
Selamat membaca
Luv 💜Octoimmee
BAB 21
Flash Back
Setelah memastikan Hana menutup pintu ruangannya. Aldo memalingkan wajahnya ke arah Monalisa yang terlihat marah, wajahnya memerah dengan bibir mengatup rapat. Dan Aldo tidak peduli, ia jauh lebih marah.
"Sikap kamu keterlaluan Lisa!"
"Aku...!" Belum sempat Monalisa melanjutkan ucapannya,
Aldo mengangkat tangannya, mengisyaratkan agar Monalisa tidak membantah.
Dengan langkah panjang Aldo menuju pintu yang menghubungkan lobby kantor dengan balkon. Monalisa segera mengikuti langkah Aldo.
Ia sedikit senang karena berhasil membuat Aldo memperhatikan keinginannya untuk bicara berdua, meskipun dengan cara seperti ini Monalisa sungguh tak peduli. Ia akan pakai cara apa pun agar pria itu mau melihatnya.
Berbagai cara manis sudah ia lakukan, mengirimkan pesan-pesan penuh perhatian, mengirimkan makanan kesukaan pria itu, bahkan ia rela bersusah payah belajar memasak rendang agar bisa ia kirimkan pada Aldo. Belum lagi usahanya untuk sesering mungkin mengunjungi pria itu jauh jauh kesini. Tapi semua seperti tak berarti.
Aldo membuka pintu dan angin dingin langsung menyerbu tubuhnya yang sudah sangat lelah, tapi setidaknya udara luar mendinginkan suasana hati Aldo yang panas. Aldo terus berusaha mengatur nafasnya agar emosinya tidak meluap.
Disana terdapat beberapa kursi yang disusun untuk tempat santai para staf, bahkan kadang digunakan Aldo untuk briefing ringan dengan staf dan karyawan. Tempat ini diperuntukkan juga bagi tamu yang berkunjung karena urusan pekerjaan dengan pihak Rumah Puncak.
Aldo mengambil duduk di paling pojok agar bisa berbicara leluasa dengan Monalisa yang ia anggap sudah keterlaluan. Aldo bertekad akan membuat monalisa tidak lagi berbuat seenaknya. Bagaimana pun lama kelamaan ia menjadi terganggu dengan sikapmkeras kepalanya.
"Sikapmu tadi tidak bisa saya tolerir Lisa. Saya menghargai semua staf dan karyawan saya. Siapa pun dia!"
"Tapi sikap kamu berbeda pada perempuan itu Mas..."
"Hana, namanya Hana!" Monalisa bisa melihat jika Aldo terlihat marah.
"Itu yang membuat dia besar kepala dan sombong!!" Ucapnya tak puas dengan sikap Aldo yang seolah membela Hana.
"Kamu yang sombong dan besar kepala Lisa, jangan alihkan pada orang lain!" Tegur Aldo.
"Oh ya, sampai kamu perlu melaporkan hal itu pada HRD Jakarta?" Sindir Monalisa dengan sinis. Papanya sempat menelpon dan bertanya apa yang telah dilakukannya. Papanya pasti mendapat informasi dari seseorang. Dan itu cukup membuat papanya gusar dan kembali memaksa dirinya untuk kembali ke perusahaan keluarga.
"Kamu tau persis mengapa kamu saya laporkan ke Jakarta Lisa, bukan hanya kali ini saja. Saya sangat terganggu dengan kehadiran kamu yang tidak punya agenda jelas kesini, dan mengubah jadwal seenaknya.
"
"Aku punya program kerja sendiri yang harus aku kerjakan Mas Aldo.."
"Maka, kerjakanlah program mu, jangan mengacak acak jadwal kerja saya..."
"Tapi kan , disini kamu pimpinannya, aku perlu kerjasama dengan kamu Mas..."
"Berikan program jauh jauh hari hingga Jessica bisa mengaturnya, ia akan mengatur siapa yang bisa membantu kamu dengan program program kalian itu, bukan tiba tiba datang dan memaksakan agenda kamu pada saya...hal sepele seperti ini seharusnya tidak perlu saya jelaskan lagi kan? " Sembur Aldo tak bisa menahan kemarahannya
"Kamu tidak peka Mas..."
Aldo menyugar rambutnya, ia lelah menghadapi wanita semacam Monalisa ini. Yang sedari kecil hidup dimanja dan semua keinginannya tidak ada yang tidak dipenuhi oleh orang tuanya.
"Kita bicara soal pekerjaan Lisa" Suara Aldo terdengar putus asa.
"Ini bukan jam kerja lagi Mas..." Sentak monalisa tidak mau tau, seperti seorang anak kecil yang tidak diperbolehkan makan permen kesukaannya.
"Bukan jam kerja kamu, tapi saya masih ada kerjaan yang harus diselesaikan, saya harap ini terakhir sekali kamu datang mendadak, mengacak acak jadwal saya dan bersikap tidak profesional dengan staf dan karyawan saya, jangan kamu pikir saya tidak tau apa yang kamu lakukan disini ketika saya pergi". Aldo tentu saja mendapat laporan dari Manager transport nya mengenai masalah yang ditimbulkan wanita itu tadi pagi ketika permintaannya untuk meminta perubahan rute lokasi yang dituju.
"Kapan kamu bisa melihat aku Mas?"
Aldo menahan diri untuk tidak memutar bola matanya. Tapi Ia malah mendengus tanpa sadar. Mengapa wanita ini tak bisa mengerti juga?
Aldo menatap Monalisa dengan rasa dongkol. Kini mata wanita itu yang terlihat putus asa, sebentar lagi pasti Lisa akan menangis seperti biasa jika keinginannya tidak terpenuhi.
"Saya sudah memberi jawab untuk hal itu Lisa, kamu tidak usah lagi membuang waktu kamu untuk hal yang sia sia..."
"Kamu bukan hal yang sia sia Mas! Aku akan membuat kamu punya rasa yang sama dengan aku..." Suara Monalisa terdengar bergetar menahan emosi yang sekian lama ia pendam.
"Lisa, please Stop!! Itu akan membuat saya semakin tidak nyaman dengan keberdaan kamu..."
"Keluarga kita setuju Mas, bukankah restu yang paling penting?"
"Saya yang menjalani hidup saya, bukan orang lain...saya yang tau siapa yang saya inginkan, dan itu bukan kamu..." Monalisa terdiam, dulu Aldo sudah mengatakan hal ini, tapi mengapa kini masih saja terasa sakit.
"Oom William pasti akan kecewa Mas..." Seperti biasa, Monalisa akan memakai tameng keluarga jika ia sudah tidak punya amunisi untuk membujuk Aldo.
"Rasa kecewa beliau tidak ada hubungannya dengan siapapun Lisa. Rasa kecewa adalah pilihan masing masing orang. Sama dengan ketika orang memilih untuk bergembira atau bersedih, itu adalah pilihan masing masing orang.."
"Jangan egois Mas, apa Mas Aldo tidak merasa bersalah jika Mas adalah penyebab kesedihan dan kekecewaan orang lain?" Ucap Monalisa tak terima
"Selama saya tidak melakukan suatu kejahatan, saya tidak akan merasa bersalah, jika ada yang kecewa dengan cara hidup saya, itu pilihan orang tersebut, maaf kalau kamu anggap saya sangat egois, saya telah belajar banyak dari William Lim, jadi dia tidak akan kecewa..". Aldo tertawa pahit.
Hidupnya tak seindah yang dilihat orang lain.
"Papa sangat senang jika Mas Aldo bisa menjadi bagian dari keluarga..."
"Saya sudah menjadi bagian dari keluarga Kalendra sejak dulu Lisa, tanpa harus diikat dengan status hukum. Saya tidak pernah menolak membantu Oom Kusuma sejak dulu, kamu tau itu."
"Tapi papa akan lebih tenang jika kita menikah Mas..."
"Cukup Lisa...". Aldo berdiri, menyakukan kedua tangannya. Menatap Monalisa yang menengadahkan wajahnya yang kini sudah berair mata.
Aldo tidak suka ketika Monalisa memanfaatkan hubungan keluarga mereka yang cukup dekat. Untungnya Tidak ada yang memaksa mereka berdua untuk menjalin hubungan. Tapi Monalisa tidak lelah untuk membuat keluarga mendukungnya untuk mendapatkan Aldo.
"Kamu sebaiknya jangan lagi begini. Kamu harus menghargai diri kamu sendiri. Sampai kapan pun hati saya tidak bisa membalas perasaan kamu, berhenti sebelum semua ini menjadi menyakitkan, atau membuat hubungan keluarga Lim dan Kalendra rusak hanya karena cerita kita..."
Air mata dipipi Monalisa semakin deras. Biasanya Aldo akan berbaik hati memeluk dan membiarkan Monalisa menangis didadanya sampai wanita itu puas. Kemudian Aldo akan berusaha membuat suasana hati Monalisa menjadi lebih baik dengan mengajaknya makan atau sekedar jalan jalan. Lalu hubungan mereka menjadi baik kembali selagi Monalisa bisa menjaga sikapnya.
Tapi kali ini Aldo membiarkan saja, meskipun ia tidak tega. Ia tidak ingin menyakiti siapa pun, terlebih seorang wanita. Ia punya mama yang dulu sangat ia sayangi hingga ajal menjemput.
Ia punya seorang kakak perempuan yang meskipun keras kepala dan sering berdebat dengannya, tapi Aldo sangat menyayangi Alisha.
Ia punya seorang adik tiri, Jessy yang juga mencuri hatinya dengan cara yang manis.
Dan Monalisa adalah anak dari rekan bisnis Papa nya, yang terlalu keras kepala. Mengejarnya tanpa lelah, bahkan menggunakan Papa nya untuk 'memaksa' Aldo menerimanya.
Sejak awal Aldo tak punya rasa selain pertemanan, dan hingga saat ini pun Aldo hanya melihat Monalisa sebagai teman keluarga dan rekan kerja. Itu saja.
Aldo bahkan sudah tau niat Monalisa yang memilih bekerja di Perusahaan milik Keluarga Lim alih alih bekerja diperusahaan keluarganya sendiri.
"Masuklah ke kamarmu Lisa...istirahat,jika butuh apa apa ada roomservice yang bisa kamu hubungi. Saya mau melanjutkan pekerjaan saya dengan Hana..."
Aldo pergi meninggalkan Monalisa yang tergugu sendiri. Tak mengira jika Aldo bisa membiarkannya menangis sendiri. Kemana Aldo yang dulu akan menemaninya hingga ia selesai menangis?. Kemana Aldo yang dengan sabar menghapus air matanya, meminta maaf dengan lembut, membisikkan kata kata yang membesarkan hatinya?.
Monalisa merasa terluka....
.
.
*******
.
Hana menghirup coklatnya dan rasa hangat langsung membuatnya rileks, ia pun mengikuti Aldo yang menyadarkan punggungnya di kursi. Tatapan mereka kembali beradu.
"Jadi, ada urusan apa Pak? "
Aldo masih menatap wanita yang selalu menganggu pikirannya itu. Wajah nya yang semakin dilihat semakin membuatnya betah memandang berlama lama. Dan kini wajah itu terlihat lelah.
Sejumput rambut menjuntai didahinya membuat tangan Aldo sangat gatal ingin segera menyelipkan helaian itu di belakang telinga mungilnya.
Aldo tak pernah bosan memandang wajah itu, baginya Hana sempurna. Mata yang indah, Alisnya melengkung alami, hidungnya yang bangir, bibirnya merekah penuh yang kini terlihat memerah akibat panas dari coklat panas, membuat mata Aldo seperti dipaku tak bisa teralih lagi.
"EHmmm...."
Mata Aldo berkedip ketika mendengar deheman Hana. Sudah berapa lama ia menatap Hana? Apakah wajahnya nampak seperti serigala yang tengah mengamati mangsanya?.
Aldo mengumpat dalam hati, semoga saja wajahnya tak menunjukkan pikirannya ketika bibir merah Hana tadi membuatnya otaknya tak berfungsi dengan baik.
Aldo merapikan posisi duduknya, sepertinya tadi ia terlalu santai membuatnya kehilangan fokus.
"Apa yang harus kita bicarakan Pak? ada agenda rapat yang harus kami siapkan lagi?".
Hana bertanya kembali karena Aldo tak kunjung bicara juga.
"Kamu percaya dengan gosip yang sedang beredar?".
Alih alih menjawab Aldo malah mengajukan jenus pertanyaan yang seharusnya tak akan pernah keluar dari mulut pria itu.
"Really? Bapak mau membahas gosip dengan saya?".
Wajah Hana menyiratkan rasa heran.
Aldo terkekeh,ia sudah bisa menduga jika Hana akan berkata seperti itu.
"Saya tidak akan peduli jika itu tidak berhubungan dengan kamu, Anya..."
Aldo melihat dengan jelas jika Hana terlihat tidak mengerti.
"Maksud Bapak?"
Aldo menghela nafasnya. Seandainya saja ia dengan mudah bisa mengatakan keinginannya pada Hana. Tentu ia akan segera mengatakannya dengan jelas.
Tapi ia tau itu akan membuat Hana membungkus kembali dirinya rapat rapat.Sejauh ini Hana sudah mulai terlihat nyaman dengan kehadirannya. Ia tak mau merusaknya,ia tak mau Hana menjauh darinya.
Ia telah bersusah payah agar bisa sedekat ini dengan Hana, selama ia masih berhati hati.
Ya, Aldo selalu berhati hati agar ia tidak salah dalam melangkah.
"Saya mendapat perlakuan kurang menyenangkan dari Jessica, dia seolah menganggap saya adalah seorang musuh.."
Hana mencoba untuk paham, jadi ia membiarkan Aldo untuk menjelaskan padanya. Meskipun tanpa sadar keningnya berkerut
"Sampai akhirnya saya bertanya, dan sedikit memaksa akhirnya ia mengatakan tentang gosip yang sedang beredar.." Aldo menggelengkan kepalanya sambil tersenyum miris.
Hana mengangguk, mulai menemukan benang merah kemana arah pembicaraan ini, gosip dan Jessica. Jauh dalam hatinya ia juga ingin tau apa yang sesungguhnya terjadi.
Sejak pagi Hana sudah sibuk dengan ramainya pengunjung, dan sejak malam menjelang kepalanya sudah dipenuhi dengan agenda rapat besok, hingga Gossip yang tadi pagi ia dengar sudah jauh terpinggirkan dari kepalanya.
Jadi tadi ia benar-benar tidak langsung menangkap gosip mana yang dimaksud Aldo.
"Saya hanya butuh pendapat kamu Anya...kamu percaya atau tidak? Jessica bilang Kamu juga sudah mendengar hal ini, tentang saya dan Monalisa.."
Hana diam, ia ingin menunggu Aldo berbicara lagi. Apakah pria itu akan mengatakan hal yang sebenarnya.
"Saya tidak peduli seandainya ini tidak disangkutpautkan dengan kamu...". Aldo menatap Hana.
Dan Hana sangat ingin tau, mengapa sedari tadi Aldo hanya berputar putar, mengapa tidak langsung saja mengatakan jika apa yang menjadi bahan pembicaraan orang orang itu tidak benar, lalu menjelaskan apa yang dilakukannya di kamar Monalisa?.
Tapi Hana juga sadar jika Aldo sebenarnya tidak punya kewajiban menjelaskan apa yang terjadi. Itu urusan pribadinya. Kejadian tersebut tidak ada kaitannya dengan pekerjaan di Rumah Puncak.
"Saya tidak peduli dengan gosip Pak, dan saya rasa tidak ada hubungannya dengan saya. Bapak tidak perlu kuatir..."
"Jadi kamu tidak percaya gosip itu?".
Hana menghela nafasnya. Kembali Ia merasa Aldo sedang mengujinya? atau bagaimana?
"Bukan masalah percaya atau tidak percaya Pak". Hana terdiam sebentar mencari kata yang tepat.
"Tapi karena bapak bertanya pada saya, bisakah saya langsung mendapat jawaban dari bapak saja?"
"Artinya kamu percaya gosip itu!". Aldo terlihat tenang dan mengamati Hana dengan pandangan yang membuat Hana merasa jika Aldo tengah menilainya.
"Anggap saja begitu...." Hana melipat tangan di dadanya. Ia bisa menjadi tandingan yang sepadan jika ia mau.
Aldo tergelak, lalu menyugar rambutnya yang tak rapi itu. Lalu mengetuk-ngetukkan jemarinya dipegangan kursi.
Disetiap rapat, Hana selalu hebat dalam menyampaikan atau menanggapi sesuatu.
Berbeda jika Hana sedang sendiri, ia seperti putri malu, jika salah sentuh Hana akan segera menutup diri rapat rapat. Tapi hal itulah yang sejak dulu menarik perhatian Aldo.
"Mengapa sekarang kamu peduli jika itu benar atau tidak, Anya? Bukankah di awal kamu bilang tidak peduli?".
Smirk Khas Aldo menghias salah satu sudut bibirnya.
"Karena Bapak mendesak saya..". Hana juga menampilkan seulas senyum misterius dibibirnya.
See? Senyum Aldo semakin meluas, ia suka Hana yang kini didepannya. Mungkin karena di awal kedatangannya tadi, ia membangun suasana kerja, membuat Hana menanggapinya seperti ini, tidak sesantai biasanya.
"Seandainya saya jawab itu tidak sepenuhnya benar...?"
"Kalau begitu, maka perlu penjelasan dari bapak...."
"Kalau saya tidak menjelaskan?"
"Itu hak bapak, dan menjadi hak saya juga untuk percaya atau tidak..."
"Damn Anya! kamu benar benar buat saya....." Gemas!! lanjut Aldo dalam hati.
Aldo tertawa sambil menengadahkan kepalanya, sementara kakinya ia tapakkan ke lantai kuat kuat agar tidak berlari menghampiri wanita itu dan memeluknya.
Awalnya Aldo ingin tau, seberapa jauh Hana penasaran dengan gosip ini, apakah Hana marah? Kecewa? tapi sejauh ini, sejauh ia berputar putar dan bermain kata kata, ia tak bisa menemukan hal itu.
Hana tidak bereaksi seperti Jessica yang terlihat sangat kesal padanya, juga marah karena ia seolah olah mempermainkan Hana. Jessica tau persis jika dirinya tertarik pada Hana.
Apa yang harus dilakukannya pada seorang Hana yang kini berada tepat didepannya dengan wajah sedikit cemberut karena kesal. Bukan kesal karena gosip tapi kesal karena ia ditertawakan. Kini Bahkan wajah itu semakin merengut dan bagi Aldo hal itu semakin menggemaskan.
Akhirnya Aldo menghentikan tawanya. Menyeka sudut matanya yang berair akibat tawanya. Menyesap kembali coklat yang sudah mulai dingin.
"Menurut kamu, sebaiknya saya harus menjelaskan sama kamu?" Aldo mengangkat alisnya.
"Sebenarnya kita tidak perlu membahas ini Pak, karena yang saya dengar sepenuhnya urusan pribadi bapak..". Hati Aldo nelangsa, tak adakah setitik rasa ingin tau dihati Hana?.
"Tapi menurut kamu apakah nama baik saya tercemar jika saya tidak meluruskan hal ini?". Aldo kini terlihat lelah.
"Dan apakah itu akan mendiamkan mulut orang untuk tidak membahasnya lagi?" Jawaban Hana membuat Aldo terdiam.
"Yang membenci akan tetap membenci walau kebenaran terang benderang, yang menyayangi Bapak, akan tetap percaya walau semua masih gelap.." Hana menunduk dan tersenyum sedih.
Ia kembali teringat akan masa lalunya. Hari dimana ia membuat Ayah menangis. Tapi Ayah tak pernah menyalahkannya. Pelukan Ayah tetap sehangat yang ia ingat, pelukan yang menenangkan jiwanya. Pelukan dimana ia merasa 'pulang'. Ada sejuta maaf yang Ayah siapkan buat dirinya, membuat ia selalu merasa diterima.
"Anya....." Suara berat itu menghipnotis Hana, menarik dirinya dari kenangan masa lalu, dan suara itu membuatnya mengangkat wajah yang sedari tadi tertunduk.
"Kamu percaya pada saya?".
Suara berat itu lagi, membuat Hana terpaku.Tatapan Aldo mengunci Hana yang tak bisa mengalihkan pandangannya.
"Ya, saya percaya Bapak...".
Senyum Aldo kembali terulas.
"Sebagai staf, saya percaya, kemampuan bapak dalam memimpin selama ini, membuat saya percaya, gosip itu tidak akan mempengaruhi apa pun.."
Secepat itu senyum Aldo terhempas, satu kalimat tertelan sebelum sempat ia hamburkan..
"Yang membenci akan tetap membenci walau kebenaran terang benderang, yang menyayangi Bapak, akan tetap percaya walau gelap sekalipun.."
Salah kah jika ia ingin menyimpulkan jika Hana menyayangi nya?
Salahkan Aldo berharap Hana seperti Jessica dan yang lainnya yang marah dan kesal padanya?
Salah kah jika Aldo berharap Hana cemburu dan bahkan ia tak keberatan jika Hana membencinya ketika mendengar jika ia masuk ke kamar Monalisa?
Ya Aldo berharap Hana marah dan membencinya, itu artinya Hana memiliki rasa seperti yang ia rasa kan?.
Jika Hana tidak terpengaruh dengan hal itu, apa artinya memang Hana tidak ada rasa padanya?
Boleh kah ia kecewa...??
******
BAB 22
Dika merasa Deasy berbeda sejak istrinya itu sakit. Seolah ada jarak diantara mereka.
Bukan..
Bukan Dika yan menjauh, tapi Deasy lah yang terlihat menjauh. Istrinya itu semakin sibuk dengan pekerjaannya.
Meski tak melalaikan tugasnya sebagai istri yang biasa dilakukannya setiap hari, tetap menyiapkan sarapan, baju kerja, bahkan masih kerap mengirimkan makan siang meskipun itu makanan dari restoran dengan menggunakan jasa pengiriman online, Dika tak keberatan.
Ia tau Deasy dengan segala kesibukannya tak mungkin bisa menyiapkan semua itu, dan kantor Mereka yang berjauhan juga tak memungkinkan mereka makan siang bersama. Mereka berdua sama sama berpikir praktis dan jarang meributkan hal hal demikian.
Tapi belakangan tak ada lagi binar binar di mata istrinya itu. Senyumnya juga terlihat dipaksakan. Dika ingin menanyakan hal itu pada deasy, Tapi ia masih terlalu sibuk untuk saat ini, dan Deasy pun terlihat seperti itu. Wajahnya terlihat lelah.
Mereka hanya bertemu pada saat sarapan dan kadang malam hari jika salah satu dari mereka belum tidur. Biasanya Deasy akan menunggu hingga Dika pulang tapi belakangan Deasy sudah tidur terlebih dahulu.
Kesimpulan sementara yang bisa ia ambil, Deasy stress dengan tekanan kerja di kantor.
Dika bertekad jika proyek baru ini sukses ia akan meminta Deasy untuk mempertimbangkan berhenti bekerja jika memang itu yang menyebabkan Deasy terlihat stress.
Karena Itu juga tak baik bagi Kay Putri mereka. Cukup ia saja yang sibuk kerja. Deasy baiknya fokus dengan anak mereka.
Dari awal Dika tak keberatan dengan Deasy yang tetap bekerja setelah mereka menikah. Dan Dika juga tau jika karir istrinya itu juga semakin bagus di Bank swasta ternama itu. Tapi kenaikan karier juga akan berbanding lurus dengan kesibukan yang juga akan naik. Selama ini Dika juga tak mempermasalahkan hal itu. Hanya kondisi Deasy belakangan yang membuat Dika berpikir ulang. Dan ia mencoba membicarakan hal ini dengan Deasy.
Dika memandangi layar monitor didepannya. Mencoba untuk tetap fokus menyelesaikan pekerjaannya. Starlight PH dikenal karena integritas mereka. Tepat waktu dan kualitas yang memuaskan membuat mereka terus menanjak.
Ia cukup optimis dengan perkembangan Starlight PH yang cukup signifikan. Proyek mereka sudah mulai banyak dan beberapa perusahaan besar mulai memakai jasa mereka.
Tetapi mereka tetap menerima proyek dari usaha-usaha kecil, atau dari UKM yang baru memulai usaha mereka. Jatra dan dirinya sepakat untuk membantu usaha usaha kecil itu. Karena mereka dulu juga PH kecil yang harus rajin 'keliling' dan rajin promosi dengan memberi harga miring agar memiliki klien. Dan usaha-usaha kecil inilah yang memakai jasa mereka.
Dika tengah Fokus dengan pekerjaannya,ketika Nina sekretarisnya memberitahukan jika ada telepon dari Departemen Pariwisata Malabar.
Kening Dika mengerut, tanda ia sedang mengingat sesuatu. Ada yang tak asing dengan Malabar. Entah mengapa jantung Dika berdebar, ketika ia ingat jika itu adalah daerah dimana Hana kini berada.
Damn!
Mengapa Semua yang berhubungan dengan Hana mampu menganggu kerja jantungnya.
"Pak?"
Dika tersentak mendengar panggilan Nina.
"Eh ya?"
"Diterima telponnya?"
"Oh...ya...sambungkan ke saya..."
"Baik Pak..."
Dika meraih teleponnya dan berusaha menenangkan deburan di dadanya.
"Selamat Pagi, Dengan Dika..."
"Selamat Pagi Pak Dika, saya Abdul Gani dari ......"
Dan seterusnya pembicaraan berlanjut dan informasi yang Dika terima adalah Pemerintah Daerah dalam hal ini Departemen pariwisata ingin memakai jasa mereka untuk membuat iklan untuk mempromosikan kabupaten Malabar, dengan menampilkan tempat tempat wisata yang ada disana.
Pemda ingin meningkatkan pendapatan daerah melalui kunjungan wisatawan baik dalam maupun luar negeri. Untuk itu mereka butuh promosi yang benar benar bagus, agar menarik minat wisatawan.
Dan pembicaraan selanjutnya membuat Dika pusing, karena Rumah Puncak disebutkan juga sebagai salah satu lokasi pengambilan gambar, disamping lokasi lain yang belum familiar ditelinganya.
Tapi dengan menyebutkan Rumah Puncak saja cukup membuatnya dilema. Dalam artian ia akan kembali bertemu dengan Hana. Ada rasa senang yang membuatnya frustasi karena itu sudah tak pantas ia rasakan. Demi Tuhan ia sudah punya keluarga dan Hana sudah ia sakiti dengan parah.
Tentu saja ini adalah proyek penting, selain ini akan menjadi pemasukan buat PH mereka, tapi juga dapat membuat network mereka semakin luas.
Tapi membayangkan jika harus ke sana lagi, membuat perut Dika seolah diaduk-aduk. Ada rasa kurang ajar yang muncul karena ia ingin segera kesana bertemu Hana, dan ada rasa takut jika kedatangannya kembali membuat Hana tak nyaman.
Jujur sampai saat ini ia tak pernah bercerita pada Deasy jika ia bertemu dengan Hana. Meskipun Deasy tak pernah mengekangnya dalam bergaul.
Dika tau pasti, jika Deasy selalu mencari informasi tentang orang orang yang berada didekatnya. Terlebih jika itu wanita. Hanya Dika pura pura tidak tau saja, selama hal itu masih dalam batas wajar.
Dika membiarkan Deasy melakukan apa saja yang bisa membuat hati istrinya itu tenang.
Dika tidak tau bagaimana reaksi Deasy jika mengetahui ia bertemu dengan Hana. Dan untung saja ketiga rekan kerja dan sahabatnya tak sekalipun mencetuskan hal itu. Seember ember nya Budi, bocah itu selalu tau mengerem mulutnya jika ada acara gathering dengan keluarga.
Deasy selalu sensitif tentang Hana, meskipun Dika yakin Deasy tak mengenal Hana, karena mereka memang tak pernah bertemu. Deasy hanya tau nama Hana saja.
Deasy tau Dika meninggalkan Hana demi dirinya.
Ketika suatu hari, secara tak sengaja Deasy menemukan kalung pemberian Dika untuk Hana, Deasy langsung membuang kalung itu ditempat sampah tepat didepan mata Dika.
Kalung itu tak jadi Dika berikan pada Hana, karena dihari ia akan memberikan kalung itu, dihari itu pula ia bertemu Deasy kembali setelah sekian lama berpisah.
Kalung itu ia simpan begitu saja. Tanpa sempat ia berikan pada Hana.
Hingga ketika Deasy tanpa sengaja menemukan kalung itu dilaci meja kerja Dika, ketika mereka sedang mengatur ulang ruangan itu, termasuk membersihkan kertas kertas, buku buku, dan berbagai barang yang dianggap sudah tidak perlu lagi.
Kalung itu adalah rangkaian huruf H-a-n-a, dipesan khusus bagi wanita yang akan menjadi istrinya.
Bukan masalah Harga kalung itu yang memang cukup mahal, tapi Deasy seakan tak menghormati Hana yang sudah berkorban untuk mereka berdua. Dan Mereka bertengkar sangat hebat soal itu. Dika mengambil kembali kalung itu, tak peduli ia harus mengorek ngorek sampah.
Dika tak suka cara Deasy membuang barang miliknya. Meskipun itu wajar karena Deasy cemburu. Tapi Dika tidak berhubungan lagi dengan Hana, dan ia sudah memilih untuk menikah dengan Deasy, jadi menurut Dika, Deasy tak perlu secemburu itu.
Dika sudah menyimpan semua foto dan kenangan ketika masih bersama Hana digudang dirumah orang tuanya. Ia hanya lupa dengan kalung itu.
Sejak saat itu, mereka seolah sepakat jika nama Hana tidak boleh disebutkan dalam pembicaraan mereka. Masalahnya jelas ; Deasy yang cemburu dan Dika yang merasa bersalah pada Hana.
Dika bisa membayangkan reaksi Revan, Eko dan Budi. jika tau proyek besar yang ditawarkan ini.
Terlebih Eko yang selalu melindungi Deasy. Dika tak mungkin langsung menolak. Ia harus menyampaikan hal ini pada Jatra. Biar Jatra yang ambil keputusan.
.
.
.
.
.
********
.
.
.
Jatra memutuskan mengambil proyek iklan itu diantara deadline yang mendesak. Dan seperti dugaannya ada banyak ekspresi yang ditampilkan rekan rekannya itu.
Revan terlihat biasa saja Meskipun matanya melirik lirik pada Dika, Budi yang tersenyum sumringah, dan Eko yang tidak berkata apa apa, wajahnya datar tanpa ekspresi. Dika tau Eko sedang menahan perasaannya.
Dika mencoba berkelit jika ia tak bisa mengerjakan proyek itu.
"Perlu banget kita ambil proyek ini Jat?, maksud gue dengan kondisi kita yang lagi hectic begini...".
Jatra menggelengkan kepalanya
"Mereka ngga minta secepatnya kok, gue juga sudah bilang keadaan kita yang sekarang...mereka mau nunggu sampe kita ada waktu longgar.."
Jawab Jatra.
"Masa sampe segitunya sih? mau banget nunggu kita? Ya Kali Pemda dengan segala sumber dana mereka ngga bisa pakai jasa PH lain?" Sudah Dika duga akan begitu kalimat yang keluar dari mulut Eko.
Dika memijit pangkal hidungnya. Ia tak mengucapkan apa pun.
"Katanya mereka suka dengan hasil iklan Beauty Nature kita dan cara kerja kita kemarin..."
"Kata siapa? Bu Hana?" Kini Budi yang bertanya. Kepala Dika semakin pusing tiba tiba saja mulut Budi kumat lagi.
"Bu Hana?" Tanya Jatra dengan kening berkerut.
"Bu Hana manajer Rumah Puncak Mas!". Senyum dibibir Budi membuat Dika ingin sekali melakban mulut juniornya itu.
" mmm bukan, bukan Bu Hana, gue kenal kalau dia...dan ini rekomendasi dari Jakarta kok, bukan dari Rumah Puncak, ini rekomendasi Ibu Monalisa, dia itu PR perusahaan pemilik Rumah Puncak. Kebetulan Perusahaan itu juga ada kerjasama dengan Pemda"
Kelima orang yang berada di ruangan rapat itu sibuk berpikir, dengan pikiran masing masing.
"Kalo gue sih, ngga keberatan, asal mereka mau nunggu kita selesaiin yang sedang berjalan dulu...paling lama satu atau satu setengah bulan sih kalo kita on schedule..." Revan terlihat membuka time line kerja.
Budi ikut melirik ke macbook milik Revan itu.
"Gue juga setuju setuju aja Mas....itung itung liburan lagi setelah satu bulan jadi zombie...." Budi dengan cengiran khasnya menimpali Revan yang terlihat santai.
"Nah itu dia Bud!!, gue jadi punya ide, bagaimana sekalian kita ajak keluarga liburan kesana, udah lama ngga ngajak Zia liburan..kemarin dia sampai merengek lihat foto foto yang lo kirim Ko!"
Eko tersedak ludahnya sendiri dan Dika menggelengkan kepalanya frustasi. Revan dan Budi yang kompak nyegir kuda tak jelas.
"Gimana...?" Wajah Jatra terlihat sumringah seolah telah memberikan keajaiban bagi anak buahnya.
Revan tertawa geli, Budi menaik naikkan alisnya ke arah Dika. Sementara Eko langsung keluar ruangan yang membuat jatra heran.
"Eh..Kenapa si Eko?"Jatra mencetuskan keheranannya.
Revan dan Budi terbahak bahak, Dika pura pura sibuk dengan ponselnya.
"Kenapa sih? Kenapa kalian jadi aneh.? Emang omongan gue ada yang salah? Biasanya kalian paling seneng kalau kerja sekalian gue sambung liburan...apalagi bawa keluarga? Kurang baek apalagi gue?"Protes Jatra karena niat baiknya malah tak bersambut.
"Seneng kok Mas...seneng banget malah....apa lagi Dika...."
Revan dan Budi semakin tertawa terbahak bahak.
"Kampret Lo!" Dika melempar sebatang rokok pada Revan dan ia pun beranjak keluar.
Jatra memasang wajah serius pada kedua orang yang tersisa diruangan, yang masih tertawa tawa dan itu membuatnya kesal.
Menyadari wajah Jatra yang dalam mode serius, membuat Budi dan Revan harus mode serius juga. Jatra Boss yang pengertian, tapi bisa berubah menjadi mengerikan jika ada yang tak berkenan dihatinya.
"Sorry mas...sorry...."
Ringis Budi, ia sudah hapal dengan tatapan Jatra itu.
"Bu Hana....Mas Kenal kan?"
Jatra mengangguk serius.
"Bu Hana itu mantan nya Mas Dika...."
Mulut Jatra membuka dengan otomatis, yang membuat Revan dan Budi kembali tertawa geli. Yang membuat Jatra kembali mendengus kesal pada dua pria yang kini seperti tingkah perempuan penggosip.
"Tapi ngga ada kejadian apa apa kan disana? Dika tetap profesional kan?" Jatra tampak waspada. Baginya keluarga adalah segalanya. Tak ada main main dalam ikatan pernikahan, karena itu ia membutuhkan waktu yang cukup lama untuk memutuskan kalau ia siap menikah.
Usianya kini tigapuluh enam tahun, sudah satu tahun sejak ia menikah dengan Zia yang usianya masih duapuluh tiga tahun. Jauh memang, tapi hanya dengan Zia yang dianggap bau kencur itu, yang bisa membuat kekuatirannya dan rasa takut akan ikatan pernikahan bisa goyah. Dan kini ia bahagia.
"Iya Jat...Dika tetap profesional kok, apa lagi Ada Eko yang jaga Dika kaya satpam..." Sahut Revan.
"Respon Bu Hana bagaimana?"
Lanjut Jatra. Ia tak mau hal ini akan menjadi masalah. Ia harus tau jelas kondisi tim nya.
"Oh, jelas Profesional Mas, Bu Hana sangat pro-fe-sional, Mas Dika aja yang awalnya agak 'oleng'..". Revan menoyor kepala Budi
"Apaan sih Lo 'oleng-oleng'" Omel Revan
"Tanang aja Mas...Bu Hana sudah punya cowok juga...lebih keren dan lebih tajir dari Dika..." Seru Budi santai, sambil merapikan rambutnya yang sedikit berantakan karena toyoran Revan. Gila! Lama lama kepalanya kopong keseringan ditoyor toyor begini.
Jatra manggut manggut setelah mendengarkan hal itu.
"So, ngga ada masalah kan kalo gitu?" Jatra menaikkan alisnya.
"Lo Tanya Dika aja Jat...itu kan yang gue sama Budi liat...gimana gimananya kan kita ngga tau
.." Sahut Revan berusaha untuk bijak.
"Ya sudah, paling gue ngga kasih proyek ini ke Dika..."
"Ya ngga bisa Mas...yang jago masalah beginian kan cuma mas Dika...masa dia ngga ikut.?"
Budi membuka suaranya. Ia boleh slengean tapi soal kerja ia tau ia harus kerjasama dengan orang yang tepat dan orang itu adalah Dika.
"Iya Jat, apalagi ini urusan dengan Pemda, lo tau kan ribet banget birokrasinya, dulu Dika kan pernah jadi ASN, jadi ngebantu bangetlah kalau ada dia.."
Imbuh Revan menambahi pendapat Budi tadi.
Jatra menghela nafasnya, menyandarkan punggungnya ke kursi kerjanya yang nyaman. Kursi ini pilihan Zia, istrinya itu tau jika dirinya punya masalah dengan punggungnya akibat terlalu sering duduk dari pagi hingga pagi lagi jika sudah dapat proyek.
Jatra melipat kedua tangannya di dada, memejamkan mata lalu menggerakkan kursi yang bisa berputar itu kekiri dan ke kanan.
Revan dan Budi tau jika Jatra sedang berpikir dan tidak boleh diganggu.
Mereka berdua kembali melanjutkan pekerjaan mereka yang tertunda tadi. Membiarkan Boss nya mencari wangsit di kursi kesayangannya.
Jangan harap mereka bisa duduk di kursi itu, bahkan menyentuhnya saja bisa membuat Jatra murka.
Iya, Boss mereka itu bucin akut, padahal siapa yang berani main main dengan Zia? diajak ngobrol sedikit saja, Jatra sudah pasang muka perang. Jadi semua tim ambil aman untuk tidak cari masalah dengan mantan bujang lapuk itu, sensitif sekali soalnya.
"Oke, kita ambil Proyek ini, rencana liburan gue batalin...gue transfer aja ke rekening masing masing, silakan liburan kemana aja yang kalian mau...kita berangkat formasi lengkap!" Ucap Jatra setelah lebih kurang sepuluh menit berdiam diri.
Mereka memang butuh proyek ini. Proyek dari pemerintah memang tak begitu 'basah' tapi mereka bisa menambah networking. Apalagi mereka akan bekerjasama dengan banyak pihak, tentunya baik untuk promosi dan menambah jam terbang mereka.
"Lagian kita pasti butuh waktu lama untuk proyek ini, mengingat kita bukan hanya kerja disatu lokasi...kita bakal mobile kemana mana dan pasti hectic banget"
Revan dan Budi hanya menganggukan kepala, berusaha masuk ke pembicaraan Jatra lagi, karena tadi mereka sebenarnya sedang serius menyelesakan proyek yang hampir rampung.
" Tapi Gue mau ngomong dulu sama Dika mastiin kalo dia ngga oleng lagi...gue gampar beneran kalo dia berani oleng..."
Revan hanya mesem mesem tak jelas dan Budi yang mengangguk- angguk setuju dengan apa yang Jatra sampaikan.
Meskipun Budi sering terlihat cengengesan, tapi diam diam ia tau sehebat apa pengaruh Hana pada seorang Dika.
Mungkin dulu Hana memutuskan Dika secara sepihak disaat Dika lagi sayang sayangnya...
Itu kesimpulan yang bisa dirangkum otak buaya darat cap terong itu, berdasarkan pengamatannya pada interaksi Dika dan Hana.
Meskipun interaksi mereka berdua sangat jarang, tapi sekali Hana mendekat pada Dika, aliran listrik kuat langsung menyambar- nyambar disekujur tubuh Dika. Membuat Dika kadang disorientasi ruang dan waktu.
Mas Dika memang bego....
Cibir Budi..
.
.
******
BAB 23
Deasy turun dari mobilnya. Gerimis dan gelap menyambut kedatangannya di rumah yang terlihat terang dengan lampu lampu yang sudah dinyalakan.
Ia mengerinyitkan dahi, apakah suaminya sudah pulang?. Ia tau ini kebiasaan Dika yang suka menyalakan seluruh lampu dalam ruangan hingga rumah akan terlihat sangat terang.
Berbeda dengan dirinya yang hanya menyalakan lampu downlight. Ia lebih menyukai sinar temaram yang membuat suasana menjadi tenang, membuat dirinya lebih relaks. Seharian bekerja membuatnya lelah, dan ketika pulang ia benar benar ingin beristirahat.
Deasy melanjutkan langkah kakinya yang beralaskan sendal empuk warna lavender. Ia selalu mengganti heelsnya dengan sendal jika seusai jam kantor, mengistirahatkan kakinya yang tegang sepanjang hari.
Sekali lagi menoleh ke belakang memastikan mobil Dika ada atau tidak. Dan ia memang tidak melihatnya. Tidak mungkin benda sebesar mobil tidak kelihatan bukan?
Sayup sayup Deasy mendengar lagu lagu nursery rhyme Dari chanel youtube anak yang cukup terkenal saat ini.
The itsy bitsy spider crawled up the water spout...
Down came the rain, and washed the spider out...
Lirik lagu yang sangat familiar ditelinganya.Dan Kay juga sangat menyukainya. Berbeda dengan anak anak lain yang takut pada laba laba, Kay malah suka mengamati hewan Arachinida itu. Hewan berkaki delapan yang menurut Kay sangat keren.
Tapi Kay tidak menyukai tokoh spider-Man, superhero dari Marvel Comics itu, karna menurutnya spider-Man seharusnya juga berkaki delapan, bukan dua!.
Lamat lamat Deasy mendengar Kay sedang mengikuti lagu Itsy Bitsy Spider sambil tertawa tawa. Dan membuat Deasy yakin jika Dika sudah pulang.
Tawa ceria seperti itu hanya terdengar jika Kay sedang bersama sang papa. Kintan babysitter mereka biasanya hanya ikut menemani tanpa ikut bernyanyi.
Dari jendela kaca yang ditutupi vitrase warna krem, Deasy dapat melihat pemandangan didalam rumahnya.
Terangnya lampu membuat pergerakan Ayah dan putrinya itu terlihat jelas. Deasy merasa aman berada diluar karena sudah gelap. Mereka tidak akan melihatnya berdiri disini.
Entah mengapa Deasy tidak beranjak masuk. Ia ingin menikmati pemandangan yang sebenarnya adalah keberuntungannya.
Rumah tangganya tampak sempurna. Suami yang gagah dan bertanggung jawab. Putri yang cantik dan cerdas. Mereka hidup berkecukupan. Rumah yang nyaman, tak pernah kekurangan makanan, pakaian, barang-barang mewah. Rumah tangganya bahagia.
Kay yang sedang bernyanyi dan menari mengikuti gerakan dari Televisi dan Dika yang merekam Kay dengan kamera ponselnya dari berbagai sudut sambil tersenyum lebar. Menyemangati putri kecilnya dengan ikut bergerak-gerak dengan gaya konyol. Deasy tersenyum kecil. Dika akan melakukan apa saja agar putri kecilnya itu bahagia.
Di meja berserakan makanan kesukaan Kay, es krim , jus melon dan kentang goreng dalam kemasan besar. Deasy juga melihat kotak yang ia tau itu adalah cake tiramisu dan...jus apel kesukaannya.
Tenggorokan Deasy mendadak kering. Dadanya terasa sakit oleh rasa bersalah melihat Dika yang selalu memperhatikannya.
Ia tercekat melihat kegembiraan di dalam rumahnya. Kegembiraan yang harusnya ia syukuri.
Dika tau semua hal tentang dirinya, Dika tau apa yang dirinya tidak suka, dan Dika akan berusaha menghindarinya. Dika tau apa yang ia suka, dan Dika selalu berusaha memberikannya.
Air matanya menetes, dan Deasy membiarkannya. Kadang ia tidak tau apa yang membuat dirinya selalu tidak puas dengan perhatian Dika.
Dirinya selalu merasa Dika tak pernah cukup memberikannya cinta. Ia ingin Dika hanya miliknya, memberi cinta sebanyak cinta yang punya.
Akan banyak orang diluar sana akan menunding dirinya istri yang tidak tau diri.
Mengkhianati suami yang begitu baik. Menghianati suami yang setia padanya.
Tapi hatinya selalu kosong, ketika ia mengingat hari itu...
Hari dimana Dika kehilangan dirinya sendiri.
Hari dimana mereka tanpa sengaja bertemu dengan seorang wanita hamil yang menunjuk nunjuk Dika tanpa malu, wanita yang meneriaki Dika laki-laki pengecut.
Awalnya Deasy mengira Dika menghamili wanita lain dan menuntut Dika bertanggung jawab. Hampir saja ia pingsan jika ia tak menguatkan dirinya untuk terus mendengarkan pertengkaran itu.
Ternyata wanita itu saudara Hana. Deasy tau jika Dika memutuskan untuk membatalkan pernikahannya. Deasy membuang jauh-jauh rasa bersalahnya. Ia turut andil dalam menyakiti Hana.
Tapi waktu itu dirinya dan Dika tidak memikirkan apa-apa lagi selain cinta mereka yang memang tak bisa dipisahkan.
Hana pergi meninggalkan rumah, bahkan mengambil semua kesalahan Dika dan dirinya. Mengaku pada keluarganya jika Hana lah yang membatalkan pernikahan itu.
Sejak hari itu, Dika tak lagi sama.
Masih jelas juga diingatannya, bagaimana Dika dengan tangan gemetar mencari kalung yang ia buang ketempat sampah, dan ketika ia menemukan kalung yang bertuliskan nama wanita itu, Dika menggenggamnya dengan erat, Deasy bisa melihat mata Dika yang memerah dengan sorot mata terluka, lalu meninggalkannya sendiri.
Saat itu Deasy menyadari satu hal. Dika menghukum dirinya sendiri. Menghukum dirinya dengan cara menikah dengannya.
Dika merasa sangat bersalah pada Hana, dan menikah dengan Deasy sebagai bentuk hukuman. Bukan karena Dika benar benar mencintainya. Bukankah itu mengerikan untuk dijalani?.
Deasy adalah hukuman bagi Dika.
Hukuman atas penghianatan Dika pada Hana.
Dika menikahinya karena ingin menebus kesalahan yang ia perbuat.
Dika menjalani hukuman itu dengan menjadi suami yang baik, ayah yang baik,anak yang baik, menantu yang baik.
Tapi Dika lupa untuk menjadi baik terhadap dirinya sendiri. Deasy tak pernah lagi melihat Dika yang dulu.
Dika Yang bersemangat dan suka tertawa. Memandang segala sesuatu dengan optimis. Menyukai hunting kuliner dan tempat-tempat wisata yang menarik hatinya. Suka bercengkrama dengan orang-orang sekitar meskipun ia tidak mengenal mereka sebelumnya.
Dulu Dika adalah pria yang selalu bahagia, yang akan tertawa untuk hal-hal kecil, dan dengan mudah ia menularkan rasa itu pada orang-orang disekitarnya.
Dika yang menjadi suaminya kini adalah Dika yang serius dan pendiam. Yang suka menyendiri mencari gunung-gunung dan lembah, berkemah sendiri dalam kesunyian berhari-hari.
Dulu objek fotonya adalah objek-objek keramaian dengan warna warna ceria dan suasana gembira.
Kini Dika menyukai foto-foto alam yang penuh misteri. Lembayung senja, sunset, suasana hutan dan lembah yang angkuh ditengah alam liar. Nuansa gelap dan redup kota di malam hari, juga adalah objek foto favorit Dika.
Deasy telah lama kehilangan tawa Dika yang dulu. Ia tau jika Dika hanya tertawa untuk menenangkan dirinya. Meyakinkan jika semua baik-baik saja. Dan hanya tertawa dengan tulus jika dengan putrinya saja.
Seperti saat ini, Dika masih tampak ikut bernyanyi dan bergerak bersama Kay. Lalu Kay tertawa karena gerakan papanya yang kaku. Dika juga jadi tertawa dan semakin membuat gerakan lucu yang membuat Kay terpingkal pingkal.
Deasy terisak-isak, ia merasa jauh dari dunia Dika. Ia bersyukur karena volume suara TV benar benar di stel besar, hingga isaknya tak akan terdengar.
Deasy menepuk dadanya yang terasa sesak, sesak yang membuatnya tak bisa menatap Dika seperti dulu lagi.
Ia merasa dirinya sangat kotor. Meskipun menurutnya Dika tak mencintainya sebesar dulu lagi, atau bahkan mungkin Dika salah mengenali apa yang ia rasakan ketika mereka bertemu kembali? mungkin bukan cinta? mungkin hanya eforia sesaat saja?. Tapi apa pun itu, bukan kah Dika tetap setia?. Bukankah Dika bertanggungjawab penuh atas rumah tangganya?.
Namun mengapa Deasy tetap merasa tidak cukup?
Deasy semakin tergugu, kakinya goyah, ia tak bisa menahan tubuhnya lagi. Ia berlutut sambil menutup mulutnya dengan tangannya. Menahan tangis yang mendesak keluar.
Sepanjang pernikahannya ia juga dibayangi rasa bersalah karena membiarkan dirinya menjadi penyebab luka hati seorang wanita baik, penyebab luka hati seorang Ayah yang menyayangi putrinya, penyebab berpisahnya orang orang yang saling mencintai.
Siapa bilang hidupnya mudah dan indah?. Bahkan untuk bahagia saja ia harus berdiri di atas luka wanita lain.
Suaminya juga tidak bisa bahagia karena hal yang sama.
Sungguh kesalahan itu menggerogoti mahligai rumah tangga yang mereka bangun atas dasar luka.
Dari luar rumah tangga mereka tampak bahagia. Tidak ada yang rau itu semua semu.
Dan ketika ia bertemu dengan Gading Indrajaya, semuanya menjadi lebih mudah.
Mereka tidak punya kisah yang sama. Kisah mereka Sama sekali berbeda.
Gading menikahi wanita yang dipilihkan orang tuanya. Rumah tangga mereka aman, meski tidak ada cinta. Gading dan istrinya menghormati privasi masing-masing. Mereka sepakat untuk saling bekerjasama dengan baik.
Demikian juga hubungannya dengan Gading, hanya sebuah hubungan tanpa status, tanpa masa depan, tanpa rencana. Semua berjalan begitu saja.
Kadang Deasy yang meminta bertemu, kadang Gading yang meminta. Tidak pernah ada tuntutan dari kedua belah pihak. Jika memang tidak bisa bertemu tidak akan ada yang memaksa. Semua berjalan dengan baik, penuh dengan kompromi.
Ia pertama kali bertemu ketika Gading mengajukan pinjaman ke Bank. Dan saat itu Deasy menjadi Account Officer.
Beberapa kali pertemuan membuat mereka dekat. Dan tanpa sengaja suatu malam mereka bertemu di suatu club di Bali saat Deasy menghadiri sebuah pertemuan dengan debitur baru.
Dan mulai malam itu Ia Dan Gading memulai hubungan yang tidak sepantasnya. Mereka sama sama tau status mereka, dan memutuskan jika hubungan mereka hanya selingan dan hiburan semata.
Walau tak dapat dipungkiri Deasy merasa nyaman dengan Gading. Pria pendiam tapi romantis. Memberikannya banyak kenyamanan, kejutan-kejutan manis yang membuat Deasy bahagia.
Mereka tak banyak bicara mengenai kehidupan rumah tangga masing-masing, mereka hanya bicara hal hal ringan dan menyenangkan.
Dika tak pernah mengekangnya, tak keberatan jika ia berlibur bersama teman-teman kantornya, tugas luar kota dan pertemuan dengan debitur-debitur yang juga kadang mengharuskan Deasy keluar kota tak pernah dilarang oleh Dika.
Membuat Deasy dengan mudah membuat janji temu dengan Gading. Ia tak pernah menerima ajakan yang sama dari pria-pria lain. Tapi entah kenapa ia tak bisa menolak pesona Gading yang bahkan tak menggodanya seperti pria lain. Cukup dengan tatapan mata dan suara beratnya, mampu membuat Deasy menghianati Dika.
.
.
.
*******
.
.
"Lagi banyak kerjaan Des...?"
Deasy mencoba tersenyum, ketika Dika memasuki kamar mereka. Dika baru saja dari kamar Kay,membacakan dongeng sebelum tidur. Deasy sedang menyisir rambutnya. Ia baru saja habis mandi.
"Humm...."
Dika mengambil hair dryer dari laci, lalu membantu Deasy mengeringkan rambutnya.
"Kenapa mesti keramas sih? besok hidungnya mampet lagi.. "
Kembali dada Deasy terasa sakit.
Apa yang sudah dilakukannya? Menghianati suaminya sendiri?. Harusnya jangan pedulikan
cinta- cinta lagi. Buktinya Dika tak pernah meninggalkannya.
"Rambut kamu sudah bisa dirapiin lagi Des, kamu sekarang sibuk banget, ngga mau dipotong saja biar lebih gampang ngurusnya?"
Ah perhatian itu lagi. Deasy meremas ujung piyama tidurnya. Menahan buncahan sakit di hatinya. Wajah suaminya itu terlihat serius dengan kegiatan mengeringkan rambutnya.
Tiba tiba suara berisik itu berhenti. Dika meletakkan kembali hair dryer itu.
Memegang pundak Deasy lembut dengan kedua tangannya yang besar. Mata mereka bertemu dicermin meja rias Deasy. Ada senyum samar di bibir Dika.
"Des....kalau kamu terlalu cape kerja, ngga apa-apa kalau mau berhenti.."
Ucapan Dika terjeda, ia mencoba membaca reaksi Deasy dengan ucapannya.
"Aku ngga larang kamu kerja Des, kamu tau itu. Tapi kalau pekerjaan sudah membuat kamu tertekan dan menguras waktu, kamu mungkin sebaiknya memikirkan untuk resign, Kay juga butuh perhatian banyak..."
Deasy menundukkan kepalanya, beban pekerjaan tak membuatnya tertekan. Justru pekerjaan lah yang kini bisa membuatnya waras.
"Aku perhatikan kamu sibuk sekali belakangan ini, dan..."
Dika mengangkat dagu Deasy dengan tangannya, membuat pandangan mereka bertemu lagi di cermin besar itu.
"Kamu tampak stress Des...kamu makin jarang senyum...terlihat lelah.."
Deasy memohon dalam hatinya agar air matanya tidak tumpah.
Tidak ada yang luput dari perhatian Dika. Karena itu ia selalu berusaha menghindarinya. Ia tak mau Dika tau tentang penghianatan yang ia lakukan.
Deasy berbalik memeluk Dika, menempelkan pupinya ke perut suaminya itu. Ia tak tahan menatap mata Dika yang tajam itu.
"Ng..nggak kok Mas, paling bulan ini saja, memang lagi ada kerjaan besar...habis ini balik kaya biasa lagi...".
Deasy merasakan tangan Dika membelai rambutnya.
"Hmmm...oke, tapi kalau kamu benar benar ingin berhenti, ngga masalah ya Des, PH kita semakin mapan, kita ngga akan kekurangan kalau kamu ngga kerja lagi.."
"Aku kerja bukan untuk uang kok Mas, aku hanya tidak biasa berada dirumah tanpa melakukan apa-apa.."
"Dirumah kamu bakal sibuk juga, ada Kay yang harus diperhatikan sepanjang hari kan? Kamu ngga bakalan terasa kalau satu hari terlewat begitu saja, jadi ibu rumah tangga menyenangkan kok Des..."
"Mas ngarepin banget aku resign?"
Deasy bisa mendengar tawa Dika dari telinga yang masih menempel diperut suaminya itu .
"Ya pasti ngarep lah, aku jadi tenang kalau kamu yang nemenin Kay, tapi kembali sama kamu Des, aku ngga mau kamu jadi ngga bahagia karena harus resign. Pikirkan saja dulu..aku tetap menghargai keputusanmu. Tapi jika kondisi seperti belakangan ,kamu yang selalu pulang malam, aku keberatan..."Usapan dikepalanya masih berlanjut membuat Deasy semakin mengeratkan pelukannya.
"Janji mas, hanya bulan ini saja..." Deasy bisa memastikan itu, karena memang tidak ada kerjaan besar seperti yang ia bilang, ia hanya belum bisa tenang dengan kebohongan fatal yang telah ia lakukan.
Akankah Dika tetap memeluknya seperti ini ketika Dika tau apa yang ia lakukan dengan Gading?.
"Hmmm...kamu istirahat, aku mau selesai kerjaan lagi. Tadi ngga sempat karena keburu main sama Kay...kamu tidur duluan ya..." Dika mengecup lembut kening istrinya itu, mengacak rambutnya, dan Dika pun berjalan keluar kamar meninggalkan Deasy dengan air mata yang telah jatuh tanpa bisa ia cegah.
.
.
****
.
.
Dika mengusap wajahnya dengan kasar. Ada yang disembunyikan Deasy.
Ia bukannya tak tau ketika Deasy pulang dan tidak langsung masuk. Dika sempat melihat kilasan sinar Lampu mobil Deasy yang memasuki garasi.
Hampir satu jam Deasy tidak kunjung masuk, dan ketika istrinya masuk, Dika dapat melihat Deasy berusaha menutupi wajah sembab nya dengan mengurai rambutnya yang biasa dicepol jika istrinya itu bekerja.
Tak mungkin jika hanya sekedar masalah pekerjaan kantor hingga menguras emosi dan sampai menangis. Karena ia tau Deasy wanita yang sangat kompeten dengan pekerjaannya. Tak ada yang sulit bagi Deasy, dan terbukti karirnya terus naik.
Dika juga menyadari jika Deasy jarang menatapnya lagi, sering mengalihkan pandangannya ke arah lain ketika mereka bicara.
Dika harus membicarakan hal ini dengan Deasy. Tapi ia menunggu hingga Deasy tenang, agar mereka bisa bicara dengan tenang juga.
Apa pun yang tengah dipikirkan Deasy saat ini, Dika merasa hal itu berhubungan dengan dirinya.
Apakah usahanya untuk menjadi suami dan ayah yang baik belum sesuai dengan harapan Deasy?.
Belum lagi masalah Proyek iklan pariwisata yang akan mereka kerjakan nanti.
Dika tidak tau haruskah ia mengatakan pada Deasy jika ia sudah bertemu dengan Hana? dan kedepannya mereka akan bertemu lagi?. Apakah itu perlu ia sampaikan ?.
Tapi ia tak mau Deasy menjadi tidak tenang. Ia dan timnya hanya membuat iklan dan selesai, toh mereka akan berkeliling ke berbagai lokasi.
Jadi bertemu Hana tidak akan menjadi masalah kan?
Tapi mengapa jantungnya berdegup tak tenang, dan tangannya berkeringat hanya dengan memikirkan akan bertemu Hana?
Sial!!!
Dika memutuskan mengambil kotak putih dari laci, lalu membuka jendela lebar lebar, baru ia menyalakan benda itu dengan pemantik, dan tak lama asap putih keluar dari mulut dan hidung pria yang sedang gelisah itu.
BAB 24
Seperti hari hari sebelumnya. Kesibukan di rumah puncak berjalan seperti biasa. Semua tim berjalan sesuai dengan SOP atau Standart Operating Procedure. Tidak ada yang bekerja diluar itu, karena penyimpangan kecil saja akan dengan mudah ditemukan.
Hana sedang mengadakan pertemuan dengan Tim Food Production dan F&B Service. Yang bertanggung jawab dalam hal pengolahan dan penyajian makanan kepada para tamu Resort.
Sesuai dengan rapat besar hari senin yang lalu, Aldo menyampaikan jika mereka akan mendukung Program Pemerintah daerah untuk memberdayakan makanan makanan lokal dan menggunakan bahan baku dari petani-petani lokal.
"Bulan depan kita sudah memakai beras organik dari satu orang pemasok, untuk sayuran organik kita juga sudah memiliki kerjasama dengan beberapa petani.." Jelas seorang pria dengan wajah serius.
"Jadi untuk hal ini, tidak ada masalah ya Chef?baik dari Kualitas maupun ketersediaan?" Hana menuliskan sesuatu di notes nya.
"Ya, itu sudah kita pertimbangkan Bu, untuk beras organik kami sebenarnya sudah terima beres dari ibu dan Pak Aldo.." Terdengar suara tawa dalam ruangan itu.
"Saya sudah baca MOU nya, jadi tidak ada kendala, kami sangat berterimakasih bu, karena yang lalu masalah pemasok beras memang cukup merepotkan kami". Imbuh Arya dengan sopan. Hana menggangguk.
"Untuk sayuran dan buah kita kerjasama dengan beberapa petani kecil, yang juga adalah petani binaan kita, dan sudah dipastikan mereka benar benar menggunakan bahan organik, mereka nanti saling bergantian menyediakan sayuran dan buah untuk kita".
Arya kembali melihat catatannya
"Sebagian juga disediakan dari Tim Hortikultura kita, tapi tidak bisa dalam jumlah banyak, karena pengunjung sangat antusias membeli sayuran organik segar yang Tim Horti hasilkan untuk mereka jadikan oleh-oleh".
Hana mengakui jika Heru Gunadi manager Hortikultura cukup berhasil mengelola bagiannya.
Hana sendiri sangat suka berjalan-jalan disepanjang bedengan sayuran yang rapi dan subur subur. Ada brokoli,paprika wortel, tomat, kentang, kacang panjang, bayam, selada dan banyak lagi.
"Untuk kedepannya, kita mau coba masukkan kopi lokal dalam pilihan kopi di Waroeng Kopi Puntjak. Ada beberapa yang sudah kami survei. Dan kita menemukan satu Kebun Kopi yang kualitasnya sangat bagus..". Terang Arya. Selain seorang chef, Arya juga penyuka kopi, ia juga belajar tentang kopi dan Arya juga adalah seorang profesional cupper.
"Oh, bagus kalau begitu Chef..ternyata petani petani daerah kita juga berkualitas ya, bagus banget program Pemda kita, jadi para pemilik usaha daerah bisa saling bekerjasama..".
"Iya bu, kita juga dapat keuntungan,bisa menghemat cukup banyak, karena waktu dan jarak tidak lagi menjadi masalah besar."
"Ngomong ngomong kebun kopi yang chef sebutkan tadi, kapan kita akan mulai kerjasamanya..."
"Sepuluh hari lagi Bu, kita akan siapkan draft perjanjian , nanti akan disiapkan tim legal, sambil menunggu Pak Gading pulang dari Thailand.."
Hana menaikkan alisnya."Pak Gading Indrajaya?". Tiba-tiba saja bibirnya mencetuskan nama itu.
"Iya Bu, Pak Gading Indrajaya, beliau pemilik kebun kopi yang akan bekerjasama dengan kita..."
Gading Indrajaya yang itu?.
Hana memastikan dalam pikirannya. Gading Indrajaya, sosok pria lain dalam kehidupan Deasy. Berarti tidak lama lagi ia akan bertemu dengan pria itu?.
Hidup memang tidak bisa ditebak kan?.
Hana tersenyum tipis. Ia tidak menyangka akan bertemu dengan Gading lagi, meskipun kali ini dalam rangka kerja sama. Tapi Hana tak bisa mengabaikan rasa 'tidak suka' dengan pribadi pria itu.
Rapat selesai satu jam kemudian, Tepat saat jam makan siang.
Chef Arya menawarkan untuk makan siang di Resto, ia akan menyiapkan menu baru yang akan launching di hari sabtu dan minggu nanti. Dengan senang hati Hana menerima undangan itu.
Dan disinilah Hana sekarang, menikmati makan siang yang disiapkan langsung oleh Chef Arya. Pria yang hanya Ramah disaat tertentu, dan kebanyakan bersikap serius, membuat Hana dan Arya mudah sekali untuk saling menyesuaikan sebagai partner kerja.
Keduanya sama-sama suka menghabiskan waktu diruangan kerjanya mereka sendiri, dan menghabiskan waktu luang untuk berjalan-jalan di kebun sayur dan menikmati alam dalam diam. Sering keduanya bertemu tanpa sengaja dan tau tujuan tanpa mengatakan apa pun.
"Sayurannya seger banget Chef..." Puji Hana sambil menyuapkan kembali salad sayur dengan ekstra selada.
"Salad dressing nya gurih ya.. pakai suwir ikan tongkol.."
"Ummm..hu..um.." Arya mengangguk, ia tau Hana selalu berkata jujur.
"Sama Jeruk nipis emang ngga pernah gagal bikin selera makan aku nambah Chef..."
Arya terkekeh, hari ini ia bertemu dengan Hana yang ceria.
Didepan wanita itu terbilang Iga bakar, sapo tahu,bihun goreng dan salad sayur yang sedang dinikmatinya.
Jarang sekali ia bisa menemukan kepribadian Hana yang satu ini. Dan siang ini keceriaan Hana menular padanya, yang kurang lebih punya sifat yang sama.
"Kamu punya selera makan banyak tapi ngga ngaruh ke berat badan kaya nya ya?"
"Lucky me!" Jawab Hana santai. Mereka berdua tertawa ringan, sungguh makan siang yang menyenangkan.
"Oh ya Chef.."
"Arya Hana, panggil saja Arya..please..." Arya memutar bola matanya. Ia lelah meminta Hana memanggil namanya saja.
"Chef tau alasannya kenapa kan? Manggil Chef itu seperti gimana yaa? ada sensasi yang beda..." Hana meyunggingkan senyum.
Arya mendengus kesal. Sudah hampir dua tahun ia bekerja disini, Hana tak pernah berubah memanggil dirinya dengan Chef.
"Chef, sudah pernah ketemu dengan Pak Gading Indrajaya?"
Arya mengangkat alisnya, seolah berpikir dan tak lama ia mengangguk. Ia hanya heran kenapa tiba-tiba Hana bertanya tentang Gading.
"Pak Gading yang Kopi?, pernah beberapa kali malah, kumpul komunitas pecinta kopi, kenapa?"
"Umm..nggak, aku perlu tau profile beliau saja, kan kita mau kerjasama..". Hana tidak sekedar mencari alasan untuk menuntaskan rasa ingin tahu nya
Tapi mengetahui profil rekanan bisnis akan sangat berguna.
Arya mengagguk, mulutnya masih penuh dengan makanan. Arya tau benar akan hal itu. Ia juga akan melakukan hal yang sama, mengenali profil seseorang yang akan dia ajak bekerjasama akan sangat penting.
"Orangnya ngga banyak ngomong sih Na, kalau ngumpul paling ngomong seputar kopi aja, sama bisnis gitu gitulah. Orangnya serius. Masih lebih ramah Aldo dibanding dia."
Chef Arya adalah teman, atau mungkin lebih tepat jika disebut sahabat Aldo, mengingat pertemanan mereka yang cukup lama. Setau Hana Arya dulu mengurus Resto milik Orang tuanya, tapi kini Resto itu ia serahkan pada adiknya yang juga adalah seorang Chef.
Arya memilih untuk mandiri dan keluar dari usaha keluarga dan memilih bersama Aldo membuat Resto sendiri di Rumah Puntjak. Aldo menyerahkan sepenuhnya pengelolaan Resto pada Arya.
"Hummm...mudah-mudahan kerjasamanya lancar ya..." Gumam Hana.
"Kita sudah memberi penawaran yang saling menguntungkan Na, jadi aku rasa lancar-lancar aja..."
Lalu keduanya kembali menikmati makan siang mereka.
"Kalau kamu mau tau banyak tentang Gading, tanya Aldo saja, dia lebih sering ketemu sama Aldo, kalo ngga salah Aldo juga investor untuk kebun kopi yang dikelola Gading"
Hana baru tau informasi ini. Pantas saja, dengan mudah Aldo 'mengusir' Gading dari Rumah Puntjak saat itu.
Ponsel Arya yang ia letakkan di meja berdering. Menampilkan satu nama yang baru saja mereka perbincangkan disana.
Arya mengambil ponsel dan menerima panggilan itu.
"Hmmm..."
"......."
"Ya..."
"......."
"Ngga..."
"......."
"Oke....."
"....."
"Makan siang, iya jadi"
"....."
"Lo kan ngga disini.."
"......"
"Ini gue lagi makan.."
"......"
"Mmmmm...."
"......."
"Ooh..sama Hana..shhitt"
Tiba-tiba Arya menjauhkan ponsel dari telinganya,lalu mengusap telinganya dengan wajah kesal.
"Apa-apaan sih Lo, biasa aja kali...kuping gue budeg nih!!"
Hana masih bisa melihat wajah Arya yang kesal.
Tapi itu malah membuat Hana tersenyum, jarang jarang ia melihat ekspresi cemberut Arya.
"Tadi habis rapat kan pas jam makan siang, ya gue ajak makan. Emang salah? Sekalian nyicip salad suir tongkol yang mau launching week end nanti.."
"......"
"Lo ngga ngomong! Mana gue tau nyet!"
Hana menaikkan alisnya.
Nyet? Monyet?. Nampaknya memang itu yang disebut Arya melihat kekesalan Chef itu.
"...."
"Kan tinggal gue bikin elah, ribet amat sih lo!"
"....."
"Hummm.."
"......"
"Deket ini Al..masa..."
"...."
"Tsk!! Iya! Dah ah! gue mau makan!"
Aldo memutuskan sambungan telepon itu.
"Ponsel ngga dibawa Na?"
Hana menggeleng "Ngga, ngga kepikiran bawa tadi, sudah laper soalnya.."
"Pantesan laki Lo heboh!"
Hana mengerutkan keningnya.
"Laki?"
Alih-alih menjawab Arya hanya mencebik, lalu berdiri membawa piringnya yang sudah kosong. Meninggalkan Hana yang kebingungan.
Tadi Arya ngomong apa sih?. Hana segera menghabiskan makan siangnya. Menyusul Arya meletakkan piring di sink cuci piring.
"Biar saja Na, sekalian..." Seru Arya meraih piring bekas Hana.
"Eh jangan, masa udah dimasakin, sekarang mau di cuciin juga sih? " Tolak Hana mempertahankan tumpukan piringnya.
"Ya ngga papa lah..sini" Arya setengah memaksa meraih piring dan gelas milik Hana, dan mencuci ya dengan cekatan. Hana tidak mau ketinggalan segera ia mengambil serbet untuk mengeringkan.
Arya melirik Hana yang memasang senyum puas. Akhirnya Mereka terkekeh bersama.
"Kamu mau langsung ke kantor lagi Na?"
"Iya Chef, mau ada pertemuan dengan Marketing dan Purchasing.."
"Aldo ngapain dong? Enak banget dia kamu yang urus semua?"
Hana tergelak, ia sudah tidak heran karena Arya memang suka menyindir Aldo. " Dia kan fokus ke Accounting, Chef" Jelasnya.
Arya mencibir dan terus menjajari langkah Hana. Mereka terus berjalan hingga keluar resto dan kini menyeberang ke gedung Kantor.
"Lho, Chef mau ke kantor juga?"
Tanya Hana yang mengira tadi Arya hanya mengikutinya sampai keluar pintu Resto saja.
Arya tak menjawab, hanya menggedikkan bahunya, tapi terus berjalan bersisian dengan Hana.
Sial Aldo, bucin banget sih? mesti banget nganter Hana sampai ke ruangan nya? Monyet memang tu orang. Omel Arya dalam hati
Tanpa Hana tau Arya mengacungkan jari tengahnya ketika melewati cctv lobby kantor. Aldo memaksanya mengantarkan Hana sampai ke ruangannya, dan mengancamnya jika tidak melakukan hal itu, dan Arya tau kini Aldo tengah mengamati dirinya dan Hana melalui cctv. Sinting!
Sampai didepan pintu ruangan Hana, Arya berhenti dan Hana juga berhenti. Hana merasa canggung dengan situasi ini.
"Ummm...Chef masih ada perlu sama saya?" Bahasanya mendadak resmi.
"Ngga ada, cuma iseng aja, kata Aldo aku ngga ada kerjaan, cuma bisa marah-marah doang, yang kerja itu cuma CDC sama Sous Chef aja.." Raut kesal itu muncul lagi di wajah yang bisa menarik para wanita dengan mudah.
Hana tertawa, Aldo dan Arya memang sering saling ejek satu sama lain jika diluar jam kerja. Hana sering menjadi saksi pertemanan ala-ala tom and Jerry kedua sahabat itu.
"Kamu masih masih manager atau sudah Assitant General Manager sih Na?"
"Masih Acting Assistant,Chef..."
"Wow...jangan mau lama-lama disuruh Acting,..jobdesk kamu kan sudah makin banyak, makin santai si Aldo..." Ucapan Aldo terhenti ketika ponselnya kembali berdering.
Arya memutar bola matanya ketika melihat siapa yang menghubunginya.
Segera ia menerima panggilan itu, dan sengaja menyalakan loudspeaker.
"NGAPAIN LO LAMA LAMA SAMA HANA??"
Hana berjengit mendengar kecangnya suara Aldo. Apalagi ia mendengar namanya disebut.
"Ngobrol ajaa....".Balas Arya sebal.
"Balik ngga lo, dapur belum beres tuh! Gue ngga mau ya tamu ngeliat dapur resto jorok!!"
Arya hanya mampu menghela nafasnya kuat kuat. Apa yang dipikirkan Aldo menyebut dapurnya jorok?.
Ngga pernah sejarahnya dapurnya yang higienis itu kotor. Semua tim Food production mengerti benar akan hal itu.
"Kalau lagi bucin emang bikin orang ngga pinter!!" Omel Aldo dan segera memutuskan sambungan
"Masuk Na, angkat telepon Aldo biar dia waras..."
Lalu Arya meninggalkan Hana yang berdiri termangu didepan pintu. Memandangi Arya yang kesal sampai menghilang ditangga.
Hana menggedikkan bahunya. Lalu membuka pintu ruangannya. Dan benar saja, ada belasan panggilan dari Aldo.
Baru saja ia membuka notifikasi pesan yang juga terlihat menumpuk, ponselnya berdering dan menampilkan nama Aldo.
Segera Hana menggeser icon menerima panggilan.
"Halo..."
"Anyaaaa...." Terdengar suara lega diujung sana.
"Ya....?" Hana sedikit bingung dengan nada suara Aldo.
"Kenapa ngga bawa Handphone sih Nya...?"
"Umm..tadi laper banget, ngga sempat sarapan.."
"Kenapa ngga sempat? Malam tadi lembur?"
"Humm..Kan ada pertemuan dengan tiga departemen hari ini Pak.."
Terdengar helaan nafas panjang dari seberang sana
"Maaf ya, jadi ngerepotin kamu.., "
"Ngga apa apa Pak, bagaimana keadaan Pak Lim Senior?" Tanya Hana.
"Sudah ditangani tim dokter..., aku sekarang disingapore...". Suara Aldo Terdengar lelah
"Ohh..apa..." Hana tak bisa meneruskan, ia merasa prihatin. Jika sampai harus dibawa ke Singapura, biasanya kondisi Lim Senior pasti serius. Dan ini yang ketiga kali Lim Senior kolaps. Sampai Aldo harus meninggalkan pekerjaan yang sebenarnya sangat menumpuk.
"Nampaknya kali ini perlu penanganan yang lebih intensif Nya...tapi ssekarang ini kondisi Kakek sudah stabil kok.."
"Saya doa kan semoga beliau cepat pulih ya Pak.."
"Thanks Anya..."
"Bapak sudah makan?".
"Hmm... sudah..."
"Bapak juga jaga kesehatan ya..urusan disini Bapak jangan kuatir, jika ada sesuatu pasti saya kabari secepatnya. Laporan juga akan saya usahkan selalu update..".
"Thanks Anya..terimakasih banyak, saya usahakan juga secepatnya kembali..."
"Baik Pak, sekali lagi maaf ya, tadi saya kelupaan bawa handphone. Ada hal lain yang harus saya kerjakan Pak? Setengah jam lagi kita ada meeting dengan Marketing dan Purchasing.."
"Tidak ada Anya, saya tunggu laporan hasil meeetingnya saja. Sayang kita ngga bisa zoom meeting saat ini. Tapi besok untuk tim Housekeeping dan engineering saya usahakan bisa hadir kita pakai Zoom."
"Baik Pak..."
"Anyaa....". Terdengar nada lelah dari suara Aldo.
"Iya Pak?"
Sejenak suasana menjadi hening. Hana menunggu dengan sabar, ia tau Aldo pasti sangat lelah. Kemarin malam Aldo terburu-buru berangkat ke Jakarta setelah mendapat kabar tentang Lim Senior.
"Anya...". Suara itu terdengar seperti putus asa.
"Iya Pak..."
Bisa panggil saya Aldo saja..?"
Hana terdiam, tanpa sadar ia meremas ponselnya lebih erat. Kini Ada yang berbeda yang ia rasakan.
"...."
"Sekali ini saja..."
Hana kembali mendengar nada seperti memohon. Hana bingung, ia tak tau apa yang sebaiknya ia lakukan. Tenggorokannya tercekat.
"...."
"Ya sudah...kalau kamu tidak nyaman..."
"...."
"Kamu juga jaga kesehatan Anya, seperti saya sampaikan tadi, jika kondisi memungkinkan saya akan pulang...".
Suara Aldo masih terdengar lelah.
"...."
Sungguh saat ini Anya merasa sangat tidak enak.
"Anyaaa..."
"Baik,...Aldo..".
Jantung Hana berdebar lebih cepat, gosh ia sudah mengabulkan permintaan Aldo.
"....."
"Al- do?"
"GOD....sounds amazing Anya..
I know it Will be sounds amazing...".
Tiba'tiba Suara Aldo menjadi antusias, terdengar tawa dari ujung sana, dan entah mengapa membuat Hana sedikit tersipu-sipu.
"Apakah kamu keberatan kalau aku minta dipanggil Aldo saja, ehm..diluar jam kerja?"
"Baik Pak..."
"Anyaaa..."
Hana mengulum senyumnya. Ia bisa membayangkan bagaimana ekspresi wajah Aldo saat ini.
"Ini jam kerja Pak.."
"Gosh Anyaaa...". Hana akhirnya tidak bisa menahan diri untuk tertawa.
Hana tidak tau jika disana Aldo tertegun mendengar suara tawanya. Seluruh syarafnya langsung relaks dan senyum terbit begitu saja diwajahnya.
"Saya tutup ya pak, sepuluh menit lagi kita mau meeting..". Sambung Hana karena memang sudah waktunya ia harus bersiap-siap.
Tiba tiba Hana mendengar
suara-suara diseberang sana, suara bell?. Lalu seperti suara kursi bergeser? Dan kini sepertinya Aldo berjalan,
Dan suara pintu dibuka.
"Anya...saya hubungi lagi nanti...see you...".
"Mas, aku bawain makan siang, tadi aku.."
Tut! Sambungan terputus.
Hana seperti mengenal suara itu, tapi kemudian ia mendengar pintu ruangannya diketuk.
"Masuk..."
"Bu, kita mulai rapatnya? Ruang meeting sudah disiapkan..". Jessica menunggunya untuk rapat.
Hana mengangguk, ia kemudian mengambil semua berkas yang ia perlukan untuk meeting.
****
25
Aldo tak habis pikir, bagaimana Monalisa kini ada di Singapura saat ini. Karena terakhir kali ia bertemu dengan wanita itu, dia dalam keadaan tidak baik saja.
Dan kini wanita itu tepat berada di depan pintu apartemennya. Berdiri dihadapannya dengan penampilan berkilau seperti biasa, wajah hasil polesan make up sempurna, sebuah goodie bag merk restoran ternama di tangan kirinya. Dan ponsel ditangan kanannya.
Ia tak meragukan kemampuan monalisa untuk mendapatkan informasi. Wanita itu seolah tau semua hal tentang dirinya.
Saat ini Aldo benar-benar ingin beristirahat, ia sangat lelah. Sejak kemarin ia terbang non stop ke Jakarta lalu ke Singapura.
Lalu setibanya disini ia harus
mengurus segala sesuatunya sendiri dan kini ia baru saja pulang ke apartemen setelah memastikan Kakeknya cukup stabil, menitipkan pada Febrian yang selalu siaga, lalu pulang dan berencana beristirahat hingga malam, sebelum kembali lagi ke Rumah Sakit.
"Aku boleh masuk?" Monalisa sedikit menaikkan alisnya, melihat Aldo yang hanya berdiri mematung didepan pintu.
Aldo mengerjabkan matanya, sungguh ia tidak bisa berkonsentrasi saat ini.
"Maaf, saya benar-benar harus istirahat, dan sudah , saya sudah makan siang.."
"Ya sudah , kamu istirahat saja, tante Rose nitip aku buat mastiin kamu sudah makan.." Monalisa maju dan membuat Aldo Refleks menepi. Wanita itu langsung menuju pantry dan metakkan goodie bag di atas kitchen island. Lalu entah apa yang dilakukannya karena posisinya membelakangi Aldo.
Aldo masih berdiri di pintu, ia masih ragu untuk membiarkan Monalisa masuk. Sebelumnya Lisa sudah pernah ke apartemen nya ini, tapi bersama Rose Marry ibu tirinya dan Jessy.
Dulu Aldo membeli tempat ini hanya sebagai tempat singgah karena dulu ia masih sering ke singapore untuk beberapa urusan.
Dan ketika pertama kali Kakek dibawa ke singapore untuk berobat, dan seringkali harus check up membuat apartemen ini menjadi berguna. Keluarga bisa menginap disini.
Monalisa berbalik dan sedikit terkejut melihat Aldo masih berdiri dipintu menatapnya heran. "Kenapa masih berdiri dipintu?". Tanya Monalisa.
"Saya mau istirahat Lisa..". Jawab Aldo lelah. Ia bingung bagaimana agar Monalisa mengerti jika ia tidak menginginkan wanita itu ada disini.
"Kan aku sudah bilang, istirahat saja, aku ngga akan ganggu. Aku juga mau istirahat karena baru nyampe juga.." Terangnya dan dengan santai melenggang menuju sofa tamu.
"Kenapa istirahat disini? kamu menginap dimana?". Aldo mulai mencium gelagat tak menyenangkan.
"Tante Rose kasih ijin aku nginep disini kok.." Jawabnya santai sambil memainkan ponselnya.
Mata Aldo melebar. "Ngga bisa!"
Aldo menaikkan nada suaranya. Ia benar-benar lelah.
"Kenapa??Tante ngga keberatan kok, malah nyaranin aku nginep disini biar ada yang jagain.." Balas Monalisa, tak terima jika Aldo menolaknya secara langsung.
"Ini apartemen saya, saya yang berhak menentukan siapa tamu saya, lagian kamu kesini ada urusan apa? ngga kerja?". Kesabaran Aldo mulai habis, tapi sebisanya ia menahan emosi.
"Ya nemenin Mas Aldo lah, kamu pasti capek jagain kakek kalau sendiri, Tante Rose ngga bisa kesini, jadi aku yang gantiin.." . Monalisa tersenyum manis, ia merasa dirinya saat ini sangat dibutuhkan karena bisa membantu Aldo. Tentu tak mudah jika Aldo harus sendirian bukan?.
Aldo menarik nafasnya dalam-dalam, lalu menghembuskannya.
Entah apa yang direncanakan Monalisa dan ia tak mengerti mengapa Rose mengambil keputusan tanpa bertanya padanya terlebih dahulu.
"Terima kasih atas niat kamu Lisa, tapi sungguh itu ngga perlu. Kamu harus kerja, jadi sebaiknya kembali saja ke Jakarta, ada Febrian disini yang akan membantu" . Aldo berusaha menahan emosinya, ia tak mau kejadian di Rumah Puntjak terulang kembali.
"Aku sudah ajuin cuti dan disetujui, jadi ngga ada masalah.." Sahutnya enteng, dan Aldo tahu betul 'ngga ada masalah' versi Monalisa, yang artinya wanita itu hanya memberikan surat tanpa menunggu persetujuan HRD.
Dari pada Aldo emosi, sebaiknya ia menyelamatkan diri. Ia tak bisa menjamin jika emosinya tak meledak.
Dikirimnya pesan pada satu nomor. Lalu Aldo meraih jaketnya yang tadi ia sampirkan di stool.
"Kamu istirahat saja, saya pergi dulu..."
Monalisa buru-buru berdiri "Katanya kamu mau istirahat? Kok pergi lagi?". Selidik Monalisa, tak terima ia ditinggal begitu saja. Ia merasa sangat tidak dihargai, setelah apa yang dilakukannya. Ia hanya ingin menunjukkan pada Aldo jika ia sangat peduli dengan pria itu.
"Ada yang harus saya urus..."
"Aku ngga berani sendiri disini Mas, nanti kalau aku perlu apa-apa gimana?" Rengeknya manja sambil memegang lengan Aldo.
Aldo berhenti lalu menatap Monalisa. "Katanya kamu mau bantu saya? bukan merepotkan saya kan?". Tanya Aldo dengan tatapan tajamnya.
Monalisa tergagap
"M..mak-maksudnya aku...". Monalisa kehabisan kata-kata. Ia merasa telah salah bicara, Ia hanya ingin menahan Aldo untuk tidak meninggalkannya sendiri. Dalam benaknya Monalisa sudah membayangkan bagaimana suasana intim dirinya dengan Aldo berduaan di Apartemen.
"Seharusnya kamu ngga usah melibatkan diri sampai begini Lisa, kamu tau kapasitas diri kamu sendiri. Saya kesini bukan liburan, saya kesini menjaga Kakek, jika ditambah harus menjaga kamu saya tidak bisa". Aldo berusaha agar nadanya tetap terjaga, agar tidak muncul drama baru yang menambah urusannya.
"Kamu tunggu saja disini, nanti Febrian datang, kalau perlu apa-apa minta tolong sama dia, disini aman, ngga sembarang orang bisa masuk, kamu naik karena pakai acces card milik Rose kan?". Monalisa hanya bisa mengangguk, dan terdiam saat Aldo melepas tangannya yang sejak tadi melingkar dilengan pria itu.
Monalisa bisa melihat Aldo memaksakan sebuah senyum padanya sebelum melangkah pergi.
Monalisa menggigit bibirnya, matanya berkaca-kaca. Ia pikir ketika ia datang dengan niat menemani Aldo, pria itu akan luluh dengan perhatiannya.
Ternyata ia malah mempermalukan diri sendiri dengan merengek tak tau tempat.
Ia menyesalkan kebiasaan manjanya malah tercetus saat Aldo akan pergi.
Padahal dari awal datang ia sudah berusaha bersikap seanggun mungkin, menahan diri untuk tidak bertindak seperti biasa, meskipun sejak pertama melihat wajah Aldo tadi, ia sudah tidak tahan untuk langsung memeluk Aldo dan bermanja melepas kerinduannya.
Ia sudah bisa menahan diri untuk duduk dengan manis tanpa drama, menunjukkan jika ia sudah bisa bersikap dewasa.
Tapi begitu Aldo pergi Monalisa kehilangan kendali diri. Harusnya ia biarkan saja Aldo pergi dan menanyakan apa yang bisa ia bantu, bukan malah merengek minta perhatian seperti tadi.
Harusnya Aldo pergi dengan bukan dengan wajah marah seperti tadi. Bahakan seharusnya Aldo tidak pergi kalau saja ia bisa menahan sifat kekanak-kanakannya
Monalisa menghempaskan dirinya disofa. Menyesali sikapnya. Ia bertekad tidak akan melakukan kesalahan lagi. Ia hanya perlu bersabar, begitu pesan Rose padanya.
.
.
****
.
.
Aldo mengenal Rose Marry lebih dahulu sebelum Ayahnya. Ada kisah pahit yang membuatnya tidak nyaman jika berada ditengah keluarga besarnya.
William Lim dan Bianca ibu kandungnya, bercerai sejak ia duduk di bangku SMA. Ia tak pernah melihat pertengkaran mereka, dan mereka juga tidak pernah menunjukkan kemesraan didepannya.
Dan Aldo juga melihat hal yang sama dengan Nenek dan Kakeknya Liemawan Lim. Sehingga hal seperti itu adalah hal normal dalam keluarga besar lim. Mereka keluarga yang tenang, dan saling menghormati. Bukan tipikal keluarga yang ceria dengan canda tawa ketika berkumpul. Mereka hanya berbincang santai tentang hal-hal ringan sampai serius.
Kakeknya yang bermarga Lim asli dari daratan Tiongkok, begitu juga dengan neneknya. Tapi tidak terlalu kolot mengenai jodoh.
Buktinya Kakek memberi restu pada Ayahnya untuk menikah dengan Ibunya Bianca Ampow yang berasal dari suku Manado. Dan dari pernikahan itu, lahirlah dirinya Aldogera Lim.
Ibunya seorang wanita lemah lembut dan sangat menghormati Kakek dan suaminya. Ibu nya sosok pendiam tak banyak bicara, tapi kehadirannya memenuhi seluruh jiwa Aldo. Bagi Aldo, Bianca adalah malaikat tanpa sayapnya.
Ibu nya memilih untuk tinggal dirumah, memberikan seluruh hidupnya untuk melayani suami dan anaknya.
Hingga suatu hari tiba-tiba Aldo diajak berbicara oleh Ayah dan Ibunya. Mereka berbicara di ruang kerja Ayahnya, dan Aldo sudah tau jika ia di ajak bicara di ruang kerja Ayah, maka ada hal yang sangat penting yang akan disampaikan.
Tapi Aldo tidak pernah menduga jika hal penting itu adalah, mengenai perceraian orang tuanya.
Ibunya tetap tinggal bersama Aldo, sementara Ayah yang akan pindah dari rumah itu, dan sesekali datang menemui mereka. Tak ada yang berubah selain ketidakhadiran Ayahnya. Bianca menjalani hari seperti biasa, dan tetap melayani William mantan suaminya dengan sewajarnya ketika datang berkunjung.
Tapi Belum sempat Aldo membiasakan diri dengan perceraian kedua orang tuanya. Bianca Ibunya di diagnosis menderita kanker hati, dan itu pun telah memasuki stadium akhir.
Ayah mengusahakan seluruh pengobatan yang terbaik bagi Ibu.
Hanya menyisakan waktu satu tahun, sebelum Bianca meninggal, satu bulan sebelum Aldo ujian kelulusan SMA.
Ayah setia mendampingi Ibu sampai akhir. Dan sampai saat ini pun Aldo selalu bertanya-tanya mengapa mereka memilih untuk berpisah?.
Ayahnya kembali pindah ke rumah utama mereka setelah kepergian ibu. Tak banyak interaksi antara William dan dirinya. Apalagi Aldo sudah mulai kuliah dan memiliki kesibukan sendiri.
Tiga tahun setelah Bianca Ampow wafat, William menikah dengan Rose Merry. Hal itu mengejutkan Aldo.
Rose adalah temannya di SMA, Rose baru saja berusia 20 tahun ketika menikah dengan Ayahnya. Saat itu Rose yang tengah kuliah semester enam, melakukan magang diperusahaan mereka, dan entah bagaimana ceritanya, William akhirnya menikahi Rose.
Dan Aldo tau setelah undangan siap di edarkan, tak ada pemberitahuan sebelumnya, tak ada pembicaraan antara William dan dirinya, seolah pernikahan itu bukanlah hal yang penting.
Aldo kecewa William seolah tak menganggap perlu mendapat ijin darinya, padahal William tahu bagaimana Aldo sangat dekat dengan Almarhumah ibu nya.
Lebih dari itu semua, Aldo terluka dengan pernikahan Ayahnya dan Rose.
Aldo kecewa pada Rose, karena wanita itu adalah kakak dari Jasmine kekasihnya saat itu.
Aldo telah menjalin kasih hampir dua tahun bersama Jasmine. Wanita lembut yang mengisi kekosongan hatinya semenjak Ibunya tiada.
Dan Aldo tak menyangka jika Jasmine sudah mengetahui hal tersebut terlebih dahulu. Jasmine sudah tau jika Rose akan menikah dengan Ayahnya.
Jasmine hanya meminta maaf karena ia juga tak bisa berbuat apa-apa. Orang tuanya lebih setuju jika Rose menikah dengan William. Dibanding menyetujui hubungan Jasmine dan Aldo yang masih berstatus mahasiswa.
Dan setelah itu Aldo tahu jika pernikahan itu didasari masalah finansial keluarga Rose Merry. Pernikahan itu bisa menyelamatkan keluarga Rose dari kebangkrutan.
Sampai hari ini hubungan Aldo dan Ayahnya dingin. Begitu juga dengan Rose yang tak pernah bisa ia panggil Ibu. Hanya Jessy adik tirinya yang bisa melekatkan Aldo dengan keluarga besarnya. Hanya Jessy yang bisa dijadikan alasan agar Aldo mau berkumpul dengan mereka.
"Halo...."
"Jangan pernah campuri urusan pribadi saya Rose"
"Saya hanya ingin membantu...."
"Really? Monalisa bisa membantu saya disini?".
"Beri dia kesempatan.."
"Kita tidak sedekat itu Rose, kamu ngga bisa seenaknya mengatur masa depan saya"
"Kamu ngga pantas berkata demikian pada saya.."
"Suruh Monalisa pulang sekarang juga, dan berhenti mencampuri urusan saya!".
Aldo memutuskan sambungan telepon itu.
Tak ada bentakan, tak ada suara kencang yang keluar dari mulutnya. Tapi untungnya Rose tidak melihat tangannya yang gemetar menahan amarah.
Sudah cukup kesabarannya selama ini. Ia dianggap tidak ada, ia dipanggil jika ada yang harus diperbaiki, ia berguna jika ada masalah, ia diingat jika ada keperluan mendesak, Selebihnya Aldo benar-benar sendiri.
Aldo merebahkan dirinya di tempat tidur kamar Hotel. Ia mematikan ponselnya dan menuju kamar mandi, ia sangat lelah dan berharap mandi air hangat dapat membantu otot-ototnya menjadi relaks.
.
.
******
.
.
Hana hanya bisa menggelengkan kepalanya ketika Jessica dan Resty menatap tajam padanya. Menuntut jawaban yang seolah Hana tau. Ia seperti terdakwa dikursi pesakitan, dan Jessica dan Resty adalah Jaksa penuntut dan Hakim.
Jesicca menunjukkan instastory sebuah akun Mo_Lisha. Menunjukkan jika ia tengah berada di depan pintu, lalu ketika terbuka menampilkan Sosok Aldo. Tak ada suara hanya lagu dan tulisan-tulisan yang menggambarkan kedekatan keduanya.
Surprise..
Dia shock..
Dan ini apartemennya...
Makanan kesukaan kesayangan...
Dia masih ngga percaya....
Gue samperin ya, bye
Private! Mau kangen-kangenan..
Lalu emoticon Love
Wajah Resty dan Jessica sangat tidak enak dilihat. Memaksa Hana untuk memberi klarifikasi mengenai instastory itu.
"Aku ngga tau mau ngomong apa Je, Res...itu urusan mereka berdua!"
"Tapi Pak Aldo kan lagi deketin kamu Na..." Jerit Resty
"Ngga! Siapa bilang?" Tanya Hana
"PAK ALDO!!". Jessica dan Resty serentak menjawab. Keduanya saling pandang dan kemudian mereka mengangguk puas.
"Pak Aldo bilang ke aku Na". Resty membela dirinya.
"Yup, Pak Aldo juga bilang ke saya bu!" Imbuh Jessica tak mau kalah.
"Buktinya Monalisa kan yang nemenin Pak Aldo?" Jelas Hana
"Itu! Itu yang Monalisa mau Na, dia mau semua orang mengira kalau dia punya hubungan dengan Aldo".
"Pak Aldo belum bilang apa-apa sama Bu Hana?".
Hana menggeleng tak bisa menjawab bagaimana sebenarnya yang terjadi. Karena ia pun tak paham
"Bu Hana ngga liat paniknya Pak Aldo waktu dengar gosip tentang dia yang kepergok keluar dari kamar Bu Monalisa dini hari.." Jelas Jessica dengan wajah puas.
Hana hanya bisa terdiam, ia ingat wajah kuyu Aldo malam itu, ketika membicarakan gosip dirinya dan Monalisa.
"Pak Aldo panik banget bu, yang keluar dari mulutnya hanya, 'Apa bu Hana tau?'. Begitu Saya bilang 'Tau' Pak Aldo langsung lari ke ruangan Bu Hana kan?"
Hana hanya bisa mengangguk.
"Pak Aldo kasih klarifikasi ngga?" Tanya Resty.
"Aku menolak Res, aku ngga perlu klarifikasi dari Pak Aldo, itu urusan pribadinya dan aku ngga berhak ikut campur..."
"Arrggghh Hanaaa......." Jerit Resty gemas pada respon Hana.
Jessica ikut-ikutan mengelengkan kepalanya.
"Pantesan saja Pak Aldo kelihatan kecewa waktu keluar dari ruangan ibu...kirain karena ibu ngga percaya, ternyata ibu ngga peduli..."
"Sakit Je...sakit banget..." Ucap Resty sambil memegang dadanya kirinya.
"Hanaaaa....gue kasih tau ya, Pak Aldo itu serius sama kamu, cuma masih jaga jarak karena...gimana yaa...?"Resty kehabisan kata untuk menjelaskan pada Hana.
"Bu Hana itu gampang gampang susah deketin nya..bisa ngobrol akrab dengan Pak Aldo aja baru belakangan kan?". Sahut Jessica
"Nah, itu dia Je, Pak Aldo ngga mau kalau tiba-tiba Hana ngejauihin dia...".
Hana merasa dirinya tidak dianggap ada saat ini. Dua wanita didepannya sedang menilai hubungannya dengan Aldo.
"Pak Aldo masih menjajaki, Bu Hana punya perasaan yang sama ngga dengan Pak Aldo?. Kalau Pak Aldo nembak terus Bu Hana tolak, Bu Hana masih bisa bersikap biasa ngga dengan Pak Aldo? Beliau takut Bu Hana semakin menjauh..."
"Naaahhh itu Je, tumben kamu pinter?" Seru Resty sambil tertawa.
"Saya ini jadi sekretaris Pak Aldo sudah tiga tahun bu, sudah hapal dengan sikap beliau. Apalagi kalau berhubungan dengan Bu Hana..." Jessica mengerling ke arah Hana.
Hana hanya bisa diam dan berharap keduanya segera menyelesaikan diskusi mereka. Ia benar-benar ingin sendiri. Belum lagi besok ia harus rapat lagi dengan Tim Accounting. Dan Aldo akan mengikuti rapat via zoom.
"Na, sebenarnya kamu punya rasa ngga sama Pak Aldo?"
Oh, tidak, Hana pikir pembahasan ini telah selesai. Ia segera memutuskan untuk metapikan meja kerjanya dan bersiap pulang, mandi dan membaca ilang bahan rapat besok.
"Lho..lho Na...?? Kok udah beres beres sih? mau pulang yaa...kan obrolan kita belum selesai..??" Protes Resty di abaikan Hana.
"Sorry Res, Je, besok aku ada rapat lagi, bahan rapat belum rampung, lain kali kita ngobrol lagi..." Hana berusaha agar tak terlihat gusar.
"Yaaah...nanggung Bu Hana...." Rajuk Jessica.
Hana mencoba tersenyum. "Nanggung apa sih Je? Besok kita masih ketemu kan? Jangan lupa siapkan keperluan Pak Aldo agar bisa ikut rapat besok..."
"Baik Bu, sebentar saya siapkan batu nanti saya pulang.."
"Terimakasih Je..." Jawab Hana.
"Nanti saya mau telpon Pak Aldo, ibu mau titip salam ngga?"
Hana memutar bola matanya, menanggapi Jessica dan Resty yang terkikik geli.
"Besok saya juga ketemu Je...."
"Ya kan beda Bu, masak mau salam salam kangen ditengah rapat?" Jessica tertawa dan segera terbirit-birit keluar dari ruangan Hana. Diikuti Resty yang menertawakan Jessica.
Hana mencebik kesal dengan tingkah dua orang yang sebenarnya sangat peduli dengan darinya.
Hana ingin sekali menepis ingatannya tentang story Monalisa yang diunggah di Istagram itu. Hana benar-benar tak ingin terlibat dengan siapa pun saat ini.
Tapi pertanyaan Jessica cukup mengusiknya.
Apakah ia akan menjauhi Aldo jika pria itu mengungkapkan perasaannya?
Jujur Hana ingin Aldo tidak usah memiliki perasaan apa pun pada nya. Terlalu rumit. Jalan hidupnya dan Aldo sama-sama rumit.
Hana cukup puas dengan apa yang dijalaninya kini.
Tapi bagaimana seandainya Aldo benar-benar mengatakan perasaannya pada dirinya?.
.
.
*****
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
