
Aku merasa beruntung bisa menemukan suaka yang mampu mengalihkan memori pada rasa sakit dan pahit serta pekaknya telinga dari kemunafikan orang-orang dewasa yang memuakkan. Namun, bagaimana…bagaimana jika satu-satunya suaka itu pun terenggut oleh ketidakberdayaan?
Toko Buku Bahagia, siang hari
Dia biasanya akan datang lima menit dari sekarang. Saat anak-anak sekolah menengah pertama sudah bubar dan mereka sudah berganti pakaian serta makan siang. Aku tahu rutinitas anak sekolah ini karena kerap mendengar keluhan Agus soal omelan istrinya saat ngopi bersama. Kegiatan siang ini, tanganku akan sibuk mengganti deret buku di bagian etalase paling atas. Etalase toko ini hanya berupa papan kayu yang dipasang menempel pada jendela kaca besar di sebelah pintu masuk. Itu saja berkat usulan istriku. Biar lebih cantik katanya. Aku yang monoton ini sangat bergantung padanya yang pandai menata ruangan dan mengatur segala hal yang berkaitan dengan keindahan. Mungkin itu pula sebabnya sampul buku karyaku tampak muram. Padahal itu adalah buku anak-anak.
Setumpuk buku di tangan kiriku, satu per satu mulai menempati bagian etalase yang kosong. Sejujurnya aku tak punya stok judul baru. Belakangan, kondisi ekonomi orang-orang tengah lesu. Penikmat buku pun terkena imbasnya. Atau mungkin seharusnya aku memulai metode baru. Entahlah, besok-besok akan kucoba. Keadaan terlalu rumit untuk sekarang. Menjalani rutinitas adalah bentuk paksaan pada diri agar tetap bisa merasakan hidup. Semenjak kepergian Lastri, aku bingung harus melakukan apa. Bahkan untuk menyentuh buku-buku yang merupakan hal favoritku saja, rasanya enggan. Disamping itu, aku baru sadar ternyata rutinitasku selama ini merupakan bentukan darinya yang disiplin. Rasanya timpang sekali ditinggal seseorang yang sudah menemani hidup lebih dari 35 tahun.
Aku kembali mengambil setumpuk buku dari rak. Giliran tingkat kedua etalase yang kuisi dengan buku. Buku-buku hardcover menjadi pilihan. Hawa panas dari cuaca negara tropis ini mudah sekali mengikis warna-warni dari sampul buku. Ini juga yang menjadi salah satu alasan ketidaksetujuanku pada ide Lastri perihal memajang buku di etalase. Meski pada akhirnya aku luruh pada argumennya agar bisa menarik orang-orang yang lewat. Padahal sudah jelas-jelas kutulis “TOKO BUKU BAHAGIA” di bagian luar jendela kaca.
“Tapi, warnanya kusam. Kurang mencolok di mata, Bapak Joko.”
Sudahlah, Lastri selalu bisa mematikan argumenku tanpa sanggup membuatku marah. Anggap saja aku yang terlalu gila memilih membangun bisnis buku di tempat orang-orang yang memandang sebelah mata aktivitas membaca. Aku hatiku kecut. Namun, mengingat sikap Lastri yang mantap melangkah atas apa pun yang menjadi pilihan suaminya, membuatku tak bisa menomorduakannya. Kepercayaannya adalah motivasiku untuk menjalani kehidupan. Sampai akhirnya Tuhan lebih menyayanginya.
Denting halus lonceng di atas pintu menghentikan keriuhan dalam kepalaku. Akhirnya dia datang juga. Tepat di waktu yang kuperkirakan. Sebenarnya aku selalu heran kenapa dia selalu bisa datang setepat itu dengan rutin. Terlebih tak ada yang kami obrolkan di sini. Aktivitasnya sekadar, masuk, mencari buku yang kemarin belum selesai dibaca atau mengambil judul baru, memilih tempat duduk, kemudian dia akan bertapa dalam dunia imajinasinya. Tempatnya duduk pun kerap kali sama. Area yang biasa ditempati Lastri setiap kali menemaniku.
Aku kembali sibuk menata buku-buku yang kategorinya sempat terbolak-balik. Kemarin tokoku baru saja menjadi objek kunjungan wisata edukasi dari salah satu sekolah dasar di kota ini. Bagian buku anak-anak kemarin sempat porak-poranda. Mengesalkan melihat buku-buku koleksiku jatuh ke tangan-tangan mungil yang belum bisa kupercayai. Kalau Lastri ada, dia pasti akan melemparku dengan senyuman pengertian. Lengkap dengan tatapan, mereka hanya anak-anak. Bukankah anak-anak juga seharusnya diajari tanggung jawab sedari kecil? Bagaimana tanggung jawab itu bisa mengakar jika ditanamkan pada tanah yang sudah mengeras oleh usia?
Selain mengobrak-ngabrik bagian buku anak-anak, buku-buku novel dan non fiksi juga jadi sasaran. Ini sebenarnya menjadi pertimbangan yang kupikirkan sebelum memberikan izin pada staf pengajar yang datang seminggu sebelumnya. Namun, jauh di lubuk hatiku, aku masih menaruh harap pada kebaikan mengenalkan buku pada anak-anak. Sekolah mereka belum ada perpustakaan. Salah satu yang membuat keningku berkerut, tapi juga tak mampu membuatku bertindak lebih jauh.
Aku mengambil kemoceng di atas meja dan mulai menyingkirkan debu-debu sisa kemarin. Beralih pada bocah yang tepekur di atas kursi sana, ada bekas baru yang menyembul dari sisi kanan sampul buku. Padahal bekas sebelumnya saja masih kelihatan memelas. Langkah kakiku membelok ke arah dapur. Semenit berikutnya, aku meletakkan segelas air putih di meja kayu sederhana dengan ukiran yang menarik di keempat kakinya. Meja hibahan dari Agus sepuluh tahun lalu. Bagaimana bocah ini bisa setenang dan sefokus itu? Lebam baru di rahang kirinya pastilah tengah menggila denyutnya. Lukanya akan lebih lama sembuh kalau dibiarkan begitu saja.
Kukira semenjak kedatangannya yang aneh itu, hingga kini dia menyukai tempat ini. Herannya, aku sesekali terusik oleh ketenangan super yang dimilikinya. Nyaman saja dia membenamkan diri dengan buku-buku yang ada. Dia juga tak pernah menanyakan judul-judul buku tertentu. Aku hanya menghela napas serta mengangkat bahu. Menjawab sendiri pertanyaanku. Satu per satu rak buku mulai bersih dari debu. Rak-rak buku yang berwarna putih ini tampil menawan kembali.
Coba saja kalau ada bocah-bocah lain yang betah berlama-lama di sini sepertinya. Mungkin dunia tak akan sekeras ini.
“Kata siapa? Itu ‘kan pikiranmu yang memang suka dengan buku, Mas Joko.”
Aku pun berpaling dari kemoceng ke sisi kiri. Sebagai perempuan yang tumbuh di desa, aku suka keberanian Lastri mengemukakan isi kepalanya. Mengenal banyak orang, membuatnya mampu belajar melihat masalah dari berbagai sudut pandang. Sayangnya, untuk beberapa hal, keberaniannya tak ada artinya. Pun sama dengan otakku yang telah melahap lembar demi lembar buku. Seperti masalah sengketa tanah ini. Kepentingan hidup kami tak ada artinya dibandingkan dengan rencana megah proyek pembangunan yang katanya akan memajukan perekonomian warga.
“Ngaku saja, kamu senang melihatnya, karena kehadirannya menemanimu, ‘kan?”
Baiklah, kuakui memang kehadiran bocah itu mengisi kekosongan ruangan yang diciptakan sepeninggalmu, Lastri. Terlebih melihat buku yang gambar sampulnya pernah menjadi bahan olok-olok Lastri padaku itu tengah dibaca olehnya. Lihat, kendati dulu kamu bilang gambar sampul buku itu jelek, tetap saja ada pembaca yang menikmatinya. Detik berikutnya bola mataku membesar, teringat sesuatu.
“Mas yakin mau ngomong itu sekarang? Dia lagi senang-senangnya lho, Mas.”
Mengabaikan bayangan Lastri dalam benak, minimal bocah itu harus menyadari sesuatu.
“Nak,” aku sampai di hadapannya.
***
Neraka Jahanam, siang hari
“Dasar anak haram! Minggir!!”
Bagian depan bajuku dicengkeram dan bersamaan dengan mata merahnya, kedua tangan itu membanting badan ceking ini.
“Arrrgh!”
Punggungku menghantam meja kayu di depan televisi yang sudah lama mati. Spontan aku menahan rasa ngilu yang langsung menghunjam ke sekujur tubuh.
“Dia anakmu, Mas!” teriak ibuku yang langsung berlari kearahku.
“Memangnya kapan kita melakukan itu? Itu ‘kan hasil perbuatanmu dengan para lelaki hidung belang di luar sana,” tuduhnya dengan suara pelan, tapi jelas mengejek. Setan itu berjalan ke arah televisi, tangan kanannya mengambil kembali botol dengan gambar orang tua yang sengaja di taruh di atasnya sebelum ini.
“Mas! Kamu yang waktu itu masuk ke kamar tengah malam. Nggak sabaran setelah menenggak habis minuman favoritmu,” tegas ibuku dari sisi kananku.
Kepalaku pusing tiap kali mereka seperti ini. Mana aku kesulitan bernapas lagi. Mungkin gara-gara menghantam meja tadi.
“Dasar setan! Harusnya aku tahu kalo kamu laki-laki sialan,” geram ibuku dengan segenap kekesalannya.
Dan aku adalah anak dari setan itu. Sembari menahan segala rasa sakit yang mendera, aku berusaha bangkit dan menolak uluran tangan yang pernah menggendongku dulu. Harusnya aku pun terbiasa dengan segala keributan di rumah ini. Harusnya aku bisa menerima kalau tak ada yang bisa diubah dari kondisi ini.
“Budi, kamu mau ke mana?”
Apa yang ibuku pikirkan saat memberi nama itu padaku? Budi apa yang bisa kupelajari dari mereka? Bahwa satu-satunya hal yang bisa menyelesaikan masalah adalah dengan menjadi lebih kuat serta berteriak sembari menghancurkan segalanya? Tak kuacuhkan pertanyaan ibu.
Setiap kakiku melangkah, rasa nyeri di sekujur tubuhku meronta. Kutahan mati-matian. Toh, sebelumnya aku pun baik-baik saja. Kali ini juga pasti akan baik-baik saja. Aku terus menyeret langkah kaki. Lari dari neraka ini.
Sengitnya, aku tak punya siapa-siapa. Meski kuakui senang juga mengetahui mereka tak punya sanak-saudara. Mungkin sanak saudaranya juga muak memiliki keluarga seperti mereka. Peluh di dahiku menetes sejak tadi. Napasku masih pendek-pendek, tapi sudah lebih baik. Pandanganku mulai menguning. Atau memang pendar terik matahari di luar sini yang membuatnya begitu? Aku berusaha mencari pegangan, dan ...
Deting halus sebuah lonceng terdengar tabu di telingaku. Sial, kenapa harus berbunyi sih? Umpat batinku mengedarkan pandangan yang nyaris menggelap. Ada tempat duduk kosong yang letaknya searah dengan pintu masuk. Punggungku melemah dan akhirnya...gelap.
“Anak ini pelangganmu, Mas? Dari tadi nggak bangun-bangun.”
“Nggak ada anak sakit-sakitan yang jadi pelanggan—aww!”
Mataku perlahan membuka.
***
Toko Buku Bahagia, siang hari
Denting halus lonceng lagi. Aku benci lonceng di atas pintu ini. Terlalu menarik perhatian. Namun begitu melihat wajah kakek tua itu, protesku berhenti. Kalau saja saat itu aku tak ke sini, entah bagaimana nasibku sekarang. Siapa sangka ternyata pemilik toko adalah sosok yang pendiam. Jadi aku tak perlu repot menceritakan apa yang kualami padanya. Lagipula kenapa juga orang lain harus tahu urusanku?
Kumpulan majalah Donal Bebek yang sengaja dijadikan satu adalah bacaan pertamaku di sini. Membayangkan punya paman seperti Paman Gober yang kaya raya itu menyakitkan, tapi otakku terus menikmati jelmaan diri sebagai salah satu triplet ponakan bebek dalam kisah.
Lelah dengan lantai yang keras, aku pindah pada salah satu kursi di pojok. Bisakah aku selamanya di sini saja? Tak perlu pulang lagi ke rumah neraka itu. Tangan kiriku meraih gelas dari atas meja. Berpetualang ke dunia lain membuatku haus. Jemari tangan kananku membalik halaman. Di sini aku bisa pergi ke mana pun yang aku mau.
Hari-hari berlalu, nenek yang menemani kakek tua di sini rutin menyuguhiku seteko air dan sesekali stoples kue kering. Ini surga. Perut laparku jelas tak akan menyia-nyiakan hidangan sekecil apa pun. Pernah aku ragu datang kembali lantaran menghabiskan stok kue kering di hari sebelumnya. Akan tetapi, sadar tak punya tempat pelarian lain, aku pun datang dan datang lagi.
Tak pernah kulihat nenek bermuka masam. Senyumnya selalu menyenangkan. Ia seperti kakek tua itu, tak menanyaiku macam-macam. Mereka kerap berbincang berdua atau melakukan hal-hal di toko berdua. Menjadikanku raja dan tak pernah sekalipun mengusik. Sampai akhirnya aku tak pernah lagi melihat sosok nenek di sini. Suasana jadi lebih sunyi. Kakek tua melakukan kegiatannya dalam hening. Dia menggantikan nenek menyuguhiku minum, meski jatah kue kering dan kudapan lainnya jauh berkurang. Sebagai gantinya, sesekali kakek tua membawakanku nasi bungkus. Dan kami makan dalam diam.
Suatu kali akhirnya aku berhasil mengumpulkan keberanian untuk bertanya. Ke mana perginya nenek dengan senyum ramah itu. Dan aku pun seketika paham kenapa performa kakek tua menurun drastis. Hatiku turut sedih mendengarnya. Sampai kapanpun senyumnya akan selalu kukenang.
Beberapa bulan berlalu, hari ini usai terkena lemparan botol dari setan keparat itu, aku langsung bergegas ke sini. Aku harus segera bertemu Ali dan menumpang di ruang basemennya yang tak tersentuh siapapun. Terserah kalau Ali nanti melakukan eksperimen aneh-anehnya, yang penting aku bisa tenang bersembunyi dan mengalihkan ingatan tentang kejadian tadi. Juga, mengaburkan rasa sakit rahang kiriku yang berdenyut hebat.
Berpasang-pasang mata tetangga menghujaniku dibarengi dengan bisik-bisik mengusik di belakangku. Jalan saja Budi, ini bukan yang pertama kalinya bagimu. Suakamu sudah dekat.
Aku sudah terbiasa dengan denting halus lonceng di atas pintu masuk toko ini. Belum sempat pintu menutup sempurna di belakang, aku sudah berada di depan rak tempat Ali kusimpan kemarin. Sampul buku ini tak menarik, sama sekali tak menggambarkan isi cerita di dalamnya. Terlebih nama penulisnya, Pak Tua. Ditambah sinopsis belakang bukunya yang hanya tiga baris. Kalau saja kemarin buku ini tidak tersenggol dan jatuh dalam keadaan terbuka, aku pasti menaruhnya didaftar baca terakhir.
Bokongku mendarat di kursi dan saatnya menuju basemen Ali. Menjadi seperti Ali adalah harapanku selanjutnya. Akan jauh lebih mudah menerima kenyataan bahwa orangtuaku sudah meninggal daripada bersanding hanya untuk dijadikan samsak hidup dan dimaki.
“Nak”
Semestaku bergetar. Kemudian berputar dan melarut seperti pusaran gula yang diaduk dalam gelas. Mengembalikan ragaku ke dunia nyata. Kakek tua tiba-tiba sudah berdiri di hadapanku. Denyut sakit di rahang kiriku menjadi-jadi lagi. Aku mendongakkan kepala dan menatap wajah yang baru kusadari sekarang menyimpan lebih banyak gurat lelah.
“Jangan pernah percaya pada fiksi. Itu semua hanya khayalan. Nggak nyata.”
Keningku berlipat. Di saat fiksi tengah menjadi suaka yang begitu menjanjikan bagiku, kenapa kakek tua justru ingin mendepakku dari sana? Aku bahkan bersedia melakukan apa saja agar bisa bersanding lebih lama dengan Ali, Harry, Peterpan, Percy, dan kawan-kawan lainnya. Selamanya pun tak masalah. Kenapa mendadak kakek tua berkata begitu? Setelah sekian lama aku bolak-balik datang ke sini.
“Percayalah, di negeri ini, fiksi itu sesuatu yang tabu. Kamu hanya akan tampak konyol bersanding dengan fiksi.”
Aku justru bisa bertahan sejauh ini karena fiksi! Aku butuh mereka semua dalam hidup. Aku tak butuh setan-setan dalam neraka jahanam di rumah! Aku meradang dalam diam.
Cengkeraman jemariku semakin erat pada buku yang kupegang. Kakek tua ini lagi kesurupan apa? Bosan melihatku setiap hari di sini? Keberadaanku merugikannya? Kalau begitu, harusnya sejak dulu dia mengusirku. Saat aku belum sebergantung ini. Ah, terserah. Aku tak peduli. Pokoknya aku akan datang dan datang lagi. Besok maupun seterusnya.
“Fiksi hanya akan menjadikanmu pemimpi di siang bolong.”
KLAP
Menyerah. Suasana hatiku rusak. Bahkan ini lebih menjengkelkan ketimbang para setan itu adu mulut. Untuk pertama kalinya, kehadiranku terusik. Dia menang untuk hari ini, tapi jangan harap aku akan menyerah. Tak sudi mengembalikan Ali pada tempatnya semula, derap kakiku sebanding dengan deru napasku. Memburu.
***
Ada apa ini? Kenapa ada banyak orang membawa barang-barang? Ada pakaian, peralatan dapur, juga perabot. Satu dua mobil angkut mulai penuh dengan barang-barang, sisanya ada gerobak, bahkan banyak yang mengangkutnya dengan berjalan kaki. Ada pindahan masal?
Sampai kemarin, aku masih merasa jadi tontonan, siang ini aku yang bingung menonton kesibukan orang-orang. Terus berjalan dalam kebingungan, tujuanku sudah pasti, toko buku si kakek tua.
DEG
Aku tertegun dan berlari menghampiri jendela kaca bertuliskan “TOKO BUKU BAHAGIA”. Di mana semua buku-bukunya? Tanaman hias dalam potnya pun tak ada. Sepi. Bagian dalam toko lebih sunyi. Semua buku beserta rak-raknya raib. Kalap, tanganku berkali-kali menggerakkan engsel pintu yang terkunci.
Ya Tuhan, ke mana semuanya? Kakek tua juga pindah? Bagaimana ini? Sepasang kaki kurusku berlari ke sisi kiri toko sekaligus rumah tersebut. Seingatku ada pintu samping yang bisa dibuka. Tapi ternyata juga nihil. Tanganku menggerak-gerakkan engsel yang sama sekali bergeming.
“Nak, jangan pernah percaya pada fiksi. Itu semua hanya khayalan. Nggak nyata.”
Kalimat kakek tua kemarin mendadak terngiang dalam kepalaku. Mengiringi derap kaki yang kembali ke bagian depan toko. Aku memegangi kepala serta menjambaki rambut sendiri. Kenapa harus secepat ini? Bingung, akhirnya aku berjongkok. Beberapa orang yang lewat menatapku bertanya, aku tak peduli.
Sulit dipercaya, suakaku hilang. Mana bisa aku melupakan semua fiksi di dalam sana. Hampir tiga tahun aku bersembunyi di sini. Aku sudah berjanji akan membaca semua buku yang ada di dalam!
“BERANI-BERANINYA KAKEK TUA PERGI TANPA JEJAK!” Aku berteriak marah.
“Percayalah, di negeri ini, fiksi itu sesuatu yang tabu. Kamu hanya akan tampak konyol bersanding dengan fiksi.”
Bulir bening dari pelupuk mataku jatuh membasahi lutut. Perlahan, kuangkat kepala. Merekam potret toko tua yang telah kosong dan sepi. Apa dia nggak bisa pamit dengan cara yang lebih normal? Kakek sialan. Sekarang, di mana lagi aku bisa bersembunyi dari neraka jahanam itu? Ingusku meleleh.
_SELESAI_
Desa Ngapak, 16 Januari 2023
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
