
Haii….
Cerita ini aku tulis juga di platform wattpad Kalian Boleh juga baca disana.
10 hari menjelang moment paling indah, harus berakhir.
Bisa dibayangkan sakitnya?
Tentu tidak...
Tidak ada yang sanggup
Tapi Hana sanggup, meskipun harus mendebu...
Cinta adalah bahagia ketika yang kaucinta Bahagia. Itu egois, karena itu hanya berlaku untuk satu pihak...
Bagaimana dengan dirinya?
Ia tak bisa memilih,
Tak pernah bisa memilih...
BAB 1
Sepuluh hari lagi mereka menikah. Hana telah menandai kalendernya dengan lengkung bentuk hati dengan spidol warna biru. Tak sabar ia menghitung mundur hari dimana ia akan resmi menjadi istrinya Rahardika Mandala Wijaya. Kekasihnya selama tiga tahun ini. Kekasih yang menjadi dunianya.
Peka adalah sifat Hana yang paling dominan. Ia tau kapan harus menekan keinginan, kapan harus mundur, kapan harus diam, kapan harus menurut, kapan harus mengalah, kapan harus sabar, kapan harus pergi.
Eh?
Ya, seumur hidupnya ia dugembleng untuk 'pasrah'. Bergaul dengan hidup yang seolah atau selalu tak berpihak padanya. Selama ini ia dapat bertahan bukan?.
Jadi saat ini pun Hana sangat 'peka' saat melihat raut Mas Dika nya yang tersaput sendu. Mata hitam pekat yang selalu memandangnya dengan penuh kelembutan, kini mengarah ke lantai.
Mereka kini tengah berada di teras belakang rumahnya, mencuri waktu bertemu Karena sebenarnya mereka sedang dalam masa pingitan.
Ayah dan Ibu sedang ada acara malam dana Perusahaan dimana Ayah bekerja, acaranya di Sebuah Hotel dan mereka baru saja berangkat, lalu Dika datang. Hana sudah mengaturnya agar mereka tidak ketahuan. Ibu nya sangat saklek dengan semua aturan adat yang harus mereka jalani.
Sudah Lima belas menit. Dika hanya memegang cangkir kopinya, seolah mencari kehangatan melalui telapak tangannya yang menyentuh sisi luar cangkir itu.
Hana tak juga bertanya tentang apa yang akan dibicarakan Dika. Jujur jantungnya berdetak tak nyaman, ia berusaha menenangkan hatinya yang telah banyak retaknya.
Ia takut akan berkeping-keping jika ia menyuarakan satu Kata atau satu tanya yang menjadi kail untuk memancing gundah yang tertera jelas di wajah sang 'pemberi harapan' dalam hidupnya yang rapuh.
Hana percaya Tuhan memberinya hadiah atas kesabarannya selama ini melalui Dika.
"Hana....."
Ah, akhirnya suara malaikat pelindung nya itu terdengar. Bukan nada rindu seperti biasa.
Itu nada putus asa yang pelan pelan mulai membuat tubuh Hana merespon, dan syaraf tak sadarnya mengaktifkan kelenjar keringatnya. Ia baru sadar telah menggenggam tangannya terlalu erat, dan rasa dingin dan basah ditelapak tangannya menyadarkan 'kepekaannya'.
Tuhan...harus kah aku mengalami lagi?.
Sepuluh hari lagi...tinggal sedikit lagi...
"Mas ngga bisa..."
Bunyi pengang melingkupi telinga Hana, seperti suara sirene ambulance yang menjadi momok bagi Hana sampai saat ini, meski puluhan tahun berlalu.
"Mas ngga bisa meneruskan acara pernikahan kita...kamu ngga pantas Mas bohongi...."
Hana menatap Dika dengan wajah pias.
Mengapa sesuai dengan perkiraannya?
PERNIKAHAN NYA BATAL!
Alih alih berteriak teriak marah, Hana sibuk menyalahkan dirinya sendiri, menganalisis kesalahan kesalahan yang mungkin ia timbulnya dengan tak sengaja yang mengakibatkan peristiwa ini terjadi.
Mereka terakhir bertemu satu minggu yang lalu, apa ada sikap yang membuat Mas Dika kecewa? apa ada kata katanya yang menyakiti Dika? atau Dika.mulai.menyadari kalau dirinya tak layak untuk.menjadi istrinya?. Oh...apa yang salah? Ini pasti ada yang salah dengan dirinya sehingga Mas Dika menjadi ragu.
Hana menunduk, menggigit bibirnya yang mendadak bergetar. Mungkinkah saat ini Mas Dika nya tengah berbohong?.
Satu hal yang dari dulu membuatnya terlihat lemah adalah, ia tak bisa merespon dengan cepat jika ada yang melukai nya. Jadi ia selaku menjadi sasaran empuk bully dan dianggap tak berharga.
"Hana....."
Suara Dika melirih, ia tau jika dirinya menghancurkan hati wanita rapuh didepannya ini. Ia merasa menjadi laki laki paling bajingan saat ini.
"Deasy kembali...dan kami masih saling....maaf Hana...Mas ternyata belum bisa melupakan dia, dan kali ini Mas tidak mau melepaskan nya lagi..."
Bagai Palu godam besar menggempur hati Hana yang sudah babak belur. Haruskah Dika mengatakan sejelas itu padanya?
Meneriakkan rasa cinta besar itu tepat didepan hidungnya?
Rasa cinta besar pada wanita lain?
Tidak taukah Dika jika itu membuatnya kehabisan nafas?
Satu butir air mata meluncur disudut mata Hana. Terlambat untuk menghapusnya. Dan saliva yang kini mengental dimulutnya mulai berasa asin. Terlalu keras ia menggigit bibirnya itu agar tidak meloloskan isak. Ia gagal menahan air mata, tapi ia tak mau gagal untuk menahan suara tangis. Ia tak mau terlihat lemah. Ia berusaha mengumpulkan sisa kekuatannya yang berhamburan. Hana merintih dalam pahit menyatukan puing puing harga dirinya yang memang tak seberapa, sehingga satu hembusan nafas saja mampu meluluhlantakkan seluruh pertahanannya.
"Hana...." Dika mengulurkan tangannya dan tentu saja ia menerima gerak refleks Hana yang menjauhkan tubuhnya.
Tangan Dika mengambang diudara, ia tak mau memaksakan dirinya. Ia Terlalu hina didepan Hana, ia yang tau bagaimana sulitnya kehidupan Hana, bagaimana gadis itu berjuang untuk tetap tegar.
Dan selama tiga tahun ia menawarkan dirinya menjadi pegangan bagi Hana, menawarkan cinta dan kisah romantis yang jauh dari jangkauan gadis cantik dengan segala lara hidupnya.
"Maaf Hana...." Kini Dika bersimpuh dikaki Hana. Air matanya yang juga mengalir bukan sandiwara, tapi sungguh suatu kepedihan yang ambigu. Ia tak mau kehilangan Deasy cinta dalam hidupnya, tapi ia harus menghancurkan hati yang turut ia balut dan rekatkan perlahan agar kembali utuh.
"Tak cukup hanya maaf yang harus Mas katakan, tapi harus lebih dari itu...Mas brengsek, bajingan dan manusia paling jahat yang harus kamu kenal..."
Dika mengulurkan tangannya kembali berusaha menyentuh lutut Hana.
Dan Hana kembali semakin menjauhkan tubuhnya. Dika menyerah, tangannya terkukai disisi tubuhnya. Ia merasakan tenaga ditubuhnya lenyap. Sudah satu minggu ini ia tak bisa tidur dengan baik, dua malam lalu ia terbangun diteras didepan pintu rumahnya, mabuk dalam kerumitan kehidupan cintanya.
Didepannya seseorang yang selama tiga tahun ini dijaganya, wanita yang juga membuatnya bahagia karena cinta yang diberi Hana adalah cinta yang tulus. Kini sosok itu terlihat sangat hancur. Ingin rasanya Dika kabur tanpa memberi penjelasan, tapi itu tak adil bagi Hana.
"Ma- mas Dika, pulang saja...jangan bilang apa apa dulu sama ibu dan ayah, juga sama keluarga Mas Dika..." Terbata bata Hana mengeluarkan suara itu.
Dika tertegun, menatap Hana yang menunduk. Ia tak bisa melihat bagaimana ekspresi Hana saat ini. Tapi suara kosong Hana menakutkan dirinya. Ia tau setiap intonasi Hana ketika berbicara. Tapi yang ini ia tak bisa menebak.
"Tidak Hana...biar Mas yang jelaskan pada kedua orang tua kita....Mas yang bertanggung jawab" Dika tak mau ia menjadi lebih brengsek lagi. Ia siap menerima segala konsekuensi yang harus ia terima.
Hana menggelengkan kepalanya.
"Aku setuju membatalkan pernikahan.." Ah getir sekali kata kata itu, sepahit racun yang menghancurkan hidupnya.Rasa sakit ini membuat Hana kebas. Bukankah selama ini rasa sakit adalah temannya?. Tapi kali ini Tuhan...haruskah sesakit ini? Sulit kah bahagia menghampiri hati ini?.
Dika terdiam. Meskipun itu niatnya, tapi tetap saja kalimat itu menghajarnya tanpa ampun.
Matanya yang basah berusaha menatap ke dalam mata Hana. Yang ia temukan kehampaan, bahkan tak mau menatapnya lagi. Tatapan mata bening itu mengambang tak fokus lagi.
" Mas tak perlu kuatir. Biarkan aku yang menjelaskan pada Ayah dan Ibu, setelah itu mas Dika silakan mau bilang apa kepada mereka..."
Ia tak merasakan apa apa lagi. Mungkin ambang sakit hati yang kali ini rasakan telah melewati batasnya. Seperti tubuh yang jika menerima rasa sakit melebihi ambang batas, maka otak akan memerintahkan tubuh menjadi tidak sadar, pingsan atau koma agar rasa sakit tidak dirasakan lagi.
Mungkin seperti itu kondisinya sekarang. Tak merasa sakit lagi, sementara Dika yang sedang berbicara didepannya tak bisa ia dengarkan, kepalanya terasa sangat penuh, ia tengah mempersiapkan alasan pembatalan Acara pernikahannya, menghubungi WO, percetakan, katering, mengumumkan pembatalan Pernikahan, mungkin di status WA saja, ia akan setelah berbicara dengan Ayah dan Ibu, juga Mas Bara dan Gisella.
Hana bangkit,bermaksud Meninggalkan Dika yang masih dalam posisi berlutut.
Ia sadar ketika langkahnya tiba tiba tertahan. Dan memandang cekalan Dika di tangannya.
"Hana......"
"Mas Dika pulang saja, maaf saya tidak antar sampai depan...nanti saya hubungi kalau saya sudah bicara dengan Ayah dan ibu, ini permintaan terakhir saya, saya harap Mas Dika bisa hargai...semoga Mas Dika dan Mba Deasy bahagia..."
Betapa jauhnya jarak mereka sekarang, kata ganti aku berubah menjadi saya. Mereka langsung jadi orang asing?.
Hana melangkahkan kakinya dengan anggun. Tidak terburu buru seperti di film film romantis yang pemeran wanitanya berlari sambil menutup mulut menahan tangis.
Perlahan Hana menyentuh pegangan tangga dan menyusuri nya sampai ke puncak anak tangga terakhir. Haruskah ia berbalik? menatap Dika untuk terakhir kali?. Langkahnya terhenti sebelum sedikit lagi ia tiba dilantai dua
Tidak!
Hana meneruskan langkahnya.
Dika menatap sendu setiap langkah Hana, berharap Hana berbalik sebentar untuk melihatnya. Ia menahan nafas, dan harus kecewa Ketika Hana terus melangkah dan menghilang lalu terdengar suara pintu yang tertutup.
Dika mengepalkan tangannya. Menahan kemarahan yang muncul karena ia telah mengacaukan hidup gadis yang istimewa dihatinya. Ia pikir telah menghilangkan sepenuhnya rasa cintanya pada Deasy. Tapi begitu wanita dari masa lalunya itu muncul, hidupnya langsung berubah, rasa cinta itu membuncah tanpa bisa ia kendalikan.
Ia sudah benar kan? Memilih cinta sejatinya?. Dari pada ia meneruskan pernikahan ini tapi dihatinya bukan Hana?. Bukankah ia lebih bajingan lagi? .
Yang dirinya sesali adalah Hana akan mendapatkan masalah karena ulahnya .Ia tau apa yang akan Hana hadapi, meskipun dirinya yang menyebabkan gagalnya acara besar ini, Hana tetap akan mendapat masalah. Keluarga mana yang tidak malu jika anaknya gagal menikah?.
Dika tau ia tak mungkin mengejar Hana ke kamarnya. Selain tidak pantas, ia juga tidak tau apa yang harus ia lakukan.
Menghibur Hana? Sementara ialah penyebab kesakitan ini.
Meminta maaf? Siapa yang bisa memaafkan kesalahan seperti ini?. Dulu ia pernah hancur ketika ia dan Deasy harus berpisah, tapi bukan karena pengkhianatan, tapi karena Deasy harus..menjalani takdirnya untuk dinikahkan dengan pilihan orang tuanya, pria yang telah menanggung biaya besar untuk kesembuhan sang ayah.
Apa bentuk kehancuran dari sebuah pengkhianatan? Ditinggalkan karena wanita lain? Sepuluh hari menjelang hari pernikahan? Dan semua orang sudah tau? Dan baju pengantin yang sudah terpajang rapi di lemari?
Bukan Dika tak berjuang, Lima bulan lalu ketika ia bertemu lagi dengan Deasy yang ternyata telah bercerai, membuat ia goyang. Ia berjuang untuk memantapkan hatinya untuk Hana.
Tapi apa daya semakin mendekati hari pernikahan hatinya semakin yakin pada Deasy bukan Hana. Beribu kali ia menyangkal, tapi yang terbayang dipelupuk mata hanya Deasy yang mengenakan gaun pengantin bersanding dengannya.
Perlahan Dika melangkah menjauhi rumah yang selama tiga tahun ini menjadi tempat pulangnya juga, sekali lagi ia menoleh memandang ke lantai dua dimana kamar Hana berada. Tak ada lampu yang menyala, padahal Hana takut gelap. Hatinya kembali bergolak, meyakinkan kalau ia sudah melakukan hal yang benar.
Ia sangat berharap ada pria lain yang jauh lebih pantas untuk Hana. Gadis itu sangat mudah untuk dicintai.
Dika buru buru memalingkan wajahnya, ia tak mau kehilangan keyakinannya. Setengah berlari ia melangkahkan kakinya menuju mobil yang terparkir diluar pagar. Seluruh tubuhnya gemetar, menahan segala emosi yang ada.
"BRENGSEK!!!!" Tak urung ia memaki dirinya sendiri.
Suara derum mesin mobil memecah keheningan malam. Terlalu hening, hingga suara derum itu seperti petir yang maha dahsyat.
Hana luruh dibalik pintu, menurunkan wajahnya dilututnya.
Ia menangis tanpa suara.
Haruskah sepahit ini hidupnya? Apakah malaikat disurga tak mempunyai satu saja kabar baik buat dirinya?.
Air mata mungkin telah menjadi nafasnya, perih dihati telah menjadi nadinya. Jadi air mata kali ini pun harusnya tak mengganggu dirinya lagi.
Lelah Hana rebah tak sanggup untuk melangkahkan kakinya menuju ranjangnya. Ia merasakan dinginnya keramik kamarnya, tak peduli lagi. Hangatnya ranjang tak sanggup membuatnya berdiri.
Biarlah kali ini ia menyerah, ia ingin menikmati kelemahannya.
Sampai kapanpun kesalahan nya tidak akan termaafkan.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
