What’s Wrong With You, Boss? - CHAPTER 16 - 25

0
0
Deskripsi

"Lo nggak apa-apa, Mars?" tanyanya dengan wajah kuatir.  Sebelah tangannya menggenggam jemariku yang masih memeluk perutnya yang terasa keras dan rata.

Seperti ada serangan listrik menjalari tangan, sekujur wajah bahkan seluruh tubuhku.

Seketika tersadar aku segera menarik kedua tanganku dengan cepat dari genggaman Ethan di atas perutnya.

.

Uwuuu … hayooo ada apa nichh, apaa nichh? hehe.

Setelah chapter2 ini, tingkah Mars, Bryan, dan Ethan akan semakin menggemaskan. So, jangan skip baca...

Chapter 16 - Safety Riding

Aku memelototi Ethan yang hanya senyum-senyum saja.

"Ethan, are you kidding me?"

Dia kemudian menyerahkan sebuah paper bag besar yang sejak tadi ditentengnya. Sejak keluar dari apartemen si bos, aku sudah melihatnya namun aku tidak iseng bertanya-tanya apa isi kotak kertas itu.

"Gue udah mempersiapkan semuanya. Jangan kuatir. Nih, ambil. Toilet di sebelah sana."

Aku menerima paper bag yang diserahkan Ethan dengan pandangan penuh teka-teki. Tapi Ethan tidak membiarkan aku berlama-lama dengan segala pertanyaan berkecamuk di kepala.

"Lo cuma perlu ganti baju aja kok," jelasnya enteng seraya terkekeh melihat kebingunganku.

Akhirnya aku mengikuti saja seperti yang diperintahkan Ethan. Aku mencari toilet yang katanya tidak jauh dari situ.

Toilet di siang ini tidak begitu ramai. Hanya ada beberapa wanita yang keluar masuk. Syukur lah. Aku jadi tidak perlu mengantri.

Setelah keadaan toilet lebih sepi, aku mengeluarkan isi tas kertas itu. Ada sebuah plastik besar yang membungkus. Kutarik perlahan, dan mencurahkan semua isinya ke atas kabinet dekat wastafel.

Awalnya aku terkejut, tapi kemudian berganti senyum dan gelengan kepala. Betul-betul nggak menyangka Ethan bisa sedetil ini memikirkan semuanya.

Penasaran, ya. Jadi di dalam paper bag tadi itu isinya, jaket semi kulit wanita berwarna hitam, celana panjang bahan stretch juga berwarna senada. Ditambah sepasang sepatu boot tinggi pun warna hitam. Tak percaya, tapi semua benda ini tepat sesuai ukuranku.

Aku segera berganti rok dengan celana panjang, high heels dengan boots dan memakai jaket kulit hitam melapisi kemeja kerjaku.

Setelah memasukkan rok, sepatu dan tas ke dalam paper bag, aku melangkah mantap menuju motor besar Ethan.

Rasanya lebih nyaman dengan penampilan begini ketimbang memakai rok ketat tadi. Aku jadi bisa melenggang bebas tanpa takut ada mata mata jahil yang mencuri pandang dan berfantasi menjijikkan di luar sana.

"What do ya think?"

Aku melebarkan tangan, terkekeh keras saat melihat Ethan melongo menatapku.

"You are so ... different!" ucapnya masih dengan mata melekat pada penampilanku. Cowok ini seperti baru saja melihatku dalam bentuk yang lain. Semacam peri atau malah dedemit barangkali?

"Woy, biasa aja kali. Itu mulut enggak usah pake mangap segede kandang gajah juga deh!" Aku menepuk bahunya.

"Gorgeous!" desisnya sambil geleng-geleng kepala dan ikut-ikutan tertawa.

"Kok lo bisa tahu ukuran gue?" tanyaku penasaran.

"Jangan lupa, kemarin gue yang anterin lo nyari kemeja, rok dan sepatu, kan?" Ethan menepuk dadanya sendiri.

Aku mengangguk maklum. Benar juga. Kemarin Ethan sudah seperti ajudanku saja. Kemana-mana ikut. Dia bahkan membantu memilihkan kemeja, rok bahkan sepatu yang aku beli. Ethan memang seperhatian itu. Aku saja baru menyadarinya beberapa hari ini. Padahal dulu, waktu di kantor lama, kami tidak pernah sedekat ini.

"Yuk, naik!" serunya seraya mengambil alih paper bag yang kupegang.

Ethan kemudian memindahkan isi di dalam paper bag ke dalam ransel besar yang diletakkan di depan dadanya.

Aku ragu untuk naik karena jok belakang motor besar ini kelihatan tinggi sekali. Melihat itu, Ethan memiringkan sedikit motornya hingga aku bisa duduk di atas jok penumpang.

Terus terang, kalau tidak terpaksa, aku lebih baik naik kendaraan umum saja ketimbang naik tunggangan Ethan yang satu ini.

Mengancingkan jaketnya sendiri, mengenakan sarung tangan dan helm, membuat penampilan Ethan terlihat sangat berbeda tapi juga keren.

Ethan mulai menstarter motor saat dirasanya aku sudah bisa duduk dengan nyaman. Beberapa detik kemudian motor melaju perlahan.

Tadi aku sudah memberikan arahan kepada Ethan untuk lokasi rumah mama. Jadi aku tidak perlu lagi menjadi navigator cerewet yang menunjuk-nunjuk jalan.

Sabtu siang itu jalanan di ibukota cukup ramai. Sepertinya semua orang bergegas dari tempat pekerjaan kembali ke rumah masing-masing. Walau tidak seramai hari-hari kerja biasanya, Sabtu selalu tetap menyisakan kepadatan lalu lintas.

Aku masih terus menikmati pemandangan di jalan dari atas motor besar Ethan yang melaju sangat mulus di jalanan beraspal.

Aku meletakkan tanganku di atas paha. Memberi sedikit jarak antara tubuh bagian depanku dengan punggung Ethan. Terasa sedikit canggung, namun aku memastikan tidak ada kontak fisik pada laki-laki yang belakangan ini sangat akrab denganku.

Belum jauh meninggalkan apartemen Akasia, sebuah motor dari arah berlawanan tiba-tiba saja memotong jalur kami, berbelok dengan sangat cepat. Ethan merem motornya mendadak. Tubuhku yang tidak siap menabrak punggung Ethan dengan keras. Spontan kedua tanganku berupaya mencengkeram pinggang Ethan mencari pegangan. Entah karena jaketnya licin atau memang dorongan yang terlalu keras, tanganku tanpa sadar malah meluncur ke perutnya. Memeluk dengan erat.

Ethan memelankan laju motor lalu menepikannya. Dia membuka helmnya. Menoleh ke belakang.

"Lo nggak apa-apa, Mars?" tanyanya dengan wajah kuatir.  Sebelah tangannya menggenggam jemariku yang masih memeluk perutnya yang terasa keras dan rata.

Seperti ada serangan listrik menjalari tangan, sekujur wajah bahkan seluruh tubuhku.

Seketika tersadar aku segera menarik kedua tanganku dengan cepat dari genggaman Ethan di atas perutnya.

Chapter 17 - Bad News is Not Good News

Ethan terkekeh melihat raut wajahku yang seketika berubah.

"Gak usah pegang-pegang deh!" semburku cepat. Coba meredakan desir-desir halus yang menggantikan kejut listrik tegangan tinggi tadi. 

"Lo modus, ya!"

"Modus gimana, sih? Kan tadi lo lihat sendiri itu motor main nikung sembarangan. Kalau tadi gue nggak ngerem, bisa babak belur itu orang!" sahut Ethan membela diri.

"Lagian, naik motor tuh pegangan yang bener...." Ethan ngakak kenceng banget melihat mulutku mengerucut sebal.

"Mepet dikit napa? Gue kan bukan kang ojek!" cerewet Ethan lagi saat aku membetulkan dudukku. Dia membalik badannya yang tegap dengan lengan kuat itu seraya mencoba menstater motornya.

"You wish!" Aku mencibir dan memukul punggungnya. Ethan terbatuk. Pura-pura.

Perjalanan kemudian dilanjutkan lagi tanpa drama. Ethan mengendarai motornya dengan pelan dan santai. Terlalu santai malah sampai aku geregetan.

"Than, lo kayaknya nggak beli motor mahal gini cuma buat disamain sama bajaj, kan?" seruku di telinganya.

Dia terkekeh lagi.

"Gue takut lo jatuh, kalo gue ngegas kencang-kencang, Mars!" imbuhnya. "Lo kan nggak pegangan ...."

Ah, siaalaaann!

"Oke, gue pe-ga-ngan, nih! Buruaan kebut deh!" Aku mencengkeram jaketnya di bagian pinggang. Tapi memang jaket Ethan ini licin banget. Aku kesulitan. Beberapa kali cengkeramanku terlepas.

Ethan mulai melarikan motornya lebih kencang dari sebelumnya. Bahkan terlalu kencang.

Aku menyerah. Dari pada nanti kenapa-kenapa, aku pun menurut. Walau terpaksa. Memeluk pundaknya.

*****

Tidak sampai setengah jam, kami telah tiba di rumah mama. 

Suasana rumah yang biasanya memang selalu sepi, kali ini terasa lebih mencekam. Entah kenapa. Tapi aku merasa tidak nyaman.

Rumah dua lantai dengan atap tinggi dan cat kusam membuat rumah yang pernah memberi kesan mentereng di lingkungan ini semakin bertambah suram. Pekarangannya yang luas dan dulu pernah ditumbuhi berbagai tanaman bunga-bungaan indah beraneka warna itu pun kering dan menyedihkan. Seolah tahu tangan yang dulu rajin merawatnya sekarang tak lagi punya keinginan bahkan untuk merawat dirinya sendiri. 

Aku menghela napas dalam-dalam. 

Sudah dua minggu ini aku memang tidak pulang ke rumah mama. Terlalu sibuk mengirimkan surat-surat lamaran dan beberapa kali juga menghadiri undangan interview pekerjaan.  Sampai aku hampir menyerah, lalu Ethan merekomendasikan pekerjaan yang sangat jauh dari ekspetasiku itu. 

Turun dari motor Ethan, aku memintanya menunggu sebentar. 

"Lo enggak keberatan nunggu, kan? Gue mau cek ke dalam dulu. Perasaan gue enggak enak," pamitku segera meninggalkan Ethan yang masih duduk di atas motornya. 

Tanpa menunggu jawaban Ethan, aku melangkah menuju pagar dan membuka pintunya dengan kunci cadangan yang kumiliki. Aku bahkan lupa menawari Ethan untuk ikut masuk sekedar melepaskan penat setelah berkendara. 

Suasana mencekam di luar, ternyata tidak lebih buruk dari keadaan di dalam rumah. 

Aku bergegas mencari Rima, berlari ke kamarku yang sekarang ditempati mama, atau kamar papa.

Tidak ada seorang pun yang menyahut ketika aku panggil.

Kamar Rima yang masih kelihatan lebih rapi dari dua kamar lainnya di lantai satu pun terbuka lebar. Tidak ada tanda-tanda adikku yang baru memasuki kuliah semester ke tiga itu di dalam situ. Apalagi kamar mama. Pintunya yang tertutup tidak rapat menguarkan aroma minyak kayu putih yang sangat kuat. Juga kosong tak berpenghuni. 

Jantungku berdegup semakin kencang. Berharap bisa bertemu dengan papa di kamarnya dan memberitahuku ke mana Rima dan mama pergi. Tapi nihil. Kamar papa pun gelap. Hanya bau obat-obatan yang menusuk hidung saat aku membuka pintunya.

Peluh mengalir deras dari ujung pelipisku. Aku menyekanya terburu-buru. Lalu teringat untuk mengecek ponsel yang aku masukkan dalam saku celana.

Aku membelalak saat mendapati puluhan miscall dari Rima.

Perasaanku semakin tak menentu. Apalagi saat membaca pesan singkat Rima yang dikirimkannya tiga puluh menit yang lalu.

Kak, Papa anfal. Kali ini sangat buruk. Kami membawanya ke Rumah Sakit Jantung Harapan Bersama.

Lututku lemas, tak lagi sanggup menahan beban tubuhku.

Seketika aku lunglai ke lantai. 
 

Chapter 18 - ICU (I See You)

Saat membuka mata, hal pertama yang kulihat adalah wajah gusar Ethan. Mata coklatnya yang sedikit sipit tapi punya sorot teduh itu menatapku lekat. Bibir tipisnya mengatup rapat. Napasnya yang hangat membelai wajahku.

Aku berupaya memundurkan wajah, tapi rupanya kepalaku sudah mentok ke dinding. 

Secepat kesadaranku kembali pulih, secepat itu pula kudorong bahu lebar Ethan. Memberi jarak wajah cukup jauh dari wajahku.

"Ap-apa... gue kenapa?" Aku memegangi kepala yang masih terasa berputar.

Kurampas minyak angin aromaterapi dari tangan Ethan dan menciuminya dengan kasar setelah lebih dulu mengoleskannya pada kedua pelipisku.

"Waktu gue panggil lo nggak nyahut, gue masuk aja. Ternyata lo udah jatuh di lantai," terang Ethan tanpa kuminta. 

"Lo pingsan lima belas menit tadi," tuturnya lagi.

Aku mencoba mengembalikan semua ingatan. Menguraikan kejadian mulai dari saat aku tiba dan masuk ke rumah ini, hingga apa yang membuatku tergeletak di lantai.

"Papa!" Lalu aku mengingat semuanya. "Kita ke Rumah Sakit Harapan Bersama, Than!"

Susah payah aku berusaha bangkit, tapi rupanya mataku masih berkunang-kunang. Kurasakan lengan Ethan sigap menangkap tubuhku yang mencoba bangun dari duduk. Limbung.

Aku merutuk kesal. 

Lagi-lagi kebiasaan pingsan tidak pada tempatnya ini muncul di saat yang tidak tepat. Aku tidak sedang kelaparan saat ini. Kurasa makanku juga cukup banyak saat di apartemen si bos tadi. Terus kenapa bisa pingsan? Apa karena aku terlalu stres, cemas memikirkan keadaan Papa? Ah, iya Papa!

"Ethan, please anterin gue ke rumah sakit. Gue mau ketemu bokap," ucapku lirih. 

Ethan mengangguk. 

"Tapi lo ... apa bisa naik motor dengan keadaan begini?" Ethan sepertinya mulai ragu.

"Terpaksa." Aku menarik napas panjang.

"Tapi janji, lo harus pegangan yang bener! Jangan sampai pingsan lagi di jalan!" pintanya serius. "Kalau perlu, peluk yang kencang. Biar enggak jatuh!" 

Aku tersenyum masam. Malas menanggapinya. Masih terasa agak lemas untuk adu argumen dengan Ethan. Biarin deh kalau dimodusin juga. Yang penting tetap jaga jarak aman saja.

Jauh di dalam hati sebenarnya aku bersyukur banget Ethan ada di sini. Kalau tidak, entah apa yang akan terjadi denganku. Beruntung juga aku bisa ikut nebeng dengan motornya --well lebih tepatnya nodong sih-- ke rumah sakit bisa jadi lebih cepat. Semoga saja Papa tidak kenapa-kenapa.

Aku sangat menguatirkan keadaan Papa. Sudah setahun ini beliau terkena stroke. Tapi baru beberapa bulan belakangan, kondisinya semakin memburuk. Papa tidak lagi bisa ke mana-mana. Hanya berbaring di tempat tidur saja. Segala aktivitasnya dilakukan di atas kasur. Tubuhnya pun semakin lama semakin kurus karena selera makannya tentu saja turun drastis. Sudah dua kali pula Papa dibawa ke rumah sakit karena tiba-tiba terkena serangan. Tapi pesan singkat Rima barusan membuatku sangat ketakutan. 

*****

Rumah Sakit Harapan Bersama yang letaknya tidak begitu jauh dari rumah mama itu kelihatan lebih menakutkan dari biasanya. Bukan karena gedung-gedung putihnya yang menjulang. Bukan juga karena para dokter dan perawat berpakaian serba putih yang sibuk hilir mudik di koridor rumah sakit. Atau keluarga pasien yang harap-harap cemas akan kesembuhan orang-orang yang mereka antarkan ke sana.

Aku kuatir sesuatu yang buruk terjadi pada Papa.

Bergegas mencari ruangan yang diberitahukan Rima lewat percakapan telepon tadi, aku hampir saja lupa datang bersama Ethan. Beberapa kali aku meninggalkan Ethan di belakang.

"Kak Aca!" 

Aku menoleh. Mencari asal suara yang amat kukenal. Hanya satu orang yang memanggilku dengan nama itu.

"Gimana keadaan Papa? Di rawat di mana? Mama? Sama siapa?" berondongku begitu melihat seorang gadis kurus tinggi dengan rambut dikuncir ekor kuda berlari menghampiriku.

Rima menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri.

"Tadi Om Agung membawa Mama ke rumahnya. Untuk sementara aja, Kak. Aku enggak bisa jaga Papa sementara keadaan Mama ...."

Om Agung adalah adik kandung mama. Hanya dia saudara mama yang tinggal sekota dengan kami. Meski begitu, kami tidak begitu dekat, karena istri om Agung tidak begitu akur dengan mama.

"Iya, oke Kakak ngerti, Rim. Sekarang, Papa di mana?"

Air muka Rima berubah pias. Dia menatapku lalu Ethan dengan pandangan penuh tanya.

"Oya Rims, kenalin Ethan, teman Kakak. Than, ini adek gue, Rima." 

Aku mengusap muka. Baru sadar aku tidak datang sendiri. Kenapa bisa orang sebesar dan sekeren Ethan tidak terlihat olehku? Padahal aku bisa sampai di sini secepat ini, itu semua karena bantuan dia. 

Ethan tersenyum, menyalami Rima sebentar, sebelum gadis itu menunjuk sebuah ruangan yang tidak begitu jauh dari tempat kami saat ini berdiri.

"ICU*, Kak. Sebelah sana." 

.

*ICU adalah kepanjangan dari Intensive Care Unit, sebuah perawatan di rumah sakit yang dikhususkan bagi pasien dewasa dengan kondisi kritis dan mengancam jiwa.

Chapter 19 - These Too Shall Pass

Aku menatap wajah Papa. Seperti sedang terlelap. Tenang. Damai. Padahal beberapa menit yang lalu aku melihat sendiri upaya dokter dan perawat memberikan tindakan medis, beberapa saat sebelum layar monitor di samping tempat tidurnya menunjukkan garis datar dan bunyi dengung yang panjang. 

Rima meraung-raung. Tidak percaya dan marah-marah ke dokter karena tidak bisa memaksa Papa bangun. Air matanya tumpah membanjiri baju Papa.  Dia marah padaku yang lama sekali baru datang. Dia marah pada Papa yang begitu cepat pergi. Dia marah pada semua orang. 

Sementara aku hanya berdiri mematung. Diam saja tak tahu harus berbuat apa. Tidak mampu menangis. Tidak mampu bernapas. Apalagi bersuara. Tenggorokanku kering. Bibirku rasanya berat sekali terbuka. Hanya mataku yang mengerjap berkali-kali, memaksa menatap Papa yang telah terbujur dalam diam.  

Rima masih melarang dokter dan perawat mencabut satu per satu kabel-kabel yang terpasang di sekujur tubuh Papa. Dia masih berkeras, sekali pun perawat terus menyadarkan Rima bahwa Papa sudah tiada. Tapi adikku itu, yang selama setahun ini mengurusi Papa, memandikan, menyuapi, bahkan mengganti dan mencucikan baju dalamnya tetap tidak mau menerima. 

Kurasakan Ethan memegangi bahuku. 

"Kalo lo butuh sesuatu ...." 

Dia tidak melanjutkan kata-katanya. Dia hanya mencengkeram bahuku dan berusaha mendorong perlahan wajahku ke dadanya. Aku tak mengelak. Tidak punya kekuatan untuk menolak. Aku hanya memejamkan mata rapat-rapat dalam rengkuhannya, dan terus menikmati lolongan Rima yang panjang.   

Aku memutar ulang memoriku. 

Kapan terakhir aku berbicara dengan Papa? Satu minggu? Dua minggu yang lalu? Kapan, ya? Aku terus mengingat-ingat. Kesibukanku mencari pekerjaan selepas pemutusan hubungan kerja di kantor lama membuatku sering lupa menelepon ke rumah. 

Apa aku salah? 

Aku mencari pekerjaan untuk mencari uang membayar biaya pengobatan Papa. Karena mobil, dan semua perabotan rumah sisa-sisa kejayaan Papa sudah ludes terjual sejak Papa terkena stroke. Bisnis Papa pun hancur. Aku juga masih harus melunasi hutang-hutang Mama. Membayar uang kuliah Rima. Membiayai hidupku sendiri. 

Papa sering bilang dia kuatir denganku karena harus menanggung hidup kami semua. Tapi aku menolak menganggapnya sebagai suatu beban. Aku merasakan ini sebagai tanggung jawab. Bahkan saat Papa menyuruhku untuk mencari pacar aku pun pura-pura tidak ingin mendengar.

Sekarang, bahkan saat aku baru dua hari bekerja aku sudah harus kehilangan Papa. Bagaimana aku harus menyampaikan berita ini pada Mama? Mama juga yang tidak sehat jiwanya, mampukah beliau menerima kepergian Papa?

Aku seperti mendengar bunyi ledakan di kepalaku sendiri. Aku nggak bisa merasakan apa-apa lagi. Bahkan saat Ethan mengelus-elus punggungku, mencium kepalaku, membesarkan hatiku dengan kata-katanya yang lembut. Mendudukkan aku di kursi ruang tunggu sementara dia sibuk ke sana kemari mengurus administrasi. 

Aku tetap bergeming. 

*****

Ethan selalu mendampingiku.

Bukan hanya saat jenazah Papa di bawa pulang ke rumah malam itu. Tapi sampai pemakaman, bahkan acara ibadah penghiburan di rumah. Dia tidak pernah tidak hadir.

Ethan bahkan yang memintakan ijin pada pak bos untuk aku tidak masuk kerja dulu selama masa berkabung beberapa hari ini.

Aku tak menduga bos memberiku ijin, mengingat aku baru dua hari bekerja dengannya.  Dia malah mengirimiku karangan bunga besar tanda belasungkawa. Ethan pasti punya trik khusus menghadapi pak bos yang notabene adalah sahabat semasa kuliahnya itu.

Berdua dengan Rima, kami membereskan kamar Papa. Membuang sisa-sisa obat Papa,  mengemasi baju-bajunya, mengatur ulang foto-foto, majalah dan buku-buku bisnis Papa di perpustakaan kecilnya.  Kami masih tak percaya Papa telah tiada.

Terlebih Mama.

Susah payah aku menyampaikan kabar kepergian Papa tanpa harus membuatnya menjerit-jerit seperti orang kesurupan.

Aku sadar. Aku tidak bisa terus larut dalam kesedihan. Masih ada mama dan Rima yang perlu mendapatkan perhatian.

Walau masih terasa berat tapi semua yang terjadi memang harus terjadi. Dan pada waktunya semua akan kembali normal seperti seharusnya.

Aku masih menata hatiku saat sebuah pesan singkat dari nomor tak dikenal mengirimiku pesan.

Tanpa basa-basi.

Jangan lupa besok pesenin gue tiket ke Paris untuk Sabtu ini.

CM.

.
.
.

Chapter 20 - Who Do You Think You Are

CM?

Celline Marcelina?

Tunangan si bos itu ngirimin pesan singkat nyuruh aku pesenin dia tiket?

Nggak pakai ba-bi-bu, permisi, selamat malam, kulo nuwun, assalamualaikum atau apa lah salam yang biasanya diucapkan orang normal?

Ditambah lagi, saat ini aku sedang cuti. Bukan liburan pergi belanja-belanja atau foya-foya naik kapal pesiar. Tapi karena aku baru mengalami kedukaan! Jangan lupa, sekarang ini sudah malam. Pukul 22.15. Setahuku, malam adalah waktunya untuk tidur. Mengistirahatkan tubuh dan jiwa dari segala kepenatan setelah beraktifitas seharian.

Harusnya dia tahu itu, kan? Atau apa dia hidup hidup di planet yang lain?

Hanya karena dia adalah tunangan si bos yang notabene pemilik sekaligus direktur utama TME, apa dia pikir dia bisa bertindak seenak udelnya sendiri? Kalau pun aku membantunya, itu lebih karena aku menghormati dan menghargai Pak Bryan Krisnautama, bosku.

Kepalaku mendadak berdenyut.

Beberapa saat aku terdiam menatap benda pipih persegi yang menyala di depanku itu.

Balas. Lupakan. Balas. Lupakan. Balas ....

Tahu-tahu benda pipih itu sudah terlepas dari genggamanku. Seperti mantra yang dirapalkan mister Bean dengan menghitung domba di kandang sebelum tidur. Dan aku berhasil.

Terlelap.

*****

Berpamitan dengan mama dan Rima, aku melihat guratan kesedihan masih membayang di ke dua wajah wanita yang teramat kusayangi itu.

Apalagi Rima.

Sekali pun tugasnya untuk menjaga dan merawat orang tua kami sudah berkurang satu orang sekarang. Tetap saja, dia masih kelihatan belum rela.

Beberapa hari ini, aku terus menguatkan dan membesarkan hatinya. Kesedihan karena kehilangan orang yang sangat dikasihi, membuatnya enggan untuk kembali kuliah. Tapi aku memaksa. Hidup harus terus berjalan. Sesulit dan sepahit apa pun yang harus dilalui.

Itu sebabnya hari ini aku bertekad untuk kembali bekerja. Sekali pun si bos memberiku cuti satu hari lagi.

Aku sedang membereskan meja kerjaku dan meneliti beberapa jadwal pertemuan pak bos saat aku menghirup aroma kopi hitam yang kental.

"Morning, Mars. Getting better?"

Spontan aku berdiri, memberikan senyuman pada orang yang berani membayarku 3x dari penghasilanku sebelumnya itu.

"Pagi, Pak. I am very well, thanks," balasku.

Si bos tersenyum menatapku. Sambil mengangguk, ia menepuk-nepuk punggungku. Setelah itu dia melenggang menuju meja kerjanya sendiri.

"Hola Marsha, lo udah datang? Very good!  Tiket sudah dipesan?"

Belum sempat aku membuka mulut, pretty woman itu sudah memburu masuk ke kantor tunangannya.

"Sayang, kamu beneran nggak mau ikut ke Paris? Ini buat hunting baju pernikahan kita, lho."

Dari luar sini aku mendengar suaranya yang dibuat-buat manja itu. Aku menggaruk telingaku yang tak gatal. Gadis itu kemudian mulai menggelayut ke lengan pak bos yang menggeleng perlahan seraya membuka sebuah map di atas mejanya.

"Tapi, kan kamu sudah janji?!"

"Not, now Celline. I'm sorry. I have many things to do here. You'd better go with your friend instead."

Kudengar pak bos masih berkeras menolak. 

Celline bergerak menuju pintu dengan bibir melengkung ke bawah dan wajah kaku. Dia menghampiriku.

"Mana tiketnya?! Sudah dipesan?! Kan dari semalem gue udah text lo, ya!"

"Tadi malam saya sudah tidur," desisku sambil terus memainkan tetikus, melanjutkan membuat slide demi slide presentasi. 

"Heh! Lo itu kalo ngomong sama gue, lihat muka gue!" Celline menaikkan suaranya. Dia mendorong bahuku kasar dengan ujung jarinya yang panjang dan bercat kuku merah. 

Aku mendongak. Menarik napas dalam-dalam. Menatapnya tajam.

Memangnya dia pikir dia itu siapa membentakku seperti tadi?

"Maaf, Bu. Ada yang bisa saya bantu?" ucapku berusaha sedamai mungkin. Tersenyum. Padahal di dalam sini rasanya sudah pengin gigit kaki meja.

Tahu nggak, sih? Menahan sebal itu hampir sama dengan menahan kentut. Sama-sama bikin sakit perut. 

Celline mengeluarkan sesuatu dari dalam tas kecilnya, kemudian melemparkannya ke atas meja kerjaku. ID Card dia.

"Pesankan untuk Sabtu ini! Jam yang paling awal! Business Class!" serunya lalu berbalik. 

Dia kembali ke ruangan pak bos lalu menutup pintu di belakangnya hingga terdengar bunyi berdebum yang keras.

Terlalu keras hingga getarannya sedikit mengguncang harga diriku.
 

Terlalu keras hingga getarannya sedikit mengguncang harga diriku

Chapter 21 - What Makes You Handsome

Aku tahu, menjadi personal assistant berarti harus siap mengerjakan tugas-tugas bahkan yang menyangkut hal-hal yang sangat pribadi bagi atasan. Aku sama sekali tidak keberatan. Namun meski sebagai bawahan, aku juga adalah manusia biasa yang punya hati dan perasaan.

Ok, fine! Nggak perlu bawa-bawa hati apalagi perasaan.

Cukup minta lah sesuatu dengan berbicara santun. Aku akan memasukkan permintaanmu ke dalam to do listku, dan mengerjakannya sesuai skala prioritas yang telah kubuat. That's all!

Dalam hal Celline si tunangan bos ini, aku masih belum mengerti posisi dia selain dia itu calon istri bos. Masih calon, loh. Bisa jadi istri, bisa juga gagal, kan? Ups, sorry! Bukan nyumpahin bakal nggak jadi sih, tapi kelihatan sekali si Celline-Celline ini sangat mendominasi.

Baiklah. Aku memang baru mengenalnya beberapa hari saja. Mungkin sebaiknya menyimpan dulu prasangka-prasangka buruk tentang dia. Selalu ingat kata-kata bijak ini: "Don't ever judge a book by it's cover."

Aku baru selesai mengerjakan presentasi untuk meeting besok dan baru saja menekan tombol send ke surel si bos untuk cek terakhir, saat aku mendengar suara ribut-ribut yang asalnya dari ruangan si bos.

Aku memasang telinga baik-baik.

Bukan. Yang sekarang ini bukan suara mendesah-desah atau melenguh atau mendesis seperti yang pernah aku dengar beberapa waktu yang lalu. Ini seperti suara dua orang yang sedang beradu argumen. Kalau tidak mau disebut berantem.

Pintu ruangan si bos yang terbuat dari kayu solid memang pas untuk meredam suara-suara yang masuk atau pun keluar dari kamar. Meskipun samar, tapi aku tetap masih bisa mendengarkan.

Sepertinya pertengkaran masih seputar si bos yang tidak mau ikut ke Paris. Sementara tunangannya itu terus saja mengulang, merengek seperti kaset rusak.

Mendadak pintu ruangan si bos terbuka.

"Why don't you understand, Celline? I have to attend all that f***ing important meeting next week!"

Si bos muncul dengan wajah frustasi.

Aku pura-pura menyibukkan diri dengan menelepon perusahaan travel rekanan. Berusaha mencari harga terbaik untuk penerbangan ke Paris Sabtu ini.

"You could reschedule it anytime, Bryan! You even could ask your PA to attend it for you! It's NOW or just FORGET IT!"

Celline berteriak dengan napas memburu.

Dia terlihat sangat kesal. Melangkah cepat dengan kakinya yang panjang terbungkus rok celana berwarna beige, dia sama sekali tak mempedulikan pak bos yang mengejar di belakangnya. Kurasa aku pun tak terlihat olehnya. Dia melewatiku begitu saja.

Celline bahkan membanting pintu di belakangku saat dia keluar.

Aku mengelus dada. Meletakkan gagang telepon kembali pada tempatnya.

"Sorry, Mars kamu harus dengar keributan nggak penting ini." Si bos menarik napas cepat seraya memperbaiki ikatan dasi di kerah lehernya.

Aku mengangguk. Memberinya sedikit senyum. "No worries, Sir."

Si bos berdiri mematung di sebelahku. Keningnya berkerut. Dia lalu menoleh dan menatapku.

"Saya ada acara apa hari ini?" tanyanya beberapa saat kemudian.

"Meeting di Thiezz Contractors jam sepuluh, Pak. Ratu Prabu Building, Simatupang," jawabku lancar. Aku baru saja akan mengingatkannya.

"Presentasinya baru saja saya kirim ke surel Bapak."

"Okey. Nanti saya cek." Pak bos lalu berjalan kembali ke ruangannya. Baru beberapa langkah dia berhenti.

"Oya, kamu ikut saya meeting."

Aku mengangguk lagi. "Baik, Pak."

"Good!"

Pak bos kemudian masuk ke ruangannya dan menutup pintu.

Saat itu lah aku kemudian teringat untuk meminta persetujuannya soal pemesanan tiket Celline. Bergegas aku mengetuk pintu.

Terdengar suara dari dalam menyuruhku masuk.

Hawa dingin segera menyergap saat aku membuka pintu. Pak bos sudah duduk di belakang meja kaca besar. Menyandarkan punggung pada kursi besarnya yang terbuat dari bahan kulit. Dia sudah melepas jas dan menyampirkan pada sandaran kursi. Dia kini hanya memakai kemeja putih dengan lengan yang digulung sebatas siku.

"Ada apa?"

Pak bos menatapku dengan sorot matanya yang tajam. Tangannya mulai melepaskan dasi dan membuka dua kancing kemeja bagian atas.

Aku berdehem pelan. Kenapa mendadak jadi gugup begini?

Aku merutuk diri sendiri.

Apa-apaan, sih?

Seperti baru pertama kali saja ketemu pak bos!

Ingat Marsha, peraturan penting no. 3!

.

.

.

.

 

pak bos Bryan

pak bos Bryan

 

Chapter 22 - Meeting

Aku berdiri saja di sudut meja si bos hingga dia menyuruhku duduk.

"Ada apa, Mars?" ulangnya lagi setelah aku duduk di kursi di hadapannya. Suaranya rendah dan dalam. Kedua tangannya disilangkan di atas meja kaca. Ujung jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja.

"Eum... soal... tiket Ibu Celline...."

"Oh itu," potong si bos cepat. "Dia minta dipesankan tiket untuk Sabtu ini, kan?"

"Ya, Pak. Penerbangan pertama. Kelas bisnis." Aku mengangguk. "Is that okay?" tanyaku kemudian. Sedikit ragu.

Pak bos tak bergeming. Terus mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja.

"That's okay, actually. Just do whatever she wants." Pak bos mengedikkan bahunya. Terlihat pasrah.

"She is also part of this company, by the way."

Aku menatap pak bos dengan tatapan 'oh ya?' Dia kemudian menggangguk memberi konfirmasi.

"All right, then."

Aku mengangguk dan tersenyum singkat setelah mencerna kata-kata pak bos lebih lanjut.

Jadi benar, Celline bukan hanya tunangan pak bos saja. Dia ternyata juga adalah bagian dari TME. Walau pun perannya sebagai apa masih menjadi pertanyaanku selanjutnya. Tapi untuk saat ini sudah cukup lah aku tahu, alasan kenapa dia bersikap begitu arogan.

Pak bos berdiri, mengitari mejanya, menghampiriku.

"Bagaimana persiapan meeting hari ini?"

"Sudah siap, Pak. Tinggal menunggu konfirmasi Anda untuk slide yang saya kirimkan." Pak bos bergerak mendekatiku, lalu duduk di tepi meja kacanya, persis di sebelahku.

Aku mulai waspada. Apalagi tangannya mulai bergerak seperti hendak menjamah pundakku.

Aku menahan napas.

"Mars," panggilnya.

Aku memberanikan diri menatap wajahnya. Matanya terlihat menyimpan sesuatu. Kelam. Seperti ada yang disembunyikan.

Dia menghela napas panjang, menarik tangannya yang hampir menyentuh pundakku. Lalu berucap datar.

"Please call me Bryan, not Sir or Boss, will you?"

Dia menatapku. Bibirnya yang tipis mengatup rapat, membuat sebuah garis datar. Astaga, kenapa dia imut sekali?

"Tap-tapi... Pak... umm... ehh...."

"Bryan," ucapnya.

Aku manggut-manggut saja. Sekali pun dalam hati masih terus mikir, kenapa si bos ganteng ini tiba-tiba pengin dipanggil dengan nama saja. Padahal, rasanya canggung banget memanggil tanpa embel-embel 'pak' atau 'bos'.

"Kurasa usia kita tidak terlalu terpaut jauh. Kita bisa lebih akrab dengan saling menyebut nama."

Si bos, eh Bryan tersenyum lagi. Dia berdiri kemudian memutari mejanya dan kembali duduk.

Aku pun pamit kembali ke ruanganku untuk bersiap-siap. Mengkonfirmasi pesanan tiket Celline sambil menunggu draft presentasiku diapprove atau dikoreksi pak bos.

******

Aku sudah menduga meetingnya akan sangat membosankan. Beberapa kali aku harus menahan diri dari menguap. Membuat mataku rasanya merah dan berair.

Kami sudah satu setengah jam berada di ruangan ini. Ada sekitar delapan orang perwakilan dari Thiezz Contractors. Jadi kami bersepuluh orang termasuk aku dan pak bos. Ah, susah sekali membiasakan diri memanggilnya 'Bryan' begitu. Tapi karena perintah atasan, aku pun harus menurut.

Mereka berencana menginvestasikan produk software maintenance kami untuk beberapa site di Kalimantan. Thiezz merupakan salah satu perusahan kontraktor pertambangan yang terbesar di Indonesia. Mereka juga butuh konsultan kami untuk menjalankan program itu sampai benar-benar dapat beroperasi baik dan terkoneksi secara online dengan seluruh site yang ada.

Satu-satunya yang membuatku bertahan di situ adalah Bryan.

Tentu saja. Caranya memberikan presentasi, gayanya berbicara, gestur tubuhnya, kontak matanya, semua membuatku seperti tersihir untuk tidak sedetik pun melepas pandangan darinya. Kuakui, aku memang masih harus banyak belajar agar bisa memberikan presentasi sesempurna dia.

Akhirnya meeting ditutup dengan permintaan penawaran dari direktur keuangan TC. Semua hal-hal yang penting sudah masuk buku catatan ajaibku. Buku sebesar agenda kerja yang aku pakai menuliskan bemacam-macam catatan. Termasuk yang rahasia, seperti catatan belanja, pasword ATM, catatan hutang makan di warung Padang depan kos-kosan.... eh, yang belakangan itu ngarang, deng.

"Kita makan siang dulu sebelum kembali ke kantor," perintah Bryan saat kami sudah berada di dalam mobil.

Aku mengangguk saja. Kebetulan sudah waktunya makan siang. Perutku sudah sejak tadi memberi sinyal minta segera diisi.

Jalanan Jakarta siang itu cukup padat. Aku membayangkan harus berpanas-panasan di luar sana untuk mencari makan siang. Thank God! Aku nggak penah bermimpi sebelumnya, bisa berada di dalam mobil dengan pendingin kencang dan pengharum yang awet seharian, bersama bos pintar nan ganteng, pemilik perusahaan ternama seperti Bryan. Mungkin aku juga harus mempertimbangkan mentraktir Ethan untuk ini.

Walau pun sepanjang perjalanan, Bryan lebih memilih banyak diam. Entah apa yang ada dalam pikirannya.

Kepala dengan rambutnya yang mulai tidak rapi disandarkan di punggung kursi mobil. Dasinya sudah sejak lama ditanggalkan. Juga dua kancing kemeja bagian atas sudah dibiarkannya terbuka, memperlihatkan sedikit rambut-rambut halus di dada. Ditambah lagi menggulung lengan kemeja sebatas siku dan duduk dengan membuka kaki lebar-lebar dengan tangan sebelah bertumpu ke paha dan sebelah lagi disandarkan ke pintu mobil. Pemandangan yang membuatku sungguh-sungguh harus memilih untuk melempar pandangan ke luar jendela.

Ya ampun. Apakah mengagumi tunangan orang itu dosa?

Aku masih senyum-senyum sendiri saat mendadak Bryan membuyarkan lamunanku dengan pertanyaannya.

"Mars, gimana pendapatmu tentang... memutuskan hubungan pertunangan?"

Spontan mulutku menganga lebar.
 

Spontan mulutku menganga lebar

Chapter 23 - Can I Trust You?

Sebelum aku sempat bertanya-tanya lebih jauh, ternyata kami telah tiba di sebuah mal ternama di kawasan Jakarta Selatan. Untuk sementara, kutelan lagi berbagai tanya yang sudah sampai di ujung lidah.

Bryan mengajakku ke sebuah restoran vegetarian di mal itu. Kelihatannya cukup dia kenal dengan baik. Pasti sudah sering ke sini. Karena begitu sampai, pramusaji segera mengenali dan mengantar kami ke tempat khusus yang biasa dipesannya.

Kami duduk di sebuah ruangan non smoking area di sebelah dalam restoran. Tempatnya nyaman banget, sekali pun boleh dibilang sederhana. Ada dinding kaca yang membatasi ruang dalam dengan teras yang dihias dengan beberapa pot tanaman hijau.

Bryan menarik sebuah kursi dan mempersilakan aku duduk. Setelah itu baru lah dia menarik kursi untuk dirinya sendiri, di depanku. 

Duh, si bos kok jadi so sweet gini, sih? Mudah-mudahan aja nggak ada udang di balik perkedel. (Karena udang tempatnya kan dalam bakwan?)

Pramusaji muda yang kutaksir seumuran dengan Rima itu tersenyum dan membagikan buku menu. Aku melihat-lihat sebentar. Ternyata di restoran itu tidak hanya menyajikan hidangan untuk para vegan saja. Tapi ada juga menu daging  dan ikan untuk pengunjung yang bukan vegetarian.

Setelah melihat Bryan memilih sesuatu, aku pun menetapkan satu menu masakan bukan vegan untuk kusantap. Kuharap Bryan nggak akan terkejut saat pesananku nanti datang. Terus terang, aku memang lapar banget, karena sepagian tadi hanya mengisi perut dengan segelas minuman sereal di rumah.

Bryan meletakkan tangannya di atas meja. Aku tahu dia sedang memperhatikanku. Tapi aku cuek aja.  Pura-pura memainkan ponsel.

"Mars," tegurnya.

Memaksaku melepaskan ponsel dan meletakkannya di atas meja.

"Can I trust you?"

Perlahan aku mendongak dan memberanikan diri membalas tatapannya. 

"Eum... Bryan. Never trust people who says 'trust me'!" balasku sambil tersenyum miring.

"Why not?"

"Ya, karena orang-orang yang mengaku bisa dipercaya adalah mereka yang biasanya berkhianat."

"Pengalaman pribadi, huh?"

Dia terkekeh. Memamerkan sederetan gigi putih dan lesung pipinya.

Aku membalasnya dengan senyum getir.

Pengalaman pribadi? Tentu saja! Walau pun tidak akan pernah aku ceritakan padanya. Bagaimana mama sampai depresi karena ditipu habis-habisan dengan orang yang mengaku sahabat yang paling bisa dia percaya.

"Saya tidak akan bilang kalau saya bisa dipercaya. Saya akan membuktikannya," ucapku sungguh-sungguh. Mencoba mencari tahu ke mana arah pembicaraannya ini bermuara.

Dia mengangguk-angguk lalu menghela napas panjang.

Mendadak aku teringat ucapannya sesaat sebelum kami keluar dari mobil tadi. Aku baru akan  menanyakan apa maksud perkataannya itu, saat dia sendiri memberikan pengakuan.

"Saya ingin memutuskan pertunangan dengan Celline," tandasnya. "Bagaimana pendapatmu?"

Pendapatku? Dia, tanya apa pendapatku? Kenapa dia harus bertanya pendapat pada karyawannya yang bahkan belum genap seminggu bekerja dengannya? Selain itu, apa dia nggak sadar klo berita ini bakal jadi rumor terbesar di TME kalau sampai jatuh ke tangan Lambe Curah, si penyebar gosip paling manjur itu?

"It's up to you though," balasku akhirnya setelah terdiam beberapa saat.

"I really need to talk to someone I can trust. Our relationship is very complicated, you know!"

Aku hampir saja tersedak ludahku sendiri saat mendengar kata-katanya. Gimana bisa dia bilang complicated kalau dalam dua hari kerja saja aku sudah dua kali memergoki mereka sedang make out? Itu yang ketahuan loh!

"Thats why I recruit you as my PA."

Maksudnya? Apa dia ngerekrut aku cuma buat jadi tempat curcol?

"So, what is your real problem, Boss?

Tiba-tiba aku jadi berani menanyakan itu padanya.

Bryan menatapku lama.

Dia membuka mulutnya, bersiap menjawab pertanyaanku. Tapi kemudian diurungkan karena  pesanan kami keburu datang.

 

Chapter 24 - Bos's Problem

Pramusaji datang  dan menaruh pesanan kami di atas meja. 

Seporsi paket chicken steik lengkap dengan kentang goreng dan salad sayuran ditambah segelas besar jus alpukat dihidangkan sesuai pesananku. Sedangkan Bryan hanya memesan seporsi spageti vegetarian dengan toping tumisan jamur dan bayam dengan segelas jus lemon.

Aku berusaha makan sejaim mungkin biar enggak ketahuan lapar akut. 

Bryan menatapku sambil tersenyum kecil. Sepertinya dia tahu aku hanya menjaga imej biar kelihatan enggak malu-maluin. Sebenarnya pengin rasanya aku menyuap steik ini besar-besar saking laparnya. 

Tiba-tiba aku merasakan sesuatu menyentuh kakiku. 

Aku berhenti mengunyah. Bryan semakin lebar tersenyum. Aku menatapnya curiga. Eh dia malah terkekeh geli.

"Kamu kalau kelaparan gitu lucu," ucapnya. 

Aku segera menarik kakiku, membebaskan dari sentuhan kakinya.

Aku menyesap jus alpukatku cepat-cepat. "Please, Bryan. What's your problem?" tanyaku lagi, mulai serius.

Dia menghela napas. Mungkin merasa terganggu karena kesenangannya kuhentikan. 

"I'll tell you later. Now, finish your lunch. We get back to the office," perintahnya kemudian.

Okay, fine bos! Sepertinya dia belum percaya untuk menceritakan sepenuhnya masalahnya. No problemo! Aku enggak apa-apa. 

Setelah itu, kami pun sibuk dengan pikiran masing-masing. Bahkan sampai akhirnya kami kembali ke kantor, kami tidak banyak mengobrol lagi.

*****

Mars, gue jemput lo ya?

Sebuah pop up pesan singkat dari Ethan muncul. 

Aku melirik arloji dengan tali kulit berwarna coklat tua yang melingkar di pergelangan tanganku. Memastikan bahwa sekarang memang baru pukul lima kurang lima belas menit. Rajin amat ini anak udah mau jemput aja. Padahal aku sepertinya bakalan lembur di kantor karena si bos tadi minta dibuatkan laporan hasil meeting sekaligus draft proposalnya.

Thanks, Than. Tapi gue pulang sendiri aja, ya. Gue belum tahu pulang jam berapa.

Aku mengetik balasan. 

Aku tidak ingin terus menerus merepotkannya. Ethan sudah terlalu baik. Kemarin waktu Papa meninggal saja, dia memaksa untuk membayar semua tagihan rumah sakit. Bahkan biaya pemakaman dan segala tetek bengek yang diperlukan, karena dia melihat aku benar-benar kacau.

Tentu saja aku menolak. Bukan tidak mau menerima bantuannya. Tapi aku tidak ingin berhutang budi. Karena hutang budi akan dibawa sampai mati. Lebih baik aku berhutang uang. Bisa kucicil hingga lunas bila nanti sudah saatnya gajian. Untung lah akhirnya Ethan setuju setelah aku terus mendesaknya.

Aku menunggu beberapa saat sebelum menutup ponsel dan melanjutkan mengetik laporan hasil meeting. 

Beberapa menit kemudian, ponselku berdering.

Bos Gelo is calling. 

Aku terkekeh geli. Ternyata nama di daftar kontak belum kuganti.

"Mars speaking," ucapku seraya menjepitkan ponsel di antara telinga dan bahu. Sementara jemariku tetap mengetik di atas keyboard.

"Come on in and help me, Mars. I have some problems with my notebook," jawab si bos.

"Okay, just wait a minute, please."

Aku mematikan ponsel dan menaruhnya kembali ke atas meja. Menyelesaikan ketikan sedikit lagi, lalu buru-buru menyimpannya. Bisa bencana kalau sampai lupa.

Aku masuk dan mendapati si bos sudah keluar dan berdiri di sisi kursi besarnya, sambil mengamati laptop di atas meja kerjanya. Aku menghampiri perlahan.

"Close the door, please." 

Aku menurut dan menutup pintu di belakangku.

"Ada masalah apa?" tanyaku mendekat ke mejanya. Kulihat di layar monitor masih menampilkan grafik dan tabel-tabel.

"See? Laptopnya hang," ujarnya seraya mengedikkan bahu dan menunjuk ke arah layar laptop.

"Will you excuse me?" Aku berdiri di sampingnya, lebih mendekat pada benda persegi andalan si bos itu. Mencoba menggapai dan menggerakkan tetikusnya.

Aku kesulitan karena terhalang tubuh si bos.

Alih-alih menyingkir dari situ, pak bos Bryan malah menyuruhku duduk dikursinya.

"Have a seat, Mars." Dia tersenyum dan menarik kursi sedikit agar aku bisa duduk. Dia lalu mendorongnya lebih merapat ke meja.

Aku mencoba menggerakkan tetikus, namun tidak ada respon sama sekali. Kutekan tombol Escape dengan cepat beberapa kali. Juga tidak membuahkan hasil apa pun.

"I've tried to reboot that f***ing machine twice, but still doesn't work," lapor si bos.

Perlahan dia merunduk dan merapatkan tubuhnya padaku. Kedua lengannya yang kukuh terlihat dari otot yang tercetak dari balik  kemeja yang terlipat sebatas siku itu, mengurungku. Aku kini dapat merasakan embusan napasnya yang beraroma mint. Kurasa dia baru saja menelan  permen pelega tenggorokan. Aku bahkan dapat mencium wangi parfumnya yang lembut dan maskulin. 

Seketika konsentrasiku bubar. 

Jantungku serasa melorot sampai ke kaki. Dadaku terasa sesak. Aku kesulitan menghirup udara segar. Apalagi saat embusan napasnya yang hangat dan segar itu menerpa wajahku yang hanya beberapa senti saja dari wajahnya. 
.
.
.
 

 

 

Chapter 25 - Very Very Bad Day

 

Aku hampir tersesat dengan semua pesona si bos. Aku bohong kalau tidak terpengaruh. Dusta. Sebagai seorang gadis normal, semua yang dia lakukan, entah sengaja atau tidak, membuat seluruh tubuhku merinding. Kuakui, sex appealnya memang sangat tinggi.

Hingga akhirnya sinyal kesadaranku kembali menguat. 

Wait a minute! What are you thinking, Mars?! 

Bukankah ini hal yang tidak pantas dilakukan seorang bos pada bawahannya? Hati-hati, Bryan! Aku bisa melaporkanmu melakukan pelecehan seksual di tempat kerja! Kali ini, oke lah, aku masih bisa berbaik hati memaafkanmu.  

"Uhm... Bryan... kita terlalu ...."

Aku berdiri cepat dan berhasil memaksanya mundur, sedikit menjauh dari tubuhku. Napasnya terdengar berat. Wajahnya kelihatan sedikit tegang. Rahangnya mengatup rapat.

"Kenapa, Mars?"

"Sebaiknya Anda panggil bagian IT saja. Saya tidak bisa banyak membantu," ucapku datar lalu keluar dari kursinya dan melangkah menuju pintu.

"Mars ...."

Dia mengejarku. Aku tidak ingin menoleh. Tapi saat hampir tiba di pintu, dia menarik tanganku, menyandarkanku di pintu dan mengurungku lagi dengan kedua tangannya. Kakinya bahkan menekan sebelah pahaku.

"Bryan!" 

"Kenapa kamu selalu menolakku, Mars?" Dia mendekatkan wajahnya ke wajahku. Napasnya memburu. Matanya menggelap. Tangannya bergerak meraih pundakku.

Apa-apaan nih?

Dadaku naik turun menahan amarah. Lupakan rasa sukaku beberapa saat yang lalu. Karena seketika semua rasa itu lenyap. Menguap begitu saja. Berganti perasaan ilfil.

Apa dia pikir semua wanita bisa dia perlakukan seenak jidatnya? Aku memang bawahannya. Aku asisten pribadinya. Tapi aku bukan wanita simpanan yang bisa diperlakukan semaunya!

Matanya tajam menerobos mataku. Wajahnya semakin mendekat, membuat darahku mengalir deras. Degup jantungku pun tak beraturan.

Selanjutnya kamu pasti bisa menebak apa yang terjadi, kan?

.

.

Hmm. Apa nih yang bakal terjadi?

Apakah mereka akhirnya ….


 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya What's Wrong With You, Boss? - Chapter 26 - 43
0
0
Aku mendekat. Anda ingin dipuaskan, huh? Aku mendesah pelan.Bryan nampak sedikit terkejut dengan perubahan sikapku yang begitu tiba-tiba. Namun dia malah tersenyum senang beberapa saat kemudian.Mataku menatapnya tajam.Sementara sebelah tanganku meraba dadanya, sebelah tanganku yang lain bergerak membuka ikat pinggangnya...Ehh … ehh… apaa inih? 
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan