
"Cantikan mana sama Prilly?" Sahut Dika malas.
"Gue udah bilang dia mempesona Mas....beda sama cantik...yang cantik banyak...tapi yang tenang mempesona itu langka...iya kan...ishh..Mas lihat dulu dong wanita gue..." Rajuk Budi karena Dika tak ikut memperhatikan arah pandangannya. Masih sibuk menyuir ikan gurame goreng saos tomat.
"Hmmm....." Dahut Dika malas
"Elaah..Mas...lihat dulu....tuh arah jam empat, yang pake baju warna pink..duuhhh senyumnyaaa Mas...aku meleleh..."
Dengan malas Dika mengangkat...
BAB 6
Hana sedang merapikan meja kerjanya ketika telepon itu masuk. Tertera nama Gisella disana, Hana langsung mengangkat ponselnya, dengan senyum di bibirnya ia menggeser layar ponselnya
"Halo Gis....."
"Heeyyy Mamiiiiii...udah lupa sama kakak dan keponakan huh?"
Hana terkekeh, ia mengerti mengapa Gissella kesal seperti itu, hampir seminggu ini ia sibuk sekali dengan opening Rumah Puncaknya.
"Ya ngga lah Mama cerewet...monmaap mamih sibuk banget"
"Tsk!! Sok sibuk paling...." Hana bisa membayangkan Gisella memanyunkan bibirnya.
"Mana keponakan ganteng ku...Gis?"
"Nihh aku lagi rebutan hape sama Elang...ish...denger suara maminya udah langsung heboh aja..." Hana bisa membayangkan Elang melompat lompat ingin meraih ponsel dari mamanya.
"Mammiiiiiii.....kapan puyang....Lang kangen, mama cenewet banget...Lang dimayahin teyusss..."
"Ngga adaa yaaa, mama marah marah, kamu aja yang ngga bisa dibilangin..."
"Iyaaa mama mayah teyusss yaaa...Papa juga biyang gitu kok..."
"Tsk! Kamu sama papa, sama ajaa...mama ngga mau masakin nasi goreng ayam lagi yaaa..."
"Jangan Ma......macakin yaahhh...Lang nanti dengey dengeyan dehh cama mama...."
Lalu terdengar balas balasan percakapan antara ibu dan anak itu.
Hana hanya menggelengkan kepalanya, ia memutuskan untuk menyela debat ibu anak itu.
"Hei..hei...Ini mau nelpon Mami atau mau berantem sama mama sihhh??"
"Eehhhh...iya sampai yupa ada Mami....neypon Mami laah..."
Hana bisa mendengar tawa Elang yang merasa senang karena berhasil membujuk sang mama untuk tetap masak nasi goreng ayam favoritnya.
"Kapan mau datang ke tempat mami..?"
"Ohhh iyaaa....kata mama Lang mau libulan ke te.pat mamiii...Lang dah ngga saballll...Lang mau nayik kuda lagi cama mami...."
"Iyaa...mami tunggu lho...."
"Biyang sama Oom kuda tunggu Lang datang yaaa mii...."
"Okeeeee...nanti mami bilangin..."
"Tempat mami beyum ada sinal nya yang bagus yaaa..beyum bica pidiokol? "
"Iyaa...belum bisa Lang...tapikan bisa denger suara mami...."
"Tapi Lang mau liat Mami...."
"Kan bentar lagi mau ketemu sama mami..."
"Ohw...iyaaa yaa...lang mau ketempat Mami....mama, kita beyangkat besok? "
"Tahun depan!"
"Mamaaaa...."
Hana kembali tergelak, Gisella tak berubah juga, tetap ketus meskipun Hana tau betapa besar cinta Gisella untuk anaknya itu.
Hana tak menyangka sejak Gisella hamil, kakak tirinya itu banyak sekali berubah, sekian puluh tahun ia diperlakukan seperti tak berarti, kini hampir empat tahun mereka berdamai, pun dengan ibu Tirinya.
Hana kini percaya, disetiap kejadian ada hadiah yang akan didapatkan. Meskipun harapannya untuk menikah dengan orang yang dicintainya hilang, Tuhan sangat baik.menggantikannya dengan empat sosok yang berbalik mencintainya dengan tulus, Gisella, Lusi Ibu tirinya, James kakak iparnya, dan seorang keponakan lucu dan menggemaskan.
Tidak semua yang dipikir nya adalah baik, karena rencana Tuhan pasti lebih baik. Meskipun ia harus memutuskan cinta dalam hidupnya, ia tak lagi kecewa. Mungkin ini sudah jalannya agar hidup keluarganya lebih bahagia. Ayah tak perlu lagi sembunyi sembunyi menunjukkan sayangnya pada Hana, tak perlu lagi berada diantara dua kubu yang pasti sangat menyiksa sang Ayah.
Duseberang sana, Gisella juga tengah tersenyum melihat interaksi Elang dengan Hana.
Tak mengira Tuhan begitu baik padanya. Segala keburukannya bahkan Ia ampuni, memberikan Rahmat atas segala penyesalan Gisella.
Gisella berubah sejak ia hamil disaat ia masih berstatus single. Gisella tau itu anak James Hardika, teman kuliahnya. Mereka hanya sebatas teman nongkrong. Bertemu sekali sekali karena berada dalam satu sirkle pertemanan.
Saat itu Gisella dan teman temannya janjian clubing, dan disana ia bertemu dengan James yang juga sedang berada disana. Dan peristiwa itu dimulai dari chalenge bodoh yang akan dia sesali. Sebuah tantangan paling umum yang dilakukan penikmat club, siapa paling bisa minum paling banyak dan tetap sober.
Lalu semua terjadi begitu saja, Gisella dan James yang sebenarnya tak ingin ikut, tapi katena terbawa suasana merekapun lepas kendali, hangover dan tanpa sadar mereka melakukan hubungan sangat jauh. Gisella dan James tersadar setelah pagi hari mereka bangun disebuah kamar tanpa sehelai benang yang melekat ditubuh keduanya.
Mereka bukan dua orang yang suci, ini bukan One night stand pertama bagi Gisella dan James. Dan mereka tak mempermasalahkan hal itu.
James kemudian pergi entah kemana, bukan karena ia lari dari tanggung jawab, tapi karena ia memang tidak tau apa apa. Demikian juga dengan Gisella yang tak pernah memikirkan jika perbuatan mereka menghadirkan janin diperutnya.
Hingga ketika ia menyadari sesuatu tumbuh diperutnya, ia sudah kehilangan James. Ia tak tau dimana laki laki itu berada. Mencoba menghubungi teman teman mereka, tapi tak satupun ada yang bisa menghubunginya.
Karena itu Gisella putus asa, dan pembatalan pernikahan Hana dan Dika memberi nya ide untuk menggantikan Hana menikahi Dika. Jika ia bisa menikah dengan Dika, Ia bisa menutupi aib nya, terlebih didepan Ayah dan ibu yang begitu menyayanginya. Ia akui itu sangat keterlaluan, tapi ia sedang putus asa.
Gisella hampir saja bunuh diri. Tak satu pun jalan keluar bisa ia temui. Hingga ketika gelisahnya merosot ketitik nadir, ia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya, hanya saja ia belum memilih cara apa.
Hari itu sepulang dari tempat kerja, Hana berjalan tak tentu arah ditengah hujan lebat. Hari semakin gelap, dan godaan untuk memabrakkan diri pada kendaraan yang melaju semakin kuat.
Tubuhnya menggigil menahan dingin, jemarinya sudah kaku menggenggam tali sling bag nya. Gisella benar benar putus asa.
Entah mengapa saat itu yang berputar dibenaknya adalah kilasan kilasan bagaimana ia menjahati Hana. Bagaimana ia menyiksa Hana dengan kata kata, dengan jambakan, dengan pukulan. Bagaimana ia selalu memonopoli Ayah, tak mau berbagi dengan Hana. Ia mau hanya Dirinya yang menjadi kesayangan Ayah. Meskipun sekarang semakin jelas Ayah juga sangat menyayangi Hana. Sejak Hana pergi, Ayah kehilangan semangat hidupnya.
Ia tak.mungkin bilang pada ibu jika ia hamil. Ibunya pasti hancur, karena Ayah menyakiti ibu dengan menghamili kekasihnya , mama dari Hana.
Bagaimana mungkin ia bisa jujur pada Ayah yang sedang kehilangan salah satu putri kesayangan nya?.
Gisella merasa ini hukuman baginya. Dan ia sampai pada titik dimana ia pantas mati untuk menebus Kesalahannya.
Sampai sebuah tangan menepuk pundaknya.
"Gisella...??"
Gisella tak percaya pada pendengarannya. Ia merasa ia sedang berhalusinasi. Tak mungkin.
"Gisella...kamu kenapa hujan hujanan...?"
Tangan itu lembut membalikkan tubuhnya. Dan kini ia berhadapan dengan pria yang dicari ya selama ini.
"Aku yakin itu kamu, dari jauh aku langsung tau itu kamu Giss...hei...kenapa nangis..?
Mereka berdua saling tatap, Gisella dengan tatapan tak percaya, James dengan tatapan lembut dan heran.
"James.....ini kamu...?" Suara Gisella nyaris tak terdengar.
James tertawa, ia mengusap air mata yang sudah bercampur dengan air hujan.
"Iya ini aku Gis...kamu kenapa? Kurang bahagia masa kecil? Main main hujan sampai kamu dingin banget..."
Mereka tak beranjak dari deras hujan. Masih saling tatap dan akhirnya, Gisella memutuskan memeluk James dengan erat. Lalu ia menangis dengan keras.
James yang terkejut, tapi tak urung dibalasnya pelukan itu dengan sama eratnya. Ia tak tau untuk apa tapi ia merasa harus memeluk Gisella dan melindunginya.
"James.....aku hamil....aku hamil anak kamu....aku hamil James..
Aku takut..."
Tubuh James menegang. Meskipun huja deras ia masih bisa mendengar suara Gisella.
Apa?
James melepaskan pelukannya, meraih bahu Gisella, lalu mensejajarkan wajahnya dengan Gisella.
Wajah yang tampak putus asa, dengan mata sembab dan bibir gemetar.
"Gis...kamu hamil...?"
Gisella mengangguk dan deras air mata semakin menderas dipipinya. Ia siap ditolak, ia kehilangan kemauan untuk diterima. Ia telah lelah. Ia tak mau apa apa lagi, ia sudah pasrah. Ia benar benar lelah, fisiknya pikirannya. Bahkan jika tak ada James didepannya ia pasti sudah ambruk.
"Hamil.anak.aku...? Kejadian malam itu buat kamu hamil...?"
Wajah James terlihat cemas? takut? tak percaya?. Bagi Gisella tak berpengaruh lagi. Ia tak ingin meyakinkan James untuk bertanggung jawab. Ia sungguh tak mau apa apa lagi.
Hening merajai mereka berdua. Gisella tak berharap apa apa, bahkan tidak berteriak meminta James bertanggung jawab. Pikirannya melayang tidak bisa fokus.
Tiba Tiba Gisella merasa tubuhnya direnggut dan ia merasa tubuhnya melayang tak bisa berpijak.
"Aku mau punya anak?..bakal ada yang panggil aku papa?...Oh God...aku jadi papa Gis...jadi Papa..."
Gisella merasa tubuhnya berputar putar bersama gelak tawa dari James.
"Aku jadi Papa......aku jadi papa....."
Suara James kembali terdengar diantara air hujan yang terhempas ke bumi.
Hidup kadang aneh. Hana yang begitu baik sepanjang hidupnya, tapi kebahagiaan sulit sekali datang sebagai upah kesabarannya.
Sementara Gisella yang merasa berbuat egois sepanjang hidupnya, tapi banyak kemudahan yang ia dapatkan. Hal berat seperti hamil diluar nikah, ternyata ia diberi laki laki yang sangat bertanggung jawab.
Hana yang sudah berapcaran tiga tahun, Dika malah menubggalkannya ketika pernikahan sudah di depan mata.
Sungguh ironis....
Dan semua mengalir begitu saja...
James langsung melamar Gisella dengan jujur mengakui kesalahan mereka didepan kedua orang tuanya, menahan tamparan dari Ayah dan Ibunya.
Mengajak Gisella menemui orang tua James di Bali, dan Ia disambut gembira oleh keluarga itu. Mempersiapkan pernikahan dalam waktu satu bulan dan tak tanggung-tanggung Keluarga James menyelenggarakan pesta pernikahan besar di Bali.
Gisella dihadiahi rumah, meski tak mewah tapi cukup besar di komplek perumahan elite. Pekerjaan James yang mapan membuat mereka hidup tak kekurangan, dan Gisella dengan senang hati berhenti bekerja atas permintaan James.
Meski mereka tidak disatukan oleh cinta, tapi James mengajak Gisella untuk belajar saling mencintai karena James berkata jika ia hanya jangan menikah satu kali seumur hidup dan ia mau rumah tangga yang bahagia.
Itu terbukti dari sikap James selama mereka menikah, meskipun tetap ada perbedaan pendapat, tapi mereka selalu berusaha untuk bisa mengatasinya.
James juga yang membantu Gisella mencari keberadaan Hana. Gisella merasa bersalah pada Hana, dan sejak kejadian dimana James tak keberatan mengakui anaknya, disitu Gisella mau berubah.
Gisella juga membujuk ibu agar mau menerima Hana, mau mengakui jika selama ini perlakuan mereka sangat buruk pada Hana. Ibu kandung Hana mungkin salah, tapi Hana tidak bersalah sama sekali.
Akhirnya perlahan Ibunya bisa menerima kehadiran Hana. Hana juga sangat terharu dengan hal itu. Lebih lebih ayahnya yang menjadi lebih tenang, hingga perlahan kesehatan Ayah kembali pulih. Ayah mereka semakin sering menampakkan senyumnya.
Meskipun Hana tak sering pulang, itu pun dimengerti oleh Ayah dan ibu terlebih Gisella. Ia menyesal memperparah hubungan Dika dan Hana. Jika saja ia tak mengatakan kebohongan pada Dika, mungkin saja masih ada harapan Dika berubah pikiran. Tapi setelah Gisella pikir, Dika sebenarnya yang punya andil lebih besar pada batasnya pernikahan Hana dan Dan Dika.
Kebencian Gisella pada Dika tak pernah surut. Ia sangat membenci laki laki itu. Gisella pernah bertemu Dika dan Deasy dirumah sakit tengah menggendong anaknya.
Gisella tak segan menatap Dika penuh kebencian. Dan hal itu tak dilarang James yang sudah tau bagaimana pengecutnya laki laki bernama Dika itu.
Gisella bisa melihat sorot bersalah dimata Dika. Tapi itu semakin membuatnya membenci Dika. Untung saja itu terkahir kalinya Gisella bertemu, setelahnya Ia mendengar jika Dika pindah dari kota mereka.
Hanya karena Gisella diminta oleh Hana, agar tak menceritakan kebenaran tentang sebab batalnya pernikahan mereka, maka kebenaran itu tak sampai ketelinga Ayah dan keluarga Dika. Meskipun Gisella sangat ingin membongkar kebusukan Dika.
Karena Sampai kapan pun Gisella tetap membenci laki laki itu.
BAB 7
Sialan banget si Bapak ini...kesini buat kerja eh malah tepar!!"
Terdengar sungut sungut dari mulut Seorang pria dengan rambut terkuncir rapi.
"Van...gue mau tidur, bukan mau diomelin, lo kan bisa pergi sama Eko dan Budi dulu...gue istirahat, ntar malam paling udah fit...gue dah minum obat tinggal biarin gue tidur sampai jam tujuh saja..."
"Makanya Dika, lo dibilangin ngga usah lembur, lo malah lembur!"
Dika tak habis pikir bagaimana Revan tidak paham apa yang dia bilang tadi. Malah menambah omelan yang tak penting untuk dibahas.
Ia mendengus dan menutup seluruh tubuhnya dengan selimut.
"Aelah ambekan! kaya cewe aja lo, kampret! Udah gue cabut dulu mau cek lokasi Rumah Puncak...!"
Dika tak menyahut, kepalanya sudah seperti mau pecah, ia benar benar butuh istirahat.
*****
"Selamat datang di Heaven Agrowisata Mas Mas semua..." Suara Ranty terdengar ramah, dan.memang harus ramah karena sesuai dengan.SOP agar tamu yang datang merasa nyaman.
"Terimakasih mba.....umm Ranty...saya Revan, ini Eko dan Budi..." Mereka bergantian bersalaman.
"Sebenarnya ada satu lagi tim kami, hanya lagi kondisinya kurang sehat jadi harus istirahat dulu..."
"Oh, kami ada klinik juga Mas, temannya dibawa ke klinik saja?"Ekspresi wajah Ranty tampak tulus mencemaskan informasi yang baru didengarnya.
Dan itu memang kewajibannya sebagai PR untuk memastikan kondisi pengunjung.
"Wah...ngga usah mba, kasihan Kliniknya kalau temen saya dibawa kesana, orangnya suka ngerepotin..."
Ranty tertawa mendengar celetukan Eko yang terlihat ramah.
"Beneran Mas ngga perlu dibawa ke klinik? atau kalau memang keadaannya berat, kami bisa antarkan ke RS terdekat..."
Bagaimana pun setiap tamu harus menjadi perhatian mereka, salah satu bentuk service dari perusahaan mereka.
"Iya mbak, ngga usah dipikirin...hanya butuh istirahat saja..." Revan menguatkan jawaban Eko tadi.
"Oh...baik kalau begitu, mari Mas kita langsung ke Rumah Puncak.. nanti disana kita akn bertemu dengan Ibu Hana yang mengelola tempat tersebut.."
"Oh...bukan dengan mbak Ranty ya...?". Tanya Budi sambil ikut menjajari langkah yang lain.menuju lobby dimana kendaraan yang akan membawa mereka ke Rumah Puncak.
"Bukan Mas...nanti dengan Ibu Hana.." Jawab Ranty sambil tetap tersenyum.
"Yah...saya tadi sudah senang jika Mba Ranty yang langsung kerja sama dengan kita...ishhh apaan sih??" Tiba tiba Budi berteriak karena kepalanya tiba tiba ditemplak.
"Kalem Bud! Langsung modus aja lo baru nyampe juga..."
Ranty tertawa melihat tingkah tamu ya kali ini.
"Mas Budi nanti kalau sudah bertemu Ibu Hana pasti berubah pikiran..." Ucapnya sambil tersenyum dan membukakan pintu bagi ketiga tamunya.
"Ah, saya tetap pilih Mba Ranty sa..isshhh apaan lagi sih??"
Kali ini bokong pria itu yang ditemplak. Ranty kembali tertawa.
"Mentang mentang saya paling Junior, saya selalu dibully mba.." Keluh Budi.
"Bacot Bud...Bacot...kencing aja belom lurus, pake godain anak orang..."
Ranty kemudian melambai tak lupa memberi pesan agar supir yang membawa mereka kepuncak berhati hati.
Resort menyediakan angkutan menuju rumah puncak, demi keamanan kendaraan pribadi tidak diperbolehkan kesana mengingat Medan yang cukup ekstrem karena tingginya lokasi yang mereka tuju.
Resort menyeleksi supir supir yang benar benar memiliki kecakapan dan punya rada tanggung jawab besar. Mulai dari kerapihan dan kebersihan diri dan interior mobil, segala sesuatu yang berhubungan dengan mesin harus dalam keadaan baik.
Pemandangan menuju Rumah Puncak benar benar indah, memanjakan mata dan segarnya benar benar luar biasa. Mereka membiarkan jendela mobil terbuka agar dapat merasakan udara segar.
Mereka baru bisa menempati Rumah Puncak keesokan harinya karena memang hari ini Rumah Puncak Penuh. Jadi mereka memutuskan untuk meninjau lokasi yang akan mereka jadikan latar lokasi iklan yang akan mereka garap.
Membutuhkan waktu dua puluh menit hingga mereka tiba di Rumah Puncak. Dan ketika turun dari mobil, mereka langsung disambut oleh petugas dengan ramah, bahkan mereka tau nama mereka bertiga dan langsung mengajak ke lantai dua Rumah Puncak, di sebuah balkon yang luas langsung menghadap pegunungan.
Mereka dihidangkan minuman hangat dan makanan ringan.
"Silakan dinikmati Mas...Ibu Hana sepuluh menit lagi datang, masih ada pertemuan virtual dengan Pimpinan...jika ada yang diperlukan tunggal panggil kami ya Mas.." Jelas salah seorang petugas.
Ketiganya serentak.mengucapkan Terimakasih.
"Gila! Tempatnya keren banget
..betah gue disini..." Seru Revan menanggapi Pemandangan yang terhampar didepannya.
"Banyak spot yang bisa kita pakai Mas..." Sambut Budi yang sedari tadi telah mengelilingi lantai dua ini.
Ia memang langsung mengerjakan bagiannya. Karena itu Revan dan Eko mengajak Budi meskipun masih Junior.
"Iyalah...gue dah lama ngincer tempat ini buat proyek kita Selanjutnya, kebetulan dapat job dari Beauty Nature, gue seneng banget.." Eko Tergelak sambil menyeruput tehnya.
Tiba tiba mereka mendengar suara langkah kaki dari belakang, ketiganya kompak menoleh.
Seorang wanita dengan memakai name tag Resort. Mengenakan kemeja putih lengan panjang, celana skinny warna khaki, dan sepatu bot Coklat dan jangan lupa rambut panjang ya yang tergerai dan ikal diujung ujungnya.
Wanita itu tersenyum, bukan senyum ramah seperti Ranty yang menyambut mereka tadi, tapi senyumnya membuat ketiga laki laki itu terpesona.
"Selamat datang di rumah puncak Mas Budi, Mas Eko dan Mas Revan..." Bahkan wanita itu juga langsung tau siapa mereka. Personal touch dari Resort ini sangat baik. Mengenal tamu tamu mereka dengan baik.
"Perkenalkan nama saya Hana..yang akan membantu Mas semua selama mengerjakan proyek iklan Beauty Nature di Rumah Puncak..."
" Ah...benar kata Mba Ranty..." Ucap Budi tang membuat alis Hana sedikit terangkat. Apa lagi yang dibilang sama Ranty?.
"Katanya Mba Hana Cantik...padahal sebenarnya kurang tepat...mba Hana mempesona...adawww..." Kembali kepalanya menjadi korban.
"Maafkan adik kami yang satu ini Bu Hana....maklum, PH kami semua batangan eh maksudnya laki laki semua, jadi agak norak kalau ketemu lawan jenis..." Revan memaki dalam hati kenapa pula kata durjana 'batangan' terucap dari bibirnya. Haish!!
Hana hanya bisa tertawa.
"Mari saya ajak mas semua berkeliling, saya akan rekomendasikan beberapa spot andalan kami yang sudah saya sesuaikan dengan tema yang Mas Jatra kirim ke saya...eh ngomong ngomong Mas Jatra kenapa tidak ada?" Hana tiba tiba berhenti katena baru menyadari sesuatu.
"Oh, kami lupa menginformasikan, karena mendadak, mungkin sebentar email dari kantor akan menyusul Bu, Mas Jatra tiba tiba harus ke Aceh, ada proyek dadakan dari salah satu BUMN disana, jadi Mas Jatra diganti dengan yang lain. Tapi dia lagi istirahat dulu di bawah, habis lembur dan langsung menuju kesini, tepar dia..."
Hana mengangguk, ia ingat bahwa pertemuan resmi mereka adalah nanti malam. Bersama tim dari Beauty juga.
Lalu mereka melanjutkan perjalanan menuju tempat yang akan ditunjukkan Hana.
*******
"Sial, ternyata Bu Hana sudah ngga single....cape deh gue dari tadi tebar tebar pesona..." Omel Budi yang tengah kesal memandang Hana yang sedang berbicara dengan seorang Pria berbadan besar dan sialnya gagah pula.
"Cih...lebay..." Decih Budi lagi, mulutnya tak bisa menahan kekesalannya melihat kemesraan didepannya.
Revan dan Eko geli melihat tingkah Budi yang sudah seperti pacar yang cemburu.
Mereka bisa melihat bagaimana Pria itu sangat memuja Hana, seperti sekarang, pria itu meraih botol yang dipegang Hana, lalu membukakan tutup botolnya dan menyodorkan minuman pada wanita itu, lalu mengambilkan tissue dan membantu mengelap sisa air minum yang dengan halus ditolak Hana.
"Ck! Apaan sih ..." dengkus Budi. Dia seperti cacing kepanasan karena alasan yang ngga jelas. Baru ketemu sekali kok tiba tiba merasa memiliki?
Ishhhh sudahlah!
********
"Mas Dika...sudah seger Mas...?? Yukk makan malam, setengah jam lagi kita dijemput..." Teriak Budi yang tiba tiba nyelonong masuk kekamar.
"Pinjam parfum lo ya mas..." Tak peduli wajah masam Dika, Budi mengambil parfum dan menyemprotkan keseluruh badannya.
"Woyyy itu bukan obat nyamuk semprot..." Maki Dika.
"Alah pelit amat Mas..."
"Gue ngga pelit, lagian itu bukan parfum gue, punya Revan tuh..."
"Njirrr...mati gue, kenapa lo ngga bilang dari tadi Mas...??"
Dika terbahak melihat Budi yang langsung kicep setelah mengetahui siapa pemilik parfum tadi. Revan galak dan mulutnya cukup berbisa.
"Lagian lo tumben amat pake parfum segala? Biasanya lo paling pede...??"
"Gue lagi pdkt Mas...sama wanita mempesona..jadi usaha gue harus maksimal.."
Duka mencebik, Budi selalu begitu.
"Bener lho mas...wanita ini special..."
"Ya pasti begitu, biasanya lo cuma bilang 'cewe', sekarang lo pake kata 'wanita'...pasti special" Meskipun dalam hati Dika tak percaya dengan omongan buaya muda yang satu ini.
"Waahhhh gue sendiri ngga ngeh lho Mas...wanita...ya wanita mempesona berarti bener nih, kali ini gue bener bener menemukan jodoh gue..."
Budi Takjub sendiri dengan pemilihan kata ganti perempuan yang biasanya dia gunakan cewek sekarang jadi wanita. Jangan jangan ini memang jodohnya. Ah...Budi tersenyum senyum sendiri.
Dika memutar bola matanya, bosan mendengar curhat Junior favorit kantor ini. Tapi apa mau dikata, Mulut boleh aneh, tapi kerjaannya brilliant. Makanya mereka tak.masalah dengan 'keanehan' Budi.
" Ayo mas, buruan...gue sudah ngga sabar menemui Hana si wanita mempesona..."
Dika tertegun.
Hana?
Dika kembali mendengkus, mengapa ia belum resisten mendengar nama itu?. Banyak orang yang bernama Hana. Pasti bukan Hana yang itu. Lima tahun berlalu, tapi setiap ada yang menyebut nama Hana, perih itu tetap ada.
BAB 8
Malam ini sebenarnya hanya makan malam ramah tamah, sebelum seluruh tim mulai bekerja pada keesokan harinya.
Tapi tetap saja, rencana rencana kerja tetap terselip diantara obrolan santai mereka. Sekaligus mulai berkenalan dengan Tim lain yang juga terlibat dalam proyek ini.
Dika sedang berdiskusi dengan salah satu tim Beauty Nature tentang persaingan pasar produk kecantikan yang cukup ketat, dan bagaimana peran iklan sangat besar bagi peningkatan penjualan, bahkan pengeluaran untuk iklan juga cukup besar.
Yang lain juga sedang asyik berbincang, terlebih Budi yang entah telah melupakan wacana awal untuk bertemu dengan wanita mempesonanya, kini terlihat sibuk mendekatkan diri dengan bintang iklan Beauty Nature, Prilly Gracia. Seorang influencer yang terkenal dengan konten kecantikan.
Acara makan malam ini semakin dipermanis dengan adanya live music disalah satu sudut restoran.
Band lokal yang sudah menjadi langganan Heaven Agrowisata. Suasana benar benar membuat relax dan hangat.
"Maaf kami terlambat...apa semua menikmati hidangan kami...ada beberapa menu baru yang kami sajikan malam ini..."
Dika tak terlalu memperhatikan siapa yang bicara dengan suara bariton itu, karena ia masih tersita untuk meladeni obrolan Herman rekan kerjanya yang baru katena proyek besok. Meskipun ia sendiri tak begitu fokus karena kepalanya masih sedikit pusing.
Berusaha memfokuskan perhatiannya dan berusaha menelan makanan yang semuanya terasa hambar.
Sial banget. Umpatnya kesal. Heaven Agrowisata adalah salah satu destinasi nya untuk liburan, kini ia bisa liburan gratis malah tak bisa menikmatinya.
"Mas...sstt...Mas..." Dika merasa perutnya disikut Budi, ia mengerinyitkan keningnya. Sejak kapan Junior heboh itu ada disampingnya? Bukan kah tadi ia begitu menempel dengan Prilly?
"Mas...Mas..." Mau tak mau Dika menoleh juga. Budi ngga akan berhenti mengganggunya.
"Wanita mempesona gue datang Mas...malam ini dia adorable banget..." Dika hanya memutar bola matanya.
Here we go again...
Ia mengambil gelas dan meneguk teh hangat yang sengaja ia minta diberi irisan jeruk nipis.
"Ya ampun mas...kok ada ya wanita seperti itu..."
"Cantikan mana sama Prilly?" Sahut Dika malas.
"Gue udah bilang dia mempesona Mas....beda sama cantik...yang cantik banyak...tapi yang tenang mempesona itu langka...iya kan...ishh..Mas lihat dulu dong wanita gue..." Rajuk Budi karena Dika tak ikut memperhatikan arah pandangannya. Masih sibuk menyuir ikan gurame goreng saos tomat.
"Hmmm....." Dahut Dika malas
"Elaah..Mas...lihat dulu....tuh arah jam empat, yang pake baju warna pink..duuhhh senyumnyaaa Mas...aku meleleh..."
Dengan malas Dika mengangkat wajahnya ke arah yang ditunjuk Dika, sambil mempersiapkan komentar yang akan ditagih pria itu.
Jika saat ini Dika tidak berada dikeramaian, ia pastikan dirinya tengah berhalusinasi. Atau jangan jangan ia benar benar berhalusinasi?.
Dika mematung menyaksikan pemandangan di depan matanya.
Ini..ini terlalu mendadak, ia tak ada persiapan.
Wanita dengan rambut panjang yang dibiarkan ya terurai dengan curly diujung ujungnya, memakai sweater rajut berwarna lembut yang panjang menutupi pinggul indahnya, dan kakinya terbungkus leging hitam yang mengkontraskan warna sweaternya itu sendiri. Dan sepatu heels itu semakin menjenjangkan tungkainya.
Nafas Dika tersentak ketika wanita itu tertawa , senyum itu lebih indah dari yang dulu.
Dika terlempar ke tahun tahun dimana ia dan wanita itu menjalin hari dengan kisah indah, lalu ia lulus lantakkan dengan kekejaman yang memilukan.
"Maaaasss ...ish...tuh kan, gue bilang juga apa!!..Ibu Hana memang semempesona itu...lo aja sampai lupa nutup mulut, jangan norak ah Mas...!!"
Dika tak mendengar apa pun, suara suara disekitarnya seperti desau desau angin yang samar.
Benar itu dia, Hana!!
Hanaya Mahagita!!
Dan tiba tiba wanita itu seolah mendengar seruan namanya. Pandangan mata mereka bertemu.
Dika yakin wajahnya memucat, ia bisa merasakan dingin disekujur tubuhnya. Tapi Hanya beberapa detik, Hana telah mengalihkan pandangannya kembali berbicara santai dengan beberapa orang didepannya, seolah tadi tidak terjadi apa apa. Dika merasa seperti orang bodoh.
Lalu ia melihat seorang pria dengan tubuh besar dan terlihat elegan berjalan ke arah Hana, dan...bangsat!.
Dika mengumpat ketika tangan pria itu menyentuh pinggul Hana dengan protektif, menyodorkan sepiring kecil buah potong, lalu Hana menerima dan tersenyum sangat manis, dan tak terlihat keberatan dengan tangan besar yang mengalung dipinggulnya.
"Brengsek! lawan gue berat Mas...Bos besar yang punya Resort ini..."
Sroottt...sroottt....
terdengar suara sedotan yang dipaksakan menarik jus yang sudah hampir habis. Siapa lagi pelakunya jika bukan Budi.
Dika terkekeh pelan. Jadi Boss ya?. Hana pantas mendapatkan yang terbaik bukan?.
Tapi ia merasa tak nyaman, pasti karena ia kaget karena kejadian pertemuan setelah empat? Lima tahun?.
Kepalanya semakin pusing dengan tenggorokan yang semakin sakit jika menelan.
"Dik...kenalan sama bu Hana tuh, lo kan tadi siang skip meeting...lo yang bakal banyak koordinasi dengan dia..."
Seru Revan yang sudah berdiri didepannya dengan gestur mengajaknya langsung berdiri.
Kepalanya makin pusing, bagaimana? bagaimana maksud Revan?
"Kok sama di..dia?" Suaranya sedikit serak.
"Dia manager Rumah Puncak Dik...nama dia dalam MOU kerjasama dari pihak Rumah Puncak, Lo ngga baca apa?" Sungut Revan.
Mana sempat ia baca? Semalaman ia lembur, langsung berangkat dan akhirnya tepar.
tak bisakah ia menghindar?. Tapi Revan benar, besok dirinyalah yang akan banyak koordinasi dengan Hana. Mengapa ia tak membaca MOU itu. Sial!
"Yuk ah! biar lo istirahat lagi..pucat banget lo...makin sakit? Perlu gue bawa ke klinik?".
Bisakah alasan dia ke klinik membuatnya tak bertemu Hana malam ini?. Ia butuh waktu sejenak untuk mempersiapkan diri sebelum bertemu Hana. Tidak, bahkan ia tak siap sama sekali.
Sial!.
"Gu-e ke klinik aja deh Van...pusing banget gue..."
"Ck...bikin repot aja emang!! Ayo buruan.." Omel Revan, meskipun raut panik terlihat dari wajahnya. Bagaimanapun Dika harus sehat agar protek ini bisa lancar.
Revan tak sabar langsung menarik lengan Dika, dan ia bisa merasakan telapak tangan Dika sangat dingin.
"Lo sakit beneran Dik?.."
Dika mendengus kesal. Tapi sekaligus bersyukur jika sakitnya ini menunda pertemuan dengan Hana.
********
Harapan tinggal harapan, nyatanya jika takdir punya kehendak tak ada satupun yang bisa menolaknya.
"Mas Dika sakit?" Suara itu masih selembut dulu. Boleh kah ia berharap bahwa sorot mata yang tengah menatapnya itu adalah sorot kuatir?.
"Iya Bu..." Itu bukan suaranya. Itu suara cempreng milik Budi si buaya darat yang kini tampak dengan jelas tengah membuat ancang ancang pendekatan.
Dari bibirnya yang tersenyum lebar, dika bisa tau Budi lah yang melaporkan kondisinya pada Hana. Pasti karena modus, bukan karena kuatir pada keadaannya.
Tsk!
"Mas Dika masih bisa jalan?"
Sorot mata sekelam malam itu masih menatapnya.
"Emh..masih..." Ucap Dika tersendat.
"Mungkin Radangnya kumat lagi, Mari saya antar ke klinik..." Hana pun berjalan mendahului mereka, Budi dengan terburu buru menjajari langkahnya dengan Hana meninggalkan Revan dan Dika dibelakang.
Sementara Dika mengembangkan senyumnya, 'radangnya kumat lagi?' Itu Hana masih ingat dirinya kan?. Dari dulu radang tenggorokan adalah penyakit Dika yang paling sering menyerang tubuhnya, karena ia alergi debu dan bau bauan yang menusuk indera penciumannya. Bahkan termasuk beberapa aroma parfum bisa membuatnya radang.
Untung Revan dan Budi tak menyadari u aoan Hana tadi.
"Kita ke bawah lagi bu Hana? Saya bisa bawa mobil kok...medan begini saya juga biasa...". Tangan Budi bergerak membentuk jalan menanjak dan menurun serta berbelok. Budi memulai aksi modus nya yang gampang sekali terbaca.
"Umm..disini juga ada klinik Mas Budi..." Sela Hana sambil terus berjalan.
"Waahh...hebat ya..." Puji Budi antara sungguh sungguh memuji dan sekalian mengambil hati.
"Kami mengutamakan keamanan pengunjung kami Mas...Rumah Puncak cukup jauh dari keramaian, Klinik adalah salah satu fasilitas utama kami, setidaknya bisa dilakukan pertolongan pertama, mari lewat sini,paling pojok itu kliniknya..."
Dika bisa melihat ketiga rekannya juga terpesona dengan Hana. Apalagi Budi yang sedari tadi tidak menyurutkan senyumannya.
Hana melangkah bersamaan dengan Budi. Dan dengan segera Budi membukakan pintu yang bertuliskan UNIT KESEHATAN. Lalu menahan pintu itu dan.mempersilahkan Hana untuk masuk duluan.
Hana menganggukan kepalanya sebagai ucapan terimakasih disambut dengan senyum lima jari oleh Budi.
"Selamat malam Bu Lisa...ini tamu kita sakit...minta tolong diperiksa ya..."
Seorang perawat paruh baya tersenyum dan menyambut tamu.
"Malam bu Hana, oh iya...mana yang sakit?"
"Ini yang sakit, namanya Mas Dika..." Hana mengulurkan tangannya menyentuh lengan Dika dan menuntun ya duduk dikursi. Revan dan Budi merapat ke dinding klinik bermaksud menunggui Dika diperiksa.
Revan bersyukur perawatnya sudah berumur, jadi tak repot menenangkan Budi. Tenaga kesehatan salah satu favorit Budi.
Dika menahan nafasnya. Aroma parfum dan hembusan nafas Hana membuatnya dirinya lemas.
"Silahkan Bu Lisa...Mas saya tinggal dulu..." Hana baru saja melangkahlan kakinya ketika tangan Dika meraih tangan Hana yang mengayun.
"Na....bisa kamu tetap disini...?"Suara Dika pelan tapi karena ruangan ini cukup sepi, suaranya jelas terdengar oleh yang lain.
Hana bisa merasakan suasana ruangan klinik menjadi sangat hening. Ia menundukkan kepalanya, tak ingin melihat bagaimana reaksi orang orang lain yang juga berada didalam ruangan ini.
Hana menggelengkan kepalanya. Dengan halus menepis tangan Dika yang melekat dioergelangan tangannya.
"Maaf Mas Dika, saya harus mengurus sesuatu, Bu Lisa sangat berpengalaman, Mas tenang saja..". Meski perasaan Hana campur aduk, tapi ia berusaha profesional menempatkan dirinya sebagai Manager yang bertangungjawab penuh dengan tamu mereka.
Hana tersenyum pada Dika, dan ketika berbalik ia juga mau tak mau memberikan senyum pada Yang lain.
"Mari Mas mas semua,Mas Dika akan ditangani Bu Lisa. Saya permisi dulu..."
Tentu saja ketiga orang tersebut mengangguk kaku, masih terkejut dengan adegan Dika yang memegang tangan Hana.
Hana langsung keluar tanpa menoleh lagi. Ia berusaha setenang mungkin agar tak ada yang bisa memindai suasana hatinya yang bergejolak.
************
Sial! Sial! Sial!
Ia tak bisa menahan dirinya tadi. Tangannya begitu kurang ajar menyentuh Hana. Seolah mau menandai bahwa itu adalah Hananya. Ia seolah ingin menunjukkan pada ketiga rekannya jika Hana miliknya?
Hananya??
Dika masih menutup wajahnya dengan bantal. Menahan hujaman mata seluruh rekannya yang kini berada dikamarnya.
"Lo, belum kasih penjelasan Kampret!"
Hanya Revan yang berani memakinya demikian.
Dika masih bertahan dalam posisinya. Dan ini sudah berlangsung sejak setengah jam yang lalu
"Jadi Lo kenal Bu Hana Mas? Lo ngga cerita ke gue? Lo sengaja bikin gue kaya orang bego ?"
Budi merengek seperti anak kecil yang direbut mainannya.
Dika tetap bungkam. Sungguh ia tidak ingin ada pertanyaan.
"Sudahlah...biarkan Dika Istirahat, yang penting besok semua bekerja, profesional...
Gue percaya Lo Dik....Van, lo dikamar gue aja, ntar minta ekstra bed, untuk si Budi " Eko mengajak Budi dan Revan untuk segera keluar dan menuju kamar mereka.
Budi yang mau protes terpaksa menahan diri melihat pelototan Eko. Ia hanya bisa memaki dalam hati dan membayangkan betapa tidak nyamannya tidur di Ekstra bed. Begini amat jadi Junior, keluhnya.
Sebelum.menutup pintu, Eko berbalik.
"Ingat anak istri Lo Dik..." Lalu pintu itu tertutup.
"Brengsek!!!" Maki Dika sambil melempar bantal yang menutupi wajahnya dari tadi.
Bahkan Deasy belum tau ia berubah jadwal. Deasy hanya tau jika Dika ke Aceh. Ia sungguh tak sempat menghubungi istrinya itu.
Deasy juga sedang keluar kota ada seminar dan pelatihan yang dia ikuti. Dan biasanya mereka akan jarang bertukar kabar karena memang sesibuk itu.
Jadwal seminar dan pelatihan Deasy yang selalu padat. Posisi Deasy yang semakin mapan di Bank membuatnya harus banyak mengikuti pelatihan dan seminar yang akan menunjang jabatannya dikantor.
Dan begitu juga dengan proyek proyek Dika yang sedang proses akan menyita waktunya belum lagi jam kerjanya tidak menentu.
Mereka biasanya akan mengambil liburan sekali tiga bulan untuk bisa benar benar bersama sama, terlebih dengan putri mereka. Dan sejauh ini pernikahan nya baik baik saja.
Tak pernah ada keluhan dari Deasy mengenai jam kerjanya yang tidak menentu. Dika juga tidak membatasi Deasy mengejar karirnya.
Mereka juga punya me time masing-masing. Dika yang akan menghabiskan me time nya dengan mendaki gunung, Deasy yang menikmati me time nya berlibur dengan teman temannya.
Mungkin itu yang membuat mereka jarang bertengkar, mereka memberikan ruang pada masing masing.
Sampai malam ini....
Rasa bersalahnya kembali muncul dan menghancurkan jiwanya lagi.
Ia sungguh tak siap.bertemu dengan Hana..
Sampai saat ini ia belum meminta maaf secara benar pada wanita itu..
Dan akibat ketidaksiapannya itu..
Jujur hatinya kembali babak belur,
Dihajar rasa bersalah yang tak berhenti mengejar ya hingga saat ini...
BAB 9
Tak ada yang tau bagaimana siang tadi dunianya terguncang melihat email dari Starlight PH. Sebuah email konfirmasi penggantian ketua tim. Nama dan disertai sebuah Foto yang membuat dirinya menahan nafas.
Setelah sekian tahun, masih seperti ini kah efeknya?. Keringat dingin mengucur, air matanya berdesak desakan minta diluapkan.
Dan tadi ketika ia harus berhadapan langsung dengan masa lalunya itu, tak ada yang tau bagaimana ia harus berusaha tabah dan tenang.
Selama acara makan malam Jemari kakinya mencengkram erat telapak sepatunya hingga betisnya nyeri, karena otot ya dipaksa tegang.
Ia tak bisa mengelak pertemuan, terlebih esok mereka mulai bekerja, bagaimana ia bisa menahan dirinya agar tidak berteriak didepan wajah pria itu?.
Sentuhan tangan Dika bahkan masih terasa berat dipergelangan tangannya.
Padahal ia sudah berkali kali menggosok sekuat yang ia bisa agar rasa hangat bekas cekalan tangan Dika di pergelangan tangannya bisa hilang.
Tapi setelah sekian kali ia gosok dengan sweater rajutnya. Rasa hangat itu tak hilang juga.
Bahkan kini pergelangan tangannya tampak memerah akibat terlalu keras ia menggosoknya, bahkan mulai terasa perih.
Ya, hanya perih yang ia rasakan jika mengingat Dika. Karena itu tak sedetikpun ia biarkan pikirannya diisi oleh pria yang ia lupakan itu.
Tidak, Hana tidak.mau membenci Dika lagi. Karena membuatnya tak.pernah pulih. Ia memilih untuk memaafkan saja. Ya memaafkan saja.
Hana tau Dika telah menikah dengan Deasy, mereka juga telah memiliki seorang putri. Ia tau dari Gisella.
Setahun setelah pembatalan pernikahan mereka, Dika benar benar menikah dengan cinta pertamanya, meninggalkan dirinya dalam jurang kelam yang terdalam.
Jujur hati Hana sakit ketika ia mendapatkan kabar itu, tapi ia terus berusaha untuk memaafkan.
Karena ia sadar ia hanya manusia dan ia terbatas, ia tak mau menimbun dendam dan sakit hati, karena dia akan tenggelam dan tak ada yang bisa menolong.
Memaafkan dan mencoba melupakan itulah yanh dilakukannya selama ini.
Tapi sering ia harus mengakui ungkapan Forgiven but not forgotten.
Melihat Dika secara langsung didepan didepan matanya membuat lukanya terbuka kembali.
Sadar jika ternyata ia belum pulih. Cinta kedua setelah Ayah telah ia berikan, dan dicabik cabik dengan kejam.
Hana mengusap wajahnya, basah air mata langsung menyapa kulit tangannya. Sudah lama air mata ini tak lagi tumpah karena seorang Dika. Tapi malam ini dimana semua kekuatannya?.
Jarak hanya membuatnya tak melihat Dika secara langsung.
Ia kira jarak juga bisa menyembuhkan, ternyata lukanya parah.
Ingatan di hari kelam itu kembali melintas serupa tayangan slide demi slide yang tak bisa ia tahan.
Semalaman ia menangis dilantai dingin itu. Bahkan tubuhnya tak lelah, Hana memohon agar ia bisa tertidur, tapi kantuk tak kunjung menyapa, ia tak bisa memejamkan mata, perih, sakit karena terlalu lama menangis.
Baru kali ini ia bersyukur jika sejak kecil tak ada yang memperhatikan dirinya. Tak ada yang mengacuhkannya. Keberadaannya dirumah ini antara ada dan tiada.
Ia mendengar deru mobil ayahnya larut malam, mungkin hampir dini hari. Begitu juga dengan Gisella.
Pagi ini semua terdengar terburu buru, sepertinya mereka kesiangan untuk berangkat ke tempat kerja. Semua sibuk dan tak ada menyadari jika dirinya tidak ada, dan memang selalu begitu setiap harinya.
Ayah, ya Ayah biasanya akan mencarinya, tapi sepertinya hari ini Ayah kesiangan hingga tak sempat mengetuk kamarnya.
Hana bersyukur.
Mencoba bangkit dari lantai dingin itu. Seluruh tubuhnya terasa kaku, bahkan pandangannya kabur, kepalanya serasa mau pecah.
Kemarin-kemarin ia masih bisa menelpon Dika untuk mengeluhkan semua sakitnya. Kini ia tak punya siapa siapa lagi, seperti dulu ketika ia belum mengenal Dika.
Ya, bukankah dulu ia bisa sendiri? Mengapa kini harus tidak bisa?.
Ia hampir berhasil menegakkan tubuhnya. Reflek ia mencari pegangan ketika Hana merasa limbung. Untung ia masih berada dekat Pintu, knop pintu membuatnya bisa bertahan sebentar.
Tapi rasa pening dikepala menyerang nya kembali.
pandangannya mendadak gelap, ia tak ingat apa apa lagi.
Dan ketika ia bangun, ia sudah berada di tempat tidur dengan tatapan cemas Bi Ninin. Tubuhnya hangat dan menguar aroma minyak kayu putih.
Bi Ninin memandangnya sendu. Seolah tau apa yang terjadi. Apakah bibi mendengar pembicaraan mereka?.
Air matanya mengalir kembali. Bi Ninin memeluknya dengan erat. Mengusap punggungnya tanpa kata. Wanita paruh baya itu bagai ibu bagi Hana. Tak banyak kata yang diungkapkan Bi Ninin. Hanya tatapan teduh dan tepukan ringan dibahu setiap kali Hana diperlakukan tak adil oleh Mama dan kakak tirinya.
Dan kini Bi Ninin memeluknya dengan erat, ia yakin Bi Ninin tau soal tadi malam. Kamar Bi Ninin dekat Teras belakang.
Hana meraung meneriakkan sedihnya, menumpahkan segala lara yang ia harus tanggung sendiri. Bi Ninin membiarkan Hana menangis,mata tuanya juga tak bisa menahan air mata.
Setelah Hana bisa mengatasi tangisnya, ia meminta Bi Ninin untuk tidak mengatakan apapun.
Hana mengatur segala sesuatu nya secepat ia bisa. Mencari cara agar semua segera selesai.
Mengorbankan diri bukan hal baru baginya, toh dimata orang ia sudah terbiasa disalahkan.
Ia dianggap beruntung ketika Dika memilihnya. Dan ia juga percaya akan hal itu. Tak jarang Gisella menyumpahi agar Dika meninggalkannya. Hana terlalu kotor untuk pria sehebat Dika.
Dan Hana harus menerima kenyataan itu. Dika memilihnya, memilikinya lalu mencampakkannya begitu saja.
Hanya Ayah, satu satunya alasan yang membuat Hana harus berpikir cepat. Ia tak mau Ayahnya bertengkar lagi dengan mama.
Alasan yang Setidaknya akan membuat Ayah tidak malu jika kata kata yang sering diucapkan ibunya 'tidak akan ada laki laki yang sudi menjadikan dirinya sebagai istri' karena ia anak haram.
Jika Hana pergi karena ada lelaki lain, setidaknya Ayah bisa menjawab Ibu bahwa ada lelaki yang masih mau menikahinya.
Hana mengambil waktu satu hari untuk membereskan semua. Ia harus segera pergi. Tinggal sedikit hari yang tersisa.
Ditinggalkanya surat di kamar Ayahnya.
Hana pergi meski ia belum tau tujuannya. Ia hanya termangu di ruang tunggu Bandara. Menatap layar monitor yang menampilkan informasi tujuan keberangkatan.
Tangan kanannya menggengam ponsel , sementara tangan kirinya menggenggam handle kopernya.
Ia masih memilih kemana ia harus pergi. Ia tak punya siapa siapa selain Ayah. Ia tak kenal keluarga ibu kandung nya. Keluarga Ayahnya tak menerima kehadirannya. Ia hanya punya Ayah dan kemarin ia punya Dika.
Ah..rasa perih itu merajam hatinya.
Tuhan...
Tolong aku...rintih hatinya..
Tepat saat itu ponselnya berdering.
Hampir saja ponsel itu terlepas, pikirannya berkelanjutan cukup dalam, hingga dering itu sangat mengejutkannya.
Tuhan menolongnya,
Resty teman kuliahnya menawarkan pekerjaan di perusahaannya. Mereka membutuhkan karyawan datang mau ditempatkan di sebuah resort yang akan dibangunn ditempat yang jauh dari kota.
Sulit untuk mencari tenaga kerja berpengalaman yang mau ke pelosok. Dan Hana seperti mendapatkan jawaban.
'
'
'
Ketukan dipintu membuat Hana kembali tersadar dari masa lalunya.
Segera meraih tissue dan membersihkan wajahnya. Terburu buru ia membuang tissue ketempat sampah.
Untung saja ia hanya menyalakan lampu yang ada diatas meja kerjanya. Sehingga ruangannya terlihat temaram. Berharap bisa menyembunyikan kesedihan dari wajahnya.
"Anya......"
Pintunya terbuka sedikit, dan kepala pemilik Perusahaan itu menyembul diantara daun pintu.
"Hei...saya cari dari tadi, ternyata kamu disini..."
Pria itu langsung masuk tanpa menunggu Hana menanggapi dirinya.
"Uhm..ya tadi ada yang perlu saya ambil Pak..." Suara serak tak dapat ditutupinya. Hana berharap Aldo tak memperhatikan hal itu
"Kamu belum makan Anya...makan dulu...tamu tamu kita sedang karaokean mereka terlihat sangat senang..sungguh saya memuji cara kamu mengatur acara hari ini...mereka pasti senang dan akan bagus untuk branding kita..."
"Eh...semua karena tim kita hebat Pak..." Hana salah tingkah ia gugup jika menerima pujian.
"Kamu selalu merendah Anya, kamu itu hebat, awsome!.....". Senyum teduh menghiasi wajahnya. Seperti biasa Hana menunduk, ia tak suka menjadi pusat perhatian.
"Umm..saya sudah selesai dengan urusan saya disini, ijin kembali ke restoran Pak, mau mengecek bagaimana keadaan disana..." Hana ingin segera keluar dari suasana canggung ini.
"Oke..saya juga mau kesana lagi..sepertinya ada yang kurang kalau kamu tidak ada disamping saya...." Sebuah kekehan kecil terdengar dari bibir Aldo.
Hana hanya membalasnya dengan tersenyum tipis.
"Oh ya, besok ada teman bisnis saya mau pakai Rumah Puncak tujuh....kosong kan?"
"Kosong pak..."
"Ngga mengganggu kerjaan tim PH iklan itu kan?"
"Sepertinya tidak pak, letaknya paling ujung dan paling privasi..."
Hana bisa melihat senyuman miris Aldo Walau sekejap.
"Yeah...booking ya.."
"Baik Pak nanti saya sampaikan pada Enza, dia masuk shift pagi..."
Lalu mereka berdua beriringan menuju Restoran dalam diam. Sampai ketika masuk pintu restoran Aldo bisa melihat wajah sendu Hana dan matanya yang terlihat memerah dan sedikit sembab.
Tangannya meraih pundak Hana dan mau tidak mau langkah keduanya berhenti.
Hana terkesiap dan Aldo menurunkan wajahnya agar bisa sejajar dengan Hana.
"Are you okay Anya...?"
Hana berusaha membuang pandang kesegala arah agar Aldo tak dapat menatapnya.
"Ngga pa pa Pak...saya baik baik saja...."
Ada raut tak percaya yang terpantul dari sorot mata Aldo.
Ia meraih wajah Hana dengan ujung jarinya.
"Heii...kamu sakit?" Nada itu semakin melembut.
Hana merasa tak nyaman, perhatian perhatian lembut seperti itu sungguh membuatnya tak nyaman. Tak ada yang tulus..tak ada yang tulus...ia tak mau terjebak lagi.
"Saya tidak apa apa Pak, mohon maaf saya harus melihat tim Resto...." Hana dengan sopan melepaskan tangan Aldo dan sedikit terburu buru meninggalkan Pria yang tengah bingung dengan sikap Hana.
Aldo menghembuskan nafasnya. Ia tau sulit sekali menjangkau hati Hana. Tapi apa daya hatinya sudah berpaut pada gadis itu. Ia belajar untuk tidak terlalu mendesak, karena ia tau Hana akan semakin menjauh.
Ia bisa melihat punggung rapuh itu berjalan dengan anggun menjauh sampai hilang dari pandangan matanya.
Beban apa yang membuatmu terlihat begitu rapuh Anya...
Aldo yakin ia akan sanggup membantu memikul beban itu.
"Semangat Pak!!" Aldo terkejut dan mendapati senyum lebar diwajah Resty yang menjadi teman dekat Hana.
"Tentu Resty...saya pasti semangat..." Ucap nya yakin seperti biasa.
"Bapak serius kan sama Hana?"
"Kamu pikir saya tipe pria yang suka menggombal?"
Resty tertawa, lalu menggedikkan bahunya.
"Laki laki tetap perlu diwaspadai Pak..."
Aldo menggelengkan kepalanya.
"Mengapa saya ikut kena imbas dari perbuatan laki laki lain diluaran sana ya? Padahal saya seorang gentleman.."
"Ah...puji diri terus nih Pak...?" Goda Resty yang sebenarnya sudah tidak heran dengan sikap bossnya itu.
Aldo merapikan dasinya
"Always Confident, Thats me!.."
Resty tergelak lalu segera pamit untuk mengecek kembali tamu tamu mereka yang sedang menikmati malam di Runah Puncak utama ini.
***********
Dika merasa ia perlu obat dosis tinggi untuk membuatnya terlelap. Biasanya paracetamol saja bisa melumpuhkan matanya, tapi kini matanya tak mau terpejam.
Diliriknya jam yang terpasang di dinding kamar. Jam 23.45 wib harusnya ia sudah tidur, mengingat kemarin malam ia lembur sampai jam dua dini hari.
Dika tau benar sumber kegelisahannya malam ini.
Hana...
Ya Hana...
Bagaimana ia bisa bertemu ditempat ini?. Dan mengapa jantungnya melompat lompat tak karuan dan tak bisa ia kendalikan.
Jangankan jantung yang dari pelajaran biologi ia pelajari, bekerja dengan otot tidak sadar.jadi ia tak bisa mengendalikan nya.
Lalu apa kabar otot-otot sadar tubuhnya yang harusnya bisa ia kendalikan menghianati dirinya?
Dengan lancang tangannya sendiri menggapai Hana dan mulutnya kurang ajar meminta Hana menemaninya.
Brengsek!!!
Berkali kali Dika mengumpat dan memaki. Menyalahkan dirinya sendiri yang tidak tau malu.
Ketiga rekan kerjanya pun mengecamnya tanpa ragu. Terlebih Eko yang sangat dekat dengan Kay Putrinya.
Putri pertamanya, yang menghiasi hari harinya dengan indah. Putrinya yang lembut, manis dan tenang, yang mengingatkan nya pada sosok wanita yang pernah ia cinta sekaligus ia sakiti.
Dika selalu berusaha menjadi ayah yang baik bagi Putrinya. Apa pun ia lakukan demi memenuhi keinginan Kay.
Jauh dalam hatinya ia berharap tanggung jawabnya sebagai penebusan dosanya yang telah menyakiti Hana.
berharap Kay kelak bertemu dengan pria baik yang mencintainya dengan tulus.
Bukan pria yang brengsek seperti dirinya.
Dilemparnya selimut yang menutupi tubuhnya. Ia bersyukur ditinggalkan sendiri dikamar ini yang seharusnya ia tempat bersama Revan.
Dibukanya sliding door yang menghubungkan kamar dan balkon. Udara dingin langsung menyerbu tubuhnya. Dilipatnya kedua tangannya didepan dada, bersidekap melawan dinginnya udara pegunungan.
Dari balkon kamar ia bisa melihat Rumah Puncak utama tempat mereka Dinner tadi malam.
Masih terlihat beberapa orang petugas membereskan ruangan, dan juga di teras lantai dua yang cukup luas itu masih terdapat beberapa tamu tamu yang masih duduk menikmati malam.
Tanpa sadar Dika mengamati Rumah Puncak utama itu, hatinya bertanya dimana Hana?. Apakah masih disana?.
Hana tak lagi kembali ketika ia selesai diperiksa. Ia berusaha mencari disekitar restoran tapi ia tak menemukan gadis itu.
Belum lagi Revan yang langsung menariknya untuk segera kembali ke kamar dan juga tak sabar ingin menginterogasi kejadian di dalam klinik.
Tiga tahun Ia bekerja di Starlight PH , tempat yang benar benar baru dengan lingkungan pergaulan yang baru.
Peristiwa pembatalan pernikahannya dengan Hana, membuat ia merasa tak nyaman dengan tempat kerja lamanya yang tau kejadian itu.
Apalagi berita yang beredar Hana lah yang meninggalkan dirinya, padahal bukan membuat Dika merasa tak nyaman.
Ia memutuskan pindah kota dan memulai segalanya dengan hal yang baru. Ia pikir masa lalu bisa ia tinggal begitu saja. Tetapi ia lupa, kalau masa lalu yang belum tuntas akan mengikuti kemanapun ia pergi.
Matanya tertumbuk pada bayangan seseorang yang begitu ia kenal. Postur tubuhnya, caranya berjalan ia sangat kenal. Tangannya mencengkram pagar pembatas balkon.
Itu Hana...
Wanita itu terlihat keluar dari Rumah Puncak utama. Berjalan sendirian sambil bersidekap. Tak terburu-buru, bahkan terlihat pelan sekali.
Dika merasa otot otot kakinya meronta ingin segera berlari menjumpai Hana. Ingin berlutut didepan wanita itu memohon maaf atas segala kepengecutan nya di masa lalu.
Giginya bergemeletuk menahan dinginnya malam dan dinginnya rasa bersalah.
Hana terlihat berjalan menuruni tangga dan tak lama tubuh itu pun menghilang.
Hana....
Dika menunduk dalam. Ia selalu menaikkan doa agar Hana diberikan kebahagiaan dari Tuhan. Diberikan pendamping yang bisa menyamai kebaikan hati wanita itu.
Mengapa rasa bersalah ini tak hilang juga?.
Dika menyesalkan masa lalunya..
BAB 10
Peraturan di Heaven Agrowisata sama seperti ditempat penginapan pada umumnya, check in pukul 14.00 dan check out pukul 12.00.
Tapi kali ini karena tamunya adalah 'teman' Aldogera, Gading Indrajaya yang Hana kenal adalah seorang Pengusahan makanan Organik dikota ini. Dan ada kerjasama penyediaan logistik restoran dengan GoodFOOd milik Gading itu.
Selain itu, sudah pasti Gading memiliki Previllege yang menyebabkan dia bisa menempati Rumah Puncak Tujuh Pada jam 06.00 pagi.
Hana bersama Aris seorang bellboy yang membawa sarapan atas permintaan Gading Indrajaya sendiri.
Sementara Pria itu telah meluncur ke Rumah Puncak Tujuh dengan kendaraan pribadi yang hanya diperbolehkan oleh segelintir orang. Semua kendaraan pribadi harus di parkir di tempat yang disediakan.
Resort menyediakan kendaraan khusus bagi tamu, mengingat Medan yang berliku dan menanjak.
Rumah Puncak hanya memiliki 15 bungalow yang letaknya saling berjauhan. Tetapi juga menyediakan kamar hotel yang satu bangunan dengan restoran.
Hana harus mendatangi tamu special itu sebagai bagian dari tugasnya, karena tamu tamu di rumah puncak adalah pengunjung istimewa karena mereka harus merogoh kocek mereka cukup dalam dalam untuk bisa menikmati fasilitas eksklusif yang mereka sediakan.
Setiap bungalow akan mendapatkan sarapan yanh diantarkan langsung.
Hana menggunakan masker dan mengalungkan name tag yang menunjukkan nama dan fotonya.
Demikian juga dengan Aris yang bahkan menggunakan sarung tangan dan apron dengan logo rumah puncak. Itu peraturan standar pada saat karyawan menyediakan makanan bagi tamu. Aspek Higienis adalah hal yang sangat diperhatikan
Hana memencet bel pintu, dan tak membutuhkan waktu yang lama pintu terbuka, Gading membiarkan Hana dan Aris masuk.
Dengan ramah Hana menyampaikan ucapan selamat datang. Dan meskipun bukan tugasnya menyiapkan meja untuk makanan, tapi Hana merasa perlu membantu menata meja agar lebih cepat selesai, ia tau jika siapapun tamu disini ingin berlama lama ada petugas didalam bungalow mereka.
Sementara Gading meninggalkan mereka menuju balkon yang merupakan tempat istimewa karena menghadap hijaunya lembah.
Hana segera melakukan pengecekan kelengkapan kamar. memastikan jika tamu mereka terlayani dengan baik, bagaimana pun Gading Indrajaya adalah tamu istimewa mereka. Review darinya tentu berdampak pada Resort ini.
Sinar matahari pagi, mulai terlihat dan balkon kamar adalah tempat terbaik untuk menikmatinya. Hangat matahari pagi menyapa lembut pegunungan hijau menyajikan pemandangan yang sangat berharga.
"Indah banget sayang....terima kasih...aku suka banget kejutan kamu..." Lalu terdengar suara tawa merdu dan rengekan manja yang bisa dipastikan itu adalah suara wanita dari arah balkon.
Hana melirik sekilas, dan menjumpai dua orang sedang berpelukan mesra. Hal yang lumrah bagi pasangan yang tengah dimabuk cinta.
Hana kembali sibuk memastikan ruangan kamar sudah sesuai dengan standar, dan makanan yang mereka sajikan dimeja sudah siap . Ia mendengar suara langkah kaki masuk tepat ketika Hana ingin undur diri.
"Sarapannya sudah kami siapkan Pak...semua fasilitas Heaven Agrowisata semua ada di brosur di meja, nomor yang bisa dihubungi sesuai keperluan juga sudah kami tempelkan didekat telepon, semoga Bapak dan ibu menikmati Heaven..." Kata kata standar yang harus Hana sampaikan pada setiap pengunjung.
Gading hanya mengangguk menggumamkan kata terimakasih yang terdengar sekilas, seolah tak ingin diganggu lagi dan Hana segera menyadari hal itu. Bahkan Pria itu tak mengangkat wajahnya dari ponsel yang tengah dipegangnya.
Dengan sopan Hana undur diri ketika matanya tertuju pada seorang wanita yang ia kira adalah istri Gading Indrajaya.
Wanita cantik dengan rambut sebahu duduk bersandar di sofa yang menghadap ke dalam kamar, wanita itu sedang menggulir layar ponselnya.
Wanita itu melipat kakinya diatas sofa dengan pose yang anggun. Dari belakang sinar matahari. Membuatnya bercahaya, sangat cantik.
Tapi bukan itu yang membuat Hana terdiam. Tapi sosok wanita itu yang membuatnya tak percaya.
Ia mengenal siapa wanita itu, ia pernah melihatnya satu kali, meskipun tak pernah menyapa. Hana sering menatap fotonya yang tak sengaja tertinggal didalam sebuah buku yang pernah ia pinjam dari seseorang.
Dan Hana memutuskan untuk menyimpan foto itu.
Dan sampai saat terakhir, tak pernah menanyakan perihal Foto pada Hana.
Mungkin orang itu sudah lupa punya foto itu, atau dia tidak berani untuk menanyakan padanya.
Meskipun Hana berharap opsi pertama lah yang terjadi.
Foto yang selalu ia perhatikan karena wanita itu istimewa bagi seorang Dika....
Hana sangat yakin dengan apa yang dilihatnya.
Wanita itu....
Deasy, istri Dika.
Hana merasa seolah jantungnya merosot hingga keperut.
Sentuhan disikunya membuat Hana tersadar dan buru buru melangkah keluar kamar dengan tubuh sedikit gemetar.
Ia masih sempat menganggukan kepalanya pada Gading dan bersyukur Deasy sedang sibuk dengan ponselnya.
Ada rasa kuatir jika Deasy mengenalnya. Tapi Hana langsung ingat jika ia menggunakan masker. Tapi rasanya Tak mungkin Deasy mengenalnya,
Langkah kaki Hana terasa limbung. Apa yang dilihat dan didengarnya tadi membuat ia terguncang.
Apa yang terjadi?. Ia takkan salah mengartikan kata kata yang ia dengar, dan gestur tubuh yang berpelukan tadi.
Apa ia ketinggalan berita? Jika Dika dan Deasy tidak bersama lagi, Gisella pasti sudah memberitahukan berita itu padanya. Gisella memiliki pergaulan yang sangat luas, semua Gosip di kota mereka tak ada yang lewat dari telinga Gisella. Dan Ibu satu anak itu selalu menceritakan segala Gosip pada Hana.
"Bu Hana baik baik saja...?" Suara Aris membuatnya sedikit tersentak dari pikiran pikirannya yang berkecamuk.
"Eh..oh..ngga...saya ngga apa apa..."
Aris tersenyum, menanggapi Hana yang terlihat berusaha menutupi Kegelisahannya.
"Ini kali kedua Pak Gading booking Rumah 7...privasinya mantap sih..." Komentar Aris sambil berjalan mendorong food trolley.
Hana memandang Aris dengan pandangan bertanya.
"Waktu soft Opening, Pak Gading jadi tamu pertama, dengan cewek yang tadi juga...Bu Hana kan sibuk urusin selebrasinya jadi waktu itu Enza yang urus" Ujarnya tenang.
Eh, cewek?
"Padahal Istri Pak Gading juga cakep lho Bu..."
Hana tertegun. Ya, bukankah Gading sudah beristri?.
Hana menggelenkan kepalanya.
"Sudah Ris...itu privasi mereka, dan kamu juga harus bisa jaga itu..."
"Yeaah...saya memang bagus dibagian itu Bu...saya cuma ngomong sama ibu saja, soalnya ibu seperti kaget...ibu kenal ceweknya?"
Entah mengapa Hana tak nyaman Aris menyebut Deasy dengan kata 'cewek'.
"Sudah! kamu kembali ke dapur, tanya Chef Arya apa lagi yang harus dikerjakan.."
Aris tersenyum lebar
"Siap Boss..."
Hana mengela nafasnya. Bagaimana ini? Apa yang terjadi? Bagaimana Deasy dan Dika ada ditempat yang sama. Dan sudah pasti mereka tak saling tau.
Bagaimana mereka tiba tiba bisa menginvasi kehidupannya yang sudah tenang disini?
Terlebih apa yang harus ia lakukan?. Apakah ia harus diam saja? Atau haruskah ia mempertemukan kedua orang itu lalu tertawa melihat kelucuan takdir?.
Hana terduduk di ruangannya. Mengambil nafas dalam dalam. Hari masih pukul 06.30 pagi. Masih terlalu dini untuk masuk. Ia harusnya mulai masuk jam 09.00 Pagi.
Tapi ia ingin menenangkan diri terlebih dahulu. Karena hari ini ia akan bertemu dengan Dika untuk menandatangani beberapa berkas.
Bagaimana ia bisa berhadapan dengan Dika?.
Dua orang yang Hana pikir akan bahagia dan saling menjaga dalam ikatan pernikahan.
Dirinya sudah berkorban banyak untuk mereka berdua.
Kini Hana mulai bertanya apakah yang sudah dilakukannya? bodoh kah keputusannya dulu? ia rela mundur demi kebahagiaan dua orang yang saling mencintai.
Tapi apa yang dilihatnya tadi?
Bagaimana jika Dika bertemu dengan Deasy ditempat ini?
*************
Dika berusaha terlihat profesional ketika proyek Iklan mereka dimulai. Ia juga melihat Hana melakukan Hal yang sama. Meskipun ia mengutuki pekerjaan ini membuatnya banyak berhubungan dengan Hana.
Tak ada lagi binar mata yang hangat yang selalu terpancar dari mata Hana. Mata itu sangat tenang, gerakannya juga lebih anggun bukan lagi tak percaya diri seperti dulu.
Hana yang sekarang adalah Hana yang terlihat sangat matang, sangat dewasa, membuat hati Dika menghangat. Setidaknya Hana baik baik saja, itu yang selalu Dika panjatkan dalam setiap doanya, Hana harus selalu dalam keadaannya baik.
Dika melihat Hana tersenyum pada salah seorang kru mereka, lalu ikut tertawa bersama Prilly si bintang iklan. Hana terlihat sangat menguasai tugasnya.
Tanpa sadar Dika juga ikut tersenyum melihat Hana.
"Lo, jangan dikit dikit ngeliatin Bu Hana Mas...Bu Hana milik gue..." Suara menyebalkan milik Budi terdengar ditelinganya.
Terlihat senyum jumawa dibibir buaya cap terong itu.
"Lo Belum mau cerita tentang bagaimana lo bisa kenal Bu Hana, Mas? temen sekolah? Kuliah? ah pasti enggak, lo kan terlihat jauh lebih tua dari Bu Hana...."
Dika semakin malas menanggapi Budi.
"Tetangga ? Rekan kerja?..be.."
"Lo bisa diam ngga? Gue lagi kerja..." Potong Dika. Yang langsung disambut cibiran Budi.
"Kerja apaan? Sibuk nge zoom Bu Hana yang ngga sengaja masuk frame?"
Anjir!! Dika mengumpat kesal.
Dika langsung mengclose layar laptopnya, diiringi gelak tawa Budi.
"Gue punya banyak foto candid Bu Hana mas...punya lo mah ngga ada apa apanya, punya gue dong capturenya artistik.. sedapnya jadi potograper propesional ya ini..."
Tawa Budi menggelegar dan ia bergegas meninggalkan Dika yang kesal dengan kejadian tadi, ia tertangkap basah sedang menstalking Hana.
"Bilang kalo lo mau Mas, ntar gue kirim...."
Bangsat!!! Dika memaki Budi yang mukanya terlihat kurang ajar. Ia akan pikirkan hukuman untuk Junior tengil itu.
Dika sudah gelisah sejak pagi. Perutnya mulas mulas mengingat ia akan bertemu dengan Hana.
Flash Back
Dika kewalahan sejak bangun pagi. Biasanya ia santai saja dengan apa yang harus dikenakannya.
Pagi ini ia bahkan empat kali ganti baju, padahal pilihannya cuma dua, tapi karena tidak puas dengan penampilannya, bahkan sampai harus empat kali ganti!.
Tsk!
Gedoran Revan di pintu kamar mandi,yang akhirnya mau tak mau membuatnya mengenakan kemeja yang kali ke empat ia coba.
"Lo kayak anak perawan aja pake baju dikamar mandi? Biasanya lo seenaknya keluar pake boxer...cepetan gue udah nahan nahan dari tadi..." Omel Revan yang langsung mendorong Dika keluar.
"Kampret, gue mau jatuh nih!!" Dika hampir saja tersandung karpet.
"Lo mau gue pup di karpet gara gara nungguin Lo?"
Blam!!
Pintu kamar mandi dibanting dan tak lama terdengar suara khas orang sakit perut dari dalam kamar mandi, belum disambung dengan suara buang angin yang menimbulkan bunyi gaduh yang membuat Dika mengumpat
Ck!! mana tadi Dika niat sarapan bubur...ehwww.
Dika mengumpat dalam hati, dan bergegas keluar sambil membawa baju bajunya.
Dika mengamati penampilannya di kaca.
Not Bad.
Ia mencoba menyunggingkan senyumnya.
Lalu ia menyugar lagi rambutnya. Apa apaan sih?
Kenapa ia begitu nervous karena harus bertemu dengan Hana pagi ini?.
Dan benar saja, ketika ia sudah berhadapan dengan Hana, ia bisa merasakan tangannya berkeringat. Mulutnya kaku sulit diajak bicara, bahkan untuk seulas senyum pun otot wajahnya kaku sekali.
Hana mengulurkan tangannya, dan Dika dengan gugup menyambutnya.
Hana mempersilahkan Dika dan Revan untuk duduk, karena kemarin Dika tak bisa menemui Hana karena masih sakit.
Ia harus membicarakan beberapa hal menyangkut MOU dengan pihak Resort.
Dika sudah mempelajarinya dan sebenarnya tak jauh berbeda dengan lokasi lokasi shooting ditempat lainnya.
Ini hanya formalitas saja agar semua pihak nyaman dengan ketentuan yang dibuat.
Ingin sekali Dika berbicara dengan Hana. Menanyakan kabarnya, menanyakan apakah ia bisa meminta maaf, menanyakan mengapa ia memilih pergi dengan cara itu?, menanyakan bagaimana ia bisa sampai disini? menanyakan apakah dia baik baik saja?. Menanyakan apakah ia sudah sarapan? Apakah masih takut gelap?
Tapi hati kecilnya mengejek Dika, 'Lo Ngga Pantas nanya nanya Hana, brengsek!!'
Dika berjengit ketika ia merasa kakinya tiba tiba ditendang. Ia bisa melihat wajah Revan yang melotot ke arahnya.
Dika buru buru menoleh lagi ke arah Hana yang anehnya juga menatapnya, seolah menunggunya menjawab sesuatu.
Dika menelan ludah, ia berusaha mengingat apa yang sedang mereka bahas tadi. Apakah tadi ia melamun?.
Dika berdehem sambil melirik Revan dengan pandangan 'tolong gue'
Revan memutar bola matanya dengan ekspresi, Lo kok Bego banget sik'.
"Ehm...tidak ada lagi Bu Hana, semua sudah oke...maaf Pak Dika ini, masih kurang fit jadi agak agak blank, tapi nanti bakal normal lagi...." Ujar Revan enteng, dan entah untuk apa rekannya itu mengangkat kedua tangannya membuat tanda petik ketika mengucapkan kata 'normal'?
Kampret memang, teman durhaka. Maki Dika dalam hatinya.
"Iya , maaf Bu Hana...saya sudah oke, semuanya sesuai dengan apa yang sudah kita sepakati..."
Aneh banget manggil Hana dengan 'Bu'.
Dika mengusap leher belakangnya.
"Baik Kalau begitu Pak Dika, Mas Revan.."
Dika bisa apa jika Hana membedakan panggilannya dengan Revan?.
"Kalau begitu, kita sudah bisa mulai pekerjaannya, silahkan kami akan tunjukkan dimana ruangan yang bisa kita pakai untuk kantor sementara...mari Pak, Mas...."
Hana berdiri dan langsung menuju ke luar ruangan nya.
"Petra, tolong bawa Pak Dika dan Mas Revan ke ruang meeting satu ya..."
Seorang pemuda dengan seragam Resort telah menunggu mereka di luar pintu.
"Silahkan...saya masih ada pertemuan dengan Pak Aldogera, nanti saya akan menyusul..."
"Terimakasih Bu Hana...."
Hana mengangguk dan Dika dan Revan segera mengikuti Petra.
Dika bisa melihat Revan yang mengulum bibirnya menahan tawa. Dan ia tebak, apa yang dipikiran Revan sama dengan yang ia pikirkan.
"Padahal umur tuaan gue dari Lo, lo dipanggil Bapak...emang wajah gue babyface sih....gue bisa apa?"
"Bebipes my ass..."
umpat Dika tak terima yang disambut tawa oleh Revan.
Sebelum mereka berdua masuk ke ruangan, Revan menahan langkah Dika.
"Serius bro, Bu Hana mantan Lo?"
Dika tak menyahut, ia memilih meninggalkan Revan. Pura pura sibuk memperhatikan ruangan yang sudah disiapkan.
Dan ia cukup puas.
"Menurut gue Pasti Lo yang brengsek makanya kalian berstatus mantan..." Revan menaik naikan alisnya menggoda Dika.
"Lo panggil tim yang lain, suruh kesini semua..." Alih alih menjawab, Dika memberi instruksi pada Revan.
Revan kembali tertawa terbahak bahak.
"Gilak! Gue baru tau kalo Lo bisa brengsek juga...." Buru buru Revan melarikan dirinya ketika ia melihat Dika sudah menatapnya dengan tatapan membunuh. Meski tawanya sengaja ia keraskan agar masih bisa didengar oleh Dika.
Teman bangsat memang.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
