluarga mendiang ayah pria itu. Namun, kebimbangan serta kerisauan yang menggelayuti dada sejak kemarin, membuat Maira ragu. Tarikan napasnya pun makin berat setiap kali membayangkan bagaimana ia harus memasang raut bahagia palsu di depan orang-orang terdekat Ben.

Sesaat kemudian, Maira bangkit dan berjalan menuju pintu kamar mandi. Ia berhenti sejenak di depan pintu, kembali memikirkan apa yang harus dilakukan selanjutnya. Ingin rasanya ia tinggal di rumah dan tidak melakukan apa-apa hari ini, tetapi tidak bisa karena hari ini ia ada janji meeting dengan Micro Computer. Setelah itu, ia juga harus mempersiapkan gathering untuk Dhirgan Media. 

Maira mengembuskan napas berat untuk yang ke sekian kali sebelum membuka pintu lebar-lebar, lalu melangkah masuk dan menutup pintu di belakangnya. Maira berendam di bathtub sambil memikirkan barisan kegiatannya yang akan ia lakukan hari ini. Ia pun kembali teringat akan perubahan sikap Ben.

Semenjak kepulangan dari Bali, sudah dua hari ini Ben bersikap aneh. Kemarin, Ben menjemputnya dan baru kali itu terlambat. Alasannya karena pria itu harus mengunjungi ibunya terlebih dulu di hotel sebelum terjebak macet ketika ingin menjemput Maira. 

Ia bersikeras untuk pulang sendiri, tetapi Ben memaksa akan tetap menjemputnya. Akhirnya—dua jam kemudian—Ben tiba di depan rumah Desi. Maira mencoba untuk tidak mempermasalahkan keterlambatan itu, apalagi alasannya karena Ben baru saja bertemu ibu. Yang Maira permasalahkan adalah sikap pria itu. 

Awalnya, Ben menunjukkan betapa pria itu sangat menyesal karena sudah terlambat menjemputnya. Namun, saat Maira mencoba bercerita dan bergurau selama perjalanan pulang, Ben sama sekali tidak menyambut dengan baik. Pria itu lebih banyak diam, bahkan hanya tersenyum dan tertawa seperlunya. 

Akan tetapi, yang membuat Maira makin curiga adalah saat ia mencoba memperhatikan raut wajah Ben. Pria itu langsung menegurnya karena merasa tidak nyaman. Ada apa ini? Kenapa Ben sangat berubah? Mau sampai kapan Ben bersikap misterius seperti ini? pikir Maira.

Ia mengusap wajah, membasahi kepalanya dengan air, lalu menekuk dan memeluk kedua kakinya erat-erat di depan dada. Rasa penasaran dan curiga ini benar-benar menyiksa batin Maira. Ingin sekali ia mencari tahu apa sebenarnya yang Ben sembunyikan, tetapi bagaimana caranya?

Frustrasi, Maira menarik napas dalam-dalam, kemudian mengembuskannya dengan cepat. Matanya terpejam, salah satu tangan meremas rambut, sedangkan yang satu lagi masih terus memeluk kedua kakinya. Air mata pun mulai membasahi pipi. 

Ini bukanlah air mata kesedihan. Bukan juga karena patah hati, tetapi ini ..., ini adalah air mata putus asa. Maira tidak tahu apa yang harus ia lakukan untuk mengorek misteri yang Ben sembunyikan darinya. Gelora panas yang menjalar dari hati hingga ke sekujur tubuh, mengubah rasa sakit dan putus asa itu menjadi amarah. 

Maira marah, tetapi bukan pada Ben. Maira marah kepada dirinya sendiri karena merasa tak berguna, gagal, dan tak bisa mencari jalan keluar terbaik bagi masalah ini. Maira marah karena ia hanya bisa diam dan mengikuti kemauan Ben tanpa berbuat apa-apa. Maira marah karena ia hanya bisa menyimpan kecurigaannya demi menjaga perasaan Ben. Maira marah —sangat-sangat marah—karena kebodohannya!

Dengan geram, Maira memukul air hingga menciprati wajah. Cipratan itu seakan-akan menampar dan menyadarkan Maira dari pikiran kelam yang melandanya beberapa hari ini. Akhirnya, ia bergegas bangkit dari posisinya, lalu membuka penyumbat bathtub, kemudian menyalakan shower yang berada tepat di atas kepala. Ia membasuh tubuhnya hingga bersih, lalu mematikan shower.

Setelah mengeringkan tubuh, Maira segera keluar dari kamar mandi dan berpakaian. Ia mengenakan setelan blazer abu-abu dengan tank top hitam. Rambut hitam panjangnya, ia biarkan terurai indah. Kulit putihnya pun terlihat menonjol di balik setelan baju kerja yang ia kenakan. 

Dengan lihai, Maira memoleskan riasan sempurna di wajah, kemudian menyemprotkan parfum. Waktu menunjukkan pukul 07.30, ia pun bergegas menuju dapur untuk menyiapkan sereal serta segelas susu. Sambil menikmati sarapan, sebuah pesan masuk ke ponselnya. Pesan dari Ben.

Seperti biasa, Ben mengucapkan selamat pagi dan mengatakan kalau saat ini dalam perjalanan menuju rumahnya. Maira langsung membalas pesan dengan sikap datar, kemudian meletakkan ponsel tepat di samping gelas susu. Ia menghabiskan sarapan dengan cepat, lalu membersihkan semuanya. Setelah itu, Maira masuk ke kamar dan mengambil tas kerja yang tergeletak di meja nakas.

Tak lama kemudian, terdengar suara deru mobil di depan gerbang. Maira langsung keluar kamar dan berjalan cepat menuju pintu rumah. Dengan raut sama seperti kemarin, Ben memperhatikannya dari mobil saat ia mengunci gerbang rumah. Maira mencoba untuk tidak menghiraukan raut Ben dan langsung masuk mobil tanpa banyak bicara. 

“Aku langsung ke Micro, ya,” kata Maira memberi tahu Ben.

“Daerah mana?” sahut Ben singkat dan dingin.

“Slipi. Kamu mau antar aku?” tanya Maira, basa-basi. Ben melihat jam digital yang ada di dashboard mobil, lalu berdecak kecil.

“Sepertinya aku cuma bisa mengantarmu ke halte terdekat yang searah dengan kantorku. Soalnya, aku ada rapat jam sembilan,” jelas Ben.

“OK. Nggak masalah,” jawab Maira tenang karena tahu kalau Ben pasti akan menolak.

 

∞∞∞∞∞

 

Seusai rapat dengan Micro, Maira langsung mempersiapkan beberapa keperluan untuk gathering Dhirgan. Dan saat ini, akhirnya ia bisa beristirahat sejenak sambil duduk di salah satu kursi Starbucks ditemani segelas Dark Mocha Frappuccino. Ia menikmati minuman itu seraya memperhatikan sekeliling. 

Tempat itu cukup ramai, meskipun waktu sudah menunjukkan pukul 16.30. Ada beberapa mahasiswa yang berkumpul di salah satu meja sambil membicarakan tentang perkuliahan mereka. Ada pula sekumpulan orang yang bercengkerama dan tertawa saat lawan bicaranya melontarkan lelucon. 

Maira kembali memusatkan perhatian ke layar laptop, di mana ia sedang memasukkan beberapa data, menyusun acara untuk Micro, serta keperluan untuk Dhirgan. Ia masih punya waktu kurang dari dua jam sebelum bertemu dengan keluarga Ben. Keinginannya untuk membatalkan pertemuan itu sangatlah besar. Namun, saat mengingat bagaimana pria itu mengatakan bahwa pertemuan ini sangatlah penting agar Maira bisa lebih dekat dan dikenal keluarga besar Ben, malah membuatnya bimbang setengah mati. 

Maira teringat akan pembicaraan mereka tadi pagi tentang perubahan sikap Ben, yang akhirnya berani ia utarakan. Maira tidak peduli jika nanti Ben akan marah dan membencinya, tetapi ia sudah bertekad menyelesaikan masalah itu secepatnya. Bukan hanya demi dirinya, tetapi juga demi hubungan mereka.

“Ben, maafkan kalau aku terdengar seperti memaksa atau menaruh curiga sama kamu. Tapi jujur, semenjak kepulanganmu dari Bali, aku merasa ada yang salah denganmu,” ungkap Maira, menghancurkan kesunyian di dalam mobil. Ben tidak menjawab dan tetap memandang lurus ke jalan. 

“Kamu bisa bilang kalau nggak ada apa-apa di Bali, dan mengatasnamakan pekerjaan atas perubahan sikapmu itu. Tapi, aku tahu kalau ada yang kamu sembunyikan dariku,” lanjut Maira makin memberanikan diri.

“Kalau kamu belum siap dengan semua ini, aku nggak akan memaksa kamu untuk menikahi aku. Kita bisa tunda sampai kamu siap, atau ..., lebih baik kita break dulu,” tegas Maira sebelum akhirnya berhenti berbicara. 

Rasa sakit langsung bersarang di dada Maira ketika mengucapkan kalimat terakhir itu. Ia pun menoleh dan menangkap raut kaku Ben, sementara tangan pria itu meremas geram kemudi. Akhirnya, Ben menepikan mobil, lalu memarkirkannya di bahu jalan. 

Maira masih diam, menunggu reaksi Ben. Ia sudah siap dengan segala kemungkinan yang terjadi. Kalau Ben belum siap menikahinya, Maira tidak akan memaksa. Namun, jika Ben tetap ingin menikah dengannya, pria itu harus menjelaskan semua sampai rasa curiga dalam dirinya hilang. Maira menunggu dan menunggu. Cukup lama ia menunggu hingga akhirnya Ben mengembuskan napas berat. 

“Aku mencintaimu, Maira.”

Hanya itu yang Ben ucapkan sebelum kembali terdiam. Maira tidak menjawab atau menyanggah pernyataan itu. Ia terus menunggu penjelasan lebih dari Ben, meskipun hatinya terasa sakit. 

“Aku mencintaimu dan ingin menikah denganmu, Maira. Tapi ....” 

Kata-kata Ben pun terhenti lagi. Ya, ada ‘tapi’ di dalam hubungan ini, dan hal itu merupakan sebuah masalah besar yang pasti bisa mengganggu hubungan mereka. Namun, Maira harus tahu apa ‘tapi’ itu sebelum semua berlanjut menjadi perkara lebih besar lagi.

“Tapi, aku ....” Ben terdiam lagi, bergelut dengan pikirannya sendiri. 

“Maira, apa kamu harus menanyakan hal ini sekarang?” tanya Ben dengan wajah memelas. Maira menatap Ben dengan raut penuh curiga. Ia tidak tahu apa sebenarnya yang Ben sembunyikan, tetapi Maira yakin rahasia itu pasti sangatlah besar.

“Iya!” jawab Maira tegas, tanpa takut sedikit pun. Ben mengembuskan napas panjang sebelum akhirnya melanjutkan.

“Ini tentang keluargaku ..., menyangkut aku dan Ibuku,” ungkap Ben pelan seraya menyusun kalimat yang akan diucapkan selanjutnya. Ben menghela napas cepat, lalu memejamkan mata.

“Ayah menyuruhku melakukan sesuatu dalam surat wasiatnya,” lanjut Ben. Bukannya merasa tenang, Maira malah makin penasaran. Dengan tatapan meneliti, Maira terus mengunci raut Ben yang terlihat makin gugup.

“Ada surat wasiat yang diberikan padaku sehari setelah kematiannya. Dan ..., karena wasiat itulah, beberapa hari ini aku merasa gelisah,” jelas Ben, tampak suram dan bingung.

“Kenapa baru merasa nggak tenang sekarang?” tanya Maira bingung.

“Karena sebentar lagi kita akan menikah, dan aku rasa wasiat itu sedikit berpengaruh dalam rencana kita ke depan,” jelas Ben, tidak berani menatap Maira.

“Apa isinya?” tanya Maira langsung, tidak ingin menunda-nunda lagi.

“Bukan masalah besar. Hanya sebuah janji yang harus aku tepati demi kebahagiaan Ibu. Itu saja,” jawab Ben, tidak menjawab pertanyaan Maira dengan terbuka.

“Janji apa?” tanya Maira lebih mendesak.

“Aku nggak bisa bilang ke kamu, Maira. Ini antara aku dan mendiang Ayahku,” jawab Ben makin gelisah, menunjukkan bahwa pertanyaan yang Maira lontarkan begitu mengganggu dan terlalu menyelidik.

“Apa, Ben? Kenapa kamu nggak mau terbuka sama aku? Aku bisa bantu kalau ada yang—“

“Bukankah lebih baik jika aku saja yang mengurus masalah ini? Semua ini berhubungan dengan Ibuku, dan aku rasa belum saatnya kamu untuk ikut campur!” jawab Ben memotong kalimat Maira dengan tatapan dingin dan tajam. 

Kata-kata itu begitu menohok dan menyadarkan Maira kalau saat ini posisinya masih berada di luar lingkaran keluarga Ben. Maira hanya bisa menghela napas kecewa, bahunya terkulai lemah dan tidak tahu harus berbuat apa-apa lagi. Ini adalah masalah keluarga Ben. Maira hanya bisa berharap agar masalah itu cepat selesai dan Ben dapat bersikap seperti sedia kala. Ia ingin tahu apa isi wasiat itu, tetapi perkataan tadi benar-benar memperjelas kedudukannya saat ini.

“Maafkan aku, Sayang. Aku sungguh-sungguh minta maaf,” ucap Ben menyesali ketegasannya, “aku benar-benar nggak mau kamu terlibat dulu dalam masalah ini. Aku hanya ingin membuatmu tenang.”

“Tapi kamu malah membuatku makin nggak tenang, Ben,” balas Maira jujur.

“Aku tahu. Maafkan aku, Sayang,” sahut Ben sambil meremas tangan Maira. Pasrah, Maira kembali mengembuskan napas berat untuk yang ke sekian kali. Beban dalam dadanya belum hilang sama sekali, bahkan terasa makin berat. Ia tidak bisa membiarkan Ben mengatasi masalah ini tanpa bantuan darinya sedikit pun. 

“Kumohon, Sayang. Maafkan aku. Aku akan berusaha menyelesaikan masalah ini secepatnya. Aku nggak mau kamu menderita, begitu pula dengan Ibuku,” jelas Ben memelas. Wajah pria itu berubah menjadi sedih, dan kali ini tatapan memohonnya terlihat begitu tulus.

“Baiklah. Aku memaafkanmu, Ben,” balas Maira pasrah, “tapi, jangan bersikap dingin lagi padaku!”

“Aku janji, Sayang,” jawab Ben cepat.

“Kamu sudah mengucapkan banyak janji padaku, Ben. Kamu sadar?” ujar Maira, menyinggung dan menyadarkan pria itu.

“Aku tahu, Sayang. Aku pasti akan menepati setiap janjiku,” jawab Ben serius. Maira terpaksa tersenyum, tetapi pria itu membalas dengan senyuman hangat. Dengan penuh cinta, Ben mengangkat tangan Maira, lalu mengecup punggung tangannya. Ia terenyuh seketika, dan senyum palsunya pun berubah menjadi tulus.

Aku harus mencoba memahami situasi ini. Aku harus bersabar sampai masalah keluarga Ben selesai. Aku harus bersabar dan bersabar lagi demi hubungan ini. Harus! batin Maira, mencoba membatasi diri dan perlahan-lahan menghapus keraguannya.

Dan sekarang, saat terik matahari mulai mereda, Maira mencoba berkutat dengan data-data penting yang harus diselesaikan demi menenangkan kegelisahannya. Dering ponsel mengalihkan perhatian Maira dari layar laptop dan melihat nama Ben tertera di sana.

“Ben?” sahut Maira bingung karena sebelumnya pria itu mengatakan ada rapat penting yang berlangsung sore ini.

Sayang, kamu lagi apa?” tanya Ben riang.

“Aku di Starbucks, lagi input data,” jawab Maira ringan.

Mau aku jemput?” tanya Ben cepat.

“Bukannya kamu ada rapat?” tanya Maira bingung.

Aku pulang cepat, aku sudah izin sama bos,” jawab Ben.

“Yakin nggak apa-apa kalau kamu minta izin begitu?” tanya Maira meskipun perasaan senang mulai menyeruak dalam dadanya.

Iya, Sayang. Aku mau menebus kesalahanku. Boleh ‘kan aku jemput kamu?” tanya Ben lembut. Maira tersenyum kecil mendengar ucapan itu. Akhirnya, Ben kembali menjadi sosok yang ia kenal, yang perhatian dan selalu mengutamakan dirinya. Ya, Ben berhak menerima maafnya. 

“Bagaimana dengan Ibu?” tanya Maira, basa-basi.

Saudara Ayah berkunjung tadi siang ke hotel. Dia yang bawa Ibu ke tempat pertemuan,” jelas Ben.

“Serius?” tanya Maira, tidak percaya.

Iya, Sayang,” jawab Ben lembut.

“Baiklah. Aku ada di Setia Budi,” jawab Maira.

OK, aku berangkat sekarang. Tunggu aku, ya,” balas Ben semangat, “I love you, Maira.”

Love you too, Ben,” balas Maira, dan panggilan itu pun berakhir. Perasaannya seketika berubah menjadi bahagia. Harapan yang sebelumnya pupus, mulai tumbuh kembali meskipun masih ada misteri wasiat yang membayangi hubungan mereka. Setidaknya, Ben mau berusaha menyelesaikan masalah keluarga demi kebahagiaan Maira. Kebahagiaan mereka.

 

∞∞∞∞∞

 

BAB 8

Mereka tiba di area parkir Bandar Djakarta, Ancol. Semangat dan kebahagiaan, membuncah di dada Maira yang sudah siap untuk bertemu keluarga besar Ben. Maira keluar dari mobil, begitu juga Ben. Pria itu terus menggenggam tangannya saat berjalan menuju restoran, sampai akhirnya mereka bertemu seorang pria berusia lima puluhan bertubuh gempal yang memiliki wajah ramah dan suara riang. 

Ben menjabat tangan pria itu dan mengenalkannya pada Maira. Pria itu adalah salah satu paman Ben. Mereka bertiga pun melanjutkan perjalanan menuju barisan meja yang sudah dipesan. Terlihat beberapa orang sedang asyik bercengkerama riang dan akrab. Mata Maira tertuju pada ibu Ben yang duduk manis di kursi roda dan sedang berbicara dengan wanita berusia lima puluhan yang berpenampilan cantik dan elegan.

Ben terus menggenggam tangan Maira, menuntunnya ke arah meja, di mana ibu Ben duduk. Tatapan hangat wanita itu menyambut kedatangannya. Senyum manis pun terukir di wajah yang sudah tidak muda lagi. Maira sedikit terkejut dengan perubahan sikap Ibu Ben karena terakhir kali ia ingat, wanita itu cukup dingin padanya. 

Maira mencoba menepis kerisauan dalam hatinya. Ia tidak ingin sikap ibu Ben malah merusak momen berharganya saat ini. Dengan raut ceria, Ben memanggil seorang pelayan, sementara Maira duduk di tempat yang sudah disediakan, tepat di samping Ben. Pelayan tersebut segera menghampiri.

“Ada apa, Ben?” tanya Maira setelah Ben berbisik pada si pelayan.

“Nggak ada apa-apa,” jawab Ben tersenyum lebar, tampak menyembunyikan sesuatu, lalu mengecup punggung tangan Maira dengan lembut. 

Tak lama kemudian, si pelayan yang sebelumnya berbicara dengan Ben, datang membawa sebuah buket bunga melati yang sangat indah, lalu meletakkannya tepat di hadapan Maira. Ia menatap Ben dengan raut bingung terutama saat pria itu berdiri dan memberi isyarat kepada beberapa orang yang ada di sana. Semua orang pun mulai diam dan memusatkan perhatian pada Ben. 

“Selamat sore semua!” sapa Ben semangat. Maira memperhatikan sikap dan raut Ben yang terlihat begitu percaya diri, bangga, serta ceria.

“Saat ini, saya mengundang saudara-saudara semua dengan maksud dan tujuan tertentu. Seperti yang sudah saya ceritakan pada Paman tertua beberapa hari sebelumnya, saya bermaksud untuk mengenalkan seorang wanita yang sangat saya cintai—selain Ibu saya, tentunya,” ucap Ben lancar, lalu mengulurkan tangan pada Maira sambil tersenyum. Ia menerima uluran tangan itu dan berdiri. 

Ben menarik Maira mendekat, lalu melingkarkan tangan di pinggangnya.  Wajah Maira sontak merona ketika menerima perlakuan mesra itu. Ia memang sudah sering berada di muka umum untuk mempresentasikan pekerjaan. Namun, mempertunjukkan kemesraan di depan keluarga adalah hal baru bagi Maira. Pandangan hangat serta senyum bahagia yang keluarga Ben berikan, tertuju kepada mereka berdua.

“Wanita ini adalah Maira. Dialah yang akan menjadi calon istri dan pendamping hidup saya,” lanjut Ben sambil menatap matanya dalam-dalam. Kehangatan langsung memenuhi dada Maira, tersentuh akan keberanian serta tatapan penuh cinta yang Ben tunjukkan padanya. Ketika Ben menoleh ke arah tamu undangan, Maira melirik sekilas ke arah ibu Ben. Perasaan hangat kembali menyelimuti dadanya saat melihat senyum bahagia menghiasi wajah wanita itu.

“Saya ingin memperkenalkan wanita cantik ini kepada keluarga besar, dan memohon restu demi kelancaran persiapan kami dalam menyusun rencana pernikahan yang akan dilaksanakan dalam waktu dekat,” lanjut Ben semangat. 

Tatapan tegas, senyum bangga, dan pelukan erat di pinggang Maira, menunjukkan betapa Ben bersedia menerjang apa pun demi memperjuangkan kebahagiaan mereka. Maira terus memperhatikan wajah Ben dan sesekali melempar pandangan ke keluarga besar, yang menerima kehadirannya dengan mudah. Maira, yang begitu tenggelam dalam kebahagiaan, tidak mendengar dengan jelas apa yang Ben katakan. 

Namun, ketika Ben melepaskan pelukan dari pinggang Maira, saat itu pula ia berusaha memusatkan perhatian dan mengendalikan rasa senang dalam dirinya. Ben mengambil buket bunga melati yang ada di meja, lalu mengeluarkan sebuah kalung mutiara bertakhtakan berlian indah, yang ternyata sudah tergantung di sela-sela bunga sejak tadi. Perhatian Maira terlalu terpusat pada Ben hingga ia tidak menyadari keberadaan benda itu. Dengan penuh cinta dan kelembutan, Ben mulai melingkarkan kalung tersebut di leher Maira, sementara keluarga Ben bertepuk tangan, ikut merasakan kebahagiaan mereka.

“Aku mencintaimu, Maira,” ucap Ben lembut, lalu mengangkat tangan Maira dan mengecupnya.

“Aku juga mencintaimu, Ben,” balas Maira, terharu.

Lambat laun, tepuk tangan itu mulai berhenti saat mereka berdua melemparkan senyum dan mengucapkan terima kasih dari tempat mereka berdiri. Mereka kembali duduk di kursi masing-masing, menunggu hidangan tersaji di meja. Angin yang bertiup sepoi-sepoi mengantarkan aroma laut hingga memenuhi indra penciumannya, membuat kebahagiaannya terasa begitu sempurna. Tempat favoritnya, pria yang sangat ia cintai, dan seluruh keluarga yang menerimanya dengan tangan terbuka. 

It’s so perfect. My life is perfect.

 

∞∞∞∞∞

 

Maira tergeletak di tempat tidur, tenggelam dalam kebahagiaan. Ia menggenggam bandul berlian dan mengingat kembali betapa romantisnya Ben saat memberikan kalung itu. Ben benar-benar sempurna, dan ia tidak ingin kehilangan pria itu. Maira juga teringat akan ucapan ibu Ben saat memeluknya erat-erat untuk memberi selamat. 

“Terima kasih. Kamu sudah membuat anakku bahagia,” kata ibu Ben dengan suara serak dan lemah. Air mata Maira serasa ingin tumpah karena akhirnya ibu Ben mau bersikap hangat padanya. 

Hari ini benar-benar diakhiri dengan sempurna, meskipun sempat terselingi oleh panggilan Desi di tengah-tengah acara makan. Desi kembali menghubunginya untuk meminta pendapat karena mendapat ajakan kencan dari seorang pria. Dan seperti biasa, Desi menjauh seribu langkah dari pria itu. Mungkin butuh waktu dan pria yang tepat untuk membuat Desi berubah. Maira yakin, Desi pasti akan mendapatkan pria yang mencintai wanita itu dengan tulus dan menjaganya dengan sepenuh hati.

Senyum bahagia masih melekat di wajah Maira, hingga akhirnya ia memutuskan beranjak dari tempat tidur dan masuk kamar mandi. Ia mandi cepat dan langsung mengenakan pakaian tidur. Sebuah pesan masuk dari Ben ketika ia baru saja selesai berpakaian. Maira langsung membacanya dengan wajah semringah.

 

Selamat tidur, My future wife.

 

Pesan singkat itu membuat perasaan Maira membumbung tinggi. Dengan cepat, ia membalas pesan itu.

 

Selamat tidur juga, My future husband.

Tapi aku mau selesaikan pekerjaanku dulu, ya.

 

Dan, balasan dari Ben pun datang secepat kilat.

 

Jangan tidur malam-malam, Sayang. 

Aku nggak mau kamu sakit.

 

Rasa cinta Maira makin bertambah besar. Ben sangat memperhatikan dan memikirkan kesehatannya. Setelah ia memprotes sikap dingin Ben dan memutuskan menceritakan masalah keluarga yang dihadapi, sikap pria itu mulai kembali normal. Kembali menjadi Ben yang ia cintai.

 

Iya, Ben. Aku tahu. 

Selamat tidur, Sayang,

 

Maira membalas pesan itu dengan cepat. Balasan pesan dari Ben pun membuat dirinya makin melayang.

 

Selamat tidur juga, Sayang. 

Miss you already. 

Can’t wait to marry you.

 

Maira meletakkan ponsel di tempat tidur setelah membalas pesan terakhir. Lalu, ia turun dari tempat tidur dan mengambil laptop dari tas kerja. Sembari bersandar di sandaran tempat tidur, Maira menyalakan laptop, kemudian membuka berkas perusahaan Dhirgan. Karena ini adalah gathering ketiga Dhirgan yang Maira handle, setidaknya ia sudah terbiasa dengan detail dan permintaan dari klien yang satu ini.

Sebuah surel dari salah satu manajer Dhirgan tadi siang, memintanya menyiapkan beberapa makanan khusus yang ditujukan untuk tamu kehormatan. Dengan tanggap, Maira langsung menghubungi pihak katering setelah menerima surel tersebut. Gathering kali ini diadakan di Hotel Luxury, dan ia sudah mengurus reservasinya. Besok, ia tinggal mengurus beberapa hal kecil seperti dekorasi, tata cahaya lampu, sound system, dan lainnya. 

Tak terasa waktu berlalu dengan cepat. Jam di dinding menunjukkan pukul 23.30. Maira bergegas mematikan laptop dan memasukkan kembali ke tas kerja. Ia harus segera tidur dan bangun besok pagi dengan keadaan segar. Dan yang pasti, aku akan bermimpi indah malam ini.

 

∞∞∞∞∞

 

Kamis pun tiba. Setelah kemarin bekerja keras menyelesaikan sentuhan terakhir untuk acara Dhirgan, akhirnya Maira tertidur nyenyak pukul 19.00 setelah memberi kabar pada Ben. Ia benar-benar tidak bisa menahan kantuk dan lelah. Meskipun ia dibantu beberapa vendor langganan, tetap saja ia tidak bisa membiarkan mereka bekerja tanpa pengawasan. Dan sekarang adalah hari pelaksanaan gathering Dhirgan yang akan berlangsung mulai pukul 15.00.

Setelah bangun dari tidur nyenyaknya, Maira bergegas mandi dan bersiap-siap untuk berangkat ke rumah Desi. Dengan perut yang terisi penuh dan pesan singkat Ben yang selalu menyapanya setiap pagi, Maira siap memulai hari ini dengan kekuatan penuh. 

Hari ini, Maira membiarkan rambutnya tergerai bebas. Kemeja biru terang lengan panjang dengan dua kancing atas terbuka, membuat Maira terlihat seksi, tetapi tetap elegan. Celana bahan hitam yang melekat indah di kaki jenjangnya, memudahkan Maira untuk bergerak lincah mengurus gathering hari ini. Sementara, sepatu heels hitam tertutup, menyempurnakan penampilannya. Senyum merekah dan rona merah muda, menghiasi wajah segar Maira ketika menghampiri Ben yang sedang menunggu kedatangannya.

“Kamu selalu terlihat cantik, Sayang. Kamu membuat hari-hariku selalu berwarna,” sanjung Ben sebelum mereka meninggalkan rumah, yang menjadi moodbuster-nya hari ini. 

Lalu lintas Jakarta yang padat merupakan hal biasa bagi mereka. Jarak antara rumah Maira dengan rumah Desi tidaklah terlalu jauh. Hanya memakan waktu 30 menit, itu pun jika mereka terjebak macet. Setibanya di rumah Desi, Ben memarkirkan mobil di depan pagar. Maira mendaratkan kecupan singkat di bibir Ben sebelum keluar dari mobil. Dengan riang, ia melangkah menuju pintu rumah, lalu berbalik dan membalas lambaian tangan Ben sebelum menghilang dari pandangan.

Senandung riang mengiri langkah Maira saat memasuki ruang kerja dan meletakkan tas di meja. Dengan segera, Maira mengeluarkan laptop dari tas kerja dan menyalakannya. Hari ini, ia harus membuat laporan mengenai meeting kemarin dan memberikannya pada Desi agar sahabatnya itu bisa membuat draft tagihan untuk perusahaan Micro dan Dhirgan.

“Des, gue kirim report Micro sama keperluan Dhirgan, ya,” kata Maira yang dijawab anggukan lemah Desi. Wanita itu tampak berbeda dari biasanya, seperti ada sesuatu yang mengganjal dan membebani hati. Terakhir kali ia melihat Desi seperti ini adalah saat wanita itu terpuruk karena perselingkuhan Steve. Akhirnya, Maira memberanikan diri bertanya pada Desi.

“Des, lu kenapa?” tanya Maira ringan sambil berkutat dengan persiapan Dhirgan.

“Dia mau minta tolong sama lu, Ra. Tapi, dia takut,” jawab Sasha cepat. Sasha melirik ke arah Desi, dan tertawa geli. Penasaran, Maira pun menatap wajah Desi yang merona. 

“Minta tolong apa, Des? Bilang aja,” pancing Maira berniat meringankan beban Desi.

“Lu mau gantiin gue buat urus Zyro, nggak?” tanya Desi, wajahnya memelas, “tapi acaranya dari hari Sabtu sampai Senin.” 

What?” balas Maira, terkejut mendengar permintaan Desi.

Please, Ra! Cuma lu satu-satunya harapan gue,” mohon Desi makin memelas.

“Des, gue nggak bisa! Beneran, deh. Soalnya hari Minggu ini ada pertemuan keluarga gue sama calon besan,” jelas Maira. Ingin sekali ia membantu Desi, tetapi waktunya benar-benar tidak tepat. Hari Minggu ini Ben akan melamarnya secara resmi. 

Desi pun mulai menceritakan tentang seorang pria tampan bernama Mike yang sangat menakutkan, otoriter, dan begitu mengintimidasi. Seorang pria yang berbeda dari pria-pria lain yang pernah mendekatinya. Maira berpikir mungkin ini saatnya bagi Desi untuk membuka hati pada pria lain, bangkit dari keterpurukan, dan menghadapi dunia luar yang indah serta menakjubkan ini.

“Sudahlah, Des. Santai saja,” kata Maira sambil beranjak dari kursi, lalu mulai membereskan meja, dan memasukkan laptop ke tas kerja. Waktu menunjukkan pukul 10.00. Ia pun harus bergegas untuk memastikan semua rencananya berjalan sempurna.

“Gue berangkat, ya. Mau urusin Dhirgan dulu. Wish me luck!” pamit Maira, penuh semangat. Sasha tersenyum ringan, membalas ucapannya, sedangkan Desi masih terlihat gelisah.

“Hati-hati, ya, Ra! Kabarin,” ucap Desi lemah.

“OK!” jawab Maira sebelum keluar dari ruangan. Sebuah taksi yang sudah ia pesan sebelumnya, tiba di depan rumah. Maira langsung masuk dan kendaraan itu segera pergi meninggalkan rumah Desi.

 

∞∞∞∞∞

 

BAB 9

Maira tiba di Hotel Luxury pukul 11.00. Ia langsung menuju ruang serbaguna di lantai lima. Ruangan itu sudah dipenuhi dekorasi dan barisan meja katering yang tersusun rapi. Teknisi yang mengurus pencahayaan dan sound system akan tiba satu jam lagi. Sedangkan beberapa hadiah yang sudah ia pesan melalui vendor kepercayaannya, masih dalam perjalanan. Secara keseluruhan, tempat ini sudah siap dan tertata sesuai keinginannya. 

Maira berdiri di tengah ruangan. Ia memperhatikan sekali lagi dengan saksama, lalu mengeluarkan buku catatan, dan memeriksa kembali setiap detailnya. Pertama, Maira meneliti tata panggung yang sudah dihiasi dekorasi megah. Di atas panggung berkarpet merah, tersusun empat kursi besar berwarna keemasan dan sebuah meja di depannya. Sebuah podium yang terbungkus kain merah, diapit oleh empat rangkaian bunga hias di kanan dan kirinya. Layar putih dan dua buah standing mic pun sudah diletakkan di sebelah kiri panggung.

Kemudian, ia memeriksa kelengkapan puluhan meja bundar bertaplak putih bersih yang dikelilingi sepuluh kursi di tiap-tiap meja, yang juga sudah ditutupi kain penutup berwarna putih. Di atas masing-masing meja sudah tersusun rapi sepuluh set piring dan gelas kaca, serta sendok dan garpu berwarna keemasan. Pot bunga mungil nan indah pun menghiasi meja-meja tersebut. 

Pintu ruang serbaguna itu terbelah menjadi dua saat Maira sedang asyik melakukan pemeriksaan terakhirnya. Tim teknisi pencahayaan dan sound system tiba lebih cepat dari dugaannya. Senyum ramah langsung terlukis indah di wajah Maira saat menyambut beberapa pria yang familier baginya. Kepala teknisi menghampiri, lalu berbincang sejenak sebelum mereka mulai bekerja sesuai arahan Maira. 

Tak lama kemudian, vendor hadiah pun tiba dan membawa puluhan door prize yang sudah terbungkus rapi dengan kertas kado. Maira sangat menyukai pekerjaannya ini. Melihat orang-orang bekerja di bawah arahannya, mengatur, merencanakan, menyusun acara, melihat wajah-wajah para tamu serta klien yang tersenyum bahagia dan puas saat acara berakhir, merupakan kebanggaan tersendiri baginya.

Kesibukan yang Maira lakukan membuat waktu berjalan sangat cepat. Tak terasa, sekarang sudah pukul 14.15. Para penerima tamu dan dua orang MC sudah siap di tempatnya masing-masing. Petugas katering pun sudah mempersiapkan hidangan di barisan meja yang telah disusun sedemikian rupa untuk memudahkan para tamu mengambil makanan. 

Jantung Maira berdebar antusias setiap kali mendekati menit-menit terakhir persiapan. Satu per satu para tamu mulai berdatangan dan petugas penerima tamu mulai sibuk dengan tugas mereka. Maira memperhatikan dari kejauhan dan terus berkoordinasi dengan masing-masing kepala vendor melalui walkie talkie yang tidak pernah lepas dari genggamannya.

Lambat laun, ruangan mulai penuh. Maira pun makin sibuk karena para jajaran manajer, direksi, owner, serta tamu spesial akan tiba sebentar lagi. Alunan musik yang mengisi ruangan, menemani para tamu yang sudah duduk di tempat masing-masing. Baru saja Maira berniat menghampiri kedua MC, seorang pria berseragam serba hitam mulai menghampiri dan memberi tahunya bahwa pemilik perusahaan Dhirgan sudah tiba di lantai dasar. Sekali lagi, Maira melemparkan pandangan ke seluruh ruangan. Rasa bangga atas kerja kerasnya pun mulai menyelimuti.

Maira langsung menuju ke meja penerima tamu, lalu memberi aba-aba kepada para petugas andalannya untuk mempersiapkan kedatangan si pemilik perusahaan Dhirgan. Jantung Maira berdebar makin kencang, tak mampu menahan antusias dalam dirinya. Beberapa detik kemudian, pintu lift terbuka dan seorang pria paruh baya berusia enam puluhan, melangkah keluar dari lift. Terdapat enam pengawal pribadi bertubuh tinggi besar dan berwajah kaku berjalan di depan, samping, dan belakang pria itu.

Pak Sudarsono memang sudah tidak muda lagi. Tubuhnya yang berisi dengan tinggi sekitar 170 sentimeter, masih tetap terlihat sehat dan bugar. Tatapan lembut dan senyuman hangat yang selalu menghiasi wajah keriputnya, membuat Pak Sudarsono menjadi salah satu owner perusahaan paling ramah yang pernah bekerja sama dengan mereka.

Pak Sudarsono langsung menyapa Maira. Senyum hangat terus menghiasi wajah pria itu selama berbicara dengannya, sebelum akhirnya mereka melangkah masuk ke ruang serbaguna. Seluruh karyawan perusahaan langsung berdiri menyambut kedatangan pria itu, sementara matanya memperhatikan dekorasi ruangan. Senyum puas pun mulai menghiasi wajah Pak Sudarsono, yang membuat Maira makin bangga atas kinerjanya.

Jajaran manajer dan direksi mulai mengikuti langkah mereka dari belakang, lalu duduk di meja yang sudah disediakan. Maira menghitung dan menandai setiap tamu penting yang sudah hadir di buku catatannya. Hanya satu orang yang masih belum tiba hingga saat ini, yaitu tamu spesial Pak Sudarsono.

Maira bertanya pada salah satu petugas keamanan di lantai dasar, mencoba memastikan kedatangan si tamu spesial itu. Namun, tetap saja orang tersebut belum tiba. Mungkin tamu itu tidak jadi datang, pikir Maira sambil berdiri di ambang pintu sebelum ia menutupnya. 

Pembawa acara mulai melaksanakan tugas, sementara Maira memilih untuk berdiri di salah satu sudut ruangan sambil memperhatikan jalannya acara. Semua berjalan lancar dan sesuai perhitungan Maira. Pak Sudarsono beserta para tamu yang hadir terlihat sangat menikmati acara. Pembawaan MC yang riang dan ceria, membuat acara tidak terlalu monoton, dan Maira bersyukur mempunyai MC andalan seperti mereka. 

Acara makan pun tiba. Para tamu mulai beranjak dari kursi dan melangkah menuju meja prasmanan. Dengan senyum hangat andalannya, Maira menghampiri Pak Sudarsono yang sedang menikmati segelas anggur putih dengan beberapa makanan khusus yang tersaji di hadapan.

“Bagaimana makanannya, Pak?” tanya Maira sopan dan ramah.

“Kamu selalu tahu kesukaanku, Cantik,” jawab Pak Sudarsono dengan senyum puas.

“Maaf, Pak. Boleh saya tanya sesuatu?” ijin Maira sebelum melanjutkan pertanyaannya.

“Silakan, Cantik,” jawab pria itu.

“Apakah tamu spesial yang waktu itu Bapak bilang tidak jadi datang? Saya sudah berulang kali memeriksa ke bagian penerimaan tamu, tapi beliau belum juga hadir sampai sekarang,” tanya Maira, mengkonfirmasi.

“Oh, dia. Sebentar lagi mungkin. Dia memang selalu datang beberapa menit sebelum tampil,” jawab Pak Sudarsono sebelum meneguk segelas air putih.

“Tampil, Pak?” tanya Maira bingung.

“Iya. Dia akan tampil bersama band-nya nanti,” jelas Pak Sudarsono.

Maira makin kebingungan. Ia memeriksa susunan acara dalam genggaman, tetapi tak menemukan satu pun permintaan khusus bahwa si tamu spesial akan tampil di acara ini. Maira mencoba mengingat-ingat kembali, tetapi ia sangat yakin kalau tak ada satu pun dari pihak Dhirgan yang meminta untuk menyelipkan penampilan si tamu spesial ke dalam susunan acara. Maira sangat yakin, bahkan bisa memastikan bahwa ia tidak mungkin melakukan kesalahan. Ia juga tidak mungkin lupa dengan hal penting seperti ini.

“Tapi, kemarin tidak ada yang mengkonfirmasi ke saya kalau akan ada perform dari band lain, Pak,” jelas Maira tenang sembari meluruskan kesalahpahaman yang mungkin terjadi.

“Memang. Saya yang menyuruhnya untuk tampil nanti sebagai hadiah ulang tahun,” jawab Pak Sudarsono penuh wibawa tanpa menghapus sedikit pun senyum hangat di wajahnya. 

“Jadi, bisakah kamu memasukkannya ke susunan acara itu, Cantik?” tanya Pak Sudarsono dengan sangat sopan.

“Bisa, Pak,” jawab Maira menyanggupi, lalu pamit meninggalkan pria itu. Ia pun langsung berkoordinasi dengan kedua MC, kemudian memberi tahu petugas sound system dan penata cahaya kalau akan ada satu penampilan dari sebuah band yang akan tampil—entah kapan.

Setelah mengatur agar acara tambahan itu bisa terlaksana sempurna, Maira kembali berdiri di salah sudut dinding yang dilapisi tirai besar berwarna merah, yang berada tak jauh dari panggung. Ia memperhatikan setiap wajah, dan berharap tidak menemukan satu pun raut kecewa.

Waktu berlalu begitu saja, dan acara makan pun hampir selesai. Sampai saat ini, tamu spesial itu belum juga tiba. Maira memberi instruksi pada petugas penerima tamu dan pihak keamanan yang berada di lantai dasar agar segera memberitahu dirinya jika tamu spesial itu tiba di hotel. Tamu berpenampilan seperti sekelompok band, itulah yang Maira jelaskan pada mereka. Setidaknya, hanya itu yang bisa Maira gambarkan agar para penerima tamu dan bagian keamanan bisa segera mengenali si tamu spesial.

Setelah sesi makan selesai, kedua MC mulai melanjutkan acara sesuai susunan dan masuk ke sesi door prize. Wajah tiap-tiap karyawan kantor tampak sangat berharap mendapatkan salah satu door prize yang sudah tersusun rapi di atas panggung. Beberapa hadiah besar seperti motor, TV, mesin cuci, dan kulkas—yang berjumlah lima unit per jenisnya—disusun semenarik mungkin di bawah panggung. 

Usai pengocokan door prize yang ketiga, pintu utama ruangan tiba-tiba terbuka lebar. Maira segera menoleh dan menangkap keberadaan lima pria melangkah memasuki ruangan sembari membawa beberapa alat musik. Kelima pria itu berjalan di tengah-tengah karpet merah yang menjulur hingga ke panggung, sementara beberapa pria bertubuh besar langsung menutup pintu utama ruangan. Berusaha untuk memastikan, Maira langsung berlari kecil menuju meja Pak Sudarsono. Namun sebelum ia tiba di sana, Pak Sudarsono langsung memberikan isyarat pada Maira. 

Ya, inilah si tamu spesial itu. Datang tiba-tiba tanpa pemberitahuan, dan masuk begitu saja bak artis papan atas. Maira langsung memberi aba-aba pada salah satu MC yang sedang menatap ke arahnya. Mengerti bahwa si tamu spesial sudah tiba, kedua MC segera melanjutkan pengundian door prize demi mengisi keheningan sesaat yang timbul akibat kehadiran kelima pria itu. 

Tamu spesial itu pun berhenti di depan meja Pak Sudarsono. Salah seorang dari mereka terlihat cukup akrab dengan pria paruh baya itu. Gestur tubuh serta senyum kecil nan hangat yang mengukir wajah pria itu, menunjukkan rasa hormat dan sopan santunnya terhadap Pak Sudarsono. Maira memperhatikan bagaimana ceria dan bahagianya pria paruh baya itu ketika menyambut kehadiran mereka.

Setelah berbincang selama beberapa saat, kelima pria itu melangkah menuju sisi panggung, lalu menunggu aba-aba dari MC yang langsung menghentikan sejenak pengundian door prize. Setelah diperbolehkan naik, keempat pria itu mulai mempersiapkan alat musik mereka masing-masing, sementara seorang pria lagi langsung menghampiri pihak sound system. 

Perhatian Maira terus tertuju pada keempat pria yang saat ini sedang bersiap untuk tampil, dan berharap agar penampilan mereka tidak merusak kerja kerasnya hari ini. Pria yang tadi berbicara akrab dengan Pak Sudarsono, berdiri tenang seraya mengeluarkan sebuah mik dari dalam koper kecil berwarna perak yang sedari tadi ada dalam genggamannya. 

Maira mengamati dari kejauhan. Ia tidak pernah melihat ataupun mengenal band itu. Namun, ketenangan dan kesiapan untuk tampil di atas panggung, menunjukkan bahwa mereka sudah terbiasa melakukan hal ini. 

Hanya memakan waktu singkat, band itu akhirnya siap untuk tampil. Pihak sound system yang membantu pun segera turun dari panggung. Tak ingin membuang banyak waktu, Maira segera menginstruksikan pada MC untuk melakukan tugasnya.

Tiba-tiba, ponsel Maira berbunyi ketika pembawa acara sedang berbincang dengan tamu spesial. Ia segera berbalik dan bersembunyi di salah satu sudut tirai. Maira menutup salah satu telinganya, sementara telinga yang satu terpusat pada panggilan tersebut.

“Ben, ada apa?” tanya Maira dengan nada berbisik.

Tiba-tiba aku kepikiran sama kamu, Sayang. Apa kamu baik-baik saja?” tanya Ben khawatir.

“Aku baik-baik saja, Ben. Bisakah kamu meneleponku nanti? Lagi ada perubahan susunan acara di sini. Nanti aku hubungi balik, ya,” jelas Maira cepat. Sesekali ia melirik ke panggung. Kedua MC terlihat asyik bercanda gurau selama beberapa menit, sebelum akhirnya turun dan memberikan kesempatan pada band itu untuk tampil. 

Kamu mau aku jemput?” tanya Ben lembut.

“Aku tidak tahu, Ben,” jawab Maira tak sabar ingin menyudahi panggilan itu, “aku kabari nanti.”

Baiklah, kabari aku secepatnya. I love you, Maira,” ucap Ben, dalam dan serius.

I love you, too, Ben.” 

Maira langsung memasukkan ponsel ke saku celana setelah mengakhiri pembicaraan itu. Lampu mulai diredupkan saat petikan gitar memulai penampilan pertama mereka. Cahaya lampu sorot warna-warni, membuat penampilan band terlihat begitu mengagumkan. 

Band itu membawakan lagu ciptaan mereka sendiri. Maira tidak tahu apa judul lagu tersebut, tetapi setiap kata yang dilantunkan terasa begitu menyentuh kalbu. Si vokalis menyanyi dengan penuh penjiwaan, membuat lagu tersebut makin merasuki jiwanya.

Maira tidak menyadari bahwa bukan hanya dirinya yang terpesona akan penampilan band dan lirik lagu itu. Namun, semua orang yang ada di ruangan pun tak berkutik dengan tatapan tertuju ke arah panggung, tersihir oleh pesona keempat pria yang tampil dengan sangat sempurna.

 

You’re not Mine

Lagu Ciptaan : Oktaviana_vivi

Lagu bisa didengar di link ini : 

https://karyakarsa.com/Oktaviana_vivi/youre-not-mine-47182

I was always there ..., in every part of your stories

At every step you take, I was always there

I was always there ..., in every tear

In every pain, I was always there

 

You looked at me with your beautiful smile

You touched my heart and made me fall in love

But your heart, your soul, your body is not mine

 

Reff :

You broke my heart and I forgive you (I still love you)

You hurt me, but it’s OK (I still love you)

Because I’m glad ..., glad ..., glad ..., glad

Glad to know you ..., to know you

Even though you’re not mine

 

You’re always there ..., in my dreams

In my prayers, you’re always there

You’re always there ..., in every breath

In every beat of my heart, you’re always there 

Ooo ....

 

I wanna live forever with you

I wanna build a family with you

I wanna live forever with you

I wanna build a family with you

But your heart, your soul, your body is not mine

        

Reff :

You broke my heart and I forgive you (I still love you)

You hurt me, but it’s OK (I still love you)

Because I’m glad ..., glad ..., glad ..., glad

Glad to know you ..., to know you

Uooo .... (I forgive you)

Uooo .... (I still love you)

Because I’m glad ..., glad ..., glad ..., glad ..., glad to know you

Oh, I love you ..., even though you’re not mine

You’re not mine ..., you’re not mine!

 

Kualitas suara yang khas, ringan, dan sedikit serak serta gaya pembawaan sang vokalis yang begitu memukau, membuat Maira terhipnotis seketika. Maira yakin, pesona serta karisma kuat yang penyanyi itu miliki, mampu meruntuhkan setiap wanita, mungkin juga pria. Setelah selesai menyanyikan lagu dengan sempurna, tepuk tangan kagum langsung menggelegar dan mengisi ruangan.

Sang vokalis membungkukkan badan, berterima kasih atas respons yang begitu meriah. Perlahan-lahan, tepuk tangan riuh itu pun berhenti, dan band tersebut mulai bersiap untuk membawakan lagu kedua yang merupakan lagu permintaan dari pak Sudarsono. Lagu One Day In Your Life milik Michael Jackson, meluncur sempurna dari bibir si vokalis. Maira benar-benar terhipnotis, bahkan seorang petugas penerima tamu sampai harus mengguncang pundaknya agar Maira tersadar dan menoleh ke belakang.

“Ada apa?” tanya Maira sedikit kesal karena wanita mungil berseragam putih hitam mengusik ketenangannya saat menikmati penampilan terindah yang pernah ia lihat.

“Bu, ada beberapa wartawan dari stasiun TV, pihak media cetak, dan radio di depan pintu. Katanya mereka datang untuk mewawancara band itu,” jelas petugas penerima tamu ber-name tag ‘Santi’ seraya menunjuk ke arah panggung. 

Maira terkejut dan heran dengan kedatangan para awak media. Terpaksa meninggalkan penampilan band, ia bergegas menuju pintu utama, kemudian mengintip dari celah pintu setelah membukanya sedikit. Matanya terbelalak melihat kehadiran empat stasiun TV ternama, lima media cetak terkenal, serta beberapa stasiun radio yang sibuk dengan mik dan kamera di tangan masing-masing.

Apa-apaan ini? batin Maira kaget. Ia mencoba keluar dan mendorong pintu besar itu dengan sekuat tenaga karena beberapa pria bertubuh besar, kekar, berwajah menyeramkan, serta berseragam serba hitam menjaga agar tak seorang pun keluar-masuk tanpa melewati mereka. Setelah berhasil melewati barisan pria bertubuh besar itu, Maira langsung menghampiri salah satu wanita berparas cantik dari stasiun TV, lalu bertanya, “Maaf, ini ada apa, ya?” 

“Ada apa?” ulang wanita itu geli, “apa kau tidak tahu siapa yang ada di dalam sana?”

Maira hanya bisa menggeleng. Wanita itu kembali mendengus geli, lalu mengarahkan jari telunjuknya yang lentik dan terawat ke arah pintu, kemudian berkata, “Mereka itu salah satu band ternama asal Australia. Rencananya mereka berniat bekerja sama dengan salah satu penyanyi Indonesia.”

“Mereka? Memang siapa mereka?” tanya Maira penasaran. Kali ini, Maira merasa bak manusia gua karena tidak terlalu mengikuti perkembangan musik, bahkan artis pendatang baru sekali pun.

“D’Aphrodite,” jawabnya. 

Meskipun wanita itu menyebut ‘D’Aphrodite’ dengan sangat jelas, tetap saja Maira tidak familier dengan nama tersebut. Nyanyian dari balik pintu pun terhenti, dan awak media mulai bersiap-siap dengan alat perang mereka masing-masing. Ada yang merapikan baju, mempertebal riasan, menyalakan alat perekam, menyiapkan kamera video, dan ada pula yang sudah siap dengan mik di tangan. Maira tercengang dengan kesigapan para awak media yang tak kenal lelah mencari sumber informasi.

Tak lama kemudian, salah seorang pria bertubuh besar yang berdiri di depan pintu, mulai mendengar perintah dari alat komunikasi yang menempel di telinganya. Pria itu menjawab datar dan kaku, lalu memberi perintah pada yang lain agar bersiap-siap menerima kedatangan seseorang dari balik pintu itu. Maira, yang memilih untuk berdiri tak jauh dari meja penerima tamu, mendengar tepuk tangan riuh para peserta gathering.

Dengan cekatan, dua pria bertubuh besar mulai membuka pintu dan membelahnya menjadi dua. Para anggota band melangkah keluar dengan cepat. Perhatian Maira pun tertuju pada sang vokalis yang berada di paling belakang. Riuhnya suara kamera saat mengambil gambar dan pertanyaan yang dilemparkan oleh para awak media, membuat Maira mengernyit ketakutan, lalu menutup kedua telinganya.

Sang vokalis mengangkat salah satu tangan untuk menghalangi cahaya lampu kamera yang menyilaukan. Dengan telinga masih tertutup oleh kedua tangannya, Maira terus memperhatikan si vokalis band. Tubuhnya tinggi dan atletis. Terdapat tato barisan tuts piano menghiasi lengan kirinya yang kekar. Tato sayap yang melingkari lengan, beberapa not balok, serta ukiran artistik, memperindah tato tuts piano tersebut.

Wajah tampan dengan rahang persegi, bibir tipis, serta dahi dan tulang pipi yang tinggi, membuat wajah pria itu terlihat tegas dan gagah. Jenggot tipis yang tercukur rapi di pipi dan dagu, serta rambut hitam kecokelatan yang dipangkas dan ditata dengan model slick pompadour, menambah kesan maskulin yang membuat wanita mana pun sulit mengalihkan pandangan dari pria itu.

Seakan-akan mengetahui di mana Maira berdiri, pria itu menoleh dan menatapnya tajam. Tatapan mereka pun saling bertemu. Seketika itu pula, Maira tercekat kaget saat menatap mata pria itu. 

Sejenak, Maira ragu jika si pemilik mata itu adalah pria yang sama. Namun, keraguannya menguap seketika saat pria bermata cokelat almond yang tajam dan dalam itu, menatapnya sambil menyunggingkan senyum miring sarat godaan. Nico?

 

∞∞∞∞∞

 

BAB 10

D’Aphrodite. 

Nama band itu terus mengisi kepala Maira. Bahkan, lagu yang Nico nyanyikan terus terngiang di telinga Maira bak kaset rusak. Akhirnya, yang bisa Maira lakukan hanya duduk di mobil tanpa banyak bicara selama perjalanan pulang. Ben menjemputnya tepat saat ia selesai menangani para vendor sekitar pukul 21.00. 

Acara hari ini berlangsung lancar, mewah, dan tak akan pernah ia lupakan. Sebelum meninggalkan hotel, Pak Sudarsono menghampiri Maira dengan raut puas. Pria paruh baya itu menjabat tangan Maira erat-erat sebelum mengecup lembut punggung tangannya. Pak Sudarsono merupakan pria yang hangat, lembut, dan sangat menyanjung serta menghormati wanita. Hal itu terlihat jelas dari cara Pak Sudarsono berbicara dengan dirinya.

Sebelum Pak Sudarsono masuk lift, pria itu mengatakan kalau tamu spesial—yang tidak lain adalah D’Aphrodite—sangat senang bisa tampil di acara ini. Manajer band tersebut pun berniat menghubungi Maira untuk menyusun beberapa acara yang mungkin akan berlangsung di Jakarta dalam beberapa bulan ke depan. Maira tidak mengerti apakah ia harus senang atau takut mendengar informasi tersebut. Karena sejujurnya, bulu kuduk Maira meremang seketika setiap kali mengingat tatapan tajam dan senyum nakal yang Nico berikan sebelum menghilang dari pandangannya.

“Kamu kenapa, Sayang?” tanya Ben lembut saat menangkap raut Maira yang termenung dan tampak gelisah.

“Nggak apa-apa, Ben. Aku cuma kelelahan saja,” jawab Maira lemah.

“Sungguh? Apa kamu sudah makan?” tanya Ben cepat, menunjukkan kekhawatiran yang terdengar jelas di tiap katanya.

“Sudah, Ben,” jawab Maira singkat, “aku lelah. Itu saja.”

Ben tidak bertanya lagi dan kembali memusatkan perhatian ke jalan. Suasana dalam mobil terasa begitu sepi. Akhirnya, Maira memutuskan untuk menyalakan radio, lalu kembali bersandar lelah di kursi. Pandangannya tertuju ke luar jendela, memperhatikan kendaraan lalu lalang sambil mendengarkan suara penyiar radio yang riang dan penuh semangat, berusaha menghibur para pendengar yang bosan dan lelah di tengah kemacetan Jakarta yang selalu menghantui setiap hari. 

Matanya yang baru saja terpejam, langsung terjaga saat mendengar lagu yang diputar oleh stasiun radio tersebut. Musik itu, lagu dan suara itu seakan-akan mengikuti dan menghantui ketenangan pikiran Maira.

 

I was always there ..., in every part of your stories

At every step you take, I was always there

I was always there ..., in every tear

In every pain, I was always there

 

Maira langsung mengganti saluran radio, lalu kembali bersandar, menarik napas dalam-dalam, kemudian mengembuskannya secara perlahan. Ia benar-benar butuh istirahat. Baik pikiran, hati, tubuh, dan jiwanya.

Pertemuan yang tidak terduga tadi benar-benar menyerap seluruh energinya. Maira tidak tahu mengapa seluruh sel dalam tubuhnya  bereaksi sangat aneh saat bertemu dengan Nico. Kehadiran pria itu seakan-akan merongrong jiwanya yang kelaparan dan haus akan gejolak baru. Gejolak gairah yang tak pernah ia rasakan sebelumnya, bahkan dengan Ben sekali pun. Gejolak itu pulalah yang membuat Maira bingung pada dirinya sendiri. Akhirnya, Maira menarik tuas kursi, merebahkan sandaran, dan berbaring sejenak di sana. 

“Tidurlah, Sayang. Nanti aku bangunin kalau sudah sampai rumah,” ucap Ben penuh perhatian. Tanpa perlu disuruh, Maira memang ingin memejamkan mata. Akhirnya, ia pun terlelap dalam lelah.

 

∞∞∞∞∞

 

You’re mine, Maira ..., you’re mine.” 

Suara itu memaksa Maira untuk membuka mata. Ia menatap sekelilingnya yang dipenuhi warna putih, bersih, damai, dan kosong. Di mana aku? Apa aku sudah mati? pikir Maira bingung.

You’re mine, Maira ..., you’re mine.” 

Maira langsung berbalik, mencari-cari asal suara yang terdengar tak asing di telinganya. Suara ringan dan sedikit serak yang mengalun lembut di telinganya, terasa begitu menyenangkan meski sarat godaan.

You’re mine, Maira.

Lagi, suara itu kembali mengisi indra pendengarannya. Maira tak tahu dari mana asalnya karena ia hanya sendirian di sini. Ia pun memberanikan diri untuk melangkah sembari berharap bisa bertemu dengan si pemilik suara. Namun, seberapa pun jauhnya ia melangkah, tetap tidak ada siapa-siapa di sana.

“Halo!” teriak Maira, mulai ketakutan. Kehampaan serta kesendirian yang begitu mengungkung membuat kepanikan dalam dirinya makin besar. Ia berharap setidaknya si pemilik suara muncul untuk menemani. Rasa takut yang makin kuat, membuat tubuh Maira gemetar.

Tiba-tiba, sebuah tangan mencengkeram pergelangan tangannya, lalu menarik tubuh Maira hingga berbalik. Maira tersentak kaget saat tubuh itu memeluknya dengan penuh kehangatan. Dekapan erat nan nyaman itu pun langsung melenyapkan rasa takutnya dalam sekejap. Seketika itu pula, rasa aman menyelimuti dirinya.

You’re mine, Maira,” ucap pria itu dengan lembut. 

Betapa terkejutnya Maira saat mengangkat wajah dan menatap mata cokelat almond itu. Aliran darahnya berdesir cepat merespons tatapan yang dengan mudah memerangkap jiwa dan hatinya. Gilanya lagi, gairah serta sisi terliar dalam dirinya yang belum pernah ia rasakan, muncul ke permukaan karena mata indah itu.

Ia sama sekali tidak mengerti dengan perasaannya saat ini. Di satu sisi, ia nyaman berada dalam dekapan pria itu dan sangat menyukai kehangatannya. Namun di sisi lain, Maira tahu bahwa ini adalah sebuah kesalahan besar karena seharusnya hanya Ben yang mampu membuatnya nyaman dan hangat seperti ini.

You’re mine, Maira,” ucap Nico parau sebelum bibir indah itu mendarat lembut di bibirnya. Maira memejamkan mata, menikmati sensasi hangat saat bibir Nico mengecupi bibirnya dengan lembut. Pelukan pria itu pun terasa makin erat saat ciumannya berubah menjadi makin dalam dan penuh hasrat. 

Anehnya, seluruh saraf di tubuh Maira berteriak kegirangan. Ia tak lagi bisa mengendalikan tubuh serta akal sehatnya. Atas kemauannya sendiri, ia pun menyambut ciuman Nico. Bahkan, Maira membuka bibirnya, memberikan ruang bagi pria itu agar makin leluasa menjelajah dan mengecap setiap kenikmatan yang ia berikan.

Nico mengecap lidah Maira, lalu menarik dan menggigit bibir bawahnya dengan sangat lembut. Cumbuan Nico memberikan sensasi liar yang belum pernah Maira rasakan sebelumnya. Tubuhnya bergetar nikmat, sementara kakinya terasa lunglai karena gairah.

Tangan Nico memeluk tubuhnya erat, membungkusnya dengan kehangatan yang terpancar dari tiap sentuhan pria itu. Dengan sangat berani dan tanpa ragu sedikit pun, Maira mengangkat tangan, lalu meraba dada Nico yang keras. Cepatnya debaran jantung Nico yang terasa jelas di bawah telapak tangan Maira, membuatnya girang bukan main.

Maira meresapi setiap sentuhan yang Nico berikan baik di punggung, leher, bahkan saat jemari-jemari pria itu menyusup ke balik rambutnya. Bibir Nico terus menjajah bibir Maira dengan lihai. Ia merasa melayang, kepalanya pun terasa begitu ringan meskipun napasnya terengah-engah dan jantungnya berdebar sangat cepat karena gairah.

Tidak. Maira tidak ingin semua ini berakhir. Ia ingin terus dan terus merasakan sentuhan dan bibir Nico. Ciuman yang Nico berikan menunjukkan betapa pria itu sangat memujanya. Permainan lidah yang sensual pun terus menjelajah tanpa henti. Bukan hanya membuat kakinya terasa tak bertulang, tetapi juga membuat tubuh Maira meleleh. 

Tangan kanan Nico mulai menyusup ke balik kemeja Maira, menyentuh lembut kulitnya dengan penuh kehangatan. Begitu hangatnya hingga ia ingin kehangatan itu menyentuh tiap jengkal tubuhnya. Sementara, tangan kiri Nico membalut leher Maira lembut, membuat ciuman mereka makin dalam dan liar. 

Maira memberanikan diri untuk membuka mata. Ia memperhatikan bagaimana Nico terus mengunci tatapannya dengan penuh gairah. Seketika itu pula, aliran darahnya yang meletup-letup karena gairah menggulung kenikmatan hingga memenuhi kepala.

Matanya kembali terpejam. Ciuman Nico terasa makin manis, nikmat, dan bergairah. Maira tersanjung melihat bagaimana Nico menikmati bahkan tak malu menunjukkan betapa besar gairah pria itu terhadap dirinya. Akal sehatnya pasti benar-benar sudah hilang saat ini karena ia begitu menikmati ciuman yang Nico berikan, sementara ia sudah memiliki tunangan. Oh, Tuhan! Kenapa aku bisa luluh begitu saja? pikir Maira heran.

Akhirnya, ia pun tersadar dan menghentikan kegilaan sesaat yang begitu menguasai dirinya. Maira langsung membuka mata, berniat melepaskan tautan bibir mereka. Namun, betapa terkejutnya Maira saat menemukan bibir Ben sedang mengulum rakus bibirnya.

Dengan kasar, Maira melepas ciuman itu dan mendorong tubuh Ben. Napasnya terengah-engah, sementara rautnya mengerut ketakutan. Maira tidak mengerti mengapa ia kesal saat mengetahui kalau Ben yang menciumnya, bukannya Nico. Padahal, seharusnya ia bisa menerima ciuman itu dengan bahagia karena Ben adalah tunangannya.

“M-maafkan aku, Ben,” sesal Maira sambil tertunduk malu.

Ia tak berani menatap Ben. Rasa bersalahnya begitu besar. Karena sejujurnya, secara tidak langsung ia sudah mengkhianati Ben. Ia sudah memperbolehkan pria lain menyusup ke alam bawah sadarnya, dan gilanya ..., Maira menyukai mimpi liar tersebut.

Gairah dalam dirinya meletup-letup dengan mudah ketika mengingat bagaimana bibir Nico menyatu dengan bibirnya. Penyatuan yang membuat dirinya bergetar nikmat. Ini salah! Tidak seharusnya aku memimpikan pria lain. Lalu, kenapa perasaanku jadi tidak keruan seperti ini? Ya, Tuhan! Ada apa dengan diriku? batin Maira bingung sekaligus takut.

“Nggak apa-apa, Sayang. Aku yang seharusnya minta maaf karena sudah menciummu diam-diam,” balas Ben lembut sembari mengusap bibir Maira. Namun, tubuh Maira malah menunjukkan penolakan, bahkan menjauhkan wajahnya dari sentuhan Ben.

“Nggak, Ben. I-ini bukan salahmu. Aku ..., ini pasti karena aku terlalu capek. Maafkan aku, Ben. Kurasa aku benar-benar butuh istirahat,” jawab Maira penuh penyesalan. Ben menggenggam tangan Maira sambil terus menatapnya dalam-dalam. 

Ada rasa takut dalam diri Maira ketika ia membalas tatapan itu. Ia takut Ben bisa melihat keraguan dalam dirinya. Ia takut Ben bisa merasakan kegelisahan yang timbul akibat kehadiran pria lain dalam pikirannya. Tidak! Maira tidak ingin Ben mengetahui hal itu, dan ia berniat menjernihkan pikirannya dari Nico.

“Maafkan aku, ya,” kata Ben lagi sambil tersenyum lembut. 

Oh, Tuhan! Dia sangat mencintaiku, tapi kenapa malah pria lain yang hadir dalam mimpiku? Kenapa? sesal Maira dalam hati. Sembari berusaha meneguhkan kembali perasaannya, Maira mengangkat tangan kanan Ben, lalu mengecupnya lembut, dan membalas tatapan pria itu dengan penuh cinta.

Ben mulai memberanikan diri untuk mendekat dan menciumnya lagi. Ciuman yang singkat, dalam, dan hangat. And, guess what? Maira sama sekali tidak merasakan getaran itu. Getaran liar yang ia rasakan saat berciuman dengan Nico di mimpinya. Getaran penuh gairah yang membuatnya kecanduan. Tidak ada. Sama sekali tidak ada!

Senyum hangat menghiasi wajah Ben setelah menjauh dari bibirnya. Ia pun segera keluar dari mobil, menyudahi kebimbangan yang saat ini melandanya. Setelah membuka gerbang rumah, Maira berbalik dan melambaikan tangan ke arah Ben. 

Saat mobil itu melesat pergi dari hadapannya, Maira terdiam sejenak di belakang gerbang. Tiba-tiba, kilasan mimpi yang begitu menggairahkan kembali mengisi kepalanya. Seharusnya, ia tidak boleh bermimpi seperti itu. Dan sialnya, ia menginginkan mimpi itu menjadi kenyataan. Oh, God!

 

∞∞∞∞∞

 

Pagi pun tiba, tetapi Maira masih enggan untuk bangkit dari tempat tidur. Ingin rasanya ia mengunci diri di dalam rumah. Perasaan gelisah dan rasa bersalah yang menggelayuti dadanya sejak semalam, membuat tubuh Maira lelah sekaligus lemah. Ia pun memutuskan untuk mengambil ponsel yang diletakkan begitu saja di samping bantal, lalu mencari nama Sasha di daftar panggilan. Dalam dua nada dering, Sasha langsung menjawabnya.

Kenapa, Ra?” tanya Sasha santai.

“Kayaknya gue nggak ke kantor hari ini, deh. Badan gue sakit semua,” jelas Maira beralasan.

Lu kenapa? Habis berantem sama Hulk?” ledek Sasha. Senyum mengembang di wajah Maira, sedikit terhibur dengan banyolan temannya.

“Iya. Hulk-nya lagi ngomong sama gue nih sekarang,” canda Maira.

Sialan lu! Sudah, tidur sana. Kalau lu kenapa-kenapa entar gue yang repot,” gerutu Sasha dengan nada ketusnya yang khas.

“Lah, kenapa jadi lu yang repot?” tanya Maira bingung.

Ya, iyalah. ‘Kan gue sayang sama lu, Ra,” jawab Sasha genit.

“Ishhh! Kenapa gue jadi jijay bajay gitu dengar lu ngomong ‘sayang’, ya?” balas Maira ringan. Mereka berdua pun tertawa sejenak.

“Sudah, ah! Nggak jadi istirahat deh gue kalau begini,” ucap Maira, berniat mengakhiri panggilannya.

OK. Have a nice dream, Beb,” sahut Sasha centil.

“Asli, gue geli banget. Sudah, ah!” balas Maira cepat.

He-he-he ..., bercanda, bercanda. Ya sudah, deh. Bye,” sahut Sasha yang langsung memutuskan panggilan. Maira segera menghubungi Ben dan memberi tahu kalau hari ini ia tidak ke kantor karena ingin istirahat seharian. Ben langsung menawarkan diri untuk merawatnya, tetapi Maira menolak. Yang ia butuhkan saat ini bukan Ben. Ia hanya butuh waktu sendirian demi menata perasaannya kembali. Akhirnya, Maira kembali tertidur di balik selimutnya yang hangat.

 

∞∞∞∞∞

 

“Kau sudah bertemu dengannya?” tanya wanita itu tak sabaran. Senyum manis dengan suara riang dan mata berwarna sama dengannya, langsung melemparkan pertanyaan yang sangat sensitif.

“Aku rasa kau tidak perlu terlalu sering menanyakan tentang wanita itu padaku,” jawab Nico datar. Ia sedang duduk di ruang musik, berkutat dengan alunan musik dalam kepalanya, ketika Alexa muncul dengan pertanyaan yang sudah sering ia dengar.

“Kau harus segera bertemu dengannya, Nico,” saran Alexa sedikit mendesak sembari berjalan mendekat ke sofa panjang tempat Nico duduk sambil bermain gitar. Ia terus memainkan alunan nada yang akhir-akhir ini selalu mengisi telinga dan benaknya, tetapi belum ada satu pun kata-kata yang tepat bagi alunan tersebut.

Nico merekam setiap nada dengan alat perekam dan menulisnya di kertas partitur. Ia berusaha untuk tidak menghiraukan saran Alexa, ia tidak ingin alunan indah itu menghilang dari pikiran. Alunan nada yang muncul dan terus berdengung di telinganya semenjak ia bertemu dengan Maira. Sialnya, bukan hanya nada-nada itu saja yang selalu menghantui, tetapi wajah, suara, dan mata Maira membuatnya seperti terhipnotis.

“Nico, apa kau mendengarkanku?” tegur Alexa mulai tampak kesal.

“Sudahlah, Lexa! Aku tidak mau membicarakannya lagi,” tolak Nico dingin, kemudian beranjak dari sofa dan meletakkan gitarnya begitu saja.

“Tapi wanita itu adalah milikmu, Nico!” protes Alexa, tidak tahu harus bagaimana lagi supaya Nico mau bergerak dan memiliki apa yang seharusnya menjadi miliknya.

“Belum. Dia belum menjadi milikku,” tangkis Nico tegas, membelakangi Alexa sambil memasukkan kertas partitur ke dalam tas.

“Terserah! Aku hanya mengingatkanmu—untuk yang ke sekian kalinya. Jangan sampai kau kehilangannya. Kau pasti akan menyesal seumur hidupmu, Nico!” ingat Alexa ketus. Akhirnya, wanita itu keluar dari ruang musik dengan entakkan kaki kesal dan dengusan frustrasi, lalu membanting pintu, meninggalkan Nico sendiri dengan pergumulannya. 

Alexa salah jika berpikir kalau Nico tidak ingin bertemu dengan Maira. Nico ingin sekali menghampiri dan mengenal Maira lebih dalam. Namun ketika ia melihat wanita itu bermesraan dengan seorang pria di bandara, Nico pun bertekad bahwa ia tidak ingin masuk ke dalam hubungan itu. Ia tidak berniat menghancurkan hubungan Maira hanya karena statusnya.

Nico tahu, Maira adalah miliknya—seharusnya jadi miliknya. Namun, ia tidak ingin wanita itu merasa diperdaya dan terpaksa. Tidak! Ia bukanlah bajingan yang suka merebut kekasih orang lain. Selama Maira masih memiliki kekasih, Nico akan berusaha sekuat tenaga untuk tidak mengusik kehidupan wanita itu. Tidak akan!

Ia melangkah kembali ke sofa, mengambil gitar dan memainkan alunan nada itu berulang-ulang kali. Bahkan tanpa kertas partitur, nada-nada itu terus mengalun di pikiran dan hatinya, terpatri dan tertanam dalam dirinya. Berselang beberapa saat setelah kepergian Alexa, ketukan di pintu kembali mengusik ketenangannya. Namun, tak mampu menghentikan Nico dalam memainkan nada-nada itu di gitar. Pintu terbuka tanpa perintah dan langkah kaki terdengar makin mendekat. 

“Nada yang indah. Kurasa itu harus masuk ke album selanjutnya.”

Seorang pria bertubuh tinggi, dengan postur yang tidak terlalu atletis, tetapi terlihat sehat karena rutin berolah raga ringan, bergerak menghampiri Nico. Cio, pria berparas manis dengan senyum hangat menghanyutkan, mampu membujuk siapa pun untuk tunduk terhadap keinginannya. Kelihaian dalam bernegosiasi dan kemampuannya yang andal dalam mengatur serta menyusun jadwal, membuat Cio pantas menjadi manajer band.

Cio selalu mengatur jadwal panggung, press conference, pemotretan, serta segala sesuatu yang berhubungan dengan band. Hanya tentang band. Di luar itu, atau yang berhubungan dengan pekerjaan kantor, Cio hanyalah bawahan Nico yang selalu siap sedia jika ia butuhkan. Dengan kata lain, Cio adalah karyawan sekaligus manajernya.

Dengan senyum hangatnya yang khas, Cio meletakkan map hitam di meja panjang yang berada di depan sofa tempat Nico duduk saat ini. Nico meminta Cio mempekerjakan beberapa orang untuk menjaga, mengikuti, dan mengawasi setiap kegiatan serta keberadaan Maira. Dan setiap hari, mereka harus memberi laporan kepada Nico. Ia ingin tahu apa yang Maira lakukan dan segala hal yang berhubungan dengan wanita itu.

“Bukan untuk umum,” sahut Nico dingin.

“Kurasa itu akan laku di pasaran. Nadanya begitu indah dan ....”

Cio tidak melanjutkan kalimatnya dan memilih menyimpan penilaian itu untuk dirinya sendiri ketika Nico melemparkan tatapan tajam dan sinis. Cio sangat mengenal sifat Nico yang sinis, dingin, dan keras. Ia pun berhenti memetik gitar, kemudian meletakkan benda tersebut di samping sofa, lalu mengambil map hitam yang tergeletak di meja.

‘Maira’

Nama wanita itu tertera cukup besar di bagian depan map. Jantungnya berdebar sedikit lebih cepat, penasaran dengan hasil pengintaian hari ini. Dengan sikap tenang palsu, Nico membuka map dan melihat lembaran foto Maira saat melakukan aktivitas. Darah Nico berdesir cepat, memompa gelora panas dalam dirinya ketika melihat foto Maira yang sedang tersenyum, seperti sedang tersenyum padanya. Nico meremas ujung map dan rasa perih di dalam dada mulai terasa menyiksa. Bukan! Senyum itu bukan miliknya—belum. Belum menjadi miliknya.

Ingin rasanya ia menggunakan seluruh kekuasaan dan kekuatannya untuk segera memiliki wanita itu, tetapi tidak bisa. Nico sudah mulai menyusun rencana agar perlahan-lahan Maira bisa merasa dan menyadari kehadirannya. Ia akan membuat Maira tidak bisa lepas darinya. Maira adalah milikku. Hanya milikku.

“Oh, iya. Jangan lupa! Besok penerbangan jam sepuluh, ya,” ingat Cio.

“Ke mana?” tanya Nico datar, tak terlalu memedulikan jadwal konser mereka yang makin padat. Tujuan utamanya datang ke Indonesia hanyalah demi menemui Maira.

“Sydney,” jawab Cio singkat.

“OK,” sahut Nico cepat, “sampai ketemu besok di bandara.”

Nico mengambil salah satu foto Maira, lalu menutup map tersebut, Dan meletakkannya begitu saja di meja. Ia beranjak dari sofa, lalu berjalan menuju keyboard yang berada di sudut ruangan dengan beberapa monitor dan pengatur suara.

“Oh, satu lagi,” ingat Nico ketika duduk di kursi keyboard, “tetap suruh mereka mengawasi dan menjaganya. Dan, jangan lupa beri laporan padaku setiap hari!”

 

∞∞∞∞∞


 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Can I Trust You? (21+) - BAB 1 - BAB 5
18
4
WARNING 21++ !! (Cerita ini mengandung unsur adegan dewasa, kekerasan, dan kata-kata yang tidak diperuntukkan untuk anak di bawah umur. Harap kebijakannya dalam membaca. Sadar diri, sadar umur.)*****Berdarah dingin. Kejam. Menyukai darah. Pecinta warna hitam. Suka menghabisi nyawa mangsanya dengan sangat lembut namun menyiksa. Tapi, semua itu ia tutupi dengan tameng sempurna.Jas mahal dan pekerjaan sebagai pengacara andal, merupakan kamuflase terbaik yang ia miliki. Tertutup. Cliff selalu menjauhkan kehidupan pribadinya dari khalayak umum.Wanita? Tidak. Cliff tidak mau berhubungan dengan sosok lembut dan lemah itu. Bukan karena ia tidak ingin merasakan cinta, tapi karena ia tahu ... he doesn't deserve it!Hingga akhirnya ia bertemu dengan Molly, wanita yang mengubah dunianya. Atau lebih tepatnya, menghancurkan semua yang ia bentuk dalam kotak kehidupannya selama ini. Seorang wanita yang membuatnya tak berkutik dan lemah. Seorang wanita yang seharusnya ia jauhi sejak awal. Seorang wanita yang seharusnya menjadi ... korban berikutnya!*****
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan