
Saya harap Bu Hana tetap profesional seperti itu terus sampai empat hari kedepan..."
Hana mengangkat wajahnya melihat sosok Eko yang tengah berdiri di depan mejanya. Hana tau jika Eko dari pagi tadi ketika.mereka memulai proyek iklan mengawasinya dengan intens.
Hana tidak tau mengapa Eko demikian.
Hana menurunkan kaca mata bacanya. Dari kelas tiga SMA ia membutuhkan bantuan kacamata untuk membaca, selebihnya ia tidak menggunakan kaca mata karena ia merasa cukup menganggu aktivitasnya.
Gerakan itu tak...
BAB 11
Saya harap Bu Hana tetap profesional seperti itu terus sampai empat hari kedepan..."
Hana mengangkat wajahnya melihat sosok Eko yang tengah berdiri di depan mejanya. Hana tau jika Eko dari pagi tadi ketika.mereka memulai proyek iklan mengawasinya dengan intens.
Hana tidak tau mengapa Eko demikian.
Hana menurunkan kaca mata bacanya. Dari kelas tiga SMA ia membutuhkan bantuan kacamata untuk membaca, selebihnya ia tidak menggunakan kaca mata karena ia merasa cukup menganggu aktivitasnya.
Gerakan itu tak luput dari perhatian Eko yang dalam hati bisa mengerti mengapa Dika menyukai Hana. Anggun, tak ada yang menyangkal pesona itu.
"Saya selalu profesional Mas Eko, itu tugas saya...ada yang kurang dari pelayanan kami..?"
Hana menjawab dengan tenang. Hana masih meraba kemana arah pembicaraan Eko.
"Ini tentang Dika.."
Eko memutuskan untuk langsung pada poin yang ingin ia bicarakan. Ia bisa melihat Hana tidak suka basa basi.
"Ya..?" Hana Berusaha untuk tetap terlihat tenang, ia mulai bisa melihat mengapa Eko sepanjang hari mengamatinya.
"Dika sudah punya istri dan anak .." Eko menatap Hana dengan tajam. Hana tak bergeming, ia masih mengira ngira apa yang Eko tau tentang dirinya dan Dika?.
"Lalu...?" Hana mencoba mencati tau maksud Eko. Dulu sewaktu dengan Dika, Hana tak pernah bertemu dengan Eko.
"Dika dan Deasy sudah saya anggap keluarga sendiri, terlebih saya sudah mengenal Deasy dari sejak sekolah.."
Dan kini Hana mulai paham. Eko hanya ingin mengamankan rumah tangga sahabatnya.
Eko tersenyum miring.
"Saya hanya menyampaikan itu saja...Bu Hana saya rasa bisa mengerti apa maksud saya...Deasy wanita yang baik, tidak pantas dikhianati.."
Hana tersenyum tipis, mengingat kembali kejadian tadi pagi di Rumah Puncak tujuh. Wanita Baik?
"Tidak usah kuatir Mas Eko. Saya tau apa yang harus saya lakukan. Tidak pernah dalam hidup saya merusak kebahagiaan orang lain. Dan saya harap ini pembicaraan terakhir tentang Masalah pribadi saya. Jika tidak ada kepentingan lagi, saya persilakan Mas Eko istirahat, kami sudah menyiapkan Coffee Break dibalkon..." Hana memakai kacamata bacanya kembali segera menunduk, membiarkan Eko yang masih berdiri didepannya.
Eko kembali memperhatikan Hana, ia bisa melihat keanggunan wanita itu, dan dalam hati ia yakin bukan Hana yang seharusnya ia takutkan.
Tapi Dika.
Eko berbalik dan keluar dari ruangan. Yang penting ia sudah mengingatkan Hana.
Ia tak lagi berselera untuk ikut coffebreak. Eko memutuskan untuk kembali saja ke kamarnya.
Ia akan lebih sering mengawasi Dika. Ia tak rela jika Dika menyakiti Deasy.
Wanita itu terlalu baik untuk disakiti. Eko mengenal Deasy sejak SMP sampai SMA kemudian mereka berpisah ketika kuliah.
Sejak dulu mereka berteman dengan baik, dan Deasy akhirnya juga menjadi teman istrinya Dania. Keduanya cukup akrab terlebih mereka memiliki anak yang umurnya sepantaran.
Ya setidaknya Deasy masih menjadi sahabat nya, jadi wanita itu masih dalam jangakauan matanya.
===========
"Gue harap lo berusaha untuk lebih profesional lagi Dik..."
Eko dan Dika tengah menikmati rokok di balkon kamar. Jika kerjaan tengah padat, kadang mereka menghilangkan kepenatan dengan menghisap rokok satu atau dua batang.
Mereka cukup dewasa untuk tidak merokok dirumah, ada anak dan istri yang harus mereka jaga.
"Gue ngga ngerti maksud lo..." Dika segera menghindar, ia tau kemana arah pembicaraan ini. Duka bukannya tidak tau jika sepanjang hari Eko mengawasinya.
"Jangan pura pura..."
Dika menghisap rokok nya dalam. Sial! gara gara tangannya yang lepas kontrol menyentuh Hana, membuatnya menjadi penjahat di mata sahabatnya ini.
" Gue ngga bodoh Lah..." Jawab Dika enteng.
"Meminta wanita lain buat nemenin lo? Lo bilang ngga bodoh?" Suara Eko meninggi mendengar Dika menganggapnya tidak serius.
"Shit! Lo ngga tau apa apa dan gue ngga akan cerita...tapi gue tau batasan...cukup gue bodoh tadi malam..." Dan juga brengsek bertahun yang lalu. Umpat Dika dalam hati.
"Lo tenang aja , gue juga bilang hal sama sama Hana..."
"Apa??? Hukk..hukkh" Dika tersedak asap rokok yang salah masuk saluran hingga membuat ia terbatuk batuk. Eko Keterlaluan, ia sudah mencampuri urusannya terlalu jauh.
"Lo jangan ganggu Hana Ko! Brengsek Lo!!" Maki Dika.
Eko tersenyum sinis, mengepulkan asap rokoknya ke langit
"See..? Pengaruh cewek itu masih segitu dahsyat nya...arrkkhhh.."
Dika menarik kerah baju Eko dan wajahnya terlihat sangat marah.
"Lo harus sopan sama Hana, dia bukan 'cewek' !!Dia wanita Paling istimewa yang Tuhan pernah ciptakan...Kalo lo ngga tau apa apa...jangan ikut campur!!" Dika menghempaskan tubuh Eko le kursi dan meninggalkan balkon, ia tak mau nanti mereka berdua akan saling baku hantam. Tepat dipintu Dika berhenti, tanpa menoleh ia melanjutkan kata katanya.
"Deasy tau siapa Hana...Lo boleh tanya dia ..ngga ada yang gue tutupin dari Deasy...dan Hana lah yang buat gue menghargai keluarga gue dan mencintai istri dan anak gue..Lo harus menghormati Hana...jauhkan pikiran kotor lo. Kalau ada yang brengsek, itu sudah pasti gue!!!!".
Dika segera keluar dari kamar itu. Sesak nafasnya karena masih menjadi pengecut yang tak bisa mengatakan yang sejujurnya pada Eko, kalau ia mencampakkan Hana dan membiarkan Hana yang menanggung kepengecutannya.
Bahkan pada Ayah dan ibunya yang sampai saat ini masih belum percaya jika Hana meninggalkan Dika karena pria lain.
Karena itu pula Dika pindah keluar kota memilih untuk tidak lagi bekerja pada perusahaan Ayah. Ia selalu diliputi rasa bersalah jika melihat orang tuanya.
Sementara Eko hanya bisa terdiam, mencoba memahami apa yang Dika ucapkan. Dia salah menilai Hana?.
***********
Hana masih berada didalam ruangannya, meskipun jam menunjukkan pukul sembilan malam. Ia masih menyelesaikan laporan laporannya.
Seharian ini sungguh menguras energinya. Bagaimana Eko menuduhnya tanpa memahami apa yang terjadi diantara dirinya dan Dika.
Dika yang benar benar berusaha menghargai dirinya dengan berlaku profesional, dan bagaimana dirinya yang berusaha agar tidak memaki dan menampar pria yang menghancurkan semua mimpinya dihadapan semua orang, atau menarik pria itu ke dekat jurang lalu mendorongnya Jatuh.
Aarrgghh...
Dan bagaimana dengan rahasia yang ia miliki?. Deasy berselingkuh? Wanita Baik?
Huh Hana menghempas punggungnya kesandaran kursi.
Ia belajar memaafkan karena ia yakin Dika bahagia dengan pernikahannya.
Tak mungkin ia menghancurkan kebahagiaan orang lain, meskipun sebenarnya ia berhak.
Dulu sebenarnya Ia masih bisa memaksakan pernikahannya dengan Dika. Undangan telah tersebar, Gedung dan catering telah lunas dibayar, baju pengantin dan...
Papa dan Mama Dika sangat menyayangi nya. Mama Dika pasti tidak setuju jika Dika memilih Deasy dari pada dirinya.
Ayahnya yang telah menceritakan dengan jujur pada Papa Dika tentang siapa diri Hana, dan Papa Dika malah semakin menyayangi Hana.
Bisa saja Hana mengatakan hal yang sebenarnya pada Papa Dika,mengapa pernikahan mereka batal.
Tapi Hana tidak melakukan itu. Karena ia mau pria yang menikahi nya adalah orang yang mencintainya,bukan mencintai orang lain.
Ia tak mau menderita selamanya, terjebak dalam pernikahan cinta sepihak. Terlebih ia tak mau mengulangi kepahitan cerita hidupnya.
Dirinya adalah hasil hubungan cinta yang dipaksakan. Ayahnya menikah dijodohkan dengan Lusi Ibu tirinya.
Dan Alia Ibu kandungnya bertahan mencintai Ayah dan mereka tetap berhubungan, hingga dirinya lahir. Sayang Ibunya tak hidup lama, tak tahan menanggung beban dan perasaan tertekan akhirnya Alia sakit sakitan dan meninggal dunia.
Ayah membawa dirinya kerumah, dan sejak itu kehidupan keluarga Ayahnya tak lagi bahagia. Karena kehadiran dirinya membuat Hana harus menahan segala sakit hati akibat perlakuan Lusi ibu tirinya dan Gisella.
Semakin ia dewasa semakin ia mengerti mengapa Lusi dan Gisella sangat membencinya. Meskipun bukan salahnya tapi kehadirannya tentu menimbulkan luka dihati Lusi dan Gisella.
Dan Hana cukup memahami posisinya, ia tak pernah mengeluhkan halitu. cukup Ayah menyayanginya ia sudah bahagia.
Dan sekarang, apa yang telah dilakukan Deasy?? Hana merasa sia sia pengorbanannya. Jika ia tau bagaimana perilaku Deasy, tentu ia akan mempertahankan Dika.
Seharusnya ia tertawa, ya menertawakan Dika. Sakit hatinya berbalas. Ia bisa saja membawa Dika ke Rumah Puncak Tujuh sekarang juga dan menunjukkan bagaimana wanita yang ia pilih berlaku curang padanya
Dari cerita pegawai yang lain, ini kali kedua Gading Indrajaya membawa wanita yang sama menginap disini.
Hana menggelengkan kepalanya. Apa yang harus ia lakukan?.
Gila!!, wanita seperti apa yang tega berselingkuh dari suaminya? Bagaimana dengan anak mereka? Tidakkah Deasy memikirkan hal itu. Hana seperti menggenggam bara.
=================
"Hanaaa....gue kangeeennn...." Seorang wanita mungil nan cantik menghambur ke dalam pelukan Hana.
"Ishh...masih suka lebay aja kamu Di...." Tapi tak urung membuat Hana tertawa, hampir saja mereka terjatuh kalau saja Aldo tak sigap Menahan punggung Hana.
"Aku kangen Na...bukan lebay, aku...ehh....pacar Lo Na?"Mata yang dihiasi bulu artificial itu membesar dengan cengiran yang juga lebar.
Diana baru sadar ketika melihat ada tangan besar di pundak Hana.
Seraut wajah tampan tersenyum lebar di samping Hana. Dan ikut ikutan melihat ke arah Hana yang terlihat bingung.
"Mas Pacarnya Hana?" Tanya Diana memasang wajah jahil.
Wajah Hana memerah karena baru sadar jika Aldo terlihat seperti memeluknya dari samping.
"Euumm.. ini Pak Aldo Di, Boss gue...." Jawab Hana, perlahan ia melepaskan tangan Aldo.
" Ahh.. semangat ya Pak!!" Gurau Diana, ia yakin Aldo tak menganggap dirinya adalah Boss jika dengan Hana.
Hana melotot menatap Diana yang tak peduli dengan tatapan Hana.
Aldo tertawa, dan terlihat sekali jika tawanya itu adalah tawa bahagia, yang tak keberatan jika ia dikira seorang pacar.
Hana mendengus sebal, Diana sangat supel orang orang dengan mudah akrab dengan matanya yang jenaka dan senyum ramahnya.
"Saya Diana Pak, sahabat terbaik Hana..." Ujarnya dengan percaya diri.
Hana memutar bola matanya.
"Aldo, calon nya Hana??..." Hana tersedak mendengar nada percaya diri yang selalu keluar dari mulut Aldogera.
Diana langsung terbahak bahak menanggapi Aldo yang juga terlihat tidak keberatan.
"Pak..." Tegur Hana dengan suara pelan.
"Kok Pak sih Na...??Mas gitu..." Diana seperti biasa tak bisa menghentikan mulutnya.
"Nah Itu Nya..Diana tau..." Sambut Aldo dengan memasang wajah serius.
"Ck...sudah ah....Diana ini Fashion designer Pak,Prilly pakai jasa dia untuk iklan kali ini..." Hana menjelaskan pada Aldo, kuatir Aldo mengira ia mencuri jam kerja untuk berbasa basi dengan sahabatnya. Meskipun ia yakin Aldo ngga akan keberatan.
"Ih kok cuma dikenalin sebagai fashion disigner sih Na? Gue kan sahabat lo..." Omel Diana dengan bibir yang dimanyun manyunkan.
Hana menggelengkan kepalanya. Selain supel, Diana juga ratu drama. Harusnya ia ingat itu.
"Iya..iya...Diana ini sahabat terbaik saya Pak, selain Resty..."
"Naaahh gitu doong..." Diana merangkul Hana dengan gemas. Ia senang menggoda Hana yang sebenarnya cukup pendiam itu.
"Sudah sana Di, kamu ditunggu sama tim di kamar Prilly, mari aku antar...." Buru buru Hana menarik tangan Diana yang terlihat geli dengan Hana yang terlihat salah tingkah.
Aldo tersenyum lalu melanjutkan langkahnya menuju ruangannya. Ia baru saja sampai dan kini lelahnya hilang dengan bertemu Hana managernya yang belakangan sangat menyita perhatiannya.
Senyum optimis.muncul dari bibirnya.
***********
Diana tampak sibuk membereskan peralatan make upnya, ia tinggal menunggu scene pengambilan gambar selanjutnya. Ia hanya tinggal menambahkan sedikit perubahan disesuaikan dengan kostum dan latar pengambilan gambar.
Diana sebenarnya teman Gisella. Hana tak sengaja bertemu dengan Diana ketika Gisella berkunjung. Kebetulan Diana sedang mengambil job merias pasangan yang membuat foto prewedding.
Diana tinggal di kota terdekat dari Resort dan seringkali menjadi MUA untuk prewedding yang mengambil tempat di Resort. Hana jadi lumayan sering bertemu dengan Diana.
Diana dititipin pesan oleh Giselle untuk sering mengajak Hana keluar. Gisella ingin Hana sesekali hang out, dan Diana adalah orang yang tepat.
Dan Diana dengan senang hati melakukan permintaan Gisella. Karena Hana sangat mudah untuk disayangi.
Sedikit banyak Diana tau kisah Hana dari Giselle. Jadi tanpa sadar Diana selalu berusaha membuat Hana lebih gembira, mengajarinya cara berdandan dan berpakaian. Hana yang memang sudah cantik, menjadi semakin menawan. Hanya saja Hana selalu memilih dandanan minimalis yang memang cocok untuknya.
"Masih sibuk Di?"
Hana masuk sambil membawa semangkuk buah buahan kesukaan Diana.
"Heii...ngga kok, tinggal sekali tak gambar lagi, habis itu selesai...tengkyuuuu buahnya Na..."
Hana tersenyum, mengambil duduk disebelah Diana.
"Na...itu boss kamu yang sering diceritakan Resty?"
Hana menghela nafas, jika Diana kepo akan sulit mengehentikannya.
"Itu memang Boss aku...cerita Resty abaikan saja..."
Diana tergelak, ia gemas sekali dengan Hana yang wajahnya terlihat kesal.
"Beneran cakep ternyata...dia kelihatan banget suka sama kamu Na..."
"Di...Come on...aku ga mau gosip gosip ya...dan...jangan cerita apa apa ke Giselle!!!".
Diana kembali tertawa.
"Ya nggak lah...emang mulutku ember?"
Hana memutar bola matanya. Diana bukan hanya ember jika berhadapan dengan Giselle, bahkan lebih dari itu, Diana adalah ember bocor.
"Aku serius Di...jangan bilang ini ke Giselle, bisa bisa dia langsung terbang kesini buat interogasi..."
"Ish ..ngga percayaan amat sih sama aku?" Diana pura pura cemberut
"Emang!". Ketus Hana pada Diana.
Diana tak bisa menahan ketawanya.
"Eh...itu yang namanya Mas Dika ganteng yaa? Sudah taken apa belum yaa...?"
Hana tersedak buah stroberi yang baru saja ia gigit.
"Na...hati hati lho kalau makan!" Omel Diana sambil membantu mengusap usap punggung sahabatnya itu.
Tiba tiba saja ada yang mengulurkan sebotol air minum yang sudah dibuka tutupnya. Diana merebut botol itu dengan cepat dan langsung memberikan pada Hana. Sementara Hana masih terbatuk batuk.
Diana menepuk nepuk punggung Hana perlahan. Dan batuk Hana mereda. Lalu ia pun minum.
Dan setelah tenang, Hana mengangkat wajahnya dan seketika ia baru sadar jika yang memberikan air minum itu Dika.
Hana terpaksa mengulas sedikit senyum. Dan Diana juga terlihat baru menyadari jika Dika ada didekat mereka.
"Bu Hana ngga apa apa?"
Suara khas Dika itu menyapa telinganya. Hana berusaha tenang
"Ummm..ngga apa apa Pak, makasih air minumnya..." Hana membuang pandang kesembarang arah, ia tak mau menatap Dika.
Dika mengangguk dan beranjak dari tempat itu. Diana tanpa sungkan menatap Dika dengan mata berbinar binar.
"Gilaaakk...kok bisa Pak Dika tiba tiba ada didepan kita...?? Suaranya Na...ya ampun bikin aku melted...."
"Dia suami orang Di,...lupain aja...." Bisik Hana, posisi Dika belum terlalu jauh dari mereka. Ia tak mau Diana berharap lebih. Hana tau bagaimana tipe Diana yang ngga akan sungkan mendekati pria yanh disukainya.
"Whattttt???...ih selalu itu deh...belum mulai udah patah hati...." Sungut Diana moodnya langsung terjun bebas, membuat Hana memutar bola matanya.
Andai saja Diana tau siapa Dika..
Hana langsung menggelengkan kepalanya, mengenyahkan pikiran itu.
Diana setipe dengan Giselle yang tak segan melabrak orang didepan umum.
Jadi Diana ngga boleh tau tentang Dika!.
"Eh, Mas Revan juga ngga kalah cakep sih..." Kikik Diana sambil mengaitkan rambutnya ke belakang telinga dengan gaya malu malu.
See? Hana hanya bisa mendengkus. Begitu cepatnya Diana move on...
Hana bisa melihat Diana dan Revan tengah saling melemparkan 'pandangan penasaran'.
Ingin rasanya Hana menjewer telinganya sahabatnya yang suka plin plan itu.
Hana ngga ragu, sebentar lagi Diana pasti sudah mendapatkan nomer ponsel Revan. Hana hanya bisa berdoa agar Revan bisa tabah 'diganggu' Diana.
"Jangan gara gara kamu klien aku kabur ya Di..." Bisik Hana sambil bangkit dari duduknya.
"Ishh..apaan sih Na...??" Rajuk Diana yang kesal karena modusnya ketahuan.
Hana hanya melambaikan tangannya dan meneruskan Langkahnya menuju tim yang sedang sibuk. Ia punya janji untuk mengecek kembali lokasi terakhir pengambilan gambar.
BAB 12
Hana masuk ke ruangan meeting yang kini difungsikan sebagai posko proyek iklan. Dari luar ia sudah menenangkan degupan jantungnya, karena akan bertemu lagi dengan Dika. Ia berharap proyek ini segera berakhir.
Dua hari lagi.
Baiklah dua hari lagi, semua akan berjalan seperti biasa lagi. Ia dengan hidup barunya ditempat ini.
Hana membuka pintu dan ketika matanya menangkap sesuatu yang berbeda. Raut wajahnya sedikit heran, mengapa Kedatangannya kali ini dilihat oleh seluruh pasang mata diruangan itu?.
Belum sempat ia membuka mulutnya untuk menyapa tiba tiba sebuah suara memecah keheningan.
"Naah...ini dia yang kita tunggu..." Budi yang terlebih dahulu mengeluarkan suaranya.
Hana menoleh ke arah Budi dengan cengiran khasnya dengqn posisi badan yang membungkuk disebelah Dika yang terlihat sibuk dengan laptopnya.
"Bu Hana...ternyata sunrise dari Rumah Puncak Tujuh itu lebih bagus, saya akan lebih mudah menangkap scene nya.." Lanjut Budi.
Hana terdiam, Rumah Puncak Tujuh?.
Tidak mungkin ini terjadi. Hana meskipun kuatir dengan keberadaan Deasy, tapi pertemuan kedua orang itu bisa dihindari karena rumah puncak Tujuh sangat private dan punya fasilitas lengkap.
"Bagaimana Bu Hana? Kami bisa dapat akses Kesana?" Kali ini Eko yang bertanya.
Hana menelan ludah. Wajahnya ia usahakan sedatar mungkin.
"Hmm..tidak bisa, lokasi itu sudah di booking sampai lusa.." Hana Berusaha tetap tenang.
"Sebentar saja bu, hanya moment sunrise saja...dan hanya beberapa kru saja, tidak full team.." Kini Eko yang berbicara dan Hana bisa menangkap nada memaksa disana.
"Tidak bisa, tamu kami menginginkan privasi..." Tegas Hana tak mau terintimidasi dengan Eko.
Tiba tiba pintu ruangan meeting terbuka. Dan muncul wajah Aldogera disana.
"Halo semua..
Semoga saya tidak menganggu...bagaimana proyeknya sejauh ini? ada kendala?"
Ujarnya ramah. Wajah ceria itu sedikit meredakan suasana yang mendadak tinggi akibat penolakan dari Hana.
"Kami mau ambil gambar dari Lokasi Rumah Puncak Tujuh Pak...tapi kata Bu Hana lokasi itu sudah booking..."
Jawab Eko dan Hana bisa kembali mendengar nada tidak senang dari pria itu.
"Oh...iya...sedang ada tamu yang menginap disana, tapi sebentar saya coba hubungi dia, kebetulan itu teman saya..."
"Jangan Pak! Tidak Bisa!" Hana segera tersadar, ia terlalu cepat menolak dan suaranya terdengar panik. Semua mata memandang ke Arahnya.
Bahkan Dika yang sedari tadi berusaha tidak melakukan kontak mata juga ikut melihat ke arahnya.
"Mengapa Bu Hana terlihat ingin mempersulit kami?" Eko terlihat tidak suka. Ia menganggap Hana tidak bisa bekerjasama.
"Sa-saya tidak bermaksud demikian, kami punya aturan yang jelas, tamu memilih lokasi itu karena privasi dan kami akan memenuhi hal itu..." Hana semakin gugup karena nada intimidasi dari Eko. Sial ia merasa seperti maling yang ketangkap basah.
"Sudah...ngga apa apa saya telpon Gading, nah ini..sudah tersambung maaf saya keluar dulu...." Aldo keluar dari ruangan untuk menghubungi Gilang.
Hana memijit pelipisnya yang kini terasa tidak nyaman.
"Saya kira Anda profesional..ternyata..." Lanjut Eko dengan sinis.
"Sudah ko,...Bu Hana hanya melakukan tugasnya..." Dika menegur Eko.
"Tapi Pak Aldo Kan ngga keberatan Dik..." Sela Eko masih tak puas dengan keputusan Hana.
"Iya asal tamunya juga setujukan? dan Bu Hana ngga punya wewenang untuk menyetujui permintaan kita..." Dika mencoba memberikan pengertian
"Harusnya dia mempertimbangkan terlebih dahulu, nego dulu dengan...."
"Eko! Lo bisa tenang dulu!" Dika menegur Eko dengan tegas.
"Kita bicarakan dengan baik baik bukan dengan emosi seperti ini..bagaimanapun perubahan scene tidak ada Dalam MOU kita..ini hanya tambahan.."
"Terserah!" Desis Eko lalu membanting tubuhnya ke sebuah kursi, ia cukup kesal.
Hana tidak tahan, dan sebenarnya tak mendengar apa apa, ia hanya memikirkan Deasy jangan bertemu dengan Dika. Ia pun segera keluar menyusul Aldo.
"Mas Eko Keterlaluan..." Dengus Budi, ia juga tak suka jika Hana disudutkan. Bahkan ia mengerti posisi Hana bukanlah sebagai pengambil keputusan.
Eko hanya menggedikkan bahunya.
Sesampainya diluar Hana mengedarkan pandangannya mencari keberadaan Aldo, tapi tak menemukannya.
ia harus mencegah Aldo meminta ijin pada Gading. Ia kemudian berlari menuju ke arah balkon dan sekitarnya, tapi tak mememukan pria itu juga.
Lalu ia kembali masuk dan terlambat..Aldo baru saja masuk ke dalam ruangan dan dengan cepat ia menyusul.
Dan terlambat...
Semua wajah diruangan itu terlihat gembira.
"Anya...Gading setuju, asal tidak ribut dan terlalu lama..."
Wajah Hana Pias. Bagaimana ini?
Sementara Dika menatap Aldo yang tengah tersenyum pada Hana dan apa tadi yang ia dengar 'Anya?'
"Anya..eh...Bu Hana emm emm.." Aldo berdehem melonggarkan tenggorokannya, ia sedikit salah tingkah karena merasa dirinya keceplosan dengan panggilannya pada Hana di pertemuan resmi begini.
" Saya perlu Bu Hana, karena ada sesuatu yang perlu saya tanyakan, sebentar saja...ngga apa apa ya semua, saya bawa dulu ibu Hana...nanti saya antar lagi kesini..." Yang disambut tawa kecil dari semua yang diruangan, kecuali Eko dan Dika..
'Anya..?
Dika hanya merasa tak nyaman.
********
"Bapak tau kalau Pak Gading datang dengan selingkuhannya?"
Aldogera hampir saja tersandung sepatunya sendiri mendengar pertanyaan Hana, ia baru saja menutup pintu ruangannya.
Aldo menggosok Belakang lehernya yang tidak kenapa kenapa.ia salah tingkah dengan pertanyaan Hana yang tanpa basi basi itu.
"Itu tidak berarti saya mendukung perselingkuhan Anya...dia sudah dewasa dan tau resiko apa yang dia ambil.."
"Bisa kah Bapak bertanya terlebih dahulu pada saya sebelum Bapak mengambil alih keputusan ?"
Kini Aldogera tau jika Hana benar-benar marah.
"Maaf Anya...saya tadi hanya ingin masalah itu segera selesai dan kamu bisa langsung kesini untuk membantu saya..."
"Bapak tidak menghargai saya didepan tamu, saya dianggap tidak kompeten..."
Aldo gelagapan, sial ia tak memikirkan hal itu, ia tadi benar benar membutuhkan Hana dodekatnya, karena memang ada beberapa dokumen yang Hanya Hana bisa paham.
Dan selain itu ia benar benar ingin berduaan dengan Hana, setelah kemarin ia sama sekali tak bisa bertemu.
Astaga! Baru satu hari saja...
"Anya....maafkan saya...saya tidak bermaksud demikian..." Aldo merasa bersalah, ia tau jika tadi ia sungguh tidak profesional.
"Tapi tindakan Bapak tadi sudah menyampaikan hal itu Pak, saya tidak kompeten..."Hana hampir menangis, bukan karena apa apa, ia hanya takut hal buruk akan terjadi. Dan ia juga kesal mengapa ia peduli.
Buru buru Aldo meraih tangan Hana. Sungguh kemarahan Hana adalah hal terakhir yang ia harapkan.
"Saya minta maaf, tidak.mempertanyakan alasan kamu tadi...maaf saya hanya memperturutkan rasa hati saya saja...sungguh Hana...apa saya kembali kesana dan membatalkan keputusan saya..?"
"Dan kemudian mereka melihat pemimpin yang juga tidak bisa dipegang kata katanya?"
Aldogera menelan ludahnya yang terasa kelat, pahit. Sial.
"Selingkuhan Pak Gading Indrajaya itu, adalah istri dari ketua Starlight PH, Pak Dika..."
Kini Aldogera pias. Tak menduga hal ini sama sekali.
"Sekarang apa yang harus kita lakukan?..." Seru Hana dengan wajah putus asa.
Aldogera meraih handphone nya, lalu terdengar nada sambung
"Ding...kamu harus keluar malam ini juga...suami selingkuhan kamu ada disini, besok mereka yang mau shooting iklan disana. Saya kembalikan semua uang yang sudah kamu keluarkan."
Lalu Aldo mematikan sambungan teleponnya.
Hana terduduk di kursinya, menangkup wajahnya dengan kedua tangannya.
Aldo turut duduk disebelah Hana. Menepuk lengannya dengan lembut.
"Maaf....." Lirih Aldo
Satu pertanyaan muncul dibenak Aldo.
Bagaimana Hana bisa tau akan hal ini?. Tak satu patah kata atau tindakan yang mengindikasikan jika Hana mengenal Dika.
"Mana dokumen yang ingin bapak tanyakan? " Hana menatap Aldo.
Aldo tergagap
"Ya?"
Hana menghela nafasnya. Berusaha untuk terlihat tenang kembali. Hana mengulas senyum agar wajah Aldo yang terlihat tegang bisa rileks.
"Saya baik baik saja Pak...sekarang mana dokumen yang bapak mau tanyakan?"
"Oh...ya dokumen..." Aldo terburu buru bangkit dan akhirnya kaki panjangnya tersangkut di kaki meja, hampir saja ia tersungkur jika Hana tak segera menahan lengannya.
"Hati hati Pak...." Awalnya Hana berusaha menahan tawanya dengan melipat bibirnya, tapi ia tak tahan akhirnya ia tertawa lepas melihat Aldo yang hampir jatuh tadi.
Aldo pun akhirnya tertawa bersama Hana. Aldo berusaha menarik Hidung Hana dan Hana segera berkelit dan berhasil mencubit lengan Aldo dengan sukses.
Hana kembali tergelak melihat Aldo yang terpekik menggosok lengannya yang cukup perih.
Aldo menghempaskan dirinya ke kursi kerja Favoritya. Ia juga terkekeh, lega tepatnya. Hana terlihat tak lagi marah. Dan jujur ia cukup terpesona dengan tawa Hana yang jarang sekali terbit.
Aldo menyerahkan dokumen yang ingin ia tanyakan tadi dan Hana seperti biasa menjelaskan nya dengan baik.
**************
"Ingin mempersulit proyek ini? Atau supaya Dika bisa lama ditempat ini?"
Hana menghentikan langkahnya, tanpa menoleh ia tau siapa yang berbicara dibelakangnya. Ia tak mau berdebat, ia memutuskan meneruskan Langkahnya. Jam sembilan malam, tapi ia harus menyelesaikan sesuatu.
"Sebaiknya lupakan masa lalu, move on..dan biarkan keluarga itu bahagia selamanya..." Ia tau Eko mengikuti langkahnya.
Hana terus saja melangkahkan kakinya, ia mengerti Eko tidak tau bagaimana kisahnya.
"Wanita seharusnya menjaga harga dirinya...karena..."
Hana tiba tiba berbalik dan Eko hampir saja terjatuh karena tak siap.
"Kamu punya nomer telepon istrinya Dika? telepon dia dan tanyakan dimana sekarang ia berada..."
Eko bisa melihat kilat kemarahan diwajah Hana, dan sorot menantang dari mata itu.
"Kamu teman dekatnya bukan? Kamu bisa tanya dia dimana?"
"Apa maksudnya ? Kamu pikir kamu siapa bisa menyuruh saya ?"
"Saya wanita yang tau menjaga kehormatan saya, bahkan menjaga kehormatan orang yang sudah menghianati saya...jangan pernah menuduh saya tanpa anda tau siapa saya..."
Eko mengeraskan rahangnya.
"Anda sudah tau denah Rumah Puncak Tujuh? segeralah kesana, siapa tau kamu ketemu dengan wanita terhormat yang kamu banggakan itu...." Hana segera berbalik, ia cukup kesal karena terpancing jugaboleh kata kata Eko yang menurut Hana sudah sangat keterlaluan.
Ia segera mempercepat langkahnya, tak mau lagi ia berhadapan dengan pria picik itu.
"Apa maksud anda?"
Kini Eko menghadang jalannya.
Hana menghela nafasnya, sungguh Pria ini tak tau malu.
"Maksud saya jelas,jika bicara tentang harga diri dari wanita terhormat yang ada sebut tadi, coba telepon dia tanya dia dimana...."
"Tidak usah berbelit Belit, jelaskan saja..." Wajah itu memerah menahan marah.
Dan Hana tak bisa menahannya lagi. Ia tatap mata Eko dengan pandangan berapi api. Cukup sudah, jika memang malam ini semua akan terbongkar,ia tak peduli.
"Dia sedang bersama selingkuhannya di rumah Puncak Tujuh Bapak Eko yang terhormat, itu mengapa saya tadi tidak setuju jika besok kalian ada disana..."
Eko pias
"Saya sedang menuju kesana, melaksanakan prosedur Check out , jika bapak mau bisa ikut dengan saya dengan catatan anda tetap berada didalam mobil. dan buktikan kalau saya salah atau benar..Pak Aldo sudah tau dan meminta mereka keluar...selanjutnya terserah anda, saya tidak mencampuri urusan rumah tangga orang lain...kalau anda kan sahabat mereka..terserah anda apa yang akan anda lakukan..."
"Kamu..."
"Permisi..." Hana menaiki mobil yang sudah menunggunya.
Membiarkan Eko yang masih shock dengan apa yang baru didengarnya.
Secepat kilat Eko berlari dan melopat naik disisi Hana.
Supardi, supir mobil itu terkejut melihat ada orang lain selain Hana yang masuk ke mobil. Lalu ia menoleh ke arah Hana.
"Jalan Di, dia sama saya.."
Supardi mengangguk dan melajukan mobilnya dengan tenang. Dan Sepanjang perjalanan hanya ada ketegangan yang Menguasai.
Akhirnya mereka sampai ditujuan. Mobil pun berhenti
"Anda tetap berada disini, saya yang akan masuk, anda bisa melihat Deasy saat ia keluar dari Rumah..Jika anda berani keluar dan membuat keributan, maka taruhannya adalah pekerjaan saya, saya akan langsung dipecat!"
Hana menatap Eko dengan wajah serius.
Eko hanya diam.
Hanya sepuluh menit tapi terasa sangat lama. Eko menanti dengan peluh Dikeningnya. Berdoa agar apa yang dikatakan Hana adalah kebohongan semata.
Dan harapannya musnah. Ia melihat Deasy di pintu Rumah Puncak Tujuh, sedang memegang ponsel dan tangan satunya menjinjing tas tangan.
Meskipun wanita itu mengenakan kaca mata hitam dan kepalanya ditutup pasmina Eko mengenal wanita itu.
Wanita yang diam diam dicintainya.....
Hatinya patah..
Perlahan diambilnya ponselnya sendiri lalu menghubungi nomer yang ia hafal diluar kepala
Dan bibirnya tersenyum getir melihat ponsel wanita itu menyala seiring nada sambung berbunyi.
"Halo....."
Eko hanya bisa menggenggam Ponselnya dengan erat. Seakan ia bisa menghancurkan nya.
" Eko...?"
Eko tak sanggup berbicara. Lalu ia mematikan sambungan itu. Dan Deasy terlihat memperhatikan poselnya dan kemudian mengetikkan sesuatu, dan ponsel Eko berdenting, muncul notifikasi pesan.
Ada apa Ko?
Jika ini mimpi, Eko akan melupakannya, tapi ini kenyataan yang sungguh pahit.
=============
Hana mengulurkan secangkir kopi yang terlihat masih mengepulkan asapnya pada Eko. Pria itu menerima cangkir itu dengan gerakan tangan yang terlihat enggan, tapi sungkan jika tidak mengambil dan juga merasa dia membutuhkan sesuatu yang hangat dalam cuaca sedingin ini, tapi masih ia sempatkan menggumamkan kata kata terimakasih atau cuma decihan, entahlah tapi Hana tak terlalu memusingkan hal itu.
Ia tau jika Eko tengah kalut dengan hal yang ditemui nya tadi. Mungkin karena itu secara tak sadar Eko mengikuti kemana pun Hana melangkah tadi. Eko berjalan seperti anak ayam kehilangan induk. Hana tak bisa melarang.
Dilain sisi ia lega bisa berbagi rahasia dengan orang lain, meskipun dilain pihak sebenarnya tak ingin Eko tau, tapi pria itu berhasil memancing emosinya.
Berbeda dengan Aldo, pria itu tak punya hubungan emosional dengan kasus ini. Gading dan Aldo hanya rekan bisnis.
Aldo hanya merasa tak enak dengan Hana karena mengambil keputusan sepihak tanpa melibatkan Hana. Hanya sebatas itu saja.
Mengenai dua orang yang berselingkuh itu, Aldo memiliki prinsip bahwa setiap orang yang sudah dewasa sudah seharusnya memikirkan segala sesuatu sebelum mengambil keputusan.
Berbeda dengan Hana dan Eko yang mengenal keduanya, meskipun dengan cara yang berbeda tapi Hana yakin mereka berdua punya alasan yang sama.
Mencintai sepihak.
Ia bisa melihat mata sendu milik Eko. Bukan seperti tatapan sahabat yang kecewa, tapi lebih ke tatapan kekasih yang patah hati.
Hana tersenyum miris.
Dan disinilah mereka berdua sedang duduk diteras rumah dinas Hana. Salah satu fasilitas yang bisa Hana terima dari perusahaan adalah rumah.
Menguntungkan kedua belah pihak, Hana terbantu dengan tidak pusing memikirkan tempat tinggal dan perusahaan bisa memaksimal kan kinerja karyawan mereka. Kapanpun dibutuhkan, akses karyawan dengan mudah didapatkan.
"Maaf saya harus membuat Mas Eko akhirnya tau tentang ini.." Hanya kalimat itu yang menurut Hana pantas untuk ia ucapkan setelah sekian lama mereka terdiam
"Tidak, saya yang keterlaluan mendesak kamu...,maaf..."
Tak ada nada sinis lagi dalam suara itu, lebih ke sebuah kekalahan? Mungkin. Hana juga lelah jika harus ikut memikirkan hal itu.
"Saya serahkan pada Mas Eko sepenuhnya tentang Masalah ini...Mas Dika tidak akan mendengar apa pun dari saya.."
Setelah berkata demikian Hana berdiri, ia benar benar lelah dan ingin istirahat. Selain itu ia merasa ia tidak terlalu kenal dengan Eko dan tidak punya bahan untuk berbincang, satu satunya hal yang menghubungkan mereka adalah Dika dan Deasy, dan ia tidak mau membahas kedua orang itu. Ia telah menutup bagian itu dari hidupnya.
"Maaf Saya tinggal ya mas, saya duluan istirahat, selamat malam"
Hana beranjak masuk dan menutup pintu tanpa menunggu balasan dari Eko. Karena mereka tak perlu berbasa basi, perkenalan mereka sebatas tamu Resort, tak lebih.
Eko hanya terdiam, ia tak berharap Hana akan berbaik baik dengannya. Ia cukup menghargai ketika Hana mencoba menutupi perihal perselingkuhan itu.
Jika Hana memang seperti dugaan awalnya ingin mengambil perhatian Dika, harusnya Hana senang jika Deasy ketahuan.
Tapi bahkan Hana rela bertengkar dengannya agar Dika tak melihat penghianatan istrinya.
BAB 13
Lo kemana tadi sama Hana?"
Pintu kamar yang baru saja dibukanya memuntahkan Dika dengan nafas memburu.
Eko yang tak siap terjajar mundur karena Dika mendorong bahunya.
"Budi bilang Lo tadi ngejar Hana..." Tuntut Dika yang semakin marah karena Eko hanya diam. Dika benar benar cemas jika Eko mengusik Hana lagi.
"Lo jangan gangguin Hana..." Dika menunjuk Eko tepat di wajahnya.
Kini Eko yang malah heran mengapa Dika seemosi itu?. Harusnya jika Dika telah move on, tak juga harus seperti itu reaksinya kan?.
Eko hanya menggedikkan bahunya memilih mengabaikan Dika. Hatinya masih kacau dengan apa yang dilakukan Deasy. Sebuah perselingkuhan!. Eko sungguh tak habis pikir.
Ditinggalkannya Dika yang terlihat sangat penasaran.
Ia membuka pintu kamar yang menghubungkan ke Balkon. Membiarkan udara sesak dikamar keluar berganti udara luar meskipun membuatnya menggigil.
Terlebih suasana hatinya yang cukup buruk membuatnya tak punya tenaga untuk meladeni Dika, yang seperti dipenuhi cemburu.
Wait? Cemburu?
Halah...
Eko meraih kotak putih dari saku kemejanya, meraih pemantik api, dan menyulut rokok untuk menghalau resah.
Tak lama ia merasakan kursi single disebelah nya terisi dengan hempasan tubuh Dika. Eko menghembuskan asap rokok yang sedari tadi ia nikmati.
Dengan Dika yang duduk Disebelah nya membuat kilasan kilasan pekerjaan mereka setelah dua hari ini muncul lagi. Eko sungguh merasa kesal pada tingkah Dika yang seperti orang bodoh.
Bagaimana Dika yang selalu tersenyum jika Hana bergabung bersama mereka. Dika yang tak melepaskan pandangan matanya saat Hana memberikan penjelasan mengenai spot spot terbaik resort ini.
Kadang Dika lupa menutup mulutnya ketika Hana seperti seorang ibu yang memperhatikan semua kebutuhan tim mulai dari makanan dan bantuan dari tim resort. Hana yang luwes dan ramah memastikan semua kebutuhan mereka terpenuhi.
Hana yang tegas tentang sebatas mana hak mereka dalam pengambilan gambar. Dia memang wanita paket komplit, bahkan kini Eko mengakuinya. Dan itu membuat Eko waspada, ia curiga jika Hana sengaja tebar pesona pada Dika.
Dengan berat hati Eko mengakui bahwa bukan hanya Dika saja yang mengagumi Hana, Budi tentu saja tidak usah diragukan, dia pemuda Hana nomer satu,tetapi juga anggota tim yang lain juga menyukai Hana.
Hana sosok wanita yang tidak akan di goda dengan cara cara yang biasa dilakukan para pria. Akan ada rasa sungkan ketika ingin menggodanya, sehingga malah terlihat semua pria mmeperlakukannya dengan sopan. Hana terlalu mempesona untuk sekedar di goda hei cantik,atau hei manis..
Hana lebih dari itu. Banyak yang lebih cantik dan menggoda, tapi Hana berbeda. Bahkan Budi yang mulutnya biasa tanpa sensor, jika di depan Hana mulutnya bagai lulusan sekolah kepribadian.
Dan Pria bodoh yang duduk disamping nya kini adalah contoh pria yang menaruh hormat pada Hana.
" Dulu gue harusnya menikah dengan Hana...."
Eko tersedak dengan asap rokoknya sendiri.
What?
Eko hanya mengira hubungan Dika dan Hana hanya sebatas sepasang kekasih saja. Tidak sampai punya rencana menikah.
"Semua sudah siap, undangan sudah disebarkan, Gedung, semua sudah lengkap tinggal menunggu hari"
Bangsat!!
Perih banget dadanya.
Eko terbatuk batuk dengan hebat.
Tapi Sungguh, ucapan Dika tadi seperti Bom yang meledak dikepalanya. Ia belum tau tentang hal ini.
Dika hanya menghela nafasnya yang terasa berat. Tiada sedikitpun niatannya membantu temannya yang terbatuk batuk dengan parah.
"Sepuluh hari menjelang pernikahan kami, gue dengan brengseknya datang ke rumah Hana dan mengatakan kalau gue ngga bisa menikah dengan dia...."
Jantung Eko seakan jatuh ke perutnya. Dirinya yang awalnya sedang tak ingin melihat Dika sontak menatap Dika dengan tatapan ngeri.
Ia tak percaya dengan apa yang didengarnya.
"Gue...memilih Deasy.." Dika menatap ke langit malam dengan sendu. Rasa kelat ditenggorokannya seakan menahan aliran nafas yang seharusnya lancar.
"Tiga hari kemudian Hana pergi menghilang, dan meninggalkan surat untuk Ayahnya yang menyatakan jika dia membatalkan pernikahan kami karena ia memilih menikah dengan pria lain......
"Hana mengambil alih kesalahan gue..."
Mau ngga mau Dika harus menjelaskan ini pada Eko, agar Eko berhenti menganggu Hana.
"Karena Hana tau gue akan dapat masalah besar dengan pembatalan pernikahan kami, dan keluarga besar gue sendiri pasti akan menentang keinginan gue, karena dari awal mereka ngga setuju gue dengan Deasy..
Dan bangsatnya gue diam...
membiarkan hal itu terjadi...
membiarkan kesalahpahaman itu sampai sekarang..
membiarkan Hana yang menanggung kesalahan "
Dika berdiri dan memasukkan kedua tangannya kedalam saku calana. Ia menundukkan kepalanya, kalah. Ia menyadari kalau selama ini ia lari dan sembunyi. Mencoba melupakan kesalahan nya dimasa lalu. Tapi ia gagal. Setiap hari rasa bersalah itu menggerogotinya tanpa ampun.
"Gue ingat bagaimana Ayahnya datang dengan rasa malu yang tidak seharusnya beliau pikul, memohon maaf dihadapan semua keluarga gue,
Sampai sekarang gue ga bisa lupa raut wajah Ayah yang pilu karena mengira putrinya telah membuat malu banyak orang..."
Eko bisa mendengar suara Dika yang bergetar.
"So....Hana adalah malaikat..ngga pantas dapat penilaian buruk dari lo...bahkan dari siapa saja, gue yang bangsat disini...bahkan jika lo tau bagaimana perjalanan hidup Hana, lo ngga bakalan sudi berteman dengan gue..."
Eko kehilangan kata katanya. Bahkan sampai sekarang pun Hana tetap melindungi Dika. Melindungi si bangsat Dika dari penghianatan orang yang telah dipilihnya.
Bahkan kini Eko pun bukan hanya kecewa dengan Dika, tapi juga kecewa dengan Deasy yang tak menghargai pengorbanan Hana. Bukan kah Dika bilang jika Deasy tau tentang Hana?.
"Gue hidup dalam rasa bersalah dan malu yang besar Ko...
Tapi gue ngga mau menyiakan- nyiakan pengorbanan Hana, Gue menghormati pernikahan gue, memastikan istri dan anak gue tercukupi, memastikan mereka mendapatkan semua kebutuhan mereka, gue menjaga keluarga kecil gue dengan sepenuh hati..jadi lo jangan pernah berfikir gue akan menghianati Deasy..cukup Hana yang gue sakiti...cukup sekali gue bodoh dan brengsek"
Entah bagaimana Eko harus menanggapi ini. Ia tahu betul dedikasi Dika untuk keluarganya. Bagaimana Dika membangun perusahaan PH ini dengan gigih. Mencari proyek yang menjanjikan, mengembangkan seluruh kemampuannya untuk membuat Starlight PH sejajar dengan PH raksasa yang sudah punya nama, dan mereka semakin hari semakin diperhitungkan.
Dan tak habis ia menyesali Deasy yang berselingkuh. Apa kurangnya Dika sebagai suami dan seorang Ayah?. Dika yang sangat menyanjung Kay putrinya, melimpahinya dengan rasa sayang yang besar. Semua orang bisa melihat bagaimana Dika memuja keluarganya.
Eko merasa nafasnya sesak. Ia merasa terbelit dengan kenyataan yang baru ia tau.
Hana....
Masih ada orang sebaik dia?. Terbuat dari apa hati wanita itu?. Eko merasa kesal dengan dirinya sendiri, dan ia sangat tau kini ia muak dengan Dika, muak dengan Deasy.
Eko menghembuskan asap rokok kelangit. Merayakan kebrengsekan hidup.
Dan ia mendengar suara pintu yang menutup. Eko tersenyum sinis pada malam.
Perselingkuhan Deasy membuatnya seakan menggenggam bara api.
Suck!
*********
Eko menatap wanita yang tengah, berdiri membelakanginya. Rambut panjangnya dibiarkan terurai, sweater berwarna khaki membalut tubuhnya dengan sempurna.
Hana...
Berdiri dengan membelakangi cahaya matahari pagi membuatnya seperti seorang peri. Hana Cantik dengan semua yang ada dalam dirinya.
Eko bisa melihat Hana sebagai wanita yang kuat sekaligus lembut. Wanita yang memiliki dedikasi tinggi untuk semua yang dikerjakannya.
Semua tim sedang sibuk mempersiapkan setting. Hana dengan tekun memperhatikan setiap detil kegiatan. Bergerak kesana sini mengatur timnya.
"Oii...ingat anak istri Mas..."
Eko menoleh malas ke arah Budi yang tengah menenteng kameranya.
"Lo jangan bilang juga naksir Bu Hana ya ..., enough! Bu Hana bagian gue mas..."
Eko hanya mendengus sebal. Pagi ini moodnya sungguh sungguh buruk. Dika yang sedari tadi tidak fokus membuatnya harus mem back up pria itu.
"Mas Dika kenapa ya ? dari tadi mirip zombie...ngga ada jiwa, cuma raga aja yang tersisa disini..." Gerutu Budi yang juga terkena imbas dari kurang fokusnya Dika.
Beberapa hal harus diulang ulang membuat pekerjaan jadi lebih lambat, untung mereka masih dapat angel bagus untuk sunrise yang memang menjadi target utama mereka.
Eko hanya menggedikkan bahu. Matanya kembali melihat Rumah Puncak tujuh tempat Deasy dan selingkuhannya menginap.
Rasa marah membuatnya ingin memutar waktu dan membiarkan Dika melihat Deasy berada satu kamar dengan pria yang bukan suaminya.
Eko tak habis pikir, bagaimana Deasy bisa berbuat rendah seperti itu.
Entah bagaimana ia bisa menghadapi Deasy nanti. Dan terselip rasa kuatir Deasy memberi pengaruh buruk pada istrinya. Eko tau Dania sangat Dekat dengan Deasy.
Ia mengehembuskan nafasnya kasar.
Eko mulai berpikir, jangan jangan kalau Kay dititip dirumah mereka karena Deasy ingin ketemuan dengan selingkuhannya, bukan
Karena ada acara kantor, aish!.
Mulai sekarang ia mesti hati hati dengan Deasy. Ia sudah tak percaya lagi, ia kehilangan respectnya.
Dan Dika si brengsek itu, bagaimana ia bisa membatalkan pernikahan dan membiarkan Hana menanggung semuanya?.
Berkali kali ia memutar fakta fakta ajaib itu dalam pikirannya. Dan sampai pagi ini pun Eko tak bisa membayangkan ada yang sanggup melakukan hal keji seperti itu. Dan bagaimana Hana masih bisa waras menghadapinya?.
"Eh, kalo diperhatikan Lo juga dari pagi lesu banget Mas...ada apa dengan kalian??" Cecar Budi
"Lo urus dulu kerjaan lo itu Bud...jangan ngurusin gue..."
"Yaelah...nge gas aja Mas...." Sungutnya langsung berdiri dan menjauh, ia sudah hafal dengan apa yang akan terjadi jika ia bersikeras tetap duduk disana.
Tak sabar rasanya Budi melewati status Junior di PH ini.
Cape lahir batin tsk!.
Tapi ia tau senior seniornya itu banyak sekali membantunya, tak pelit ilmu dan sangat perhatian padanya, meskipun dibalik dengan kata kata tajam dan beban kerja yang cukup padat, tapi ia tau senior seniornya itu mensupport nya luar biasa.
Dan semua berlangsung seperti biasa. Semua tim berusaha mengejar tenggat waktu yang telah ditentukan.
Semua berkoordinasi dengan baik. Hana juga sangat kooperatif. Tak terlihat cangung yang harusnya ada jika memperturutkan hati. Tapi Hana tetap bersikap profesional, bahkan ketika berkoordinasi dengan Dika, Hana terlihat sangat profesional.
Hanya keduanya yang paham bagaimana kondisi hati mereka masing-masing.
Dika yang mungkin lega karena Hana terlihat baik baik saja dan kini hidup dengan bahagia?. Dengan karir yang cukup menjanjikan. Dan ia tidak melupakan perhatian special Aldo pada Hana. Ia yakin Aldo pria baik yang layak untuk mendampingi Hana.
Sementara Hana yang menyembunyikan rasa sedih ketika tau Pria yang dulu ia lepas dengan ikhlas, di khianati oleh wanita yang dipilihnya sendiri. Apakah akan berbeda ceritanya jika ia dulu menolak permintaan Dika? Apakah mereka akan bahagia jika Hana tetap mempertahankan Dika?.
Ia tau ia bisa dengan mudah membuat Dika tak bisa lari dari pernikahan mereka. Seluruh keluarga Dika pasti akan memihak dirinya, karena sedari awal Deasy bukan pilihan mereka.
Dengan naifnya saat itu ia hanya memikirkan kebahagiaan Dika. Karena seumur hidupnya ia sudah biasa menjadi orang yang tidak diinginkan, tidak dipilih...jadi ketika Dika tidak memilihnya Hana otomatis menerima.
Kini apakah ia salah ketika Deasy ternyata menghianati Dika?.
Apakah ia menyesal dengan keputusannya?
Pengorbannya sia sia?
Hana masih ingat Bagaimana dulu ia jatuh bangun dari keterpurukannya. Menahan rasa sakit dan benci pada diri sendiri karena kemalangan demi kemalangan yang tak kunjung pergi dari hidupnya?.
Ada rasa perih ketika ia melihat Dika yang kini di depannya, pria itu tak tau jika wanita yang dipilihnya lima tahun lalu tengah berbuat curang.
Hana menjauh dari Lokasi shooting ketika ia melihat semua kru sudah mulai merapikan peralatan mereka.
Ia merasa tenang karena tak lama lagi proyek ini selesai dan semua mereka akaknkembali ketemoat masing-masing. Hana akan menjalani kehidupannya seperti biasa.
Rahasia tentang Deasy akan tetap menjadi rahasia ditangannya. Entah bagaimana Eko menyikapinya.
Ia berharap Eko bisa menasihati Deasy atas tindakannya yang melewati batas. Hana berharap mereka akan baik baik saja.
Hana yakin dirinya juga akan baik baik saja. Toh selama ini ia semakin baik baik saja.
Hidup ini berjalan maju bukan mundur. Jika saat ini ia seolah diingatkan kembali dengan masa lalunya. Mungkin Tuhan ingin agar dirinya lebih tulus lagi dalam memaafkan masa lalunya.
" Bu Hana......"
Hana sontak menoleh dan menjumpai seraut wajah tengil dengan cengiran khasnya.
"Sendirian saja? Boleh saya yang menemani ibu?" Sungguh manis mulut Budi hari ini. Ia kapok mengajak seniornya ngobrol semua sepertinya mode senggol bacok. Untung matanya tadi menangkap sosok wanita yang memang menarik atensinya. Dengan segera ia berlari mensejajari langkah Hana wanita yang mempesona dirinya.
Hana tertawa dan mengangguk, melanjutkan langkah kakinya menuju mobil yang sudah menunggunya.
Pria muda disampingnya ini cukup menghibur dengan kata kata nya yang seringkali 'ajaib', tapi Hana menyukainya. Ia seperti menemukan sosok seorang adik pada diri Budi. Dan tentu saja bukan begitu yang dipikirkan Budi.
Hana hampir saja merasa mulutnya cukup pegal karena Budi tak henti hentinya menceritakan hal hal konyol selama ia bekerja di Starlight PH.
Mereka Tiba di depan Lobby, dan Budi dengan segera membukakan pintu bagi Hana. Hana mengucapkan terimakasih dan segera menuju ke lantai dua dimana ruagannya berada, sementara Budi berbelok ke kiri menuju lift yangbakan membawanya ke lantai dimana kamarnya berada.
Dan begitu Hana melangkahkan kakinya di lantai dua, didepannya terlihat pemandangan yang membuatnya berhenti melangkah. Aldo tengah digandeng mesra oleh seorang wanita yang sangat cantik.
Mereka tengah mengobrol dengan posisi badan yang hampir dikatakan berdempetan. Sang wanita mengusap rambut Aldo yang memang mulai memanjang. Dan terlihat Aldo masih saja tertawa dengan wajah sumringah.
Posisi Aldo membelakangi Hana, jelas pria itu tak menyadari kehadirannya. Berbeda dengan sang wanita yang sedari tadi memang menyadari kehadiran Hana. Dengan wajah penuh kemenangan wanita itu menatap Hana.
Hana menganggukan kepalanya dan segera menuju ke arah sebaliknya, dimana ruangannya berada.
Sungguh ia tak mau ada drama lagi dalam hidupnya.
Cukup dengan Dika, selanjutnya Hana hanya ingin tenang.
BAB 14
Dika memandangi langit malam, ia suka memandangi bintang bintang yang bertaburan dengan komposisi yang menakjubkan, meski hanya posisi acak tapi tetap saja mebentuk susunan luar biasa.
Dika juga suka dengan kilau warna putih kecil yang berada dilangit malam itu. Dika dengan mudah menemukan rasi bintang.
Kadang Dika menemukan pola yang menyerupai suatu bentuk dan ia akan menelusuri pola itu dengan jari telunjuknya, membentuk garis khayal yang hanya dirinya yang tau.
Ralat..Hana juga tau.
Dengan tepat Hana bisa menebak pola apa yang Dika buat dengan jari telunjuknya. Awalnya Dika tak percaya, tapi setelah gadis itu melanjutkan garis khayal itu Dika mau tidak mau menjadi takjub.
Dika yang dulu mengira dirinya aneh, sejak itu menganggap dirinya tak lagi aneh, setidaknya jika itu memang aneh, ia tak sendiri saja yang aneh kan?
Dika tersenyum sendiri, mungkin juga sebenarnya bukan senyuman yang membuat bibirnya bergerak, tapi ia lebih ke arah meringis.
Karena gila saja seketika ini juga dirinya teringat akan raut bahagia Hana, ketika gadis itu tertawa kesenangan saat tau dirinya bisa menebak pola yang Dika temukan dilangit yang tak berbatas itu.
Mata itu akan menyipit membentuk bulan sabit, kerinyitan lucu dipangkal hidung mungil itu, dan suara tawa yang tak terlalu keras, tapi sangat nyaman ditelinganya.
Semakin lucu sesuatu, semakin Hana menutup mulutnya, dan membungkuk untuk menahan suaranya agar tidak lepas.
Ketika Dika bertanya alasannya, Hana memberikan jawaban yang membuat Dika ingin memeluk Hana dengan erat. "Ibu ngga suka kalau aku tertawa, ngga pantes katanya, aku ini sumber ketidakbahagiaan keluarga..".
Dika menyugar rambutnya dengan frustasi. Begitu mudah ia dulu menjanjikan akan membawa Hana pergi dari rumah itu dan akan memberikan kebahagiaan padanya.
Dan disinilah dirinya sekarang, menjadi seseorang yang bahkan lebih kejam dari sang ibu tiri.
Dihembuskannya asap putih yang sesekali masih ia nikmati jika mulai frustasi. Dan hal itu semakin sering ketika Dika dan Jatra mulai membangun Starlight PH. Ketika semua tak selalu berjalan dengan lancar, kepulan asap lebih sering menemaninya.
Beban kerja yang besar membuatnya bisa bertahan sejauh ini. Membuatnya bisa waras dari 'sesuatu' yang selalu mengikutinya tanpa lelah.
Dika berada dibalkon restoran, hampir semua orang sudah masuk ke kamar masing masing dan ia ingin sendiri.
Revan dengan beberapa kru sedang menonton siaran pertandingan siaran langsung sepak bola dikamar mereka dengan volume suara yang membuat orang mengira tengah berada di stadion bola.
Dika bukan penggemar Bola,jadi ia memutuskan untuk berada di tempat ini. Dan ia memang butuh waktu untuk sendiri.
Matanya menyusuri hamparan taman dibawah, memandang sepi kamar kamar penginapan yang berjejer rapi. Ia langsung merasa akan sangat menyenangkan tinggal dilingkungan seperti ini. Dan menurutnya Hana pasti suka berada ditempat ini.
Tiba tiba matanya menangkap punggung seseorang yang tengah memenuhi pikirannya. Waktu seakan berhenti ketika matanya mengikuti sosok itu.
Bertahun lalu ia sering memandanginya dari belakang ketika mengantarkannya ke kampus atau ke kantor ia akan pergi setelah memastikan sosok itu sampai dengan aman dan setelah punggung wanita itu sudah tak terlihat lagi.
Memori itu membuatnya tersenyum tipis. Bahkan sampai hari ini Hana tak hilang dari pikirannya. Sosok itu terus berjalan dengan tenang.
Ya...Hana selalu terlihat tenang, semua langkahnya selalu diperhitungkan, semua kata dan ucapannya juga selalu bertutur kata yang santun dan lembut, yang membuat mamanya sangat menyukai Hana.
Juga dengan lara yang harus gadis itu hadapi, membuat mama seakan wajib memberikan kasih sayang yang hilang dari hidup Hana. Layaknya seperti anak kandung, demikian Hana di hati mama.
Bahkan Dewi kakak iparnya sangat menyukai Hana. Hingga tak mudah bagi mereka melupakan Hana dan tetap menyimpan harap Hana akan kembali dan menyimpan keyakinan jika Hana tak mungkin seperti itu, meninggalkan Dika karena pria lain.
Tapi waktu terus berlalu setelah Hana pergi, dan Dika terus merajut kebersamaan nya dengan Deasy, mungkin hal itu membuat mama merasa kasihan akan Dika.
Akhirnya melepas restu untuk anaknya dengan wanita yang sejak awal ada dihati Dika.
Meskipun Dika bisa tau senyum mama untuk Hana jauh lebih bahagia dibandingkan senyum untuk Deasy.
Dika melanjutkan hidupnya dengan wanita yang dipilihnya,dengan terus berusaha melupakan sesuatu yang masih mengganggu langkahnya.
Dika belum memberikan perpisahan yang pantas untuk Hana, ia belum meluruskan segala prasangka orang untuk Hana. Itu yang selalu menahan langkahnya.
Berkali ia ingin jujur, tapi rasa malu dan rasa takut akan kekecewaan papa dan mama, membuat Dika semakin kerdil.
Pertemuan ya dengan Giselle bertahun yang lalu, tak membuat rahasia Dika terbongkar.
Dika yakin jika Giselle belum menceritakan pada Ayah dan Ibu, karena setiap bertemu, Ayah selalu baik padanya. Itu yang membuat Dika memilih pergi dari kota itu.
Ia tak sanggup menatap Ayah setiap mereka bertemu. Lingkup kerja yang hampir sama membuat mau tak mau ia sering bertemu dengan mantan calon mertuanya itu. Ayah akan selalu menepuk pundaknya, memberikan senyum tulus dan selalu mendoakan kebahagiaannya. Dika merasa tak bisa bergerak dan bernafas dengan lega jika terus berada disana.
Memutuskan untuk serius dengan hobi sinematografinya, Dika membangun Production housenya sendiri. Ia memilih resign. Meskipun Papa dan mama nya kurang setuju, tapi sampai Saat ini ia bisa buktikan jika usahanya tak sia sia.
Sungguh ia tak menduga jika bisa bertemu dengan Hana ditempat ini. Dan Dika sadari jika rasa bersalahnya ternyata belum sembuh, masih seperti awal ketika luka itu menganga.
Ingin ia melajukan kakinya berlari mengejar pemilik punggung itu. Tapi ia tak mampu. Ia belum bisa menatap mata itu, tenggorokannya mendadak kering jika berhadapan dengan Hana.
Seperti saat ini, tangannya mencengkram erat teralis besi pembatas. Ada banyak kata ingin terlontar, ada banyak skenario yang sudah disusun dalam kepalanya, tapi semua runtuh ketika berada dihadapan Hana.
Tiba tiba ia melihat seorang pria bergegas menuju ke arah Hana menghilang tadi. Dengan seikat bunga ditangannya. Dan Dika tau siapa pria itu.
Aldogera.
Ia bisa melihat pria itu selalu berada disekitar Hana. Ia bisa melihat perhatian istimewa yang diberikan pria itu. Meski jauh disudut hatinya ada sesuatu yang mengusik, tapi logikanya mengatakan jika Hana berhak dapat bahagianya.
Dan ia tulus berharap Aldogera adalah seseorang yang tepat untuk wanita seperti Hana.
Tapi ia berjanji pada dirinya sendiri. Ia akan meminta maaf dengan pantas pada Hana dan seluruh keluarganya.
Ia lelah terus menghindar. Tak ada yang menuntutnya, hanya nuraninya yang tidak tenang. Rasa bersalah itu menggerogotinya sampai kedalaman yang ia sendiri tak bisa ukur. Ia bahagia, hanya saja kebahagiaan itu seolah tak pernah sempurna.
***************
Aldogera mengetuk pintu dengan senyum yang tak bisa ia tahan. Meskipun baru kemarin ia tak bertemu Hana, tapi rasa rindunya begitu membuatnya gila.
Ia baru saja sampai, tas nya masih berada dalam mobil. Begitu sampai di parkiran Rumah Puncak Ia langsung menuju ke rumah dinas Hana. Tak lupa ia membawa bunga anggrek kala yang ia beli dari salah satu kebun bunga yang ia lewati.
Pintu terbuka, seraut wajah yang terlihat lelah meyembul dari balik pintu.
"Pak Aldo?...". Wajah Hana terlihat heran.
"Anya...saya bawakan ini untuk kamu..." Aldo mengulurkan buket bunga yang dibawanya, sambil tak lupa memasang senyum terbaiknya.
Hana juga tersenyum, menerima Anggrek kala itu, dan membuat Aldogera bahagia, meskipun ia tau senyum itu bukan seperti senyumnya, senyum itu terlihat terpaksa. Tapi tetap saja itu tidak mengurangi kecantikan Hana dimatanya.
"Kamu sepertinya lelah sekali Hana, ya sudah kamu istirahat, saya hanya mau memberikan bunga ini, dan mau melihat wajah kamu sebelum saya juga istirahat..."
Hana menggelengkan kepalanya, geli dengan ucapan Aldo barusan,. Dilihatnya kembali wajah atasannya itu. Dan hanya dia yang diberi kesempatan istimewa melihat ekspresi Aldogera yang seperti sekarang. Wajah bocah dengan mata berbinar, dan rambut yang sudah berantakan, pria itu kelihatan manusiawi.
"Duduk Pak, saya ambilkan wedang jahe, kebetulan tadi saya sedang buat...tunggu sebentar ya..."
Mata berbinar itu semakin bersinar. Tak lagi senyum tapi berubah menjadi tawa kecil.
"Terimakasih Anya...saya pasti tunggu...."
Hana berlalu dan membiarkan pintu terbuka, membiarkan Aldogera duduk di kursi teras seperti biasa.
Hana belum pernah mempersilahkan Aldo untuk masuk ke dalam rumahnya. Meskipun kadang ia sungkan Karena bagaimana pun Aldo adalah pemilik seluruh property Rumah Puncak, tapi Hana tau Aldo menghormati hal itu. Pria itu cukup puas walau hanya duduk di teras saja.
Tak lama Hana keluar membawa dua mug berwarna biru, ia menyerahkan salah satunya pada Aldo.
"Masih panas pak...jangan langsung diminum..."
"Terimakasih Anya...saya memang lagi tidak terburu buru...tapi jika saya menganggu, kamu boleh masuk...saya akan disini saja sendiri..."
Hana tersenyum lagi. Aldo selalu memperlakukan nya dengan baik dan sopan.
"Ngga lah Pak...saya juga tidak keberatan bapak ada disini..."
"Hmmmm...." lalu Aldo meniup niup asap yang mengepul dari mug biru itu.
"Bagaimana seharian ini Anya...?"
"Semua aman pak..."
"Bagaimana PH dari starlight? Besok hari terakhir mereka ya...?"
"Iya Pak...mereka sudah check out lusa...masih ada shooting besok sampai malam..."
"Ummm...bagaimana dengan Pak Dika...kita su..."
"Itu bukan bagian kita lagi Pak, yang penting kita sudah lakukan apa yang kita bisa cegah...". Hana tidak tau apa yang mereka lakukan itu baik atau tidak.
Aldogera mengangguk. Artinya Hana tidak mau membahas siapa Dika, bagaimana Hana bisa kenal, dan lain lain yang membuatnya penasaran.
Jadi Aldo menahan dirinya untuk tidak bertanya lebih jauh.
Ia memutuskan kasus perselingkuhan itu sudah tidak lagi menjadi urusannya dan memang bukan urusan mereka.
Aldo tipe orang yang berpikir bebas. Setiap tindakan yang dilakukan oleh orang dengan usia dewasa, seharusnya sudah dipikirkan dengan baik, dan harus siap dengan resiko yang diakibatkan oleh tindakan sendiri.
Ia tak bisa menghakimi orang lain, karena ia tidak tau apa latar belakang Gading rekan bisnisnya itu berselingkuh. Demikian juga dengan Istri dari tamu mereka.
Tiba tiba ponsel Aldogera berbunyi. Segera pria itu mengambilnya. Ia menaikkan alisnya.
Satu nama muncul di layar.
Monalisa
"Saya angkat telepon sebentar ya..."
Hana menganggukan kepalanya, lalu ia menunduk menekuri lantai. Mencoba abai dengan percakapan disampingnya, yang tentunya ia bisa dengar dengan jelas, Karena Aldo sama sekali tak menjauh, tetap menerima panggilan di posisi duduknya.
Sekilas kembali lagi Hana teringat dengan kejadian tadi pagi.
"Ya..."
....
"Hmmm...."
......
"Saya tidak bisa Lisa...."
.......
"Terserah...hanya saya tidak bisa, disini lagi banyak proyek....ya..."
.......
"Hmmm....."
.......
"Oke..."
Beberapa saat Aldo hanya diam mendengarkan sambil menyandarkan punggungnya. Memijat pelipisnya. Diliriknya Hana yang sedang menunduk memandangi lantai. Rambut panjangnya digelung rapi membentuk bun yang cantik, menurut Aldo kuntum Anggrek kala akan sangat bagus jika disematkan disana.
Pemandangan itu menjadi lebih menarik, dari pada mendengar suara lawan bicaranya.
Tiba tiba Hana menoleh ke arahnya, Aldo langsung tersenyum dengan hangat. Hana menaikkan alisnya, lalu Aldo mengedipkan matanya. Hana menggelengkan kepalanya geli melihat Aldo seperti anak kecil yang usil.
"Hmmmmm....."
"......"
"Hmmm...."
Aldo menutup panggilan itu, memasukkan ponselnya ke dalam saku. Lalu menyesap minumannya kembali.
Hana masih menunduk menekuri lantai. Ia tau Aldo berbicara dengan Monalisa sang wanita cantik yang ia lihat tadi pagi bersama Aldo. Wanita itu Departemen Head Public Relation perusahaan. Ia berkantor di Jakarta.
Wanita cantik itu menyukai Aldogera. Itu bisa terlihat dengan seringnya Monalisa datang berkunjung ke sini, meskipun sebenarnya tidak terlalu penting, karena ia bisa mewakilkan hal tersebut ke staf nya, tau bahkan bisa dikonfirmasi melalui telpon atau email saja.
Monalisa hanya mencari cari alasan saja, Hampir sebagian besar staf disini paham akan hal itu. Hanya Aldo saja yang terlihat tidak peka dengan keinginan Monalisa. Hana menggelengkan kepalanya.
"Saya tidak tau Monalisa datang pagi ini. Jessica juga tidak tau, tiba tiba saja muncul..".
Hana mengangguk meskipun ia tak peduli dengan informasi ini.
"Tadi dia ikut ke kantor dinas Pariwisata, kebetulan saya ada pertemuan dengan beberapa pelaku wisata didaerah kita.."
"Iya tadi pagi saya lihat bapak dan Ibu Lisa dikantor.."
Aldogera menaikkan alisnya.
"Oh Ya? Kok saya ngga lihat kamu?"
"Ya ngga lihat lah...bapak sibuk tertawa sama Bu Lisa, sepertinya ada berita bahagia...."
Hana menatap Aldo dengan tatapan geli, karena wajah Aldo terlihat cemberut.
"Kenapa kamu ngga menyapa saya Anya?" Hana bisa mendengar nada kesal disana.
"Bapak lagi sibuk kangen kangenan..." Hana menutup mulutnya menahan tawa.
"Siapa yang kangen-kangenan sih...?".
Aldo semakin kesal, kemudian ia mengusap usap dagu seperti mengingat-ingat sesuatu.
"Pagi tadi Saya ketemu Lisa di Lobby kantor lantai dua, terus kami mengobrol tentang pekerjaan dan yaaaa.." Wajah Aldo kembali sumringah
"Lisa menunjukkan video Jessy...kamu ingat Jessy adik tiri saya?" Hana mengangguk, tentu saja ia ingat Jessy adik tiri Aldo yang masih SD itu.
"Lisa cerita kalau Jessy sudah punya crush, dan crush nya itu Febrian...." mata Hana membola tak percaya dan menutup mulutnya menyembunyikan tawanya.
Aldogera mengangguk angguk seolah menjawab ketidakpercayaan Hana.
Lalu mereka tertawa.
"Kakek marah sekali pada Febrian, menuduhnya menggoda Jessy, padahal dia tidak atau apa apa. Untung Rose maminya Jessy bisa menenangkan kakek.."
Hana tau Febrian, pria yang punya wajah tampan itu adalah pengawal pribadi Boss Besar.
Belum lagi sifatnya yang pendiam dan sangat kaku itu, membuat banyak wanita semakin penasaran padanya.
Hanya Hana tak menyangka Jessy juga menyukai Febrian, mengingat usianya yang masih kecil.
Padahal pria itu tak pernah tersenyum dan enggan berdekatan dengan wanita. Febrian akan langsung terlihat tak nyaman dan gelisah jika ada wanita disekitarnya.
"Kelas berapa Jessy sekarang...?" Tanya Hana masih geli.
"Kelas enam..dan makin centil, sekarang dia sangat mengidolakan siapa itu...Korea...blackpink? Tadi Lisa menunjukkan video Jessy yang sedang dance ala KPop, astagaaa..anak kecil itu sok gaya banget.." Aldo tak bisa menahan ketawanya.
"Aaaa...iya....".Hana tidak terlalu tau sebenarnya, tapi ia sering dengar dari Diana yang juga menggemari boyband dan girlband asal Korea. Kadang ada istilah istilah dari bahasa korea yang sering diteriakkan Dinda jika lagi senang, Daebak!!, atau saranghaeyo
Terlepas dari itu semua, Hana entah mengapa merasa lega setelah mendengar cerita Aldo.
Siapa pun yang melihat bagaimana interaksi Aldo dan Lisa tadi pagi akan berpikir jika keduanya punya hubungan special.
Bukan karena ia cemburu, tapi Ia sangat takut jika Aldogera ternyata seorang laki laki yang suka tebar pesona. Kejadian tadi pagi dimana Aldo tampak sangat dekat dengan Monalisa membuatnya merasa dipermainkan. Dan itu membuatnya tidak nyaman.
Sejak Aldo memberikan perhatian lebih padanya, sebenarnya Hana merasa gelisah.Bukan karena Aldo.
Tapi perhatian itu membuat Hana diingatkan lagi pada seseorang yang dulu juga terlihat tulus memberikan perhatian padanya dan pada akhirnya seseorang itu juga yang memberi luka parah pada hatinya.
Tapi setelah ia tau apa yang membuat Aldo terlihat bahagia tadi pagi. Membuat Hana lega.
Ia tau bagaimana sayangnya Aldo pada Jessy meskipun mereka saudara tiri. Itu juga yang membuat Hana kagum pada Aldo yang bisa menerima adik tirinya dengan tangan terbuka.
Hana tau jika Ayah Aldo, William Lim bercerai dan kemudian menikah dengan Rose Merry Lim yang seumuran dengan Aldo.
Dan dari pernikahan itu mereka dikaruniai seorang anak perempuan. Meskipun hubungan Aldo tidak terlalu baik dengan William ayahnya, tapi Aldo menyayangi Jessy dengan tulus.
Aldo beberapa kali membawa Jessy berlibur ditempat ini. Aldo Hanya bersama Jessy dan seorang nanny tanpa kedua orang tuanya.
Jessy juga sangat mudah bergaul dengan karyawan dan staf Resort, membuat gadis kecil itu disukai hampir setiap orang yang melihatnya.
"Wedang ini enak sekali Anya...badan saya sudah lebih relaks...terimakasih.." Aldo memecah kehenginan yang sempat membuat mereka sibuk dengan pikiran masing masing.
Hana hanya tersenyum menanggapi Aldo yang sudah memutar posisi tubuhnya sehingga kini ia berhadapan dengan Hana.
"Besok bisa temani saya ke lokasi perkebunan yang akan bekerja sama dengan kita...?"
Hana mengangkat alisnya.
"Besok saya masih harus mendampingi tim PH pak,.sampai malam.."
Raut kecewa membayang diwajah Aldo.
"Saya ngga bisa bertemu dengan kamu lagi seharian..? "
Hana tergelak melihat bibir Aldo yang memberengut. Lagi lagi hanya Hana yang bisa melihat ekspresi itu.
Jika ia cerita pada yang lain, tidak akan ada yang percaya. Ekspresi Aldo cukup minim, meskipun tidak pelit senyum, tapi Aldo menampilkan wajah berwibawa didepan yang lain.
"Kita sama sama sibuk pak..." Ujar Hana mengingat kan agar Aldo tidak berlebihan.
"Jadi kalau kamu ngga sibuk mau temani saya..?" Hana terkekeh, ia yakin kemampuan persuasif Aldo memang bagus, perusahaan miliknya semakin berkembang.
Hana melihat Aldo yang masih menatapnya penuh harap. Dan bukannya Hana tidak mengerti maksud Aldo selama ini, karena memang pria itu tak menutupinya. Tapi Hana ingin menjaga hatinya, tak ada lagi ruang untuk orang lain.
Hana sudah penuh dengan Ayah, mama , Gisella dan Elang, bahkan James iparnya yang agak aneh itu. Tak ada lagi tempat untuk yang lain. Ia tidak mau serakah, cukup keluarganya saja. Itu saja sudah cukup
Hana tersenyum tipis lalu menunduk menatap uap panas dari wedang jahenya.
"Saya bisa menjadi teman Bapak..." Alih alih menjawab pertanyaan 'menemani' Hana berusaha untuk tidak membuat Aldogera berharap dan tidak membuatnya kecewa juga.
"Ah...ya...Kamu teman special Anya....pelan pelan saja...saya sabar kok...". Aldo tak kehilangan senyumnya.
Kedua ujung mulutnya tetap membentuk lengkung indah. Sementara Hana yang sudah membuka mulutnya untuk membantah kata kata Aldo tadi, terpaksa menutup mulutnya kembali lalu menggelengkan kepalanya. Memutuskan untuk tidak meneruskan apa yang Aldo katakan.
Aldo kembali menampilkan senyum lebarnya penuh kemenangan. Dengan mata berbinar yang tak ditutupinya.
Hana hanya bisa menggelengkan kepalanya. Ia tak bisa berdebat dengan Aldo. Ia biarkan saja, yang pasti saat ini ia sudah sampaikan dengan jelas akan sikapnya.
BAB 15
Pagi ini Hana menyerahkan salah satu berkas yang diminta Aldo. Ia buru buru melangkah ke ruangan Aldo. Karena sesudah ini ia harus kembali mendampingi PH yang masih mengambil gambar terakhir hari ini.
Ia meraih handle pintu yang memang tidak tertutup dengan baik, langkahnya terhenti ketika ia mendengar suara tawa renyah dari dalam. Suara tawa Aldo dan seorang wanita. Dan dari pintu yang tidak tertutup sempurna itu ia bisa melihat Lisa dan Aldo yang tengah menikmati sarapan pagi mereka.
Aldo dengan kemeja broken white, Monalisa dengan sackdress simple warna tosca terlihat pas sekali di tubuh sintalnya. Keduanya tampak serasi sekali.
Pemandangan yang membuat Hana tersenyum tipis. Ia urungkan niatnya untuk masuk, sebaiknya ia menitipkan berkas ini di meja Jessica sekretarisnya Aldo.
Meski wanita itu belum terlihat datang, Hana memutuskan menuliskan memo saja.
Hana tau menyela masuk ke ruangan Aldo akan membuat suasana tidak nyaman, ia tau MonaLisa tidak suka padanya.
Ya, Wanita itu telah terang-terangan memberi tahu Hana jika ia menyukai Aldo. Tak ada keraguan dari mata berwarna coklat itu memperingatkan Hana untuk menjauh dari Aldo.
Hana membalas dengan senyum tipis meninggalkan Monalisa begitu saja. Hana mulai belajar untuk tidak membiarkan dirinya ditindas.
Bukannya ia bermaksud menantang Monalisa, ia tak akan menghalangi wanita itu mendekati Aldo, tapi Hana ingin menunjukkan jika ia tak mudah untuk diintimidasi. Ia tak ada urusannya dengan keinginan Monalisa untuk mendekati Aldo.
Hana tidak ingin ada drama lagi. Ia sudah cukup puas dengan keadaannya sekarang. Ia bahagia dengan apa yang sudah dimilikinya.
Pengalamannya yang dulu cukup membuatnya mendapatkan pengalaman berharga.
Bahkan dulu dirinya tinggal menghitung hari saja untuk resmi menjadi seorang istri, ia dengan mudahnya ditinggal oleh orang yang katanya mencintainya.
Tidak ada yang bisa mempertahankan apa pun, jika takdir tidak mengijinkan, maka tak ada yang bisa menghalangi.
Hana sudah menikmati Hidupnya yang sekarang, menjadi wanita mandiri. Tak ada lagi yang ia sekalian. Hanya ada satu penyesalan dalam hidupnya, ia tak bisa menghapus luka Ayahnya yang malu karena anak gadisnya dikenal dengan 'wanita ngga bener' yang meninggalkan pengantin pria demi laki laki lain.
Hana yang meminta Giselle agar tak menceritakan yang sebenarnya pada Ayah, mereka sudah terlanjur dicap buruk oleh kerabat dan tetangga .
Jika ia menceritakan yang sebenarnya akan ada keluarga lain yang merasakan malu yan sama. Ia sangat menghormati Papa dan Mama Dika. Mereka tak bersalah. Papa dan Mama Dika memberikan kasih sayang padanya dengan tulus, tanpa memandang latar belakangnya. Ia tak mampu membalas kebaikan Papa dan kasih sayang Mama selama tiga tahun ia menjadi kekasih Dika.
Anggap dirinya terlalu naif. Tapi Hana sudah tidak memusingkan hal itu lain. Cukup dirinya yang tau.
Ayah juga tak mencecar dimana 'laki-laki' yang membawanya lari. Hana membiarkan Ayah berpikir jika laki laki itu telah meninggalkan Hana.
Tapi Hana menduga jika Giselle sudah menceritakan yang sebenarnya pada ibu tirinya, dan beruntungnya Ibu tirinya tak lagi mengungkit masalah Hana didepan Ayah. Dan hubungan mereka menjadi lebih baik.
Kejadian demi kejadian dalam keluarga, terlebih saat Gisella hamil, membuat ibu tirinya itu tak lagi keras padanya, meskipun tak bisa sehangat hubungannya dengan Giselle, tapi Hana sudah cukup puas.
Ayah bahagia melihat mereka bisa akur dan kebahagiaan Ayah adalah kebahagiannya juga. Itu lebih dari cukup. Melihat Ayahnya bisa tenang dimasa tua dan tak lagi memandang Hana dengan sorot mata bersalah.
Tiba tiba saja ia rindu kecerewetan saudara tirinya itu. Hana tersenyum sendiri, ia meraih ponsel dari tas nya, lalu mencari nomor pada panggilan cepat, dan tak lama terdengar nada sambung.
"Waaawwww.....ada apa Bu Manager yang super super sibuk bisa menelepon hamba sepagi inihhhh?". Suara ceria itu langsung berkumandang dari seberang sana.
"Mamiihh Yaaa.....?? Lang mau ngomoooongggg.....".
Satu lagi suara yang menyejukkan jiwa Hana menyapa paginya yang sempat sendu.
"Nggaaakkk mamih mau ngomong sama mama aja...lang dari tadi Mama suruh mandi, tapi ngga mandi juga, trus belom sikat gigi, masihh bauuuu....mana mau mamih ngomong sama Lang.."
"Aaaa mamaaa...Ya udah...lang mandi sama sikat gigi.. dulu...mamihhh...tunggu lang yaaaa...."
Senyum Hana mengembang dengan sempurna.
"Siapa yang telpon mam?" Suara lain tertangkap ditelinganya, diiringi suara seperti suara kecupan.
"Mamih Pa......"
"Oh...hai Hana....apa kabar?" Sapa suara yang selalu terdengar gembira itu
"Baik Bang....Bang James, sehat..?"
"Kalau perut makin buncit termasuk tanda sehat ngga Na? "
Hana mau tak mau kembali tertawa, abang iparnya memang selalu membuatnya tertawa.
"Tsk!! Kan kamu yang makan suka ngga kira kira Pa....". Timpal Giselle yang terdengar kesal.
"Lho? kok marah sih ma? aku suka kok perutnya buncit, biar kek bapack bapack yang lain juga..."
"Ish! Kamu pasti mau nyindir aku ngga bisa ngatur pola makan kamu kan??..."
"Kamu udah cek Ma? Bawaannya sensitif terus dari kemarin?, jangan jangan kamu lagi hamil...ini udah lewat seminggu kamu belum mens juga.."
"James Saputra!!!"
"Aww..ampun...ampun Ma, ampun, Laaannggg Mama pukul Papaaa..."
"MAMAAAAA JANGAN GANGGU PAPA AKU.....!!!!".
Seperti sebelum sebelumnya, yang namanya menghubungi Gisella, Hana akan mendengar drama drama ngga jelas dari ketiga orang kesayangannya itu, kecuali jika telpon diambil alih Ibu atau Ayah. Barulah terjadi percakapan 'normal'.
Suara Ayah yang selalu mendamaikan kegelisahannya dan suara Ibu yang mengingatkan agar dirinya menjaga kesehatan dan sering sering menelpon Ayah.
Bukankah ini sempurna?
************
Seharian tim bekerja keras, karena ini adalah hari terakhir mereka berada disini. Semua harus selesai jika tidak akan banyak biaya yang harus mereka keluarkan lagi dan itu tidak baik Bagi mereka.
Dika juga berusaha untuk tetap fokus, sehingga timnya pun dapat bergerak sesuai target. Dika benar benar mengatur timnya setelah semalaman begadang karena memang ia tak bisa memejamkan matanya sedetikpun.
Karena jika ia menutup matanya,meski hanya satu detik bayangan bayangan yang harus ia lupakan bermunculan bagai banjir bandang yang tak bisa ia cegah.
Ia bekerja bagai kesetanan, mencoba mengatur rundown seefisien mungkin agar semua dapat berjalan sesuai dengan tenggat waktu.
Agar semua bisa selesai dan ia bisa pulang dan beristirahat, atau lebih tepatnya berlari sembunyi ? Seperti yang selama ini ia lakukan?.
Dika menyugar rambutnya, dipusatkan nya kembali segala konsentrasinya pada monitor yang ada didepannya. Ditutupnya semua pikiran yang membuatnya terganggu.
****
Meskipun kuatir dengan lingkaran hitam disekitar mata Dika, dan bola matanya yang memerah. Belum lagi rambutnya yang tampak tak tersisir, kemejanya yang tak rapi. Eko membiarkan Dika bekerja bagai tak ada waktu lagi.
Semalaman ia juga tak bisa tidur, sampai akhirnya ia bukan lagi marah, tapi ia merasa kasihan dengan kedua orang yang kini terlihat putus asa dengan cara masing masing.
Dika yang menyiksa diri dengan bekerja melebihi kekuatan mental dan fisiknya. Hana yang hari ini jarang terlihat, tugasnya diserahkan pada anggota nya. Hanya sekali Hana muncul saat coffe break. Itu pun tak lama.
Betapa hidup tak adil bagi Hana. Dan bagaimana Dika menuai bagiannya tanpa ia sadari.
*************
Entah ia harus berterimakasih atau harus menyesal, ketika ia dipertemukan oleh Semesta. Tak mungkin ia menghindar dua puluh langkah lagi mereka akan berpapasan.
Ia bisa melihat gestur kaku gadis itu. Dan sama hal nya dengan dirinya yang sangat gugup. Tapi siapa tau ini memang kesempatan yang ia tunggu tunggu selama ini kan?.
Mereka sama sama berhenti ketika lima langkah lagi mereka akan bertabrakan.
Suasana taman ini hening, sehening atmosfer diantara mereka berdua.
Dika jika melihat mata gadis itu tak lagi sama dengan Lima tahun lalu. Sorot tajam dan dingin memenuhi bola mata yang dulu penuh binar kasih yang mendamaikan dunianya yang riuh.
"Hana....." Dika tercekat ketika ia memanggil Hana yang terlihat membeku.
Tak ada respon dari Hana, ia masih berdiri meremas tali saling bag nya. Tapi matanya menatap Dika dengan pandangan yang tak bisa diartikan.
Padahal dulu setiap gerak geriknya dengan mudah ia baca. Itu yang membuat Hana nyaman berdekatan dengannya.
Hana terbiasa menyimpan perasaannya, sehingga ia sulit untuk mengatakan isi hatinya. Dika datang dan memahami semua hidupnya, lalu Dika juga yang menghancurkan nya.
"Hana....." Dika memaki dalam hatinya, ia kehilangan kata kata.
"Bisa kita bicara...?"
Keduanya bertatapan dengan suasana hati yang berdentam dengan sangat berisik.
"Mengenai apa Pak Dika? Saya kira urusan PH sudah selesai semua kan?" Hana menjawab dengan tatapan datar.
"Bu...bukan...aku ingin bicara tentang aku yang...."
"Maaf Pak Dika, jika ini urusan kerjasama, saya akan bantu.. tapi diluar itu, maaf saya tidak bisa..."
"Tapi aku..."
"Saya harus pergi, ada yang ketinggalan di ruangan saya, permisi.."
Hana berbalik, berusaha berjalan setenang mungkin meskipun sekujur tubuhnya gemetar menahan emosi yang besar. Ia tidak menyangka jika Dika masih saja sangat mempengaruhinya, dan Hana sangat benci akan hal itu.
Ia sudah berusaha berdamai dengan luka masa lalunya, ia sudah bertekad memaafkan laki laki itu, alih alih harus membenci.
Ia tak mau hancur lagi dengan membiarkan benci memenuhi jiwanya. Ia pikir ia telah selesai dengan Dika tapi apa yang ia rasakan sekarang?.
Matanya mengabur dan ia tau sebentar lagi air mata itu akan tumpah, dan ia tak mau itu terjadi, apalagi didepan penghianat itu.
Sampai ia tiba tiba merasa limbung,dan sejenak ia pikir ia akan terhempas, ia bisa merasakan tangan kokoh yang memeluk pinggangnya.
"Anya......"
Wajahnya yang terlihat kacau, menengadah, matanya bertemu dengan manik hitam milik Aldo yang menatapnya penuh kekuatiran, Tangan mungilnya tanpa sadar mencengkram kerah jas Pria itu.
"Anya...."
Begitu tersadar Hana buru buru berdiri.
"Ma..Maaf Pak...." cicitnya. Anya langsung melanjutkan langkah langkahnya. Hana berusaha berjalan dengan tegar, ia tak mau terlihat lemah dimata siapa pun. Dicengkramnya tali tas nya semakin erat, seolah itu bisa memberi kekuatan padanya.
Aldo yang masih terheran heran, kemudian matanya menangkap seseorang yang tak jauh dari mereka sedang berdiri kaku.
Aldo memicingkan matanya, berusaha mengenali siapa sosok itu. Lalu ia sadar itu Dika dari Starlight PH. Nalurinya berkata jika pria itu penyebab Hana terlihat kacau.
"Well Pak Dika..." Suara itu terdengar tajam.
Dika perlahan mendekat. Wajahnya terlihat datar tanpa ekspresi dan terlihat putus asa.
"Maaf.." Hanya kata itu yang bisa keluar dari mulutnya
"Sebaiknya anda bisa sampaikan sendiri .."
"Itu yang saya coba lakukan tadi, tapi belum bisa.. saya permisi"
Lagi hal ini mengusik Aldo. Sepertinya dugaanya, Dika dan Hana sudah mengenal sebelumnya, dan pasti ada sesuatu yang terjadi diantara keduanya.
Dan sesuatu itu pasti sangat berpengaruh dalam hidup Hana. Bahkan ia bisa melihat hal yang sama di mata Pria yang bernama Dika itu. Keduanya sama sama terluka.
Aldo memijit pelipisnya, sebenarnya ia ingin menikmati secangkir wedang jahe untuk meluruhkan sedikit kelelahan dari pekerjaan yang sangat menuntut seluruh jiwa raganya.
Tapi tampaknya harus ia urungkan. Ada hal yang lebih penting saat ini. Hana!.
Segera ia ikut berbalik, menyusuri jalan yang dilalui Hana tadi.
Aldo tau jika Hana tidak mudah untuk didekati, terlebih Hana sangat menjaga jarak dengan rekan kerja pria.
Begitu Dika berlalu, Aldogera pun segera bergegas menyusul Hana.
.
.
.
**********
.
.
.
.
.
Aldo mengetuk pintu sekali, lalu ia langsung membuka pintu ruangan Hana tanpa menunggu. Nafasnya memburu sehabis berlari mencari keberadaan Hana.
Yang ia dapati Hana yang sedang mengenakan kacamata bacanya, menatap layar laptopnya, sambil tangannya menari diatas keyboard.
Aldo menghela nafas lega. Ia masuk dan duduk di sofa tamu yang ada diruangan itu. Ia menyandarkan punggungnya, mengusap wajahnya. Lalu menengadah ke langit langit.
Ia lega bisa menemukan Hana disana. Meskipun dalam pikirannya ada beribu pertanyaan yang berdesakan, tapi ia tau ia tidak punya akses untuk tau yang terjadi. Ia sudah lega ketika ia tau wanita itu ada dalam jangkauan matanya.
Hana memilih untuk diam dan terus mengerjakan entah apa, ia hanya mengikuti tampilan yang sudah muncul dilayar, ia hanya meneruskan yang sudah ada, jemarinya otomatis bergerak di tuts angka dan huruf.
Tak lama pintu diketuk dan tampak salah seorang karyawan membawa dua gelas minuman.
Aldo buru buru berdiri dan mengambil alih minuman itu, lalu mengucapkan terimakasih. Hana masih tampak tidak terusik dengan kejadian disekitarnya.
"Saya minta dibuatkan coklat hangat, ini bagus sekali untuk membuat mood menjadi lebih baik..." Ia tau jika ia tidak akan mendapatkan tanggapan dari Hana.
Pria itu tetap tersenyum dan meletakkan mug miliknya, lalu menyodorkan satu mug pada Hana.
"Anya...minum dulu..."
Hana tak bergeming, pandangan matanya tetap lurus.
"Anya...." Aldo menyentuh tangan Hana dengan lembut. Tangan itu berhenti, Hana mengangkat wajahnya dan matanya menemukan sorot mata teduh yang membuat Hana akhirnya menghela nafasnya. Kemudian ia menundukkan kepalanya kembali.
"Maaf....." Suara Hana terdengar lirih. Ia bukannya tidak sadar dengan kehadiran Aldo, hanya ia sedang menenangkan dirinya.
"Ngga apa apa jika kamu lelah Anya...ngga apa apa jika kamu biarkan dirimu untuk istirahat sejenak, untuk menjadi kuat kita perlu istirahat juga..."
Tangan besar Aldo menggenggam erat jemari Hana dengan hangat, menyalurkan kekuatan yang ingin ia berikan pada Hana. Hana tak menepis tangan itu, ia tengah rapuh dan butuh tempat bergantung. Tapi ia takut, ia harus menggenggam dirinya sendiri. Rasa percaya nya pada orang lain benar benar telah rusak.
Aldo menarik tangan mungil itu dan menempatkan mug coklat disana.
"Minumlah..Anya..."
Hana akhirnya meraihnya dan menangkup mug itu dengan kedua tangannya.
"Terimakasih...." Hanya berupa bisikan. Tapi cukup membuat Aldo ingin segera meraih wanita itu kedalam pelukannya. Tapi ia tau itu akan membuat Hana akan kembali menutup dirinya.
Aldo memilih untuk duduk dikursi didepan meja kerja Hana. Ia tak ingin bertanya lagi. Ia tau Hana tak ingin berbicara. Lalu mereka berdua minum coklat hangat itu dalam diam. Menghirup rasa yang katanya bisa menenangkan itu.
Dipikiran Hana hanya rasa kecewa karena belum bisa bersikap wajar pada Dika.
Hana harus mengakui jika ternyata masih ada rasa benci untuk pria itu. Pria yang dulu pernah membuatnya merasa tak berarti sama sekali. Ia dicampakkan begitu saja karena ada wanita lain yang lebih baik darinya.
"Anya...kamu tau kalau saya selalu bersedia untuk mendengarkan semua cerita kamu?..."
Hana tak menjawab, ia masih saja menundukkan kepalanya.
"Kamu bisa mengandalkan saya Anya...itu janji saya...
Sekarang kamu istirahat ya..saya antar pulang..."
Tanpa menunggu persetujuan Hana, Aldo mematikan laptop dan metapikan mejanya. Lalu meraih tangan Hana dan menemaninya pulang. Berharap gadis itu bisa mempercayainya suatu saat, dan Aldo yakin ia bisa.
Dan tanpa Aldo tau jika Hana sudah tidak berharap banyak pada siapapun.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
